PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di
seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% jumlah
penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia. Kelainan ini mempunyai
dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala
dari berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu penentuan penyakit dasar juga
penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang
mendasari, anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas.
Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia yang dibuat oleh Divisi
Standar Pendidikan Kolegium Dokter Indonesia, dokter umum diharapkan dapat
menegakkan diagnosis anemia (defisiensi besi, megaloblastik, aplastik, hemolitik)
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Untuk anemia defisiensi
besi, dokter umum harus mampu melakukan penanganan. Untuk anemia
megaloblastik, aplastik, hemolitik, dokter umum hanya sampai tahap merujuk serta
mengetahui komplikasi penyakit tersebut. Oleh karena itu, dalam referat ini akan
dibahas mengenai keempat jenis anemia tersebut.
BAB II
ASPEK UMUM ANEMIA
2.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
2.2 Kriteria
Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi
KELOMPOK
Laki-laki dewasa
Wanita dewasa tidak hamil
Wanita hamil
KRITERIA ANEMIA
< 13 g/dl
< 12 g/dl
< 11 g/dl
2.3 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi
morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.
No
Morfologi Sel
1. Anemia makrositik
- normokromik
Keterangan
Bentuk eritrosit yang
Jenis Anemia
- Anemia Pernisiosa
besar dengan
konsentrasi hemoglobin
2.
3.
Anemia mikrositik
yang normal
Bentuk eritrosit yang
- hipokromik
kecil dengan
- Anemia sideroblastik
konsentrasi hemoglobin
- Thalasemia
Anemia normositik
yang menurun
Penghancuran atau
- Anemia aplastik
- normokromik
penurunan jumlah
- Anemia posthemoragik
- Anemia hemolitik
konsentrasi hemoglobin
merupakan
penyebab
anemia
yang
terbanyak.
Anemia
Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun
dapat pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada
defisiensi besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan
tersebut dapat dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat
besi.
Fe serum
TIBC
Saturasi transferin
Feritin serum
Defisiensi besi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Inflamasi
Rendah
Normal atau rendah
Rendah
Normal atau tinggi
2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang
rendah, gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks
eritrosit yang abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2
macam yaitu:
a. Gangguan pematangan inti
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik.
Penyebab dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat,
defisiensi vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA
(seperti metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga
dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih
disebabkan oleh defisiensi asam folat.
b. Gangguan pematangan sitoplasma
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan
hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah
defisiensi besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada
thalasemia), dan gangguan
sideroblastik)
kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada
kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g
%, pada kadar Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika terjadi gangguan
mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung yang mendasarinya. Gejala
utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat, fatigue, gejala
dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring in
the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi
yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/atau infark miokard).
Anemia yang disebabkan perdarahan akut berhubungan dengan komplikasi
berkurangnya volume intraseluler dan ekstraseluler. Keadaan ini menimbulkan gejala
mudah lelah, lassitude (tidak bertenaga), dan kram otot. Gejala dapat berlanjut
menjadi postural dizzines, letargi, sinkop; pada keadaan berat, dapat terjadi hipotensi
persisten, syok, dan kematian.
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis anemia
adalah:
6
hematokrit x 10
Jumlah eritrosit x 10 6
(N: 90 + 8 fl)
b. Mean Cell Hemoglobin (MCH) =
hemoglobin x 10
Jumlah eritrosit x 10 6
(N: 30 + 3 pg)
c. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) =
hemoglobin x 10
Hematokrit
(N: 33 + 2%)
C. Leukosit (N : 4500 11.000/mm3)
D. Trombosit (N : 150.000 450.000/mm3)
2. Sediaan Apus Darah Tepi
a. Ukuran sel
b. Anisositosis
c. Poikolisitosis
d. Polikromasia
3. Hitung Retikulosit ( N: 1-2%)
4. Persediaan Zat Besi
a. Kadar Fe serum ( N: 9-27mol/liter )
b. Total Iron Binding Capacity ( N: 54-64 mol/liter)
c. Feritin Serum ( N : 30 mol/liter ; : 100 mol/liter)
5. Pemeriksaan Sumsum Tulang
a. Aspirasi
-
E/G ratio
Morfologi sel
Pewarnaan Fe
b. Biopsi
-
Selularitas
Morfologi
adekuat
RI > 2,5% : penghancuran eritrosit yang berlebihan
IV. Persediaan dan Penyimpanan Zat Besi
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC
dikali 100 (N: 25-50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi
transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pk 09.00 dan pk.
10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun,
feritin juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik
akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
9
10
BAB III
ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROM
3.1 Anemia Defisiensi Besi
3.1.1 Definisi
Anemia
defisiensi
besi
adalah
anemia
yang
timbul
akibat
3.1.3 Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan
besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan kronik :
1. Faktor nutrisi
11
Perdarahan kronik
saluran cerna ; tukak peptic, konsumsi NSAID, salisilat, kanker
kolon, kanker lambung, divertikulosis, infeksi cacing tambang,
hemoroid
saluran genitalia wanita ; menoraghia, mtroraghia
saluran kemih ; hematuria
saluran nafas ; hemoptoe
12
feritin serum l
pengecatan besi pada
sumsum tulang negatif
absorbsi besi melalui
usus l
Free protophorfirin l
TIBC l
Anemia hipokrom
mikrositer
Gejala klinik anemia
Anemia
Defisiensi Besi
Perubahan Fungsional NonAnemia
Sistem Neuromuskuler
l Fe l mioglobin, enzim sitokrom, gliserofosfat
gangguan gilkolisis l asam laktat kelelahan otot
Gangguan mental dan kecerdasan
l Fe gangguan enzim aldehidoksidase & enzim
monoaminooksidase l serotonin & katekolamin di
otak
Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi
l Fe l enzim untuk sintesis DNA dan enzim
mieloperoksidase netrofil l imunitas seluler
Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang
dikandung
l Fe l angka kematian maternal, gangguan partus,
risiko prematuritas, morbiditas & mortalitas fetus
13
(Sumber
http://calgaryguide.ucalgary.ca/slide.aspx?slide=Iron
Deficiency
Anemia.jpg)
3.1.6 Manifestasi Klinik
Gejala umum anemia
o Gejala ini baru akan timbul apabila terjadi penurunan kadar
hemoglobin hingga 7-8 gr/dl
o Lemah, lesu, lelah, mata berkunang-kunang dan telinga berdenging
Gejala khas defisiensi besi
14
Kelompok
Laki-laki dewasa
15
< 12 g/dl
< 11 g/dl
Koilonichya ; kuku sendok ( spoon nail ), kuku rapuh, bergarisgaris vertical dan menjadi cekung sehingga mirip sendok
Pica ; makan yang tidak lazim seperti tanah liat, es, lem dll
Gejala klinis tergantung pada penyeakit dasar yang menyertai. Pada anemia
yang disebabkan oleh penyakit cacing tambang, ditemukan dyspepsia, parotis
membengkak, dan kulit telapak tangan kuning seperti jerami. Apada anemia
akibat perdarahan kronik akibat kanker kolon akan ditemukan keluhan BAB .
Apabila dicurigai penyakit cacing tambang, dilakukan pemeriksaan
feses untuk mencari telur cacing. Pada kecurigaan perdarahn sementara tidak
ditemukan perdarahan nyata, maka dapat dilakukan tes darah samar ( occult
blood test ) pada feses, dapat juga dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau
bawah jika ada indikasi.
3.8 Diagnosis Banding
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya seperti :
anemia penyakit kronik, thalasemia, anemia sideroblastik. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dari bagan dibawah ini :
Anemia
Anemia
defisiensi
akibat
besi
penyakit
Derajat
Ringan
kronik
ringan
anemia
sampai
MCV
MCH
Besi serum
berat
menurun
menurun
Menurun
Menurun/N Menurun
Menurun/normal
Menurun/N menurun
Menurun/normal
Menurun < Normal/meningkat Normal/meningkat
TIBC
<30
Meningkat
50
Menurun < Normal/menurun
Saturasi
>360
300
Menurun < Menurun/
transferin
15
Besi sumsum negatif
Trait thalasemia
Anemia
sideroblastik
ringan
Ringan
sampai
berat
N 10-20 %
positif
17
Normal/menurun
Menigkat > 20 %
Meningkat > 20 %
Positif kuat
Positif
dengan
tulang
Protoforpirin
meningkat
eritrosit
Feritin serum
Meningkat > 50
Elektroforesis
20
normal
normal
meningkat
200
normal
normal
Hb A2 meningkat
ring sideroblast
normal
Hb
3.1. 9 Terapi
Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi
terhadap anemia defisiensi besi adalah :
-
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy)
normal.
3. Mengatasi penyebabnya.
18
19
3.2.3 Patogenesis
Pemendekan masa hidup eritrosit
Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stre
hematologik (haematological stress syndrome), dimana terjadi produksi sitokin
yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau
kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga
mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpha,
menekan produksi eritropoietin oleh ginjal, serta menyebabkan perangsangan
yang inadekuat pada eritropoiesis disumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut,
malnutrisi menyebabkan penurunan transformasi T4 menjadi T3, menyebabkan
hipotiroid fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang
mengangkut O2 sehingga sintesis eritropoietin pun akhirnya berkurang.
Penghancuran eritrosit
Masa hidup eritrosit memendek pada sekitar 20-30% pasien. Defek ini
terjadi di ekstrakorpuskular, aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan
peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter
limpa, menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari
eritrosit.
Produksi eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi
Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukan
adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal ini
memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe
dalam sintesis Hb.
Adanya infeksi, inflamasi atau keganasan menyebabkan aktivasi
makrofag sehingga merangsang pengeluaran IL-6. Selanjutnya IL-6 akan
mengaktivasi sel-sel retikulo-endotelial di hati untuk menghasilkan hepsidin.
Hepsidin akan berinteraksi dengan feroponin, yaitu protein membran yang
20
menghambat absorbs besi oleh usus halus, disamping itu hepsidin juga akan
menurunkan pelepasan besi oleh makrofag. Akibat kedua efek hepsidin tersebut
maka kadar besi dalam plasma akan menurun yang menjadi karakteristik untuk
anemia penyakit kronis.
21
22
23
3.3.2 Patofisiologi
Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan
inkorporasi
besi ke dalam
senyawa
hem pada
mitokondria
yang
24
Hipokromik mikrositer
Eritropoiesis inefektif
Skema patofisiologi anemia sideroblastik
3.3.3 Gambaran klinik
Gambaran anemia sideroblastik sangat bervariasi dimana pada bentuk
yang didapat dijumpai anemia refrakter terhadap pengobatan. Telah
dilaporkan adanya suatu sindroma anemia sideroblastik yang refrakter pada 4
orang anak dengan adanya vakuolisasi prekurser sel-sel sumsum dan
gangguan fungsi ginjal eksokrin pankreas. Anemia sideroblastik kongenital
terjadi pada orang dewasa dengan berbagai proses dan keganasan atau pada
alkoholisme.
III.3.4 Gambaran Laboratorium
Pada anemia sideroblastik dijumpai:
1. Anemia bervariasi dari ringan sampai berat
2. Anemia bersifat hipokromik mikrositer dengan gambaran populasi ganda
(double population) dimana dijumpai eritrosit hipokromik mikrositer
berdampingan dengan normokromik normositer.
3. Pada bentuk didapat (RARS) dijumpai tanda displastik terutama pada eritrosit,
kadang-kadang juga pada leukosit dan trombosit.
4. Besi serum dan feritin serum normal atau meningkat.
5. Pada pengecatan besi sumsum tulang dengan pewarnaan prussian blue
(memakai biru prusia) dijumpai sideroblas cincin >15% dari sel eritroblas
25
3.3.5 Terapi
1. Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi simptomatik yaitu dengan
transfusi darah
2. Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena pada sebagian kecil penderita
bersifat responsif terhadap piridoksin. Untuk anak-anak diberikan dalam dosis
200-500 mg/24 jam, kendatipun tidak dijumpai kelainan metabolisme
triptofan atau defisiensi vitamin B6 lainnya. Vitamin B6 merupakan kofaktor
enzim ALA-sintase
3.4 THALASEMIA
3.4.1 DEFINISI THALASEMIA
Thalassemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut.
Yang dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit
ini pertama kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama
sekali ditemukan oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas
B. Cooley pada tahun 1925. Beliau menjumpai anak-anak yang menderita
anemia dengan pembesaran limpa setelah berusia satu tahun. Selanjutnya,
anemia
ini
dinamakan
anemia
oleh kerusakan DNA dan penyakit turunan. Penyakit ini muncul karena darah
kekurangan salah satu zat pembentuk hemoglobin sehingga tubuh tidak
mampu memproduksi sel darah merah secara normal.
3.4.2 MACAM-MACAM THALASEMIA
Secara molekuler thalasemia dibedakan atas :
1. Alfa Thalasemia (melibatkan rantai alfa)
Alfa Thalasemia paling sering ditemukan pada orang
kulit hitam (25% minimal membawa 1 gen). Sindrom thalassemia disebabkan oleh delesi pada gen globin pada kromosom 16
(terdapat 2 gen globin pada tiap kromosom 16) dan nondelesi
seperti
gangguan
menyebabkan
mRNA pada
rantai
menjadi
penyambungan
lebih
panjang
gen
dari
yang
kondisi
kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Bila
penyakit ini tidak segera ditangani dengan baik, tumbuh kembang
anak akan terhambat.Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan
lemak tubuh, dan demam berulang akibat infeksi. (Kapita selekta
kedokteran)
b. Thalassemia +
Pada thalassemia +, masih terdapat mRNA yang normal
dan fungsional namun hanya sedikit sehingga rantai dapat
dihasilkan dan HbA dapat dibentuk walaupun hanya sedikit.
Secara klinis, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu :
1. Thalasemia Mayor, karena sifat sifat gen dominan.
Thalasemia mayor
merupakan
penyakit
yang
mengatasi
kekurangan
hemoglobin.
Penderita
29
30
3. Produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu
Defesiensi produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai a dan b.
4. Terjadi kerusakan sel darah merah (eritrosit) sehingga umur eritrosit
pendek (kurang dari 100 hari). Struktur morfologi sel sabit
(thalasemia) jauh lebih rentan untuk rapuh bila dibandingkan sel darah
merah biasa. Hal ini dikarenakan berulangnya pembentukan sel sabit
yang kemudian kembali ke bentuk normal sehingga menyebabkan sel
menjadi rapuh dan lisis.
5. Deoksigenasi (penurunan tekanan O2)
Eritrosit yang mengandung Hb S melewati sirkulasi lebih
lambat apabila dibandingkan dengan eritrosit normal. Hal ini
menyebabkan deoksigenasi (penurunan tekanan O2) lebih lambat yang
akhirnya menyebabkan peningkatan produksi sel sabit.
Mutasi Genetik
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta,
yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh
sebuah gen cacat yang diturunkan.
Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen
dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka
orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan
gejala-gejala dari penyakit ini.
Nama
Deskripsi
Alel
31
talasemia
+/
minor
anemia
atau o /
(kadang-
kadang
disebut sifat
talasemia )
Thalassemia
+/ +atau
intermedia
o / +
mikrositik .
Deteksi
biasanya
melibatkan
atau Cooley's
anemia utama
32
hadir dalam thalassemia sangat beragam, dan sejumlah mutasi yang berbeda dapat
menyebabkan berkurang atau tidak ada sintesis globin .
Dua kelompok utama dari mutasi dapat dibedakan:
sambatan abnormal
Alel
Deskripsi
Genotip
terpengaruh
Salah satu
Ada
efek
minimal.
Tiga
-globin
alel
cukup
untuk - / /
normal eritropoiesis ,
tetapi
ada atau
33
sama;
Tiga
oksigen
miskin
untuk
HBH)
pada apusan
jaringan.
tepi,
Para janin tidak bisa hidup di luar rahim dan tidak dapat bertahan - / - - / hidup dalam kandungan: kebanyakan bayi tersebut meninggal
saat lahir dengan fetalis hidrops , dan mereka yang lahir hidup
mati segera setelah lahir. Terjadi pembengkakan dan memiliki
hemoglobin yang sedikit, dan hemoglobin yang hadir adalah
semua tetrametic rantai (Barts hemoglobin).
3.4.4 Patofisiologi :
Patogenesis thalassemia secara umum dimulai dengan adanya mutasi
yang menyebabkan HbF tidak dapat berubah menjadi HbA, adanya ineffective
eritropoiesis, dan anemia hemolitik.
34
tersebut
merusak
selaput
sel,
mengurangi
kelenturannya,
dan
menyebabkan sel darah merah yang peka terhadap fagositosis melalui system
fagosit mononuclear.
Tidak hanya eritrosit, tetapi juga sebagian besar eritroblas dalam
sumsum dirusak, akibat terdapatnya inklusi (eritropioesis tak efektif).
Eritropoiesis tak efektif dapat menyebabkan adanya hepatospleinomegali,
karena eritrosit pecah dalam waktu yang sangat singkat dan harus digantikan
oleh eritrosit yang baru (dimana waktunya lebih lama), sehingga tempat
pembentukan eritrosit (pada tulang-tulang pipa, hati dan limfe) harus bekerja
lebih keras. Hal tersebut menyebabkan adanya pembengkakan pada tulang
(dapat menimbulkan kerapuhan), hati, dan limfe.
1. Thalasemia-
Pada homozigot thalassemia yaitu hydrop fetalis, rantai sama
sekali tidak diproduksi sehingga terjadi peningkatan Hb Barts dan Hb
embrionik. Meskipun kadar Hb-nya cukup, karena hampir semua
merupakan Hb Barts, fetus tersebut sangat hipoksik.
Sebagian besar pasien lahir mati dengan tanda-tanda hipoksia
intrauterin. Sedangkan pada thalassemia heterozigot yaitu o dan +
menghasilkan ketidakseimbangan jumlah rantai tetapi pasiennya mampu
bertahan dengan penyakit HbH. Kelainan ini ditandai dengan adanya
anemia hemolitik karena HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa
oksigen.
2. Thalasemia-
35
yang disebut sebagai takikardia di mana hal ini juga terjadi pada anak
(denyut nadi 120 kali/menit, normal 60-100 kali.menit). Tetapi frekuensi
respirasi pasien dalam tahap normal 24 kali/menit (normal 16-24
kali/menit).
Lemas dan mudah capek disebabkan oleh karena suplai oksigen ke
jaringan untuk oksidasi sel sebagai proses penghasil energi berkurang.
Pasien mengalami penurunan kadar hemoglobin (4,8 g/dl) di mana nilai
rujukan normal untuk anak-anak sebesar 10-16 g/dl (Sutedjo, 2007).
Penurunan
ini
dapat
disebabkan
oleh
adanya
kelainan
37
infeksi pada pasien, yaitu : suhu (38,00C), panas, tonsil membesar dan
kemerahan, dan faring kemerahan. Infeksi ini bisa didapatkan dari
mikroorganisme seperti: malaria, hepatitis, haemophilus, streptococcus,
pneumococcus, dll.
Suhu tubuh meningkat dikarenakan adanya metabolisme organ
yang berlebihan terhadap infeksi. Tonsil merupakan salah satu jaringan
limfoid yang memproduksi limfosit untuk pertahanan imunitas tubuh dan
akan membesar apabila bekerja berlebihan terhadap suatu infeksi atau
penurunan imunitas lainnya. Infeksi mikroorganisme menyerang saluran
pencernaan salah satu faring sehingga membuat organ tersebut mengalami
kemerahan. Gejala infeksi lainnya pada pasien yaitu batuk pilek.
Gejala klinis thalasemia mayor :
a. Tampak pucat dan lemah karena kebutuhan jaringan akan oksigen
tidak terpenuhi yang disebabkan hemoglobin pada thalasemia (HbF)
memiliki afinitas tinggi terhadap oksigen
b. Facies thalasemia yang disebabkan pembesaran tulang karena
hiperplasia sumsum hebat
c. Hepatosplenomegali yang disebakan oleh penghancuran sel darah
merah berlebihan, hemopoesis ekstramedular, dan kelebihan beban
besi.
d. Pemeriksaan radiologis tulang memperlihatkan medula yang lebar,
korteks tipis, dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan
diploe dan pada anak besar kadang-kandang terlihat brush appereance.
e. Hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin menyebabkan
keterlambatan menarse dan gangguan perkembangan sifat seks
sekunder. Selain itu juga menyebabkan diabetes, sirosis hati, aritmia
jantung, gagaljantung, dan perikarditis.
f. Sebagai sindrom klinik penderita thalassemia mayor (homozigot) yang
telah agak besar menunjukkan gejala-gejala fisik yang unik berupa
39
Pucat
Bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
Dapat ditemukan ikterus
Gangguan pertumbuhan
Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar
3. Pemeriksaan penunjang
40
a. Darah tepi :
Hb rendah dapat sampai 2-3 g%
Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target,
anisositosis
berat
polikromasi,
dengan
basophilic
makroovalositosis,
stippling,
benda
mikrosferosit,
Howell-Jolly,
Pemeriksaan lain :
Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe
melebar dengan trabekula tegak lurus pada korteks.
Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang
sehingga trabekula tampak jelas.
5.
Diagnosis banding
Thalasemia minor :
Spirulina
berfungsiebagai
detoksifikasi
(pembersih
racun),
42
desferipone
(oral),
desferrithiochin
(oral),
Pyridoxal
43
4.1.3 Epidemiologi
Anemia hemolitik meliputi 5% dari keseluruhan kasus anemia. AIHA
akut sangat jarang terjadi, insidennya 1-3 kasus 100.000 individu pertahun. Lebih
sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dan umumnya
terjadi pada usia pertengahan ( middle-aged)
4.1.4 Klasifikasi
A. Anemia hemolitik AutoImun (AIHA)
a. AIHA tipe hangat: diperantarai oleh IgG. Berikatan dengan antigen
di permukaan eritrosit pada suhu tubuh.
Idiopatik
Idiopatik
sekunder:
Mycoplasma,
mononukleosis,
keganasan
limforetikuler
c. Paroxysmal cold hemoglobinuria:
Idiopatik
sekunder: sifilis
d. AIHA atipik
Insidensi terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering pada dewasa
terutama wanita.
Gejala kardiovaskular
Dipsnea
Mekanisme: anemia kompensasi jantung untuk membawa O2 ke
jaringan lebih banyak sesak
Gejala hemolitik
Ikterik 40% pts
Mekanisme: hemolisis (prehepatik) bilirubin indirek ikterik
Purpura
Mekanisme perdarahan ekstravaskular purpura
Demam; terjadi pada krisis hemolitik akut
Urin berwarna gelap karena hemoglobinuria
46
Gejala organomegali
Splenomegali 50-60% pts
Mekanisme: peningkatan penghancuran RBC di limpa splenomegali
Hepatomegali pada 30% pts
Mekanisme: peningkatan penghancuran RBC di hati hepatomegali
Akrosianosis
Jaundice
47
Splenomegali
CBC
Anemia berat; Hb sering di bawah 7 g/dL
Mekanisme: karena hemolitik agresif
Retikulosit meningkat; 10-30% (200-600 x 103/L)
Mekanisme: hemolitik retikulositosis
Leukositosis neutrofil
Mekanisme: pada keadaan krisis hemolitik akut
Kimia darah
Hemoglobinemia
Mekanisme: lisis SDM agresif hemoglobin bebas
hemoglobinemia
Urin
Hemoglobinuria
Mekanisme:
lisis
SDM
agresif
hemoglobin
bebas
hemoglobinemia hemoglobinuria
Blood smear
Microspherocytosis; area tengah RBC terlihat pucat pada pewarnaan
blood film
Mekanisme: rusaknya membran RBC masuknya air dan ion
microsperosit
Serologi
Test Coomb direct positif pada 98% pasien; terdeteksi antibodi(IgG)
dengan atau tanpa komplemen(C3,C3d)
48
Autoantibodi (dari kelasIgG dan jarang dari kelas IgA) yang bereaksi
dengan antigen RBC (antigen Rh) biasanya ditemukan dalam serum
dan dapat dipisahkan dari sel-sel RBC.
Antibodi bebas bisa juga ditemukan dengan tes Coombs inderik jika
autoantibodi diproduksi dalam konsentrasi tinggi.
2. AIHA tipe dingin
CBC
Anemia ringan, Hb 9-12 g/dL
Blood Film
Polikromatosis; sel darah merahberwarna biru pada pewarnaan blood
film
Mekanisme: karena adanya sel darah merah yang imatur
Serologi
Tes Coombs direks positif; terdeteksi komplemen
Jika ada, tes Coombs indireks akan mendeteksi IgM
Ditemukan anti-I(pada newborn), anti-Pr, anti-M, atau anti-P
Reaction with
AntiAnti-
Penyebab
IgG
Yes
C3
No
Yes
Yes
Yes
No
Semua penyebab yang mendasari AIHA harus di tangani dan semua obat
yang menyebabkan harus di hentikan.
Terapi transfusi untuk kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb < 3g/dL)
Splenektomi; bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan
tappering dosis selama 3 bulan. Remisi komplit pasca splenektomi
mencapai 50-70%. Steroid masih sering digunakan setelah splenektomi.
50
Imunosupresi; Azotropin 50-200 mg/hari (80 mg/m2), siklofosfamid 50150 mg/hari (60 mg/m2)
Pada anemia simtomatik parah; transfusi konsetrat washed red cell untuk
mencegah infusi komplemen tambahan.
Marked
Assess
severity
Watch
Prednisone
IVIg
Splenektomi
Moderate
Prednisone
60 mg/d
2-3 weeks
Reduce rapidly to 20 mg/d
Splenektomi
No
Response
Yes
No response
Relapse
Discontinue if no sign of
disease
51
4.1.8 Komplikasi
1. AIHA tipe hangat
Gagal ginjal, DVT, emboli paru, infark limpa, dan kejadian cardiovaskular
lain.
2. AIHA tipe dingin
4.1.9 Prognosis
1. AIHA tipe hangat
Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki surival yang baik dan cukup
stabil.
retikulosis,
MCV
tinggi,
tes
Coomb
positif,
leukopenia,
52
tidak
dapat
melintasi
sistem
retikuloendotelial
sehingga
MANIFESTASI KLINIS
Penegakan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh kuning dan urinnya
kecoklatan seperti warna teh pekat, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian
53
diatas, perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-hal yang bersifat
khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus
tungkai pada anemia sickle cell.
Penyakit hemolitik gejala-gejalanya dapat didasarkan atas 3 proses
yang juga merupakan bukti bahwa ada hemolisis :
b. Urobilinogenuria
3. Eritropoesis yang meningkat karena kompensasi sumsum tulang
a. Darah tepi : retikulositosis, normoblastemia.
b. Sumsum tulang : hyperplasia eritroid, hyperplasia sumsum tulang
c. Eritropoiesis ekstramedular
d. Absorbsi Fe meningkat.
4.2.2
DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosa anemia hemolitik berdasarkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, dimana bisa diketahui kausa
penyebab dari anemia hemolitik itu sendiri.
4.2.3
4.2.4
DIAGNOSA BANDING
- Anemia Pasca Perdarahan
- Leukimia
PENGOBATAN
Anemia hemolitik diterapi sesuai penyebabnya. Pada anemia hemolitik
autoimun diterapi dengan:
- Kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari
- Splenektomi
- Imunosupresi, Azatioprin 50-200 mg/hari
- Danazol 600-800 mg/hari
- Terapi transfusi
Pada anemia hemolitik non imun, terapi diberikan berdasarkan klasifikasi.
o Defisiensi G6PD
Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, tidak perlu terapi khusus
kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari. Pada hemolisis berat,
yang biasa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin diperlukan
transfuse darah
o Defek Jalur Embden Meyerhof
Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali dengan
hemolisis berat harus diberikan asam folat 1 mg/hari. Transfusi darah
diperlukan ketika krisis hipoplastik.
o Malaria
Terapi anemia pada infeksi malaria
pada
dasarnya
dengan
dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 g/dl. Preparat asam folat
sering diberikan pada pasien. Pemberian besi sebaiknya ditunda
sampai terbukti adanya defisiensi besi.
4.2.5
PROGNOSIS
Prognosis pada pasien dengan anemia hemolitik tergantung pada
penyakit yang mendasari. Pada pasien dengan anemia hemolitik autoimun tipe
hangat , hanya sebgaian kecil pasien yang mengalami penyembuhan komplit
dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlamgsung kronik,
namun terkendali. Sedangkan pada pasien dengan anemia hemolitik autoimun
tipe dingin dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik dan
cukup stabil
4.2.6 PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan dapat berupa:
Pemeriksaan laboratorium jika ditemukan gejala
Pendidikan kesehatan
Perbaikan gizi
Hidup bersih dan sehat
4.3
56
sindrom penyakit berat ini cukup menarik, tapi sangat sedikit dipahami. Anak
yang lahir di daerah endemic malaria cukup besar terlindungi dari malaria
berat pada 6 bulan pertama kehidupan melalui transfer pasif immunoglobulin
ibu dan haemoglobin semasa janin. Penampakan penyakit berubah dari
anemia berat pada anak usia 1 sampai 3 tahun di daerah transmisi tinggi
menjadi malaria cerebral pada orang yang lebih tua di daerah transmisi rendah
(Snow, 1997). Seiring penurunan intensitas transmisi, malaria berat lebih
sering ditemukan pada kelompok usia yang lebih tua.
Anemia pada malaria P. falciparum memiliki ciri normocytic dan
normochromic, dengan secara khusus tidak adanya retikulosit, walaupun
microcytosis dan hypocromia dapat muncul disebabkan karena sifat talasemia
alpha dan beta dengan frekuensi sangat tinggi dan/atau defisiensi besi pada
daerah endemic malaria (Newton, 1997; Yeats, 1999; Abdalla, 2004; Roberts,
2005) perbedaan yang jelas pada patofisiologi anemia dalam berbagai kondisi
klinis, usia dan area geografis hanya sedikit dipahami dan tentunya
memerlukan lebih banyak penelitian lagi. Bentuk anemia yang kurang umum
pada malaria aalah blackwater fever yang ditandai dengan secara tibab-tiba
munculnya kemoglobin pada urin yang terkait dengan penggunaan kina yang
tidak beraturan (Stephens, 1937).
Oleh karena itu, keadaan klinis anemia berat cukup bervariasi dan
komplks: infeksi akut kemungkinan menyebabkan anemia dan/atau malaria
cerebral, distress pernapasan, dan hipoglikemia; dan infeksi kronis, infeksi
berulang dapat menyebabkan anemia berat. Di samping itu, kemungkinan ada
pula background Hb normal atau rendah. Dengan demikian, pemahaman
mengenai proses patofisiologi utamanya telah dikaitkan dengan konteks klinis
yang berbeda-beda (Lamikanra, 2007).
A. Patofisiologi Anemia pada Penyakit Malaria
Penyebab yang mendasari anemia malaria berat pada manusia dapat
mencakup satu atau lebih dari beberapa mekanisme berikut: (1)
58
penghilangan dan / atau penghancuran sel darah merah yang terinfeksi, (2)
penghilangan Sel darah merah yang tidak terinfeksi, (3) penekanan
erythropoietic dan dyserythropoiesis. Setiap dari mekanisme ini telah
terlibat dalam anemia malaria pada manusia.
Hilangnya sel darah merah yang terinfeksi
Selama infeksi terjadi, ada kehilangan yang jelas dari eritrosit yang
terinfeksi untuk pematangan parasit serta pada saat pengenalan makrofag.
Jalur fagositik untuk manusia dan tikus dapat dilihat pada tabel 1 (CasalsPascual et.al 2006).
Tabel 1. Kenampakan patologis P. Falciparum dan anemia malaria pada manusia dan tikus
(Lamikanra, 2007)
59
Cukup jelas bahwa mekanisme yang sama juga ada untuk hilangnya
eritrosit yang terinfeksi pada manusia dan tikus. Akan tetapi, hilangnya
eritrosit terinfeksi pada manusia dengan parasitemia kurang dari 1%
nampaknya tidak memberikan dampak yang signifikan pada derajat anemia.
Oleh karena itu, penghilangan ini, dapat membuktikan lebih terkaitnya untuk
onset anemia pada individu yang menderita infeski akut, khususnya anakanak dimana parasitemia biasanya lebih besar dari 10% (Lamikanra, 2007).
Penekanan erythropoietic dan dyserythropoiesis
Eritropoiesis normal terganggu selama infeksi malaria. Pengamatan
yang paling awal mengenai eritropoiesis yang berkurang pada manusia yang
menderita malaria akut dibuat lebih dari 60 tahun yang lalu di mana
reticulocytopenia diamati dalam infeksi malaria P vivax dan P falciparum
yang diikuti oleh retikulositosis setelah penghilangan parasit (Vryonis, 1939).
Kemudian, ditunjukkan bahwa jumlah reticulocyte yang rendah pada pasien
dengan malaria di Thailand diikuti dengan penekanan eritropoiesis (CasalsPascual & Roberts, 2006).
Bagian sumsum tulang yang diambil dari anak-anak Gambia dengan
anemia akut mengungkapkan bahwa meskipun peningkatan cellularity tidak
berbeda secara signifikan untuk jumlah total erythroblasts yang diamati
ketika dibandingkan dengan pasien yang tidak terinfeksi, hal ini memberikan
bukti untuk respon erythroid yang ditekan. Anak-anak yang mengalami
anemia kronis (parasitemia < 1%) memiliki kadar erythroid hyperplasia dan
dyserythropoiesis yang lebih tinggi (Abdalla SH, 1990). Dyserythropoiesis
atau secara morfologi dan / atau secara fungsional produksi sel darah merah
abnormal ditunjukkan oleh vacuolasi sitoplasma, stippling, fragmentasi,
jembatan intercytoplasmic, fragmentasi inti, dan multinuclearitas. Hal ini
bertepatan dengan berkurangnya retikulositosis yang mengindikasikan
gangguan fungsional produksi sel darah merah dari sumsum tulang (Abdalla
SH, 1990) (Gambar 2). Dalam penelitian yang lebih kecil dari 6 anak dengan
60
Gambar 2. Pengaruh langsung dan tidak langsung parasit pada perkembangan anemia
malaria
sejumlah
polimorfisme
dalam TNF-promotor
manusia
2002), sementara MIF diproduksi melalui sel T dan makrofag yang diaktifkan
dan menghambat aktivitas anti-inflamasi glukokortikoid (Clark & Cowden,
2003).
IL-12 berada dalam tingkat yang lebih tinggi pada keadaan nonlethal, dibandingkan dengan keadaan lethal, sitokin ini dapat menjadi
stimulator eritropoiesis (Mohan, 1998). Sebaliknya, dengan peningkatan
kadar yang ditemukan selama infeksi, MIF telah terlihat menekan
hematopoiesis (Martiney, 2000).
The Hubungan IL-12 dengan malaria falciparum berat masih kurang
jelas. Beberapa studi mengamati kenaikan moderat IL-12 dan IL-18 pada
pasien dengan anemia berat (Awandare, 2006), yang lain melaporkan
penurunan IL-12 pada pasien dengan malaria berat (Hb <75 g / L [7,5 g /
dL]) dibandingkan dengan kontrol tidak sempurna (Hb> 100 g / L [10 g /
dL]), atau tidak ada peningkatan yang signifikan pada pasien dengan penyakit
berat dibandingkan dengan malaria tanpa komplikasi (Lyke, 2004). Dalam 2
contoh terakhir di atas, anti-inflamasi sitokin seperti TGF atau IL-10 juga
berkurang pada pasien dengan penyakit parah. Sebaliknya, pasien dengan
penyakit akut dan peningkatan kadar IL-12 telah menandai peningkatan IL10 (Malaguamera, 2002). Karena sebagian besar pasien dengan anemia dalam
studi terakhir memiliki rata-rata kadar Hb 90 g / L (9 g / dL) adalah mungkin
bahwa, peningkatan IL-12 berhubungan dengan penurunan tingkat keparahan
anemia malaria berat.
Pengamatan ini menunjukkan kompleksitas respon sitokin, dan juga
menyoroti pentingnya keseimbangan antara sitokin proinflamasi dan
antiinflamasi, yang dapat menjadi pelindung atau merugikan host.
Memahami peran sitokin akan membutuhkan lebih banyak data dari studi
yang kuat untuk memungkinkan penggunaan analisis multivariat yang lebih
canggih yang memungkinkan untuk interaksi yang rumit antara masingmasing faktor.
63
anak-anak Afrika dengan malaria, sintesis Epo memang meningkat lebih dari
yang diharapkan dan itu lebih mungkin bahwa berkurangnya respon terhadap
Epo, bukan tingkat Epo rendah yang tidak tepat, merupakan kontribusi yang
lebih signifikan untuk patologi.
Glukosa-6-fosfat dehidrogenase
tereduksi
NADPH
oleh beberapa
Senyawa
yang
dapat
pentosa
sehingga
fosfat merupakan
pertahanan
satu-satunya
sumber NADPH,
G6PD
Defisiensi
G6PD
diturunkan
sehingga
dapat
memiliki ekspresi
mosaic
genetik
akibat
heterozigot
dapat
stres
kacang
fava. Defi
anemia
hemolitik akut
ikterus neonatorum
apabila eritrosit
siensi
yang
G6PD
biasanya bermanifestasi
sebagai
maupun anemia
hemolitik
non-sferosis kronis.
65
sik berat
defi
siensi
G6PD. Hemolisis akut pada penderita defi siensi G6PD biasa nya ditandai
dengan rasa lemah, nyeri punggung, anemia
dan
ikterus. Terjadi
hemolisis
dengan hemolisis akut pada penderita defisiensi G6PD ( Tabel 1). Obatobat
spesifik penyebab
langsung
G6PD sulit di- tentukan dengan tepat. Pertama, suatu obat yang dinyatakan
aman untuk satu penderita defisiensi G6PD belum
tentu
aman
untuk
pasien
mengkonsumsi
lebih
merupakan
penyebab
pada
hemolisis tersering
dan B,
Cytomegalovirus,
oleh
beberapa faktor antara lain pemberian obat, fungsi hati dan usia. Pada
hemolisis berat, transfusi darah segera memperbaiki luaran. Komplikasi
serius akibat infeksi virus hepatitis pada penderita defisiensi G6PD adalah
gagal ginjal akut; dapat disebabkan nekrosis tubular akut akibat iskemi ginjal
66
maupun
obstruksi tubular
Beberapa pasien
Afrika
dapat
terjadi
respons
individu yang sama tergantung kesehatan pasien dan jumlah kacang fava
yang dikonsumsi. Divicine, isouramil dan convicine diperkirakan sebagai
bahan
anemia
dimana telah terjadi kerusakan menerap jaringan ginjal semua fungsi tersebut
akan terganggu. Anemia hampir selalu dijumpai pada penderita GGK, kecuali
pada jaringan GGK karena ginjal polikistik. Hanya 3% penderita yang
menjalani hemodialisis mempunyai hemoglobin normal dan 25% memerlukan
transfusi berulang. Penurunan hematokrit sudah mulai nampak pada klirens
kreatinin 30-35 ml/menit.
67
2.
3.
4.
rangsangan
untuk
peningkatan
pembentukan
Epo.
Epo
Gangguan eritropoiesis
Defisiensi Epo
Defisiensi fe
Inhibitor uremik
Hiperparatiroid
Intoksikasi aluminium
68
2.
hemolisis
Hipersplenisme
transfusi berulang
Kehilangan darah
Perdarhan karena trombopati
Prosedur hemodialisis
69
menandakan adanya aktifitas imunitas seluler dan mungkin adanya hubungan antaera
aktivasi makrofag anemia. Konsentasi INF-y juga meningkat pada penyakit kronik.
Kadar TNF tergantung pada keganasan dan aktivasinya. Pasien dengan penyakit yang
kadar TNF-nya akan meningkat, walau penyakitnya kadang tidak dapat diketahui.
Sesuai dengan penemuan dan beberapa studi maupun eksperimental, papara kronik
pada TNF dapat menyebabkan anemia.
Interleukin (IL-1) seperti juga TNF adalah sitokin yang mempunyai kerja yang luas di
dalam proses repon imun dan inflamasi. Konsentasi IL-1 juga meningkat pada
arthritis rheumatoid dan penyakit kronik lain yang berhubungan dengan anemia
karena penyakit kronik (ACD = anemia of chronic disease).
Massa sel darah merah secara normal ditentukan oleh umur sel darah merah itu dan
dari kecepatan produksinya. Anemia terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara
kedua faktor tersebut. Pada anemia karena kanker, kedua faktor tersebut sangat
menentukan. Yang paling terpenting adalah adanya kegagalan relatif dari sumsum
tulang dalam meningkatkan prosuksi sel darah merah guna mengimbangi pendeknya
sel darah merah tersebut.
Mekanisme patogenik berikut dirumuskan sebagai yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya anemia yang diperantarai oleh interleukin-1, interferon, dan tumor nekrosis
factor, yaitu :
1.
2.
3.
4.
70
BAB V
ANEMIA MAKROSITIK
5.1 Anemia Megaloblastik
5.1.1 Pendahuluan
Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan
sintesis DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik. Kriteria anemia dan defisiensi
gizi menurut WHO 1972 sebagai berikut:
Dinyatakan Anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada ketinggian permukaan laut
lebih rendah dari nilai pada golongan umur yang ada yaitu :
Anak umur 6 bulan - 6 tahun
:11g/100ml
6 tahun - 14 tahun
:12g/100ml
Priadewasa
:13gr/100ml
:12gr/100ml
: 11 gr/100 ml
Untuk anemia gizi, selain kadar Hb ditambah tolok ukur kadar besi, asam Folat dan
vitamin B12.
Perlu diingat bahwa peningkatan atau penurunan Hb dan hematokrit (Ht)
adakalanya palsu. Keadaan yang dapat meningkat palsu ialah: berkurangnya plasma
71
darah, combusio (luka bakar), diuresis yang berlebihan, dehidrasi. Kadar rendah palsu
contohnya pada keadaan hamil atau dekompensasi jantung.
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh sintesis DNA
yang terganggu. Sel-sel yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif
mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel awal hematopoietik dan epitel
gastrointestinal. Pembelahan sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik
normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi besar dengan peningkatan
rasio dari RNA terhadap DNA; Sel-sel awal/pendahulu eritroid megaloblastik
cenderung dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian selularitas
sumsum tulang sering meningkat tetapi sroduksi sel darah merah berkurang,
dan keadaan abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesis yang tidak efektif
(ineffective erythropoiesis). Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena
defisiensi vitamin B12 (kobalamin) dan atau asam folat.
Berbagai macam keadaan klinik yang berkaitan dengan anemia megaloblastik dapat
diklasifikasikan seperti yang tertera berikut ini:
5.1.2. Klasifikasi Anemia Megaloblastik
a.
Defisiensi Kobalamin
Malabsorbsi
- Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan: achlorhidria gaster,
gastrektomi, obat-obat yang menghalangi sekresi asam
- Produksi faktor intrinsik yang tak rriencukupi: anemia pernisiosa,
Gastrektomi total, Abnormalitas fungsional atau tak adanya faktor
intrinsik yang bersifat kongenital.
- Gangguan dari ileum terminalis: sprue tropikal, sprue non tropikal,
enteritis regional, reseksi intestinum, neoplasma dan gangguan
72
Asupan yang tak adekuat: diet yang tak seimbang (sering pada peminum alkohol,
Terganggu:
pengharabat
dihydrofolat
reductase
antagonis
purin
(6
73
74
vitamin B12 disebabkan karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda
dalam sumsum tulang.
Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk dari N5-metiltetrahidrofolat,
suatu monoglutamat, yang ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang
khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di dalam sel, gugus N5-metil
dilepas ke dalam reaksi kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah
menjadi bentuk poiiglutamat. Konjugasi pada polyglutamate mungkin berguna
untiik penyimpanan folat di dalam sel.
Dcatan folat dengan protein tampak dalam plasma, susu, dan cairan tubuh lain.
Fungsi ikatan folat dan ikatan dengan membran perintisnya hingga kini belum
diketahui. Baik bentuk ikatan maupun perintisnya ada kaitannya dengan
pengangkutan tetrahidrofolat.
Fungsi utama senyawa folat ialah memindahkan "1-karbon moieties" seperti
gugus-gugus metil dan formil ke berbagai senyawa organik. Sumber dari "1-karbon
moieties" biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan
tetrahidrofolat
(dTMP),
75
disintesis
dari
N5-10
adalah
vitamin
yang
mempunyai
susunan
komponen
organometalik yang kompleks, di mana atom cobalt terletak dalam inti cincin,
suatu struktur yang mirip bentuk porfirin dari mana Heme dibentuk. Tidak
seperti heme, namun kobalamin tidak dapat disintesis dalam tubuh manusia dan
harus di penuhi dari makanan. Sumber utama hanya dari daging dan susu.
Keperluan minimum sehari untuk kobalamin kurang lebih 2,5 ug.
Selama pencernaan dalam lambung, kobalamin dalam makanan dikeluarkan
dalam bentuk-bentuk kompleks yang stabil dengan pengikat gaster R, salah satu
76
77
transfer
metil.
Ini
yang
disebut
hipotese
folat
trap.
Karena
N5-
metiltetrahidrofolat adalah substrat yang tak baik untuk enzim konjugasi, keadaan ini
sebagian besar tetap dalam bentuk tak terkonjugasi dan dengan pelan pelan keluar dari
sel. Karenanya defisiensi folat di jaringan akan terjadi, dan ini akan menimbulkan
hematoporesiv megaloblastik. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa simpanan
folat jaringan pada defisiensi kobalamin secan substansial, maka dengan penurunan
yang tidak seimbang dalam konjugasi, bila dibanding dengan folat yang tidak
terkonjugasi, meskipun kadar serum folat normal atau supranormal. Ini dapat pula
menerangkan mengapa dengan pemberian folat besar dapat menghasilkan remis:
hematologik parsial pada pasien dengan defisu kobalamin.
Kadar plasma hemosistein meningkat pada defisiena folat dan kobalamin, dan kadar
yang tinggi dari homosiste:-plasma tampaknya merupakan faktor risiko untuk kej a
trombosis vena dan arteri. Hingga kini belum diket: bahwa hiperhomosistein yang
78
CoA.
Seb^;-konsekuensi,
maka
asam
lemak
nonfisiologi:
mengandung sejumlah atom karbon yang berlebihan akjr disintesis dan bergabung
menjadi Lipid neuron
79
Tidak jarang kombinasi defisiensi kobalamin dan asam folat dapat terjadi. Pada
para pasien " tropical sprue " sering timbul defisiensi kedua vitamin tersebut.
Lesi biokimiawi sebagai akibat dalam maturasi megaloblastik dari sel sel
sumsum tulang juga dapat mengakibatkan abnormalitas fungsional dan struktural dari
sel sel epitel yang cepat berproliferasi dari mukosa intestinum. Jadi defisiensi yang
berat dari salah satu vitamin dapat mengakibatkan malabsorbsi.
Anemia megaloblastik dapat pula dipengaruhi oleh faktor- faktor yang tak ada
kaitannya dengan defisiensi vitamin. Kebanyakan dari penyebab tersebut dikarenakan
obat-obat yang mengganggu sintesis DNA. Meskipun kurang sering, maturasi
megaloblastik dapat merupakan gambaran defek sel induk hematopoietik yang didapat.
Dan sangat jarang ialah adanya defisiensi enzim spesifik yang kongenital.
Defisiensi Kobalamin
Gambaran klinis defisiensi kobalamin melibatkan darah, trakrus gastrointestinal, dan
sistema nervorum.
Manifestasi hematologis sepenuhnya selalu berakibat anemia, meskipun sangat
jarang purpura, dapat pula tampak, karena trombositopeni. Keluhan dari anemia
dapatterungkap seperti rasa lemah, nyeri kepala ringan, vertigo, tinitus, palpitasi,
angina dan keluhan yang berkaitan dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda
fisik dari pasien dengan defisiensi kobalamin yaitu pucat, dengan kulit sedikit
kekuningan begitu juga mata. Peningkatan kadar bilirubin ada kaitannya dengan
tingginya pelipat gandaan sel sel eritroid dalam sumsum tulang. Nadi denyutnya
cepat, dan jantung mungkin membesar, pada auskultasi biasanya terdengar bising
sistolik.
Manifestasi gastrointestinal karena defisiensi kobalamin akan ada
keluhan nyeri lidah, yang pada inspeksi tampakpapil lidah halus dan kemerahan.
Keluhan lain yaitu anorexia dengan turunnya berat badan, kemungkinan
bersamaan dengan diare dan Iain-lain keluhan gastrointestinal. Manifestasi yang
80
terakhir ini mungkin merupakan bagian dari megaloblastosis dari epitel usus halus,
yang mengakibatkan malabsorbsi.
Manifestasi
gangguan
neurologis,
sering
mengakibatkan
gagal
Hal yang serupa yaitu para pasien yang mengalami berkurangnya produksi asam
lambung karena obat-obatan, seperti omeprazol, dapat juga mengganggu pelepasan
kobalamin dari makanan. Namun, "proton pump inhibitor" tidak menghambat sekresi
faktor intrinsik dari sel-sel parietal.
5.2 Anemia Pernisiosa
Anemia pemisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai penyebab defisiensi
kobalamin. Ini disebabkan karena tidak adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari
mukosa maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk or-ang orang Asia hal
tersebut jarang terjadi. Ini merupakan penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang
untuk usia di bawah 30 tahun, meskipun anemia pernisicia yang khas dapat terjadi
pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile pernicious anemia). Adanya kondisi
kelainan yang diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan
mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal maupun sama sekali tidak disekresi
akan mengakibatkan dsfisiensi pada bayi atau anak sangat muda.
Kejadian anemia pernisiosa secara substansial meningkat pada penyaikit
penyakit imunologik, termasuk penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi
adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipcp aratiroidisme. Pasien anemia pernisiosa
juga mempvr yai antibodi dalam sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan
penyakitnya: yaitu 90% mempunyai antibodi sel antiparietal, yang langsung
melawan H+, K+-ATPase, sedangkan 60% mempunyai antibodi antifaktor intrinsik.
Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50% para pasien atrofi gaster tanpa
anemia pernisiosa, demikian pula terdapat pada 10 sampai 15% dari populasi pasien
yang tak diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik biasanya tidak ada pada para
pasien tersebut. Sanak keluarga dari para pasien anemia pernisiosa terdapat
peningkatan kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena kemungkinan
juga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik dalam
serumnya.
Akhirnya
82
Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapat juga mempunyai andil dalam
destruksi sel sel parietal. Anemia pernisiosa tidak jarang terdapat pada para pasien
dengan agammaglobinemia. Hal ini menunjang peran pada sistem imun seluler sebagai
patogenesisnya. Dan berbeda dengan Helicpbacter pylori yang tidak mengakibatkan
destruksi sel parietal pada anemia pernisiosa.
Ciri yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah atrofi lambung yang
mempengaruhi bagian yang mensekresi asam dan pepsin dari lambung; terkecuali
antrum. Perubahan patologis lain, adalah defisiensi kobalamin sekunder; ini
termasuk perubahan megaloblastik dalam lambung dan epitel intestinum
danperubahan neurologik. Abnormalitas epitelium gaster tampak sebagai cellular
atypia dalam preparat sitologik lambung, dapatan ini harus dibedakan dengan hati
hati dari abnormalitas yang tampak pada keganasan.
Pasca Gastrektomi
Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang luas karena bahan obat yang
merusak, maka akan terjadi anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah
dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi kobalamin yang diberikan oral
akan terganggu. Anemia megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomi parsial,
yang sebabnya belum jelas.
Organisme Intestinal
Anemia megaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi anatomik (striktur,
divertikel, anastomosis, blind loops) atau pseudo obstruksi (diabetes melitus,
skleroderma, amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari sejumlah besai'
kumpulan bakteri dalam usus haius yang mengkonsumsi kobalamin intestinal
sebelum diabsorbsi. Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan
demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu bila intestinum dihuni lebih
banyak oleh kolonisasi bakteri. Respons hematologis tslah diabsorbsi setelah
pemberian antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia megaloblastik
83
dapat dijumpai pada orang-orang pengidap cacing pita karena adanya kompetisi dari
cacing dalam memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita tersebut maka
problerna tersebut dapat diatasi.
Abnormalitas lleum
Definisi kobalamin sering dijumpai pada "tropical sprue", sedangkan hal ini
merupakan komplikasi yang diluar kebiasaan dari "nontropical sprue" (glutensensitive en-teropathy). Sebenamya tiap gangguan yang bersamaan dengan
kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat menimbulkan defisiensi kobalamin.
Keadaan khusus yaitu termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan
tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh suatu penyakit dapat
mengakibatkan anemia megaloblastik tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi
intestinal seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga tampak setelah
reseksi ileum.
SindromZollinger-Elison (hiperasiditas lambung yang hebat karena tumor
yang mensekresi gastrin dapat mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh
pen^.isam&n' usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan R ke faktor
intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-FI komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis
kronik dapat juga mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya selalu
ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis. Akhirnya, gangguan
kongenital
yang
jarangdijumpai,
yaitupenyakitImerslund-Grasbeck,
yang
melibatkan suatu defek yang selektif dalam absorbs kobalamin yang bersamaan
dengan proteinuri. Para individu yang mempunyai suatu mutasi cubulin, yaitu
suatu reseptor yang menjad iperantara absorbsi intestinal dari kompleks kobalamin-FI.
Nitrous Oxide
Menghirupnitrous oxide sebagai obat bius menghancurkan kobalamin yang
endogen.Pemakaian seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak cukup
untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis, tetapi pemakaian
84
berulang
atau yang berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang
85
BAB VI
ANEMIA APLASTIK
6.1. Definisi
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan
sumsum tulang dengan penurunan sel sel hematopoietik dan penggantiannya oleh
lemak, menyebabkan pansitopenia, dan sering disertai dengan granulositopenia dan
trombositopenia. Terjadinya anemia aplastik dapat dikarenakan faktor herediter
(genetik), faktor sekunder oleh berbagai sebab seperti toksisitas, radiasi atau reaksi
imunologik pada sel sel induk sumsum tulang, berhubungan dengan beragam
penyakit penyerta, atau faktor idiopatik.4
Pansitopenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi defisiensi pada semua
elemen sel darah, yakni erythropenia, leukopenia, dan thrombocytopenia. Individu
dengan anemia aplastik mengalami pansitopenia. Penyebab terjadinya pansitopenia
dikarenakan :
mieloma;
infiltrasi
86
oleh
limfoma,
tumor
padat,
tuberkulosis;
anemia
megaloblastik;
hemoglobinuria
paroksismal
6.2. Etiologi
Secara etiologik penyakit anemia aplastik ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar,
yaitu:
1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan merupakan
faktor kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan sumsum tulang
herediter antara lain : sindroma Fanconi (anemia Fanconi) yang biasanya
disertai dengan kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali
jari, dan kelainan ginjal; diskeratosis kongenital; sindrom ShwachmanDiamond; dan trombositopenia amegakaryositik. Kelainan kelainan ini
sangat jarang ditemukan dan juga jarang berespons terhadap terapi
imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter biasanya muncul pada
usia sepuluh tahun pertama dan kerap disertai anomali fisik (tubuh pendek,
kelainan lengan, hipogonadisme, bintik-bintik caf-au-lait pada anemia
Fanconi (sindroma Fanconi)). Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat
keluarga dengan sitopenia.
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah penyakit
yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma Fanconi)
merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA
repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Pada
pasien anemia Fanconi (sindroma Fanconi) akan ditemukan gangguan resesif
langka dengan prognosis buruk yang ditandai dengan pansitopenia, hipoplasia
sumsum tulang, dan perubahan warna kulit yang berbercak bercak coklat
akibat deposisi melanin (bintik bintik caf-au-lait).1,2
Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan
secara klasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi
87
penting
untuk
stabilisasi
telomerase.
Gangguan
telomerase
gen
C-MPL.
amegakaryositik
Banyak
diwariskan
diantara
mengalami
penderita
kegagalan
trombositopenia
sumsum
tulang
multilineage.1,2
Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif yang
ditandai dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan
kegagalan sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi),
penderita sindrom Shwachman-Diamond juga mengalami peningkatan resiko
terjadinya myelodisplasia atau leukemia pada usia dini. Belum ditemukan lesi
genetik yang dianggap menjadi penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di
kromosom 7 telah dikaitkan dengan penyakit ini. 1,2
2. Anemia aplastik didapat
Timbulnya anemia aplastik didapat pada seorang anak dapat dikarenakan
oleh :
Penggunaan
obat,
anemia
aplastik
terkait
obat
terjadi
karena
pematangannya.
Terapi radiasi dengan radioaktif dan pemakaian sinar Rontgen.
Faktor iatrogenik akibat transfusion associated graft-versus-host
disease.1,2
Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia aplastiknya, maka
pasien tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok anemia aplastik idiopatik. 1,2
6.3. Klasifikasi
89
< 25%
Selularitas sumsum tulang
6.4. Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak anak menderita anemia aplastik derajat
berat pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara anak laki
laki dan perempuan, namun dalam beberapa penelitian tampak insidens pada anak
laki laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Penyakit ini termasuk
penyakit yang jarang dijumpai di negara barat dengan insiden 1 3 / 1 juta / tahun.
Namun di Negara Timur seperti Thailand, negara Asia lainnya termasuk Indonesia,
Taiwan dan Cina, insidensnya jauh lebih tinggi. Penelitian pada tahun 1991 di
Bangkok didapatkan insidens 3.7/1 juta/tahun. Perbedaan insiden ini diperkirakan
oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian obat obat yang tidak pada
tempatnya, pemakaian pestisida serta insidens virus hepatitis yang lebih tinggi.1
90
91
92
Pada anemia aplastik, sel sel CD34+ dan sel sel induk (progenitor)
hemopoietik sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid
(granulositik, eritroid dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini,
defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya normal pada
hampir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Dan pemulihan
hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif.
Oleh karena itu, sel sel asal hemopoietik akan tampak masih ada pada sebagian
pasien anemia aplastik. 2
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34 +
yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan
penghentian siklus sel (cell-cycle arrest). Sel sel T dalam tubuh pasien membunuh
sel sel asal hemopoietik dengan aktivasi HLA-DR-restricted melalui ligan Fas. Sel
sel asal hemopoietik yang paling primitif tidak atau sedikit mengekspresikan HLADR atau Fas, dan ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel sel asal. Oleh
karena itu, sel sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari
10% sel sel CD34+ total, relatif tidak terganggu oleh sel sel T autoreaktif; dan di
lain pihak, sel sel asal hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama
serangan sel sel imun. Sel sel asal hemopoietik primitif yang selamat dari
serangan autoimun memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan lahan yang
terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.2
93
94
Pada hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi
dan pada hasil penelitian Salonder tahun 1983 ditemukan pucat pada semua pasien
yang diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien.
Hematomegali yang disebabkan oleh bermacam macam hal ditemukan pada
sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan. Adanya splenomegali
dan limfadenopati akan meragukan diagnosis anemia aplastik.2
Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik (N=70) (Salonder, 1983)
Jenis Pemeriksaan Fisik
%
Pucat
100
Perdarahan
63
34
Kulit
26
Gusi
20
Retina
7
Hidung
6
Saluran cerna
3
Vagina
16
Demam
7
Hepatomegali
0
Splenomegali
2
pertama.2
Faal Hemostasis
Pada pasien anemia aplastik akan ditemukan waktu perdarahan
memanjang dan retraksi bekuan yang buruk dikarenakan trombositopenia.
96
Pemeriksaan Virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor didapat, maka
pemeriksaan virologi perlu dilakukan untuk menemukan penyebabnya.
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis,
imunofenotipik
dengan
flow
cytometry
diperlukan
untuk
6.8. Diagnosis
6.8.1. Penegakan Diagnosis dan Manifestasi Klinis
Penegakan diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat,
perdarahan, tanpa adanya organomegali (hepato splenomegali). Gambaran darah tepi
menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan
pemeriksaan biopsi sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak
jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem eritropoitik, granulopoitik dan
trombopoitik. Di antara sel sumsum tulang yang sedikit ini banyak ditemukan
limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel). Hendaknya dibedakan
antara sediaan sumsum tulang yang aplastik dan yang tercampur darah.1
Anemia aplastik dapat muncul tiba tiba dalam hitungan hari atau secara
perlahan (berminggu minggu hingga berbulan bulan). Hitung jenis darah akan
menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan kelelahan, dispnea dan jantung
98
paroksismal,
dan
karyotyping
sumsum
tulang
dapat
membantu
%
83
30
69
36
33
29
26
23
19
13
2
99
atau ada peningkatan megakariosit sedangkan pada PTA tidak atau kurang
ditemukan megakariosit.
2. Leukemia akut jenis aleukemik, terutama Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
dengan jumlah leukosit yang kurang dari 6000/mm 3. Kecuali pada stadium
dini, biasanya pada LLA ditemukan splenomegali. Pemeriksaan darah tepi
sukar dibedakan, karena kedua penyakit mempunyai gambaran yang serupa
(pansitopenia dan relatif limfositosis) kecuali bila terdapat sel blas dan
limfositosis yang dari 90%, diagnosis lebih cenderung pada LLA.
3. Stadium praleukemik dari leukemia akut.
Keadaan ini sukar dibedakan baik gambaran klinis, darah tepi maupun
sumsum tulang, karena masih menunjukkan gabaran sitopenia dari ketiga
sistem hematopoietik. Biasanya setelah beberapa bulan kemudian baru terlihat
gambaran khas LLA.
100
6.9. Penatalaksanaan
Terapi Suportif
102
DAFTAR PUSTAKA
103
Penyakit
Dalam
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia.Jakarta.2006.Hal:627-633.
2. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss.Anemia Aplastik dan Kegagalan
Sumsum Tulang.Kapita Selekta Hematologi.Edisi IV.EGC.Jakarta.2006.Hal:
83-87.
3. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss.Kapita Selekta Hematologi.Edisi
VI.EGC.Jakarta.2006.Hal: 13-67, 269-270.
4. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2005
5. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson.Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Volume I.Edisi VI.EGC.Jakarta.2006.Hal: 258-260.
6. Ugrasena, IDG.Anemia Aplastik.Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak
IDAI.Cetakan Kedua.Badan Penerbit IDAI.Jakarta.2006.Hal:10-15.
104