PENDAHULUAN
Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung.
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung
atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi.1,2 Epistaksis bukan
suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90% dapat
berhenti sendiri.3
Epistaksis dapat terjadi pada segala umur dengan masa puncak pada masa
anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelayanan kesehatan
primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit dan spesialis THT.
Epistaksis
merupakan
kelainan
yang
sering
dijumpai
dalam
bidang
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os nasal, prosesus
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu bagian paling atas berupa kubah tulang yang tak
dapat digerakkan, bagian tengah berupa kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan dan bagian yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan.10
Hidung luar dibentuk oleh tulang keras dan tulang rawan, jaringan ikat serta
otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan lubang hidung. Hidung dalam terdiri
atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di
posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi berbentuk
terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. pintu depan atau nares anterior dan pintu
belakang nares posterior berhubungan dengan nasofaring.10
Vestibulum adalah bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat
di belakang nares anterior.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.10
Hidung dibagi dua oleh septum dengan dinding lateral terdapat konka inferior,
konka media dan konka superior. Konka yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil
lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema
biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Konka dapat berubah ukuran sehingga dapat
mempertahankan lebar rongga kavum nasi yang optimal.9,10
Di antara konka dan dinding lateral terdapat celah yang disebut meatus.
Meatus hidung terdiri dari meatus inferior, meatus media dan meatus superior. Celah
antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka
media disebut meatus superior.9,10
Meatus medius merupakan celah yang penting karena disini terdapat muara
dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Infundibulum
adalah bagian berbentuk bulan sabit yang terletak di balik meatus medius dinding
lateral di bagian anterior. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.10
Selain berperan sebagai indera penghidu, hidung juga berfungsi menyiapkan
udara inhalasi sehingga dapat digunakan paru, mempengaruhi refleks tertentu pada
paru dan memodifikasi bicara. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara
inspirasi akan melindungi saluran nafas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang
besarnya 5 mikrometer atau lebih 85-90% akan dibersihkan dengan bantuan
transportasi mukosiliar.10
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan
karotis eksterna (AKE). Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI,
bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior
lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap
rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral
hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri
fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior.1,2
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri
sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina
memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah
septum dan sebagian dinding lateral hidung.1,2
Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina
mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis),
membentuk pleksus Kiesselbach atau Littles area. Pada posterior dinding lateral
hidung, bagian akhir dari konka media terdapat plexus Woodruff yang merupakan
anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal asendens.1,2
Laringofaringeal
Penyakit reflus gastroesofageal
Mual dan muntah
Batuk
Sakit tenggorokan
Disfonia
Dispnea
Singla, dkk melaporkan bahwa epistaksis pada ibu hamil paling banyak terjadi
pada trimester ketiga kehamilan (Gambar 6).12 Hal ini bertentangan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Akhter, dkk yang melaporkan kejadian epistaksis pada ibu hamil
terbanyak terdapat pada trimester pertama (Tabel 2).11
Gambar 6. Keluhan-keluhan pada organ hidung yang sering dijumpai selama kehamilan
Sumber: Singla, dkk12
Tabel 2. Distribusi Ibu Hamil dengan Epistaksis Berdasarkan Trimester Kehamilan
Trimester
Jumlah (%)
Pertama
26(52)
Kedua
13(26)
Ketiga
11(22)
Dikutip dari: Akhter, dkk13
A. EPIDEMIOLOGI
Sejumlah perubahan signfikan terjadi pada wanita dalam kehamilan.
Walaupun kebanyakan proses fisiologis dan hormonal ini tidak membahayakan
terhadap ibu dan janin, beberapa di antaranya bersifat patologis dan dapat
menyebabkan ketidaknyamanan dan kecemasan.7,13 Gejala-gejala otolaringologi pada
10
kehamilan sering ditemukan selama kehamilan yang disebabkan karena suatu proses
fisiologis dan perubahan hormonal yaitu kadar estrogen dan progesteron.12
Hampir 80% ibu hamil memerlukan penatalaksanaan non-kehamilan dan
kebanyakan kasus disebabkan oleh penyebab di bidang otorinolaringologi. 13
Berdasarkan beberapa penelitian, gejala nasal dijumpai pada 20-30% ibu hamil.7
Kim, dkk (2009) melaporkan bahwa ibu hamil lebih cenderung mengalami
epistaksis daripada wanita tidak hamil (20,3% vs 6,2%; rasio odds [OR] 3,8; 95% CI:
2,3-6,4; p <0,001). Wanita hamil juga lebih rentan mengalami perdarahan gusi
(sedikitnya 1 kali tiap minggu) daripada wanita tidak hamil (32,1% vs 10,2%; OR
3,5; 95% CI: 2,4-5,2).4 Wanita hamil yang memiliki riwayat alergi musiman atau
epistaksis sebelum kehamilan mengalami peningkatan risiko epistaksis selama
kehamilan.15
B. ETIOLOGI
Penyebab epistaksis dalam kehamilan antara lain adalah peningkatan
vaskularitas mukosa nasal akibat perubahan hormonal dan perubahan nasal.13,14
1. Perubahan Hormonal
Estrogen dan progesteron meningkat selama kehamilan trimester ketiga. Hal ini
menyebabkan perubahan-perubahan pada mukosa hidung, gusi, dan laring.
Peningkatan serum kortisol sebagai kompensasi kehamilan menurunkan respon
peradangan yang menyebabkan perkembangan kondisi kulit dan rematoid. Selain
itu, peningkatan serum kortisol juga menyebabkan imunosupresi yang
berhubungan dengan kehamilan yang dapat menyebabkan reaktivasi dari infeksi
virus yang laten.13,14
2. Perubahan Nasal
Epistaksis dapat disebabkan oleh kongesti vaskuler. Jika epistaksis yang terjadi
sangat berat dapat diperika apakah terdapat hemangioma yang dapat muncul pada
awal kehamilan dan berinvolusi selama postpartum. Hipertensi dan toksemia
adalah penyebab penting lainnya untuk epistaksis yang berat. Tatalaksana terdiri
11
dari mengontrol tekanan darah, tetes hidung saline, salep Neosporin utnuk
pemakaian lokal. Jika perdarahan tidak berhenti, nasal packing dibutuhkan dengan
penggunaan antibiotik.13,14
Penyebab umum perdarahan hidung lain yang paling sering dijumpai adalah
perdarahan polip dalam kehamilan (granuloma gravida) atau hemangioma nasal difus.
Hemangioma nasal difus lebih jarang dijumpai, namun menyebabkan perdarahan
yang lebih berat.13,14
Beberapa komplikasi kehamilan yang mengancam kehamilan berhubungan
dengan koagulopati yang dapat menyebabkan perdarahan diatesis, termasuk
epistaksis.
Beberapa
komplikasi
yang
berhubungan
dengan kecenderungan
(granulomatosis
telangiectasia
hemoragik
Wegener),
herediter),
malformasi
neoplasama
vaskuler
(inverted
(hemangioma,
papilloma,
12
13
konka inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang
rawan di bawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi
dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan
selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya.
Thornton, dkk (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding
nasal lateral.
14
D. PATOGENESIS
Gejala terkait otorinolaringologi cukup banyak dijumpai dalam kehamilan
akibat perubahan fisologis dan hormonal (kadar estrogen dan progesteron). 17 Dimulai
dari sperma memfertilisasi ovum, siklus hormonal wanita mulai berubah. Human
chorionic gonadotrophin (hCG) yang diproduksi dari embrio menstimulasi
peningkatan berkelanjutan kadar progesteron yang biasanya turun pada pertengahan
fase luteal. Seiring dengan kadar hCG biasanya mulai menurun setelah mencapai kadar
puncak pada akhir trimester pertama, kadar progesteron, estrogen, dan laktogen
plasenta terus meningkat sepanjang kehamilan. Aksi hormon ini penting untuk
pertumbuhan janin, tetapi efek ini meluas dan dapat mempengaruhi aktivitas
fisiolologis tubuh secara keseluruhan.14,18 Sebagian besar proses fisiologis dan
hormonal pada kehamilan tidak menyebabkan efek yang berbahaya bagi ibu dan janin,
tetapi beberapa perubahan ini dapat menjadi patologis dan menyebabkan kegelisahan ,
rasa tidak nyaman, dan rasa cemas.1,21
15
16
Granuloma dapat menimbulkan derajat perdarahan dan obstruksi nasal yang bervariasi,
bahkan sering kali menyebabkan perdarahan luas dan masif.17,21
Permukaan ulseratif granuloma piogenik sering mengandung Staphylococci
atau Streptococci. Salah satu hipotesis menyebitkan bahwa organisme ini dapat
menyebabkan pertumbuhan jaringan granulasi yang berlebihan akibat tertundanya
reepitelisasi luka. Faktor angiogenik dalam sirkulasi juga berperan, terutama dalam
kehamilan.17,21
Hipertensi dalam kehamilan menyebabkan 21% kasus trombositopenia dalam
kehamilan. Di antara perubahan hematologi yang terjadi pada preeklampsia dan
eklampsia, trombositopenia merupakan kelainan hematologi yang paling sering
dijumpai. Trombositopenia lebih sering terjadi pada pasien eklampsia (30%)
dibandingkan
dengan
preeklampsia
ringan
dan
berat
(15-18%).
Penyebab
konsumsi
platelet
pada
kasus
koagulasi
intravaskuler
17
E. MANIFESTASI KLINIS
Epistaksis dalam kehamilan sering terjadi tiba-tiba. Walaupun demikian,
beberapa gejala dapat mendahului episode epistaksis, seperti rasa gatal pada hidung,
kongesti hidung, sakit kepala dan bersin berlebihan.15
Epistaksis anterior biasanya unilateral. Epistaksis ini terjadi akibat trauma
minimal dan biasanya berlangsung singkat. Epistaksis posterior sering kali berat.
Epistaksis posterior umumnya bilateral dan sering menyemprot. Epistaksis berat
ditandai dengan episode kehilangan darah akut disertai takikardia, hipotensi, keringat
dingin, pucat, dan gambaran syok hipovolemia lainnta. Epistaksis berat pada ibu
hamil dapat menyebabkan distress janin antepartum walaupun tidak disertai hipotensi
maternal.17
F. DIAGNOSIS
Dalam anamnesis, perlu ditanyakan onset, frekuensi, durasi, dan keparahan
epistaksis. Lokasi dan sisi epistaksis penting untuk diketahui. Riwayat trauma dan
hidung kering harus dipertimbangkan. Riwayat faktor pencetus lain, seperti alergi
atau infeksi saluran pernapasan atas, penggunaan obat-obatan inhalasi (seperti
kokain), penggunaan obat antikoagulan, riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat
epitaksis dan kelainan perdarahan, riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga dan
gejala terkait lainnya juga perlu ditanyakan.24
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan tanda vital,
terutama tekanan darah dan nadi, pemeriksaan lubang hidung, dan observasi memar.
Pemeriksaan lubang hidung dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan polip,
erosi, inflamasi, dan trauma. 24 Pemeriksaan hidung dengan lampu kepala mungkin
menunjukkan pembuluh darah septum nasi anterior menonjol dengan darah dan
krusta kering.17 Evaluasi endoskopik pada granuloma gravidarum menunjukkan
massa merah mudah-merah pada ujung anterior septum nasi atau ujung anterior
konka inferior.21
18
Sumber: Al Bassiouny21
19
penelitian kohort prospektif pada 1.475 wanita hamil dan melaporkan bahwa terdapat
hubungan antara wanita yang mengalami epistaksis selama periode antenatal dan
perdarahan pascapartum. Data menunjukkan risiko relatif yang lebih tinggi sebesar
10,7% dibandingkan dengan ibu hamil normal (6,7%).4 Hal ini disebabkan oleh faktor
yang terkait kelainan integritas pembuluh darah dan gangguan pembekuan darah pada
ibu hamil dengan kedua kondisi tersebut.15
Tabel 4. Komplikasi maternal pada Wanita Hamil dengan Anemia Berat
Komplikasi
Persalinan prematur
Ketuban pecah dini
Abrupsio plasenta
Preeklampsia
Eklampsia
Gagal jantung
Anoksia serebral
Perdarahan pascapartum
Sepsis puerperalis
Pireksia puerperalis
Subinvolusi
Kegagalan laktasi
Dikutip dari: Kilpatrick25
Jumlah (%)
90 (69,2)
31 (23,8)
4 (3)
22 (17)
3 (4)
24 (18)
8 (6)
34 (26)
43 (32)
78 (60)
39 (30)
9 (6,9)
Jumlah (%)
30 (23)
32 (24,6)
90 (69,2)
32 (25)
45 (35)
57 (43,8)
20
lebih dari lima kali (14%; OR 2,01, 95% CI 1,16 3,48; p=0,004). Ibu hamil dengan
epistaksis dalam kehamilan lebih cenderung memerlukan uterotonika saat persalinan
(11% vs 6%; OR 1,9, 95% CI 1,23). Ibu hamil dengan riwayat epistaksis sebelum
kehamilan (lebih dari 2 kali selama masa dewasa) juga mengalami peningkatan risiko
perdarahan antepartum daripada ibu hamil tanpa riwayat epistaksis sebelum
kehamilan (12,6% vs 7,2%; OR 1,9, 95% CI 13,5).4
Epistaksis dalam kehamilan juga merupakan tanda bahaya awal ancaman
krisis, seperti preeklampsia.14 Selain itu, beberapa laporan kasus melaporkan bahwa
epistaksis dapat berat dan rekuren sehingga dapat menyebabkan distress janin dan
mengancam nyawa ibu.21 Hingga saat ini, dilaporkan tiga kasus epistaksis yang
mengancam nyawa di 40 tahun terakhir. Safta, dkk melaporkan bahwa dari 80 kasus
epistaksis dalam kehamilan, dijumpai 2 kasus epistaksis sedang dan 2 kasus
epistaksis masif. Banyaknya darah yang hilang pada pasien sulit untuk diukur karena
kompensasi kardiovaskuler selama kehamilan.5
V. TATALAKSANA
Tidak ada panduan spesifik manajemen epistaksis dalam kehamilan. 6 Tiga
prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. 13 Manajemen akut
epistaksis harus selalu memprioritaskan keamanan ibu.13,14 Selain itu, prioritas
pertama dalam epistaksis akut adalah untuk menjaga patensi jalan napas dan
mengkontrol perdarahan.1
Kontrol perdarahan sebaiknya dilakukan secara konservatif dengan tampon,
kauterisasi kimiawi atau aplikasi salep. Beberapa tindakan konservatif dapat
dilakukan untuk menghentikan perdarahan hidung, meliputi: 6,7,13
-
21
Aplikasi salep
Upaya pencegahan epistaksis dalam kehamilan dapat dilakukan melalui
2,17
Aplikasi nasal packs hanya dianjurkan pada kasus epistaksis berat dalam kehamilan.5
22
23
Gambar 10. Prosedur endoskopik ligase arteri sphenopalatina. A) unsinektomi; B) insisi vertikal
sepanjang 10 mm dari perlengketan anterior hingga posterior MT; (C) identifikasi dan pengangkatan
CE parsial dengan Kerrison Rongeur; D) identifikasi dan elektrokauterisasi batang utama SPA. MT:
konka media, UP: prosesus unsinatus, IT: konka inferior, CE: crista alis 5
Sumber: Kang, dkk6
24
25
muntah. Obat ini harus diresepkan pada pasien dengan riwayat penyakit
tromboemboli.2
RINGKASAN
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang dapat berlangsung ringan
sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Epistaksis terjadi
pada sekitar 20% ibu hamil. Epistaksis juga merupakan salah satu keluhan yang
sering terjadi pada bidang otolaringologi. Penyebab epistaksis dalam kehamilan
antara lain yaitu peningkatan vaskularitas mukosa nasal akibat perubahan hormonal,
perdarahan polip dalam kehamilan (granuloma gravida), hemangioma nasal difus,
hipertensi gestasional, dan sindrom HELLP.
Padaumumnyaterdapatduasumberperdarahanyaitudaribagiananteriordan
bagianposterior.EpistaksisanteriordapatberasaldaripleksusKiesselbachataudari
arteri etmoidalis anterior, sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari arteri
sphenopalatinadanarterietmoidposterior.
Tidak ada panduan spesifik manajemen epistaksis dalam kehamilan. Beberapa
tindakan konservatif dapat dilakukan untuk menghentikan perdarahan hidup, meliputi
tirah baring dengan elevasi kepala, aplikasi kompres es, nasal packing, tamponade,
kauterisasi kimiawi, atau aplikasi salep. Prosedur bedah dilakukan pada pasien yang
mengalami perdarahan rekuren signifikan, namun gagal diterapi dengan terapi
konservatif. Penentuan asal pendarahan pada kasus epistaksis sangat penting karena
berkaitan dengan cara penatalaksanaannya.
Meskipun kebanyakan epistaksis minor dan transien serta mengalami resolusi
pascapartum, penting bagi dokter untuk mengenali kondisi dan proses yang
mendasari epistaksis. Pemahaman manifestasi klinis gejala hidung, termasuk
epistaksis dalam kehamilan, pilihan terapi yang tepat, dan risiko terkait dapat
memfasilitasi konsultasi klinis yang baik dan memungkinkan pilihan terapi aman,
efektif dan dapat diterima oleh ibu hamil dan janin. Dengan adanya pengetahuan
26
Budiman BJ, Hafiz A. Epistaksis dan Hipertensi: Adakah Hubungannya? Padang: Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas; 2010: 1-9.
2.
3.
Munir D, Haryono Y, Rambe AYM. Epistaksis. Majalah Kedokteran Nusantara. 2006; 39(3): 274278.
4.
Kim MD, Connell S, Stika C, Wong CA, Gossett DR. Epistaxis of Pregnancy and Association
With Postpartum Hemorrhage. Obstet Gynecol 2009; 11(4):13221325.
5.
6.
Kang H, Cho HJ, Jeon SY, Kim SW. A Case of Severe Epistaxis during Pregnancy Treated by
Sphenopalatine Artery Ligation. Korean J Otorhinolaryngol-Head Neck Surg 2016;59(5):392-395.
7.
8.
Bleier B S, Schlosser R J. Epistaxis. In: Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5 th Ed. New
9.
1-15.
10. Suryadi S. Analisis Perubahan Waktu Transportasi Mukosilia Hidung Penderita Sinusitis Kronis
pada Pengobatan Gurah. Semarang: Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro; 2012. h. 9-11.
11. Akhter KK, Zahedul Alam, Mohammad R, Mohammad H. Association of Epistaxis and
Postpartum Haemorrhage in Pregnancy. Sir Salimullah Med Coll J. 2011; 19: 88-90.
12. Singla P, Gupta M, Matreja PS, Gill R. Otorhinolaryngological complaints in pregnancy: a
prospective study in a tertiary care centre. Int J Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2015;1(2):7580.
13. Havas TE, Conjoint. ENT complaints in pregnancy. Review. 2012; 14(4): 49-51.
27
14. Kumar R, Hayhurst KL, Robson AK. Ear, Nose, and Throat Manifestations during Pregnancy.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2011; 145(2): 188-198.
15. Jordan RG, Engstrom JL, Marfell JA, Farley CL. Epistaxis. In: Prenatal dan Postanatal Care: A
Woman-Centered Approach. Oxford: Willey Blackwell Publishing; 2008. p. 77-78.
16. Otegbayo JA, Imaralu JO, Osibowale BT. Propranolol-Induced Epistaxis in a Woman with
Multiple Obstetric Complications: Case Report. Case Reports in Clinical Medicine. 2015. 4(1):
193-196.
17. Papesch M, Papesch E. Nosebleeds (Epistaxis) in Pregnancy. In: Hollingworth T, editor.
Differential Diagnosis in Obstetrics and Gynaecology: An A-Z. 2nd Ed. New York: CRC Press;
2016. h. 230-231.
18. Belfort M, Saade G, Foley M, Phelan J, Dildy G. Pregnancy-Induced Physiologic Alteration. In:
Critical Care Obstetrics. 5th Ed. Oxford: Willey-Blackwell Publishing; 2010. p. 41-42.
19. Sherlie SV, Varghese A. ENT Changes of Pregnancy and Its Management. Indian J Otolaryngol
Head Neck Surg. 2014; 66(Suppl 1): S6S9.
20. Al Bassiouny AMM. Case Series: Lobular Capillary Hemangioma of the Nasal Cavity in
Pregnancy. Med J Cairo Univ.2010; 78(1): 237-240.
21. Belfort
M,
Saade
G,
Foley
M,
Phelan
J,
Dildy
G.
Pregnancy-Induced
Physiologic Alteration. In: Critical Care Obstetrics. 5 th Ed. Oxford: Willey-Blackwell Publishing;
2010. p. 41-42.
22. Nazli R, Khan MA, Akhtar T, Mohammad NS, Aslam H, Haider J. Frequency of
Thrombocytopenia in Pregnancy Related Hypertensive Disorders in Patients Presenting at Tertiary
Care Hospitals of Peshawar. Khyber Med Univ J 2012;4(3):101-105.
23. Jaleel A, Baseer A. Thrombocytopenia in Preeclampsia: An Earlier Detector of HELLP Syndrome.
JPMA. 1997; 4(7):230-232.
24. Tharpe NL. Farley CL, Jordan NG. Epitaxis. In: Clinical Practice Guideline for Midwifery &
Womens Health. New York: Jones dan Barlett Publishing; 2013. h. 41-42.
25. Kilpatrick S J. Anemia and Pregnancy in Creasy & Resniks Maternal-Fetal Medicine Principles
and Practice. 7th edition. Elsevier 2014; 919-931.
26. Cunningham, Leveno, Bloom, et al. Hematological Disorders in Williams Obstetrics. 24 th Ed.
New York: McGrawHill. p.1101-1118.