Anda di halaman 1dari 104

BAB I

PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di
seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% jumlah
penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia. Kelainan ini mempunyai
dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala
dari berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu penentuan penyakit dasar juga
penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang
mendasari, anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas.
Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia yang dibuat oleh Divisi
Standar Pendidikan Kolegium Dokter Indonesia, dokter umum diharapkan dapat
menegakkan diagnosis anemia (defisiensi besi, megaloblastik, aplastik, hemolitik)
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Untuk anemia defisiensi
besi, dokter umum harus mampu melakukan penanganan. Untuk anemia
megaloblastik, aplastik, hemolitik, dokter umum hanya sampai tahap merujuk serta
mengetahui komplikasi penyakit tersebut. Oleh karena itu, dalam referat ini akan
dibahas mengenai keempat jenis anemia tersebut.

BAB II
ASPEK UMUM ANEMIA
2.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
2.2 Kriteria
Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi

secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia,

kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.


Kriteria anemia menurut WHO adalah:
NO
1.
2.
3.

KELOMPOK
Laki-laki dewasa
Wanita dewasa tidak hamil
Wanita hamil

KRITERIA ANEMIA
< 13 g/dl
< 12 g/dl
< 11 g/dl

2.3 Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi
morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.
No
Morfologi Sel
1. Anemia makrositik
- normokromik

Keterangan
Bentuk eritrosit yang

Jenis Anemia
- Anemia Pernisiosa

besar dengan

- Anemia defisiensi folat

konsentrasi hemoglobin

2.

3.

Anemia mikrositik

yang normal
Bentuk eritrosit yang

- Anemia defisiensi besi

- hipokromik

kecil dengan

- Anemia sideroblastik

konsentrasi hemoglobin

- Thalasemia

Anemia normositik

yang menurun
Penghancuran atau

- Anemia aplastik

- normokromik

penurunan jumlah

- Anemia posthemoragik

eritrosit tanpa disertai

- Anemia hemolitik

kelainan bentuk dan

- Anemia Sickle Cell

konsentrasi hemoglobin

- Anemia pada penyakit


kronis

Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu


gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan
pematangan sel darah merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan penurunan waktu
hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis).
1. Hipoproliferatif
Hipoproliferatif

merupakan

penyebab

anemia

yang

terbanyak.

Anemia

hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena:


a. Kerusakan sumsum tulang
Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif
(contohnya: leukemia, limfoma), dan aplasia sumsum tulang.
b. Defisiensi besi
c. Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat
Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal
d. Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi (misalnya:
interleukin 1)
e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan
hipotiroid)

Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun
dapat pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada
defisiensi besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan
tersebut dapat dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat
besi.

Fe serum
TIBC
Saturasi transferin
Feritin serum

Defisiensi besi
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah

Inflamasi
Rendah
Normal atau rendah
Rendah
Normal atau tinggi

2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang
rendah, gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks
eritrosit yang abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2
macam yaitu:
a. Gangguan pematangan inti
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik.
Penyebab dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat,
defisiensi vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA
(seperti metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga
dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih
disebabkan oleh defisiensi asam folat.
b. Gangguan pematangan sitoplasma
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan
hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah
defisiensi besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada
thalasemia), dan gangguan

sintesa heme (misalnya pada anemia

sideroblastik)

3. Penurunan waktu hidup sel darah merah


Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada
kedua keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan
darah dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan
peningkatan retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya
peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada
fase kronis gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi.
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun
kronis. Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien
datang bukan karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi
yang ditimbulkan oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama,
seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang
disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara episodik (self
limiting).

Gambar 1: klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit


5

2.4 Gejala Klinis


Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya
anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia
yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik
untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.
Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor:
-

Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan


Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif )
Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme

kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada
kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g
%, pada kadar Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika terjadi gangguan
mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung yang mendasarinya. Gejala
utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat, fatigue, gejala
dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring in
the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi
yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/atau infark miokard).
Anemia yang disebabkan perdarahan akut berhubungan dengan komplikasi
berkurangnya volume intraseluler dan ekstraseluler. Keadaan ini menimbulkan gejala
mudah lelah, lassitude (tidak bertenaga), dan kram otot. Gejala dapat berlanjut
menjadi postural dizzines, letargi, sinkop; pada keadaan berat, dapat terjadi hipotensi
persisten, syok, dan kematian.
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis anemia
adalah:
6

1. Complete Blood Count (CBC)


A. Eritrosit
a. Hemoglobin (N : 12-16 gr/dl ; : 14-18 gr/dl)
b. Hematokrit (N : 37-47% ; : 42-52%)
B. Indeks eritrosit
a. Mean Cell Volume (MCV) =

hematokrit x 10
Jumlah eritrosit x 10 6

(N: 90 + 8 fl)
b. Mean Cell Hemoglobin (MCH) =

hemoglobin x 10
Jumlah eritrosit x 10 6

(N: 30 + 3 pg)
c. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) =

hemoglobin x 10
Hematokrit

(N: 33 + 2%)
C. Leukosit (N : 4500 11.000/mm3)
D. Trombosit (N : 150.000 450.000/mm3)
2. Sediaan Apus Darah Tepi
a. Ukuran sel
b. Anisositosis
c. Poikolisitosis
d. Polikromasia
3. Hitung Retikulosit ( N: 1-2%)
4. Persediaan Zat Besi
a. Kadar Fe serum ( N: 9-27mol/liter )
b. Total Iron Binding Capacity ( N: 54-64 mol/liter)
c. Feritin Serum ( N : 30 mol/liter ; : 100 mol/liter)
5. Pemeriksaan Sumsum Tulang

a. Aspirasi
-

E/G ratio

Morfologi sel

Pewarnaan Fe

b. Biopsi
-

Selularitas

Morfologi

I. Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC)


Kriteria apakah seseorang menderita anemia dapat dilihat dari kadar hemoglobin
dan hematokritnya. Selain itu, indeks eritrosit dapat digunakan untuk menilai
abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sintesa hemoglobin.
Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai
makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam
sintesa hemoglobin (hipokromia)
II. Sediaan Apus Darah Tepi (SADT)
SADT akan memberikan informasi yang penting apakah ada gangguan atau defek
pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan ukuran eritrosit
yang bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari
eritrosit yang beraneka ragam.
III. Hitung Retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi
anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari
sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme
dalam waktu 24-36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal

retikulosit 1-2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari


jumlah sel darah merah di sirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai
retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien
berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit
prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit
prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolaholah tinggi.
RI = (% retikulosit x kadar hematokrit/45%) x (1/ faktor koreksi)

Faktor koreksi untuk:


Ht 35% : 1,5
Ht 25% : 2,0
Ht 15% : 2,5
Keterangan:

RI < 2-2,5% : produksi atau pematangan eritrosit yang tidak

adekuat
RI > 2,5% : penghancuran eritrosit yang berlebihan
IV. Persediaan dan Penyimpanan Zat Besi
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC
dikali 100 (N: 25-50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi
transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pk 09.00 dan pk.
10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun,
feritin juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik
akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
9

V. Pemeriksaan Sumsum Tulang


Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada
sumsum tulang misalnya myelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit
infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel
(myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dari hitung jenis sel-sel berinti pada
suumsum tulang (ratio eritroid dan granuloid).

10

BAB III
ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROM
3.1 Anemia Defisiensi Besi
3.1.1 Definisi
Anemia

defisiensi

besi

adalah

anemia

yang

timbul

akibat

berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoietik , karena cadangan besi


kosong, sehingga pembentukan hemoglobin berkurang. Berbeda dengan
anemia akibat penyakit kronik, berkurangnya penyediaan besi untuk
eritropoietik terjadi akibat pelepasan besi dari system retikuloendotelial yang
berkurang, sementara cadangan besi normal. Namun, kedua jenis anemia ini
merupakan anemia dengan gangguan metabolisme besi.
3.1.2 Epidemiologi
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan jenis anemia yang paling
banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang, termasuk di indonesia.
Sebanyak 16-50 % laki-laki dewasa di Indonesia menderita ADB dengan
penyebab terbanyak yaitu infeksi cacing tambang (54%) dan hemoroid (27%).
25-48 % perempuan dewasa di Indonesia menderita ADB dengan penyebab
terbanyak menorraghia (33%) , hemoroid (17%) dan infeksi cacing tambang
(17%). 46-92 % wanita hamil di Indonesia menderita ADB.

3.1.3 Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan
besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan kronik :
1. Faktor nutrisi

11

kurangnya jumlah besi atau bioavailabilitas ( kualitas ) besi dalam


asupan makanan misalnya ; makanan banyak serta, rendah daging,
rendah vitamin C.
2. Kebutuhan besi meningkat
prematuritas, anak dalam masa petumbuhan dan kehamilan
3. Gangguan absorbsi besi
gastrektomi, colitis kronik
4.

Perdarahan kronik
saluran cerna ; tukak peptic, konsumsi NSAID, salisilat, kanker
kolon, kanker lambung, divertikulosis, infeksi cacing tambang,
hemoroid
saluran genitalia wanita ; menoraghia, mtroraghia
saluran kemih ; hematuria
saluran nafas ; hemoptoe

3.1.4 Metabolisme Besi

12

3.1.5 Patogenesis dan Patofisiologi :


Perubahan Fungsional
Anemia
Iron Depleted Stated
Cadangan besi menurun
namun, eritropoietik belum
terganggu

feritin serum l
pengecatan besi pada
sumsum tulang negatif
absorbsi besi melalui
usus l

Iron Deficient Eritropoietic


Cadangan besi kosong dan
eritropoietik terganggu
namun, gejala anemia belum
manifes

Free protophorfirin l
TIBC l

Iron Deficiency Anemia


Eritropoietik sangat
terganggu, kadar Hb menurun
sehingga gejala anemia
bermanifes

Anemia hipokrom
mikrositer
Gejala klinik anemia

Anemia
Defisiensi Besi
Perubahan Fungsional NonAnemia
Sistem Neuromuskuler
l Fe l mioglobin, enzim sitokrom, gliserofosfat
gangguan gilkolisis l asam laktat kelelahan otot
Gangguan mental dan kecerdasan
l Fe gangguan enzim aldehidoksidase & enzim
monoaminooksidase l serotonin & katekolamin di
otak
Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi
l Fe l enzim untuk sintesis DNA dan enzim
mieloperoksidase netrofil l imunitas seluler
Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang
dikandung
l Fe l angka kematian maternal, gangguan partus,
risiko prematuritas, morbiditas & mortalitas fetus
13

(Sumber

http://calgaryguide.ucalgary.ca/slide.aspx?slide=Iron

Deficiency

Anemia.jpg)
3.1.6 Manifestasi Klinik
Gejala umum anemia
o Gejala ini baru akan timbul apabila terjadi penurunan kadar
hemoglobin hingga 7-8 gr/dl
o Lemah, lesu, lelah, mata berkunang-kunang dan telinga berdenging
Gejala khas defisiensi besi

14

o Koilonichya (spoon nail) yaitu kuku yang cekung seperti sendok,


memiliki garis-garis vertikal dan rapuh
o Atrofi papil lidah sehingga permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap
o Stomatitis angularis (cheilosis) yaitu adanya radang pada sudut mulut
berupa bercak keputihan
o Disfagia
o Atrofi mukosa gaster
o Pica ; keinginan makan makanan yang tidak lazim seperti tanah liat,
lem dll
Gejala penyakit dasar
o Gejala tergantung penyebab dasar yang menimbulkan anemia
o Pada infeksi cacing tambang terdapat gejala dispepsia, parotis yang
membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami
o Anemia akibat kanker kolon dapat disertai oleh gangguan BAB

3.1.7 Penegakan Diagnosis


Terdapat tiga tahap diagnosis anemia defisiensi besi, yaitu :
1. Penentuan adanya anemia
Anemia secara klinis dapat memberikan beberapa gambaran, yang
disebut sebagai sindroma anemia yakni badan lemah, letih, leu, cepat
lelah, mata berkunang-kunang, telinga sering berdenging. Namun,
biasanya, gejala simptomatis ini ditemukan apabila kadar Hb < 7 g/dl.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan anemis pada konjutiva dan
jaringan bawah kuku.Berdasarkan kadar hemoglobin, kriteria anemia
menurut WHO

( Hoffbrand AV, 2001) :

Kelompok
Laki-laki dewasa

Kriteria anemia ( Hb)


< 13 g/dl

15

Wanita dewasa tidak hamil


Wanita dewasa hamil

< 12 g/dl
< 11 g/dl

2. Penentuan defisiensi besi sebagai penyebab anemia


Manifestasi klinis yang khas untuk anemia defisiensi besi adalah ;

Atrofi papil lidah ; permukaan lidah licin, mengkilap karena


papil lidah hilang

Stomatitis angularis ; radang pada sudut mulut

Disfagia akibat kerusakan epitel hipofaring

Koilonichya ; kuku sendok ( spoon nail ), kuku rapuh, bergarisgaris vertical dan menjadi cekung sehingga mirip sendok

Atrofi mukosa gaster

Pica ; makan yang tidak lazim seperti tanah liat, es, lem dll

Secara laboratorium, untuk menegakan diagnosis defisiensi besi ( modifikasi


kriteri Kerlin, et al ) yaitu :
Anemia hipokrom mikrositik pada apusan darah tepi , atau MCV < 80 fl,
dan MCHC < 31 % dengan salah satu dari criteria berikut :

2 dari 3 parameter berikut :


Besi serum < 50 mg/dl
TIBC > 350 mg/dl
Saturasi transferin < 15 %

Feritin serum < 20 mg/l

Pengecatan besi sumsum tulang negative

Pemberian SF 3 x 200 mg/hari selama 4 minggu dapat


meningkatkan kadar Hb > 2 gr.dl

3. Penentuan penyebab dasar timbulnya anemia defisiensi besi


16

Gejala klinis tergantung pada penyeakit dasar yang menyertai. Pada anemia
yang disebabkan oleh penyakit cacing tambang, ditemukan dyspepsia, parotis
membengkak, dan kulit telapak tangan kuning seperti jerami. Apada anemia
akibat perdarahan kronik akibat kanker kolon akan ditemukan keluhan BAB .
Apabila dicurigai penyakit cacing tambang, dilakukan pemeriksaan
feses untuk mencari telur cacing. Pada kecurigaan perdarahn sementara tidak
ditemukan perdarahan nyata, maka dapat dilakukan tes darah samar ( occult
blood test ) pada feses, dapat juga dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau
bawah jika ada indikasi.
3.8 Diagnosis Banding
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya seperti :
anemia penyakit kronik, thalasemia, anemia sideroblastik. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dari bagan dibawah ini :
Anemia

Anemia

defisiensi

akibat

besi

penyakit

Derajat

Ringan

kronik
ringan

anemia

sampai

MCV
MCH
Besi serum

berat
menurun
menurun
Menurun

Menurun/N Menurun
Menurun/normal
Menurun/N menurun
Menurun/normal
Menurun < Normal/meningkat Normal/meningkat

TIBC

<30
Meningkat

50
Menurun < Normal/menurun

Saturasi

>360
300
Menurun < Menurun/

transferin
15
Besi sumsum negatif

Trait thalasemia

Anemia
sideroblastik

ringan

Ringan

sampai

berat

N 10-20 %
positif
17

Normal/menurun

Menigkat > 20 %

Meningkat > 20 %

Positif kuat

Positif

dengan

tulang
Protoforpirin

meningkat

eritrosit
Feritin serum

Menurun < Normal 20- Meningkat > 50

Meningkat > 50

Elektroforesis

20
normal

normal

meningkat

200
normal

normal

Hb A2 meningkat

ring sideroblast
normal

Hb

3.1. 9 Terapi
Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi
terhadap anemia defisiensi besi adalah :
-

Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan


cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menoraghia. Terapi kausal
harus dilakukan. Kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.

Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy)

1. Memberikan diet kaya kalori, protein dan zat besi


2. Memberikan preparat besi

Preparat besi oral:


- sulfas ferrosus 4 x 1 tab
- Ferrous fumarat 4 x 1 tab dan ferrous glukonat 3 x 1
Pemberian preparat besi ini dilanjutkan 4-6 bulan sesudah hb

normal.

Obat ini aman digunakan, hanya kadang-kadang dapat memberikan efek


samping berupa nyeri epigastrium, konstipasi dan diare.

Pemberian preparat besi parentaral


Hanya dianjurkan pada penderita yang mengalami intoleransi
gastrointestinalberupa mual muntah. Preparat besi parenteral yang lazim
digunakan adalah interferon, jectofer, venofer.

3. Mengatasi penyebabnya.
18

3.2.1 Anemia Pada Penyakit Kronis


Anemia sering di jumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi
kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai
oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut anemia pada penyakit
kronis. Diketahui dikemudian hari bahwa penyakit infeksi seperti pneumonia,
sifilis, HIV-AIDS dan juga pada penyakit lain seperti artritis reumatoid,
limfoma hodgkin dan kanker sering disertai anemia.
Pada umumnya anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 711 g/Dl, Kadar Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah
berkurang.
3.2.2 Etiologi
Menurut laporan/data penyakit tuberkulosis, abses paru, endokarditis
bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV membuktikan
bahwa hampir semua infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Untuk
terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan
menetap, serta terjadi keseimbangan antara produksi dan penghancuran eritrosit
dan Hb menjadi stabil.
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti pada
infeksi kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit
kolagen dan artritis reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis
regional, kolitis ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai
anemia pada penyakit kronis.
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun
masih dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma.
Anemia ini biasanya disebut dengan anemia pada kanker (cancer-related
anemia)

19

3.2.3 Patogenesis
Pemendekan masa hidup eritrosit
Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stre
hematologik (haematological stress syndrome), dimana terjadi produksi sitokin
yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau
kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga
mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpha,
menekan produksi eritropoietin oleh ginjal, serta menyebabkan perangsangan
yang inadekuat pada eritropoiesis disumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut,
malnutrisi menyebabkan penurunan transformasi T4 menjadi T3, menyebabkan
hipotiroid fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang
mengangkut O2 sehingga sintesis eritropoietin pun akhirnya berkurang.
Penghancuran eritrosit
Masa hidup eritrosit memendek pada sekitar 20-30% pasien. Defek ini
terjadi di ekstrakorpuskular, aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan
peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter
limpa, menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari
eritrosit.
Produksi eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi
Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukan
adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal ini
memberikan konsep bahwa anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe
dalam sintesis Hb.
Adanya infeksi, inflamasi atau keganasan menyebabkan aktivasi
makrofag sehingga merangsang pengeluaran IL-6. Selanjutnya IL-6 akan
mengaktivasi sel-sel retikulo-endotelial di hati untuk menghasilkan hepsidin.
Hepsidin akan berinteraksi dengan feroponin, yaitu protein membran yang
20

menghambat absorbs besi oleh usus halus, disamping itu hepsidin juga akan
menurunkan pelepasan besi oleh makrofag. Akibat kedua efek hepsidin tersebut
maka kadar besi dalam plasma akan menurun yang menjadi karakteristik untuk
anemia penyakit kronis.

Patofisiologi anemia pada penyakit kronis


3.2.4 Gambaran klinis
Pada umumnya anemia yang terjadi derajat ringan dan sedang, sering
kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar
7-11 gr/Dl umumnya asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau
defibilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transfort O2 jaringan akan
memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya.

21

Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang


pucat tanpa kelainan yang khas dari jenis ini dan diagnosa biasanya tergantung
dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3.2.5 Pemeriksaan Laboratorium
Anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun banyak
pasien mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC <31 g/dL dan beberapa
mempunyai sel mikrositer dengan MCV <80 fL. Nilai retikulosit absolut dalam
batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan pada leukosit dan trombosit
tidak konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya.
Penurunan Fe serum merupakan kondisi sine aqua non untuk diagnosis
anemia penyakit kronis. Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi
lebih lambat dari pada penurunan kadar Fe serum, disebabkan karena waktu
paruh transferin lebih lama (8-12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan
karena fungsi metabolik yang berbeda.
3.2.6 Diagnosis
Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronis, inflamasi dan
keganasan menderita anemia, anemia tersebut disebut anemia pada penyakit
kronishanya jika anemia sedang, selularitas sumsum tulang normal, kadar besi
serum dan TIBC rendah, kadar besi dalam makrofag dalam sumsum tulang
normal atau meningkat serta feritin serum yang meningkat.
3.2.7 Pengobatan
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit
dasarnya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara
lain :
a. Transfusi
Pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamik. Tidak
ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin. Disebutkan pada beberapa
literatur bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infark miokard,

22

transfusi darah dapat menurunkan angka kematian secara bermakna.


Demikian juga pada anemia akibat kanker.
b. Preparat besi
Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronis masih terus
dalam perdebatan. Pemberian preparat besi diharapkan dapat mencegah
pembentukan TNF-alpha. Pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal
preparat besi terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin.
c. Eritropoietin
Pemberian eritropoietin dapat bermanfaat pada pasien dengan anemia
akibat kanker, gagal ginjal, mieloma multiple, artritis reumatoid dan pasien
HIV. Pemberian eritropoietin mempunyai efek anti inflamasi dengan cara
menekan produksi TNF-alpha dan interferon-gamma.

3.3 Anemia Sideroblastik


Anemia sideroblastik adalah anemia hipokromik-mikrositik yang ditandai
dengan adaya sel-sel darah imatur (sideroblast) dalam sirkulasi dan sumsum
tulang. Anemia sideroblastik primer dapat terjadi akibat cacat genetik pada
kromosom X yang jarang ditemukan (terutama dijumpai pada pria), atau dapat
timbul secara spontan terutama pada orang tua. Penyebab sekunder anemia
sidroblastik adalah obat-obata tertentu, misalnya beberapa obat kemoterapi dan
ingesti tiah. Anemia sideroblastik merupakan anemia dengan cincin sideroblas
(ring sideroblastik) dalam susmsum tulang. Anemia ini relatif jarang dijumpai,
tetapi perlu mendapat perhatian karena merupakan salah satu diagnosis banding
anemia hipokromik mikrositik.
3.3.1 Klasifikasi
I.

Anemia sideroblastik primer


1. Herediter sex linked sideroblastic anemia
2. Primary acquired sideroblastic anemia (PASA) atau idiopatic
acquired sideroblastic anemia (IASA). Dapat dimasukkan disini

23

adalah refractory anemia with ring sideroblast (SARS) yang


tergolong dalam sindrom mielodisplastic
Anemia sideroblastik sekunder
1. Akibat obat; INH, Pirasinamid dan sikloserin
2. Akibat alkohol
3. Akibat keracunan timah hitam
III.
Pyridoxin responsive anemia
II.

3.3.2 Patofisiologi
Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan
inkorporasi

besi ke dalam

senyawa

hem pada

mitokondria

yang

mengakibatkan besi mengendap pada mitokondria sehingga jika yang di cat


dengan cat besi akan terlihat bintik-bintik yang mengelilingi inti yang disebut
sebagai sideroblas cincin. Hal yang menyebabkan kegagalan pembentukan
hemoglobin yang disertai eritropoiesis inefektif dan menimbulkan anemia
hipokromik mikrositik.
Bentuk klinik
Anemia sideroblastik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu
bentuk herediter dan bentuk didapat
1. Bentuk herediter
Jarang dijumpai, herediter dan sex linked (X-linked). Sebagian
besar menunjukkan bentuk defek enzim ALA synthetase
2. Idiopathic acquired sideroblastic anemia
a. Mutasi somatik pada progenitor eritroid
b. Tergolong sebagai sindrom mielodisplastik
c. Menurut klasifikasi FAB sideroblastik sekunder disebut sebagai
refractory anemia with ring sideroblastik (RARS)
3. Anemia sideroblastik sekunder
Akibat alkohol, obat anti TBC: INH dan keracunan Pb.
4. Anemia yang responsif pada terapi piridoksin (piridoksin responsif
anemia)
Gangguan inkorporasi besi ke dalam protoporfirin
(pembentukan heme)

24

Besi menumpuk dalam mitokondria Gangguan pembentukan hemoglobin


Ring sideroblastik

Hipokromik mikrositer

Eritropoiesis inefektif
Skema patofisiologi anemia sideroblastik
3.3.3 Gambaran klinik
Gambaran anemia sideroblastik sangat bervariasi dimana pada bentuk
yang didapat dijumpai anemia refrakter terhadap pengobatan. Telah
dilaporkan adanya suatu sindroma anemia sideroblastik yang refrakter pada 4
orang anak dengan adanya vakuolisasi prekurser sel-sel sumsum dan
gangguan fungsi ginjal eksokrin pankreas. Anemia sideroblastik kongenital
terjadi pada orang dewasa dengan berbagai proses dan keganasan atau pada
alkoholisme.
III.3.4 Gambaran Laboratorium
Pada anemia sideroblastik dijumpai:
1. Anemia bervariasi dari ringan sampai berat
2. Anemia bersifat hipokromik mikrositer dengan gambaran populasi ganda
(double population) dimana dijumpai eritrosit hipokromik mikrositer
berdampingan dengan normokromik normositer.
3. Pada bentuk didapat (RARS) dijumpai tanda displastik terutama pada eritrosit,
kadang-kadang juga pada leukosit dan trombosit.
4. Besi serum dan feritin serum normal atau meningkat.
5. Pada pengecatan besi sumsum tulang dengan pewarnaan prussian blue
(memakai biru prusia) dijumpai sideroblas cincin >15% dari sel eritroblas

25

3.3.5 Terapi
1. Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi simptomatik yaitu dengan
transfusi darah
2. Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena pada sebagian kecil penderita
bersifat responsif terhadap piridoksin. Untuk anak-anak diberikan dalam dosis
200-500 mg/24 jam, kendatipun tidak dijumpai kelainan metabolisme
triptofan atau defisiensi vitamin B6 lainnya. Vitamin B6 merupakan kofaktor
enzim ALA-sintase

3.4 THALASEMIA
3.4.1 DEFINISI THALASEMIA
Thalassemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut.
Yang dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit
ini pertama kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama
sekali ditemukan oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas
B. Cooley pada tahun 1925. Beliau menjumpai anak-anak yang menderita
anemia dengan pembesaran limpa setelah berusia satu tahun. Selanjutnya,
anemia

ini

dinamakan

anemia splenic atau eritroblastosis atau

anemia

mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya.


Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan
akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam
amino yang membentuk hemoglobin (komponen darah).
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan
kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel
darah normal (120 hari).Akibatnya penderita thalasemia akan mengalami
gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar
tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang.
Thalasemia, menurut pakar hematologi dari Rumah Sakit Leukas
Stauros, Yunani, dr Vasili Berdoukas, merupakan penyakit yang diakibatkan
26

oleh kerusakan DNA dan penyakit turunan. Penyakit ini muncul karena darah
kekurangan salah satu zat pembentuk hemoglobin sehingga tubuh tidak
mampu memproduksi sel darah merah secara normal.
3.4.2 MACAM-MACAM THALASEMIA
Secara molekuler thalasemia dibedakan atas :
1. Alfa Thalasemia (melibatkan rantai alfa)
Alfa Thalasemia paling sering ditemukan pada orang
kulit hitam (25% minimal membawa 1 gen). Sindrom thalassemia disebabkan oleh delesi pada gen globin pada kromosom 16
(terdapat 2 gen globin pada tiap kromosom 16) dan nondelesi
seperti

gangguan

menyebabkan

mRNA pada

rantai

menjadi

penyambungan

lebih

panjang

gen

dari

yang
kondisi

normal.Faktor delesi terhadap empat gen globin dapat dibagi


menjadi empat, yaitu:

Delesi pada satu rantai (Silent Carrier/ -Thalassemia Trait 2)


Gangguan pada satu rantai globin sedangkan tiga lokus
globin yang ada masih bisa menjalankan fungsi normal

sehingga tidak terlihat gejala-gejala bila ia terkena thalassemia.


Delesi pada dua rantai (-Thalassemia Trait 1)
Pada tingkatan ini terjadi penurunan dari HbA2 dan

peningkatan dari HbH dan terjadi manifestasi klinis ringan seperti


anemia kronis yang ringan dengan eritrosit hipokromik mikrositer
dan MCV 60-75 fl.

Delesi pada tiga rantai (HbH disease)


Delesi pada tiga rantai ini disebut juga sebagai HbH

disease (4) yang disertai anemia hipokromik mikrositer,


basophylic stippling, heinz bodies, dan retikulositosis.
27

HbH terbentuk dalam jumlah banyak karena tidak


terbentuknya rantai sehingga rantai tidak memiliki pasangan
dan kemudian membentuk tetramer dari rantai sendiri (4).
Dengan banyak terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami
presipitasi dalam eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat
dihancurkan.Penderita dapat tumbuh sampai dewasa dengan
anemia sedang (Hb 8-10 g/dl) dan MCV 60-70 fl.

Delesi pada empat rantai (Hidrops fetalis/Thalassemia major)


Delesi pada empat rantai ini dikenal juga sebagai hydrops
fetalis. Biasanya terdapat banyak Hb Barts (4) yang
disebabkan juga karena tidak terbentuknya rantai sehingga
rantai membentuk tetramer sendiri menjadi 4. Manifestasi
klinis dapat berupa ikterus, hepatosplenomegali, dan janin
yang sangat anemis. Kadar Hb hanya 6 g/dl dan pada
elektroforesis Hb menunjukkan 80-90% Hb Barts, sedikit
HbH, dan tidak dijumpai HbA atau HbF.
Biasanya bayi yang mengalami kelainan ini akan mati
beberapa jam setelah kelahirannya.

2. Beta Thalasemia (melibatkan rantai beta)


Beta Thalasemia pada orang di daerah Mediterania dan
Asia Tenggara.Thalassemia- disebabkan oleh mutasi pada gen
globin pada sisi pendek kromosom 11.
a. Thalassemia o
Pada thalassemia o, tidak ada mRNA yang mengkode
rantai sehingga tidak dihasilkan rantai yang berfungsi dalam
pembentukan HbA.Bayi baru lahir dengan thalasemia mayor
tidak anemis.Gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya
menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada
28

kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Bila
penyakit ini tidak segera ditangani dengan baik, tumbuh kembang
anak akan terhambat.Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan
lemak tubuh, dan demam berulang akibat infeksi. (Kapita selekta
kedokteran)
b. Thalassemia +
Pada thalassemia +, masih terdapat mRNA yang normal
dan fungsional namun hanya sedikit sehingga rantai dapat
dihasilkan dan HbA dapat dibentuk walaupun hanya sedikit.
Secara klinis, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu :
1. Thalasemia Mayor, karena sifat sifat gen dominan.
Thalasemia mayor

merupakan

penyakit

yang

ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah.


Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang
bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel
darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun sangat
pendek, hingga yang bersangkutan memerlukan transfusi
darah untuk memperpanjang hidupnya.
Penderita thalasemia mayor akan tampak normal
saat lahir,namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat
adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul gejala
lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies
cooley.
Faies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor,
yakni batang hidung masuk ke dalam dan tulang pipi
menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras
untuk

mengatasi

kekurangan

hemoglobin.

Penderita

thalasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian lebih

29

khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor harus


menjalani transfusi darah dan pengobatan seumur hidup.
Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita thalasemia
mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa
sering transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi
tergantung dari berat ringannya penyakit. Yang pasti,
semakin berat penyakitnya, kian sering pula si penderita
harus menjalani transfusi darah.
2. Thalasemia Minor, individu hanya membawa gen penyakit
thalassemia.
Individu hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia
tidak muncul. Walau thalasemia minor tak bermasalah,
namun bila ia menikah dengan thalasemia minor juga akan
terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menderita
thalasemia mayor. Pada garis keturunan pasangan ini akan
muncul penyakit thalasemia mayor dengan berbagai ragam
keluhan.Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan
sering mengalami pendarahan. Thalasemia minor sudah ada
sejak lahir dan akan tetap ada di sepanjang hidup
penderitanya, tapi tidak memerlukan transfusi darah di
sepanjang hidupnya.
3.4.3 PENYEBAB THALASEMIA
1. Gangguan genetik
Orangtua memiliki sifat carier (heterozygote) penyakit
thalasemia sehingga klien memiliki gen resesif homozygote.
2. Kelainan struktur hemoglobin

Kelainan struktur globin di dalam fraksi hemoglobin. Sebagai


contoh, Hb A (adult, yang normal), berbeda dengan Hb S (Hb

30

dengan gangguan thalasemia) dimana, valin di Hb A digantikan

oeh asam glutamate di Hb S.


Menurut kelainan pada rantai Hb juga, thalasemia dapat dibagi
menjadi 2 macam, yaitu : thalasemia alfa (penurunan sintesis
rantai alfa) dan beta (penurunan sintesis rantai beta).

3. Produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu
Defesiensi produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai a dan b.
4. Terjadi kerusakan sel darah merah (eritrosit) sehingga umur eritrosit
pendek (kurang dari 100 hari). Struktur morfologi sel sabit
(thalasemia) jauh lebih rentan untuk rapuh bila dibandingkan sel darah
merah biasa. Hal ini dikarenakan berulangnya pembentukan sel sabit
yang kemudian kembali ke bentuk normal sehingga menyebabkan sel
menjadi rapuh dan lisis.
5. Deoksigenasi (penurunan tekanan O2)
Eritrosit yang mengandung Hb S melewati sirkulasi lebih
lambat apabila dibandingkan dengan eritrosit normal. Hal ini
menyebabkan deoksigenasi (penurunan tekanan O2) lebih lambat yang
akhirnya menyebabkan peningkatan produksi sel sabit.
Mutasi Genetik
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta,
yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh
sebuah gen cacat yang diturunkan.
Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen
dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka
orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan
gejala-gejala dari penyakit ini.
Nama

Deskripsi

Alel

31

talasemia

Jika hanya satu globin beruang alel mutasi. Ini adalah

+/

minor

anemia

atau o /

(kadang-

mengukur nilai MCV (ukuran sel darah merah) dan melihat

kadang

rata-rata volume menurun sedikit dari biasanya. Pasien

disebut sifat

akan memiliki fraksi peningkatan Hemoglobin A2(> 3,5%)

talasemia )

dan sebagian kecil penurunan Hemoglobin A(<97,5%).

Thalassemia

Kondisi penengah antara bentuk utama dan minor individu

+/ +atau

intermedia

yang terkena sering dapat mengatur kehidupan normal,

o / +

mikrositik .

Deteksi

biasanya

melibatkan

tetapi mungkin perlu sesekali transfusi misalnya pada saat


sakit atau kehamilan, tergantung tingkat keparahan anemia
mereka.
talasemia

Jika kedua alel memiliki mutasi talasemia. Ini adalah

atau Cooley's

mikrositik hipokrom anemia . Bila tidak diobati, hal itu

anemia utama

menyebabkan anemia , splenomegali , dan kelainan bentuk


tulang. Hal ini berlangsung sampai mati sebelum usia dua
puluh. Pengobatan terdiri dari periodiktransfusi darah ;
splenektomi jika terdapat splenomegali, dan perawatan
transfusi kelebihan zat besi. Perawatan ini dimungkinkan
dengan transplantasi sumsum tulang. Cooley's anemia ini
dinamai Thomas Cooley

Perhatikan bahwa 0 / dapat dikaitkan dengan talasemia thalassemia intermedia


atau minor, dan + / + dengan besar atau thalassemia intermedia. Mutasi genetik

32

hadir dalam thalassemia sangat beragam, dan sejumlah mutasi yang berbeda dapat
menyebabkan berkurang atau tidak ada sintesis globin .
Dua kelompok utama dari mutasi dapat dibedakan:

Bentuk Nondeletion:cacat ini umumnya melibatkan substitusi basa tunggal


atau penghapusan kecil atau sisipan di dekat atau hulu dari gen globin .
Umumnya, mutasi terjadi di daerah promotor sebelum gen beta-globin.
Kurang sering, varian

sambatan abnormal

dipercaya untuk berkontribusi pada penyakit.


Penghapusan Bentuk:Penghapusan dengan ukuran yang berbeda yang
melibatkan gen globin menghasilkan sindrom yang berbeda seperti ( o)
atau ketekunan turun-temurun dari hemoglobin janin sindrom.

Alel

Deskripsi

Genotip

terpengaruh

Salah satu

Ada

efek

minimal.

Tiga

-globin

alel

cukup

untuk - / /

memungkinkan produksi hemoglobin yang normal, dan tidak ada


gejala klinis. Mereka telah disebut pembawa diam. Mereka
mungkin memiliki sedikit berkurang nilai MCV dan MCH .
Dua

Kondisi ini disebut sifat thalassemia alpha. Dua alel izin - / - /


mendekati

normal eritropoiesis ,

tetapi

ada atau

ringan mikrositikhipokrom anemia . Penyakit dalam bentuk ini - / - /


bisa keliru untukanemia kekurangan zat besi dan diperlakukan
tidak tepat dengan besi.
sifat Thalassemia Alpha bisa eksis dalam dua bentuk:

alpha-thal-1 (- / - / ), terkait dengan Asia, melibatkan


penghapusan cis alpha kedua alel pada kromosom yang

33

sama;

alpha-thal-2 (- / - / ), terkait dengan Afrika-Amerika ,


melibatkan penghapusan trans dari alel alfa pada berbeda
(homolog) kromosom.

Tiga

Kondisi ini disebut penyakit hemoglobin H. Dua hemoglobin - / - - /


tidak stabil yang hadir dalam darah: Hemoglobin Barts
(tetrameric rantai ) dan Hemoglobin H (tetrameric rantai ).
Kedua hemoglobin tidak stabil memiliki afinitas yang lebih tinggi
untuk oksigen dari hemoglobin normal, sehingga dalam
pengiriman

oksigen

miskin

untuk

Ada mikrositikhipokrom anemia dengan sel


Heinz (diendapkan

HBH)

pada apusan

jaringan.

target dan badan


darah

tepi,

serta splenomegali . Penyakit ini pertama mungkin melihat di


masa kecil atau dalam kehidupan dewasa awal, ketika anemia dan
splenomegali dicatat.
Empat

Para janin tidak bisa hidup di luar rahim dan tidak dapat bertahan - / - - / hidup dalam kandungan: kebanyakan bayi tersebut meninggal
saat lahir dengan fetalis hidrops , dan mereka yang lahir hidup
mati segera setelah lahir. Terjadi pembengkakan dan memiliki
hemoglobin yang sedikit, dan hemoglobin yang hadir adalah
semua tetrametic rantai (Barts hemoglobin).

3.4.4 Patofisiologi :
Patogenesis thalassemia secara umum dimulai dengan adanya mutasi
yang menyebabkan HbF tidak dapat berubah menjadi HbA, adanya ineffective
eritropoiesis, dan anemia hemolitik.

34

Tingginya kadar HbF yang memiliki afinitas O2 yang tinggi tidak


dapat melepaskan O2 ke dalam jaringan, sehingga jaringan mengalami
hipoksia.
Tingginya kadar rantai -globin, menyebabkan rantai tersebut
membentuk suatu himpunan yang tak larut dan mengendap di dalam eritrosit.
Hal

tersebut

merusak

selaput

sel,

mengurangi

kelenturannya,

dan

menyebabkan sel darah merah yang peka terhadap fagositosis melalui system
fagosit mononuclear.
Tidak hanya eritrosit, tetapi juga sebagian besar eritroblas dalam
sumsum dirusak, akibat terdapatnya inklusi (eritropioesis tak efektif).
Eritropoiesis tak efektif dapat menyebabkan adanya hepatospleinomegali,
karena eritrosit pecah dalam waktu yang sangat singkat dan harus digantikan
oleh eritrosit yang baru (dimana waktunya lebih lama), sehingga tempat
pembentukan eritrosit (pada tulang-tulang pipa, hati dan limfe) harus bekerja
lebih keras. Hal tersebut menyebabkan adanya pembengkakan pada tulang
(dapat menimbulkan kerapuhan), hati, dan limfe.
1. Thalasemia-
Pada homozigot thalassemia yaitu hydrop fetalis, rantai sama
sekali tidak diproduksi sehingga terjadi peningkatan Hb Barts dan Hb
embrionik. Meskipun kadar Hb-nya cukup, karena hampir semua
merupakan Hb Barts, fetus tersebut sangat hipoksik.
Sebagian besar pasien lahir mati dengan tanda-tanda hipoksia
intrauterin. Sedangkan pada thalassemia heterozigot yaitu o dan +
menghasilkan ketidakseimbangan jumlah rantai tetapi pasiennya mampu
bertahan dengan penyakit HbH. Kelainan ini ditandai dengan adanya
anemia hemolitik karena HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa
oksigen.
2. Thalasemia-

35

Tidak dihasilkannya rantai karena mutasi kedua alel globin


pada thalassemia menyebabkan kelebihan rantai .Rantai tersebut
tidak dapat membentuk tetramer sehingga kadar HbA menjadi turun,
sedangkan produksi HbA2 dan HbF tidak terganggu karena tidak
membutuhkan rantai dan justru sebaliknya memproduksi lebih banyak
lagi sebagai usaha kompensasi.
Kelebihan rantai tersebut akhirnya mengendap pada prekursor
eritrosit. Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki inclusion
bodies/heinz bodies yang menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi
membran sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan
penumpukan besi pada eritrosit. Sehingga anemia pada thalassemia
disebabkan oleh berkurangnya produksi dan pemendekan umur eritrosit.
Pada hapusan darah, eritrosit terlihat hipokromik, mikrositik,
anisositosis, RBC terfragmentasi, polikromasia, RBC bernukleus, dan
kadang-kadang leukosit imatur.
PATOFISIOLOGI GEJALA KLINIS THALASEMIA
Gejala yang didapat pada pasien berupa gejala umum anemia
yaitu: anemis, pucat, mudah capek, dan adanya penurunan kadar
hemoglobin. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsional hemoglobin
dalam menyuplai atau membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh yang
digunakan untuk oksidasi sel. Sehingga oksigenasi ke jaringan berkurang.
Selain sebagai pembawa oksigen, hemoglobin juga sebagai pigmen merah
eritrosit sehingga apabila terjadi penurunan kadar hemoglobin ke jaringan
maka jaringan tersebut menjadi pucat.
Penurunan fungsional hemoglobin tersebut dapat disebabkan oleh
adanya kelainan pembentukan hemoglobin, penurunan besi sebagai
pengikat oksigen dalam hemoglobin.
Kompensasi tubuh agar suplai oksigen ke jaringan tetap terjaga
maka jantung sebagai pemompa darah berdenyut lebih keras dan sering
36

yang disebut sebagai takikardia di mana hal ini juga terjadi pada anak
(denyut nadi 120 kali/menit, normal 60-100 kali.menit). Tetapi frekuensi
respirasi pasien dalam tahap normal 24 kali/menit (normal 16-24
kali/menit).
Lemas dan mudah capek disebabkan oleh karena suplai oksigen ke
jaringan untuk oksidasi sel sebagai proses penghasil energi berkurang.
Pasien mengalami penurunan kadar hemoglobin (4,8 g/dl) di mana nilai
rujukan normal untuk anak-anak sebesar 10-16 g/dl (Sutedjo, 2007).
Penurunan

ini

dapat

disebabkan

oleh

adanya

kelainan

produksi/pembentukan hemoglobin berupa kelainan susunan asam amino


dan kelainan kecepatan sintesis hemoglobin. Kelainan dua hal tersebut
dapat dikategorikan adanya hemoglobinopati. Kelainan pembentukan
hemoglobin tersebut dapat mengakibatkan adanya morfologi eritrosit
abnormal (mikrositik, Heinz bodies, sel target) sehingga dengan cepat
akan didestruksi oleh limpa dan hati. Peristiwa destruksi eritrosit secara
cepat kurang dari masa hidupnya (120 hari) disebut sebagai hemolisis.
Adanya hepatomegali dan splenomegali merupakan salah satu
tanda dari anemia hemolitik di mana disertai adanya penurunan kadar
hemoglobin. Pada pasien ditemukan splenomegali sebesar 1 shuffner
(satuan splenomegali yang diukur dengan membuat garis diagonal antara
arcus costarum dengan crista illiaca melewati umbulicus, lalu dari garis
tersebut dibagi menjadi delapan bagian. Satu bagian dinamakan satu
shuffner).
Splen atau limpa secara normal bertugas menghancurkan eritrosit
tua maupun abnormal sehingga dapat melepaskan hemoglobin yang akan
dimetabolisme menjadi biliribun di hati/hepar, menjadi reservoir cadangan
eritrosit, sintesis limfosit dan sel plasma dalam system imun, dan
membentuk eritrosit baru saat masa janin dan bayi baru lahir.

37

Adanya hemolisis menyebabkan proses perombakan eritrosit


secara cepat. Eritrosit abnormal cepat dihancurkan oleh limpa dan hati
dengan bantuan makrofag sehingga semakin banyak eritrosit abnormal
maka kerja limpa akan semakin berat. Hal inilah yang menyebabkan
adanya splenomegali.
Selain destruksi eritrosit di limpa juga terdapat di hati. Selain itu
sebagai kompensasi atau umpan balik dari penurunan kadar hemoglobin
akibat oksigenasi ke jaringan kurang merangsang terjadinya eritropoesis
6-8 kali lipat oleh sumsum tulang. Untuk menunjang dan membantu kerja
sumsum tulang dalam eritropoesis sehingga terbentuk eritropoesis
ekstramedular pada limpa dan hati sehingga merupakan salah satu
penyebab hepatosplenomegali.
Pada pasien hemoglobinopati anemia sel sabit tidak ditemukan
hepatomegali di mana limpa mengecil dikarenakan terjadinya infark.
Selain itu makrofag di limpa lebih aktif dibandingkan makrofag pada hati.
Penyebab lain hepatomegali pada pasien disebabkan oleh
pemberian obat penambah darah dan penyerapan besi meningkat akibat
peningkatan eritropoesis di mana mengandung preparat besi (sulfas
ferrosus) sehingga terjadi penimbunan cadangan besi berlebih. Padahal
hati secara normal berfungsi sebagai sintesis ferritin (simpanan besi) dan
transferin (protein pengikat besi) dan sebagai tempat penyimpanan
terbesar cadangan besi dalam bentuk ferritin dan hemosiderin.
Adanya hepatomegali dan splenomegali pada pasien dapat
mengakibatkan penurunan imunitas tubuh sehingga tubuh rentan terhadap
infeksi mikroorganisme. Limpa sebagai tempat sintesis limfosit dan sel
plasma (bahan antibodi) merupakan salah satu pertahanan imunitas tubuh.
Hati sebagai tempat yang sering dilalui mikroorganisme patogenik yang
akan dihancurkan sebelum memasuki saluran gastrointestinal.
Kemungkinan pasien mengalami infeksi dimana terdapat tanda-tanda
38

infeksi pada pasien, yaitu : suhu (38,00C), panas, tonsil membesar dan
kemerahan, dan faring kemerahan. Infeksi ini bisa didapatkan dari
mikroorganisme seperti: malaria, hepatitis, haemophilus, streptococcus,
pneumococcus, dll.
Suhu tubuh meningkat dikarenakan adanya metabolisme organ
yang berlebihan terhadap infeksi. Tonsil merupakan salah satu jaringan
limfoid yang memproduksi limfosit untuk pertahanan imunitas tubuh dan
akan membesar apabila bekerja berlebihan terhadap suatu infeksi atau
penurunan imunitas lainnya. Infeksi mikroorganisme menyerang saluran
pencernaan salah satu faring sehingga membuat organ tersebut mengalami
kemerahan. Gejala infeksi lainnya pada pasien yaitu batuk pilek.
Gejala klinis thalasemia mayor :
a. Tampak pucat dan lemah karena kebutuhan jaringan akan oksigen
tidak terpenuhi yang disebabkan hemoglobin pada thalasemia (HbF)
memiliki afinitas tinggi terhadap oksigen
b. Facies thalasemia yang disebabkan pembesaran tulang karena
hiperplasia sumsum hebat
c. Hepatosplenomegali yang disebakan oleh penghancuran sel darah
merah berlebihan, hemopoesis ekstramedular, dan kelebihan beban
besi.
d. Pemeriksaan radiologis tulang memperlihatkan medula yang lebar,
korteks tipis, dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan
diploe dan pada anak besar kadang-kandang terlihat brush appereance.
e. Hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin menyebabkan
keterlambatan menarse dan gangguan perkembangan sifat seks
sekunder. Selain itu juga menyebabkan diabetes, sirosis hati, aritmia
jantung, gagaljantung, dan perikarditis.
f. Sebagai sindrom klinik penderita thalassemia mayor (homozigot) yang
telah agak besar menunjukkan gejala-gejala fisik yang unik berupa
39

hambatan pertumbuhan, anak menjadi kurus bahkan kurang gizi, perut


membuncit akibat hepatosplenomegali dengan wajah yang khas
mongoloid, frontal bossing,mulut tongos (rodent like mouth), bibir
agak tertarik, maloklusi gigi
Gejala klinis Thalasemia minor
Penderita yang menderita thalasemia minor, hanya sebagai
carrier dan hanya menunjukkan gejala-gejala yang ringan.Orang
dengan anemia talasemia minor (paling banyak) ringan (dengan sedikit
menurunkan tingkat hemoglobin dalam darah).
Situasi ini dapat sangat erat menyerupai dengan anemia
kekurangan zat besi ringan. Namun, orang dengan talasemia minor
memiliki tingkat besi darah normal (kecuali mereka miliki adalah
kekurangan zat besi karena alasan lain). Tidak ada perawatan yang
diperlukan untuk thalassemia minor. Secara khusus, besi tidak perlu
dan tidak disarankan.

3.4.5 DIAGNOSIS THALASEMIA


1. Anamnesis
Keluhan timbul karena anemia: pucat, gangguan nafsu makan,
gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran lien dan
hati. Pada umumnya keluh kesah ini mulai timbul pada usia 6 bulan
2. Pemeriksaan fisis

Pucat
Bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
Dapat ditemukan ikterus
Gangguan pertumbuhan
Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar

3. Pemeriksaan penunjang

40

a. Darah tepi :
Hb rendah dapat sampai 2-3 g%
Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target,
anisositosis

berat

polikromasi,

dengan

basophilic

makroovalositosis,
stippling,

benda

mikrosferosit,
Howell-Jolly,

poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.


Retikulosit meningkat.
b. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis)
Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari
jenis asidofil.
Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.
c. Pemeriksaan khusus :
Hb F meningkat : 20%-90% Hb total
Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb
F.
Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor
merupakan trait (carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari
Hb total).
4.

Pemeriksaan lain :
Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe
melebar dengan trabekula tegak lurus pada korteks.
Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang
sehingga trabekula tampak jelas.

5.

Diagnosis banding
Thalasemia minor :

Anemia kurang besi


Anemia karena infeksi menahun
Anemia pada keracunan timah hitam (Pb)
Anemia sideroblastik
41

3.4.6 Pengobatan dan pencegahan


Pada thalassemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat.Penderita yang menjalani transfusi, harus
menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif
(misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan
keracunan.
Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan
sumsum tulang.Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.Thalasemia
menurut para ahli belum ada obatnya, tapi pengobatan alami dengan
menggunakan cyano spirulina dan jelly gamat akan membantu mengurangi
frekwensi transfusi darahnya .
Alasanya : kandungan Cyano Spirulina terdapat 5 zat gizi utama, yaitu
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan 4 pigmen alami yaitu
betakaroten, klorofil, xantofil, dan Fikosianin.
Pigmen adalah zat warna alami yang ada pada tumbuhan. pigmen pada
cyano

Spirulina

berfungsiebagai

detoksifikasi

(pembersih

racun),

perlindungan tubuh terhadap radikal bebas, antioksidan, meningkatkan


kekebalan tubuh, meningkatkan jumlah bakteri baik di usus, meningkatkan
haemoglobin (Hb), dan sebagai antikanker.
Selain itu, cyano Spirulina mengandung klorofil, Vitamin B 12, Asam
folat dan zat besi yang duperlukan untuk pembentukan darah merah.
Konsumsi cyano Spirulina secara teratur akan mencegah terjadinya anemia
( kurang darah)
Pada keluarga dengan riwayat thalassemia perlu dilakukan penyuluhan
genetik untuk menentukan resiko memiliki anak yang menderita thalassemia.
Faktor resiko penderita thalasemia
Anak dengan orang tua yang memiliki gen thalassemia
Resiko laki-laki atau perempuan untuk terkena sama

42

Thalassemia Beta mengenai orang asli dari Mediterania atau ancestry


(Yunani, Italia, Ketimuran Pertengahan) dan orang dari Asia dan
Afrika Pendaratan.
Alfa thalassemia kebanyakan mengenai orang tenggara Asia, Orang
India, Cina, atau orang Philipina.
3.4.7 Penatalaksanaan dan Pencegahan Pada Penderita Thalasemia
Pada penatalaksanan pada pasien harus melakukan pertimbangan
aspek ekonomi, sosial, dan budaya pasien. Untuk memberikan terapi
senantiasa meminta persetujuan dari pasien.
Pada pasien anak dapat diberikan terapi:
Transfusi : untuk mempertahankan kadar hb di atas 10 g/dl. Sebelum
melakukannya perlu dilakukan pemeriksaan genotif pasien untuk
mencegah terjadi antibody eritrosit. Transfusi PRC (packed red
cell)dengan dosis 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
Antibiotik : untuk melawan mikroorganisme pada infeksi. Untuk
menentukan jenis antibiotic yang digunakan perlu dilakukan anamnesis
lebih lanjut pada pasien.
Khelasi Besi: untuk mengurangi penimbunan besi berlebihan akibat
transfusi. Khelasi besi dapat berupa: desferoksamin diberikan injeksi
subcutan,

desferipone

(oral),

desferrithiochin

(oral),

Pyridoxal

isonicotinoyl hydrazone (PIH), dll.


Vitamin B12 dan asam folat : untuk meningkatkan efektivitas fungsional
eritropoesis.
Vitamin C : untuk meningkatkan ekskresi besi. Dosis 100-250 mg/hari
selama pemberian kelasi besi
Vitamin E : untuk memperpanjang masa hidup eritrosit.Dosis 200-400 IU
setiap hari.
Imunisasi : untuk mencegah infeksi oleh mikroorganisme.

43

Splenektomi: limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak


penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya
terjadinya ruptur. Jika disetujui pasien hal ini sebaiknya dilakukan setelah
anak berumur di atas 5 tahun sehingga tidak terjadi penurunan drastis
imunitas tubuh akibat splenektomi.
Pencegahan thalassemia atau kasus pada pasien ini dapat dilakukan
dengan konsultasi pra nikah untuk mengetahui apakah diantara pasutri ada
pembawa gen thalassemia (trait), amniosentris melihat komposisi kromosom
atau analisis DNA untuk melihat abnormalitas pada rantai globin.
BAB IV
ANEMIA NORMOSITIK
4. Anemia Normositik Normokromik
Anemia normositik normokrom adalah terjadinya penurunan jumlah eritrosit
tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin, bentuk dan ukuran eritrosit.
Penyebab dari anemia normositik normokromik dibagi atas
a. Mediasi Reaksi Immun Tubuh
b. Bukan dari reaksi Immun Tubuh
c. Penurunan Produksi karena penyakit lain
Anemia yang diakibatkan rekasi Imunitas tubuh
4.1 Anemia Hemolitik AutoImun
4.1.1 Definisi
Suatu kelainan akibat adanya antibodi terhadap sel-sel eritrosit
memendek. Hal tersebut disebabkan oleh aktivitas sistem komplemen yang
menyebabkan hemolisis intravaskular, aktivasi mekanisme seluler yang
menyebabkan hemolisis ekstravaskular, atau kombinasi keduanya.
4.1.2 Etiologi
Penyebab adanya antibodi terhadap sel-sel eritrosit yang menyebabkan
hemolisis belum diketahui dengan jelas.
44

4.1.3 Epidemiologi
Anemia hemolitik meliputi 5% dari keseluruhan kasus anemia. AIHA
akut sangat jarang terjadi, insidennya 1-3 kasus 100.000 individu pertahun. Lebih
sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dan umumnya
terjadi pada usia pertengahan ( middle-aged)
4.1.4 Klasifikasi
A. Anemia hemolitik AutoImun (AIHA)
a. AIHA tipe hangat: diperantarai oleh IgG. Berikatan dengan antigen
di permukaan eritrosit pada suhu tubuh.

Idiopatik

sekunder: leukimia limfosistosis kronis, limfoma, lupus


eriematosus sistemik

b. AIHA tipe dingin: diperantarai oleh IgM, berikatan dengan antigen


permukaan sel eritrosit pada suhu dibawah suhu tubuh.

Idiopatik

sekunder:

Mycoplasma,

mononukleosis,

keganasan

limforetikuler
c. Paroxysmal cold hemoglobinuria:

Idiopatik

sekunder: sifilis

d. AIHA atipik

AIHA tes antiglobulin negative

AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin

B. AIHA diinduksi Obat: golongan penisilin, kinin, kuinidin, sulfonamid,


sulfonilurea, tiazid, metildopa, nitrofurantoin, fenazopiridin, asam
aminosalisilat (aspirin)
45

C. AIHA diinduksi aloantibodi:


reaksi hemolitik transfusi
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.
4.1.5. Gejala dan Tanda AIHA Tipe Hangat dan Dingin
A. AIHA tipe hangat

Insidensi terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering pada dewasa
terutama wanita.

Patogenesis hemolisis banyak terjadi ekstravaskular, karena banyak


melibatkan aktivasi selular

Gejala anemia terjadi perlahan dari moderate ke severe;


Palor
Mekanisme: antibodi pada eritrosit lisis dan di fagositosis RBC
anemia
Fatigue
Mekanisme: anemia perfusi jaringan tidak adekuat pembentukan
ATP fatigue

Gejala kardiovaskular
Dipsnea
Mekanisme: anemia kompensasi jantung untuk membawa O2 ke
jaringan lebih banyak sesak

Gejala hemolitik
Ikterik 40% pts
Mekanisme: hemolisis (prehepatik) bilirubin indirek ikterik
Purpura
Mekanisme perdarahan ekstravaskular purpura
Demam; terjadi pada krisis hemolitik akut
Urin berwarna gelap karena hemoglobinuria

46

Mekanisme: hemolisis hemoglobin dikeluarkan melalui urin

Gejala organomegali
Splenomegali 50-60% pts
Mekanisme: peningkatan penghancuran RBC di limpa splenomegali
Hepatomegali pada 30% pts
Mekanisme: peningkatan penghancuran RBC di hati hepatomegali

Gejala pembesaran KGB


Limfadenopati pada 25% pts
Mekanisme:
25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi

B. AIHA tipe dingin

Patogenesis Aglutinasi pada suhu dingin banyak terjadi


intravasular karena banyak melibatkan aktivasi komplemen.
Mekanisme: pajanan suhu dingin antibodi menempel pada
permukaan RBC aktivasi komplemen inisiasi hemolisis
(terutama intravaskular),
Mekanisme hemolitik ekstravaskular juga terjadi; fagositosis di
hati (paling sering) dan limpa

Hemolisis berjalan kronis

Anemia ringan dengan Hb 9-12 g%

Akrosianosis

Mekanisme: pajanan suhu dingin inisiasi hemolitik perfusi O2 jaringan


minimal ekstrimitas biru karena iskemik

Jaundice

Mekanisme: hemolitik prehepatik bil indirek kuning

47

Splenomegali

Mekanisme: peningkatan penghancuran RBC di limpa splenomegali


4.1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. AIHA tipe hangat

CBC
Anemia berat; Hb sering di bawah 7 g/dL
Mekanisme: karena hemolitik agresif
Retikulosit meningkat; 10-30% (200-600 x 103/L)
Mekanisme: hemolitik retikulositosis
Leukositosis neutrofil
Mekanisme: pada keadaan krisis hemolitik akut

Kimia darah
Hemoglobinemia
Mekanisme: lisis SDM agresif hemoglobin bebas
hemoglobinemia

Urin
Hemoglobinuria
Mekanisme:

lisis

SDM

agresif

hemoglobin

bebas

hemoglobinemia hemoglobinuria

Blood smear
Microspherocytosis; area tengah RBC terlihat pucat pada pewarnaan
blood film
Mekanisme: rusaknya membran RBC masuknya air dan ion
microsperosit

Serologi
Test Coomb direct positif pada 98% pasien; terdeteksi antibodi(IgG)
dengan atau tanpa komplemen(C3,C3d)

48

Autoantibodi (dari kelasIgG dan jarang dari kelas IgA) yang bereaksi
dengan antigen RBC (antigen Rh) biasanya ditemukan dalam serum
dan dapat dipisahkan dari sel-sel RBC.
Antibodi bebas bisa juga ditemukan dengan tes Coombs inderik jika
autoantibodi diproduksi dalam konsentrasi tinggi.
2. AIHA tipe dingin

CBC
Anemia ringan, Hb 9-12 g/dL

Blood Film
Polikromatosis; sel darah merahberwarna biru pada pewarnaan blood
film
Mekanisme: karena adanya sel darah merah yang imatur

Serologi
Tes Coombs direks positif; terdeteksi komplemen
Jika ada, tes Coombs indireks akan mendeteksi IgM
Ditemukan anti-I(pada newborn), anti-Pr, anti-M, atau anti-P

Penegakan diagnosis Mendeteksi autoantibodi pada eritrosit


1. Direct Antiglobulin Test / DAT (Direct Coombs Test)
Sel RBC dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan
antiserum atau anribodi monoclonal tehadap berbagai immunoglobulin dan
fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat
salah satu atau keduanya, maka akan terjadi aglutinasi.
2. Indirect Antiglobulin Test (Inderect Coombs Test)
Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada seum. Serum pasien
direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum
akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat direaksikan dengan antiglobulin
sera dengan terjadinya aglutinasi.
49

Reaction with
AntiAnti-

Penyebab

IgG
Yes

C3
No

Antibodi terhadap protein Rh, hemolisis karena

Yes
Yes

-metildopa atau penicilin


Antibodi terhadap antigen glikoprotein, SLE
Reaksi antibodi tipe dingin (aglutinin atau

Yes
No

antibodi Cold-Landsteiner), antibody terkait


obat, antibodi IgM, antibodi IgG afinitas rendah,
aktivasi komplemen oleh kompleks imun
Diagnosis banding
1. Anemia megaloblastik
2. Talasemia mayor
3. Malaria
4.1.7 Penatalaksanaan
1. AIHA tipe hangat

Pasien dengan hemolisis ringan, biasanya tidak membutuhkan terapi.

Terapi dimulai jika terjadi hemolisis yang signifikan.

Semua penyebab yang mendasari AIHA harus di tangani dan semua obat
yang menyebabkan harus di hentikan.

Terapi transfusi untuk kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb < 3g/dL)

Kortikosteroid-terapi standard AIHA; 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 2-3


minggu. Bila respon baik, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari.
Terapi rumatan dosis <30 mg/hari diberikan secara selang sehari.

Splenektomi; bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan
tappering dosis selama 3 bulan. Remisi komplit pasca splenektomi
mencapai 50-70%. Steroid masih sering digunakan setelah splenektomi.

50

Imunosupresi; Azotropin 50-200 mg/hari (80 mg/m2), siklofosfamid 50150 mg/hari (60 mg/m2)

Terapi lain: danazol 600-800 mg/hari, IVIg 400mg/kgBB/hari selama 5


hari, plasmafaresis

2. AIHA tipe dingin

Menghindari udara dingin yang dapat memacu hemolisis

Jika penyebab mendasari dapat diidentifikasi, harus ditangani.

Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu karena hemolisis yang


terjadi intravaskular

Plasmafaresis pada kasus akut severe untuk mengurangi antibodi IgM

Imunosupresif untuk kasus kronik; Klorambusil 2-4 mg/hari

Pada anemia simtomatik parah; transfusi konsetrat washed red cell untuk
mencegah infusi komplemen tambahan.

Untuk kasus refraktori; rituximab

Algoritma terapi pasien AIHA


Minimal

Marked

Assess
severity

Watch

Prednisone
IVIg
Splenektomi

Moderate
Prednisone
60 mg/d
2-3 weeks
Reduce rapidly to 20 mg/d
Splenektomi

No

Response

Yes

No response
Relapse

Cyclosphosphamide 100 mg/d


or Azathiarine 150 mg/d
or rixutimab 375 mg/m2 weekly

Reduce slowly to 5-10 mg


qod

Discontinue if no sign of
disease

51

4.1.8 Komplikasi
1. AIHA tipe hangat
Gagal ginjal, DVT, emboli paru, infark limpa, dan kejadian cardiovaskular
lain.
2. AIHA tipe dingin
4.1.9 Prognosis
1. AIHA tipe hangat

Sebagian besar pts memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik,


namun terkendali

Survival 10 tahun berkisar 70%

Mortalitas selam 5-10 tahun sebesar 15-20%

Prognosis AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari

2. AIHA tipe dingin

Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki surival yang baik dan cukup
stabil.

2. AIHA diinduksi Obat


Terdapat Riwayat meminum obat golongan penisilin, kinin, kuinidin,
sulfonamid, sulfonilurea, tiazid, metildopa, nitrofurantoin, fenazopiridin, asam
aminosalisilat (aspirin). Manifestasi Klinis sangat bervariasi, berupa tanda dan
gejala hemolisis ringan sanpai berat. Pemeriksaan Penunjang didapatkan
anemia,

retikulosis,

MCV

tinggi,

tes

Coomb

positif,

leukopenia,

trombositopenia, hemoglobinemia dan hemoglobinuria


Tatalaksana yaitu dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi
penyebab seumur hidup serta kortikosteroid dan tranfusi darah dapat diberikan
jika kondisi berat

52

3. Anemia Hemolitik Aloimun karena Transfusi


Reaksi tranfusi akut yang disebabkan oleh ketidak sesuaian ABO
eritrosit merupakan hemolisis aloimun yang paling berat. Dalam beberapa
menit, pasien akan sesak napas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual,
muntah, hingga syok. Reaksi tranfusi diperlambat terjadi 3-10 hari setelah
transfusi, umumnya disebabkan oleh adanya antibodi dalam kadar rendah
terhadap antigen minor eritrosit
Apabila terjadi reaksi akut hemolitik pascatransfusi, segera stop
transfusi. Antisipasi adanya hipotensi. Gagal ginjal, dan KID. Pasang jalur
intravena dan cepat berikan cairan kristaloid, misalkan salin normal 0,9%.
4.2 Anemia Hemolitik Non Imun
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini
tergantung pada patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis
intravaskular, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya
pada trauma mekanik fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau
infeksi yang langsung mendegrasi dan mendestruksi membran sel eritrosit.
Hemolisis intravaskular jarang terjadi.
Hemolisis yang lebih sering terjadi adalah hemolisis ektravaskular.
Pada hemolisis ekstravakular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem
retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan
membran

tidak

dapat

melintasi

sistem

retikuloendotelial

sehingga

difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag


4.2.1

MANIFESTASI KLINIS
Penegakan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh kuning dan urinnya
kecoklatan seperti warna teh pekat, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian
53

obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi


penting yang harus ditanyakan saat anamnesis.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan :

Tampak pucat dan ikterus.


Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati.
Dapat ditemukan hepatomegali atau splenomegali.
Takikardia dan aliran murmur pada katup jantung.
Selain hal-hal umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis

diatas, perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-hal yang bersifat
khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus
tungkai pada anemia sickle cell.
Penyakit hemolitik gejala-gejalanya dapat didasarkan atas 3 proses
yang juga merupakan bukti bahwa ada hemolisis :

1. Kerusakan pada eritrosit


a. Fragmentasi dan kontraksi eritrosit pada hapusan darah tepi, yang
terutama nampak pada anemia hemolitik oleh karena obat-obat dan
anemia hemolitik mikroangiopatik.
b. Sferositosis
Mekanisme terjadinya sferositosis ialah karena adanya beberapa eritrosit
yang terikat pada sel-sel pelapis sinus-sinus yang telah diaktifkan oleh IgG
sehingga mengalamai perubahan bentuk, akan tetapi sel-sel tersebut lolos
dari eritrofagositosis dan untuk sementara tetap beredar. Oleh karena
bentuknya yang abnormal sferosit mudah tertangkap dalam trabekula
limpa dan dihancurkan.
2. Katabolisme HB yang meningkat
Indikatoor-indikator utama proses ini ialah :
a. Hiperbilirubinemia : Ikterus
54

b. Urobilinogenuria
3. Eritropoesis yang meningkat karena kompensasi sumsum tulang
a. Darah tepi : retikulositosis, normoblastemia.
b. Sumsum tulang : hyperplasia eritroid, hyperplasia sumsum tulang
c. Eritropoiesis ekstramedular
d. Absorbsi Fe meningkat.
4.2.2

DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosa anemia hemolitik berdasarkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, dimana bisa diketahui kausa
penyebab dari anemia hemolitik itu sendiri.

4.2.3
4.2.4

DIAGNOSA BANDING
- Anemia Pasca Perdarahan
- Leukimia
PENGOBATAN
Anemia hemolitik diterapi sesuai penyebabnya. Pada anemia hemolitik
autoimun diterapi dengan:
- Kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari
- Splenektomi
- Imunosupresi, Azatioprin 50-200 mg/hari
- Danazol 600-800 mg/hari
- Terapi transfusi
Pada anemia hemolitik non imun, terapi diberikan berdasarkan klasifikasi.
o Defisiensi G6PD
Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, tidak perlu terapi khusus
kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari. Pada hemolisis berat,
yang biasa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin diperlukan
transfuse darah
o Defek Jalur Embden Meyerhof
Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali dengan
hemolisis berat harus diberikan asam folat 1 mg/hari. Transfusi darah
diperlukan ketika krisis hipoplastik.
o Malaria
Terapi anemia pada infeksi malaria

pada

dasarnya

dengan

mengeradikasi parasit penyebab. Transfusi darah segera, sangat


55

dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 g/dl. Preparat asam folat
sering diberikan pada pasien. Pemberian besi sebaiknya ditunda
sampai terbukti adanya defisiensi besi.
4.2.5

PROGNOSIS
Prognosis pada pasien dengan anemia hemolitik tergantung pada
penyakit yang mendasari. Pada pasien dengan anemia hemolitik autoimun tipe
hangat , hanya sebgaian kecil pasien yang mengalami penyembuhan komplit
dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlamgsung kronik,
namun terkendali. Sedangkan pada pasien dengan anemia hemolitik autoimun
tipe dingin dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik dan
cukup stabil
4.2.6 PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan dapat berupa:
Pemeriksaan laboratorium jika ditemukan gejala
Pendidikan kesehatan
Perbaikan gizi
Hidup bersih dan sehat

4.3

ANEMIA PADA PENYAKIT LAINNYA

4.3.1 Anemia Pada Infeksi Malaria


A. Dasar patogenesis penyakit malaria
Patologi malaria terkait dengan fase infeksi darah (Gambar 1) (OcanaMorgner et.al, 2003). Infeksi plasmodium Falciparum memiliki laju
multiplikasi yang lebih tinggi yang juga secara konal mengekspresikan varian
antigen pada permukaan eritrosit yang terinfeksi (pf-EMP-1). Pf-EMP-1
berikatan dengan ligan pada permukaan sel-sel endotel dan memediasi
keberadaan eritrosit yang terinfeksi dalam vena postcapillary. Kedua

56

karakteristik ini memungkinkan parasit P. falciparum untuk menghindar dari


sistem imun host, yang menyebabkan terjadinya parasitemia yang tinggi
dengan infeksi berulang yang berkontribusi terhadap keadaaan kronis dari
penyakit ini (Hvild, 2005). Pada malaria P. vivax dan P. ovale, parasitemia
yang tinggi jarang terjadi karena invasi terhadap eritrosit terbatas pada
retikulosit. Akan tetapi, P. vivax kadang-kadang dapat menyebabkan penyakit
yang berat termasuk anemia melalui hemolisis berat (Tjitra, 2005; RodriquezMorales, 2006; Nosten, 1999).

Gambar 1. Siklus hidup parasit malaria (Lamikanra, 2007)


Spektrum gejala klinis dan tingkat keparahan P. falciparum cukup luas.
Pada daerah endemic, banyak infeksi pada anak-anak dan orang dewasa yang
semi-imun dan imun muncul karena penyakit febrile yang tidak sempurna.
Pada sebagian besar penyakit berat, individu non-imun dapat memiliki
sejumlah sindrom termasuk anemia, koma, distress pernapasan, dan
hipoglikemia, serta memiliki frekuensi bakterimia yang tinggi (Marah, 1995;
Berkley, 2005). Banyak anak yang menderita anemia ringan, sedang, dan
bahkan berat tanpa sindrom penyakit berat yang lain. Akan tetapi, anemia
berat dapat diikuti oleh sindrom penyakit berat yang lain (Marah, 1999).
Sebagai contoh, anak yang menderita anemia dapat juga memunculkan gejala
malaise, kelelahan, dyspnoea, atau distress pernapasan karena metabolic
acidosis supervenes (Krishna, 1994; English,1997). Distribusi umur pada
57

sindrom penyakit berat ini cukup menarik, tapi sangat sedikit dipahami. Anak
yang lahir di daerah endemic malaria cukup besar terlindungi dari malaria
berat pada 6 bulan pertama kehidupan melalui transfer pasif immunoglobulin
ibu dan haemoglobin semasa janin. Penampakan penyakit berubah dari
anemia berat pada anak usia 1 sampai 3 tahun di daerah transmisi tinggi
menjadi malaria cerebral pada orang yang lebih tua di daerah transmisi rendah
(Snow, 1997). Seiring penurunan intensitas transmisi, malaria berat lebih
sering ditemukan pada kelompok usia yang lebih tua.
Anemia pada malaria P. falciparum memiliki ciri normocytic dan
normochromic, dengan secara khusus tidak adanya retikulosit, walaupun
microcytosis dan hypocromia dapat muncul disebabkan karena sifat talasemia
alpha dan beta dengan frekuensi sangat tinggi dan/atau defisiensi besi pada
daerah endemic malaria (Newton, 1997; Yeats, 1999; Abdalla, 2004; Roberts,
2005) perbedaan yang jelas pada patofisiologi anemia dalam berbagai kondisi
klinis, usia dan area geografis hanya sedikit dipahami dan tentunya
memerlukan lebih banyak penelitian lagi. Bentuk anemia yang kurang umum
pada malaria aalah blackwater fever yang ditandai dengan secara tibab-tiba
munculnya kemoglobin pada urin yang terkait dengan penggunaan kina yang
tidak beraturan (Stephens, 1937).
Oleh karena itu, keadaan klinis anemia berat cukup bervariasi dan
komplks: infeksi akut kemungkinan menyebabkan anemia dan/atau malaria
cerebral, distress pernapasan, dan hipoglikemia; dan infeksi kronis, infeksi
berulang dapat menyebabkan anemia berat. Di samping itu, kemungkinan ada
pula background Hb normal atau rendah. Dengan demikian, pemahaman
mengenai proses patofisiologi utamanya telah dikaitkan dengan konteks klinis
yang berbeda-beda (Lamikanra, 2007).
A. Patofisiologi Anemia pada Penyakit Malaria
Penyebab yang mendasari anemia malaria berat pada manusia dapat
mencakup satu atau lebih dari beberapa mekanisme berikut: (1)
58

penghilangan dan / atau penghancuran sel darah merah yang terinfeksi, (2)
penghilangan Sel darah merah yang tidak terinfeksi, (3) penekanan
erythropoietic dan dyserythropoiesis. Setiap dari mekanisme ini telah
terlibat dalam anemia malaria pada manusia.
Hilangnya sel darah merah yang terinfeksi
Selama infeksi terjadi, ada kehilangan yang jelas dari eritrosit yang
terinfeksi untuk pematangan parasit serta pada saat pengenalan makrofag.
Jalur fagositik untuk manusia dan tikus dapat dilihat pada tabel 1 (CasalsPascual et.al 2006).

Tabel 1. Kenampakan patologis P. Falciparum dan anemia malaria pada manusia dan tikus
(Lamikanra, 2007)

59

Cukup jelas bahwa mekanisme yang sama juga ada untuk hilangnya
eritrosit yang terinfeksi pada manusia dan tikus. Akan tetapi, hilangnya
eritrosit terinfeksi pada manusia dengan parasitemia kurang dari 1%
nampaknya tidak memberikan dampak yang signifikan pada derajat anemia.
Oleh karena itu, penghilangan ini, dapat membuktikan lebih terkaitnya untuk
onset anemia pada individu yang menderita infeski akut, khususnya anakanak dimana parasitemia biasanya lebih besar dari 10% (Lamikanra, 2007).
Penekanan erythropoietic dan dyserythropoiesis
Eritropoiesis normal terganggu selama infeksi malaria. Pengamatan
yang paling awal mengenai eritropoiesis yang berkurang pada manusia yang
menderita malaria akut dibuat lebih dari 60 tahun yang lalu di mana
reticulocytopenia diamati dalam infeksi malaria P vivax dan P falciparum
yang diikuti oleh retikulositosis setelah penghilangan parasit (Vryonis, 1939).
Kemudian, ditunjukkan bahwa jumlah reticulocyte yang rendah pada pasien
dengan malaria di Thailand diikuti dengan penekanan eritropoiesis (CasalsPascual & Roberts, 2006).
Bagian sumsum tulang yang diambil dari anak-anak Gambia dengan
anemia akut mengungkapkan bahwa meskipun peningkatan cellularity tidak
berbeda secara signifikan untuk jumlah total erythroblasts yang diamati
ketika dibandingkan dengan pasien yang tidak terinfeksi, hal ini memberikan
bukti untuk respon erythroid yang ditekan. Anak-anak yang mengalami
anemia kronis (parasitemia < 1%) memiliki kadar erythroid hyperplasia dan
dyserythropoiesis yang lebih tinggi (Abdalla SH, 1990). Dyserythropoiesis
atau secara morfologi dan / atau secara fungsional produksi sel darah merah
abnormal ditunjukkan oleh vacuolasi sitoplasma, stippling, fragmentasi,
jembatan intercytoplasmic, fragmentasi inti, dan multinuclearitas. Hal ini
bertepatan dengan berkurangnya retikulositosis yang mengindikasikan
gangguan fungsional produksi sel darah merah dari sumsum tulang (Abdalla
SH, 1990) (Gambar 2). Dalam penelitian yang lebih kecil dari 6 anak dengan
60

penyakit kronis, sebuah peningkatan proporsi erythroblasts polikromatik


diamati di fase G2 pembelahan (Wickramasinghe, 1982). Pengobatan pasien
dengan obat antimalaria meningkatkan jumlah retikulosit, yang menunjukkan
bahwa P. falciparum sebagai penyebab dyserythropoiesis dan eritropoiesis
tidak efektif.

Gambar 2. Pengaruh langsung dan tidak langsung parasit pada perkembangan anemia
malaria

Sebuah produk sampingan parasit dari pencernaan hemoglobin,


hemozoin, mungkin memiliki peran dalam terjadinya gangguan erythroid
melalui pengaruh pada fungsi monosit manusia. Hemozoin mengurangi
aktivitas oksidatif yang berlebihan pada manusia, mencegah up-regulasi
penanda aktivasi, (Schwarzer, 1998) dan juga merangsang sekresi
endoperoxides yang aktif secara biologis dari monosit, seperti 15 (S)hydroxyeicosatetraenoic (HETE) dan 4-hidroksi-nonenal (4-HNE) melalui
oksidasi lipid membran, (Schwarzer, 2003) yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan erythroid. (Giribaldi, 2004) Disfungsi Makrofag juga bisa
mengganggu fungsi pulau erythroblastic dimana makrofag mendukung
diferensiasi terminal erythroblasts di sumsum tulang. Hemozoin dan TNFjuga memiliki efek aditif pada eritropoiesis in vitro, dan dalam studi klinis
makrofag yang mengandung hemozoin dan hemozoin plasma dikaitkan
61

dengan anemia dan penekanan retikulosit. (Casals-Pascual, 2006) Selain itu,


bagian sumsum tulang dari anak-anak yang meninggal karena malaria berat
menunjukkan hubungan yang signifikan antara jumlah hemozoin (terletak di
prekursor erythroid dan makrofag) dan proporsi sel erythroid yang abnormal.
Temuan ini konsisten dengan efek penghambatan langsung hemozoin pada
eritropoiesis dan karena itu memerlukan penyelidikan lebih lanjut
(Lamikanra, 2007)
Penekanan cytokine dalam erythropoiesis
Selama fase akut infeksi ada respon inflamasi yang kuat, yang
menghasilkan peningkatan TNF dan IFN (Yap, 1994). TNF menghambat
semua tahapan eritropoiesis (Dufour, 2003), dan IFN bekerja dengan TNF
untuk menghambat pertumbuhan dan diferensiasi erythroid dengan upregulasi ekspresi TRAIL, TWEAK, dan CD95L dalam perkembangan
erythroblasts (Felli, 2005). Sedangkan penyakit berat pada anak dikaitkan
dengan peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan anti-inflamasi, tingkat
keparahan anemia nampaknya tergantung pada tingkat TNF yang relatif
terhadap regulatornya, anti-inflamasi sitokin IL-10 yang potensial. Beberapa
studi klinis telah menunjukkan bahwa rasio yang rendah dari plasma IL-10/
TNF terkait dengan anemia malaria berat pada anak-anak (Othoro, 1999).
Selanjutnya,

sejumlah

polimorfisme

dalam TNF-promotor

manusia

menunjukkan hubungan yang lebih besar dengan anemia dibandingkan


dengan malaria serebral (McGuire, 1999). Oleh karena itu dikemukakan
bahwa pada manusia IL-10 dapat melindungi terhadap penekanan sumsum
tulang dan aktivitas erythrophagocytic yang diinduksi oleh TNF dan/atau
mengurangi rangsangan proinflamasi lainnya.
Banyak sitokin pro inflamasi lain seperti, IL-12 IL-18, dan migrasi
faktor penghambat (MIF) juga telah terlibat dalam patogenesis anemia pada
malaria. Pada manusia, sekresi IL-12 dan IL-18 dari makrofag menginduksi
produksi IFN dari pembunuh alami (NK), sel B, dan sel T (Malaguamera,
62

2002), sementara MIF diproduksi melalui sel T dan makrofag yang diaktifkan
dan menghambat aktivitas anti-inflamasi glukokortikoid (Clark & Cowden,
2003).
IL-12 berada dalam tingkat yang lebih tinggi pada keadaan nonlethal, dibandingkan dengan keadaan lethal, sitokin ini dapat menjadi
stimulator eritropoiesis (Mohan, 1998). Sebaliknya, dengan peningkatan
kadar yang ditemukan selama infeksi, MIF telah terlihat menekan
hematopoiesis (Martiney, 2000).
The Hubungan IL-12 dengan malaria falciparum berat masih kurang
jelas. Beberapa studi mengamati kenaikan moderat IL-12 dan IL-18 pada
pasien dengan anemia berat (Awandare, 2006), yang lain melaporkan
penurunan IL-12 pada pasien dengan malaria berat (Hb <75 g / L [7,5 g /
dL]) dibandingkan dengan kontrol tidak sempurna (Hb> 100 g / L [10 g /
dL]), atau tidak ada peningkatan yang signifikan pada pasien dengan penyakit
berat dibandingkan dengan malaria tanpa komplikasi (Lyke, 2004). Dalam 2
contoh terakhir di atas, anti-inflamasi sitokin seperti TGF atau IL-10 juga
berkurang pada pasien dengan penyakit parah. Sebaliknya, pasien dengan
penyakit akut dan peningkatan kadar IL-12 telah menandai peningkatan IL10 (Malaguamera, 2002). Karena sebagian besar pasien dengan anemia dalam
studi terakhir memiliki rata-rata kadar Hb 90 g / L (9 g / dL) adalah mungkin
bahwa, peningkatan IL-12 berhubungan dengan penurunan tingkat keparahan
anemia malaria berat.
Pengamatan ini menunjukkan kompleksitas respon sitokin, dan juga
menyoroti pentingnya keseimbangan antara sitokin proinflamasi dan
antiinflamasi, yang dapat menjadi pelindung atau merugikan host.
Memahami peran sitokin akan membutuhkan lebih banyak data dari studi
yang kuat untuk memungkinkan penggunaan analisis multivariat yang lebih
canggih yang memungkinkan untuk interaksi yang rumit antara masingmasing faktor.
63

Sebuah produk parasit yang ditemukan dalam plasma selama terjadi


infeksi yang mungkin terlibat dalam efek sitokin proinflamasi pada anemia
malaria berat adalah jangkar glycophosphatidylinositol (GPI) dari protein
merozoit, MSP-1, MSP-2, dan MSP-4 (Miller, 1993). GPIs cenderung untuk
memberikan kontribusi untuk anemia malaria karena dapat menginduksi
pelepasan TNF-dari makrofag manusia (Schofield, 1993), yang dapat
berkontribusi terhadap patologi dari anemia malaria berat. Lebih khusus,
baru-baru ini telah diperlihatkan bahwa respon proinflamasi dari monosit
manusia adalah melalui interaksi dengan GPIs TLR2, dan untuk TLR4 yang
lebih rendah (Krishnegowda, 2005).
Sebuah produk yang telah dibahas sebelumnya, hemozoin, juga dapat
lebih erat terkait dengan respon imun bawaan, dan dengan demikian terkait
pula dengan pelepasan proinflamasi sitokin. Pada manusia, pigmen sintetik
menginduksi ekspresi TNF, yang telah dikaitkan dengan kemampuan
hemozoin untuk menginduksi metaloproteinase MMP-9 (Prato, 2005).
Erythropoietin.
Penurunan Hb dan penurunan berikutnya dalam tekanan oksigen
harus merangsang peningkatan kadar eritropoietin (Epo) pada pasien dengan
anemia malaria yang berat. Bukti klinis untuk peningkatan kadar Epo yang
tepat pada malaria agak kontradiktif. Studi pada orang dewasa dari Thailand
dan Sudan telah menunjukkan bahwa konsentrasi Epo, meskipun dinaikkan,
kurang tepat untuk derajat anemia (el Hassan, 1997). Namun, beberapa
penelitian malaria pada anak-anak Afrika yang menderita anemia malaria
telah menunjukkan peningkatan konsentrasi Epo dengan tepat (Verhoef,
2002). Bahkan, tingkat Epo pada anemia malaria lebih dari 3 kali lipat lebih
tinggi bila dibandingkan dengan anak anemia tanpa malaria. (72) Ada
kemungkinan bahwa sintesis Epo yang tidak efektif atau tidak memadai
berkontribusi terhadap anemia malaria di beberapa tempat, kemungkinan
berhubungan dengan usia, asal etnis, atau presentasi pasien. Akan tetapi, pada
64

anak-anak Afrika dengan malaria, sintesis Epo memang meningkat lebih dari
yang diharapkan dan itu lebih mungkin bahwa berkurangnya respon terhadap
Epo, bukan tingkat Epo rendah yang tidak tepat, merupakan kontribusi yang
lebih signifikan untuk patologi.
Glukosa-6-fosfat dehidrogenase

(G6PD) me- rupakan enzim

pengkatalisis reaksi pertama jalur pentosa fosfat dan memberikan efek


reduksi pada semua sel dalam bentuk NADPH (bentuk

tereduksi

nicotinamide adenine dinucleotide phosphate).

NADPH

memungkinkan sel-sel bertahan


dipicu

oleh beberapa

Senyawa

dari stres oksidatif

yang

dapat

bahan oksidan dan menyediakan glutathione

dalam bentuk tereduksi. Eritrosit tidak me-miliki mitokondria sehingga


jalur

pentosa

sehingga

fosfat merupakan

pertahanan

satu-satunya

sumber NADPH,

terhadap kerusakan oksidatif tergantung pada

G6PD
Defisiensi

G6PD

diturunkan

hanya memiliki satu kromosom X

melalui kromosom X. Laki-laki

sehingga

dapat

memiliki ekspresi

gen yang normal maupun defisiensi G6PD. Perempuan yang memiliki 2


kopi gen G6PD pada setiap kromosom X dapat memiliki ekspresi gen
normal, heterozigot, maupun homozigot. Perempuan
memiliki

mosaic

genetik

akibat

heterozigot

dapat

inaktivasi kromosom X, dan dapat

menderita defisiensi G6PD


Sebagian besar penderita defis iensi G 6PD tidak bergejala dan
tidak mengetahui kondisinya. Penyakit ini muncul
mengalami

stres

oksidatif dipicu obat, infeksi, maupun konsumsi

kacang

fava. Defi

anemia

hemolitik akut

ikterus neonatorum

apabila eritrosit

siensi
yang

G6PD

biasanya bermanifestasi

sebagai

di-induksi obat maupun infeksi, favisme,

maupun anemia

hemolitik

non-sferosis kronis.

Beberapa kondisi seperti diabetes, infark miokard, latihan fi

65

sik berat

telah dilaporkan menginduksi hemolisis pada penderita

defi

siensi

G6PD. Hemolisis akut pada penderita defi siensi G6PD biasa nya ditandai
dengan rasa lemah, nyeri punggung, anemia

dan

ikterus. Terjadi

peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, laktat dehidrogenase dan


retikulositosis.
Anemia Hemolitik Terinduksi Obat
Defisiensi G6PD ditemukan sebagai hasil investigasi
pada

hemolisis

penderita yang minum primakuin. Beberapa obat dihubungkan

dengan hemolisis akut pada penderita defisiensi G6PD ( Tabel 1). Obatobat

spesifik penyebab

langsung

krisis hemolisis penderita defisiensi

G6PD sulit di- tentukan dengan tepat. Pertama, suatu obat yang dinyatakan
aman untuk satu penderita defisiensi G6PD belum

tentu

aman

untuk

penderita lain, mungkin karena perbedaan farmakokinetik tiap individu.


Kedua,

obat yang memiliki efek oksidan sering diberikan pada pasien

dengan keadaan klinis (misalnya infeksi) yang dapat menyebabkan


hemolisis. Ketiga,

pasien

mengkonsumsi

lebih

dari satu jenis obat.

Keempat, hemolisis pada defisiensi G6PD biasanya sembuh sendiri, tidak


menyebabkan anemia dan retikulo- sitosis yang signifikan
Anemia Hemolitik Terinduksi Infeksi.
Infeksi
penderita

merupakan

penyebab

pada

defisiensi G6PD. Beberapa infeksi yang dapat mencetuskan-

nya antara lain infeksi virus Hepatitis A


pneumonia

hemolisis tersering

dan demam tifoid.

dan B,

Cytomegalovirus,

Beratnya hemolisis dipengaruhi

oleh

beberapa faktor antara lain pemberian obat, fungsi hati dan usia. Pada
hemolisis berat, transfusi darah segera memperbaiki luaran. Komplikasi
serius akibat infeksi virus hepatitis pada penderita defisiensi G6PD adalah
gagal ginjal akut; dapat disebabkan nekrosis tubular akut akibat iskemi ginjal

66

maupun

obstruksi tubular

karena hemoglobin cast.

Beberapa pasien

mungkin memerlukan hemodialisis.


Favisme
Konsumsi fava beans/kacang fava dapat menyebabkan hemolisis
dan kondisi ini disebut
Mediterania,

favisme. Favisme ditemukan di negara-negara

Timur Tengah dan

Afrika

Utara, tidak ditemukan di

Indonesia. Tidak semua penderita defisiensi G6PD yang memakan kacang


fava menderita favisme,

dapat

terjadi

respons

berbeda- beda dari

individu yang sama tergantung kesehatan pasien dan jumlah kacang fava
yang dikonsumsi. Divicine, isouramil dan convicine diperkirakan sebagai
bahan

toksik dari kacang fava yang meningkatkan aktivitas hexose

monophosphate shunt, sehingga menyebabkan hemolisis pada penderita


defisiensi G6PD.
Favisme menyebabkan

anemia

hemolitik akut, biasanya 24 jam

setelah kacang fava dikonsumsi. Hemoglobinuria yang muncul lebih berat


dibanding yang disebabkan oleh induksi obat maupun infeksi meskipun
kadar bilirubinnya lebih rendah. Hemolitik akibat favisme dapat terjadi
intravaskular maupun ekstravaskular dan dapat menyebabkan gagal ginjal
akut.
4.3.2

Anemia Pada Gagal Ginjal Kronik


Anemia pada gagal ginjal kronik. Pada gagal ginjal kronik (GGK)

dimana telah terjadi kerusakan menerap jaringan ginjal semua fungsi tersebut
akan terganggu. Anemia hampir selalu dijumpai pada penderita GGK, kecuali
pada jaringan GGK karena ginjal polikistik. Hanya 3% penderita yang
menjalani hemodialisis mempunyai hemoglobin normal dan 25% memerlukan
transfusi berulang. Penurunan hematokrit sudah mulai nampak pada klirens
kreatinin 30-35 ml/menit.

67

Patofisiologi anemia pada gagal ginjal


Dikenal 4 mekanisme yang dikemukakan sebagai penyebab anemia
pada GGK yaitu :
1.

Defisiensi eritropoietin (Epo)

2.

Pemendekan panjang hidup eritrosit

3.

Metabolit toksik yang merupakan inhibitor eritropoiesis

4.

Kecenderungan berdarah karena tombopati

Secara patofisiologik digambarkan pada gambar. Defisiensi Epo


merupakan penyebab utama nameia pada GGK. Dalam keadaan normal 90%
Epo diproduksi ginjal dan hanya 10% diproduksi hati. Keadaan hipoxia
merupakan

rangsangan

untuk

peningkatan

pembentukan

Epo.

Epo

mempengaruhi produksi eritrosit dengan merangsang proliferasi, diferensiasi


dan maturasi prekursor eritrosit.
Disamping itu masih banyak faktor lain yang juga ikut berperan dalam
timbulnya anemia pada GGK , yaitu :
1.

Gangguan eritropoiesis

Defisiensi Epo

Defisiensi fe

Defisiensi asam folat

Inhibitor uremik

Hiperparatiroid

Intoksikasi aluminium

68

2.

Pemendekan umur eritrosit


o
o
o
o
o
o

hemolisis
Hipersplenisme
transfusi berulang
Kehilangan darah
Perdarhan karena trombopati
Prosedur hemodialisis

4.3.3 Anemia Pada Neoplasma


Anemia pada neoplasma
Anemia pada penyakit kanker terjadi karena aktivasi sistem imun dan sistem
inflamasi oleh keganasan tersebut, serta beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sistem
imun dan inflamasi seperti interferon (INF), tumor necrosis factor (TNF), dan
interleukin (IL-1) merupakan bahan-bahan yang merangsang untuk terjadinya
anemia. Disamping itu, keganasan tersebut juga dapat mempunyai efek langsung
untuk terjadinya anemia.
Pada keganasan hematologi didapati adanya kadar INF-y dan neopterin, suatu
pertanda adanya aktivasi imunitas seluler. Kadar neopterin berubungan nyata dengan
kadar INF-y dan berhubungan terbalik dengan hemoglobin dan besi. Hubungan ini

69

menandakan adanya aktifitas imunitas seluler dan mungkin adanya hubungan antaera
aktivasi makrofag anemia. Konsentasi INF-y juga meningkat pada penyakit kronik.
Kadar TNF tergantung pada keganasan dan aktivasinya. Pasien dengan penyakit yang
kadar TNF-nya akan meningkat, walau penyakitnya kadang tidak dapat diketahui.
Sesuai dengan penemuan dan beberapa studi maupun eksperimental, papara kronik
pada TNF dapat menyebabkan anemia.
Interleukin (IL-1) seperti juga TNF adalah sitokin yang mempunyai kerja yang luas di
dalam proses repon imun dan inflamasi. Konsentasi IL-1 juga meningkat pada
arthritis rheumatoid dan penyakit kronik lain yang berhubungan dengan anemia
karena penyakit kronik (ACD = anemia of chronic disease).
Massa sel darah merah secara normal ditentukan oleh umur sel darah merah itu dan
dari kecepatan produksinya. Anemia terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara
kedua faktor tersebut. Pada anemia karena kanker, kedua faktor tersebut sangat
menentukan. Yang paling terpenting adalah adanya kegagalan relatif dari sumsum
tulang dalam meningkatkan prosuksi sel darah merah guna mengimbangi pendeknya
sel darah merah tersebut.
Mekanisme patogenik berikut dirumuskan sebagai yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya anemia yang diperantarai oleh interleukin-1, interferon, dan tumor nekrosis
factor, yaitu :
1.
2.
3.
4.

Gangguan pemakaian zat besi


Penekanan terhadap sel progenitor
Produksi eritropoietin tidak memadai
Pemendekan umur sel darah merah.

70

BAB V
ANEMIA MAKROSITIK
5.1 Anemia Megaloblastik
5.1.1 Pendahuluan
Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan
sintesis DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik. Kriteria anemia dan defisiensi
gizi menurut WHO 1972 sebagai berikut:
Dinyatakan Anemia, bila kadar hemoglobin (Hb) pada ketinggian permukaan laut
lebih rendah dari nilai pada golongan umur yang ada yaitu :
Anak umur 6 bulan - 6 tahun

:11g/100ml

6 tahun - 14 tahun

:12g/100ml

Priadewasa

:13gr/100ml

Perempuan dewasa tak hamil

:12gr/100ml

Perempuan dewasa hamil

: 11 gr/100 ml

Untuk anemia gizi, selain kadar Hb ditambah tolok ukur kadar besi, asam Folat dan
vitamin B12.
Perlu diingat bahwa peningkatan atau penurunan Hb dan hematokrit (Ht)
adakalanya palsu. Keadaan yang dapat meningkat palsu ialah: berkurangnya plasma

71

darah, combusio (luka bakar), diuresis yang berlebihan, dehidrasi. Kadar rendah palsu
contohnya pada keadaan hamil atau dekompensasi jantung.
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh sintesis DNA
yang terganggu. Sel-sel yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif
mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel awal hematopoietik dan epitel
gastrointestinal. Pembelahan sel terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik
normal, sehingga sel-sel megaloblastik cenderung menjadi besar dengan peningkatan
rasio dari RNA terhadap DNA; Sel-sel awal/pendahulu eritroid megaloblastik
cenderung dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian selularitas
sumsum tulang sering meningkat tetapi sroduksi sel darah merah berkurang,
dan keadaan abnormal ini disebut dengan istilah eritropoiesis yang tidak efektif
(ineffective erythropoiesis). Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena
defisiensi vitamin B12 (kobalamin) dan atau asam folat.
Berbagai macam keadaan klinik yang berkaitan dengan anemia megaloblastik dapat
diklasifikasikan seperti yang tertera berikut ini:
5.1.2. Klasifikasi Anemia Megaloblastik
a.

Defisiensi Kobalamin

Asupan tidak cukup: vegetarian (jarang)

Malabsorbsi
- Defek penyampaian dari kobalamin dari makanan: achlorhidria gaster,
gastrektomi, obat-obat yang menghalangi sekresi asam
- Produksi faktor intrinsik yang tak rriencukupi: anemia pernisiosa,
Gastrektomi total, Abnormalitas fungsional atau tak adanya faktor
intrinsik yang bersifat kongenital.
- Gangguan dari ileum terminalis: sprue tropikal, sprue non tropikal,
enteritis regional, reseksi intestinum, neoplasma dan gangguan

72

granulomatosa (jarang), sindrom Imerslund (malabsorbsi kobalamin


selektif) (jarang)
- Kompetisi pada kobalamin: fish tapeworm(Diphylobotrium
latum), Bakteri blind loop syndrome
- Obat-obatan : p-aminosalicylic acid, kolkisin, neomisin.
Lain lain: NO (Nitrous oxide) anesthesia, defisiensi transkobalamin II (jarang),
defek enzim kongenital (jarang).
b. Defisiensi Asam Folat

Asupan yang tak adekuat: diet yang tak seimbang (sering pada peminum alkohol,

usia belasan tahun, beberapa bayi)


Keperluan yang meningkat: kehamilan, bayi, keganasan, peningkatan
hematopoiesis (anemia hemolitik kronik), kelainan kulit eksfoliatif kronik,
hemolisis Malabsorbsi: sprue tropikal, sprue nontropikal, obat-obat: phenytoin,

barbiturat (?) ethanol


Metabolisme yang

Terganggu:

pengharabat

dihydrofolat

reductase

(metotreksat, pirimetamin, triamteren, pentamidin, trimetoprin). Alkohol, Jarang

defisiensi enzim {dihydrofolat reductase, dll).


Obat-obat yang mengganggu metabolismeDNA:

antagonis

purin

(6

merkaptopurin, azatioprin, dll). Antagonis pirimidin (5-fluorourasil, sitosin

arabinose, dll). Lain-lain : prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, zidovudin


Gangguan metabolite (jarang): asiduria urotik herediter, sindrom Lesch-

Nyhan, lain lain


Anemia megaloblastik dengan penyebab tak diketahui:anemia megaloblastik
refrakter, Sindrom Diguglielmo, anemia diseritropoietik kongenital.

ASAM FOLAT DAN VITAMIN B12


Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan
yang sangat penting bagi tubuh. Peran utama asam folat dan vitamin B12 ialah

73

dalam metabolisme intraselular. Seperti yang diterangkan di depan, adanya


defisiensi kedua zat tersebut akan menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA
pada tiap sel, di mana pembelahan kromosom sedang terjadi. Jaringan-jaringan
yang memiliki pergantian sel yang sangat cepat akan mengalami perubahan yang
sangat dramatis, antara lain adalah sistem hematopoiesis yang sangat sensitif
pada defisiensi dan menyebabkan anemia megaloblastik.
Asam folat adalah narna yang biasa diberikan pada asam pteroylmonoglutamic.
Zat ini disintesis pada banyak macam tanaman dan bakteri. Buah-buahan dan sayur
merupakan sumber diet utama dari vitamin. Beberapa bentuk dari asam folat dalam
diet sangat labil dan dapat: menjadi rusak pada waktu dimasak. Keperluan minimal tiap
hari secara normal kurang lebih 50 ug, tetapi pada keadaan tertentu akan meningkat
sejalan dengan peningkatan metabolisme seperti pada kehamilan.
Defisiensi folat merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penyakit usus
halus karena penyakit tersebut dapat mengganggu absorbsi folat dari makanan dan
resirkulasi folat lewat siklus enterohepatik. Pada alkbholisme akut atau kronik,
asupan harian folat dalam makanan akan terhambat, dan siklus enterohepatik akan
terganggu oleh efek toksik dari alkohol pada sel sel parenkim hati, hal ini yang
menjadi penyebab utama dari defisiensi folat yang menimbulkan eritropoiesis
megaloblastik.
Penyakit seperti anemia hemolitik dapat pula jadi rumit oleh komplikasi defisiensi
folat yang dapat terjadi. Obat-obat yang menghambat dihidrofolat reduktase (antara
lain metotreksat, trimetoprim) atau yang dapat mengganggu absorbsi dan
penyimpanan folat dalam jaringan tubuh (antikonvulsan tertentu, kontraseptif
oral) mampu mengakibatkan penurunan kadar folat dalam plasma, dan bersamaan
waktunya dapat menjadi penyebab anemia megaloblastik. Hal ini karena adanya
gangguan maturasi yang disebabkan oleh defek inti sel. Jadi gangguan maturasi
yang timbul dalam pertumbuhan sel darah merah karena defisiensi asam folat atau

74

vitamin B12 disebabkan karena timbulnya defek dari inti sel darah merah yang muda
dalam sumsum tulang.
Folat dalam plasma pertama ditemukan dalam bentuk dari N5-metiltetrahidrofolat,
suatu monoglutamat, yang ditransport ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut yaitu yang
khusus dalam bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di dalam sel, gugus N5-metil
dilepas ke dalam reaksi kobalamin yang diperlukan, dan folat kemudian diubah
menjadi bentuk poiiglutamat. Konjugasi pada polyglutamate mungkin berguna
untiik penyimpanan folat di dalam sel.
Dcatan folat dengan protein tampak dalam plasma, susu, dan cairan tubuh lain.
Fungsi ikatan folat dan ikatan dengan membran perintisnya hingga kini belum
diketahui. Baik bentuk ikatan maupun perintisnya ada kaitannya dengan
pengangkutan tetrahidrofolat.
Fungsi utama senyawa folat ialah memindahkan "1-karbon moieties" seperti
gugus-gugus metil dan formil ke berbagai senyawa organik. Sumber dari "1-karbon
moieties" biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan

tetrahidrofolat

menghasilkan glisin dan N5-10-metilentetrahidrofolat. Sumber pilihan lain adalah


asam formiminoglutamat, suatu lanjutan dalam katabolisme histidin, yang
menyampaikan gugus formimino tetrahidrofolat dan asam glutamat. Derivatderivat tersebut menyediakan tempat masuk ke dalam kelompok pemberi dan mudah
saling menukar yang terdiri dari derivat-de&vat tetrahidrofolat pembawa macammacam "1 -carbon moieties".
Unsur-unsur pokok dari kelompok tersebut dapat memberikan "1-karbon
moieties" mereka kepada senyawa-senyawa penerima yang sesuai, guna membentuk
lanjutan metabolik dengan tujuan akhir mengubah pembentukan blok-blok yang
digunakan untuk sintesis makromolekul-makromolekul. Yang sangat penting dalam
pembentukan blok-blok tersebut adalah:

Purin-purin, di mana atom-atom C-2 dan C-8 dimasukkan dalam reaksi

ketergantungan pada folat;


Deoksitimidilat
monofosfat

(dTMP),
75

disintesis

dari

N5-10

metilentetrahidrofolat dan deoksiuridilat monofosfat (dUMP);


Metionin, yang dibentuk oleh peralihan dari gugus metil dari N5metiltetrahidrofolat ke homosistein.

Folat sangat penting untuk sintesis de novo purin,deoksitimidilat monofosfat


(dTMP), dan metionin, sebagaititan pembawa dari fragmen-fragmen 1-karbon
yangdigunakan untuk biosintesis dari senyawa-senyawa tersebuat. Bentuk
aktifnya adalah tetrahidrofolat (THF). THF memperoleh fragmen 1-karbaon
terutama dari serin yang merubah menjadi glisin dangkaian dari reaksi. Untuk
sisntesis purin fragmen 1-karbon pertama dioksidasi ke tingkat dari asam formik lalu
mengirimkan ke substrat. Untuk sisntesis metionin, keperluar reaksi kobalamin,
fragmen 1-karbon pertama dikurangi sampai tingkat gugus methyl lalu dikirimkan ke
homosistein. Dalam reaksi ini kofaktor tertentu dikelurkan sebagai THF, yang dapat
segera berpartisipasi dalam siklus perpindahan 1-karbon. Selama produksi dTMP
dari dUPM fragmen 1-karbon telah direduksi dari formaldehid ke gugus metil
dalam perjalanan dari reaksi perpindahan, yang tidak sebagai THF, tetapi
sebagai dihidrofolat (DHF). Untuk partisipasi selanjutnya ke dalam siklus
perpindahan 1-karbon, DHF telah direduksi menjadi THF. Reaksi ini dikatalisis
oleh dihidrofolat reduktase.
Derifat aktif atau bentuk kofaktor. Bentuk bentuk poliglutamat dari
tetrahidrofolat dengan unit karbon tambahan.Fungsi utama sebagai koenzim
guna satu pengangkut karbon dalam asam nukleat, dari metabolisme asam amino.
Kobalamin

adalah

vitamin

yang

mempunyai

susunan

komponen

organometalik yang kompleks, di mana atom cobalt terletak dalam inti cincin,
suatu struktur yang mirip bentuk porfirin dari mana Heme dibentuk. Tidak
seperti heme, namun kobalamin tidak dapat disintesis dalam tubuh manusia dan
harus di penuhi dari makanan. Sumber utama hanya dari daging dan susu.
Keperluan minimum sehari untuk kobalamin kurang lebih 2,5 ug.
Selama pencernaan dalam lambung, kobalamin dalam makanan dikeluarkan
dalam bentuk-bentuk kompleks yang stabil dengan pengikat gaster R, salah satu
76

keluarga gugus yang terdekat dari glikoprotein glikoprotein yang fungsinya


belum diketahui, yang terdapat dalam sekresi (misalnya, saliva, susu, cairan
lambung, empedu), fagosit dan plasma.
Pada saat memasuki duodenum, ikatan kompleks kobalamin-R dicerna,
dan menghasilkan kobalamin, yangkemudian terikat pada faktor intrinsik (FI),
suatu glikoprotein dengan berat 50-kDa yang dihasilkan oleh sel-sel parietal dari
lambung. Sekresi dari faktor intrinsik umumnya sejalan dengan asam lambung. Ikatan
kompleks kobalamin-FI dapat melawan untuk dicerna oleh proteolitik dan melintas
menuju ke ileum distal, dimana reseptor reseptor spesifik pada vili mukosa dan
menyerap kompleks kobalamin-FI. Jadi FI, seperti halnya ikatan besi transferin, adalah
protein sel pengatur alat pengangkut. Reseptor pengikat kompleks kobalamin-FI akan
dibawa masuk ke sel mukosa ileum, di mana FI kemudian dimusnahkan dan kobalamin
dipindahkan ke lain protein pengangkut, yaitu transkobalamin (TC) II. Kompleks
kobalamin-TC II kemudian disekresi kedalam sirkulasi, dari situ dengan cepat
dibawa ke hati, sumsum tulang, dan sel lain. Jalur penyerapan kobalamin dapat
disimak pada Gambar 4.
Dalam keadaan normal kurang lebih 2 mg kobalamin disimpan dalam hati, dan selain
itu 2 mg disimpan di jaringan seluruh tubuh. Dari sudut pandang keperluan harian
minimal, kurang lebih 3 sampai 6 tahun diperlukan untuk individu normal menjadi
kekurangan kobalamin bila absorbsi dihentikan secara tiba tiba.
Meskipun TC II adalah suatu acceptor guna penyerapan bam dari kobalamin,
dimana kebanyakan kobalamin yang beredar dalam sirkulasi diikat pada TC I, yaitu
suatu glikoprotein yang sangat erat hubungannya dengan pengikat R gaster. TC I
tampaknya diturunkan sebagai bagian dari lekosit. Yang berlawanan ialah bahwa
kebanyakan kobalamin yang beredar terikat pada TC I dari pada yang terikat pada TC
II; meskipun demikian pengangkutan awalnya dari semua kobalamin yang
diabsorbsi oleh intestinum, dapat diterangkan dengan adanya fakta bahwa ikatan
kobalamin pada TC II dengan cepat dibersihkan dari darah (V2 sampai 1 jam),

77

sedangkan pembersihan dari kobalamin yang terikat pada TC I memerlukan waktu


berhari hari. Hingga kini fungsi TC I belum diketahui.
Di dalam sel sel tubuh manusia, kobalamin merupakan faktor yang esensial bagi dua
enzim, yaitu metionin sintase dan metil malonil-koenzim A(CoA) sintase. Kobalamin ada
dalam dua bentuk aktif metabolik, yang dikenal pada gugus alkil yang terikat pada enam
posisi koordinasi dari atom Cobalt yaitu: metilkobalamin dan adenosilkobalamin (juga
disebut vitamin B12). Sianokobalamin belum diketahui peran fisiologisnya dan haras
diubah ke bentuk biologis aktif sebelum dapat digunakan oleh jaringan jaringan.
Metilkobalamin adalah bentuk yang diperlukan untuk metionin sintase, yang
bertindak sebagai katalisator dalam perubahan homosistein ke metionin (Gambar 1). Bila
reaksi tersebut terganggu, maka metabolisme folat menjadi kacau: dan dalam kekacauan
ini yang menjadi latar belakang kerusakan dalam sintesa DNA dan pada pasien
dengan defisiensi kobalamin timbul adanya bentuk maturasi megaloblastik.
Pada defisiensi kobalamin, maka N5-metiltetrahidrofolat yang tak terkonjugasi, yang
baru diambil dari aliran darah. tidak dapat diubah menjadi bentuk lain dari tetrahidrofolat
oleh

transfer

metil.

Ini

yang

disebut

hipotese

folat

trap.

Karena

N5-

metiltetrahidrofolat adalah substrat yang tak baik untuk enzim konjugasi, keadaan ini
sebagian besar tetap dalam bentuk tak terkonjugasi dan dengan pelan pelan keluar dari
sel. Karenanya defisiensi folat di jaringan akan terjadi, dan ini akan menimbulkan
hematoporesiv megaloblastik. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa simpanan
folat jaringan pada defisiensi kobalamin secan substansial, maka dengan penurunan
yang tidak seimbang dalam konjugasi, bila dibanding dengan folat yang tidak
terkonjugasi, meskipun kadar serum folat normal atau supranormal. Ini dapat pula
menerangkan mengapa dengan pemberian folat besar dapat menghasilkan remis:
hematologik parsial pada pasien dengan defisu kobalamin.
Kadar plasma hemosistein meningkat pada defisiena folat dan kobalamin, dan kadar
yang tinggi dari homosiste:-plasma tampaknya merupakan faktor risiko untuk kej a
trombosis vena dan arteri. Hingga kini belum diket: bahwa hiperhomosistein yang

78

diakibatkan oleh defis: folat atau kobalamin merupakan predisposisi an trombosis


atau mengubah respons dari pengobatan.
Adenilkobalamin diperlukan untuk konversi metilmalonil CoA menjadi
succinyl CoA. Tidak adanya kofaktor ini yang berperan penting dalam peningkatan van ;
cukup besar dalam kadar jaringan dari metil malonil Co dan pendahulunya, yaitu
propionil

CoA.

Seb^;-konsekuensi,

maka

asam

lemak

nonfisiologi:

mengandung sejumlah atom karbon yang berlebihan akjr disintesis dan bergabung
menjadi Lipid neuron

5.1.3 Gangguan Klinis


Sebagaimana tertera dalam klasifikasi anemia megaloblastik, kausa dari anemia
megaloblastik sangat bervariasi tergantung dari keadaan wilayah di dunia ini. Di
wilayah dengan udara dingin, defisiensi folat sering terjadi pada pecandu alkohol,
sedangkan defisiensi kobalamin disebabkan karena anemia pernisiosa atau
aklorhidria merupakan tipe yang sering dari anemia megaloblastik.
Di wilayah tropis, sprue adalah endemik yang merupakan penyebab penting
timbulnya anemia megaloblastik, sedangkan di Skandinavia, adanya cacing pita
dalam ikan yaitu Difilobotrium latumi, mungkin sebagai penyebabnya. Tentang infestasi
cacing pita di masyarakat Bali perlu mendapat perhatian.
Defisiensi kobalamin kebanyakan selalu berkaitan dengan malabsorbsi. Asupan
harian kobalamin lebih dari cukup untuk keperluan tubuh, kecuali pada vegetarian.
Berbeda dengan asupan harian asam folat adalah kecil di banyak wilayah di dunia.
Lebih lanjut, karena simpanan asam folat dalam tubuh relatif rendah, maka defisiensi
asam folat dapat timbul mendadak selama periode berkurangnya asupan atau
meningkatnya keperluan metabolik. Dan terakhir, defisiensi asam folat dapat
disebabkan oleh malabsorbsi. Sering pula dua atau lebih faktor yang
berdampingan akan berakibat pada pasien.

79

Tidak jarang kombinasi defisiensi kobalamin dan asam folat dapat terjadi. Pada
para pasien " tropical sprue " sering timbul defisiensi kedua vitamin tersebut.
Lesi biokimiawi sebagai akibat dalam maturasi megaloblastik dari sel sel
sumsum tulang juga dapat mengakibatkan abnormalitas fungsional dan struktural dari
sel sel epitel yang cepat berproliferasi dari mukosa intestinum. Jadi defisiensi yang
berat dari salah satu vitamin dapat mengakibatkan malabsorbsi.
Anemia megaloblastik dapat pula dipengaruhi oleh faktor- faktor yang tak ada
kaitannya dengan defisiensi vitamin. Kebanyakan dari penyebab tersebut dikarenakan
obat-obat yang mengganggu sintesis DNA. Meskipun kurang sering, maturasi
megaloblastik dapat merupakan gambaran defek sel induk hematopoietik yang didapat.
Dan sangat jarang ialah adanya defisiensi enzim spesifik yang kongenital.
Defisiensi Kobalamin
Gambaran klinis defisiensi kobalamin melibatkan darah, trakrus gastrointestinal, dan
sistema nervorum.
Manifestasi hematologis sepenuhnya selalu berakibat anemia, meskipun sangat
jarang purpura, dapat pula tampak, karena trombositopeni. Keluhan dari anemia
dapatterungkap seperti rasa lemah, nyeri kepala ringan, vertigo, tinitus, palpitasi,
angina dan keluhan yang berkaitan dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda
fisik dari pasien dengan defisiensi kobalamin yaitu pucat, dengan kulit sedikit
kekuningan begitu juga mata. Peningkatan kadar bilirubin ada kaitannya dengan
tingginya pelipat gandaan sel sel eritroid dalam sumsum tulang. Nadi denyutnya
cepat, dan jantung mungkin membesar, pada auskultasi biasanya terdengar bising
sistolik.
Manifestasi gastrointestinal karena defisiensi kobalamin akan ada
keluhan nyeri lidah, yang pada inspeksi tampakpapil lidah halus dan kemerahan.
Keluhan lain yaitu anorexia dengan turunnya berat badan, kemungkinan
bersamaan dengan diare dan Iain-lain keluhan gastrointestinal. Manifestasi yang

80

terakhir ini mungkin merupakan bagian dari megaloblastosis dari epitel usus halus,
yang mengakibatkan malabsorbsi.
Manifestasi

gangguan

neurologis,

sering

mengakibatkan

gagal

sepenuhnya dalam upaya pengobatan. Perubahan patologi yang awal adalah


demielinasi, kemudian diikuti oleh degenerasi aksonal dan akhirnya kematian
neuronal; dan stadium akhir dari perjalanan penyakit ialah tak dapat pulih. Tempat
yang ; menderita gangguan termasuk syaraf perifer; medula spi-1, nalis, dimana
kolumna posterior dan lateral mengalami demielinasi; dan juga serebrum sendiri.
Keluhan dan gejala termasuk mati rasa dan parestesia pada ekstremitas, kelemahan
dan ataksia. Kemungkinan terjadi gangguan dari sfingter. Refleks-refleks mungkin
hilang atau meningkat. Tanda Romberg dan Babinsky mungkin dapat positif dan
rasa sikap dan getaran biasanya hilang. Gangguan mental mulai dari sifat mudah
marah yang ringan dan mudah lupa sampai demensia yang berat atau psikosis yang
sesungguhnya. Hendaklah diingat bahwa penyakit neurologik dapat pula tampak
pada pasien dengan hematokrit dan indeks sel darah merah yang normal.
Kemungkinan akan banyak keuntungannya dengan pemberian suplemen folat
dalam makanan, yang mungkin dapat memperbaiki keadaan seperti gejala
neurologis karena defisiensi kobalamin. Gangguan pelepasan kobalamin dari
makanan, kejadiannya belum dapat diketahui,
Seperti diketahui kobalamin dalam makanan terikat pada enzim dalam daging dan
kemudian dipisahkan dari enzim tersebut oleh asam hidroklorida dan pepsin dalam
lambung. Umumnya orang orang berusia lebih dari 70 tahun mengalami aklonidria.
Karenanya mereka tak mampu untuk membebaskan kobalamin dari sumber makanan
tapi memelihara kemampuan absorbsi kristalin B12, suatu bentuk yang paling
sering terdapat dalam multivitamih. Ternyata hanya sebagian kecil dari orang orang
usia lebih dari 70 tahun yang mengalami defisiensi kobalamin, tapi banyak yang
mengidap perubahan biokimiawi, ini termasuk kadar yang rendah dari ikatan
kobalamin dengan TC IIdan peningkatan kadar homosistein, yang dapat
meratnalkan defisiensi kobalamin
81

Hal yang serupa yaitu para pasien yang mengalami berkurangnya produksi asam
lambung karena obat-obatan, seperti omeprazol, dapat juga mengganggu pelepasan
kobalamin dari makanan. Namun, "proton pump inhibitor" tidak menghambat sekresi
faktor intrinsik dari sel-sel parietal.
5.2 Anemia Pernisiosa
Anemia pemisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai penyebab defisiensi
kobalamin. Ini disebabkan karena tidak adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari
mukosa maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk or-ang orang Asia hal
tersebut jarang terjadi. Ini merupakan penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang
untuk usia di bawah 30 tahun, meskipun anemia pernisicia yang khas dapat terjadi
pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile pernicious anemia). Adanya kondisi
kelainan yang diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan
mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal maupun sama sekali tidak disekresi
akan mengakibatkan dsfisiensi pada bayi atau anak sangat muda.
Kejadian anemia pernisiosa secara substansial meningkat pada penyaikit
penyakit imunologik, termasuk penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi
adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipcp aratiroidisme. Pasien anemia pernisiosa
juga mempvr yai antibodi dalam sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan
penyakitnya: yaitu 90% mempunyai antibodi sel antiparietal, yang langsung
melawan H+, K+-ATPase, sedangkan 60% mempunyai antibodi antifaktor intrinsik.
Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50% para pasien atrofi gaster tanpa
anemia pernisiosa, demikian pula terdapat pada 10 sampai 15% dari populasi pasien
yang tak diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik biasanya tidak ada pada para
pasien tersebut. Sanak keluarga dari para pasien anemia pernisiosa terdapat
peningkatan kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena kemungkinan
juga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik dalam

serumnya.

Akhirnya

pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat memperbaiki penyakitnya.

82

Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapat juga mempunyai andil dalam
destruksi sel sel parietal. Anemia pernisiosa tidak jarang terdapat pada para pasien
dengan agammaglobinemia. Hal ini menunjang peran pada sistem imun seluler sebagai
patogenesisnya. Dan berbeda dengan Helicpbacter pylori yang tidak mengakibatkan
destruksi sel parietal pada anemia pernisiosa.
Ciri yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah atrofi lambung yang
mempengaruhi bagian yang mensekresi asam dan pepsin dari lambung; terkecuali
antrum. Perubahan patologis lain, adalah defisiensi kobalamin sekunder; ini
termasuk perubahan megaloblastik dalam lambung dan epitel intestinum
danperubahan neurologik. Abnormalitas epitelium gaster tampak sebagai cellular
atypia dalam preparat sitologik lambung, dapatan ini harus dibedakan dengan hati
hati dari abnormalitas yang tampak pada keganasan.
Pasca Gastrektomi
Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang luas karena bahan obat yang
merusak, maka akan terjadi anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah
dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi kobalamin yang diberikan oral
akan terganggu. Anemia megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomi parsial,
yang sebabnya belum jelas.
Organisme Intestinal
Anemia megaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi anatomik (striktur,
divertikel, anastomosis, blind loops) atau pseudo obstruksi (diabetes melitus,
skleroderma, amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari sejumlah besai'
kumpulan bakteri dalam usus haius yang mengkonsumsi kobalamin intestinal
sebelum diabsorbsi. Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan
demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu bila intestinum dihuni lebih
banyak oleh kolonisasi bakteri. Respons hematologis tslah diabsorbsi setelah
pemberian antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia megaloblastik
83

dapat dijumpai pada orang-orang pengidap cacing pita karena adanya kompetisi dari
cacing dalam memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita tersebut maka
problerna tersebut dapat diatasi.
Abnormalitas lleum
Definisi kobalamin sering dijumpai pada "tropical sprue", sedangkan hal ini
merupakan komplikasi yang diluar kebiasaan dari "nontropical sprue" (glutensensitive en-teropathy). Sebenamya tiap gangguan yang bersamaan dengan
kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat menimbulkan defisiensi kobalamin.
Keadaan khusus yaitu termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan
tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh suatu penyakit dapat
mengakibatkan anemia megaloblastik tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi
intestinal seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga tampak setelah
reseksi ileum.
SindromZollinger-Elison (hiperasiditas lambung yang hebat karena tumor
yang mensekresi gastrin dapat mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh
pen^.isam&n' usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan R ke faktor
intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-FI komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis
kronik dapat juga mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya selalu
ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis. Akhirnya, gangguan
kongenital

yang

jarangdijumpai,

yaitupenyakitImerslund-Grasbeck,

yang

melibatkan suatu defek yang selektif dalam absorbs kobalamin yang bersamaan
dengan proteinuri. Para individu yang mempunyai suatu mutasi cubulin, yaitu
suatu reseptor yang menjad iperantara absorbsi intestinal dari kompleks kobalamin-FI.
Nitrous Oxide
Menghirupnitrous oxide sebagai obat bius menghancurkan kobalamin yang
endogen.Pemakaian seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak cukup
untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis, tetapi pemakaian
84

berulang

atau yang berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang

mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan dapat menyebabkan


anemia megaloblastik dan deficit neurologic akut.
Defisiensi Asam Folat
Penambahan asam folat dalam produk dari biji-bijian dan padi-padian telah
disarankan oleh US Food and Drug .Administration sejak Januari 1998, maka kejadian
defisiensi folatnyata menurun. Para pasien dengan defisiensi asam folat lebih sering
kurang gizi disbanding dengan defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal
adalah serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemia pernisiosa.
Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga dialami. Namun, berlawanan
dengan defisiens ikobalamin, tidak tampak adanya abnormalities neurologik.
Manifestasi hematologic dari defisiensi asam folat adalah sama dengan defisiensi
kobalamin. Defisiensi asam folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih
factor seperti: asupan yang tak memadai, keperluan yang meningkat, atau
malabsorbsi.
- Asupan yang tak memadai.
Para peminum alcohol akan dapat mengalami defisiensi asam folat karena sumber
utamaasupan kalori yang dikonsumsi
Berasal dari minuman berakohol. Alkohol dapat mengganggu metabolism folat.
Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat karena malnutrisi. Banyak
individu fakir miskin dan usia lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan
menderita defisiensi folat.
- Keperluan yang meningkat.
Jaringan-jaringan yang relative pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum
tulang, mukosa usus, memerlukan cukup besar akan folat. Para pasien anemia
hemolitik kronik atau penyebab lain terjadinyaeritropoiesis yang aktif akan
mengalami defisiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko tinggi untuk terjadi

85

defisiensi folat karena keperluan yang meningkat bersamaan dengan perkembangan


janin. Bila defisiensi timbul pada minggu pertama kehamilan, maka dapat
mengakibatkan defek saluran saraf pada neonatus.

BAB VI
ANEMIA APLASTIK
6.1. Definisi
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan
sumsum tulang dengan penurunan sel sel hematopoietik dan penggantiannya oleh
lemak, menyebabkan pansitopenia, dan sering disertai dengan granulositopenia dan
trombositopenia. Terjadinya anemia aplastik dapat dikarenakan faktor herediter
(genetik), faktor sekunder oleh berbagai sebab seperti toksisitas, radiasi atau reaksi
imunologik pada sel sel induk sumsum tulang, berhubungan dengan beragam
penyakit penyerta, atau faktor idiopatik.4
Pansitopenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi defisiensi pada semua
elemen sel darah, yakni erythropenia, leukopenia, dan thrombocytopenia. Individu
dengan anemia aplastik mengalami pansitopenia. Penyebab terjadinya pansitopenia
dikarenakan :

Menurunnya produksi sumsum tulang akibat aplasia; leukemia akut;


mielodisplasia;

mieloma;

infiltrasi

86

oleh

limfoma,

tumor

padat,

tuberkulosis;

anemia

megaloblastik;

hemoglobinuria

paroksismal

nokturnal; mielofibrosis (kasus yang jarang); sindrom hemofagositik.


Meningkatnya destruksi perifer dengan ditemukannya splenomegali.3,4,5

6.2. Etiologi
Secara etiologik penyakit anemia aplastik ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar,
yaitu:
1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan merupakan
faktor kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan sumsum tulang
herediter antara lain : sindroma Fanconi (anemia Fanconi) yang biasanya
disertai dengan kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali
jari, dan kelainan ginjal; diskeratosis kongenital; sindrom ShwachmanDiamond; dan trombositopenia amegakaryositik. Kelainan kelainan ini
sangat jarang ditemukan dan juga jarang berespons terhadap terapi
imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter biasanya muncul pada
usia sepuluh tahun pertama dan kerap disertai anomali fisik (tubuh pendek,
kelainan lengan, hipogonadisme, bintik-bintik caf-au-lait pada anemia
Fanconi (sindroma Fanconi)). Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat
keluarga dengan sitopenia.
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah penyakit
yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma Fanconi)
merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA
repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Pada
pasien anemia Fanconi (sindroma Fanconi) akan ditemukan gangguan resesif
langka dengan prognosis buruk yang ditandai dengan pansitopenia, hipoplasia
sumsum tulang, dan perubahan warna kulit yang berbercak bercak coklat
akibat deposisi melanin (bintik bintik caf-au-lait).1,2
Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan
secara klasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi

87

kuku, dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan


manifestasi klinik yang beragam. Terdapat bentuk bentuk X-linked recessive,
autosomal dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X-linked recessive
diakibatkan oleh mutasi pada gen DKC1, yang menghasilkan protein dyskerin,
yang

penting

untuk

stabilisasi

telomerase.

Gangguan

telomerase

menyebabkan terjadinya pemendekan telomer lebih cepat, kegagalan sumsum


tulang, dan penuaan dini (premature aging). Diskeratosis kongenital
autosomal dominan disebabkan oleh mutasi gen TERC (yang menyandi
komponen RNA telomerase) yang pada akhirnya mengganggu aktivitas
telomerase dan pemendekan telomer abnormal. Sejumlah kecil pasien (kurang
dari 5%) yang dicurigai menderita anemia aplastik memiliki mutasi TERC.1,2
Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan yang
ditandai oleh trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat
lahir. Sebagian besar pasien mengalami missense atau nonsense mutations
pada

gen

C-MPL.

amegakaryositik

Banyak

diwariskan

diantara

mengalami

penderita
kegagalan

trombositopenia
sumsum

tulang

multilineage.1,2
Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif yang
ditandai dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan
kegagalan sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi),
penderita sindrom Shwachman-Diamond juga mengalami peningkatan resiko
terjadinya myelodisplasia atau leukemia pada usia dini. Belum ditemukan lesi
genetik yang dianggap menjadi penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di
kromosom 7 telah dikaitkan dengan penyakit ini. 1,2
2. Anemia aplastik didapat
Timbulnya anemia aplastik didapat pada seorang anak dapat dikarenakan
oleh :
Penggunaan

obat,

anemia

aplastik

terkait

obat

terjadi

karena

hipersensitivitas atau penggunaan dosis obat yang berlebihan. Obat yang


paling banyak menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat
88

obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa


sulfur, anti-rematik, anti-tiroid, preparat emas dan antikonvulsan, obat
-

obatan sitotoksik seperti mileran atau nitrosourea.


Senyawa kimia berupa benzene yang paling terkenal dapat menyebabkan
anemia aplastik. Dan juga insektisida (organofosfat).
Penyakit infeksi yang bisa menyebabkan anemia aplastik sementara atau
permanen, yakni virus Epstein-Barr, virus Haemophillus influenza A,
tuberkulosis milier, Cytomegalovirus (CMV) yang dapat menekan
produksi sel sumsum tulang melalui gangguan pada sel sel stroma
sumsum tulang, Human Immunodeficiency virus (HIV) yang berkembang
menjadi Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS), virus hepatitis
non-A, non-B dan non-C, infeksi parvovirus.
Infeksi parvovirus B19 dapat menimbulkan Transient Aplastic Crisis.
Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kelainan hemolitik
yang disebabkan oleh berbagai hal. Pemeriksaan dengan mikroskop
elektron akan ditemukan virus dalam eritroblas dan dengan pemeriksaan
serologi akan dijumpai antibodi virus ini. DNA parvovirus dapat
mempengaruhi progenitor eritroid dengan mengganggu replikasi dan

pematangannya.
Terapi radiasi dengan radioaktif dan pemakaian sinar Rontgen.
Faktor iatrogenik akibat transfusion associated graft-versus-host
disease.1,2

Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia aplastiknya, maka
pasien tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok anemia aplastik idiopatik. 1,2

6.3. Klasifikasi

89

Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat


diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat atau sangat berat. Risiko morbiditas dan
mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia daripada selularitas
sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja
untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80% dengan infeksi
jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplastik
tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak membutuhkan terapi.2
Klasifikasi Anemia Aplastik
Klasifikasi
Kriteria
Anemia Aplastik Berat

< 25%
Selularitas sumsum tulang

Hitung neutrofil < 500/l


Sitopenia sedikitnya dua dari

Hitung trombosit < 20.000/l


tiga seri sel darah

Hitung retikulosit absolut <


60.000/l
Anemia Aplastik Sangat Berat
Sama seperti diatas kecuali hitung
neutrofil < 200/l
Anemia Aplastik Tidak Berat
Sumsum tulang hiposelular namun
sitopenia tidak memenuhi kriteria
berat
2

6.4. Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak anak menderita anemia aplastik derajat
berat pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara anak laki
laki dan perempuan, namun dalam beberapa penelitian tampak insidens pada anak
laki laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Penyakit ini termasuk
penyakit yang jarang dijumpai di negara barat dengan insiden 1 3 / 1 juta / tahun.
Namun di Negara Timur seperti Thailand, negara Asia lainnya termasuk Indonesia,
Taiwan dan Cina, insidensnya jauh lebih tinggi. Penelitian pada tahun 1991 di
Bangkok didapatkan insidens 3.7/1 juta/tahun. Perbedaan insiden ini diperkirakan
oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian obat obat yang tidak pada
tempatnya, pemakaian pestisida serta insidens virus hepatitis yang lebih tinggi.1

90

6.5. Patogenesis dan Patofisiologi


Di akhir tahun 1960-an, Math et al memunculkan teori baru berdasarkan
kelainan autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada pasien
anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan
anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel induk asal (stem cell).2
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh
percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat
pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui
bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel sel asal hemopoietik pada
kelainan ini. Sel sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan
dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel sel tersebut menghasilkan interferon-
dan TNF- yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan meningkatkan
ekspresi Fas pada sel sel CD34+. Klon sel sel imortal yang positif CD4 dan CD8
dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin T-helper-1 (Th1) yang bersifat
toksik langsung ke sel sel CD34+ positif autologus.2
Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis ditandai oleh
destruksi spesifik yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan respons
imun tersebut kadang kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau pajanan
obat tertentu atau zat kimia tertentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain,
seperti toksisitas langsung pada sel asal atau defisiensi fungsi faktor pertumbuhan
hematopoietik. Dan derajat destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi perjalanan
klinis secara kuantitatif dan variasi kualitatif respons imun dapat menerangkan
respons terhadap terapi imunosupresif. Respons terhadap terapi imunosupresif
menunjukkan adanya mekanisme imun yang bertanggung jawab atas kegagalan
hematopoietik. 2
Kegagalan Hematopoietik

91

Kegagalan produksi sel darah berkaitan erat dengan kosongnya sumsum


tulang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau
spesimen core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic resonance
imaging (MRI) vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan
lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel sel hematopoietik yang imatur dapat
dihitung dengan flow cytometry. Sel sel tersebut mengekspresikan protein
cytoadhesive yang disebut CD34+. Pada pemeriksaan flow cytometry, antigen sel
CD34+ dideteksi secara fluoresens satu per satu, sehingga jumlah sel sel CD34 +
dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia aplastik, sel sel CD34 + juga hampir tidak
ada yang berarti bahwa sel sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan
megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain untuk sel sel hematopoietik
yang sangat primitif dan tenang (quiescent) yang sangat mirip jika tidak dapat
dikatakan identik dengan sel sel asal, juga memperlihatkan adanya penurunan
jumlah sel. Pasien yang mengalami pansitopenia mungkin telah mengalami
penurunan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi
berat ini mempunyai konsekuensi kualitatif yang dicerminkan oleh pemendekan
telomer granulosit pada pasien anemia aplastik. 2
Destruksi Imun
Banyak data pemeriksaan laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa
pada pasien anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi
kompartemen sel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa limfosit
pasien menekan hematopoiesis. Sel sel ini memproduksi faktor penghambat yang
akhirnya diketahui adalah interferon-. Adanya aktivasi respons sel T-helper-1 (Th1)
disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel T dan produksi interferon, tumor necrosis
factor (TNF), dan interleukin-2 (IL2) yang berlebihan. Deteksi interferon-
intraselular pada sampel pasien secara flow cytometry mungkin berkorelasi dengan
respons terapi imunosupresif dan dapat memprediksi relaps. 2

92

Pada anemia aplastik, sel sel CD34+ dan sel sel induk (progenitor)
hemopoietik sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid
(granulositik, eritroid dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini,
defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya normal pada
hampir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Dan pemulihan
hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif.
Oleh karena itu, sel sel asal hemopoietik akan tampak masih ada pada sebagian
pasien anemia aplastik. 2
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34 +
yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan
penghentian siklus sel (cell-cycle arrest). Sel sel T dalam tubuh pasien membunuh
sel sel asal hemopoietik dengan aktivasi HLA-DR-restricted melalui ligan Fas. Sel
sel asal hemopoietik yang paling primitif tidak atau sedikit mengekspresikan HLADR atau Fas, dan ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel sel asal. Oleh
karena itu, sel sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari
10% sel sel CD34+ total, relatif tidak terganggu oleh sel sel T autoreaktif; dan di
lain pihak, sel sel asal hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama
serangan sel sel imun. Sel sel asal hemopoietik primitif yang selamat dari
serangan autoimun memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan lahan yang
terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.2

93

Gambar 1 Destruksi Imun Pada Sel Hematopoietik


(http://www.pharmacy-and-drugs.com/illnessessimages/aplastic-anemia.jpg)
6.6. Gejala Klinis dan Hematologis
Gejala yang muncul berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa:

Aplasia sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik


Aktivitas relatif sistem limfopoitik dan sistem retikulo endothelial (SRE)

Aplasia sistem eritropoitik dalam darah tepi akan terlihat sebagai


retikulositopenia yang disertai dengan merendahnya kadar hemoglobin, hematokrit
dan hitung eritrosit serta MCV (Mean Corpuscular Volume). Secara klinis pasien
tampak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti anoreksia, lemah,
palpitasi, sesak karena gagal jantung dan sebagainya. Oleh karena sifatnya aplasia
sistem hematopoitik, maka umumnya tidak ditemukan ikterus, pembesaran limpa
(splenomegali), hepar (hepatomegali) maupun kelenjar getah bening (limfadenopati).1

94

Pada hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi
dan pada hasil penelitian Salonder tahun 1983 ditemukan pucat pada semua pasien
yang diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien.
Hematomegali yang disebabkan oleh bermacam macam hal ditemukan pada
sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan. Adanya splenomegali
dan limfadenopati akan meragukan diagnosis anemia aplastik.2
Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik (N=70) (Salonder, 1983)
Jenis Pemeriksaan Fisik
%
Pucat
100
Perdarahan
63
34
Kulit
26
Gusi
20
Retina
7
Hidung
6
Saluran cerna
3
Vagina
16
Demam
7
Hepatomegali
0
Splenomegali
2

6.7. Pemeriksaan Penunjang


6.7.1. Pemeriksaan Laboratorium

Apusan Darah Tepi


Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan.
Jenis anemianya adalah normokrom normositer. Terkadang ditemukan
makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau
leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik.
Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat
pada lebih dari 75% kasus.
Presentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian
kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi,
bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte
count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga.
95

Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia


aplastik.2

Gambar 2 Apusan Darah Tepi Anemia Aplastik


(http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/hematology/HessImages/AplasticAnemia-Pancytopenia-and-macrocytes-40x-website.jpg)

Laju Endap Darah


Hasil pemeriksaan laju endap darah pada pasien anemia aplastik selalu
meningkat. Pada penelitian yang dilakukan di laboratorium RSUPN Cipto
Mangunkusumo ditemukan 62 dari 70 kasus anemia aplastik (89%)
mempunyai nilai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam satu jam

pertama.2
Faal Hemostasis
Pada pasien anemia aplastik akan ditemukan waktu perdarahan
memanjang dan retraksi bekuan yang buruk dikarenakan trombositopenia.

Hasil faal hemostasis lainnya normal.2


Biopsi Sumsum Tulang
Seringkali pada pasien anemia aplasti dilakukan tindakan aspirasi
sumsum tulang berulang dikarenakan teraspirasinya sarang sarang
hemopoiesis hiperaktif. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang
pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Dari hasil pemeriksaan

96

sumsum tulang ini akan didapatkan kesesuaian dengan kriteria diagnosis


anemia aplastik.2

Gambar 3 Sumsum Tulang Normal dan Aplastik


(http://www.uams.edu/m2008/notes/path2/Pathology%20disease
%20spreadsheet/bone/aplastic%20anemia.jpg)

Pemeriksaan Virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor didapat, maka
pemeriksaan virologi perlu dilakukan untuk menemukan penyebabnya.
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis,

HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus.2


Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Jenis tes ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai

penyebab terjadinya anemia aplastik.2


Pemeriksaan Kromosom
Pada pasien anemia aplastik tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH)
dan

imunofenotipik

dengan

flow

cytometry

diperlukan

untuk

menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposeluler.2


Pemeriksaan Defisiensi Imun
Adanya defisiensi imun dalam tubuh pasien anemia aplastik dapat
diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan

imunitas sel T.2


Pemeriksaan yang Lain
97

Pemeriksaan darah tambahan berupa pemeriksaan kadar hemoglobin


fetus (HbF) dan kadar eritropoetin yang cenderung meningkat pada
anemia aplastik anak.2
6.7.2. Pemeriksaan Radiologis

Nuclear Magnetic Resonance Imaging


Jenis pemeriksaan penunjang ini merupakan cara terbaik untuk
mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas
antara daerah sumsum tulang berlemak akibat anemia aplastik dan

sumsum tulang selular normal.


Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning
tubuh setelah disuntuk dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang
akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang
akan terikat pada transferin. Dengan bantuan pemindaian sumsum tulang
dapat ditentukan daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel sel
guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel sel induk.2

6.8. Diagnosis
6.8.1. Penegakan Diagnosis dan Manifestasi Klinis
Penegakan diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat,
perdarahan, tanpa adanya organomegali (hepato splenomegali). Gambaran darah tepi
menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan
pemeriksaan biopsi sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak
jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem eritropoitik, granulopoitik dan
trombopoitik. Di antara sel sumsum tulang yang sedikit ini banyak ditemukan
limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel). Hendaknya dibedakan
antara sediaan sumsum tulang yang aplastik dan yang tercampur darah.1
Anemia aplastik dapat muncul tiba tiba dalam hitungan hari atau secara
perlahan (berminggu minggu hingga berbulan bulan). Hitung jenis darah akan
menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan kelelahan, dispnea dan jantung
98

berdebar debar. Trombositopenia menyebabkan pasien mudah mengalami memar


dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.2
Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung
jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang.
Pemeriksaan flow cytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria
nokturnal

paroksismal,

dan

karyotyping

sumsum

tulang

dapat

membantu

menyingkirkan sindrom myelodisplastik. Adanya riwayat keluarga sitopenia dapat


meningkatkan kecurigaan adanya kelainan diwariskan walaupun tidak ada kelainan
fisik yang tampak.2
Anemia aplastik mungkin bersifat asimptomatik dan ditemukan saat
pemeriksaan rutin. Keluhan keluhan pasien anemia aplastik sangat bervariasi.
Perdarahan, badan lemah dan pusing merupakan keluhan keluhan yang paling
sering ditemukan.2
Keluhan Pasien Anemia Aplastik (N=70) (Salonder, 1983)
Jenis Keluhan
Perdarahan
Badan lemah
Pusing
Jantung berdebar
Demam
Nafsu makan berkurang
Pucat
Sesak nafas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung

%
83
30
69
36
33
29
26
23
19
13
2

6.8.2. Diagnosis Banding1


1. Purpura Trombositopenik Imun (PTI) dan Plasma Tromboplastin Antecedent
(PTA). Pemeriksaan darah tepi dari kedua kelainan ini hanya menunjukkan
trombositopenia tanpa retikulositopenia atau granulositopenia/leukopenia.
Pemeriksaan sumsum tulang dari PTI menunjukkan gambaran yang normal

99

atau ada peningkatan megakariosit sedangkan pada PTA tidak atau kurang
ditemukan megakariosit.
2. Leukemia akut jenis aleukemik, terutama Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
dengan jumlah leukosit yang kurang dari 6000/mm 3. Kecuali pada stadium
dini, biasanya pada LLA ditemukan splenomegali. Pemeriksaan darah tepi
sukar dibedakan, karena kedua penyakit mempunyai gambaran yang serupa
(pansitopenia dan relatif limfositosis) kecuali bila terdapat sel blas dan
limfositosis yang dari 90%, diagnosis lebih cenderung pada LLA.
3. Stadium praleukemik dari leukemia akut.
Keadaan ini sukar dibedakan baik gambaran klinis, darah tepi maupun
sumsum tulang, karena masih menunjukkan gabaran sitopenia dari ketiga
sistem hematopoietik. Biasanya setelah beberapa bulan kemudian baru terlihat
gambaran khas LLA.

100

6.9. Penatalaksanaan
Terapi Suportif

Adanya terapi suportif bertujuan untuk mencegah dan mengobati terjadinya


infeksi dan perdarahan. Terapi suportif yang diberikan untuk pasien anemia aplastik,
antara lain:
-

Pengobatan terhadap infeksi


Untuk menghindarkan pasien dari infeksi, sebaiknya pasien dirawat dalam
ruangan isolasi yang bersifat suci hama. Pemberian obat antibiotika
hendaknya dipilih yang tidak memiliki efek samping mendepresi sumsum

tulang, seperti kloramfenikol.


Transfusi darah
Gunakan komponen darah bila harus melakukan transfusi darah.
Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan
kadar hemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang
terlampau sering, akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat
menyebabkan timbulnya reaksi hemolitik (reaksi transfusi), akibat
dibentuknya antibodi terhadap eritrosit, leukosit dan trombosit. Oleh
karena itu, transfusi darah diberikan atas indikasi tertentu. Pada keadaan
yang sangat gawat, seperti perdarahan masif, perdarahan otak, perdarahan

saluran cerna dan lain sebagainya, dapat diberikan suspensi trombosit.


Transplantasi sumsum tulang
Metode transplantasi sumsum tulang ditetapkan sebagai terapi terbaik
pada pasien anemia aplastik sejak tahun 1970. Donor sumsum tulang
terbaik berasal dari saudara sekandung dengan Human Leucocyte Antigen
(HLA) yang cocok.

6.10. Prognosis dan Perjalanan Penyakit 1,2


Prognosis penyakit anemia aplastik bergantung pada:
1. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler.
2. Kadar Hb F yang lebih dari 200mg% memperlihatkan prognosis yang lebih
baik.
101

3. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih


baik.
4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian infeksi
masih tinggi.
Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk
menentukan prognosis.
Riwayat alamiah penderita anemia aplastik dapat berupa:
1. Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali jika
dikarenakan faktor iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi
sempurna biasanya terjadi segera.
2. Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus.
3. Dapat bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Kondisi penderita anemia
aplastik dapat membaik dan bertahan hidup lama, namun masih ditemukan
pada kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.
Remisi anemia aplastik biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan
(dengan oksimetolon setelah 2-3 bulan), mula mula terlihat perbaikan pada sistem
eritropoitik, kemudian sistem granulopoitik dan terakhir sistem trombopoitik. Kadang
kadang remisi terlihat pada sistem granulopoitik lebih dahulu lalu disusul oleh
sistem eritropoitik dan trombopoitik. Untuk melihat adanya remisi hendaknya
diperhatikan jumlah retikulosit, granulosit/leukosit dengan hitung jenisnya dan
jumlah trombosit. Pemeriksaan sumsum tulang sebulan sekali merupakan indikator
terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah tercapai, yaitu
timbulnya aktivitas eritropoitik dan granulopoitik, bahaya perdarahan yang fatal
masih tetap ada, karena perbaikan sistem trombopoitik terjadi paling akhir. Sebaiknya
pasien dibolehkan pulang dari rumah sakit setelah hitung trombosit mencapai 50.000
100.000/mm3.
Prognosis buruk dari penyakit anemia aplastik ini dapat berakibat pada
kematian yang seringkali disebabkan oleh keadaan penyerta berupa:

102

1. Infeksi, biasanya oleh bronchopneumonia atau sepsis. Harus waspada


terhadap tuberkulosis akibat pemberian kortikosteroid (prednison) jangka
panjang.
2. Timbulnya keganasan sekunder akibat penggunaan imunosupresif. Pada
sebuah penelitian yang dilakukan di luar negeri, dari 103 pasien yang diobati
dengan ALG, 20 penderita yang diterapi jangka panjang, berubah menjadi
leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma.
Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit anemia aplastik,
namun komplikasi ini jarang ditemukan pada penderita yang telah menjalani
transplantasi sumsum tulang.
3. Perdarahan otak atau abdomen, yang dikarenakan kondisi trombositopenia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder.Anemia Aplastik.Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.Edisi IV.Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

103

Penyakit

Dalam

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Indonesia.Jakarta.2006.Hal:627-633.
2. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss.Anemia Aplastik dan Kegagalan
Sumsum Tulang.Kapita Selekta Hematologi.Edisi IV.EGC.Jakarta.2006.Hal:
83-87.
3. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss.Kapita Selekta Hematologi.Edisi
VI.EGC.Jakarta.2006.Hal: 13-67, 269-270.
4. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2005
5. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson.Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Volume I.Edisi VI.EGC.Jakarta.2006.Hal: 258-260.
6. Ugrasena, IDG.Anemia Aplastik.Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak
IDAI.Cetakan Kedua.Badan Penerbit IDAI.Jakarta.2006.Hal:10-15.

104

Anda mungkin juga menyukai