Anda di halaman 1dari 21

SINDROM DOWN

A. PENDAHULUAN
Nama Sindrom Down berasal dari nama seorang dokter yang
pertama kali melaporkan kasus hambatan tumbuh kembang psikomotorik
dan berakibat gangguan mental pada tahun 1866. Dokter tersebut adalah
dr. John Langdon Down dari Inggris. Sebelumnya, kelainan genetika ini
disebut sebagai Mongolismus, sebab memang penderitanya memiliki ciri
fisik menyerupai ras Mongoloid. Karena berbau rasialis maka nama ini
diganti menjadi Down Sindrom. Terlebih setelah tahun 1959 diketahui
bahwa kelainan genetika ini dapat terjadi pada ras mana saja tanpa
membedakan jenis kelamin.12
Sejak bayi baru lahir atau neonatus, sindom Down bisa dideteksi.
Bahkan kemajuan teknologi memungkinkan dilakukannya amniosintesis,
yaitu pengambilan cairan kandungan untuk diperiksa keadaan kromosom
janin bayinya. 12
B. DEFINISI
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai
trisomi 21, karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki
kelebihan satu kromosom. Mereka memiliki tiga kromosom 21 dimana
orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan
megubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan
karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam
fungsi fisiologi tubuh.1,3, 12
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler,
translokasi, dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua
sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh
empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini.13
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21
akan berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu
orang tua yang menjadi karier kromosom yang translokasi ini tidak

menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4%


dari total kasus. 13
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu
saja yang mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah
penderita tipe mosaic ini dan biasanya si penderita lebih ringan. 13

Gambar 1. Susunan kromosom penderita sindrom Down (wanita). 13

C. MANIFESTASI KLINIK
Gejala yang muncul akibat sindrom Down dapat bervariasi, antara lain:
1) Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya
penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relative
kecil dari normal (microcefal) dengan bagian anteroposterior kepala
mendatar. Kepala biasanya lebih kecil dan agak lebar dari bagian
depan ke belakang.12
2) Penderita sindrom Down mempunyai paras muka yang hampir sama
seperti muka orang Mongol. Pada bagian wajah biasanya tampak sela
hidung yang datar. Jarak diantara 2 mata jauh dan berlebihan kulit
disudut dalam. Ukuran mulut kecil dan ukuran lidah yang besar
menyebabkan lidah selalu terjulur (makroglossi). Pertumbuhan gigi
lambat dan tidak teratur. Letak telinga lebih rendah. 12

Gambar 2. Perbandingan ukuran kepala normal dengan mikrocefal pada


anak.

Tanda-tanda yang muncul akibat Down sindrom dapat bervariasi


mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul
tanda yang khas. Tanda yang paling khas pada anak yang menderita Down
sindrom adalah adanya keterbelakangan perkembangan fisik dan mental
pada anak. Penderita Down sindrom sangat mudah dikenali dengan adanya
penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil
dari normal (microchephaly) dengan bagian (anteroposterior) kepala
mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak pangkal hidung yang datar,
mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia).
Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk
lipatan (epicanthal folds). 12

Gambar 3. Bayi dengan sindrom Down. Tampak bilateral epicanthal folds,


jarak antara kedua mata jauh, pangkal hidung yang mendatar, mulut yang kecil
dan lidah yang menonjol keluar, letak telinga rendah.

Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek
termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik
pada tangan maupun kaki melebar. Sementara itu lapisan kulit biasanya
tampak keriput (dermatoglyphics). Kelainan kromosom ini juga bisa
menyebakan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistem organ yang
lain. 12

Gambar 4. Garis simian pada penderita sindrom Down.

Gambar 5. Jarak antara jari pertama dan kedua melebar pada pasien
dengan sindrom Down.

Pada sistem pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada


esophagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia).
Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut
biasanya akan diikuti muntah-muntah. Pada bayi baru lahir kelainan dapat
berupa Congenital Heart Disease. Kelainan ini yang biasanya berakibat
fatal di mana bayi dapat meninggal dengan cepat. 12

D. FAKTOR RISIKO
Risiko untuk mendapatkan bayi dengan sindrom Down didapatkan
meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi
wanita yang hamil pada usia diatas 35 tahun. Walau bagaimanapun, wanita
yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat bayi
dengan sindrom Down.
Harus diingatkan bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom
Down lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan
sindrom Down, atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat yang

pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun kebanyakan


kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal.

Tabel 1. Hubungan usia maternal dengan risiko sindrom Down dan


aneuploidy lainnya pada midtrimester dan term.1
E. SKRINING
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi
sindrom Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood
test dan/atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat
memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down
atau tidak.1,3,4,5,6,7,
1. Ultrasonografi
a) Nuchal Translucency (NT)
NT adalah ketebalan maksimum daerah translusen subkutan
antara kulit dan jaringan lunak yang melapisi tulang janin di belakang
leher. Hal ini diukur dalam bidang sagital, ketika pengukuran crownrump length antara 38 dan 84 mm. Pengukuran NT dinyatakan sebagai
kelipatan dari kehamilan usia rata-rata tertentu, mirip dengan penanda
serum digunakan untuk skrining aneuploidi. Sebuah peningkatan

ketebalan NT sendiri bukanlah kelainan janin, melainkan merupakan


penanda terhadap peningkatan risiko. Sekitar sepertiga dari janin
dengan peningkatan ketebalan NT akan memiliki kelainan kromosom,
hampir setengah dari sepertiga tersebut adalah sindrom Down.1,5,6,7,8
NT diperiksa pada usia gestasi antara 11 minggu dan 13
minggu 6 hari, dengan sensitifitas maksimal pada minggu ke 11.
Ketika ukuran Crown Rump Length nya antara 45 mm dan 84 mm,
ketebalan NT normalnya 1,2 mm hingga 1,9 mm. 6 Ketebalan NT pada
janin usia gestasi 14 minggu tidak lebih dari 2,12 mm. 4 Kekurangan
pemeriksaan ini ialah hanya bisa digunakan ketika posisi janin
horizontal. 1,5,6,7,8

Gambar 6. Gambar sagital dari janin normal usia 12-minggu


menunjukkan penempatan kaliper yang benar (+) untuk pengukuran
NT. Tulang hidung janin dan kulit yang melapisinya ditunjukkan.
Ujung hidung dan ke-3 dan ke-4 ventrikel (tanda bintang), dimana
landmark lain yang harus terlihat dalam gambar tulang hidung, juga
ditampilkan.1

Risiko ditunjukkan oleh ketebalan NT meningkat merupakan


hasil independen dari analisa serum, dan menggabungkan NT
dengan nilai analisa serum memberikan hasil sangat meningkat
dalam deteksi aneuploidi. Dengan demikian, NT umumnya
digunakan sebagai penanda terisolasi hanya di skrining untuk
kehamilan multifetal, di mana skrining serum tidak akurat atau
mungkin tidak tersedia. Pengecualian adalah bahwa jika pengukuran
NT meningkat menjadi 3 sampai 4 mm, maka risiko aneuploidi
tidak mungkin dinormalisasi menggunakan penilaian analit serum,
dan pemeriksaan invasif harus ditawarkan. 1,5,6,7,8
b) Hypoplasia atau absen nya tulang hidung
Absennya tulang hidung merupakan fitur fenotipik janin dengan
trisomi 21. Kelainan ini dapat terdeteksi pada kehamilan trimester
pertama dan kedua. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nicola
Persico et al menemukan bahwa absennya tulang hidung
ditemukan pada sepertiga janin dengan trisomi 21. Absen unilateral
tulang hidung ditemukan pada satu kasus, dimana tulang tidak
kelihatan pada potongan midsagital tapi kelihatan pada potongan
parasagittal.1

Gambar 7. Tampilan sagittal pada garis tengah wajah menunjukkan


struktur normal tulang hidung (NB).1

Gambar 8. Gambar USG janin sindrom Down menunjukkan


tulang hidung tampilan sagital (a) dan tampilan koronal
(b).

c) Echogenic fetal bowel


Echogenic fetal bowel telah dideskripsikan sebagai varian
normal dan terjadi pada kasus kematian janin dapat pula muncul pada
beberapa jenis abnormalitas, termasuk ileus meconium, fibrosis kistik,
abnormalitas kromosom (khususnya sindrom Down), pertumbuhan
janin

terhambat,

dan

infeksi

intrauterine.

Pada

abnormalitas

kromosom, tidak ada penjelasan mengenai temuan patologis dalam


beberapa kasus yang dilaporkan. Namun terdapat hipotesis bahwa
penurunan motilitas usus, peningkatan absorpsi air dari meconium, dan
selanjutnya terjadi inspissation dan kalsifikasi meconium yang
kemudian menyebabkan peningkatan echogenisitas sonografi.1,2,9

Gambar 9. Echogenic fetal bowel2

Gambar 10. Potongan transversal abdomen janin menampakkan echogenic


bowel (eb). Area peningkatan echogenisitas terbatas di daerah kecil di
abdomen, kesan hanya bagian dari usus yang terkena pada janin ini. 9

d) Pyelectasis fetal
Sekitar 2% janin dengan sindrom Down ditemukan isolated
pyelectasis. Pyelectasis ialah dilatasi pelvis renalis dimana
diameter renal pelvis yang diukur secara anteroposterior lebih atau
sama dengan 4 mm, pada janin usia gestasi 15 hingga 20 minggu;
diameter anteroposterior lebih atau sama dengan 5 mm pada janin
usia 20 hingga 30 minggu; dan diameter anteroposterior lebih atau
sama dengan 7 mm pada janin usia 30 hingga 40 minggu. Pada
pemeriksaan ultrasonografi memberi gambaran ruang hypoechoic
berbentuk spherical atau elliptical di dalam pelvis renalis. 1,2

Gambar 11 . Janin

dengan
pyelectasis bilateral ringan

10

e) Echogenic intracardial focus


Echogenic intracardiac focus ialah gambaran echogenic
yang berada di dalam jantung yang mana kecerahan sonografinya
setara dengan tulang. Echogenic intracardiac focus menunjukkan
mikrokalsifikasi dan fibrosis muskulus papillaris atau chordae.
Kelainan tersebut tidak dikaitkan dengan disfungsi miokardium
atau anomali struktural jantung. 1

f)
sedikit

Ekstremitas
dan
humerus

Gambar 12 . Echogenic intracardial focus soliter

Femur

lebih

(panah) dalam ventrikel kiri.

pendek

pada

yang
janin

sindrom Down, meskipun rasio panjang femur ke lingkar perut (FL


/ AC)

umumnya dalam kisaran normal pada trimester kedua.

Femur dianggap "pendek" untuk skrining sindrom Down jika


pengukuran 90 persen dari yang diharapkan. Panjang femur yang
diharapkan berkorelasi dengan pengkuruan diameter biparietal.
Meskipun temuan ini dapat diidentifikasi pada sekitar 4 persen dari
janin, sensitivitas mungkin berbeda dengan etnis. Sebagai temuan
terisolasi dalam kehamilan berisiko rendah, itu umumnya tidak
dianggap menimbulkan risiko cukup besar untuk menjamin
modifikasi konseling. Demikian pula, humerus memendek menjadi
89 persen dari yang diharapkan, berdasarkan diameter biparietal
diberikan, juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk
sindrom Down.1,2

11

Gambar 13. (E) Clinodactyly, hypoplasia palanx tengah jari ke 5


membentuk kurvatura ke dalam. (F) Sandal-gap1

Gambar 14 . Clinodactyly2
Pada sindrom Down juga ditemukan clinodactyly yaitu
hypoplasia atau tidak adanya phalanx tengah pada jari kelima
tangan, sehingga jari kelima membentuk kurvatura kearah
medial. Selain itu, juga ditemukan Sandal gap yaitu
melebarnya jarak antara jari pertama dan jari kedua kaki.2
2. Uji serum maternal
12

Hasil uji sonogram akan dibandingkan dengan uji serum maternal.


Darah ibu diperiksa kombinasi dari berbagai marker: alpha-fetoprotein
(AFP), unconjugated estriol (uE3), dan human chorionic gonadotropin
(hCG) membuat tes standar, yang dikenal bersama sebagai tripel tes.
Tes ini merupakan independen pengukuran, dan ketika dibawa
bersama-sama dengan usia ibu, dapat menghitung risiko memiliki bayi
dengan sindrom Down. Tripel tes dapat mendeteksi 61 hingga 70
persen kasus sindrom Down.

Pemeriksaan ini dilakukan dalam

kehamilan minggu ke-15 sampai minggu ke-18. Baru-baru ini, tanda


lain yang disebut PAPP-A (pregnancy-associated plasma protein A)
ternyata bisa berguna bahkan lebih awal.1,3,10,11

a) Human chorionic gonadotropin hormon (-hCG) yang dihasilkan


oleh plasenta, dan digunakan untuk menguji adanya kehamilan.
Pada kasus sindrom Down, kadar serum -hCG trimester pertama
lebih tinggi, sekitar 2.0 dari nilai rata-rata.1
b) PAPP-A (pregnancy-associated plasma protein A) , pada sindrom
Down, kadar PAPP-A lebih rendah, sekitar 0.5 dari nilai rata-rata.
Pemeriksaan ini dilakukan pada trimester pertama kehamilan. 1
c) Cell free fetal DNA, ini berasal dari apoptosis trofoblast plasenta
dan terdeteksi dalam plasma maternal setelah usia gestaasi 7
minggu. Untuk skrining sindrom Down menggunakan teknik yang
disebut massively parallel genomic sequencing, yaitu dengan cara
menstimulasi jutaan rantai fragmen DNA, pemeriksa dapat
mengidentifikasi proporsi atau rasio dari satu kromosom lebih
tinggi dari yang diharapkan. Karena rantai DNA janin spesifik
terhadap kromosom individu, sampel dengan sindrom Down
13

memiliki proporsi kromosom 21 nya lebih besar. Teknologi ini


disebut juga sebagai Non-Invasive Prenatal Testing. 1,3
d) Alpha-fetoprotein merupakan glikoprotein yang disintesis oleh
yolk sac janin dan kemudian oleh traktus gastrointestinal dan hati
janin. Pada sindrom Down, AFP menurun dalam darah maternal,
sekitar 2.0 dari nilai rata-rata. 1
e) Estriol adalah hormon yang dihasilkan oleh plasenta, hepar janin
dan kelenjar adrenal. Kadar estriol maternal menurun dalam
sindrom Down sekitar <0.25 dari nilai rata-rata. 1

Trimester pertama
Trimester kedua

Pengukuran Nuchal Translusensi (NT)


Serum analisa (-hCG dan PAPP-A)
AFP
Serum maternal: Estriol
Cell Free Fetal DNA
Sonografi: echogenic intracardiac
focus, echogenic fetal bowel, nasal
bone absence or hypoplasia, renal
pelvis dilation (mild), clinodactyly,
short femur, short humerus, Sandal
gap antara jari kaki pertama dan

kedua.
Tabel 2. Skrining pada janin dengan sindrom Down
F. UJI DIAGNOSTIK
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk
mendeteksi sindrom Down. Uji diagnostik ini merupakan pemeriksaan

14

invasif yang dilakukan dengan indikasi pada ibu yang hamil dengan usia
yang tidak lagi muda, adanya hasil skrining aneuploidy abnormal, dan/atau
hasil skiring sonogram yang menunjukkan kelainan janin. 1
1) Amniosintesis
Dilakukan dengan mengambil sampel cairan amnion yang
kemudian diuji untuk menganalisa kromosom janin. Sebuah jarum
dimasukkan melalui dinding perut ibu ke dalam rahim,
menggunakan USG untuk memandu jarum. Sel dan protein dalam
cairan amnion diperiksa di laboratorium untuk menguji kelainan
spesifik pada janin. 1,2

Gambar 15. Amniosintesis

Prosedur dilakukan di bawah pedoman ultrasonografi dengan


memasukkan jarum jenis spiral ukuran 20

sampai 22 secara

transabdominal untuk mengaspirasi cairan amnion sebanyak 5


sampai 20 ml sambil menghindari plasenta, tali pusat dan janin.
Hasil aspirasi awal yang berisi 1 atau 2 ml cairan dibuang untuk
memperkecil kemungkinan kontaminasi sel ibu dan kemudian
setelah terkumpul kira kira 20 ml cairan jarum dikeluarkan.
Setelah sampel diambil, cairan disentrifus. Supernatannya dapat
digunakan untuk analisis AFP atau biokimia tertentu; sedangkan
pellemya digunakan untuk analisis kromosom dan analisis DNA. 1,2

15

Gambar 16. Lokasi ujung jarum dalam kantung amnion saat


amniosintesis. Perhatikan karakteristik echo level tinggi dan bayangan
akustik posterior yang diproduksi dari ujung jarum. 2

Pemeriksaan ini dilakukan pada antara kehamilan 16 dan 20


minggu.

Amniosentesis tidak dianjurkan sebelum minggu ke-14

kehamilan karena risiko komplikasi lebih tinggi dan kehilangan


kehamilan.Cairan amnion mengandung sel sel yang dikeluarkan
oleh janin. Tingkat keakuratan pemeriksaan kromosom mencapai
lebih dari 99%. Dibutuhkan sekitar 2 minggu untuk menentukan
apakah janin sindrom Down atau tidak. 1,2
Risiko amnionsintesis antara lain dapat terjadi infeksi dan
abortus. Data menunjukkan 1 dari 1,600 wanita mengalami abortus
setelah dilakukan amnionsintesis. Untuk itu, tidak disarankan
untuk

mengulang

tindakan

amnionsintesis.

Ada

sedikit

peningkatan risiko keguguran: tingkat normal saat ini keguguran


kehamilan adalah 2 sampai 3%, dan amniosentesis meningkatkan
risiko oleh tambahan 1 / 2 sampai 1%. 1,2
2) Chorionic villus sampling (CVS)
Dilakukan dengan mengambil sampel jaringan dari plasenta
(juga disebut lapisan chorionic). Sampel tersebut akan diuji untuk
melihat kromosom janin. Teknik ini dilakukan pada kehamilan
minggu ke-9 hingga ke-14. Ada dua metode yang bisa digunakan

16

dalam melakukan CVS, yaitu transabdominal dan transcervical.


Pada transabdominal, sebuah jarum akan ditusukkan ke dalam
perut ke arah rahim untuk mengambil sedikit jaringan dari
chorionic villi, sedangkan pada transcervical, sebuah kateter akan
dimasukkan melalui vagina sampai ke rahim dekat tempat plasenta
terbentuk. CVS biasanya dilakukan secara transabdominal, tapi
pada kasus dimana plasenta terletak di posterior atau uterus
retroversi, strategi yang digunakan ialah meminta wanita tersebut
untuk mengisi dan mengosongkan kandung kemihnya atau
menunggu beberapa minggu kemudian, tapi jika dengan cara
tersebut masih belum berhasil, alternative lainnya ialah dengan
CVS transcervical. CVS memang mampu memberikan hasil yang
akurat dan cepat ketimbang amniocentesis. Namun CVS juga
memberikan risiko keguguran lebih tinggi. Resiko keguguran
adalah 1 per 100 kehamilan. 1,2

Gambar 17. Chorionic villus sampling (CVS) transabdominal

17

Gambar 18 . CVS transabdominal. Potongan longitudinal pada janin usia 12


minggu menunjukkan ujung jarum dalam posterior plasenta. 2

Gambar 19. Chorionic villus sampling (CVS) transacervical

3) Cordocentesis
Teknik ini disebut juga sebagai Percutaneus Umbilical Blood
Sampling (PUBS). Teknik dimana darah dari umbilicus diambil
dan diuji untuk melihat kromosom janin. Teknik dilakukan pada
kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan sekiranya teknik
tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko keguguran
lebih tinggi. 1,2

18

Gambar 20 . Cordosintesis. Panah kecil mengidentifikasikan lintasan


jarum melewati plasenta ke dalam umbilicus dekat dengan insersinya. 2

G. PERAWATAN
Bayi sindrom Down dapat disusui. Bayi yang diberi ASI lebih
jarang mengalami infeksi saluran napas atas dan bawah, kejadian otitis
media, serta penyakit atopi dan alergi saluran pernapasan. ASI juga
meningkatkan perkembangan motorik oral, yang merupakan dasar dari
proses bicara.12
Masalah menghisap akibat hipotonia atau defek jantung dapat
menyulitkan proses menyusui pada awalnya, terutama pada bayi
prematur. Pada situasi ini, ibu dapat memberikan ASI yang diperah.
Setelah beberapa minggu kemampuan menghisap bayi umumnya akan
membaik dan bayi dapat dirawat dengan efektif, jika bayi yang diberi
ASI tidak mengalami penambahan berat badan yang cukup, pemberian
susu formula tambahan atau ASI perahan harus dipertimbangkan. 12
H. EVALUASI PERTUMBUHAN
Parameter pertumbuhan harus diplot pada setiap kunjungan
dengan kurva pertumbuhan standard dan khusus untuk sindrom Down.
Setiap penurunan persentil pertumbuhan harus dicari
penyebabnya. Defek jantung yang tidak terdiagnosis umumnya
merupakan penyebab tersering terjadinya gagal tumbuh pada bayi
dengan sindrom Down. Leukemia juga harus dipertimbangkan sebagai
salah satu penyebab. Pada keadaan dimana pertambahan berat badan
19

tidak dapat dijelaskan penyebabnya perlu dilakukan evaluasi kea rah


hipotiroidisme. 12
I. PEMELIHARAAN KESEHATAN
Imunisasi yang baik sangat penting karena anomali struktural
membuat bayi dengan sindrom Down rentan terhadap infeksi saluran
napas atas serta telinga, hidung, dan tenggorokan. Semua bayi dengan
sindrom Down harus mendapat imunisasi dasar dan imunisasi ulangan
yang direkomendasikan. 12
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham F. Gary, et al. Williams Obstetrics Ed 24th: 576 607;
615-623.
2. Chuldleigh, Basky Thilaganathan. Obstetric Ultrasound: How,
Why and When. Ed 23rd. 113-171.
3. Langlois Sylvie, Jo-Ann Brock. Current Status in Non-Invasif
Prenatal Detection of Down Sindrom, Trisomi 18, and Trisomi 13
Using Cell-Free DNA in Maternal Plasma. J Obstet Gynaecol Can
2013;35(2):177-181.
4. Saller Devereux N, Jacob A. Canick. Current Methods of Prenatal
Screening for Down Sindrom and Other Fetal Abnormalities.
Clinical Obstetrics and Gynecology 2008;Vol.51(1): 24-36.
5. Nicolaides Kypros H, et al. Increased Fetal Nuchal Translucency at
11 14 Weeks. Prenat Diagn 2002;22:308-315.
6. Gersak Ksenija, et al. Increased Fetal Nuchal Translucency
Thickness and Normal Karyotype: Prenatal and Postnatal
Outcome.
7. Nirmala S, Palanisamy V. Measurement of Nuchal Translucency
Thickness for Detection of Chromosomal Abnormalities using First
Trimester Ultrasound Fetal Images. IJCSIS 2009;Vol.6(3):101-106.
8. Issues in Emerging Helath Technologies. Nuchal Translucency
Measurement in First Trimester Down Sindrom Screening. The
Canadian Agency for Drugs and Technologies in Health (CADTH)
June 2017;issue 100.

20

9. Sickler G. Kimberly, et al. Echogenic Fetal Bowel and Calcified


Meconium in a Fetus with Trisomy 21. J Ultrasound Med
1998;Vol.17:591-593
10. Kaur Gurjit, et al. Maternal Serum Median Level of Alphafetoprotein, Human Chorionic Gonadotropin & Unconjugated
Estriol in Second Trimester in Pregnant Women from North-West
India. Indian J Med Res 138, July 2013: 83-88.
11. Minsart Anne-Frederique,et al. Indication of Prenatal Diagnosis ini
Pregnancies Complicated by Undetectable Second-Trimester
Maternal Serum Estriol Levels. Journal of Prenatal Medicine 2008;
2 (3): 27-30.
12. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FK-UNHAS SMF Anak RD Dr. Wahidin
Sudirohusodo, Makassar.
13. Down Syndrome. National Down Syndrome Society.

21

Anda mungkin juga menyukai