Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1.

Gagal ginjal kronik


1.1. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan

penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan


irreversible. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular (LFG) kurang dari 50
ml/menit. Gagal ginjal kronik sesuai dengan tahapannya dapat berkurang, ringan,
sedang atau berat. Gagal ginjal tahap akhir (end stage renal failure) adalah
stadium gagal ginjal yang dapat mengakibatkan kematian kecuali jika dilakukan
terapi pengganti (Suhardjono, 2003).
Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patalogis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m2
(National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative dikutip
dari Arora, 2009).
1. 2. Klasifikasi gagal ginjal kronik
Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dilihat berdasarkan sindrom klinis
yang disebabkan penurunan fungsinya yaitu berkurang, ringan, sedang dan tahap
akhir (Suhardjono, 2003). Ada beberapa klasifikasi dari gagal ginjal kronik yang
dipublikasikan oleh National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (K/DOQI). Klasifikasi tersebut diantaranya adalah :

Universitas Sumatera Utara

a. Tahap pertama (stage 1)


Merupakan tahap dimana telah terjadi kerusakan ginjal dengan peningkatan
LFG (>90 mL/min/1.73 m2 ) atau LFG normal
b. Tahap kedua (stage 2)
Reduksi LFG mulai berkurang sedikit (kategori mild) yaitu 60-89
mL/min/1.73 m2
c. Tahap kedua (stage 3)
Reduksi LFG telah lebih banyak berkurang

(kategori moderate) yaitu

30-59 mL/min/1.73.
d. Tahap kedua (stage 4)
Reduksi LFG sangat banyak berkurang yaitu 15-29 mL/min/1.73.
e. Tahap kedua (stage 5)
Telah terjadi gagal ginjal dengan LFG yaitu <15 mL/min/1.73.
(Arora, 2009).
1. 3. Etiologi gagal ginjal kronik
Penyebab penyakit gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu
penyakit diabetik, penyakit ginjal non diabetik dan penyakit ginjal transplan. Pada
ginjal diabetik dapat disebabkan oleh diabetes tipe 1 dan 2. penyebab pada
penyakit ginjal non diabetik adalah penyakit glomerulus (penyakit autoimun,
infeksi sistemik, neoplasia), penyakit vaskuler (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi dan mikroangiopati) penyakit tubulointerstisial (infeksi saluran kemih,
batu obstruksi dan toksisitas obat) dan penyakit kistik (penyakit ginjal polikistik).

Universitas Sumatera Utara

Pada penyakit ginjal transplan dapat disebabkan oleh rejeksi kronik, toksisitas
obat, penyakit rekuren dan glomerulopati transplan (Suhardjono, 2003 dikutip dari
Susalit).
Krause (2009) menambahkan bahwa penyebab dari gagal ginjal kronik
sangat beragam. Pengetahuan akan penyebab yang mendasari penyakit penting
diketahui karena akan menjadi dasar dalam pilihan pengobatan yang diberikan.
Penyebab gagal ginjal tersebut diantaranya meliputi :
a. Penyebab dengan frekuensi paling tinggi pada usia dewasa serta anak-anak
adalah glomerulonefritis dan nefritis interstitial.
b. Infeksi kronik dari traktus urinarius (menjadi penyebab pada semua golongan
usia).
c. Gagal ginjal kronik dapat pula dialami ana-anak yang menderita kelainan
kongenital seperti hidronefrosis kronik yang mengakibatkan bendungan pada
aliran air kemih atau air kemih mengalir kembali dari kandung kemih.
d. Adanya kelainan kongenital pada ginjal.
e. Nefropati herediter.
f. Nefropati diabetes dan hipertensi umumnya menjadi penyebab pada usia
dewasa.
g. Penyakit polisistik, kelainan pembuluh darah ginjal dan nefropati analgesik
tergolong penyebab yang sering pula.
h. Pada beberapa daerah, gangguan ginjal terkait dengan HIV menjadi penyebab
yang lebih sering.

Universitas Sumatera Utara

i. Penyakit yang tertentu seperti glomerulonefritis pada penderita transplantasi


ginjal. Tindakan dialisis merupakan pilihan yang tepat pada kondisi ini.
j. Keadaan yang berkaitan dengan individu yang mendapat obat imunosupresif
ringan sampai sedang karena menjalani transplantasi ginjal. Obat imunosupresif
selama periode atau masa transisi setelah transplantasi ginjal yang diberikan
untuk mencegah penolakan tubuh terhadap organ ginjal yang dicangkokkan
menyebabkan pasien beresiko menderita infeksi, termasuk infeksi virus seperti
herpes zoster.
1. 4. Patofisiologi
Apabila ginjal kehilangan sebahagian fungsinya oleh sebab apapun, nefron
yang masih utuh akan mencoba mempertahankan laju filtrasi glomerulus agar
tetap normal. Keadaan ini akan menybabkan nefron yang tersisa harus bekerja
melebihi kapasitasnya, sehingga timbul kerusakan yang akan memperberat
penurunan fungsi ginjal (Azmi, 2003). Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal
sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa
nefron yang ada mengalami hipertropi dalam usahanya untuk melaksanakan
seluruh badan kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban solut dan
reabsobsi tubulus dalam setiap nefron meskipun filtrasi glomerulus untuk seluruh
masa nefron yang terdapat pada ginjal turun dibawah nilai normal. Mekanisme
dari adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Bila sekitar 75%
masa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban setiap nefron

Universitas Sumatera Utara

10

demikian tinggi sehingga keseimbangan tubulus glomerulus tidak dapat lagi


dipertahankan (Price & Wilson, 1995).
1. 5. Manifestasi klinik
Gejala awal gagal ginjal kronik tidak jelas dan sering diabaikan. Gejala
umum berupa letargi, malaise, dan kelemahan sering tertutup dan dianggap
sebagai gejala penyakit primer. Pada tahap lebih lanjut penderita merasa gatal,
mual, muntah dan gangguan pencernaan lainnya. Makin lanjut progresif gagal
ginjal kronik makin menonjol keluhan dan gejala uremik organ non ginjal lain
(Zulkhair, 2004).
Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada psien yang mengalami gagal
ginjal kronik menurut Suparman (1990) terdiri atas :
a. Hematologik
Anemia normokrom, gangguan fungsi trombosit, trombositopenia, gangguan
lekosit.
b. Gastrointestinal
1) Anoreksia, nausea, dan vomitus, yang berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein didalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat
metabolisme bakteri usus seperti ammonia dan motil guanidin, serta
sembabnya mukosa usus.
2) Fektor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah
oleh bakteri dimulut menjadi amonia sehingga napas berbau ammonia.
Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.
3) Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui.

Universitas Sumatera Utara

11

4) Gastritis erosif, Ulkus peptikus, dan colitis uremik.


c. Syaraf dan otot
1) Miopati
2) Kelemahan dan hipertrofi otot-otot terutama otot-otot ekstrimitas proksimal.
3) Ensefalopati metabolik
Lemah, tidak biasa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis,
mioklonus, kejang
4) Burning feet syndrome
Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama ditelapak kaki.
5) Restless leg syndrome
Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan.
d. Kulit
1) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom. Gatal-gatal dengan eksoriasi akibat toksin uremik dan
pengendapan kalsium dipori-pori kulit.
2) Echymosis akibat gangguan hematologis.
3) Urea frost, akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat.
4) Bekas garukan karena gatal.
e. Kardiovaskuler
1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau akibat peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensi-aldosteron.

Universitas Sumatera Utara

12

2) Nyeri dada dan sesak nafas, akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit
jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung
akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
3) Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit dan
kalsifikasi metastastatik.
4) Edema akibat penimbunan cairan.
f. Endokrin
Gangguan toleransi glukosa, gangguan metabolisme lemak, gangguan seksual,
libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki, gangguan metabolisme
vitamin D.
g. Gangguan Sistem Lain
1) Tulang

Osteodistrofi

renal,

yaitu

osteomalasia,

osteitis

fibrosa,

osteosklerosis, dan kalsifikasi metastatik.


2) Asidosis metabolic akibat penimbunan asam organik sebagai hasil
metabolisme.
3) Elektrolit : hiperfosfatermia, hiperkalemia, hipokalsemia.
1. 6. Perjalanan klinik
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium,
yaitu stadium pertama, stadium kedua, dan stadium ketiga atau akhir (Price &
Wilson, 1995).
a. Stadium pertama
Stadium pertama ini dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini
kreatinin serum dan kadar nitrogen urea daerah normal dan penderita

Universitas Sumatera Utara

13

asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal dapat di ketahui dengan tes pemekatan


kemih yang lama atau dengan tes glomerulus filtrasi yang teliti.
b. Stadium kedua
Stadium kedua disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan yang
berfungsi telah rusak. Pada stadium ini kadar kreatinin serum juga mulai
meningkat melebihi kadar normal, gejala-gejala nokturia dan poliuria mulai
timbul.
c. Stadium ketiga atau stadium akhir
Stadium ini disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia, timbul apabila
sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau hanya sekitar 200.000 nefron
saja yang masih utuh. Kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah akan
meningkat dengan sangat menyolok sebagai respon terhadap glomerulus filtrasi
yang mengalami penurunan.
1.7. Komplikasi gagal ginjal kronik
Bila ginjal tidak berfungsi sebagai salah satu alat pengeluaran (ekskresi),
maka sisa metabolisme yang tidak dikeluarkan tubuh akan menjadi racun bagi
tubuh sendiri dan mengakibatkan hipertensi, anemia, asidosis, ostedistrofi ginjal,
hiperurisemia dan neuropati parifer. Pada sebagian kecil kasus (10%), hipertensi
mungkin tergantung renin dan refrakter terhadap kontrol volume natrium ataupun
dengan anti hipertensi ringan. Bila K+ serum mencapai kadar sekitar 7 mEq/l,
dapat terjadi aritmia yang serius dan juga henti jantung. Hiperkalemia makin
diperberat lagi oleh hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik kronik
yang ringan pada penderita uremia biasanya akan menjadi stabil pada kadar

Universitas Sumatera Utara

14

bikarbonat plasma 16 sampai 20 mEq/l. Anemia berupa penurunan sekresi


eritropoeitin oleh ginjal yang sakit maka pengobatan yang ideal adalah
penggantian hormon ini. Pada hiperurisemia kadar asam urat yang meninggi maka
dihambat biosintesis yang dihasilkan oleh tubuh dan neuropati perifer biasanya
simtomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai tahap akhir (Behrman,
1987 dikutip dari Noer, 2003).
1.8. Penatalaksanaan gagal ginjal kronik
Penatalaksanaan konservatif gagal ginjal kronik lebih bermanfaat bila
penurunan faal ginjal masih ringan, yaitu dengan memperlambat progresif gagal
ginjal, mencegah kerusakan lebih lanjut, pengelolaan uremia dan komplikasinya,
kalsium dan fosfor untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder,
kadar fosfor serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfor dan
hiperurisemia (Suhardjono, 2001).

2. Hemodialisa
2.1. Definisi
Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah
pasien melewati membran semipermiabel (alat dialisa) ke dalam dialisat. Alat
dialisa juga dapat digunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan.
Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik
menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit
larutan) membrans (Tisher & Wilcox, 1995).

Universitas Sumatera Utara

15

Menurut Le Mone (1996) hemodialisa menggunakan prinsip dari difusi


dan ultrafltrasi untuk membersihkan elektrolit dari produk tak berguna dan
kelebihan cairan tubuh. Darah akan diambil dari tubuh melalui jalan masuk
vaskular dan memompa ke membran dari selulosa asetat dan zat yang sama.
Pengeluaran kira-kira sama dengan komposisi seperti ekstra cairan selular normal.
Dialisa menghangatkan suhu tubuh dan melewati sepanjang ukuran dari membran
lain. Semua larutan molekul lebih kecil dari sel darah, plasma dan protein mampu
bergerak bebas di membran melalui difusi.
2.2. Prosedur Hemodialisa
Menurut Rab (1998) hemodialisa bertujuan untuk mengoreksi kelainan
metabolisme dan elektrolit akibat dari kegagalan ginjal. Kelainan metabolisme
yang utama yakni tingginya ureumia di dalam darah dan hiperkalemi. Dengan
terapi dialisa dimaksudkan sebagai usaha untuk memisahkan hasil-hasil
metabolisme dari darah dengan bantuan proses difusi lewat membran yang
semipermeabel (yang dapat menembus bahan-bahan sisa tapi tidak dapat ditembus
oleh darah dan plasma). Membran yang semipermeabel ini memisahkan dua
kompartemen dialisat yakni cairan yang menghisap hasil metabolisme (ureum).
Oleh karena proses ini adalah merupakan proses difusi maka selain dari pada
hasil metabolik dapat pula diatasi hiperkalemi asal saja cairan dialisatnya bebas
kalium atau mengandung kalium yang rendah. Pemindahan metabolik maupun
cairan atas dasar perbedaan konsentrasi antara plasma dan dialisat dengan cara
filtrasi. Maka lamanya hemodialisa dapat pula diprediksi dari tekanan yang

Universitas Sumatera Utara

16

diberikan oleh mesin dialisa disamping jumlah darah yang melalui membran
dialisa dalam waktu 1 menit.
Dengan demikian hemodialisa dapat dibagi menjadi dua cara yaitu
konvensional hemodialisa dan difisiensi tinggi (high dificiency). Pada cara
konvensional hemodialisa dimana darah dan dialisa berdasarkan arus yang
berlawanan (countercurent) dengan kecepatan 300-500 cc/menit. Cairan dialisa
hanya sekali melalui membran dialisa dan dibuang sesudah sekali pakai. Efisiensi
dari hemodialisa dapat diperbesar dengan membran yang lebih porus terhadap air
dan cairan. Dan cara difisiensi tinggi atau (high dificiency) serta aliran tinggi (high
flux). Konfisiensi ultrafiltrasi dapat dinaikkan menjadi lebih 10 kali dan kurang
dari 20 cc/mm/Hg/jam. Pada high flux hemodialisa maka membrana dialisat lebih
porus dan koefisiensi ultrafiltrasi dapat dinaikkan sampai 20 cc/mm/Hg/jam.
2. 3. Komplikasi hemodialisa
Hemodialisa dapat memperpanjang usia meskipun tanpa batas yang jelas,
tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang
mendasari dan juga tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Komplikasi
yang dapat terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa meliputi ketidak
seimbangan cairan, hipervolemia, hipovolemia, hipertensi, hipotensi, ketidak
seimbangan elektrolit, infeksi, perdarahan dan heparinisasi dan masalah-masalah
peralatan yaitu aliran, konsentrasi, suhu dialisat, aliran kebocoran darah dan udara
dalam sikuit dialisa (Hudak & Gallo, 1996).
Tindakan hemodialisa dapat menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi
yang berasal dari pemasangan kateter di pembuluh darah, berhubungan dengan air

Universitas Sumatera Utara

17

yang digunakan, penggantian cairan, komposisi dialisis, membran hemodialisa,


dosis yang tidak adekuat, karena antikoagulopati yang diberikan, dan komplikasi
dari hemoperfusi. Komplikasi yang berasal dari selang yang dimasukkan ke
pembuluh darah untuk tindakan hemodialisa beragam seperti kemampuan
mengalirkan darah yang cukup berkurang, pneumotoraks,

perdarahan,

terbentuknya

embolisme,

hematoma,

robeknya

arteri,

hemotorak,

hemomediastinum, kelumpuhan saraf laring, trombosis, infeksi dan stenosis vena


sentral, pseudoneurisma, iskhemia, dan sebagainya.
Komplikasi terkait dengan air dan cairan yang diberikan terdiri atas
adanya bakteri dan pirogen dalam air yang diberikan yang dapat memicu
timbulnya infeksi, hipotensi, kram otot, hemolisis (bila komposisi elektrolit yang
diberikan rendah sodium), haus dan sindrom kehilangan keseimbangan (bila
sodium tinggi), aritmia (rendah dan tinggi potassium), hipotensi ringan,
hiperparatiroidisme, petekie (rendah kalsium dan magnesium), osteomalais,
nausea, pandangan kabur, kelemahan otot, dan ataksia (tinggi magnesium).
(Lameire dan Mehta, 2000).
3. Pola Hidup
3. 1. Definisi
Sudut ketiga dari segitiga keadaan yang mempengaruhi kesehatan individu
adalah pola hidup. Pola hidup merupakan sekumpulan perilaku yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari dimana di dalamnya termasuk nutrisi, istirahat, olah
raga, rekreasi dan kerja. Perilaku tersebut dapat menjadi faktor yang secara

Universitas Sumatera Utara

18

signifikan menyebabkan seseorang menjadi sakit atau terluka (Ayers, Bruno dan
Langford, 1999).
Pola hidup merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi
kesehatan seseorang. Perilaku untuk meningkatkan kesehatan dapat dikontrol dan
dipilih. Pilihan seseorang terhadap sehat tidaknya aktivitas yang dilakukan
dipengaruhi oleh faktor sosiokultural karakteristik individu. Perilaku yang bersifat
negatif terhadap kesehatan dikenal dengan faktor resiko (Kozier, 2004).
3. 2. Pola hidup yang Mempengaruhi Kesehatan
Potter dan Perry (2005) mengemukakan bahwa ada kegiatan dan perilaku
yang dapat memberikan efek terhadap kesehatan. Cara pelaksanaan kegiatan yang
berpotensi memberikan efek negatif antara lain makan berlebihan atau nutrisi
yang buruk, kurang tidur dan istirahat, dan kebersihan pribadi yang buruk.
Kebiasaan lain yang beresiko menyebabkan seseorang menderita penyakit yaitu
kebiasaan merokok atau minum-minuman beralkohol, penyalahgunaan obat, dan
kegiatan berbahaya seperti skydiving serta mendaki gunung. Individu dengan
kebiasaan yang dapat pula menimbulkan sakit yaitu kebiasaan berjemur di bawah
matahari yang meningkatkan resiko kanker kulit, dan kelebihan berat badan dapat
meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler.
Lebih lanjut Potter dan Perry (2005) mengemukakan berbagai stres akibat
krisis kehidupan dan perubahan gaya hidup. Stres emosional dapat menjadi faktor
risiko bila bersifat berat, terjadi dalam waktu yang lama atau jika seseorang yang
mengalaminya tidak mempunyai koping yang adekuat dapat meningkatkan
peluang terjadinya sakit. Stres dapat terjadi karena peristiwa kehidupan seperti

Universitas Sumatera Utara

19

perceraian, kehamilan dan pertengkaran. Area kehidupan yang menyebabkan stres


emosional jangka panjang menjadi faktor risiko seperti stres yang berhubungan
dengan pekerjaan dapat berdampak pada kelemahan kemampuan kognitif serta
kemampuan membuat keputusan yang menyebabkan kelebihan beban mental atau
kematian.
Ayers, Bruno dan Langford (1999) menyatakan bahwa pola hidup
merupakan wilayah yang paling dapat dikontrol oleh seseorang dan memiliki
beberapa aturan agar dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan. Perilaku
yang termasuk dalam pola hidup sangat mungkin diubah. Faktor-faktor yang
tergolong dalam wilayah gaya hidup diantaranya adalah :
3.1.1. Nutrisi/pola diet
Masukan nutrisi yang adekuat akan menyediakan tenaga untuk
menggerakkan tubuh dan mempertahankan berat badan. Seseorang yang tidak
memiliki komposisi nutrisi yang baik sehingga mengalami kelebihan berat badan
beresiko terhadap penyakit seperti diabetes, gangguan kandung kemih, tekanan
darah tinggi dan penyakit pembuluh darah koroner.
Seseorang yang tidak memperhatikan komposisi nutrisi yang terkandung
dalam makanan sehari-hari, akan lebih mudah terserang penyakit dibandingkan
yang berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan. Intake makanan yang
mengandung kadar karbohidrat tinggi namun minim serat seperti makanan cepat
saji, mempercepat penimbunan lemak di dalam tubuh yang memicu obesitas.
Individu yang mengalami obesitas rentan terhadap penyakit diabetes mellitus tipe
2 dan penyakit kardiovaskular. Penumpukan lemak di daerah perut merupakan

Universitas Sumatera Utara

20

salah satu faktor risiko yang memicu timbulnya diabetes mellitus. Peningkatan
penderita diabetes akan meningkatkan jumlah penderita penyakit ginjal akibat
komplikasi dari diabetes yaitu nefropati diabetes (Francis, 2008).
Hal yang senada dikemukakan oleh Iseki (2005) yang melakukan
investigasi terhadap faktor-faktor yang mendukung terjadinya gagal ginjal
terminal melalui pemeriksaan status ginjal (renal outcome). Pemeriksaan tersebut
menemukan bahwa nutrisi yang berlebihan menjadi salah satu faktor risiko yang
mendukung timbulnya gagal ginjal kronik dan gagal ginjal terminal.
Konsumsi diet yang berlebihan menyebabkan kenaikan berat badan yang
tidak terkontrol dimana merupakan faktor resiko timbulnya berbagai penyakit.
Studi di Jepang menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang diukur dengan
Body Mass Index (BMI) merupakan parameter yang signifikan berhubungan
dengan kejadian gagal ginjal kronik. Hal ini disebabkan setiap kenaikan dari BMI
akan diikuti oleh kenaikan tekanan darah, lipid serum serta kadar glukosa darah.
Setiap peningkatan BMI akan diikuti dengan peningkatan risiko mengalami gagal
ginjal kronik. Walaupun mekanisme yang mendasari hubungan peningkatan BMI
dengan gagal ginjal kronik tidak begitu dimengerti namun diestimasi bahwa
kejadian tersebut ada kaitannya dengan aktivasi sistem renin angiotensin,
peningkatan

aktifitas

nervus

simpatis,

terjadi

resistensi

insulin

atau

hiperinsulinemia dan dislipidemia. Kerusakan toleransi glukosa ini yang diduga


berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik (Nomura dkk, 2009).
Peningkatan berat badan atau obesitas khususnya obesitas abdominal dapat
merupakan faktor resiko gagal ginjal kronik karena dapat memicu peningkatan

Universitas Sumatera Utara

21

tekanan darah. Selain itu penderita obesitas lebih resisten terhadap pengobatan
untuk menurunkan tekanan darah. Peningkatan berat badan yang berlebihan telah
mendukung peningkatan kadar leptin, volume ekspansi, sesak waktu tidur dan bila
peningkatan tekanan darah tidak dikontrol akan mempercepat ginjal kehilangan
fungsinya. Peningkatan risiko gagal ginjal kronik pada individu obesitas terjadi
melalui beberapa mekanisme. Salah satu mekanisme yang berhubungan adalah
peningkatan kadar leptin menyebabkan kerusakan dari sistem kardiovaskuler
ginjal yang merupakan kontribusi signifikan dari patogenesis hipertensi dan
diabetes karena obesitas (Ronco dkk, 2008).
Individu yang memiliki berat badan yang berlebihan atau overweight
karena pola diet yang tidak tepat ditemukan lebih banyak yang menjalani terapi
hemodialisa karena gagal ginjal terminal dibandingkan pasien yang memiliki berat
badan normal atau kurang. Studi yang dilakukan terhadap 1010 pasien
memperlihatkan, bila dilihat dari berat badan maka 47,9% pasien mempunyai
kelebihan berat badan, 40,2% memiliki berat badan normal dan 11,9% memiliki
berat badan di bawah standar untuk usia dan jenis kelaminnya (Salahudeen dkk,
2004).
3.2.1. Aktifitas fisik/olahraga
Manfaat yang dapat diperoleh dari aktifitas fisik yang dilakukan secara
teratur telah banyak dilaporkan. Aktifitas fisik yang dilakukan secara teratur
selama 30 menit setiap hari minimal 3 kali dalam seminggu akan membantu
memperpanjang umur harapan hidup dan menurunkan angka kesakitan dan
kematian karena penyakit (Ramadhan, 2008).

Universitas Sumatera Utara

22

Olah raga yang teratur akan membantu menjaga tubuh tetap sehat dan
bugar karena kalori terbakar setiap hari serta mengendurkan semua otot yang
kaku. Olahraga dapat membantu meningkatkan kekuatan tulang, kekebalan tubuh,
menguatkan paru-paru, menurunkan emosi negatif, mempercantik tubuh dan kulit,
menambah tenaga, mengurangi dampak proses penuaan, serta membantu tidur
nyenyak. Dampak olah raga tersebut akan dirasakan bila olah raga minimal
aerobik dilakukan 3-5 kali seminggu selama 30 menit dengan pemanasan terlebih
dahulu (Ramadhan, 2008).
Sesuai dengan pernyataan Ayers, Bruno dan Langford (1999) bahwa pola
hidup yang cenderung meningkatkan resiko menderita penyakit dilihat dari
aktifitas fisik adalah individu yang lebih banyak duduk, tidak berolah raga atau
melakukan olah raga tidak teratur atau frekuensi latihan fisik tidak mencapai 30
menit dengan aktifitas minimal 3 kali dalam satu minggu.
Individu yang memiliki aktifitas fisik rendah beresiko mengalami beragam
penyakit seperti diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, dan obesitas yang merupakan
faktor-faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal kronik dan
gagal ginjal terminal. Hal ini diestimasi berdasarkan studi epidemiologi terhadap
faktor risiko penyakit tidak menular dan serangkaian pemeriksaan kesehatan
terhadap individu yang mengalami penyakit ginjal terkait dengan peningkatkan
prevalensi penyakit gagal ginjal kronik di Jepang. Adanya hubungan antara gagal
ginjal kronik dan gaya hidup yang berisiko akan membantu dalam meningkatkan
upaya-upaya pencegahan penyakit gagal ginjal kronik dan gagal ginjal terminal
(Iseki, 2005).

Universitas Sumatera Utara

23

3.3.1. Penggunaan zat


Penggunaan zat baik legal maupun ilegal, memiliki resiko serius terhadap
kesehatan. Salah satu perilaku yang tergolong penggunaan zat adalah merokok.
Beragam penyakit dapat menyerang perokok diantaranya yaitu gagal ginjal
kronik. Gangguan ini pada perokok, berawal dari gangguan fungsi ginjal karena
terjadinya nepfrosklerosis dan glomerulonefrritis yang disebabkan kandungan zat
dalam rokok. Seorang perokok diperkirakan beresiko mengalami kejadian tersebut
1,2 kali lebih tinggi dari individu yang tidak merokok. Risiko ini lebih tinggi bila
jumlah rokok yang dihisap lebih dari 20 batang perhari. Individu yang merokok >
20 batang rokok perhari diperkirakan 2,3 kali lebih mungkin mengalami gagal
ginjal kronik dibandingkan yang merokok 1-20 batang sehari (Bndicte dkk,
2003).
Pernyataan Ayers, Bruno dan Langford (1999) bahwa pola hidup yang
tidak baik dilihat dari penggunaan zat adalah perilaku beresiko seperti merokok,
menggunakan obat-obatan tidak sesuai dengan aturan yang telah diberikan,
penggunaan zat kimia yang berbahaya bagi tubuh, dan sebagainya. Perilaku ini
bila dilakukan oleh individu dalam jangka panjang dapat mengakibatkan
gangguan kerja ginjal yang berakhir dengan gagal ginjal kronik.
Pendapat lain yang juga mengemukakan, individu yang merokok beresiko
menderita gagal ginjal kronik 2,2 kali lebih tinggi dibandingkan individu yang
tidak merokok. Risiko menderita gagal ginjal kronik ini tetap lebih tinggi pada
perokok, meskipun kemudian memutuskan untuk berhenti merokok. Namun
masih lebih rendah bila dibandingkan dengan individu yang memutuskan untuk

Universitas Sumatera Utara

24

tetap merokok. Perokok yang telah berhenti berisiko 1,08 kali menderita gagal
ginjal kronik sedangkan yang memilih untuk tetap merokok 2,4 kali lebih
mungkin mengalami gagal ginjal kronik (Shankar dkk, 2006).
Mekanisme seseorang mengalami gagal ginjal kronik yang berlanjut
menjadi gagal ginjal terminal yang diinduksi oleh rokok, terjadi melalui tiga cara.
Mekanisme

pertama

yaitu

melalui

nonhemodinamik

(Nonhemodynamic

mechanisms as potential mediators of smoking-induced renal damage). Secara


sederhana dapat dideskripsikan bahwa zat-zat racun yang terkandung di dalam
rokok telah mengakibatkan terjadinya disfungsi endotelial. Nikotin menyebabkan
sel manusia mengalami proliferasi disamping meningkatkan fibronectin sampai
50%. Hal ini menginduksi ginjal mengalami fibrosis yang pada akhirnya
mengurangi kerja ginjal dalam mengeksresikan urin. Zat lain yang turut merusak
ginjal yaitu cadmium (Cd) yang terkandung di dalam rokok dimana penumpukan
zat ini di korteks ginjal mengakibatkan kerusakan jaringan karena toksisitas zat
tersebut yang akan menimbulkan jaringan parut pada ginjal. Mekanisme
selanjutnya yaitu terjadi secara hemodinamik (Hemodynamic mechanisms as
potential mediators of smoking-induced renal damage). Zat-zat berbahaya di
dalam rokok selain memicu perubahan secara langsung pada organ ginjal,
beresiko meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah
merupakan faktor penting terhadap progresifitas penyakit gagal ginjal kronik.
Mekanisme kerusakan ginjal terakhir dapat terlihat secara histopatologik
(Histopathologic features of smoking-induced renal damage). Gambaran
histopalotogik yang ditemukan memperlihatkan progressi kerusakan glomerulus

Universitas Sumatera Utara

25

ginjal pada perokok yang berat, hiperplasia arteri intra renal, penebalan dinding
arteri yang memicu nefrosklerosis dan kerusakan-kerusakan lainnya (Orth dan
Hallan, 2008).
Selain rokok, menurut studi terhadap pasien yang menderita gagal ginjal
kronik yang kemudian mengalami gagal ginjal terminal, ditemukan zat-zat lain
yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan ginjal. Zat tersebut diantaranya
yaitu obat anti nyeri. Observasi yang dilakukan selama 2 tahun memperlihatkan
pasien yang telah mengkonsumsi obat anti nyeri secara tidak tepat (lebih dari satu
pil dalam seminggu) sepanjang kurun waktu 2 tahun atau lebih untuk
menghilangkan rasa sakit beresiko mengalami kerusakan ginjal. Lebih lanjut
ditemukan, pasien yang bekerja dalam waktu lama pada sektor industri, lebih
mungkin mengalami gagal ginjal dibandingkan sektor lain. Sektor industri yang
paling tinggi frekuensi penderitanya yaitu automobil (51%), diikuti pekerja
konstruksi (17%), pengecoran logam (9%) dan pekerja rumah sakit (6%)
(Steenland dkk, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai