Anda di halaman 1dari 27

1

PENDAHULUAN
Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung.
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung
atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi.1,2 Epistaksis bukan
suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90% dapat
berhenti sendiri.3
Epistaksis dapat terjadi pada segala umur dengan masa puncak pada masa
anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelayanan kesehatan
primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit dan spesialis THT.
Epistaksis

merupakan

kelainan

yang

sering

dijumpai

dalam

bidang

otorinolaringologi. Sekitar 60% populasi umum sedikitnya mengalami satu kali


epistaksis sepanjang hidupnya. Sekitar 6% dari kelompok ini mencari penanganan
medis. Beberapa kelompok kecil mengalami epistaksis rekuren atau habitualis.4
Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-anak usia di bawah 10 tahun dan
meningkat kembali di usia 35 tahun ke atas.1
Prevalensi epistaksis dalam kehamilan meningkat dibandingkan dengan
populasi umum tidak hamil.4 Epistaksis merupakan gejala rinologi yang paling sering
dijumpai pada ibu hamil setelah rinistis dalam kehamilan. Sekitar seperlima wanita
hamil mengalami satu atau lebih kejadian epistaksis selama kehamilan.5,6 Epistaksis
terjadi pada sekitar 20% ibu hamil. Acharya dan Nahak melaporkan epitaksis
merupakan 12% dari seluruh gejala nasal dalam kehamilan. 7 Epistaksis yang
mengancam kehidupan dalam kehamilan jarang terjadi.6
Penyebab episktasis dibagi menjadi dua yaitu secara lokal dan sistemik.
Secara lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi imunologik,
kelainan anatomis hidung, pengunaan obat semprot hidung, benda asing, tumor
intranasal, dan sebagainya. Penyebab sistemik epistaksis adalah kelainan vaskuler,
keganasan hematologik, diskrasia darah, alergi, malnutrisi, alkohol.2

Tidak ada panduan spesifik manajemen epistaksis dalam kehamilan. 5 Tiga


prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.7
I. ANATOMI, FISIOLOGI, DAN VASKULARISASI HIDUNG
Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting. Rongga
hidung kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat
yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah
yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak
cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri
sphenopalatina.8,9

Gambar 1. Rangka Hidung


Sumber: Atlas Anatomi Manusia Sobotta

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os nasal, prosesus

frontalis os maksila,dan prosesus nasalis os frontalis. Kerangka tulang rawan terdiri


dari beberapa pasang tulang rawan yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior,tepi anterior kartilago septum.8-10

Gambar 2. Rangka Hidung


Sumber: Atlas Anatomi Manusia Sobotta

Gambar 3. Tulang Rawan Hidung, Kartilago Nasi


Sumber: Atlas Anatomi Manusia Sobotta

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu bagian paling atas berupa kubah tulang yang tak
dapat digerakkan, bagian tengah berupa kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan dan bagian yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan.10
Hidung luar dibentuk oleh tulang keras dan tulang rawan, jaringan ikat serta
otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan lubang hidung. Hidung dalam terdiri
atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di
posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi berbentuk
terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. pintu depan atau nares anterior dan pintu
belakang nares posterior berhubungan dengan nasofaring.10
Vestibulum adalah bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat
di belakang nares anterior.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.10
Hidung dibagi dua oleh septum dengan dinding lateral terdapat konka inferior,
konka media dan konka superior. Konka yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil
lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema
biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Konka dapat berubah ukuran sehingga dapat
mempertahankan lebar rongga kavum nasi yang optimal.9,10
Di antara konka dan dinding lateral terdapat celah yang disebut meatus.
Meatus hidung terdiri dari meatus inferior, meatus media dan meatus superior. Celah
antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka
media disebut meatus superior.9,10

Meatus medius merupakan celah yang penting karena disini terdapat muara
dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Infundibulum
adalah bagian berbentuk bulan sabit yang terletak di balik meatus medius dinding
lateral di bagian anterior. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.10
Selain berperan sebagai indera penghidu, hidung juga berfungsi menyiapkan
udara inhalasi sehingga dapat digunakan paru, mempengaruhi refleks tertentu pada
paru dan memodifikasi bicara. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara
inspirasi akan melindungi saluran nafas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang
besarnya 5 mikrometer atau lebih 85-90% akan dibersihkan dengan bantuan
transportasi mukosiliar.10
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan
karotis eksterna (AKE). Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI,
bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior
lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap
rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral
hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri
fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior.1,2
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri
sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina
memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah
septum dan sebagian dinding lateral hidung.1,2
Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina
mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis),
membentuk pleksus Kiesselbach atau Littles area. Pada posterior dinding lateral
hidung, bagian akhir dari konka media terdapat plexus Woodruff yang merupakan
anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal asendens.1,2

Gambar 4. Pembuluh darah di daerah septum nasi


Sumber: Budiman BJ & Hafiz A1

Gambar 5. Pembuluh darah di dinding lateral hidung


Sumber: Budiman BJ & Hafiz A1

Epistaksis anterior sering mengenai daerah pleksus Kiesselbach. Epistaksis


anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi
dibandingkan epistaksis posterior. Batas yang membagi antara epistaksis anterior dan
epistaksis posterior adalah ostium sinus maksilaris.1,2
II. EPISTAKSIS
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung
berdarah.1,2 Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung,
rongga hidung atau nasofaring yang mencemaskan penderita serta para klinisi.
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana
hampir 90% dapat berhenti sendiri.3 Epistaksis merupakan kelainan yang sering
dijumpai dalam bidang otorinolaringologi. Sebagian besar pasien mengalami kejadian
epistaksis yang berhenti sendiri dan tidak membutuhkan tindakan medis sehingga
angka insidensi epistaksis yang sebenarnya tidak diketahui. 3,4,8
Di samping itu, angka perkiraan insidensi epistaksis global sebesar 60%.
Dari sudut pandang otolaringologi, kejadian epistaksis terjadi sekitar 33% pada ruang
unit gawat darurat dengan rata-rata terjadi pada usia 70 tahun.11 Epistaksis terbanyak
dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin
dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7
penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita.
Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda,
sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi atau arteriosklerosis.1,8
Pada usia muda biasanya mengalami perdarahan minor yang berasal dari
septum anterior, sedangkan pada usia tua biasanya berasal dari posterior dan lebih
banyak mengalami perdarahan akut yang hebat. Epistaksis pada anak-anak usia di
bawah 2 tahun jarang terjadi dan apabila terjadi dapat dicurigai adanya penyakit yang
mendasari dan kekerasan pada anak-anak.1,11

Karena banyak penelitian menunjukkan bahwa individu tertentu mengalami


peningkatan risiko gangguan hemostasis, anamnesis tentang riwayat epistaksis
merupakan alat preoperatif penting untuk identifikasi individu yang berisiko
mengalami perdarahan intraoperatif signifikan.4
III. EPISTAKSIS DALAM KEHAMILAN
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, epistaksis adalah penyakit yang
biasa ditemukan di bidang otolaringologi, namun epistaksis yang mengancam pada
kehamilan jarang dijumpai dan tidak ada tatalaksana khusus yang spesifik untuk
pasien-pasien tersebut. Walaupun demikian, hubungan antara epistaksis, gangguan
perdarahan, dan perdarahan pascapartum bagi ibu hamil masih belum diketahui.11,12
Prevalensi epistaksis dalam kehamilan meningkat dibandingkan dengan
populasi umum tidak hamil.4 Epistaksis yang mengancam kehidupan dalam
kehamilan jarang terjadi.6 Epistaksis terjadi pada sekitar 20% ibu hamil Acharya dan
Nahak melaporkan epitaksis merupakan 12% dari seluruh gejala nasal dalam
kehamilan.7
Safta, dkk menyatakan bahwa epistaksis merupakan gejala rinologi yang
kedua terbanyak pada wanita hamil.5 Beberapa penelitian mengenai keluhan-keluhan
yang biasa terjadi pada ibu hamil di bidang THT (Tabel 1) melaporkan epistaksis
merupakan keluhan rinologi yang cukup sering dijumpai pada ibu hamil.5,13,14
Tabel 1. Keluhan-keluhan bidang THT yang sering dijumpai pada ibu hamil
Otologi
Rinologi
Tinitus
Gangguan penciuman (hiperosmia)
Gangguan pendengaran
Rinitis
Gatal
Epistaksis
Otosklerosis
Mendengkur
Gangguan tuba Eustachius
Granuloma piogenik
Autofoni
Bells palsy
Gangguan keseimbangan
Gangguan liang telinga
Dikutip dari: Havas & Conjoint13, Kumar, dkk14; Singla, dkk12

Laringofaringeal
Penyakit reflus gastroesofageal
Mual dan muntah
Batuk
Sakit tenggorokan
Disfonia
Dispnea

Singla, dkk melaporkan bahwa epistaksis pada ibu hamil paling banyak terjadi
pada trimester ketiga kehamilan (Gambar 6).12 Hal ini bertentangan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Akhter, dkk yang melaporkan kejadian epistaksis pada ibu hamil
terbanyak terdapat pada trimester pertama (Tabel 2).11

Gambar 6. Keluhan-keluhan pada organ hidung yang sering dijumpai selama kehamilan
Sumber: Singla, dkk12
Tabel 2. Distribusi Ibu Hamil dengan Epistaksis Berdasarkan Trimester Kehamilan
Trimester
Jumlah (%)
Pertama
26(52)
Kedua
13(26)
Ketiga
11(22)
Dikutip dari: Akhter, dkk13

A. EPIDEMIOLOGI
Sejumlah perubahan signfikan terjadi pada wanita dalam kehamilan.
Walaupun kebanyakan proses fisiologis dan hormonal ini tidak membahayakan
terhadap ibu dan janin, beberapa di antaranya bersifat patologis dan dapat
menyebabkan ketidaknyamanan dan kecemasan.7,13 Gejala-gejala otolaringologi pada

10

kehamilan sering ditemukan selama kehamilan yang disebabkan karena suatu proses
fisiologis dan perubahan hormonal yaitu kadar estrogen dan progesteron.12
Hampir 80% ibu hamil memerlukan penatalaksanaan non-kehamilan dan
kebanyakan kasus disebabkan oleh penyebab di bidang otorinolaringologi. 13
Berdasarkan beberapa penelitian, gejala nasal dijumpai pada 20-30% ibu hamil.7
Kim, dkk (2009) melaporkan bahwa ibu hamil lebih cenderung mengalami
epistaksis daripada wanita tidak hamil (20,3% vs 6,2%; rasio odds [OR] 3,8; 95% CI:
2,3-6,4; p <0,001). Wanita hamil juga lebih rentan mengalami perdarahan gusi
(sedikitnya 1 kali tiap minggu) daripada wanita tidak hamil (32,1% vs 10,2%; OR
3,5; 95% CI: 2,4-5,2).4 Wanita hamil yang memiliki riwayat alergi musiman atau
epistaksis sebelum kehamilan mengalami peningkatan risiko epistaksis selama
kehamilan.15
B. ETIOLOGI
Penyebab epistaksis dalam kehamilan antara lain adalah peningkatan
vaskularitas mukosa nasal akibat perubahan hormonal dan perubahan nasal.13,14
1. Perubahan Hormonal
Estrogen dan progesteron meningkat selama kehamilan trimester ketiga. Hal ini
menyebabkan perubahan-perubahan pada mukosa hidung, gusi, dan laring.
Peningkatan serum kortisol sebagai kompensasi kehamilan menurunkan respon
peradangan yang menyebabkan perkembangan kondisi kulit dan rematoid. Selain
itu, peningkatan serum kortisol juga menyebabkan imunosupresi yang
berhubungan dengan kehamilan yang dapat menyebabkan reaktivasi dari infeksi
virus yang laten.13,14
2. Perubahan Nasal
Epistaksis dapat disebabkan oleh kongesti vaskuler. Jika epistaksis yang terjadi
sangat berat dapat diperika apakah terdapat hemangioma yang dapat muncul pada
awal kehamilan dan berinvolusi selama postpartum. Hipertensi dan toksemia
adalah penyebab penting lainnya untuk epistaksis yang berat. Tatalaksana terdiri

11

dari mengontrol tekanan darah, tetes hidung saline, salep Neosporin utnuk
pemakaian lokal. Jika perdarahan tidak berhenti, nasal packing dibutuhkan dengan
penggunaan antibiotik.13,14
Penyebab umum perdarahan hidung lain yang paling sering dijumpai adalah
perdarahan polip dalam kehamilan (granuloma gravida) atau hemangioma nasal difus.
Hemangioma nasal difus lebih jarang dijumpai, namun menyebabkan perdarahan
yang lebih berat.13,14
Beberapa komplikasi kehamilan yang mengancam kehamilan berhubungan
dengan koagulopati yang dapat menyebabkan perdarahan diatesis, termasuk
epistaksis.

Beberapa

komplikasi

yang

berhubungan

dengan kecenderungan

perdarahan, termasuk epistaksis adalah preeklampsia dan eklampsia dengan


komplikasi sindrom HELLP (haemolysis, elevated liver enzymes, low platelets
syndrome).16
Tabel 3. Penyebab obstetrik epistaksis
Etiologi
Peningkatan vaskularitas mukosa nasal yang diinduksi estrogen
Sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, low platetets)
Granuloma gravidarum
Hipertensi gestasional
Dikutip dari: Acharya & Nahak7

Penyebab lain epistaksis meliputi trauma (mengorek-ngorek hidung, obat


semprot hidung, penggunaan kokain, pembedahan, benda asing, dan perforasi septum
nasi), gangguan aliran udara hidung (efek kering pada deviasi septum dan perjalanan
udara), infeksi/inflamasi (rinitis/sinusitis bakterial/viral akut, infeksi jamur), penyakit
autoimun

(granulomatosis

telangiectasia

hemoragik

Wegener),
herediter),

malformasi
neoplasama

vaskuler
(inverted

(hemangioma,
papilloma,

adenokarsinoma), kelainan hemopoetik (diskrasia darah, purpura trombositopenia


idiopatik, dan hemofilia), dan kelainan metabolik (penyakit ginjal atau hati, defisiensi
vitamin C dan K, defisiensi asam folat) perlu dipikirkan pada ibu hamil. Penggunaan

12

obat-obat tertentu, seperti antikoagulan (warfarin, aspirin, clopidogrel) dan obat-obat


antiinflamasi non-steroid dapat juga menyebabkan epistaksis pada ibu hamil.17
C. KLASIFIKASI
Epistaksis primer merupakan perdarahan hidung idiopatik spontan, sedangkan
epistaksis sekunder memiliki penyebab yang telah diketahui. Berdasarkan gambaran
klinis, epistaksis dapat dibedakan menjadi epistaksis akut dan epitaksis kronis
rekuren. Pada epistaksis akut spontan berat, lokasi dan sisi perdarahan sulit
ditentukan, tetapi dengan vasokontriksi dan endoskopi, lokasi perdarahan dapat
diidentifikasi. Kebanyakan epistaksis ini berasal dari septum nasi dan diperkirakan
30% di antaranya berasal dari dinding lateral hidung. Epistaksis akut berat dapat
menyebabkan agitasi, syok volemia, dan komorbiditas signifikan lainnya, seperti
anemia.2
Epistaksis rekuren kronis umumnya terjadi pada inidividu yang memiliki
pembuluh darah yang rapuh pada mukosa yang melapisis septum nasi anterior. Pada
populasi dewasa, perdarahan dapat terjadi akibat patologi hidung atau dari pembuluh
darah selain pembuluh darah septum nasi anterior. Perdarahan bersifat unilateral dan
berat, Penyebab lokal perdarahan meliputi hemangioma, telangiektasis, ulserasi
septum, perforasi septum, kondisi granulomatosa, dan tumor. Kelainan lain yang
jarang terjadi, namun menimbulkan perdarahan berat adalah telangiektasis hemoragik
herediter.2
Berdasarkan lokasinya, epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu
sebagai berikut.2,3
1. Epistaksis anterior
Epitaksis anterior merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai
terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada
lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari
beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung
posterosuperior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan

13

konka inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang
rawan di bawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi
dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan
selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.

Gambar 7. Epistaksis Anterior


Sumber: http://medicalassessment.com/terms.php

2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya.
Thornton, dkk (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding
nasal lateral.

14

Gambar 8. Epistaksis Posterior


Sumber: http://medicalassessment.com/terms.php

D. PATOGENESIS
Gejala terkait otorinolaringologi cukup banyak dijumpai dalam kehamilan
akibat perubahan fisologis dan hormonal (kadar estrogen dan progesteron). 17 Dimulai
dari sperma memfertilisasi ovum, siklus hormonal wanita mulai berubah. Human
chorionic gonadotrophin (hCG) yang diproduksi dari embrio menstimulasi
peningkatan berkelanjutan kadar progesteron yang biasanya turun pada pertengahan
fase luteal. Seiring dengan kadar hCG biasanya mulai menurun setelah mencapai kadar
puncak pada akhir trimester pertama, kadar progesteron, estrogen, dan laktogen
plasenta terus meningkat sepanjang kehamilan. Aksi hormon ini penting untuk
pertumbuhan janin, tetapi efek ini meluas dan dapat mempengaruhi aktivitas
fisiolologis tubuh secara keseluruhan.14,18 Sebagian besar proses fisiologis dan
hormonal pada kehamilan tidak menyebabkan efek yang berbahaya bagi ibu dan janin,
tetapi beberapa perubahan ini dapat menjadi patologis dan menyebabkan kegelisahan ,
rasa tidak nyaman, dan rasa cemas.1,21

15

Estrogen dan progesteron mencapai kadar puncak pada trimester ketiga.


Peningkatan kadar estrogen menyebabkan saluran pernapasan atas menjadi lebih
vaskuler. Karena kapiler melebar, hidung, faring, laring, trakea, dan bronkus
mengalami edema dan hiperemis. Kongesti pada jaringan saluran pernapasan atas ini
menimbulkan kondisi yang umumnya dijumpai selama kehamilan, termasuk kekakuan
sinus dan hidung, epistaksis (mimisan), perubahan suara, dan respons inflamasi yang
dapat berkembang menjadi infeksi saluran pernapasan ringan.5,13,19 Epistaksis dalam
kehamilan meningkat karena kongesti vaskuler dan edema mukosa terkait estrogen
serta peningkatan frekuensi rinitis dalam kehamilan.4
Perdarahan polip dalam kehamilan disebabkan oleh sensitivitas mukosa nasal
terhadap hormon seks yang berkaitan dengan hiperplasia glanduler dan peningkatan
vaskularitas.14 Selain itu, peningkatan kadar hormon estrogen selama kehamilan juga
berhubungan dengan perkembangan granuloma reparatif sel raksasa maksila dan
mandibular atau hemangioma nasal.5,17
Penyebab lain epistaksis dalam kehamilan yaitu polip kehamilan (yang juga
dikenal sebagai granuloma gravida) atau hemangioma nasal difus. Hemangioma nasal
difus jarang terjadi tetapi dapat menyebabkan perdarahan yang hebat.5,17
Lesi hidung granuloma gravidarum piogenik (salah satu bentuk hemangioma
kapiler lobuler) hanya terjadi kurang dari 1% ibu hamil. Lesi ini memiliki diameter
antara beberapa millimeter hingga sentimeter, tampak sebagai massa kemerahan atau
keunguan dengan permukaan ulseratif, berlobus, lunak, dan mudah berdarah dengan
trauma minimal. Secara mikroskopis, nodul terdiri atas jaringan granulasi kaya
vaskuler yang menunjukkan inflamasi akut dan kronis. Granuloma ini tergantung pada
hormon dan tampak pada bulan-bulan awal kehamilan. 21 Penyebab yang mendasari
hemangioma kapiler lobuler, termasuk granuloma gravidarum piogenik adalah
ketidakseimbangan hormonal dan respons inflamasi berlebihan setelah trauma lokal
terhadap kulit dan membran mukosa. Pada kehamilan, dijumpai hubungan langsung
antara tingkat pertumbuhan tumor dan peningkatan kadar estrogen dan progesteron. 20

16

Granuloma dapat menimbulkan derajat perdarahan dan obstruksi nasal yang bervariasi,
bahkan sering kali menyebabkan perdarahan luas dan masif.17,21
Permukaan ulseratif granuloma piogenik sering mengandung Staphylococci
atau Streptococci. Salah satu hipotesis menyebitkan bahwa organisme ini dapat
menyebabkan pertumbuhan jaringan granulasi yang berlebihan akibat tertundanya
reepitelisasi luka. Faktor angiogenik dalam sirkulasi juga berperan, terutama dalam
kehamilan.17,21
Hipertensi dalam kehamilan menyebabkan 21% kasus trombositopenia dalam
kehamilan. Di antara perubahan hematologi yang terjadi pada preeklampsia dan
eklampsia, trombositopenia merupakan kelainan hematologi yang paling sering
dijumpai. Trombositopenia lebih sering terjadi pada pasien eklampsia (30%)
dibandingkan

dengan

preeklampsia

ringan

dan

berat

(15-18%).

Penyebab

trombositopenia pada hipertensi dalam kehamilan dan sindrom HELLP belum


diketahui dengan jelas. Salah satu penjelasan adalah kerusakan mikrovaskuler yang
mengaktivasi platelet. Degranulasi platelet ini diikuti dengan vasospasme dan
kerusakan endotelial lebih lanjut. Selain itu, peningkatan kadar soluble vascular
endothelial cell growth factor receptor type 1 (sFlt1) dan endoglin mRNA pada pasien
preeklampsia menimbulkan perubahan kualitatif pemecahan platelet, pemendekan
masa paruh platelet, peningkatan jumlah megakariosit pada sumsum tulang disertai
peningkatan jumlah platelet imatur pada apusan darah tepi. Trombositopenia pada
pasien preeklampsia dan eklampsia juga disebabkan mekanisme imun akibat
peningkatan

konsumsi

platelet

pada

kasus

koagulasi

intravaskuler

diseminata.Trombositopenia inilah yang memicu epistaksis pada kehamilan.22,23


Beberapa obat-obatan yang menyebabkan epistaksis dalam kehamilan. Salah
satu obat yang menyebabkan epitaksis dalam kehamilan adalah propranolol. Efek
antiplatelet propranolol disebabkan oleh modulasi fungsi membran platelet.
Propranolol mengubah reaktivitas platelet dengan mengganggu pertukaran internal ion
kalsium di ruang intraseluler. Propranolol menghambat aktivitas enzim protein kinase
C dan fosfolipase C sehingga menimbulkan efek trombositopati.16

17

E. MANIFESTASI KLINIS
Epistaksis dalam kehamilan sering terjadi tiba-tiba. Walaupun demikian,
beberapa gejala dapat mendahului episode epistaksis, seperti rasa gatal pada hidung,
kongesti hidung, sakit kepala dan bersin berlebihan.15
Epistaksis anterior biasanya unilateral. Epistaksis ini terjadi akibat trauma
minimal dan biasanya berlangsung singkat. Epistaksis posterior sering kali berat.
Epistaksis posterior umumnya bilateral dan sering menyemprot. Epistaksis berat
ditandai dengan episode kehilangan darah akut disertai takikardia, hipotensi, keringat
dingin, pucat, dan gambaran syok hipovolemia lainnta. Epistaksis berat pada ibu
hamil dapat menyebabkan distress janin antepartum walaupun tidak disertai hipotensi
maternal.17
F. DIAGNOSIS
Dalam anamnesis, perlu ditanyakan onset, frekuensi, durasi, dan keparahan
epistaksis. Lokasi dan sisi epistaksis penting untuk diketahui. Riwayat trauma dan
hidung kering harus dipertimbangkan. Riwayat faktor pencetus lain, seperti alergi
atau infeksi saluran pernapasan atas, penggunaan obat-obatan inhalasi (seperti
kokain), penggunaan obat antikoagulan, riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat
epitaksis dan kelainan perdarahan, riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga dan
gejala terkait lainnya juga perlu ditanyakan.24
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan tanda vital,
terutama tekanan darah dan nadi, pemeriksaan lubang hidung, dan observasi memar.
Pemeriksaan lubang hidung dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan polip,
erosi, inflamasi, dan trauma. 24 Pemeriksaan hidung dengan lampu kepala mungkin
menunjukkan pembuluh darah septum nasi anterior menonjol dengan darah dan
krusta kering.17 Evaluasi endoskopik pada granuloma gravidarum menunjukkan
massa merah mudah-merah pada ujung anterior septum nasi atau ujung anterior
konka inferior.21

18

Gambar 9. Granuloma piogenik

Sumber: Al Bassiouny21

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin


(hemoglobin dan hematokrit), khususnya pada kasus epistaksis rekuren atau persisten.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan serial tekanan darah, dan
uji penapisan obat-obatan.24
IV. EFEK EPISTAKSIS PADA IBU HAMIL DAN JANIN
Epistaksis yang terjadi pada kehamilan dapat menyebabkan anemia pada ibu
hamil jika epistaksis yang terjadi secara masif dan berlangsung lama. Anemia
didefinisikan sebagai konsentrasi nilai hemoglobin di bawah 11g/dL pada trimester
pertama dan ketiga dan di bawah 10.5 g/dL pada trimester kedua. Anemia
mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan juga berhubungan dengan peningkatan
risiko partus preterm dan berat badan lahir rendah yang akan meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas neonatus. (Tabel 4 dan Tabel 5).25,26
Epistaksis dalam kehamilan berhubungan dengan gangguan hemostasis.
Epistaksis dalam kehamilan merupakan alat prediktif terhadap peningkatan risiko
perdarahan obstetrik dan komplikasi anestesia neuroaksial. 4 Ibu hamil yang
mengalami epistaksis pada periode antenatal lebih cenderung mengalami perdarahan
pascapartum daripada ibu hamil tanpa epistaksis. 13 Kim, dkk (2009) melakukan

19

penelitian kohort prospektif pada 1.475 wanita hamil dan melaporkan bahwa terdapat
hubungan antara wanita yang mengalami epistaksis selama periode antenatal dan
perdarahan pascapartum. Data menunjukkan risiko relatif yang lebih tinggi sebesar
10,7% dibandingkan dengan ibu hamil normal (6,7%).4 Hal ini disebabkan oleh faktor
yang terkait kelainan integritas pembuluh darah dan gangguan pembekuan darah pada
ibu hamil dengan kedua kondisi tersebut.15
Tabel 4. Komplikasi maternal pada Wanita Hamil dengan Anemia Berat
Komplikasi
Persalinan prematur
Ketuban pecah dini
Abrupsio plasenta
Preeklampsia
Eklampsia
Gagal jantung
Anoksia serebral
Perdarahan pascapartum
Sepsis puerperalis
Pireksia puerperalis
Subinvolusi
Kegagalan laktasi
Dikutip dari: Kilpatrick25

Jumlah (%)
90 (69,2)
31 (23,8)
4 (3)
22 (17)
3 (4)
24 (18)
8 (6)
34 (26)
43 (32)
78 (60)
39 (30)
9 (6,9)

Tabel 5. Efek Maternal Anemia pada Neonatus


Luaran
Distress janin
Berat janin lahir rendah
Persalinan premature
Still birth
Kematian neonatus
Admisi NICU
Dikutip dari: Kilpatrick25

Jumlah (%)
30 (23)
32 (24,6)
90 (69,2)
32 (25)
45 (35)
57 (43,8)

Risiko perdarahan antepartum meningkat seiring dengan jumlah episode


epistaksis dalam kehamilan yang dilaporkan. Ibu hamil tanpa epistaksis memiliki
risiko lebih rendah (7,5%) mengalami perdarahan antepartum dibandingkan dengan
ibu hamil yang mengalami episode epistaksis sebanyak satu kali (8,1%; OR 1,09,
95% CI 0,512,33), dua hingga lima kali (8,2%; OR 1,11, 95% CI 0,612,01), dan

20

lebih dari lima kali (14%; OR 2,01, 95% CI 1,16 3,48; p=0,004). Ibu hamil dengan
epistaksis dalam kehamilan lebih cenderung memerlukan uterotonika saat persalinan
(11% vs 6%; OR 1,9, 95% CI 1,23). Ibu hamil dengan riwayat epistaksis sebelum
kehamilan (lebih dari 2 kali selama masa dewasa) juga mengalami peningkatan risiko
perdarahan antepartum daripada ibu hamil tanpa riwayat epistaksis sebelum
kehamilan (12,6% vs 7,2%; OR 1,9, 95% CI 13,5).4
Epistaksis dalam kehamilan juga merupakan tanda bahaya awal ancaman
krisis, seperti preeklampsia.14 Selain itu, beberapa laporan kasus melaporkan bahwa
epistaksis dapat berat dan rekuren sehingga dapat menyebabkan distress janin dan
mengancam nyawa ibu.21 Hingga saat ini, dilaporkan tiga kasus epistaksis yang
mengancam nyawa di 40 tahun terakhir. Safta, dkk melaporkan bahwa dari 80 kasus
epistaksis dalam kehamilan, dijumpai 2 kasus epistaksis sedang dan 2 kasus
epistaksis masif. Banyaknya darah yang hilang pada pasien sulit untuk diukur karena
kompensasi kardiovaskuler selama kehamilan.5
V. TATALAKSANA
Tidak ada panduan spesifik manajemen epistaksis dalam kehamilan. 6 Tiga
prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. 13 Manajemen akut
epistaksis harus selalu memprioritaskan keamanan ibu.13,14 Selain itu, prioritas
pertama dalam epistaksis akut adalah untuk menjaga patensi jalan napas dan
mengkontrol perdarahan.1
Kontrol perdarahan sebaiknya dilakukan secara konservatif dengan tampon,
kauterisasi kimiawi atau aplikasi salep. Beberapa tindakan konservatif dapat
dilakukan untuk menghentikan perdarahan hidung, meliputi: 6,7,13
-

Tirah baring dengan elevasi kepala


Aplikasi kompres es
Nasal packing
Tamponade
Kauterisasi kimiawi

21

Aplikasi salep
Upaya pencegahan epistaksis dalam kehamilan dapat dilakukan melalui

penggunaan tetes hidung salin untuk menjaga kelembaban mukosa hidung,


peningkatan humidifikasi ruangan, terutama ketika tidur, menghindari menghembus
hidung atau memencet hidung berlebihan, dan konsumsi diet bernutrisi untuk
mempertahankan jaringan hidung tetap sehat.15 Prosedur bedah dilakukan pada pasien
yang mengalami perdarahan rekuren signifikan, namun gagal diterapi dengan terapi
konservatif. Intervensi awal direkomendasikan untuk memperpendek lama perawatan
rumah sakit dan meminimalisasi morbiditas.1
Epistaksis anterior minor ditatalaksana dengan penekanan langsung pada
bagian lunak hidung. Pasien harus duduk bersandar ke depan dalam posisi netral. 1
Epistaksis dalam kehamilan akibat peningkatan vaskularitas mukosa nasal yang
disebabkan oleh perubahan hormonal diterapi dengan penekanan lokal secara
langsung selama 5-30 menit. Bila perdarahan berhenti, obat semprot salin nasal dapat
diberikan.6,21 Beberapa ahli merekomendasikan administrasi vaselin atau salep lain
(seperti Naseptin, kecuali pada pasien alergi kacang tanah karena mengandung
minyak arachis) pada hidung setelah perdarahan berhenti untuk membantu
penyembuhan dan mencegah scabbing dan kekeringan pada hidung bagian anterior.
Safta, dkk melaporkan bahwa dari 80 kasus epistaksis dalam kehamilan, 76
kasus di antaranya ringan dan tidak membutuhkan terapi khusus. Seluruh perdarahan
minor, rekuren, berasal dari Littles area dan berhenti secara spontan tanpa ada
intervensi khusus. Pada kebanyakan kasus, salep Tanin diaplikasikan pada Littles
area.5
Es digunakan untuk menurunkan temperatur hidung dan menstimulasi
vasokontriksi pembuluh darah hidung. Mengulum es lebih bermanfaat daripada
aplikasi es di dahi. Penggunaan cotton-wool dan nasal packs jaringan harus dihindari
karena berpotensi menimbulkan perdarahan ulang ketika dipindahkan dari hidung.

2,17

Aplikasi nasal packs hanya dianjurkan pada kasus epistaksis berat dalam kehamilan.5

22

Jika epistaksis tetap berlangsung, aplikasi tampon yang dicampur dengan


kofenilkain atau lignokain dan adrenalin pada hidung bagian anterior. Bila perdarahan
tetap tidak berhenti, perlu dilakukan kauterisasi, umumnya dengan perak nitrat.17
Jika perdarahan masih tetap berlanjut, pasien harus ditatalaksana di ruang
perawatan yang sesuai dengan fasilitas suction. Rongga hidung harus disemprot
dengan vasokonstriktor/anestesia, seperti larutan penilefrin 0,5% dan lidokain 5% 10
menit sebelum intervensi lain dilakukan. Bekuan darah harus dibersihkan dan hidung
diperiksa dengan lampu kepala atau endoskopi.1,17
Epitaksis rekuren atau kronik dapat dimanajemen dengan kauterisasi perak
nitrat atau krim Naseptin (klorheksidin hidroklorida 1%, neomisin sulfat 3.250
unit/gram).1,14 Naseptin mengandung minyak arachis (kacang tanah) dan harus
dihindari pada individu yang alergi atau sensitif terhadap kacang kedelai dan
neomisin.17 Perdarahan dari mukosa septum atrofik atau ulseratif diperburuk dengan
aplikasi perak nitrat dan lebih baik diterapi dengan krim antibiotik-antiseptik.
Hemangioma kecil dapat menyebabkan perdarahan profuse sehingga lebih efektif
diterapi dengan diatermi lesional daripada aplikasi perak nitrat.1
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan
menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4%
topikal dengan epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan
penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan
selama 510 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.
Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat
2030% atau dengan asam triklorasetat 10%.3
Apabila kauter tidak dapat mengkontrol epistaksis atau bila sumber
perdarahan tidak dapat diidentifikasi, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan
menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Tampon
ini dipertahankan selama 34 hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum
luas.3

23

Kasus epistaksis berat harus ditangani dengan tepat. 7 Pada penanganan


epistaksis, hal utama yang diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan kecepatan
perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat
dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. 3 Akses
intravena diperlukan untuk mengkoreksi hipovolemia dan dukungan hemodinamik. 2
Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi, harus dilakukan pemeriksaan hitung
trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur
diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan
darah yang banyak dan cepat, harus dipikirkan pemberian transfusi sel-sel darah
merah (packed red cell) di samping penggantian cairan.3
Kang, dkk (2016) melaporkan ligasi arteri sphenopalatina endoskopik dengan
anestesi umum memberikan hasil memuaskan pada wanita hamil trimester kedua
berusia 38 tahun dengan epistaksis berat tanpa fokus perdarahan yang gagal diterapi
secara konservatif. Selama tindakan, tidak dijumpai ada distress pada janin. Pasien
melahirkan bayi pada usia kehamilan 40 minggu. Tidak dijumpai rekurensi epitaksis
selama 18 bulan pascaoperatif.6

Gambar 10. Prosedur endoskopik ligase arteri sphenopalatina. A) unsinektomi; B) insisi vertikal
sepanjang 10 mm dari perlengketan anterior hingga posterior MT; (C) identifikasi dan pengangkatan
CE parsial dengan Kerrison Rongeur; D) identifikasi dan elektrokauterisasi batang utama SPA. MT:
konka media, UP: prosesus unsinatus, IT: konka inferior, CE: crista alis 5
Sumber: Kang, dkk6

24

Pada kebanyakan perempuan, granuloma piogenik cenderung mengalami


resolusi pascapartum.4,13 Walaupun paling sering terjadi pada rongga mulut, dokter
THT sering menemui kasus dan menangani granuloma nasal karena pasien
mengalami epistaksis.14 Intervensi via bedah eksisi diperlukan pada pasien
simtomatik. Safta, dkk melaporkan 2 kasus epistaksis sedang yang disebabkan oleh
hemangioma kapiler di fossa nasal. Perdarahan dapat terkontrol dengan kauterisasi
bipolar dengan anestesi lokal. Tidak diperlukan nasal packing pada kasus ini.5
Prosedur eksisi endoskopik granuloma piogenik diawal dengan prosedur
anestesi umum dengan pipa orotrakea atau anestesi lokal dengan sedasi. Anestesia
infiltrasi lokal dengan xylocaine adrenaline 10% di sekitar basis massa dilakukan 10
menit sebelum prosedur bedah eksisi. Kapas kecil yang direndam dengan larutan
vasokontriktor ditempatkan di sekitar massa dan didiamkan selama 10 menit sebelum
bedah eksisi. Dengan menggunakan endoskopi hidung 0 derajat, area anterior basis
massa dikauterisasi dengan kauter bipolar. Ujung tajam gunting digunakan untuk
memotong mukosa septum atau konka yang dikauterisasi. Teknik yang sama
dikunakan untuk sisa mukosa septum di sekitar massa hingga eksisi selesai dilakukan.
Titik perdarahan dikontrol dengan kauter bipolar. Light nasal pack dimasukkan
selama satu hari atau kurang. Seluruh massa hidung dikirim untuk pemeriksaan
histopatologi.21
Pada pasien epistaksis yang mengkonsumsi obat-obatan, seperti aspirin,
clopidogrel atau warfarin, langkah penting adalah penghentian obat-obatan ini dan
perbaikan fungsi koagulasi atau platelet selama beberapa hari. Risiko perdarahan
ulang tidak meningkat dengan pemberian berkelanjutan terapi warfarin. Walaupun
demikian, pemberian warfarin harus dihentikan bila nilai international normalised
ratio (INR) meningkat. Konsultasi dengan ahli hematologi harus dipertimbangkan,
terutama jika perdarahan tidak terkontrol.2
Asam traneksamat merupakan agen antifibrinolitik yang menghambat
fibrinolisis. Obat ini digunakan untuk mencegah perdarahan ulang, tetapi tidak
dilaporkan adanya manfaat secara statistik. Efek samping meliputi nausea dan

25

muntah. Obat ini harus diresepkan pada pasien dengan riwayat penyakit
tromboemboli.2
RINGKASAN
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang dapat berlangsung ringan
sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Epistaksis terjadi
pada sekitar 20% ibu hamil. Epistaksis juga merupakan salah satu keluhan yang
sering terjadi pada bidang otolaringologi. Penyebab epistaksis dalam kehamilan
antara lain yaitu peningkatan vaskularitas mukosa nasal akibat perubahan hormonal,
perdarahan polip dalam kehamilan (granuloma gravida), hemangioma nasal difus,
hipertensi gestasional, dan sindrom HELLP.
Padaumumnyaterdapatduasumberperdarahanyaitudaribagiananteriordan
bagianposterior.EpistaksisanteriordapatberasaldaripleksusKiesselbachataudari
arteri etmoidalis anterior, sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari arteri
sphenopalatinadanarterietmoidposterior.
Tidak ada panduan spesifik manajemen epistaksis dalam kehamilan. Beberapa
tindakan konservatif dapat dilakukan untuk menghentikan perdarahan hidup, meliputi
tirah baring dengan elevasi kepala, aplikasi kompres es, nasal packing, tamponade,
kauterisasi kimiawi, atau aplikasi salep. Prosedur bedah dilakukan pada pasien yang
mengalami perdarahan rekuren signifikan, namun gagal diterapi dengan terapi
konservatif. Penentuan asal pendarahan pada kasus epistaksis sangat penting karena
berkaitan dengan cara penatalaksanaannya.
Meskipun kebanyakan epistaksis minor dan transien serta mengalami resolusi
pascapartum, penting bagi dokter untuk mengenali kondisi dan proses yang
mendasari epistaksis. Pemahaman manifestasi klinis gejala hidung, termasuk
epistaksis dalam kehamilan, pilihan terapi yang tepat, dan risiko terkait dapat
memfasilitasi konsultasi klinis yang baik dan memungkinkan pilihan terapi aman,
efektif dan dapat diterima oleh ibu hamil dan janin. Dengan adanya pengetahuan

26

tentang epistaksis dalam kehamilan dokter kandungan dan anestesiologis dapat


mempersiapkan dengan baik untuk komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi seperti
anemia, perdarahan pascapartum (mempersiapkan spesimen darah, uterotonika).
RUJUKAN
1.

Budiman BJ, Hafiz A. Epistaksis dan Hipertensi: Adakah Hubungannya? Padang: Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas; 2010: 1-9.

2.

Swift AC. Epistaxis. The Otorhinolaryngologist 2012; 5(3): 129132.

3.

Munir D, Haryono Y, Rambe AYM. Epistaksis. Majalah Kedokteran Nusantara. 2006; 39(3): 274278.

4.

Kim MD, Connell S, Stika C, Wong CA, Gossett DR. Epistaxis of Pregnancy and Association
With Postpartum Hemorrhage. Obstet Gynecol 2009; 11(4):13221325.

5.

Safta D, Mitran L, Mirea D, Mitran M. Rhinological conditions in pregnancy: A clinical


prospective study. Ginecoeu. 2014; 10(35): 16-19.

6.

Kang H, Cho HJ, Jeon SY, Kim SW. A Case of Severe Epistaxis during Pregnancy Treated by
Sphenopalatine Artery Ligation. Korean J Otorhinolaryngol-Head Neck Surg 2016;59(5):392-395.

7.

Acharya S, Nahak B. A Prospective Study of Nasal Symptoms in Pregnancy. J of Evolution of


Med and Dent Sci. 2015; 4(28): 4897-4900.

8.

Bleier B S, Schlosser R J. Epistaxis. In: Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5 th Ed. New

9.

York: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 501-508.


Irfandy D. Transpor Mukosiliar pada Septum Deviasi. Padang: Bagian Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP M Djamil Padang; 2011. h.

1-15.
10. Suryadi S. Analisis Perubahan Waktu Transportasi Mukosilia Hidung Penderita Sinusitis Kronis
pada Pengobatan Gurah. Semarang: Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro; 2012. h. 9-11.
11. Akhter KK, Zahedul Alam, Mohammad R, Mohammad H. Association of Epistaxis and
Postpartum Haemorrhage in Pregnancy. Sir Salimullah Med Coll J. 2011; 19: 88-90.
12. Singla P, Gupta M, Matreja PS, Gill R. Otorhinolaryngological complaints in pregnancy: a
prospective study in a tertiary care centre. Int J Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2015;1(2):7580.
13. Havas TE, Conjoint. ENT complaints in pregnancy. Review. 2012; 14(4): 49-51.

27

14. Kumar R, Hayhurst KL, Robson AK. Ear, Nose, and Throat Manifestations during Pregnancy.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2011; 145(2): 188-198.
15. Jordan RG, Engstrom JL, Marfell JA, Farley CL. Epistaxis. In: Prenatal dan Postanatal Care: A
Woman-Centered Approach. Oxford: Willey Blackwell Publishing; 2008. p. 77-78.
16. Otegbayo JA, Imaralu JO, Osibowale BT. Propranolol-Induced Epistaxis in a Woman with
Multiple Obstetric Complications: Case Report. Case Reports in Clinical Medicine. 2015. 4(1):
193-196.
17. Papesch M, Papesch E. Nosebleeds (Epistaxis) in Pregnancy. In: Hollingworth T, editor.
Differential Diagnosis in Obstetrics and Gynaecology: An A-Z. 2nd Ed. New York: CRC Press;
2016. h. 230-231.
18. Belfort M, Saade G, Foley M, Phelan J, Dildy G. Pregnancy-Induced Physiologic Alteration. In:
Critical Care Obstetrics. 5th Ed. Oxford: Willey-Blackwell Publishing; 2010. p. 41-42.
19. Sherlie SV, Varghese A. ENT Changes of Pregnancy and Its Management. Indian J Otolaryngol
Head Neck Surg. 2014; 66(Suppl 1): S6S9.
20. Al Bassiouny AMM. Case Series: Lobular Capillary Hemangioma of the Nasal Cavity in
Pregnancy. Med J Cairo Univ.2010; 78(1): 237-240.
21. Belfort

M,

Saade

G,

Foley

M,

Phelan

J,

Dildy

G.

Pregnancy-Induced

Physiologic Alteration. In: Critical Care Obstetrics. 5 th Ed. Oxford: Willey-Blackwell Publishing;
2010. p. 41-42.
22. Nazli R, Khan MA, Akhtar T, Mohammad NS, Aslam H, Haider J. Frequency of
Thrombocytopenia in Pregnancy Related Hypertensive Disorders in Patients Presenting at Tertiary
Care Hospitals of Peshawar. Khyber Med Univ J 2012;4(3):101-105.
23. Jaleel A, Baseer A. Thrombocytopenia in Preeclampsia: An Earlier Detector of HELLP Syndrome.
JPMA. 1997; 4(7):230-232.
24. Tharpe NL. Farley CL, Jordan NG. Epitaxis. In: Clinical Practice Guideline for Midwifery &
Womens Health. New York: Jones dan Barlett Publishing; 2013. h. 41-42.
25. Kilpatrick S J. Anemia and Pregnancy in Creasy & Resniks Maternal-Fetal Medicine Principles
and Practice. 7th edition. Elsevier 2014; 919-931.
26. Cunningham, Leveno, Bloom, et al. Hematological Disorders in Williams Obstetrics. 24 th Ed.
New York: McGrawHill. p.1101-1118.

Anda mungkin juga menyukai

  • Siklus Menstruasi II
    Siklus Menstruasi II
    Dokumen46 halaman
    Siklus Menstruasi II
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Sectio Sesaria
    Sectio Sesaria
    Dokumen12 halaman
    Sectio Sesaria
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • KB
    KB
    Dokumen56 halaman
    KB
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Fluor Albus
    Fluor Albus
    Dokumen46 halaman
    Fluor Albus
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Case Simfisiolisis
    Case Simfisiolisis
    Dokumen14 halaman
    Case Simfisiolisis
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    50% (2)
  • Seksio Sesaria
    Seksio Sesaria
    Dokumen35 halaman
    Seksio Sesaria
    Anonymous YxucXep8T
    Belum ada peringkat
  • Met Open
    Met Open
    Dokumen4 halaman
    Met Open
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Kehamilan Dengan TB
    Kehamilan Dengan TB
    Dokumen15 halaman
    Kehamilan Dengan TB
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • HSV-2 Dalam Kehamilan
    HSV-2 Dalam Kehamilan
    Dokumen23 halaman
    HSV-2 Dalam Kehamilan
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Simfisiolisis 1
    Simfisiolisis 1
    Dokumen15 halaman
    Simfisiolisis 1
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • KOGI CTG Buku Acuan, JJE 20130115 PDF
    KOGI CTG Buku Acuan, JJE 20130115 PDF
    Dokumen34 halaman
    KOGI CTG Buku Acuan, JJE 20130115 PDF
    Judi Januadi Endjun
    96% (23)
  • Obstetri Operatif - As
    Obstetri Operatif - As
    Dokumen45 halaman
    Obstetri Operatif - As
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen3 halaman
    Bab 1
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Evidence Base SC
    Evidence Base SC
    Dokumen8 halaman
    Evidence Base SC
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Diabetes Melitus
    Diabetes Melitus
    Dokumen17 halaman
    Diabetes Melitus
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Sectio Sesaria
    Sectio Sesaria
    Dokumen12 halaman
    Sectio Sesaria
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Simfisiolisis
    Simfisiolisis
    Dokumen14 halaman
    Simfisiolisis
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Burst Abdomen Pasca SC (Case LPG)
    Burst Abdomen Pasca SC (Case LPG)
    Dokumen12 halaman
    Burst Abdomen Pasca SC (Case LPG)
    ddcring
    Belum ada peringkat
  • Symphysiolysis
    Symphysiolysis
    Dokumen2 halaman
    Symphysiolysis
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    0% (1)
  • EPIS-HAMIL
    EPIS-HAMIL
    Dokumen11 halaman
    EPIS-HAMIL
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen13 halaman
    Chapter II
    Dany Anggara
    Belum ada peringkat
  • VES-VENTRIKEL-EKSTRA-SISTOL
    VES-VENTRIKEL-EKSTRA-SISTOL
    Dokumen3 halaman
    VES-VENTRIKEL-EKSTRA-SISTOL
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Sym Physio Lys Is
    Sym Physio Lys Is
    Dokumen8 halaman
    Sym Physio Lys Is
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Simfisiolisis
    Simfisiolisis
    Dokumen14 halaman
    Simfisiolisis
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Sectio Sesaria
    Sectio Sesaria
    Dokumen12 halaman
    Sectio Sesaria
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • OPTIMIZED PARTUS MANAGEMENT
    OPTIMIZED PARTUS MANAGEMENT
    Dokumen22 halaman
    OPTIMIZED PARTUS MANAGEMENT
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • Edit
    Edit
    Dokumen27 halaman
    Edit
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat
  • $rtus Prematurus Iminen
    $rtus Prematurus Iminen
    Dokumen26 halaman
    $rtus Prematurus Iminen
    Yohanes Tjandra
    Belum ada peringkat
  • Asam Nuklear Plasenta
    Asam Nuklear Plasenta
    Dokumen27 halaman
    Asam Nuklear Plasenta
    Anonymous Tzn8RGBZ4
    Belum ada peringkat