Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pondok pesantren adalah sekolah berasrama yang fokus utamanya adalah
mempelajari ilmu agama. Pondok pesantren atau yang biasa disingkat dengan Ponpes
merupakan lembaga pendidikan islam di Indonesia yang bersifat tradisional, dimana yang
diajarkan adalah pelajaran agama dengan mengunakan referensi kitab-kitab kasik
berbahasa arab sebagai sumber pelajaran. Metode dalam pengajarannya pun bereda
dengan sekolah umum, metode pembelajaranya menggunakan metode sorogan,
bandongan, serta mengedepankan hafalan (Masud, 2004)
Pendidikan di pesantren mempunyai tujuan untuk memperdalam ilmu Al-Quran
dan sunnah Rasul dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa Arab.
Dalam pondok pesantren terdapat komunitas yang khas dimana santri hidup dengan kyai,
ustadz, pengurus pesantren, berlatar belakang nilai-nilai agama islam lengkap dengan
norma-norma dan kebiasaan tersendiri (Bashori, 2003). Pondok pesantren juga
menawarkan kurikulum yang berbeda dengan sekolah umum. Beberapa pondok pesantren
memadukan kurikulum pemerintah dengan kurikulum yang dibuat oleh pondok pesantren
sendiri.
Kedudukan pondok pesantren dalam sistem pendidikan di Indonesia sudah diatur
dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan keagamaan pasal 30. Pondok
pesantren merupakan salah satu bentuk pendidikan keagamaan yang diselenggarakan
oleh pemerintah atau masyarakat kelompok keagamaan sesuai dengan perundangundangan (ayat 1), serta dapat di selenggarakan dalam bentuk formal, nonformal, ataupun
informal (ayat 3). Perbedaan sistem pendidikan pondok pesantren adalah pengajaran

agama islam yang bertempat disebuah asrama dan santri yang belajar wajib tinggal di
asrama yang bersifat permanen selama 24 jam (Qomar, 2006). Kewajiban tinggal di
pondok pesantren menuntut santri untuk menyesuaikan diri dengan segala aktivitas,
budaya, dan kebiasaan yang ada di lingkungan pesantren, demi terciptanya lingkungan
pesantren yang harmonis dan kondusif, pengurus pondok pesantren mewajibkan seluru
santri untuk menaati dan melaksanakan peraturan yang telah dibuat oleh pihak pondok
bahkan apabila melanggar peraturan akan mendapat hukuman dari pengurus.
Sekolah-sekolah yang memadukan materi agama dan umum banyak diminati
karena sebagiam orang berpresepsi bahwa lembaga pendidikan yang memadukan meteri
tersebut mampu menghasilkan manusia yang mempunyai moralitas yang tinggi dan
tingkat keimanan yang tinggi, hal tersebut ada di pesantren (Yuniar dkk, 2005), salah
satunya adalah Pondok Pesantren Amanatul Ummah.
Pondok pesantren Amanatul ummah merupakan pondok pesantren modern yang
memiliki sistem pengajaran yang memadukan antara materi agama dan umum. Sistem
pengajaran yang dipakai sama seperti sekolah-sekolah umumnya yang tidak hanya
pendidikan umum, tetapi diimbagi juga dengan pendidikan agama (Abdullah dkk 2008).
Pondok Pesantren Ammanatul Ummah memiliki 4 unit pendidikan swasta yang terdiri
dari jenjang SMP/MTs - SMA/MA . Pada jenjang MTs merupakan jenjang dimana anak
masuk pondok di tingkat paling bawah, dimana dimulai dari kelas 7 MTs mereka
memulai bertempat tinggal di asrama yang telah disediakan oleh pihak pondok. Antara
santri laki-laki dan perempuan tinggal pada asrama yang terpisah, namun setiap asrama
mempunyai peraturan dan kegiatan yang hampir sama karena telah diatur oleh yayasan
pondok pesantren.
Tujuan pondok pesantren Amanatul Ummah mewajibkan setiap santrinya untuk
tinggal di asrama yang telah disediakan adalah agara santri dapat belajar dengan efektif

sehingga dapat menguasai pengetahuan agama dan umum yang telah diberikan. Selain itu
sebagian tujuan orang tua memasukkan anaknya dalam pondok pesantren memiliki
harapan yang sama, yaitu ingin melihat anaknya memiliki waktu yang efekif untuk
belajar dengan adanya aturan ketatdari pihak asrama. Namun kenyataannya santri MTs
yang sedang menghadapi perubahan yang tidak hanya pada diri tetapi juga dengan
lingkungan baru akan mengalami masalah tersendiri dalam mengikuti jadwal kegiatan
yang sangat padat dan terstruktur dibandingkan siswa lain yang berada di lingkungan
rumah.
Kegiatan di Pondok Pesantren Amanatul Ummah dimulai pukul 03.30 dengan
dimulai sholat malam bersama dan dilanjutkan dengan sholat subuh kemudian mengaji
pagi. Setelah mengaji pagi para santri kembali ke asrama untuk sarapan pagi dan
mengantre mandi kemudian langsung bersiap-siap untuk melanjutkan kegiatan belajar
mengajar mulai kelas formal sampai pukul 13.00. para santri mempunyai waktu untuk
istirhat siang mulai pukul 13.00 sampai 15.00 kemudian persiapan untuk melanjutkan
mengaji sore hingga selesai pukul 21.00, setelah pukul 21.00 biasanya para santri tidak
langsung istirahat ada yang makan malam, mengerjakan tugas sekolah, hafalan AlQuran, ataupun hanya sekedar ngobrol bersama.
Keadaan yang telah diatur mulai dari situasi asrama hinggal jadwal kegiatan di
sekolah dibuat demi kepentingan santri dalam mencapai efektifitas waktu dalam belajar,
namun ternyata membawa masalah tersendiri bagi para santri. Santri yang berada di
asrama tinggal dengan fasilitas yang berbeda dengan di rumah, diasrama santri mendapat
lebih banyak pendidikan keagamaan yang lebih banyak dibandingan dengan dirumah.
Santri MTs tinggal dalam satu kamar yang berjumlah lebih dari 15 orang dengan suasana
dan situasi yang tidak begitu kondusif untuk belajar, mereka harus pintar-pintar mencari

tempat dan waktu sendiri untuk belajar. Keadaan tersebut lantas membuat santri MTs
menjadi kurang termotivasi untuk belajar dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh
guru, beberapa siswa mengaku karena banyak tugas yang harus diselesaikan membuat
santri merasa memiliki waktu yang sangat terbatas untuk mengerjakan tugas. Keadaan
tersebut membutuhkan kemampuan menyesuaikan diri yang baik agar tidak timbul
masalah-masalah saat menghadapi perkembangan di lingkungan pesantren.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa transisi dari jenjang SD ke SMP
juga dialami oleh santri MTs Amanantul Ummah. Santri MTs Amanantul Ummah adalah
seorang yang beralih dari masa anak-anak menuju remaja, biasanya antara 12-16 tahun.
Transisi dari jenjang SD ke SMP adalah masa dimana berlangsungnya banyak perubahan
pada fisik, kognitif, dan sosial pada individu (Santrock, 2007). Masa transisi yang penuh
perubahan dan tuntutan adaptasi dengan perubahan dapat menimbulkan tekanan-tekanan
tertentu ditambah lagi bagi remaja yang masuk di lingkungan baru seperti pondok
pesantren. Hal ini dikarnakan pada masa remaja banyak terjadi perubahan psikologis
yangdisertai dengan perubahan sosial lainnya. Selain mengalami perubahan psikologis
dan sosial, remaja juga mengalami masalah transisi perkembangan akademiknya. Dimana
sebelumya duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) yang lingkungan psikososialnya kecil
beralik ke masa sekolah menengan yan lingkupnya menjadi lebih besar. Perpindahan dari
SD menuju SMP merupakan waktu yang bemanfaat untuk mengembangkan kemampuan
dalam melayani diri sendiri, dengan mulai belajar untuk mandiri dalam berbagai hal
tanpa bantuan dari orang tua. Remaja yang merasa lebih dewasa akan mendapat banyak
pelajaran, dapat memilih teman sebaya, dan merasa tertantang secara intelektual terhadap
tugas akademik yang sulit dan menantang.

Dalam masa transisional, remaja

seringkali mengalami ketidakseimbangan.

Dimana terdapat beberapa tugas yang harus dilaksanakan dalam satu waktu sekaligus.
Tuntutan terhadap akademis bersamaan dengan tuntutan remaja sebagai individu yang
beranjak dewasa. Kemampuan dalam menyeimbangkan tugas perkembangan yang harus
diselesaikan secara bersama dapat dihindari jika remaja mampu meregulasi emosi dan
kompeten dalam lingkungan sosial. Emosi yang dapat dikuasai serta kemampuan dalam
menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial akan mengantarkan siswa lebih bijak dalam
menyikapi tuntutan yang dihadapi.
Santri MTs Amanantul Ummah harus menghadapai perubahan pada dirinya tanpa
orang tua dan pada lingkungan baru yang menuntut santri untuk hidup mandiri dalam
lingkungan pondok pesantren. Di pondok pesantren terdapat aturan yang sangat beda
dengan kondisi dirumah. Padatnya jadwal yang akan diterima oleh santri MTs Amanantul
Ummah akan memberikan dampak lain terhadap pola kehidupan. Setiap hari santri
dibebani oleh kegiatan yang tidak ringan mulai bangun tidur hingga tidur kembali diatur
sedemkian rupa (Yuniar dkk, 2005). Santri akan berusaha mengikuti jadwal yang telah
diatur oleh pihak pesantren, namun karena kurannya pengawasan dari pihak pesantren
dapat menimbulkan dampak tersendiri bagi perilaku pelanggaran yang dilakukan oleh
santri.
Santrock (2003) berpendapat bahwa sekolah yang mempunyai siswa lebih dari
500-1000 orang, kemungkinan tidak menyediakan penanganan personal yang
memungkinkan kontrol sosial yang efektif. Pada pondok pesantren Amanatul Ummah
siswa keseluruhan bejumlah 1071 orang yang bertempat tinggal di asrama, hal tersebut
sesuai dengan pendapat Santrock, dimana akan menyebabkan ketidak efektifan kontrol
sosial yang berjalan, rentan dengan rendahnya pengawasan dari pihak sekolah dan

pondok peantren, keterbatasan jumlah pengurus yang tidak sebanyak santri yang ada
membuat pihak asrama sendiri tidak mampu untuk melakukan pengawasan secara
maksimal terhadap santrinya, akibatnya sering terjadi pelanggaran sebagai kontrol yang
rendah dari pihak sekolah dan asrama.
Santri yang belajar di pondok pesantren umunya sedang menempuh jenjang
pendidikan SMP/MTs sampai dengan SMA/MA yang tergolong dalam masa remaja.
Santri-santri di Pondok Pesantren adalah remaja-remaja yang mengalami berbagai
macam perubahan yang mana mereka dalam masa transisi dari masa anak-anak menuju
masa dewasa, yaitu suaau masa dimana individu tidak dipandang sebagai anak-anak atau
orang dewasa. Remaja memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi untuk betahanan dan
melanjutkan tugas perkembangannya. Remaja tidak terlepas dari tahapan demi tahapan
perkembangan yang harus dilalui. Keberhasilan terpenuhnya tahapan perkembangan
dapat bersumber dari bermacam-macam faktor, baik dari dalam diri remaja, keluarga,
maupun lingkungan sekitar. Masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja
memberikan suatau kekuatan bagi remaja agar mampu menyesuaiakan diri dengan
lingkungan mereka. Santrock (2008) berpendapat bahwa remaja merupakan Periode
transisi perkembangan antara masa anak-anak dengan masa dewasa yang melibatkan
perubahan pada aspek biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Perubahan-perubahan
tersebut menuntut remaja untuk memenuhi segala kebutuhannya karena hal-hal tersebut
akan mepengaruhi kepribadiannya.
Tahun pertama merupakan tahun yang sulit bagi santri baru dalah beradaptasi
dengan tempat tinggal, lingkungan, teman baru, dan guru baru yang mungkin sangat
berbeda dengan kehidupan dirumah (Pritaningrum, 2013). Hasil penelitian Yuniar dkk
(2005) menunjukkan bahwa bahwa setiap tahunnya setiap 5-10% santri baru di Pondok

Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalam Surakarta mengalami masalah dengan proses
penyesuaian diri santri dalam lingkungan pondok seperti tidak mampu mengikuti
pelajaran, tidak bisa tinggal di asrama karena terpisah dari orang tua, dan melakukan
tindakan-tindakan yang melanggar peraturan pondok. Arifin (1993) menjelaskan bahwa
masalah yang dihadapi santri di pondok pesantren adalah tidak tahan dengan peraturan
yang ketat, merasa jenuh dengan aktifitas di pondok pesantren, konflik dengan teman,
sering sakit, dan sebagaianya.
Penelitian lainnnya yang mengkaji tentang penyesuaian diri santri di lingkungan
pondok pesantren yang dilakukan di peanten Mahad Al-Ittihad Al-Islami Camplong
Sampang Madura, seperti penjelasan pengurus pesantren mengenai santri yang kurang
mampu menyesuaikan diri dengan memperlihatkan beberapa perilaku seperti sering di
kamar dan jarang bergaul, lebih suka menyendiri, sering melamun dan terkadang
menagis, tidak mengikuti pelajaran di kelas, dan tidak berpartisipasi dengan kelompok.
Menurut Schneiders (1964) Penyesuaian diri merupakan suatu usaha yang
dilakukan oleh remaja dalam menyetabilkan antara tuntutan diri dengan lingkungan yang
melibatan respon mental dan tingkah laku, sehingga tercapai hubungan yang selaras
antara diri dengan lingkungan. Penyesuaian diri adalah hal yang penting dalam
membantu santri beradaptasi dengan lingkungan pondok. Tak sedikit juga santri yang
tidak dapat menyesuaikan diri di pondok sehingga kehidupannya di pondok cenderung
menjadi santri yang rendah hati, tertutup, suka menyendiri, kurang percaya diri, serta
malu jika berada diantara orang lain atau situasi yang asing baginnya. Davidoff (2007)
berpendapat juga bahwa penyesuaian diri adalah proses untuk menyelaraskan tuntutan
diri dengan lingkungan. Dalam proses keselarasan antar diri dengan lingkungan, guna
mencapai keselarasan tersebut ada beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain: (a)

kondisi dan konstitusi fisik, (b) kematangan taraf pertumbuhan dan perkembangan, (c)
determinan psikologis, (d) kondisi lingkungan sekitar, dan (e) faktor adat istiadat, normanorma sosial, religi, dan kebudayaan. Menyesuaikan diri bukan merupakan suatu hal
yang mudah untuk dilakukan, terlebih jika situasi yang dihadapi sangat berbeda dengan
apa yang telah dihadapi sebelumnya. Salah satunya adalah melanjutkan ke jenjang
pendidikan dengan sistem pesantren. Penyesuaian diri sangat diperlukan oleh santri baru
agar terjadi keselarasan antar diri dengan lingkungan baru pondok pesantren, sehingga
remja dapat tinggal di lingkungan baru dengan nyaman dan dapat mengikuti kegiatan
belajar mengajar dengan efektif.
Santri pondok pesantren Amanaul Ummah mempunyai tingkat heterogenitas yang
tinggi terkait dengan latar belakang yang berbeda, mulai dari tingkat ekonomi, asal, dan
bahasa. Santri baru yang tinggal di Pondok Pesantren Amanatul Ummah tergolong remaja
awal, dengan rentan usia 12 sampai 17. Menurut Mappiare (dalam Ali & Asrori, 2010)
menyatakan bahwa usia remaja dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun
sampai 17/18 tahun adalah remaja awal dan 17/18 tahun sampai 21/22 tahun merupakan
remaja akhir. Monks (2006) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa dimana anak
belum bisa menguasai dan memfungsikan dengan maksimal fungsi fisik dan psikisnya.
Kemampuan santri dalam menyesuaikan diri mempunyai pengaruh yang cukup
besar bagi keadaan santri dalam memberikan respon terhadap setiap keadaan yang
dihadapi. Kemandirian merupakan aspek yang sanget penting dalam menangani problem
remaja dalam bentuk perilaku negatif untuk menyesuaiakan diri dengan lingkungan
pondok pesantren. Kemandirian juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
proses penyesuaian diri remaja yang masuk ke dalam lingkungan pondok pesantren.

Diperoleh dari penelitian Hasanah (2012) menunjukkan bahwa kemandirian memberikan


sumbangan sebesar 41,9% bagi penyesuaian diri. Kemandirian dan penyesuaian diri
yang optimal diharapkan dimiliki oleh semua santri, namun tidak semua santri memiliki
tingkat adapatasi yang baik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru pondok
pesantren, peraturan-peraturan serta pengaturan waktu dalam belajar. Santri yang tingkat
kemandiriannya tinggi akan memberikan dampak positif bagi penyesuaian dirinya di
pondok karena dapat melakukan segala sesuatunya sendiri, sedang santri dengan
kemandirian yang rendah akan kesulitan dalam penyesuaian diri karena selain tidak bisa
melakukan hal yang berhubungan dengan dirinya. Melepaskan perhatian dari orang tua
merupakan usaha untuk hidup mandiri dimana santri MTs Amanatul Ummah melakukan
hal tersebut. Hal tersebut di tegaskan oleh Steinberg (1995) yang menyatakan bahwa
remaja yang mandiri dapat mengatur dirinya sendiri meskipun tidak ada pengawasan dari
orang tua. Tidak semua santri MTs Amanantul Ummah dapat beradaptasi dengan baik
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan pondok pesantren, peraturan-peraturan yang
ada, pelajaran dan jam belajar yang berbeda dengan jenjang pendidikan sebelumnya, dan
orang baru yang ada di pondok pesantren. Santri yang mandiri diharapkan dapat
memberikan respon yang baik terhadap penyesuaian diri di pondok pesantren dimana
santri yang mandiri akan menunjukkan sikap yang positif terhadap situasi di lingkungan
yang baru, mampu bertindak dan berfikir sendiri dalam membentuk penyesuaian yang
lebih baik lagi.
Penyesuaian

diri

merupakan

salah satu

aspek

psikologis

yang

harus

dikembangkan dalam kehidupan individu baik dengan individu lain, kelompok, dan
lingkungan baru. Agar individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya,

individubutuh keterampilan sosial. Keterampilan sosial menunjang keberhasilan individu


dalam bergaul dan merupakan satu syarat dalam penyesuaikan diri yang baik dalam
kehidupan individu. Salah satu aspek yang penting dalam keterampilan sosial adalah
keterbukaan diri (Ginau, 2002)
Menurut Lumsden (dalam Ginau, 2002) keterbukaan diri dapat membantu
seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan kepercayaan diri serta
menjadikan hubungan menjadi lebih akrab. Selain itu individu juga dapat melepaskan
rasa cemas dengan terbuka terhadap orang lain (Ginau, 2002). Tanpa in

Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan diatas, dimana telah dijelaskan


bahwa adanya hubungan antara kemandirian dan keterbukaan diri terhadap penyesuaian
diri. peneliti ini mengeksplorasi penelitian lebih lanjut tentang uji pengaruh kemandirian
dan keterbukaan diri terhadap penyesuaian sosial di pondok pesantren Amanatul Ummah.
1.2 Identifikasi masalah
Pembahasan tentang penyesuaian diri remaja bukanlah hal yan baru. Pembahasan
ini sudah banyak dilakukan oleh peneliti dalam mengetahui bagaimana penyesuaian diri
pada masa remaja. Masa remaja yang merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak
menuju dewasa. Remaja mengalami berbagai masalah karen aperubahan fisik, psikis, dan
sosial. Perubahan-perubahan tersebut menuntut agar terpenuhi karena mempengaruhi
perkembangan kepribadiannya. Perkembangan yang harus dihadapi individu (remaja)
antara lain: bertambahnya usia, perpindahan tempat tinggal (dari rumah ke asrama), dan
perubahan iklim lingkungan.

Menurut pengertian Penyesuaian sosial Schneiders (1964), Penysuaian sosial


merupakan kemampuan individu dalam berinterasi secara tepat dengan kenyatan, situasi,
dan hubungan sosial sehingga persyaratan untuk kehidupan sosial yang layak dan
memuaskan terpenuhi. Setiap individu mempunyai cara yang berbeda dalam
menyesuaikan diri. individu yang berhasil menyesuaikan diri dengan perubahan dan
lingkungan maka individu dapat berinteraksi dengan lingkungan tetapi apabila tidak
berhasil maka akan terjadi ketidakseimbangan pergaulan seperti minder, pengucilan, dan
takut. Berhasi tidaknya individu dalam menyesuaikan diri tergatung pada potensi-potensi
sosial yang ada pada individu.
Kewajiban bagi santri agar tinggal di pondok pesantren menuntut santri agar
dapat menyesuaiakan diri dengan segala aktivitas, budaya, dan kebiasaan yang ada di
lingkungan pondok pesantren (Pritaningrum & Hendriani, 2013) dengan hal tersebut
santri juga dituntut untuk menaati seluruh kegiatan dan peraturan yang ada di pondok
pesantren agar terciptanya lingkungan pesantren yang kondusif. Santri pondok pesantren
merupakan siswa yang sedang menempuh jenjang pendidikan SMP/MTs sampai dengan
SMA/MA yang tergolong dalam masa remaja. Remaja dengan dinamika yang khas
pertumbuhan dan tugas perkembangan dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap
berbagai kondisi yang akan mereka alami di lingkungan pondok pesantren.
Dampak penyesuaian sosial yang rendah pada santri akan menyebabkan berbagai
pengaruh pada perilaku santri seperti menjadi rendah hati, tertutup, suka menyendiri,
kurang percaya diri, serta malu jika berada diantara orang lain atau situasi yang asing
baginnya, tidak bertanggung jawab, mengabaikan pelajaran, sikap yang agresif, perasaan
tidak aman, merasa ingin pulang, melanggar aturan-aturan yang ada, hingga keluar dari

pondok pesantren (Barata, 2013). hal tersebut adalah dampak dari ketidakmampuan santri
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan di pondok pesantren.
Menurut Schneiders (1964) ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian
diri yang salah satunya dalah faktor psikologis. Salah satu faktor psikologis yang
mempengaruhi penyesuaian diri adalah kemandirian (Wulandari, 2005), Hasanah (2012)
menunjukkan bahwa kemandirian memberikan sumbangan pengaruh sebesar 41,9% bagi
penyesuaian diri, dengan hasil hubungan yang signifikan antara kemandirian dengan
penyesuaian diri. Kemandirian adalah kemampuan dalam diri untuk berfikir dan
bertindak, serta tidak bergantung terhadap orang lain secara emosional (Steven J, 2002).
Adapun hasil penelitian Barata (2013) yang

menyatakan hasil positif telah

diperoleh dari penelitiannya tentang keterbukaan diri dan penyesuaian diri dengan hasil
korelasi p= 0.002 yang berarti ada hubungan signifikan antara keterbukaan diri dengan
penyesuaian diri. Diperkuat oleh pendapat Cozby (dalam Charpenter, 1979) yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antar keterbukaan diri dengan
penyesuaian diri pada individu. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa faktor
keberanian menyampaikan pendapat merupakan hal yang berkaitan dan signifikan
dengan penyesuaian diri.
Kedua variabel, kemandirian dan keterbukaan diri memiliki korelasi yang positif
dengan penyesuaian diri. Apabila kemandirian dan keterbukaan diri tinggi maka tingkat
penyesuaian diri dari santri juga tinggi, apabila rendah maka penyesuaian dirinya rendah
dan santri tersebut tidak dapat menyesuaikan diri di lingkungan pondok. Tetapi masih
banyak santri yang masih melanggar peraturan, tidur di kelas, merasa ingin pulang dan

sebagainya. Berdasarkan penjelasan diatas maka penelitian ini ingin mencoba menjawab
seberapa besar pengaruh kemandirian dan keterbukaan diri terhadap penyesuaian sosial
dapat membuat santri tidak melanggar aturan, prestasi akademiknya tingga, ataupun
dikeluarkan dari pondok.
1.3 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui pengaruh kemandirian dan
keterbukaan diri terhadap penyesuaian diri pada santri remaja awal di pondok pesantren.
Agar permasalahan ini lebih jelas dan tetap fokus pada topik, maka penulis memberikan
batasan masalah pada target dan ruang lingkup.
1. Penyesuaian sosial.
Penyesuaian sosial merupakan kemampuan atau kapasitas yang dimiliki
individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial, situasi, dan
relasi sosial dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan sesuai ketentuan
dalam kehidupan sosial. (Schneiders, 1964).
2. Kemandirian
Kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam bertingkah
laku, merasakan sesuatu, dan mengambil keputusan berdasarkan kehendak
sendiri (Steinberg, 2002)
3. Keterbukaan diri (Self Disclosure)
Keterbukaan diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengungkap
infomasi tentang dirinya kepada orang lain agar terciptanya keakraban (Altman
dan Taylor, dalam Karina, 2012) sedangkan menurut Person (dalam Karina, 2012)
mengartikan bahwa keterbukaan diri sebagai tindakan seseorang dalam memberi

informasi yang bersifat pribadi kepada orag lain secara sukarela dan sengaja yang
bermaksud memberi informasi yang akurat tentang dirinya.
1.4 Rumusan masalah
Seberapa besar pengaruh antara kemandirian dan keterbukaan diri terhadap
penyesuaian diri pada santri remaja awal di pondok pesantren?
1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris seberapa besar pengaruh
antara kemandirian dan keterbukaan diri terhadap penyesuaian diri pada santri remaja
awal di pondok pesantren Amanatul Ummah.
1.6 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil

dari

penelitian

ini

dapat

dijadikan

kajian

ilmiah

untuk

pengembangan ilmu psikologi khsususnya psikologi pendidikan dengan


memberikan hasil data penelitian terkait penyesuaian diri yang ditinjau dari
kemandirian dan keterbukaan diri pada santri remaja awal
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan
menambah pengetahuan bagi masyarakat luas pada umumnya sehingga menjadi
bahan evaluasi dan referensi khususnya bagi para orangtua, pengurus, ustadz,
serta kyai dalam upaya membimbing dan memotivasi untuk agar dapat
menyesuaikan diri di lingkungan pondok pesantren.

BAB I SEBELUM REVISI

PENDAHULUAN
1.7 Latar belakang
Manusia sebagai makhluk sosial pastinya harus berinteraksi dan membentuk
hubungan sosial dengan orang lain yang berada di sekitarnya. Semakin bertambah umur
seseorang dan semakin tinggi jenjang pendidikan kemungkinan

semakin luas pula

tingkat interaksi seseorang, karena pada umumnya akan bertemu dengan orang-orang
baru. Tidak hanya pada lingkup keluarga, teman sebaya, ataupun sekolah bahkan
lingkungan sekitarpun akan terus datang silih berganti orang-orang baru dengan berbagai
macam latar belakang seperti suku, budaya, agama, dan ekonomi. Layaknya lingkungan
sebagai mana mestinya, dalam lingkungan pondok pesantren Santri didalamnya
mempuyai latar belakang yang berbeda-beda, baik asal daerah, bahasa, ekonomi, serta
tingkat umur termasuk santri remaja.
Pondok pesantren adalah tempat pendidikan dan pengajaran agama islam dan ada
sebah asrama di dalamnya sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen (Qomar,
2006). Dalam sebuah pesantren, santri yang belajar di pondok pesantren umunya sedang
menempuh jenjang pendidikan SMP sampai dengan SMA yang tergolong dalam masa
remaja. Santri-santri di Pondok Pesantren

adalah remaja-remaja yang mengalami

berbagai macam perubahan yang mana mereka dalam masa transisi dari masa anak-anak

menuju masa dewasa, yaitu suata\u masa dimana individu tidak dipandang sebagai anakanak atau orang dewasa. Remaja memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi untuk
betahanan dan melanjutkan tugas perkembangannya. Remaja tidak terlepas dari tahapan
demi tahapan perkembangan yang harus dilalui. Keberhasilan terpenuhnya tahapan
perkembangan dapat bersumber dari bermacam-macam faktor, baik dari dalam diri
remaja, keluarga, maupun lingkungan sekitar. Masalah-masalah yang muncul dalam
kehidupan remaja memberikan suatau kekuatan bagi remaja agar mampu menyesuaiakan
diri dengan lingkungan mereka. Santrock (2008) berpendapat bahwa remaja merupakan
Periode transisi perkembangan antara masa anak-anak dengan masa dewasa yang
melibatkan perubahan pada aspek biologis, kognitif, dan sosio-emosional.
Salah satu perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan
penyesuaian sosial (Hurlock, 2008) remaja harus membuat banyak penyesuaian baru.
samahalnya santri remaja yang tinggal di lingkungan pondok harus menetap di asrama
secara permanen selama menempuh studinya. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan Pasal 1 Ayat 4 yang menyatakan bahwa pondok pesantren adalah
lembaga pendidikan agama Islam berbasis masyarakat yang menjalankan pendidikan
diniyah. Santri tersebut harus bisa menyesuaian diri karena dituntut untuk hidup mandiri
dan jauh dari orang tua maupun keluarga. Selain jauh dari keluarga santri akan di
hadapkan dengan karakteristik yang berbeda dengan sekolah formal lainnya karena
pelajaran yang ditekankan adalah pelajaran agama.
Menurut Irfani (2004) santri dituntut juga dapat menyesuaikan diri dalam memenui
tuntutan yang berasal dari dalam diri sendiri seperti makan, minum, kasih sayang, dan

tuntutan dari luar diri mereka seperti peraturan dalam pondok, norma agama, dan norma
sosial yang berlaku di pesantren. Fenomena santri yang paling banyak dijumpai adalah
pelangaran peraturan pondok, karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan peraturan
yang ada di lingkungan pondok pesantren. Pada umunya santri baru membutuhkan waktu
yang lama dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan pesantren (Irfani, 2004). Ketika
kali pertama santri melihat peraturan-peraturan yang ada di pesantren, santri baru akan
merasa bahwa peraturan tersebut sangatlah berat. Pernyataan itu sesuai dengan apa yang
dialami oleh santri baru Madrasah Takhassusyiah di Pondok Pesantren Modern Islam
Assalaam Sukoharjo yang masih terbiasa dengan pola kegiatan di rumah. Tantangan bagi
santri di pondok pesantren lainnya adalah adanya tuntutan dalam menyesuaikan diri
dengan teman yang baru dimana biasanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia,
seperti Jawa tengah, Jawa barat, Bali, Sulawesi, Padang Aceh, NTT, NTB bahkan dari
Papua. Kemampuan santri baru dalam menyesuaikan diri sangatlah menentukan sejauh
mana santri dapat bertahan di lingkungan pesantren. Santri baru membutuhkan waktu
dalam mempelajari kebiasaan-kebiasaan baru yang ada di pondok pesantren.
Pada hasil penelitian Yuniar,dkk (2005) mengenai gambaran penyesuaian santri baru
di PPMI Assalaam dan diketahui bahwa 5-10% santri baru mengalami masalah
melakukan proses penyesuaian diri. Pada hasil penelitian Kumalasari & Nur (2012)
menunjukan penyesuaian diri remaja di panti asuhan dengan total 55 orang, diperoleh
data 2 remaja (3,64%) memiliki tingkat penyesuaian diri sangat tinggi, 14 remaja
(25,45%) memiliki tingkat penyesuaian diri tinggi, 25 remaja (45,45%) memiliki tingkat
penyesuaian diri sedang, 11 remaja (20%) memiliki tingkat penyesuaian diri rendah dan 3
remaja (5,45%) memiliki tingkat penyesuaian diri sangat rendah. Adapun hasil penelitian

Ildiyanita (2012) penyesuaian diri siswa kelas akselerasi di pondok pesantren yang
termasuk dalam kategori rendah di pondok pesantren sebanyak 16 siswa (17,8 %)
Sedangkan siswa kelas akselerasi yang termasuk dalam kategori tinggi di pondok
pesantren sebanyak 26 siswa (28,9 %).
Data tersebut menunjukka bahwa ada santri remaja yang masih memiliki penyesuaian
diri yang rendah, dimana hal itu dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup santri
dalam lingkungan pondok pesantren. Dengan data tersebut yang menunjukkan bahwa
masih ada santri yang mengalami masalah dalam menyesuaikan diri terutama pada tahun
pertama, sehingga hampir setiap tahun selalu ada yang keluar sebelum lulus dikarenakan
memiliki permasalahan penyesuaian diri ataupun tetap bertahan namun dengan kondisi
yang terpaksa hingga mengakibatkan santri menunjukkan perlaku yang tidak terarah,
sering melanggar peraturan pondok, dan memiliki prestasi akademik yang buruk.
Menurut Schneiders (1964) Penyesuaian diri merupakan suatu usaha yang
dilakukan oleh remaja dalam menyetabilkan antara tuntutan diri dengan lingkungan yang
melibatan respon mental dan tingkah laku, seingga tercapai hubungan yang selaras antara
diri dengan lingkungan. Penyesuaian diri adalah hal yang penting dalam membantu santri
beradaptasi dengan lingkungan pondok. Tak sedikit juga santri yang tidak dapat
menyesuaikan diri di pondok sehingga kehidupannya di pondok cenderung menjadi santri
yang rendah hati, tertutup, suka menyendiri, kurang percaya diri, serta malu jika berada
diantara orang lain atau situasi yang asing baginnya. Davidoff (2007) berpendapat juga
bahwa penyesuaian diri adalah proses untuk menyelaraskan tuntutan diri dengan
lingkungan. Dalam proses keselarasan antar diri dengan lingkungan, guna mencapai
keselarasan tersebut ada beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain: (a) kondisi dan

konstitusi fisik, (b) kematangan taraf pertumbuhan dan perkembangan, (c) determinan
psikologis, (d) kondisi lingkungan sekitar, dan (e) faktor adat istiadat, norma-norma
sosial, religi, dan kebudayaan.
Salah satu determinan yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah kemandirian.
Dimana menurut hasil penelitian Hasanah (2012) menunjukkan bahwa kemandirian
memberikan sumbangan pengaruh sebesar 41,9% bagi penyesuaian diri, dengan hasil
hubungan yang signifikan antara kemandirian dengan penyesuaian diri. Kemandirian
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, apabila tingkat
kemandirian semakin tinggi maka tingkat penyesuaian juga semakin tinggi. Santri yang
kurang berhasil dalam menyelaraskan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungan akan
seringkali membuat pola-ploa prilaku yang keliru atau yang disebut dengan
maladjustment. Namul karena tingginya tingkat kemandirian santri di MTs Al-Mukmin
yang telah dijadikan subjek penelitian tidak terjadi hal yang disebut maladjustment.
Selain kemandirian, Jourard (dalam Lobardo, 1979) menyatakan bahwa
keterbukaan diri merupakan faktor utama dalam proses terbentuknya kesehatan mental
yang positif dan penyelarasan dalam kaitannya dengan orang lain. Dalam penelitian
Barata (2013) yang menyatakan hasil positif telah diperoleh dari penelitiannya tentang
keterbukaan diri dan penyesuaian diri dengan hasil korelasi p= 0.002 yang berarti ada
hubungan signifikan antara keterbukaan diri dengan penyesuaian diri. Hal tersebut
didukung oleh Cozby (dalam Charpenter, 1979) yang menyatakan bahwa ada hubungan
yang signifikan antar keterbukaan diri dengan penyesuaian diri pada individu. Pada
penelitian tersebut dinyatakan bahwa faktor keberanian menyampaikan pendapat
merupakan hal yang berkaitan dan signifikan dengan penyesuaian diri.

Berdasarkan fenomena dan data yang telah dipaparkan diatas, dengan


kemandirian dan keterbukaan diri yang tinggi akan memberikan pengaruh positif pada
penyesuaian diri dan santri dapat menyelaraskan antara diri dengan lingkungan dan
terhindar dari maladjustment. Sedangkan apabila kemandirian dan keterbukaan diri
rendah maka akan berampak bagi penyesuaian diri santri dimana akan muncul prilaku
maladjustment yang kemudian akan memunculkan prilaku tidak bertanggung jawab,
mengabaikan pelajaran, sikap yang agresif, perasaan tidak aman, merasa ingin pulang,
melanggar aturan-aturan yang ada, hingga keluar dari pondok pesantren. Tetapi dengan
hasil penelitian tersebut, santri yang tingkat kemandirian atau keterbukkan diri ada yang
bisa bertahan sampai lulus di lingkungan pondok pesantren, apakah santri yang tingkat
kemandirian dan keterbukaan dirinya rendah masih dapat menyesuaikan diri di
lingkungan pondok tanpa melanggar aturan yang sudah ditentukan, masih bisa mengikut
pelajaran sebagai mana mestinya, dan masih bisa bergaul seperti santri pada umunya?
Bertitik tolak pada fenomena dan data diatas maka perlu adanya penelitian terkait
permasalahan tersebut. Sehingga menghasilkan rumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimana hubungan kemandirian dan keterbukaan dir terhadap penyesuaian diri santri
remaja awal di pondok pesantren.
1.8 Identifikasi masalah
Pondok pesantren adalah institusi pendidikan yag menawarkan kurikulum yang
berbeda dengan sekolah umum. Kurikulum yang dipakai dalam pondok pesantren adalah
gabungan kurikulum pemerintah dengan kurikulum yang dibuat sendiri oleh pihak
pesantren, dimana ilmu yang dipelajari berfokus pada ilmu agama islam. Dalam pondok
pesantren terdapat komunitas yang khas dimana santri hidup dengan kyai, ustadz,

pengurus pesantren, berlatar belakang nilai-nilai agama islam lengkap dengan normanorma dan kebiasaan tersendiri (Bashori, 2003)
Kewajiban bagi santri agar tinggal di pondok pesantren menuntut santri agar
dapat menyesuaiakan diri dengan segala aktivitas, budaya, dan kebiasaan yang ada di
lingkungan pondok pesantren (Pritaningrum & Hendriani, 2013) dengan hal tersebut
santri juga dituntut untuk menaati seluruh kegiatan dan peraturan yang ada di pondok
pesantren agar terciptanya lingkungan pesantren yang kondusif. Santri pondok pesantren
merupakan siswa yang sedang menempuh jenjang pendidikan SMP sampai dengan SMA
yang tergolong dalam masa remaja. Remaja dengan dinamika yang khas pertumbuhan
dan tugas perkembangan dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai kondisi
yang akan mereka alami di lingkungan pondok pesantren.
Dampak penyesuaian diri yang rendah pada santri akan menyebabkan berbagai
pengaruh pada perilaku santri seperti menjadi rendah hati, tertutup, suka menyendiri,
kurang percaya diri, serta malu jika berada diantara orang lain atau situasi yang asing
baginnya, tidak bertanggung jawab, mengabaikan pelajaran, sikap yang agresif, perasaan
tidak aman, merasa ingin pulang, melanggar aturan-aturan yang ada, hingga keluar dari
pondok pesantren (Barata, 2013). hal tersebut adalah dampak dari ketidakmampuan santri
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan di pondok pesantren.
Menurut Schneiders (1964) ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuain
diri yang salah satunya dalah faktor psikologis. Salah satu faktaor psikologis yang
mempengaruhi penyesuaian diri adalah kemandirian (Wulandari, 2005), Hasanah (2012)
menunjukkan bahwa kemandirian memberikan sumbangan pengaruh sebesar 41,9% bagi

penyesuaian diri, dengan hasil hubungan yang signifikan antara kemandirian dengan
penyesuaian diri. Kemandirian adalah kemampuan dalam diri untuk berfikir dan
bertindak, serta tidak bergantung terhadap orang lain secara emosional (Steven J, 2002).
Santri yang tingkat kemandiriannya tinggi akan memberikan dampak positif bagi
penyesuaian dirinya di pondok karena dapat melakukan segala sesuatunya sendiri, sedang
santri dengan kemandirian yang rendah akan kesulitan dalam penyesuaian diri karena
selain tidak bisa melakukan hal yang berhubungan dengan dirinya.
Adapun hasil penelitian Barata (2013) yang

menyatakan hasil positif telah

diperoleh dari penelitiannya tentang keterbukaan diri dan penyesuaian diri dengan hasil
korelasi p= 0.002 yang berarti ada hubungan signifikan antara keterbukaan diri dengan
penyesuaian diri. Diperkuat oleh pendapat Cozby (dalam Charpenter, 1979) yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antar keterbukaan diri dengan
penyesuaian diri pada individu. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa faktor
keberanian menyampaikan pendapat merupakan hal yang berkaitan dan signifikan
dengan penyesuaian diri.
Kedua variabel, kemandirian dan keterbukaan diri memiliki korelasi yang positif
dengan penyesuaian diri. Apabila kemandirian dan keterbukaan diri tinggi maka tingkat
penyesuaian diri dari santri juga tinggi, apabila rendah maka penyesuaian dirinya rendah
dan santri tersebut tidak dapat menyesuaikan diri di lingkungan pondok. Tetapi masih
banyak santri yang masih melanggar peraturan, tidur di kelas, merasa ingin pulang dan
sebagainya. Berdasarkan penjelasan diatas maka penelitian ini ingin mencoba menjawab
apakah korelasi positif antara kemandirian dan keterbukaan diri terhadap penyesuaian diri

dapat membuat santri tidak melanggar aturan, prestasi akademiknya tingga, ataupun
dikeluarkan dari pondok.
1.9 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui ada tidaknya hubungan kemandirian
dan keterbukaan diri terhadap penyesuaian diri pada santri remaja awal di pondok
pesantren. Agar permasalahan ini lebih jelas dan tetap fokus pada topik, maka penulis
memberikan batasan masalah pada target dan ruang lingkup.
4. Penyesuaian diri
Penyesuaian diri merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh remaja
dalam menyetabilkan antara tuntutan diri dengan lingkungan yang melibatan
respon mental dan tingkah laku, seingga tercapai hubungan yang selaras antara
diri dengan lingkungan (Schneiders, 1955).
5. Kemandirian
Kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam bertingkah
laku, merasakan sesuatu, dan mengambil keputusan berdasarkan kehendak
sendiri (Steinberg, 2002)
6. Keterbukaan diri (Self Disclosure)
Keterbukaan diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengungkap
infomasi tentang dirinya kepada orang lain agar terciptanya keakraban (Altman
dan Taylor, dalam Karina, 2012) sedangkan menurut Person (dalam Karina, 2012)
mengartikan bahwa keterbukaan diri sebagai tindakan seseorangdalam memberi
informasi yang bersifat pribadi kepada orag lain secara sukarela dan sengaja yang
bermaksud memberi informasi yang akurat tentang dirinya.
1.10

Rumusan masalah

Fokus dalam penelitian ini adalah Hubungan antara kemandirian dan keterbukaan
diri terhadap penyesuaian diri pada santri remaja awal di pondok pesantren dan dari
fokus penelitian tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan melakukan
penelitian dengan mengambil judul Hubungan antara kemandirian dan keterbukaan diri
terhadap penyesuaian diri pada santri remaja awal di pondok pesantren
1.11

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris ada tidaknya hubungan

antara kemandirian dan keterbukaan diri terhadap penyesuaian diri pada santri remaja
awal di pondok pesantren.
1.12

Manfaat Penelitian
3. Manfaat Teoritis
Hasil

dari

penelitian

ini

dapat

dijadikan

kajian

ilmiah

untuk

pengembangan ilmu psikologi khsususnya psikologi pendidikan dengan


memberikan hasil data penelitian terkait penyesuaian diri yang ditinjau dari
kemandirian dan keterbukaan diri pada santri remaja awal
4. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan
menambah pengetahuan bagi masyarakat luas pada umumnya sehingga menjadi
bahan evaluasi dan referensi khususnya bagi para orangtua, pengurus, ustadz,
serta kyai dalam upaya membimbing dan memotivasi untuk agar dapat
menyesuaikan diri di lingkungan pondok pesantren.

Anda mungkin juga menyukai