Anda di halaman 1dari 6

Kabut Masa Silam

Posted on October 24, 2013 by LMCR


Oleh Budi Saputra
Sebuah pagi, sebuah hari dengan udara dingin yang terasa lembab dalam diriku. Jatuhan tetes
gerimis selepas subuh, mengingatkanku tentang timbunan musim hujan masa lalu. Tentang
musim dimana burung-burung kedinginan di balik jendela. Begitu murung, begitu bergegas
segalanya tentang yang kau sebut hidup. Dengan mengenakan jaket dingin yang lusuh, aku
kembali menyusuri jalanan ini. Betapa kulalui dengan tabah, dengan jalan usia yang entah
kapan berakhir atau remuk. Rumah-rumah penduduk, daun-daun yang berguguran karena
diterpa badai, dan langkahku yang tergesa di jalan licin ini. Kulewati sebuah rumah kayu
dengan warna cat kecoklatan itu. Rumah yang begitu murung. Wajah itu, suara itu, betapa
pedih hidup mengalir. Mengalir bagai sungai dengan segala isinya, yang kemudian berakhir
di sebuah muara.
Menjelang langkahku sampai di stasiun, wajah itulah senantiasa terpana menatapku. Di
tengah gerimis mengalir deras, samar-samar wajah Buk Rinah tampak duduk terpaku di
teras itu. Aku kadang tak kuasa menahan air mata hingga aku duduk terpaku atau terpaksa
berdiri di sebuah gerbong yang padat. Kuingat wajah ibu di rumah, ibu yang semakin tua di
dapur. Menyambung hidup membuat penganan kecil-kecilan, dan dibawanya di sebuah
sekolah dasar tempat Naila menimba ilmu.
Ibu telah lama kehingan bapak. Ibu tak punya apa-apa selain rumah yang kian reot ini,
gerobak, dan seorang anak perempuan yang sepantaran dengan adikmu. Begitulah Buk
Rinah mengatakan padaku suatu ketika. Melihat keadaannya seperti itu, berjuang sendirian
mendorong gerobak untuk memulung hingga petang hari, dan memberikan sedikit hasil jerih
payah pada seorang anak yang lumpuh, lalu apa bedanya dengan keadaan ibu sendiri? Tak
jauh beda, Wis. Tak jauh beda. Betapa beban itu aku pikul. Menatap derasnya hidup dari balik
celah jendela. Menatap derasnya aliran sungai di dalam pagiku yang bergegas dari kamarku
yang remang dan buram. Melewati dingin pagi menuju stasiun kota, tentu aku tak ingin
terlambat. Ditinggal kereta dengan menyisakan perasanan ngilu, bingung, dan merasa amat
bersalah dalam diriku.
Aku tentu masih ingat, menjelang akhir semester dua kelas satu SMA, ibu tak punya lagi
biaya untuk kelanjutan sekolahku. Walau saat itu aku ingin melanjutkan sekolah seperti
teman-teman kebanyakan. Kutatap wajah ibu yang tersandar setelah letih bekerja seharian.
Dikar, maafkan ibu. Ibu tak punya biaya yang cukup untuk melanjutkan sekolahmu. Lihatlah
adikmu, juga terlunta-lunta dan harus meminjam uang untuk biaya sekolahnya. Mendengar
itu aku pun hanya bisa pasrah. Air mata meleleh di pipiku yang baru sembuh dari luka gores
akibat berkelahi dengan salah seorang di sekolah. Tak lagi kuraih penganan yang sebelumnya
kumakan. Tak seperti kau, Wis. Kau beruntung masih bisa melanjutkan sekolah mengikuti
kakak-kakakmu. Sambil menyeka air mata, aku hanya bisa terpana melihat wajah ibu dan
sesekali kulayangkan pandanganku ke arah foto ayah di dinding. Ada kesedihan yang
memanjang dalam diriku. Seperti ingin meraung, tapi tak sanggup.

Aku mungkin akan mencari kerja, Bu. Itulah kata terakhir aku ucapkan. Menangis sendiri
di kamar, telah mengurasku untuk memikirkan masa depan. Pikiranku berlari. Kubayangkan
wajah ayah, wajah kakak yang dulu senantiasa mencurahkan segenap keluh kesahnya padaku.
*
Ada pedih yang begitu dalam menusuk hatiku. Kau tahu, Wis. Ayah berlalu begitu saja dan
membuat ibu harus menanggung segala beban hidup yang berat ini. Berlalu seperti kereta
yang berlari di pagi buta, dan disaksikan bocah-bocah tak berdaya di tepian relnya. Dulu,
ayah begitu perhatian pada kami. Tiap pulang kerja, ada saja yang dibawa ayah untuk kami
nikmati. Namun, perhatian itu perlahan berkurang. Kehangatan yang biasanya aku rasakan
saat ayah rutin mengantarkan aku ke sekolah, seketika hilang saat aku mendengar kabar itu
dari ibu. Saat itu adalah menjelang kenaikan kelas dua SMP.
Pada awalnya, aku tak mengerti mengapa ibu menangis sambil memeluk Naila. Aku baru saja
pulang sekolah. Kenapa menangis, Bu? Mendengar itu ibu hanya diam. Dalam diam itu,
aku pun ikut menangis. Tak ada lagi ayah, tak ada, Nak. Kemudian ibu menguraikan
semuanya padaku sambil menunjukkan kesedihan mendalam. Pertengkaran yang sering aku
saksikan ternyata telah membuat ayah meninggalkan kami.
Belum lama kakakmu pergi, Nak. Dan sekarang, ayah memilih pergi dari rumah ini.
Begitulah kenyataan yang harus kuterima,Wis. Kau bisa bayangkan, semasa di sekolah aku
lebih banyak bungkam di depan teman-teman. Setiap ada yang bertanya dimana dan siapa
ayah, maka itulah pertanyaan yang amat menggangguku. Kadang aku pun menangis sendirian
di taman. Melihat teman-teman diantar ayah mereka, hidup berkecukupan, dan belajar dengan
penuh semangat. Walaupun begitu, kadang bila bertemu di jalan, maka ayah selalu
memberikan tambahan belanja padaku. Setelah itu, ayah pergi dan tak ada bicara banyak
selain pesan untuk rajin belajar dan menjaga Naila.
Aku pun tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Aku mulai bisa menerima keadaan, walaupun
awalnya sulit untuk lepas dari perasaan yang kerap membuatku ingin putus sekolah, dan
memilih mengamen di perempatan. Kau tahu, Wis. Kekuatanku untuk terus bertahan. Bahwa
Kak Rin yang pernah ajarkan padaku untuk semangat dalam hidup. Sebelum ia pergi untuk
selamanya, banyak kisah yang pernah aku lalui dengannya. Tiap ada tugas dari guru, kak Rinlah yang biasanya membantu. Ia begitu cerdas di mataku. Lihatlah, tugas-tugas rumah dan
sekolah ia lakukan dengan cekatan dan hati yang riang. Walaupun hidup kekurangan, ia tak
pernah mengeluh. Suatu hal yang menonjol darinya tentu kebiasaan membaca dan menulis,
serta selalu masuk rangking sepuluh besar.
Ini apa yang Kakak tulis? Tanyaku suatu ketika.
Itu cerpen, jawabnya sambil tersenyum. Begitu mengalirnya. Setelah aku berlari melewati
lorong hidup ini, semakin aku menyadari seorang kakak yang banyak memberikan
pengalaman berharga padaku. Tentang tulisan-tulisan yang kerap ditulisnya dan dikirim
melalui pos untuk diterbitkan di koran, dan buku-buku bekas yang sering dibelinya di pasar
loak, inilah yang membuatku begitu sedih membayangkan kematiannya. Maka, apabila ada
yang bertanya tentang kematian Kak Rin, aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku lebih
memilih bungkam dan sedih jika ada yang mengungkitnya. Termasuk juga saat kau tanyakan
dulu, Wis. Berbagai media massa meliput kejadian memilukan itu. Malah, secarik potongan

koran yang memuat beritanya masih aku simpan, walau aku tak lagi membacanya dan
bahkan berniat untuk membakarnya.
Ya, kematian Kak Rin yang ditemukan penuh luka dengan pakaian yang berantakan di tepi
sungai itu, memang tak pernah terungkap. Aku dan ibu telah merelakan kepergian Kak Rin.
Hanya yang ibu ingat saat itu, bahwa ibu sempat memberikan tambahan belanja sebelum Kak
Rin berangkat ke sekolah tempat aku terakhir menimba ilmu. Dan pada malamnya, Kak Rin
masih sempat menyetrika seragam sekolahku, dan melihatkan tulisannya yang akan diikutkan
dalam sebuah perlombaan.
*
Wajah ibu seketika cerah saat mendengar kabar dariku. Kau dapat kerja di mana, Nak? Ibu
seperti ingin sekali memperoleh jawaban dariku, walau saat itu sedang mencuci di belakang.
Ya, tiap pagi itulah, Wis. Aku akan senantiasa bergegas dari kantuk yang buruk untuk segera
menuju stasiun kota, hingga akhirnya sampai ke toko Pak Mahmud. Mendengar aku
mendapat kesempatan jadi pelayan toko, ibu pun meneteskan air mata sambil memelukku.
Jalanilah saja dulu. Perlahan kau akan terbiasa. Begitulah ibu membakar semangatku.
Aku tak sendiri, Bu. Ada seorang teman lamaku yang juga bekerja di sana.
Ya, ibu tak bisa menyembunyikan tangis harunya di hadapanku. Ia begitu senang, walau
dalam hati kecilnya, ibu barangkali merasa sedih tidak bisa melanjutkan sekolahku. Aku
pikir, bekerja memang lebih baik dibanding menyusahkan ibu selama tiga tahun. Kau tahu
temanku, Wis. Isal, dengannyalah aku melewati hari-hari di tengah padatnya runititas kota.
Memang, tiap akan berangkat kerja, ibu senantiasa membungkuskan nasi untuk bekalku
makan siang. Kadang apabila ibu sakit atau keletihan, maka aku sendiri yang menyiapkan
bekal yang biasanya aku nikmati berdua Isal. Sehingga, tiap paginya, meskipun hujan sangat
lebat, aku pun harus bergegas ke stasiun agar tak tertinggal kereta. Menjelang tiba di stasiun,
aku harus menaiki angkutan umum yang tentunya melewati depan rumahmu.
Jangan terlambat lagi kau, Nak. Inilah kata ibu yang selalu terngiang olehku. Dan aku pun
paham, meskipun Pak Mahmud orangnya santun dan baik hati, tentu aku tak ingin
mengecewakannya. Pernah sekali waktu aku datang terlambat karena ditinggal kereta. Betapa
sulitnya aku menguras perasaan saat itu. Namun setelah mendengar nasehat dari Pak
Mahmud secara baik, aku akhirnya sadar. Aku tak ingin mengecewakan ibu. Ibu yang
wajahnya senantiasa kutatap sebelum berangkat, yang tak jarang aku sama-sama berjalan
dengan teman-teman sekolahku menuju terminal.
Kasihanlah pada ibumu itu, Dikar. Isal dan Pak Mahmud pernah menasehatiku. Seolah
telah tahu, bagaimana keadaan keluargaku, meskipun tak banyak yang aku ceritakan pada
mereka. Ibu yang kata orang-orang pernah menjadi pemuas nafsu itu, tentu aku tak bisa
menerima ucapan itu. Kau bisa bayangkan, Wis. Siapa yang tak marah bila ibunya dituduh
melakukan yang bukan-bukan? Dan setelah kudapati ibu berjuang tanpa ayah, maka aku
bertambah iba melihatnya. Aku tak peduli lagi kata-kata yang diucapkan begitu silam itu.
Ibumu itu pernah menjadi pencuci pakaian orang di komplek sana saat kau kecil dulu.
Begitulah kata Buk Des padaku tanpa maksud mempertanyakannya. Buk Des memang
lumayan dekat dengan ibu. Sebagai pengemis di perempatan, ia begitu gigih mencari nafkah.
Kata ibu, sewaktu Naila berusia dua tahun, ia pernah membawanya untuk mengemis. Walau

ibu mendapatkan upah, ayah yang saat itu masih bekerja di luar kota, akhirnya mengetahui
dan sangat marah pada ibu.
Kenapa Naila dibiarkan saja dibawa orang gila itu? Ibu menirukan kata ayah padaku. Ayah
memang tak suka dengan keberadaan Buk Des yang berdekatan rumahnya dengan rumah ibu
saat itu. Tak saja Naila, anak balita dari ibu-ibu tetangga pun juga pernah dibawa untuk pergi
mengemis. Yang ayah khawatirkan tentu Naila mengalami kecelakaan atau kejadian buruk
lainnya.
Upahnya kecil. Tapi kalau kecelakaan bagaimana? Siapa yang tanggung biayanya? Tentu
tak sebanding dengan upah yang diterima.
Ibu tertawa kecil saja saat menceritakan masa lalu konyol itu padaku. Meskipun kadang
diwarnai keributan, namun tak lama setelah itu ayah dan ibu kembali baikan. Ya, begitulah
aku dengan ibu saling menggali masa lalu. Kata ibu, jarak usianya dengan ayah lumayan
jauh. Saat menikah dulu, ibu masih berusia 18 tahun dan ayah berusia 28 tahun. Dan kau
tentu tahu, Wis. Rumah nenek di kampung dulu, di situlah awal hidup itu, awal langkah itu.
Dan kita pun masih sempat sama-sama dibawa ke Posyandu, dan bermain air dengan nenek.
*
Sebuah kabar gembira itu. Tak disangka hidup ini, Wis. Saat aku baru saja pulang dari
membantu persiapan acara kemerdekaan dengan teman sekolahku dulu, kabar dari ibu
membuatku sejenak terperanjat. Di sinilah awal mula ada semangat baru dalam hidupku. Ibu
dengan tiba-tiba mengutarakan niat untuk melepaskan kesendiriannya.
Siapa orangnya, Bu? Tanyaku yang saat itu baru bekerja enam bulan di toko Pak Mahmud.
Harus aku akui pada ibu, bahwa aku sejak ditinggal ayah memang ingin sekali ibu bisa
menikah lagi. Tapi, aku tak kuasa untuk bicarakan itu padanya, Wis. Dan dengan sedemikian
rupa jalannya, maka Pak Samsul, ayahku yang baru hadir di tengah keluarga kecilku, dan
memberikan perubahan besar dalam kehidupan ibu.
Aku pun mengenal ayah yang lebih tua lima tahun dari ibu itu sebagai sosok yang sabar.
Kau bisa bayangkan betapa hidup itu mengalir, Wis. Ayah yang sebelum menikahi ibu
ternyata pernah melewati masa-masa yang sulit. Dua anak dan istrinya tiada lagi. Bencana
longsor telah merenggut nyawa orang yang sangat dicintai ayah.
Rumah ayah dan rumah warga yang lain saat itu semuanya habis tertimbun longsor. Tak ada
yang bisa ayah selamatkan selain pakaian yang melekat di sebatang tubuh. Anak ayah itu,
yang pertama seumuran denganmu, Dikar. Dan yang kedua lebih tua sedikit dari Naila jika
mereka berdua masih hidup.
Aku mendengarnya dengan penuh haru, Wis. Begitulah awalnya aku memahami kehadiran
ayah yang baru dalam hidupku. Dan jika kau bertanya tentang ayahku yang dulu, tentu aku
tak akan melupakannya. Kami masih menjalin silaturrahmi walau jarang bertemu.
Ya, ayah memberi perubahan besar bagiku, ibu, dan Naila. Ayah yang begitu rajin beribah ke
masjid. Kulihat perubahan ibu. Ia mulai rajin beribabah seperti ibumu. Ia lebih banyak
menghabiskan waktu di rumah setelah berjualan penganan di sekolah. Kemudian aku. Aku
pun banyak mendapatan ilmu dari ayah. Aku tak malu untuk untuk mengikuti ayah ke

masjid, meskipun kadang ada rasa malas. Naila mendapatkan perhatian besar dari ayah. Ia tak
lagi nakal dan mulai membuat PR sekolah dengan rajin. Begitulah indahnya mulai terasa
bagiku, Wis. Melewati lebaran pertama dengan suasana yang tak terpikirkan olehku
sebelumnya. Aku mendapatkan pekerjaaan baru di toko buku kenalan ayah. Sebagai
pedagang buah kecil-kecilan, ayah begitu rajin mengelola dagangannya. Tiap pagi, kami pun
sama-sama berangkat bekerja.
Tapi begitulah hidup, Wis. Hidup yang kadang ada suka dan ada dukanya. Awalnya, betapa
ayah begitu bahagia saat ibu mengandung janinnya Fitri. Hingga menjelang kelahiran Fitri,
ayah seperti biasanya, tetap berdagang dengan penuh semangat. Begitu pula denganku.
Namun di situlah cobaan itu datang. Naila tiba-tiba terjangkit demam berdarah. Ia harus di
rawat di rumah sakit dengan biaya yang tak sedikit. Maka apa bisa kau bayangkan, Wis?
Ayah harus menanggung biaya di rumah sakit dan persalinan ibu. Sehingga, dengan biaya
yang terbatas, aku pun harus merelakan tabunganku untuk membantu biaya persalinan ibu.
Ibu yang setelah melahirkan, betapa mengalami kepedihan yang amat mendalam. Lima bulan
setelah Fitri lahir, ayah pun harus pergi begitu cepat meninggalkan kami. Ayah meninggal
dengan posisi terduduk di tokonya menjelang ashar tiba.
Kita harus sabar, Bu. Relakanlah kepergian ayah. Ingat fitri, Bu. Ingat, ia masih kecil. Air
mataku pun tumpah sejadi-jadinya di pelukan ibu.
*
Sebuah pagi, sebuah hari dengan udara dingin yang terasa lembab dalam diriku. Di stasiun
kota ini, aku maknai sebuah perjuangan itu. Aku terpekur sejenak. Kuingat masa silam,
bahwa telah jauh sudah aku berjalan, Wis. Dan aku tak mungkin mengelak dari segala beban
ini, segala liku hidup ini. Aku sekarang telah bisa menerima segala kenyataan. Keadaanku
telah mulai membaik dibanding sebelumnya saat kau ke rumah bersama ibu dan ayahmu.
Kulihat ibu, ia juga telah mulai bisa bekerja sambil mengasuh Fitri.
Betapa sulitnya masa ini aku lalui, Wis. Sebagai anak pamanku, aku pun paham. Kau tak
bisa berbuat banyak untuk membantu keluargaku. Dan lihatlah olehmu, rententan kehilangan
yang aku alami bersama ibu. Aku harus jatuh bangun dan mengorbankan sekolahku.
Sementara kau, Wis. Kau masih beruntung punya keluarga yang lengkap. Bermain dengan
teman-teman sebaya, dan mencari jati diri. Tapi meskipun aku sibuk bekerja, aku masih
sempatkan diri meluangkan waktu bersama teman-temanku yang dulu.
Maka, dengan melihat berwarna hidupmu itu,aku ikut senang, Wis. Aku akan tetap menanti
balasan surat darimu. Di stasiun ini, kulihat lalu-lalang kedatangan dan kepergian. Berharap
kau akan datang dan turun dari salah satu gerbong, meskipun aku tak pernah mengundangmu.
Ya, aku hanya bisa membayangkan seperti itu. Membayangkan dirimu dengan mata yang
agak sipit itu melambaikan tangan dari jauh padaku. Yang membuat rasa tak berdaya seketika
menyergapku. Sejenak kupandang telapak tanganku yang terluka, lalu betapa sebuah kereta
dengan bunyi gerbong dan terpaan anginnya, seperti memberikan rasa ngilu dalam hatiku.
Rasa ngilu yang memanjang dalam musim kepedihan.
Aku tentu masih ingat masa lalu kita yang asyik bermain saat masih kecil dulu. Aku
berharap, Wis. Kau memahami benih perasaan itu yang tumbuh. Perasaan yang senantiasa
merembeskan debar setiap melewati depan rumahmu. Saat kau memeluk ibu dan mencium

Fitri, aku tahu. Aku tahu bahwa aku tak sendiri. Aku masih punya ibu, adik, dan tentunya
dirimu.
Padang, 2013
Budi Saputra, Mahasiswa STKIP PGRI (Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia), Padang Sumatera Barat. Selain menulis cerpen literer ia juga menulis puisi,
esai dan resensi buku. Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media massa lokal
maupun nasional juga beberapa telah dibukukan.

Anda mungkin juga menyukai