Anda di halaman 1dari 77

BAB I

PENDAHULUAN
Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi ataas tiga
bagian yaitu : auris externa, auris media, dan auris interna. Auris
externa terdiri dari auricula dan meatus acusticus externus sampai
membrane tympani. Auris media terdiri dari cavum tympani beserta
isinya. Sedangkan auris interna terdiri dari cochlea dan 3 buah canalis
semicircularis.
Auris media (telinga tengah) berisi udara dipisahkan dari
meatus acusticus externus oleh membrane tympani dan terdapat
hubungan antara ceellulae mastoidea dengan tympani.
Telinga tengah adalah ruang berisi udara dengan dinding
tulang, kecuali untuk membrane tympani disebelah lateral. Di
anterior,

tuba

eustachii

menghadap

ke

caudomedial

kearah

nasofaring. Tepi medial adalah promontorium tulang yang menutup


spiral

basal

koklea.

posterosuperior

Ruang

melalui

aditus

telinga
ad

tengah

antrum

membuka

menuju

ke

diarah
antrum

mastoideum, yang merupakan ruang terbesar di cellulae mastoidea.

ANATOMI TELINGA TENGAH


Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum tympani,
tuba eustachius dan prosessus mastoideus.
Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal
yang terisi oleh udara dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada
bagian lateral, telinga tengah berbatasan dengan membran timpani,
sedangkan pada bagian medial berbatasan dengan dinding lateral
telinga dalam. Teinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu kavum
timpani yang secara langsung berbatasan langsung dengan membran
timpani dan resessus epitimpanika pada bagian superior.

1. Membran timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani
yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini
memiliki panjang vertikal rata-rata 9-10 mm dan diameter anteroposterior kira-kira 8-9 mm dengan ketebalannya rata-rata 0,1 mm
(Dhingra, 2007). Secara Anatomis membran timpani dibagi dalam 2
bagian, yaitu: Pars tensa dan pars flaksida. Pars tensa merupakan
bagian terbesar dari membran timpani suatu permukaan yang tegang
dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di
anulus timpanikus pada sulkus timpanikus pada tulang dari tulang
temporal. Pars flaksida atau membran Shrapnell, letaknya dibagian
atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh 2
lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan muka) dan plika
maleolaris posterior (lipatan belakang)

Gambar 1. Membran timpani

2. Kavum timpani
Kavum timpani merupakan rongga yang disebelah lateral
dibatasi oleh membran timpani, disebelah medial oleh promontorium,
di sebelah superior oleh tegmen timpani dan inferior oleh bulbus
jugularis dan n. Fasialis. Dinding posterior dekat ke atap, mempunyai
satu saluran disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani
dengan antrum mastoid melalui epitimpanum. Pada bagian posterior
ini, dari medial ke lateral, terdapat eminentia piramidalis yang
terletak di bagian superior-medial dinding posterior, kemudian sinus
posterior yang membatasi eminentia piramidalis dengan tempat
keluarnya korda timpani

Gambar 2. Kavum Timpani


Kavum timpani terutama berisi udara yang mempunyai
ventilasi ke nasofaring melalui tuba Eustachius. Menurut ketinggian
batas superior dan inferior membran timpani, kavum timpani dibagi

menjadi tiga bagian, yaitu epitimpanum yang merupakan bagian


kavum timpani yang lebih tinggi dari batas superior membran
timpani, mesotimpanum yang merupakan ruangan di antara batas
atas dengan batas bawah membran timpani, dan hipotimpanum yaitu
bagian kavum timpani yang terletak lebih rendah dari batas bawah
membran timpani. Di dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang
pendengaran (osikel), dari luar ke dalam maleus, inkus dan stapes.
Selain itu terdapat juga korda timpani, muskulus tensor timpani dan
ligamentum muskulus stapedius
3. Tuba Eusthachius
Tuba Eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba
faringotimpani, bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan
saluran

yang

menghubungkan

antara

kavum

timpani

dengan

nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari 2 bagian yaitu : bagian tulang


yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian) dan
bagian

tulang

terdapat

pada

panjang

(2/3

rawan

yang

bagian depan dan


bagian).

Gambar 3. Tuba Eusthachius


Secara umum, tuba Eustachius cenderung selalu menutup.
Dengan adanya kontraksi dari m. tensor veli palatini, tuba Eustachius
dapat terbuka pada saat menelan, menguap, atau membuka rahang

sehingga terjadi keseimbangan tekanan atmosfer antara kedua ruang


diantara membran timpani. Fungsi tuba Eusthachius untuk ventilasi
telinga yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara di dalam
kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang
berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi
masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani.
4. Antrum Mastoideus
Area mastoid yang berada di dekat telinga tengah adalah
antrum mastoid yang merupakan kavitas yang terisi dengan sel-sel
mastoid yang berisi udara di sepanjang pars mastoideus dari tulang
temporal, termasuk bagian prossessus mastoideus. Sesuai dengan
yang disebutkan diatas, antrum mastoid berhubungan dengan
resessus epitimpanika pada bagian posterior melalui aditus. Antrum
mastoid berbentuk seperti segitiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial
adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di
bawah duramater pada daerah tersebut dan pada dinding anterior
mastoid terdapat aditus juga berbatasan dengan fossa kranial media
hanya oleh tegmen timpani. Membran mukosa yang melapisi sel
udara

mastoid bersambungan dengan membran mukosa yang

melapisi telinga tengah. Oleh karena itu, otitis media dapat dengan
mudah menyebar ke area mastoid
Fisiologi Telinga
Fungsi telinga tengah adalah sebagai penghantar getaran
suara ketelinga bagian dalam yaitu:
Suara ditangkap oleh daun telinga dan dialirkan melalui liang telinga
untuk

mnggetarkan

membran

timpani

dan

getaran

tersebut

dilanjutkan ke tulang maleus, lalu ke inkus dan ke stapes sehingga


menimbulkan suatu gelombang di membrane basilaris dan organ corti
dengan menggerakkan perilimfe dan endolimfe sehingga terjadi
potensial

aksi

pada

serabut-serabut

saraf

pendengaran,

disini

gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia lalu

ditransmisikan ke saraf cranialis VIII dan meneruskannya ke pusat


saraf sensorik pendengaran di otak (area 39-40) melalui saraf pusat
yang ada di lobus temporal.

BAB II
KELAINAN TELINGA TENGAH
I. GANGGUAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS
Tuba eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga
telinga tengah dengan nasofaring. Fungsi tuba ini adalah untuk
ventilasi, drainase sekret dan menghalangi masuknya sekret dari
nasofaring ke telinga tengah. Ventilasi berguna untuk menjaga agar
tekanan udara dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan
udara luar.Adanya fungsi ventilasi tuba ini dapat dibuktikan dengan
melakukan perasat valsava dan perasat Toynbee
Perasat Valsava dilakukan dengan cara meniupkan dengan
keras dari hidung sambil hidung dipencet sambil mulut ditutup. Bila
tuba terbuka maka terasa udara masuk kedalam rongga telinga
tengah yang menekan membran timpani kearah lateral. Perasat ini
tidak boleh dilakukan apabila ada infeksi pada jalan napas atas.
Perasat Tonybee dilakukan dengan cara menelan ludah sambil
hidung dipencet serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka maka akan
terasa membran timpani tertarik kemedial. Perasat ini lebih fisiologis.
Tuba Eustachius terdiri dari tulang rawan pada dua pertiga
kearah nasofaring dan sepertiganya terdiri dari tulang. Pada anak,
tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari
tuba orang dewasa. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada
anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.

Tuba biasanya dalam keadaan tertutup dan baru terbuka


apabila oksigen diperlukan masuk kedalam telinga tengah atau pada
saat mengunyah, menelan, dan menguap. Pembukaan tuba dibantu
oleh otot tensor veli palatini apabila perbedaan tekanan berbeda
antara 20-40 mmHg. Gangguan fungsi tuba dapat terjadi oleh
beberapa hal, seperti tuba terbuka abnormal, myoklonus palatal,
palatoskisis, dan obstruksi tuba.
1. TUBA TERBUKA ABNORMAL
Tuba terbuka abnormal ialah tuba terus menerus terbuka,
sehingga udara masuk ke telinga tengah pada waktu respirasi.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh hilangnya jaringan lemak disekitar
mulut tuba sebagai akibat turunnya berat badan yang hebat, penyakit
kronis tertentu seperti rinitis atrofi dan faringitis, gangguan fungsi
otot seperti myasthenia gravis, penggunaan obat anti hamil pada
wanita dan penggunaan estrogen pada pria.
Keluhan pasien biasanya berupa rasa penuh dalam telinga
atau autofoni (gema suara sendiri terdengar lebih keras). Keluhan ini
kadang-kadang sangat mengganggu, sehingga pasien mengalami
stress berat.
Pada peneriksaan klinis dapat dilihat membran timpani yang
atrofi, tipis dan bergerak pada respirasi ( a telltale diagnostic sign).
Pengobatan pada keadaan ini kadang-kadang cukup dengan
memberikan

obat

penenang

saja.

Bila

tidak

berhasil

dapat

dipertimbangkan untuk memasang pipa ventilasi (Grommet).


2. MYOKLONUS PALATAL
Myoklonus palatal ialah kontraksi ritmik dari otot-otot palatum
yang terjadi secara periodik. Hal ini menimbulkan bunyi klik dalam
telinga pasien dan kadang-kadang dapat terdengar oleh pemeriksa.
Keadaan ini jarang terjadi dan penyebab yang pasti belum diketahui.
Biasanya tidak memerlukan pengobatan.
c. PALATOSKISIS (SUMBING LANGIT-LANGIT)

Pada palatoskisis terjadi gangguan otot tensor veli palatini


dalam membuka tuba hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya
kelainan ditelinga tengah pada anak dengan palatoskisis, lebih besar
dibandingkan dengan anak normal. Oleh karena itu dianjurkan untuk
melakukan koreksi palatoskisis sedini mungkin.
3. OBSTRUKSI TUBA
Obstruksi tuba dapat terjadi oleh berbagai kondisi, seperti
peradangan

di

nasofaring,

peradangan

adenoid

atau

tumor

nasofaring. Gejala klinik awal yang timbul pada penyumbatan tuba


oleh tumor adalah terbentuknya cairan pada telinga tengah (otitis
media serosa). Oleh karena itu setiap pasien dewasa dengan otitis
media serosa kronik unilateral harus dipikirkan kemungkinan adanya
ca nasofaring. Sumbatan mulut tuba di nasofaring juga dapat tejadi
oleh tampon posterior hidung (Bellocq tampon) atau oleh sikatriks
yang terjadi akibat trauma operasi (adenoidektomi).
II. BAROTRAUMA (AEROTITIS)
Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan
tekanan yang tiba-tiba diluar telinga tengah sewaktu pesawat terbang
atau menyelam, yang menyebabkan tuba gagal untuk membuka.
Apabila perbedaan tekanan melebihi 90 cmHg, maka otot yang
normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada saat ini terjadi
tekanan negatif dirongga telinga tengah, sehingga cairan keluar dari
pembuluh darah kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai dengan
ruptur pembuluh darah, sehingga cairan ditelinga tengah dan rongga
mastoid bercampur darah.
Keluhan pasien berupa kurang dengar, rasa nyeri dalam telinga,
autofoni, perasaan ada air dalam telinga dan kadang-kadang tinitus
atau vertigo. Pengobatan biasanya cukup dengan cara konservatif
saja, yaitu dengan memberikan dekongestan lokal atau dengan
melakukan perasat valsava selama tidak terdapat infeksi dijalan
napas atas. Apabila cairan atau cairan yang bercampur darah
menetap ditelinga tengah sampai beberapa minggu, maka dianjurkan

untuk tindakan miringotomi dan bila perlu memasang pipa ventilasi


(Grommet).
Usaha preventif terhadap barotrauma dapat dilakukan dengan
selalu mengunyah permen karet atau melakukan perasat valsava,
terutama sewaktu pesawat terbang mulai turun untuk mendarat.

III. OTITIS MEDIA


Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah , tuba eustachius , antrum mastoid, dan sel mastoid.
Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan non supuratif (=
otitis media serosa = otitis media sekretoria = otitis media musinosa
= otitis media efusi)
Masing masing golongan mempunyai bentuk akut dan
kronis , yaitu otitis media supuratif akut (Otitis Media Akut= OMA) dan
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK). Begitu pula otitis media serosa
terbagi menjadi

otitis media serosa akut (barotrauma = aerotitis )

dan otitis media serosa kronis . Selain itu terdapat juga otitis media
spesifik, seperti otitis media tuberkulosa atau otitis media sifilitika.
Otitis media adhesiva.
Skema pembagian otitis media

Otitis media supuratif akut


(OMA)
Otitis Media
Supuratif
Otitis Media
Supuratif kronis (OMSK)
Otitis Media

Otitis Media serosa akut


(Barotrauma)
Otitis Media
Non supuratif
Otitis Media serosa kronis
(Bila sekret kental/mukoid glue ear)
A. Otitis Media Supuratif
Telinga tengah biasanya steril meskipun terdapat mikroba di
nasofaring

dan

faring.

Secara

fisiologik

terdapat

mekanisme

pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia


mukosa dan tuba eustachius, enzim dan antibodi.
Otitis
terganggu.

media

terjadi

karena

faktor

pertahanan

tubuh

ini

Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab

utama dari otitis media.

Karena fungsinya terganggu, pencegahan

muasi hormon ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.


Pencetus lain adalah infeksi saluran nafas atas.
Otitis media supuratif terbagi 2 :
1.

OM Supuratif Akut (OMA)

2.

OM. Supuratif Kronis (OMSK)

Penyebab keduanya adalah bakteri golongan coconus.


1. Otitis Media Supuratif Akut

a. Defenisi
Otitis

media

akut

terjadi

karena

factor

pertahanan

ini

terganggu. Sumbatan tuba eustachius meriupakan p[enyebab utama


dari otitis media. Karena fungsi tuba terganggu, pencegahan invasi
kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman
masuk ke telinga tengah dan terjadi peradangan. Pencetus OMA ialah
infeksi saluuran napas atas.
Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas
atas maka makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi,
terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba eustachiusnya pendek,
lebar, dan agak horizontal letaknya.
b. Etiologi
Bakteri
Bakteri

piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering.

Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis


bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan
atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai nonpatogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.
Tiga

jenis

bakteri

penyebab

Streptococcus pneumoniae

otitis

media

tersering

adalah

(40%), diikuti oleh Haemophilus

influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira


5%kasus

dijumpai

patogen-patogen

yang

lain

seperti

Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus


aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan
organisme gram negatif

banyak ditemukan pada anak dan

neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus


influenzae

sering

dijumpai

pada

mikroorganisme yang dijumpai pada

anak

balita.

orang dewasa

Jenis

juga sama

dengan yang dijumpai pada anak-anak.


Virus
Virus

juga merupakan penyebab OMA.

tersendiri

Virus dapat dijumpai

atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain.

Virus yang paling

sering dijumpai pada anak-anak, yaitu

respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus


(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai

parainfluenza

virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak


buruk terhadap fungsi

tuba

eustakius,menganggu fungsi imun

lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat


antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya.
Dengan menggunakan teknik

polymerase chain reaction

(PCR)

dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA),


virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak
yang menderita OMA pada 75% kasus.
c. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin,
ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air
susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan
anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi,
infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba
Eustakius, inmatur tuba Eustakius dan lain-lain. Faktor umur juga
berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insiden OMA pada bayi
dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi
tidak matang atau imatur

tuba Eustakius. Selain itu, sistem

pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah.


Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi
dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras

Amerika

asli, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang


lebih

tinggi

berpengaruh.

dibanding
Status

dengan

ras

sosioekonomi

lain.
juga

Faktor

genetik

berpengaruh,

juga

seperti

kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas,


status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga
mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu
dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya
asupan

ASI

banyak

menderita

OMA.

Lingkungan

merokok

menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan


dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak
yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anakanak,

insidens

OMA

juga

meningkat.

Anak

dengan

adanya

abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena


fungsi tuba

Eustakius

turut terganggu, anak mudah menderita

penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang


sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau
virus.
d. Gejala Klinis

Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur


pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah
rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi.
Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang
lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat
gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa
kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah
suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi),
anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur,
diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga
yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret
mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang.
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau
ringannya suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran
temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan
menarik telinga atau

tugging, serta membran timpani yang

kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003)


skor OMA adalah seperti berikut:

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan


angka 0 hingga 3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA
berat. Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat
otalgia berat atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39C oral
atau 39,5C

rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan

demam kurang dari 39C oral atau 39,5C rektal.


e. Fisiologi, Patologi dan Patogenesis

Patogenesis OMA
Patogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi
kongesti dan edema
nasofaring dan

pada mukosa saluran napas atas, termasuk

tuba Eustakius. Tuba Eustakius menjadi sempit,

sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila


keadaandemikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan
aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah
melalui tuba Eustakius. Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba
Eustakius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari
nasofaring.

Jika

terjadi

gangguan

akibat

obstruksi

tuba,

akan

mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke


dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA
dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustakius tersumbat,
drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi
akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi
mikroba patogen pada sekret.

Akibat dari infeksi virus saluran

pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang


dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba

Eustakius. Virus

respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri,


sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi
bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi
lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan
tulang-tulang pendengaran

tidak dapat bergerak bebas

terhadap

getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat


merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi.
Obstruksi tuba Eustakius dapat terjadi secara intraluminal dan
ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana
proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta
akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien
dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal
dari

tuba

Eustakius,

sehingga

mekanisme

pembukaan

tuba

terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid.


Perbedaan Antara Tuba Eustakius pada Anak-anak dan Orang
Dewasa

Stadium OMA
a. Stadium Oklusi Tuba Eustakius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustakius yang
ditandai oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan
intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya
absorpsi udara. Retraksi membran

timpani terjadi

dan posisi

malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang.


Edema yang terjadi pada tuba Eustakius
tersumbat. Selain retraksi, membran

juga menyebabkannya
timpani kadang-kadang

tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh
pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi.
Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa
yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada
stadium ini.
b. Stadium Hiperemis atau Stadium Presupurasi

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di


membran

timpani,

yang

ditandai

oleh

membran

timpani

mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat


serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba
yang

berpanjangan

sehingga

terjadinya

invasi

oleh

mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga


tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini
merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan

otalgia,

telinga

rasa

penuh

dan

demam.

Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan,


tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena
terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejalagejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari.
c. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel
mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi
makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya
eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau

bulging ke arah liang telinga luar.

Pada

keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien
selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai
dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi
dapat disertai muntah dan kejang.

Stadium supurasi yang

berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan


iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan
submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang
terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis
vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran

timpani

meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa


lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot. Keadaan

stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi.


Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada
membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah
menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan
menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat
perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin
tidak menutup kembali.
d. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran

timpani

sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan


mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya
virulensi kuman.Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih
tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak. Jika
mebran

timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau

nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini


disebut otitis

media supuratif subakut. Jika kedua keadaan

tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai


dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif
kronik.
e. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali
dengan berkurangnya dan berhentinya othorrhea. Stadium resolusi
ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi
membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan
berkurang dan
Stadium
membran

ini

akhirnya kering.

berlangsung

Pendengaran kembali normal.

walaupun

tanpa

pengobatan,

jika

timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan

virulensi kuman rendah.

Apabila stadium resolusi gagal terjadi,

maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik.


Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran

timpani

menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau


hilang timbul. Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan
gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi
jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi
membran timpani.
MT Normal

MT Hiperemis

MT Bulging

MT Perforasi

f. Diagnosis
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi 3
hal berikut:
a. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
b. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan
cairan

di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah

satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya membran


timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada
membran

timpani,

terdapat

bayangan

cairan

di

belakang

membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.


c. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang
dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut,
seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri
telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua
kategori, yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringansedang adalah terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran
timpani yang menurun, terdapat
membran

timpani,

membengkak

bayangan cairan di belakang


pada

membran

timpani,

dan

othorrhea yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala
inflamasi pada telinga tengah, seperti demam,

otalgia, gangguan

pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani.


Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan
ditandai dengan demam melebihi 39,0C, dan disertai dengan otalgia
yang bersifat sedang sampai berat.
Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi

f. Penatalaksanaan

Pengobatan
Penatalaksanaan

OMA

tergantung

pada

stadium

penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk


mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan
pengobatan

lokal
pada

atau
otitis

sistemik,
media

dan

adalah

antipiretik.
untuk

Tujuan

menghindari

komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi,


mengobati

gejala,

memperbaiki

fungsi

tuba

Eustakius,

menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem


imum lokal dan sistemik. Pada stadium oklusi tuba, pengobatan
bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustakius sehingga
tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes
hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak
kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis

untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa.


Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik. Pada
stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung
dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin
atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi
dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal
diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di
dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung,
gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi
tehadap penisilin, diberikan eritromisin.

Pada anak, diberikan

ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis,


amoksisilin

atau eritromisin masing-masing

yang terbagi dalam 3 dosis.


diberikan

Pada stadium

50 mg/kgBB/hari
supurasi, selain

antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan

miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala


cepat hilang dan tidak terjadi ruptur. Pada

stadium perforasi,

sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut atau


pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3
sampai dengan

5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3

minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup


kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari.Pada stadium resolusi,
membran

timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada

lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak

terjadi resolusi biasanya

sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran


timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila
keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa
pemberian

antibiotik.

Observasi

dapat

dilakukan.

Antibiotik

dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari,
atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang
segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi

supuratif

seterusnya.

Masalah

yang

muncul

adalah

risiko

terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat.


Menurut

American

Academy

of

Pediatrics

(2004),

mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus


segera diterapi dengan ant ibiotik sebagai berikut.
Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan
OMA

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu


bersifat akut, terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda
serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah nyeri
telinga ringan dan demam kurang dari 39C dalam 24 jam terakhir.
Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat

atau

demam 39C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat


dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun,
dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan
pada anak di atas dua tahun.

Follow-up

dilaksanakan dan

pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap


diberikan pada masa observasi. Menurut The American Academic
of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan terapi lini pertama
dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal
selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap

Streptococcus

penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat


diberikan

sefalosporin seperti

amoksisilin-klavulanat

efektif

cefdinir. Terapi lini kedua seperti


terhadap

Haemophilus

influenzaedan
penumoniae.

Moraxella catarrhalis,
Pneumococcal

termasuk

7-valent

conjugate

Streptococcus
vaccinedapat

dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American


Academic of Pediatric, 2004).

Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran
timpani, supa ya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke
liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat
dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani
dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran
posterior-inferior. Bila

terapi

yang diberikan sudah adekuat,

miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di


telinga

tengah. Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA

adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti

paresis

nervus fasialis, mastoiditis, labirintitis, dan infeksi sistem saraf


pusat. Miringotomi merupakan terapi lini ketiga pada pasien yang
mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu
episode

OMA.

Salah

satu

tindakan

miringotomi

atau

timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang


memuaskan terhadap terapi lini kedua, untuk menidentifikasi
mikroorganisme melalui kultur.

Timpanosintesis
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani,
dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan
pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik
tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru
lahir

atau

pasien

yang

sistem

imun

tubuh

rendah.

Pipa

timpanostomi dapat menurunkan morbiditas OMA seperti otalgia,


efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan
dibanding

dengan

plasebo

dalam

randomized trial yang telah dijalankan.

Adenoidektomi

tiga

penelitian

prospertif,

Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis


media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah
menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi
hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA
rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak
dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas
dan rinosinusitis rekuren.
g. Komplikasi
Sebelum

adanya

antibiotik,

OMA

dapat

menimbulkan

komplikasi, mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan


meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya
didapat pada ot it is media supuratif kronik. Komplikasi OMA terbagi
kepada

komplikasi

mastoiditis

intratemporal

akut,paresis

nervus

(perforasi
fasialis,

membran

labirintitis,

timpani,

petrositis),

ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intrakranial (abses otak,


tromboflebitis).
h. Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA.
Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan
pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI minimal enam
bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan
lain-lain.
2. Otitis Media Supuratif Kronik
a. Defenisi
Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut otitis media
perforata(OMP) atau dalam sebutan sehari-hari congek. Yang disebut
otitis media supuratif kronis ialah infeksi kronis di telinga tengah
dengan perforasi membran timpanidan sekret yang keluar dari telinga
tengah terus menerus atau hilang timbul.Sekret mungkin encer atau
kental,

bening

menyebabkanOMA

atau

berupa

menjadiOMSK

nanah.
adalah

Beberapa
terapi

yang

faktor yang
terlambat

diberikan,terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, dan daya


tahan tubuh pasienrendah (gizi kurang) atau higiene buruk.
b. Etiologi
KejadianOMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media
berulang padaanak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi
biasanya

berasal

darinasofaring

(adenoiditis,

tonsilitis,

rinitis,

sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustakius. Fungsi


tuba Eustakius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang
dijumpai

pada

anak

dengancleft

palatedandown

syndrome.Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif


tinggi adalah defisiensi imun sistemik. PenyebabOMSK antara lain:
Lingkungan
Hubungan penderitaOMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas,
tetapi terdapat hubungan erat antara penderita denganOMSK dan
sosioekonomi,dimana

kelompok

sosioekonomi

rendah

memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapisudah hampir dipastikan


hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum,diet, dan
tempat tinggal yang padat.
Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama
apakahinsidenOMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid
yang dikaitkan sebagaifaktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid
lebih kecil pada penderita otitismedia, tapi belum diketahui apakah
hal ini primer atau sekunder.
Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan
dariotitis media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi
tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan
bukan yang lainnya berkembang menjadikronis.
Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah
hampir tidak bervariasi pada otitis media kronik yang aktif

menunjukkan

bahwa

metodekultur

yang

digunakan

adalah

tepat.Organisme yang terutama dijumpai adalahGram- negatif,


flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.
Infeksi saluran napas atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi
saluran napas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa
telinga

tengahmenyebabkan

menurunnya

daya

tahan

tubuh

terhadap organisme yang secaranormal berada dalam telinga


tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih
besar terhadap otitis media kronis.
Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih
tinggi

dibanding

penderita

non-alergi.

Yang

menarik

adalah

dijumpainya sebagianpenderita yang alergi terhadap antibiotik


tetes telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya,namun hal ini belum
terbukti kemungkinannya.
Gangguan fungsi tuba eustakius
Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustakius sering tersumbat
olehedema tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau
sekunder

masihbelum

diketahui.

Pada

telinga

yang

inaktif

berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba


eustakius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin
mengembalikan tekanan negatif menjadi normal.
c. Patogenesis
OMSK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal
inimerupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan
perforasi yangsudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang
terus menerus. Perforasisekunder padaOMA dapat terjadi kronis tanpa
kejadian infeksi pada telinga tengah misal perforasi kering. Beberapa
penulis menyatakan keadaan ini sebagaikeadaan inaktif dari otitis

media kronis. Suatu teori tentang patogenesisdikemukan dalam buku


modern yang umumnya telah diterima sebagai fakta.Hipotesis ini
menyatakan bahwa terjadinya otitis media nekrotikans, terutamapada
masa anak-anak, menimbulkan perforasi yang besar pada gendang
telinga.Setelah

penyakit

akut

berlalu,

gendang

telinga

tetap

berlubang, atau sembuhdengan membran yang atrofi yang kemudian


dapat kolaps kedalam telinga tengah,memberi gambaran otitis
atelektasis. Hipotesis ini mengabaikan beberapakenyataan yang
menimbulkan keraguan atas kebenarannya, antara lain: hampir
seluruh

kasus

otitis

media

akut

sembuh

dengan

perbaikan

lengkapmembran timpani. Pembentukan jaringan parut jarang terjadi,


biasanya

ditandaioleh penebalan dan bukannya atrofi.Otitis

media

nekrotikans sangat jarang ditemukan sejak digunakannyaantibiotik.Di


pihak lain, kejadian penyakit telinga kronis tidak berkurangdalam
periode

tersebut.Pasien

dengan

penyakit

telinga

kronis

tidak

mempunyai riwayat otitis akutpada permulaannya, melainkan lebih


sering berlangsung tanpa gejala danbertambah secara bertahap,
sampai diperlukan pertolongan beberapa tahunkemudian setelah
pasien menyadari adanya masalah.
d. Gejala Klinis

Telinga berair (otorrhea)


Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan
encer)tergantung

stadium

peradangan.

Sekret

yang

mukus

dihasilkan oleh aktivitaskelenjar sekretorik telinga tengah dan


mastoid. PadaOMSK tipe jinak, cairanyang keluar mukopus yang
tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa
telinga

tengah

oleh

perforasi

membran

timpani

dan

infeksi.Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya


jumlah sekret dapatdisebabkan infeksi saluran napas atas atau
kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang.
PadaOMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannyasekret telinga.
Sekret

yang

sangat

bau,

berwarna

kuning

abu-abu

kotor

memberikesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat


terlihat keping-keping kecil,berwarna putih, mengkilap. PadaOMSK
tipe ganas unsur mukoid dan sekrettelinga tengah berkurang atau
hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.Sekret yang
bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi
danpolip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya.

Suatusekret

yang

encer berair

tanpa

nyeri

mengarah kemungkinan tuberkulosis.

Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanyadijumpai
campuran.

tuli

konduktif

namun

Gangguanpendengaran

dapat

mungkin

pula

ringan

bersifat
sekalipun

proses patologi sangat hebat, karenadaerah yang sakit ataupun


kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra
ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20dB ini
ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan
danfiksasi

dari

rantai

tulang

pendengaran menghasilkan

penurunan pendengaran lebih dari 30 dB. Beratnya ketulian


tergantung dari besar dan letak perforasi membrantimpani serta
keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga
tengah.PadaOMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif
berat karenaputusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali
juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga
ambang pendengaran yang didapat harusdiinterpretasikan secara
hati-hati. Penurunan fungsi kokhlea biasanya terjadiperlahan-lahan
dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui
tingkap

bulat

(foramen

rotundum)

atau

fistel

labirin

tanpa

terjadinya labirintitissupuratif. Bila terjadinya labirintitis supuratif


akan terjadi tuli saraf berat, hantarantulang dapat menggambarkan
sisa fungsi kokhlea.

Otalgia (nyeri telinga)

Nyeri

tidak

lazim

dikeluhkan

penderitaOMSK,

dan

bila

ada

merupakansuatu tanda yang serius. PadaOMSK keluhan nyeri


dapat karena terbendungnyadrainase pus. Nyeri dapat berarti
adanya ancaman komplikasi akibat hambatanpengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atauancaman
pembentukan abses otak.

Nyeri

telinga

mungkin

ada

tetapi

mungkin olehadanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan


tanda

berkembang

komplikasiOMSK

seperti

Petrositis,

subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.

Vertigo
Vertigo pada penderitaOMSK merupakan gejala yang serius
lainnya.Keluhan

vertigo

seringkali

merupakan

tanda

telah

terjadinya fistel labirin akibaterosi dinding labirin oleh kolesteatom.


Vertigo yang timbul biasanya akibatperubahan tekanan udara yang
mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat
terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yangakan
menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan
suhu.Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan
keluhan

vertigo.Vertigo

juga

bisa

terjadi

akibat

komplikasi

serebelum.
e. Pemeriksaan Penunjang

Pemriksaan Audiometri
Pemeriksaan

audiometri

penderitaOMSK

biasanya

didapati

tulikonduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural,


beratnya ketuliantergantung besar dan letak perforasi membran
timpani serta keutuhan danmobilitas.

Pemeriksaan Radiologi.
a. Proyeksi Schuller
Memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral
dan

atas.Foto

ini

berguna

untuk

pembedahan

memperlihatkan posisi sinuslateral dan tegmen.


b. Proyeksi Mayer atau Owen

karena

Diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan tampak


gambarantulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat
diketahui apakahkerusakan tulang telah mengenai strukturstruktur.
c. Proyeksi Stenver
Memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan
yang lebihjelas memperlihatkan kanalis auditorius interna,
vestibulum

dan

menempatkan

kanalis

antrum

semisirkularis.

dalam

Proyeksi

potonganmelintang

dapat menunjukan adanya pembesaran.


d. Proyeksi Chause III
Memberi gambaran atik secara longitudinal
dapatmemperlihatkan
Politomografi

kerusakan

danatau

CT

dini

scan

dinding

dapat

ini

sehingga

sehingga

lateral

atik.

menggambarkan

kerusakan tulang oleh karenakolesteatom.Bakteriologi bakteri


yang

sering

dijumpai

padaOMSK

adalah

Pseudomonas

aeruginosa,Stafilokokus aureus dan Proteus. Bakteri lain yang


dijumpaipadaOMSK

E.

Coli,

Difteroid,

Klebsiella,

dan

Bacteriodessp.
f. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatanOMSK adalah:
a.
b.
c.
d.

Membersihkan liang telinga dan kavum timpani.


Pemberian antibiotika:
Topikal antibiotik ( antimikroba)
Sistemik.
Pengobatan untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan

konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi


sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses
subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri
sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada beberapa jenis
pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK
dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara
lain:
a. Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)
b. Mastoidektomi radikal

c.
d.
e.
f.

Mastoidektomi radikal dengan modifikasi


Miringoplasti
Timpanoplasti
Pendekatan
ganda
timpanoplasti

(Combined

approach

tympanoplasty)
Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen,
memperbaiki membrane timpani yang perforasi, mencegah terjadinya
komplikasi

atau

kerusakan

pendengaran

yang

lebih

berat,

serta memperbaiki pendengaran.


g. Komplikasi
1. Komplikasi ditelinga tengah:
a. Perforasi persisten
b. Erosi tulang pendengaran
c. Paralisis nervus fasial
2. Komplikasi telinga dalam:
a. Fistel labirinLabirintitis supuratif
b. Tuli saraf (sensorineural)
3. Komplikasi ekstradural:
a. Abses ekstradural
b. Trombosis sinus lateralis
c. Petrositis
4. Komplikasi ke susunan saraf pusat
a. Meningitis
b. Abses otak
c. Hindrosefalus otitis
B. Otitis Media Nonsupuratif/Serosa
a. Defenisi
Otitis media nonsupuratif atau sering disebut serosa adalah
keadaan terdapatnya sekret yang nonpurulen di telinga tengah,
sedangkan membran timpani utuh. Adanya cairan di telinga tengah
dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi disebut juga
otitis media dengan efusi. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis
media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem disebut
otitis media mukoid (glue ear). Otitis media serosa otitis media
mukoid memiliki etiologi yang sama. Otitis media serosa disebabkan
oleh trnasudasi plasma dari pembuluh darah ke dalam rongga telinga
tengah yang terutama disebabkan perbedaan tekanan hidrostatik,

sedangkan otitis media mukoid disebabkan sekresi aktif kelenjar dan


kista pada lapisan epitel telinga tengah. Disfungsi tuba eustakius
merupakan suatu faktor penyebab utama. Faktor penyebab lainnya
termasuk hipertrofi adenoid, adenoiditis kronik, platoskisis, tumor
nasofaring, barotrauma, radang penyerta seperti sinusitis atau
rhinitis, terapi radiasi dan gangguan metabolik atau imunologik dan
alergi.
Pada dasarnya otitis media serosa dibagi atas dua jenis, yaitu :
1. Otitis media serosa akut (Barotrauma)
Adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba
tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Otitis media
serosa akut lebih sering terjadi pada orang dewasa
Keadaan akut ini dapat disebabkan oleh :

sumbatan tuba, misalnya pada barotrauma

virus, biasanya infeksi virus saluran napas atas

alergi pada jalan napas atas

idiopatik

Gejala dan tanda:

Gejala yang menonjol adalah pendengaran berkurang

Telinga terasa tersumbat

Suara sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda pada


telinga yang sakit (diplacusis binauralis)

Kadang terasa ada cairan yang bergerak pada telinga saat


posisi kepala berubah.

Terdapat sedikit nyeri pada telinga saat awal tuba terganggu


dimana timbul tekanan negatif pada telinga tengah (misalnya
pada barotrauma). Setelah sekret terbentuk, tekanan ini
pelan pelan menghilang.

Nyeri tidak ada jika penyebabnya virus atau alergi

Kadang terdapat vertigo, tinitus, pusing

Pada otoskop, membran timpani terlihat retraksi. Kadang


terlihat gelembung udara atau permukaan cairan pada cavum
timpani

Tuli konduktif dapat terdeteksi dengan garpu tala

Pengobatan :

Medika mentosa
Yaitu : obat vasokostriktor lokal(tetes hidung), antihistamin

Pembedahan
Dilakukan jika dalam 1 atau 2 minggu gejala masih menetap.
Dilakukan

miringotomi,

serta

pemasangan

pipa

ventilasi( grommet tube)


2. Otitis media serosa kronik (glue ear)
Adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara
bertahap tanpa rasa nyeri dengan gejala gejala pada telinga yang
berlangsung lama. Bila sekret kental seperti lem maka disebut glue
ear. Otitis media serosa kronik sering terjadi pada anak anak.
Otitis media serosa unilateral pada orang dewasa tanpa penyebab
yang jelas harus dipikirkan kemungkinan karsinoma nasofaring.
Otitis media serosa kronik dapat terjadi sebagai gejala sisa dari
otitis media akut yang tidak sembuh sempurna , infeksi virus,
keadaan alergi, atau gangguan mekanis pada tuba.
Gejala dan tanda :

Tuli lebih menonjol daripada otitis media serosa akut, yaitu


40- 50 dB

Membran

timpani

terlihat

utuh,

retraksi,suram,

kuning

kemerahan atau keabu-abuan


Pengobatan :

Jika masih baru, bisa diberikan dekongestan tetes hidung


serta

kombinasi

anti

histamin

oral.Pengobatan dilakukan selama 3 bulan.

dekongestan

per

Jika

pengobatan

medikamentosa

tidak

berhasil,maka

dilakukan pengeluarkan sekret dengan miringotomi dan


memasang pipa ventilasi (grommet tube)

Atasi/obati faktor penyebab, seperti alergi, pembesaran


adenoid atau tonsil,infeksi hidung atau sinus

C. Otitis Media Adhesiva


Otitis media adhesiva adalah keadaan terjadinya jaringan
fibrosis di telinga tengah akibat proses peradangan yang berlangsung
lama sebelumnya. Keadaan ini dapat merupakan komplikasi dari otitis
media supuratif atau non supuratif yang menyebabkan rusaknya
mukosa telinga tengah. Gejala klinis berupa pendengaran berkurang
dengan adanya riwayat infeksi telinga sebelumnya, terutama di
waktu kecil. Pada pemeriksaan otoskopik gambaran membran timpani
dapat bervariasi mulai dari sikatriks minimal, suram sampai sikatriks
berat disertai bagian-bagian yang atrofi atau plak timpanosklerosis.
D. Atelektasis Telinga Tengah
Atelektasis telinga tengah adalah retraksi sebagian atau seluruh
membran timpani akibat gangguan fungsi tuba yang kronik. Keluhan
mungkin tidak ada atau berupa gangguan pendengaran ringan. Pada
pemeriksaan otoskopik tampak membran timpani menjadi tipis atau
atrofi bila retraksi berlangsung lama. Pada kasus yang tidak terlalu
berat retraksi mungkin terjadi hanya pada satu kuadran saja,
sedangkan pada kasus yang lanjut seluruh membran timpani dapat
menempel pada inkus, stapes dan promontorium.
III. OTOSKLEROSIS
a. Defenisi
Otosklerosis

adalah

penyakit

primer

dari

tulang-tulang

pendengaran dan kapsul tulang labirin. Otosklerosis adalah suatu


penyakit pada tulang pada bagian telinga tengah khususnya pada
stapes yang disebabkan pembentukan baru tulang spongiosus dan
sekitar jendela ovalis sehingga dapat mengakibakan fiksasi pada
stapes.

b. Etiologi

Penyebab dari otosklerosis masih belum diketahui dengan jelas

(idiopatik)
Pendapat umumnya diturunkan secara autosomal dominan.
Bukti ilmiah yang menyatakan adanya infeksi virus measles yang

mempengaruhi otosklerosis.
Beberapa berpendapat bahwa infeksi kronik measles di tulang
merupakan predisposisi pasien untuk terkena otosklerosis. Materi
virus dapat ditemukan di osteoblas pada lesi sklerotik.

c. Patofisiologi
Patofisiologi dari otosklerosis sangat kompleks. Kunci utama lesi
dari otosklerosis adalah adanya multifokal area sklerosis diantara
tulang endokondral temporal. Ada 2 fase patologik yang dapat
diidentifikasi dari penyakit ini yaitu:
1. Fase awal otospongiotic
Gambaran histologis: terdiri dari histiosit, osteoblas, osteosit
yang merupakan grup sel paling aktif. Osteosit mulai masuk ke pusat
tulang disekitar pembuluh darah sehingga menyebabkan pelebaran
lumen pembuluh darah dan dilatasi dari sirkulasi. Perubahan ini dapat
terlihat sebagai gambaran kemerahan pada membran timpani.
Schwartze sign berhubungan dengan peningkatan vascular dari
lesi

yang

mencapai

daerah

permukaan

periosteal.

Dengan

keterlibatan osteosit yang semakin banyak, daerah ini menjadi kaya


akan substansi dasar amorf dan kekurangan struktur kolagen yang
matur dan menghasilkan pembentukkan spongy bone . Penemuan
histologik ini dengan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin dikenal
dengan nama Blue Mantles of Manasse.
2. Fase akhir otosklerotik
Fase otosklerotik dimulai ketika osteoklas secara perlahan
diganti oleh osteoblas dan tulang sklerotik yang lunak dideposit pada
area resorpsi sebelumnya. Ketika proses ini terjadi pada kaki stapes
akan menyebabkan fiksasi kaki stapes pada fenestra ovale sehingga

pergerakan stapes terganggu dan oleh sebab itu transmisi suara ke


koklear terhalang. Hasil akhirnya adalah terjadinya tuli konduktif.
Jika otosklerosis hanya melibatkan kaki stapes, hanya sedikit fiksasi
yang terjadi. Hal seperti ini dinamakan biscuit footplate. Terjadinya
tuli

sensorineural

pada

otosklerosis

dihubungkan

dengan

kemungkinan dilepaskannya hasil metabolisme yang toksik dari luka


neuroepitel, pembuluh darah yang terdekat, hubungan langsung
dengan lesi otosklerotik ke telinga dalam.
Pathway
Fase
Otospongiot
ik
Fase akhir
Otosklerotik

Herediter
Gen autosomal dominan monohibrid
Terbentuk tulang rawan

Koklea

Tuli

Fiksasi

Tuli

Tuli

Gg. Persepsi
Sensori

Gangguan
harga diri

Hospitalisasi
Kurang
pengetahuan
Serangan
Dizzne
s
Mual

munta
h

Peluh
dingin

Resti nutrisi
kurang dari
Nyeri

gg. istirahat
tidur
Pembedaha
n
Resti Infeksi

Kebanyakan kasus dari otosklerosis menyebabkan tuli konduktif


atau campur. Untuk kasus dari sensorineural murni dari otosklerosis
itu sendiri masih kontroversial. Kasus sensorineural murni karena
otosklerosis dikemukakan oleh Shambaugh Sr. tahun 1903. Tahun
1967, Shambaugh Jr. menyatakan 7 kriteria untuk mengidentifikasi
pasien yang menderita tuli sensorineural akibat koklear otosklerosis:

Tanda Schwartze yang positif pada salah satu/ke dua telinga

Adanya keluarga yang mempunyai riwayat otosklerosis

Tuli sensorineural progressive pendengaran secara simetris,


dengan fiksasi stapes pada salah satu telinga

Secara tidak biasa adanya diskriminasi terhadap ambang


dengar untuk tuli sensorineural murni

Onset

kehilangan

pendengaran

pada

usia

yang

sama

terjadinya fiksasi stapes dan berjalan tanpa etiologi lain yang


diketahui

CT-scan pada pasien dengan satu atau lebih kriteria yang


menunjukan demineralisasi dari kapsul koklear

Pada timpanometri ada fenomena on-off.

d. Epidemiologi
1. Ras
Beberapa studi menunjukan bahwa otosklerosis umumnya terjadi
pada ras Kaukasian. Sekitar setengahnya terjadi pada populasi
oriental. Dan sangat jarang pada orang negro dan suku Indian

Amerika. Populasi multiras yang termasuk Kaukasian memiliki


resiko peningkatan insiden terhadap otosklerosis.
2. Faktor Keturunan
Otosklerosis biasanya dideskripsikan sebagai penyakit yang
diturunkan secara autosomal dominant dengan penetrasi yang
tidak lengkap (hanya berkisar 40%). Derajat dari penetrasi
berhubungan dengan distribusi dari lesi otosklerotik lesi pada
kapsul tulang labirin.
3. Gender
Otosklerosis sering dilaporkan 2 kali lebih banyak pada wanita
disbanding pria. Bagaimanapun, perkiraan terbaru sekarang
mendekati ratio antara pria:wanita 1:1. Penyakit ini biasanya
diturunkan tanpa pengaruh sex- linked, jadi rasio 1:1 dapat
terjadi. Ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa perubahan
hormonal selama kehamilan dapat menstimulasi fase aktif dari
otosklerosis, yang menyebabkan peningkatan gambaran klinis
kejadian otosklerosis pada wanita. Onset klinik selama kehamilan
telah dilaporkan sebanyak 10% dan 17%. Risiko dari peningkatan
gangguan pendengaran selama kehamilan atau pemakaian oral
kontrasepsi pada wanita dengan otosklerosis adalah sebesar 25
%. Penjelasan lain yang mungkin akan peningkatan prevalensi
otosklerosis pada wanita adalah bilateral otosklerosis tampaknya
lebih sering pada wanita dibanding pria (89% dan 65 %). Memiliki
dua

telinga

yang

terkena

kelihatan

akan

meningkatkan

kunjungan ke klinik
4. Sejarah keluarga
Sekitar 60% dari pasien dengan klinikal otosklerosis dilaporkan
memiliki keluarga dengan riwayat yang sama.
5. Usia
Insiden dari klinikal otosklerosis meningkat sesuai bertambahnya
umur. Evidence mikroskopik terhadap otospongiosis ditemukan
pada autopsi 0,6 % individu yang berumur kurang dari 5 tahun.
Pada pertengahan usia, insiden ditemukannya adalah 10 % pada
orang kulit putih dan sekitar 20% pada wanita berkulit putih. Baik

aktif atau tidak fase penyakitnya, terjadi pada semua umur,


tetapi aktivitas yang lebih tinggi lebih sering terjadi pada mereka
yang berumur kurang dari 50 tahun. Dan aktivitas yang paling
rendah biasanya setelah umur lebih dari 70 tahun. Onset klinikal
berkisar antara umur 15-35 tahun, tetapi manifestasi penyakit itu
sendiri dapat terjadi paling awal sekitar umur 6 atau 7 tahun, dan
paling lambat terjadi pada pertengahan 50-an.
6. Predileksi
Menurut data yang dikumpulkan dari studi terhadap tulang
temporal, tempat yang paling sering terkena Otosklerosis adalah
fissula ante fenestram yang terletak di anterior jendela oval
(80%-90%). Tahun 1985, Schuknecht dan Barber melaporkan
area dari lesi otosklerosis yaitu:

tepi dari tempat beradanya fenestra rotundum

dinding medial bagian apeks dari koklea

area posterior dari duktus koklearis

region yang berbatasan dengan kanalis semisirkularis

kaki dari stapes sendiri.

e. Tanda dan Gejala


Penurunan pendengaran secara progresif
Tinnitus (telinga berdenging)
vertigo
Ketulian 30-40 db (desible)
f. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
a. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi : Membran timpani biasanya normal pada sebagian
besar

kasus.

Schwartze Sign.

Hanya

sekitar

10%

yang

menunjukan

2) Palpasi
3) Pada

: Tak adanya nyeri tekan.


pemeriksaan

garputala

menunjukkan

kesan

tuli

konduktif, memberi gambaran hantaran tulang lebih kuat


dari pada hantaran udara (rinne negative ).
4) Tes webber menunjukkan lateralisasi kearah telinga yang
memiliki derajat conduting hearing loss lebih besar.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Audiogram merupakan kunci penelusuran secara objektif
dari otosklerosis. Gambaran biasanya konduktif, tetapi dapat
juga mixed atau sensorineural.
2) CT scan dapat mengidentifikasi pasien dengan vestibular
atau koklear otosklerosis.
g. Penatalaksanaan
Penyakit akan berkembang lebih cepat tergantung pada faktor
lingkungan seperti kehamilan. Gangguan pendengaran akan berhenti
stabil maksimal pada 50-60 db.
a. Amplifikasi
Alat Bantu dengar baik secara unilateral atau bilateral dapat
merupakan terapi yang efektif. Beberapa pasien yang bukan
merupakan

kandidat

yang

cocok

untuk

operasi

dapat

menggunakan alat bantu dengar ini.


b. Terapi Medikamentosa
Tahun 1923 Escot adalah orang pertama yang menemukan
kalsium florida untuk pengobatan otosklerosis. Hal ini diperkuat
oleh

Shambough

yang

memprediksi

stabilasi

dari

lesi

otosklerotik dengan penggunaan sodium florida. Ion florida


membuat komplek flourapatit. Dosis dari sodium florida adalah
20-120 mg/hari.
Brooks menyarankan penggunaan florida yang dikombinasi
dengan 400 U vitamin D dan 10 mg Calcium Carbonate
berdasar teori bahwa vit D dan CaCO3 akan memperlambat lesi

dari otosklerosis. Efek samping dapat menimbulakan mual dan


muntah tetapi dapat diatasi dengan menguarangi dosis atau
menggunakan enteric-coated tablets. Dengan menggunakan
regimen ini, sekitar 50 % menunjukan symptom yang tidak
memburuk, sekitar 30 % menunjukan perbaikan.
c. Terapi Bedah
Pembedahan akan membutuhkan penggantian seluruh atau
sebagian dari fiksasi stapes (stapedectomy ).
Indikasi Bedah
1. Tipe otosklerosis oval window dengan berbagai variasi derajat
fiksasi stapes
2. Otosklerosis atau fiksasi ligamen anularis oval window pada
otitis media kronis (sebagai tahapan prosedur)
3. Osteogenesis imperfekta
4. Beberapa keadaan anomali kongenital
5. Timpanosklerosis di mana pengangkatan stapes diindikasikan
(sebagai tahapan operasi)
h. Diagnosis Banding.
Otosklerosis terkadang sulit untuk dibedakan dengan penyakit
lain yang mengenai rangkaian tulang-tulang pendengaran atau
mobilitas membran timpani. Diagnosis final sering ditunda sampai
saat bedah eksplorasi.
a. Fiksasi kepala malleus, menyebabkan gangguan konduktif
yang serupa dan dapat terjadi pada konjugasi dari fiksasi
stapes.
b. Congenital

fixation

of

stapes,

dapat

terjadi

karena

abnormalitas dari telinga tengah dan harus dipertimbangkan


pada kasus gangguan pendengaran yang stabil semenjak kecil.
c. Otitis

Media

menyerupai

Sekretoria
otosklerosis,

Kronis,
tetapi

dengan

otoskop

timpanometri

dapat
dapat

mengindikasi adanya cairan di telinga tengah pada otitis


media.

d. Timpanosklerosis, dapat menimpa satu atau lebih tulang


pendengaran. Gangguan konduktif mungkin sama dengan
yang terlihat pada otosklerosis.
e. Osteogenesis
Syndrome),

imperfecta
adalah

(van

kondisi

der

Hoeve

autosomal

de

dominan

Kleyn
dimana

terdapat defek dari aktivitas osteoblast yang menghasilkan


tulang yang rapuh dan bersklera biru.
IV. KOLESTEATOMA
a. Defenisi
Kolesteatoma diartikan sebagai adanya epitel skuamosa pada
telinga tengah, mastoid, atau epitimpanum. Normalnya, celah telinga
tengah dilapisi oleh berbagai jenis epitel di berbagai regio: kolumnar
bersilia di bagian anterior dan inferior, kuboidal di bagian tengah dan
pavement-like di bagian attic. Telinga tengah tidak dilapisi oleh epitel
skuamosa berkeratin. Oleh karena itu, adanya epitel skuamosa pada
telinga tengah, mastoid, atau epitimpanum disebut kolesteatoma.
Dengan kata lain, cholesteatoma adalah "kulit di tempat yang salah".
Pada kenyataannya, istilah kolesteatoma adalah keliru, karena tidak
mengandung kristal kolesterol dan bukan tumor untuk mendapat
akhiran

"oma".

Namun,

istilah

penggunaannya yang lebih luas.18

ini

dipertahankan

karena

Pada dasarnya, cholesteatoma

terdiri dari dua bagian, (i) matriks, yang terdiri dari epitel skuamosa
berkeratin yang bertumpu pada stroma jaringan ikat dan (ii) central
white mass, yang terdiri dari debris keratin yang dihasilkan oleh
matriks. Maka, kolesteatoma juga disebut sebagai epidermosis atau
keratoma.
b. Epidemiologi
Insidensi dari kolesteatoma sangat beragam berdasarkan pada
penilitian yang telah dilakukan dibeberapa negara. Di Skotlandia
ditemukan

insidensi

sebesar

13

per

100.000

mengalami

kolesteatoma, sedangkan di Amerika Serikat ditemukan insidensi

yang lebih rendah yaitu 7 per 100.000 pertahunnya. Di Israel


insidensi dari penanganan operasi yang dilakukan pada pasien
dengan kolesteatoma sebsar 66 dari 100.000 penduduk.
Baik

laki-laki

ataupun

perempuan

dapat

mengalami

kolesteatoma ini, dengan perbandingan laki-laki berbanding wanita


sebesar 3:2. Kolesteatoma yang terjadi pada anak-anak ditemukan
akan

lebih

sering

mesotympanum,

berdampak

sel

pada

retrolabirin

tuba

dan

eustachius,

prosesus

anterior

mastoid

jika

dibandingkan dengan orang dewasa. Berdasarkan bukti klinis dan


pemeriksaan histologi diketahui bahwa kolesteatoma yang terjadi
pada anak pada umumnya bersifat lebih agresif.
c. Klasifikasi
1. Kongenital
Kolesteatoma congenital terjadi sebagai konsekuensi dari epitel
skuamosa

yang

terjebak

dalam

tulang

temporal

selama

embriogenesis. Kolesteatoma congenital biasanya ditemukan di


anterior mesotympanum atau di dalam area perieustachian tube.
Mereka diidentifikasi paling sering pada anak-anak usia 6 bulan
hingga 5 tahun. Selama kolesteatoma membesar, kolesteatoma dapat
menyumbat tuba eustachius dan memproduksi cairan telinga tengah
kronis dan mengakibatkan tuli konduktif. Kolesteatoma juga dapat
melebar

ke

arah

posterior

dan

mengelilingi

tulang-tulang

pendengaran hingga menyebabkan tuli konduktif. Tidak seperti tipe


kolesteatoma lainnya, kolesteatoma congenital biasnaya diidentifikasi
di belakang membran timpani yang masih utuh dan terlihat normal.
Anak biasanya tidak memiliki sejarah infeksi telinga berulang, tidak
pernah dioperasi telinga sebelumnya, dan tidak memiliki sejarah
perforasi membran timpani.

Gambar 9. Congenital cholesteatoma


2. Primary acquired
Kolesteatoma acquired primer terjadi karena retraksi membran
timpani,

retraksi

epitympanum

ke

dalam

(scutum)

medial

secara

pars

progresif.

flaccida
Selama

ke

dalam

proses

ini

berlangsung, dinding lateral epitympanum (scutum) secara perlahan


mengalami erosi sehingga terjadi kerusakan pada dinding lateral
epitympanum yang perlahan-lahan meluas. Membran timpani terus
mengalami retraksi kearah medial hingga melewati kepala tulang
pendengaran dan ke dalam epitympanum. Sering terjadi kerusakan
pada tulang pendengaran. Bila kolesteatoma mengarah ke posteror
ke dalam aditus ad antrum dan mastoid, erosi dari tegmen
mastoideum dengan eksposur dari dura dan atau erosi dari lateral
kanalis semisirkularis hingga terjadi ketulian dan vertigo dapat terjadi.
(15)

Tipe kedua dari acquired kolesteatoma primer terjadi saat kuadran


posterior dari membran timpani teretraksi ke dalam telinga tengah
bagian posterior. Drum akan menempel ke bagian panjang dari incus.
Saat retraksi terus terjadi ke arah medial dan posterior, epitel
skuamosa

akan

menutupi

struktur

dari

stapes

dan

kemudian

mengalami retraksi ke dalam sinus timpani. Kolesteatoma primer


terjadi dari membran timpani posterior akan mudah mengakibtakan
eksposur ke nerves fasialis (dapat mengakibatkan paralisis) dan
kerusakan struktur stapedial.

Gambar 10
3. Secondary acquired
Kolesteatoma acquired sekunder terjadi karena konsekuensi
langsung terjadap injuri pada membran timpani. Kerusakan ini dapat
dalam bentuk perforasi yang terjadi karena otitis media akut atau
trauma, atau dapat terjadi karena manipulasi operasi dari drum.
Prosedur
implantasi

simple
epitel

menyebabkan

seperti

tympanostomy

skuamosa

terbentuknya

ke

dalam

dapat
telinga

kolesteatoma.

mengakibatkan
tengah

Perforasi

hingga
posterior

marginal paling sering menyebabkan formasi kolesteatoma. Walaupun


perforasi tipe central jarang mengakibatkan kolesteatoma, perforasi
central juga dapat mengakibatkan kolesteatoma. Kantung retraksi
dalam apapun dapat menyebabkan terjadinya formasi kolesteatoma
bila kantung retraksi menjadi cukup dalam untuk menjebak epitel
yang mengalami deskuamasi.

d. Patofisiologi

1. Kolesteatoma Kongenital
Patogenesis kolesteatoma kongenital

masih diperdebatkan

hingga saat ini. Ada beberapa teori yang dipakai untuk menjelaskan
patogenesis dari kolesteatoma kongenital.(19)

Epithelial rest theory


Teori ini dipopulerkan oleh Teed pada tahun 1936 kemudian
penemuan ini dikonfirmasi oleh Michaels pada tahun 1986. Teed
mengemukakan bahwa ia menemukan adanya sisa sel epitelial
pada tulang temporal fetus yang normalya menghilang pada
minggu ke-33 gestasi. Adanya sel epitelial tersebut menjadi
pencetus terjadinya kolesteatoma kongenital. Sisa sel epitelial ini
ditemukan

pada

dinding

lateral

tuba

eustachius,

di

bagian

proksimal tympanic ring, di kuadran anterosuperior dari telinga


tengah. Dikemukakan bahwa cedera inflamasi pada membran
timpani yang intak akan mengakibatkan mikroperforasi pada
lapisan basalis. Kemudian hal ini membuat invasi dari epitel
skuamosa dengan adanya aktivitas proliferasi epithelial cones.
Epithelial cones ini kemudian terus berproliferasi, menyebar dan
terus berekspansi dan membentuk kolesteatoma pada telinga
tengah.

(19,20)1

Acquired inclusion theory

Teori

ini

dipopulerkan

oleh

Tos.

Tos

mengobservasi

dan

menemukan bahwa kolestatoma anteroposterior sering mengalami


penempelan pada bagian anterior handle atau neck dari maleus,
dan posterior kolestatoma, lebih sering menempel pada bagian
posterior handle malleus dan incudostapedial joint. Lokasi ini jauh
dari anterior annulus timpani dan dinding lateral tuba eustachius
seperti yang dikemukan pada teori epitelial rest. Tod berspekulasi
bahwa lokasi originnya adalah lateral tuba eustachius dan daerah
anterior dari annulus timpani. Kolesteatoma akan memblok tuba
eusthacius sebelum menyebar ke kavitas timpani dan handle dari
malleus. Kemudian, Tos mengemukakan teori inklusi sebagai
penjelasan
berspekulasi

patogenesis
bahwa

dari

epitel

kolesteatoma
skuamosa

kongenital.

berkeratin

Tos

mungkin

berimplantasi ke kavitas timpani selama proses patologi pada


membran timpani dan telinga tengah pada anak-anak. .(19,20)
Sel epitel berkeratin dari membran timpani yang retraksi dan
menempel pada handle malleus, malleus neck, atau process longus
dari incus tertinggal setelah drum mengalami pelonggaran dan
termasuk di kavitas timpani.

Fig. 1. Acquired inclusion theory suggested by Tos.


Ada

mekanisme

dikemukakan oleh Tos.


-

yang

menjelaskan

teori

inklusi

yang

(19)

Membran timpani retraksi dan menempel pada handle malleus,


malleus neck, atau process longus dari incus, yang akan

melonggar dan robek, meninggalkan cuff kecil dari epitel


keratin yang menempel pada ossiculus dengan robekan residual
kecil

pada

mengalami
-

membran
pemulihan,

timpani.

Ketika

epitelium

robekan

tersebut

tersebut
membuat

pembentukan inklusi kolesteatoma. (A1,2)


Robekan tangetial terbentuk bersamaan dengan membran
timpani yang teretraksi dan menjadi longgar dari strukturnya
yang mengakibatkan sisa sel epiteliaal tertinggal di rongga
telinga tengah tanpa adanya perforasi dari membran timpani

yang kemudian mengakibatkan inklusi kolestatoma. (B1, 2)


Mikroperforasi dari membran timpani yang mengalami trauma
atau perlukaan mengakibatkan invasi dari lapisan basalis oleh

epitelial cones.(C1, 2)
Sama dengan mekanisme sebelumnya, inflamasi yang berulang
pada membran timpani mengakibatkan proliferasi epitelial
cones yang pentrasi ke lapisan basalis dan proliferasi ke ruang
subepitel. (D1, 2)

Fig. 2. Site of origin and patterns of spread of congenital


cholesteatoma according to (A) Tos acquired inclusion theory
and (B) Teed-Michaels epidermal rest theory.
Stadium pada kongenital kolesteatoma :

(20)

Stage I Terbatas pada 1 kuadran


Stage II Melibatkan beberapa kuadran tanpa melibatkan
ossiculus
Stage III Melibatkan ossiculus tanpa ektensi ke mastoid

Stage IV Melibatkan mastoid

(67% resiko kolesteatoma

residual)
Klasifikasi Kolesteatoma Kongenital
Berdasarkan lokasi kolestatoma, kongenital kolesteatoma dibagi
menjadi 3 tipe, yaitu(22) :
Type 1 Terbatas pada telinga tengah, ossiculus tidak terlibat
Type 2 Melibatkan kuadran posterior superior dan attic
Type 3 Campuran tipe 1 dan 2 serta mastoid
Kolesteatoma Kongenital : (20)
Kriteria
White mass pada telinga tengah, dengan membran

timpani yang normal

Normal pars flaccida and pars tensa

Tidak

ada

riwayat

otorrhea

atau

perforasi

sebelumnya
Tidak ada riwayat prosedur otologi sebelumnya

Terapi Kolesteatoma Kongenital(20)


Type 1 Tympanotomy, dan tidak diperlukan second-look reoperation.
Type 2 Tympanotomy.

Ada kemungkinan dilaksanakan

atticotomy dan canal wall up tympano-mastoidectomy dengan


atau tanpa pembukaan facial recess.

Dibutuhkan secod look

operation dan kemungkinan rekonstruksi ossiculus.


Type 3 Sama dengan tipe 2, namun terkadang membutuhkan
tindakan canal wall down tympanomastoidectomy.

Gambar 11
Kolesteatoma congenital, masa berwarna putih terlihat di belakang
drum yang utuh.
2. Kolesteatoma acquired primer
Teori patogenesis :

Invaginasi

dari

membran

timpani

(kolesteatoma

kantung

retraksi)
Teori Hyperplasia sel basal atau papillary ingrowth
Metaplasia skuamosa dari epitel telinga tengah
1. Teori Invaginasi / kantung retraksi
Disfungsi tuba eustachius dipikirkan menyebabkan retraksi
membran

timani

sehingga

mnyebabkan

tekanan

negatif

di

epitympanic space sehingga pars flaccida tertarik kearah medial ke


atas meleus dan menyebabkan terjadinya kantung retraksi.. Pars
flaccid yang tidak memiliki lapisan fibrosa akan lebih mudah terkena
kondisi ini. Kantung retraksi akan menyebabkan gangguan pada
fisiologi

normal

migrasi

epitel

sehingga

memicu

terjadinya

pengumpulan keratin. Saat kantung retraksi menekan semakin ke


dalam, keratin yang mengalami deskuamasi berakumulasi dan tidak
dapat dikeluarkan dari kantung hingga menyebabkan terjadinya
kolesteatoma.(14)
Membran timpani terus mengalami retraksi kearah medial
hingga

melewati

kepala

tulang

pendengaranan

hingga

terjadi

kerusakan pada tulang pendengaran. Bila kolesteatoma mengarah ke


posterior ke dalam aditus ad antrum dan mastoid, erosi dari segmen
mastoideum dengan eksposur dari dura dan atau erosi dari lateral
kanalis semisirkularis dapat mengakibatkan terjadinya ketulian dan
vertigo.(15)
Perubahan

geometris

akibat

retraksi

yang

progresif

mengakibatkan penyempitan dari jalan anatomis dan gangguan


migrasi epitel hingga mengganggu proses pembersihan debris
keratin. Saat kantung terbentuk semakin kearah dalam dan berada

diantara lipatan mukosa dengan crevices, ia menjadi tidak bisa


membersihkan debris dengan sendirinya hingga terjadi penumpukan
debris keratin. Proliferasi bakteri dan infeksi super dari akumulasi
debris membentuk suatu biofilm yang akan mengakibatkan terjadinya
infeksi kronik dan proliferasi epitel. Chole dan Faddis menganalisa
adanya matrix biofilm pada debris kolesteatoma. Baru-baru ini , Wang
menemukan

adanya

strain

otopatogenik

dari

pseudomonas

aeruginosa yang mampu memproduksi biofilm dan memiliki tingkat


resisitensi yang tinggi terhadap antimikroba. Penemuan ini secara
kuat

menunjukan

kolesteatoma.

adanya

Telah

peran

ditemukan

biofilm

bahwa

dalam

kombinasi

patogenesis
dari

retraksi

membtran timpani dan proliferasi sel basal merupakan penyebab


utama formasi dan proses pembentukan kolesteatoma.(19)
Saat

debris

menjadi

terinfeksi,

proliferasi

bakteri

dan

peradangan mengakibatkan influx dari sel-sel radang dan produksi


sitokin.

Progresi

mengakibatkan

ini

dengan

kerusakan

disertai

pada

pengeluaran

membran

kolagenase

basement

hingga

membolehkan terjadinya formasi cone epitel yang tumbuh ke dalam


stroma (teori papillary ingrowth). Kombinasi dari invasi subepitel dan
proliferasi keratinosit dalam bentuk mikrokolesteatoma merupakan
awal dari terbentuknya stage prekolesteatoma dari kolesteatoma.
Saat microcone meluas dan bergabung menjadi satu, terbentuklah
kolesteatoma tipe attic.
Invasi epitel oleh kolesteatoma merupakan factor penting dalam
penyakit ini. Kolesteatoma meluas dengan menginvasi ke sekitar
jaringan lunak telinga tengah serta ke tulang. Tokuriki menemukan
bahwa adanya peningkatan atau induksi gen yang menyangkut
proliferasi sel (calgranulin A, calgranulin B, psoriasin, thymosin b-10)
pada sitoplasma dari semua lapisan epitel kolesteatoma. Family
cathepsin merupakan grup protease lysosomal yang memegang
peranan penting dalam degradasi protein intrasel serta ekstrasel di
epidermis. Cathepsin B memegang peranan penting dalam osteolysis

pada kolesteatoma. Peningkatan proliferasi keratinosit bergabung


dengan peningkatan kematian sel mengakibatkan lebih banyak
produksi debris keratin yang bertanggung jawab untuk ekspansi dan
akumulasi keratin pada kolesteatoma.(19)
Setelah terbentuk, kolesteatoma akan memicu peradangan oleh
sitokin yang akan menyebabkan aktivasi osteoclast dan lysozyme
yang akan merusak tulang pendengaran hingga menyebabkan tuli
konduktif, dan saat kerusakan sampai ke kanalis semisirkularis akan
menyebabkan terjadinya tuli sensorineural hingga akhirnya dapat
terjadi

komplikasi

menyebabkan

dan

eksposur

menginvasi
ke

nerves

kanalis
fasialis

fasialis

dan

hingga

menyebabkan

terjadinya paralisis nerves fasialis.(19) Penemuan di atas menunjukan


perbedaan antara kolesteatoma dengan epidermal keratinosit normal
sehingga menjelaskan sifat agresif klinis dari kolesteatoma serta
bagaimana ia menginvasi dan menyebabkan kerusakan tulang.(19)

Retraksi pars

flaccida
Retraksi pars

tensa

Regio Telinga Tengah

Lokasi Tersering

Kolesteatoma Berasal 1.

Epitympanum

posterior, 2 Mesotympanum

posterior, 3.

Epitympanum Anterior

Tipe kedua dari acquired kolesteatoma primer terjadi saat


kuadran posterior dari membran timpani teretraksi ke dalam telinga
tengah bagian posterior. Drum akan menempel ke bagian panjang
dari incus. Saat retraksi terus terjadi ke arah medial dan posterior,
epitel skuamosa akan menutupi struktur dari stapes dan kemudian
mengalami retraksi ke dalam sinus timpani. Kolesteatoma primer
terjadi dari membran timpani posterior akan mudah mengakibtakan

eksposur ke nerves fasialis (dapat mengakibatkan paralisis) dan


kerusakan struktur stapedial(15)
Kolesteatoma

dapat

menyebar

sesuai

letak

asalnya.

Kolesteatoma epitympanic posterior dapat menyebar melalui superior


incudal

space

dan

aditus

ad

antrum.

Lalu

kolesetatoma

mesotympanic superior dapat menginvasi sinus timpani dan resesus


fasialis.

Sedangkan

epitympanic

anterior

kolesteatoma
dapat

meluas

ke

ganglion geniculate.(21)

Kolesteatoma posterior epitympanic menyebar melalui superior


incudal space dan aditus ad antrum

Kolesteatoma mesotympanic posterior menginvasi sinus tympani dan


resesus fasialis

Kolesteatoma

epitympanic anterior
ekstensi ke ganglion geniculate

2. Teori Papillary Ingrowth(20)


-

Reaksi inflamasi di rongga Prussaks dengan pars flaccida yang

maish utuh
Dapat menyebabkan kerusakan di membran basal hingga sel
epitel dapat berproliferasi ke dalam

Prussaks space : area antara pars flaccida lateral dengan leher


malleus
3. Teori Metaplasia
Epitel
skuamosa
berulang(20)

yang terdeskuamasi bertransformasi menjadi


karena

disebabkan

oleh

otitis

media

kronik

epitel
atau

Patofisiologi
choleateatoma

primary acquired

3. Kolesteatoma Acquired Sekunder


Kolesteatoma yang didapat secara sekunder dijelaskan sebagai
akibat dari terjadinya migrasi sel-sel epidermis yang berasal dari
membran timpani ke dalam rongga telinga tengah pada tempat
terjadinya perforasi marginal ataupun sebagai hasil dari implantasi
keratinosit ke rongga telinga tengah. Implantasi dapat terjadi ketika
terdapat kerusakan membran timpani yang disebabkan karena suara
ledakan yang akan menyebabkan terjadinya implantasi dari keratin
kedalam rongga telinga tengah dan terjebak disana ketika terjadi
penyembuhan dari membran timpani. Selain dari trauma pada
membran timpani, implantasi dari keratin ini juga dapat terjadi ketika
terjadi fraktur pada tulang temporal ataupun implantasi yang
disebabkan karena tindakan medis atau yang biasa kita sebut sebagai
iatrogenik. Beberapa tindakan operasi yang berhubungan dengan
telinga tengah seperti stapedectomy, tympnaoplasty, pemasangan
pressure equalization tube, dah tindakan eksplorasi dari telinga

tengah

dapat

menjadi

penyebab

dari

terjadinya

kolesteatoma

sekunder.
Sebuah percobaan dilakukan oleh Wolf dan teman-teman dari
210 telinga yang mengalami kerusakan membran timpani karena
ledakan, kejadian dari kolesteatoma yang bersifat invasif sebesar
4,8% dan ditemukan 3 kasus kolesteatoma pada pasien yang
mengalami fraktur dari tulang temporal. Pada pasien dengan fraktur
dari tulang temporal ditemukan bahwa keratin dapat masuk ketelinga
tengah melalui celah yang terbentuk yang disebabkan karena
terjadinya fraktur dari tulang temporal.
Sebuah penilitian baru yang dilakukan oleh Massuda dan
Oliveira juga mendapatkan bukti fisiopatologis yang menyokong
migrasi dari epitel yang berasal dari tepi perforasi yang terjadi pada
membran timpani sebagai penyebab dari terjadinya kolesteatoma.
Percobaan ini dilakukan dengan cara membuat sebuah perforasi dari
membran timpani dan diberikan latex dengan 50% propylene glycol
akan menyebabkan terjadinya kolesteatoma pada 80-90% bahan
percobaan.

Latex

ini

digunakan

sebagai

bahan

yang

akan

merangsang terjadinya neoangiogenesis dan juga sebagai jembatan


dari migrasi epitel. Keadaan lainnya yang juga akan mendukung
untuk

terjadinya

pembentukan

kolesteatoma

adalah

kejadian

inflamasi baik pada fase akut ataupun kronik yang dimana banyak
dihasilkan sitokin-sitokin yang disebabkan karena terdapatnya benda
asing pada percobaan ini, namun pada klinis keadaan jaringan yang
mengalami inflamasi ini terjadi pada otitis media baik yang akut
maupun yang kronik. Oleh karena itu dari percobaan ini disimpulkan
bahwa migrasi dari sel epitel yang berkeratin pada tempat terjadinya
perforasi dari membran timpani dan disertai oleh keadaan lingkungan
yang sedang mengalami inflamasi merupakan penyebab utama dari
terjadinya kolesteatoma sekunder ini.(19)

Patofisiologi Kolesteatoma23

Perusakan Tulang pada Kolesteatoma


Terdapat dua mekanisme bagaimana terjadinya osteolysis pada
kolesteatoma telinga tengah yaitu resorsi tulang akibat penekanan
dan disolusi enzym pada tulang oleh cytokine mediated inflammation.
Nekrosis akibat penekanan pertama kali disebutkan oleh Steinbru
pada tahun 1879 dan Walsh pada tahun 1951, sedangkan resorpsi
tulang secara langsung dideskripsikam oleh Chole dan coworkers
pada tahun 1985. Chole mengimplant silicon pada telinga tengah
gerbil tanpa kolesteatoma dan hasilnya menunjukan adanya resorpsi
tulang di area yang mengalami penekanan. Mereka mengestimasi

bahwa tekanan 50-120mm Hg menghaislkan resorpsi tulang oleh


osteoclast.(19)
Tidak jelas bagaimana aktivasi oleh tekanan memicu osteoclast
melakukan perusakan tulang pada kolesteatoma. Nmaun perusakan
tulang yang dipicu oleh enzym dan sitokin telah dipelajari pada 2
abad terakhir. Matrix metalloproteinase (MMP), suatu enzym dari
family zinc metalloenzymes yang mendegradasi matrix ekstraselular
telah diketahui terdapat pada kolesteatoma. MMP-2 dan MMP-9
terdapat pada lapisan epitel suprabasal kolesteatoma.

(19)

IL-1, IL-8 merupakan mediator interselular penting untuk


aktivitas osteoclast dan berdasarkan peneliian jumlah keduanya
meningkat pada sel kolesteatoma yang dikultur dibandingkan dnegan
pada sel normal. Yan juga menemukan bawha monosit dapat
memproduksi

sel

dengan

aktivitas

mirip

osteoclast

yang

memproduksi acid phosphatase yang dapat memicu demineralisasi


tulang.(19)
Penelitian terakhir oleh Jung menunjukan adanya kemungkinan
peran Nitric oxide sebagai mediator fungsi osteoclas. Penemuannya
mengindikasikan peran Nitric Oxide pada resorpsi tulang yang
dimediasi oleh osteoclast. Studi-studi diatas menunjukan pentingnya
osteolisis dan mekanisme regulasinya pada perusakan tulang yang
ditemukan pada kolesteatoma telinga tengah.(19)
e. Gejala Klinis
Pasien dengan kolesteatoma akuisital umumnya menunjukkan
gejala otorrhea yang rekuren atau purulen persisten dan gangguan
pendengaran. Gejala tinitus juga sering dikeluhkan. Pada beberapa
kasus, namun jarang terjadi, dapat dijumpai juga vertigo, yang
merupakan akibat dari proses inflamasi pada telinga tengah, atau
juga akibat dari erosi langsung dari labirin oleh kolesteatoma. Facial
nerve twitching, palsy, atau kelumpuhan saraf fasialis dapat juga

muncul sebagai akibat dari proses inflamasi atau kompresi mekanik


pada saraf.(16)
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri,
baik

itu

terus-menerus

maupun

sering

berulang.

Apabila

kolesteatoma terinfeksi, maka infeksi tersebut akan sulit dihilangkan.


Hal

ini

dikarenakan

kolesteatoma

tidak

memiliki

suplai

darah

sehingga antibiotik sistemik tidak dapat mencapai pusat infeksi. Oleh


karena itu, untuk kolesteatoma yang terinfeksi dapat digunakan
antibiotik topikal, namun untuk area infeksi yang luas, kolesteatoma
yang terinfeksi umumnya resisten terhadap semua jenis antimikroba.
Akibatnya, gejala ottorhea akan tetap atau berulang walaupun sudah
diberikan pengobatan yang agresif.(15)
Pada pemeriksaan fisik pada kolesteatoma akuisital primer
dapat dijumpai retraksi dari pars flacidda di kebanyakan kasus, dan
pars tensa pada sedikit kasus. Pada kedua tipe retraksi akan berisi
matriks epitel skuamosa dan debris keratin. Temuan lainnya adalah
otorrhea yang purulen, polip, jaringan granulasi, dan erosi ossicular.
Pada kolesteatoma akuisital sekunder, bila kolesteatoma berkembang
dari perforasi membran timpani, maka matriks epitel skuamosa dan
debris keratin pada umumnya dapat dilihat melalui perforasi. Bila
kolesteatoma berkembang dari implantasi dari epitel skuamosa pada
prosedur operasi atau perforasi yang telah menutup, maka membrani
akan tampak normal.(16)
Pada kasus kolesteatoma kongetinal, gejala klinis sangat
tergantung dari letak kolesteatom, ukuran dan komplikasi yang
ditimbulkanya.

Kolesteatom

yang

terbatas

pada

kuadran

anterosuperior dari membran timpani tidak menimbulkan gejala atau


asimptomatis. Gejala dapat muncul jika terjadi perluasan atau
menyebabkan kerusakan pada daerah sekitarnya. Gejala klinis yang
timbul dapat berupa gangguan pendengaran, otitis media efusi,

gangguan

keseimbangan,

kelumpuhan

saraf

fasialis,

fistula

retroaurikuler, maupun gejala akibat perluasan ke intrakranial.16

Gambar 13

Gambar 14

f. Diagnosis
Diagnosis

OMSK

dibuat

berdasarkan

gejala

klinik

dan

pemeriksaan THT terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan


penala merupakan pemereriksaan sederhana untuk mengetahui
gangguan

pendengaran.

Untuk

mengetahui

jenis

dan

derajat

gangguan pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometric


nada

murni,

audiometric

tutur

(speech

audiometric),

dan

pemeriksaan BERA (brainstem evoked response audiometric) bagi


pasien anak yang tidak koperatif dengan pemeriksaan audiometric
nada murni.
Berdasarkan gejala klinik didapatkan pasien mengeluh:
-

penurunan kemampuan mendengar

otorrhea, biasanya kuning dan berbau tidak enak

otalgia

obstruksi nasal

tinnitus, intermiten dan unilateral

vertigo

Didapatkan juga riwayat penyakit sebelumnya seperti :


-

otitis media kronik

perforasi membran timpani

operasi telinga sebelumnya

Pada pemeriksaan otoskopi pasien dengan kolesteatoma dapat


ditemukan :
-

perforasi tipe marginal atau atik


terdapat kolesteatoma di liang telinga tengah (epitimpanum)
abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga) pada kasus lanjut
polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar (berasal dari

telinga tengah)
secret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma)

Pemeriksaan penunjang
1. Radiologi
1 Dapat dilakukan foto rontgen mastoid, CT
scan, atau MRI.
2 Foto rontgen mastoid

3
4 Xray mastoid normal dengan honey comb
appearance dari mastoid air cells

5
1 Xray mastoid dengan kolesteatoma
2

CT

scan

merupakan

pilihan

radiologi

yang

dapat

mendeteksi gangguan tulang. Namun CT scan tidak selalu dapat


membedakan

antara

jaringan

granulasi

dengan

kolesteatoma.

Gaurano (2004) telah mendemonstrasikan bahwa ekspansi antrum


mastoid dapat dilihat pada 92% kolesteatoma telinga tengah dan
92% mendemonstrasikan adanya erosi tulang pendengaran(15)
3 CT scan yang digunakan adalah CT scan tulang temporal (2mm
tanpa kontras dengan potongan axial dan coronal.

CT scan mastoid normal

Terlihat

kolesteatoma

di

telinga

tengah

dengan

terlihat

destruksi pada dinding lateral cavum timpani. Tubuh dari incus yang
juga lateral dari kepala maleus mengalami erosi (panah kuning)
MRI digunakan saat dipikirkan terdapat problem spesifik yang
menyangkut jaringan lunak disekitarnya, problem itu termasuk
- gangguan dura
- abses subdural atau epidural
- herniasi otak ke cavum mastoid

(15)

MRI menunjukan kolesteatoma


2. Audiometri
Audiometri harus dilakukan sebelum operasi kapanpun dapat
dilakukan kecuali operasi dilakukan segera karena komplikasi.(15)
Pada audiometri didapatkan :
Tuli konduktif sedang hingga berat yaitu lebih dari 40 dB :
mengindikasikan diskontinuitas tualng pendengaran
3. Histologi
Pemeriksaan histology dari kolesteatoma yang telah diangkat
menunjukan sel epitel skuamosa.(15)
Patologi Anatomi Kolesteatoma20

Konten kistik : pusat keratin yang mengalami deskuamasi


Matrix : keratinizing stratified squamos epitel
Perimatrix : jaringan granulasi, mensekresi enzim proteolitik yang

dapat menyebabkan erosi tulang


Hiperkeratosis

4. Kultur dan uji resistensi kuman dari secret telinga


g. Differensial Diagnosis

Perbedaan OMSK tipe benigna dengan maligna :7


Tipe aman :
-

Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa

saja, dan biasanya tidak mengenai tulang


Perforasi terletak di sentral
Jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya
Tidak terdapat kolesteatoma

Perforasi tipe sentral

Perforasi tipe

marginal

Tipe maligna :
-

perforasi tipe marginal atau atik


terdapat kolesteatoma di liang telinga tengah (epitimpanum)
terdapat komplikasi yang berbahaya atau fatal
abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga) pada kasus

lanjut
polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar (berasal dari

telinga tengah)
secret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma)
terlihat bayangan kolesteatoma pada rontgen mastoid

Perforasi tipe
pars flaccida
Kolesteatoma

atic

Jaringan granulasi di telinga luar

Polip di telinga

tengah

Fistula retroauricular
Tubotympanic CSOM
Banyak, tidak

Atticoantral CSOM
Sedikit, berbau

berbau

tidak enak,

Hearing loss

Sedang, konduktif

mucopurulent
Berat, konduktif dan

Perforation
Cholesteatoma
Granulations

Central
Jarang
Jarang

sensorineural
Attic, marginal
Sering
Sering

Ear discharge

di

Polyp

Pedunculated

Pedunculated

edematous mucosa

edematous

Jarang

granulations
Sering

Complications

Kondisi
Gejala
Pemeriksaan
Otitis Media Supuratif Pada otoskopi terlihat Diagnosa klinis
Kronik

perforasi pars tensa


namun tidak terlihat

Otitis Eksterna

kolesteatoma
Pada otoskopi terlihat Diagnosa klinis
pembengkakan dari
kanal eksternal dan
terlihat sedikit
discarge. Membran
timpani tidak terlihat
namun bila terlihat
akan terlihat tanda
peradangan namun
tidak ada tanda

Benign Necrotising

kolesteatoma
- Pasien

Otitis Eksterna

CT scan menunjukan

mengeluh sakit pembengkakan


telinga;

ada jaringan lunak dari

riwayat

kanal dengan atau

diabetes

atau tanpa erosi tulang

penyakit

temporal

imunosupresi
-

lainnya
Pada otoskopi
terdapat
granulasi

di

kanalis telinga
namun

tidak

ada

bukti

kolesteatoma
Saat otoskopi

Myringitis

Diagnosa klinis

terdapat peradangan
membran timpani
dengan atau tanpa
terlihat granulasi,
tanpa terlihat adanya
kolesteatoma
h. Penatalaksanaan
Terapi Non Bedah
Tujuan awal dari terapi kolesteatoma adalah menurunkan
derajat inflamasi dan aktivitas infeksi pada bagian telinga yang
terinfeksi.

Prinsip

pengobatan

medikasi

kolesteatoma

adalah

membuang debris dari liang telinga. Irigasi harus dilakukan dengan


tepat, air harus dikeluarkan seluruhnya dari telinga untuk mencegah
kelanjutan kontaminasi. Selain irigasi, diperlukan juga antimikroba
topikal untuk menekan infeksi, yang umumnya disebabkan oleh
organisme sebagai berikut : Pseudomonas aeruginosa, Streptococci,
Staphylococci, Proteus, dan Enterobacter. Antimikroba yang umum
dipakai adalah ofloxacin atau neomycin-polymyxin B. Apabila telinga
tengah terpapar, dikemukakan bahwa penggunaan aminoglikosida
bersifat ototoksik dan berbahaya. Akan tetapi, belum ada studi yang
adekuat yang mendukung teori tersebut. Namun, untuk kepentingan
pasien, dianjurkan untuk menghindari penggunaan agen ototoksik
dan tetap menggunakan ofloxacin. Selain itu, beberapa klinisi juga
menggunakan steroid topikal untuk menurunkan inflamasi, namun
studi lebih lanjut masih diperlukan untuk menilai efektivitas dari
penggunaan agen ini.(17)
Pada

beberapa

kasus,

infeksi

yang

berlangsung

tidak

sepenuhnya teratasi. Hal ini biasanya terjadi pada kasus adanya


kolesteatoma sac dengan debris keratin yang tidak diobati dengan

antimikroba lokal secara efektif. Namun, setelah tindakan bedah,


umumnya keluhan otorrhea akan teratasi.
Terapi Pembedahan
Tujuan dari terapi pembedahan adalah mengangkat atau
menyingkirkan

kolesteatoma.

Teknik

operatif

yang

umum

dilaksanakan antara lain canal-wall-up (closed) dan canal-wall-down


(open).

Apabila

pasien

memiliki

riwayat

episode

kekambuhan

kolesteatoma, dan berharap dapat menghindari tindakan operatif di


kemudian hari, teknik canal-wall-down merupakan pilihan yang tepat
dan lebih aman.
Tujuan utama terapi kolesteatoma adalah menciptakan kondisi telinga
yang kering dan aman. Proses-proses yang menyebabkan erosi
tulang, inflamasi kronik dan infeksi harus ditangani secara tuntas.
Oleh karena itu, seluruh matriks kolesteatoma harus disingkirkan
sepenuhnya. Apabila hal ini gagal dilakukan, kemungkinan yang
muncul adalah kekambuhan dari kolesteatoma. Tabel di bawah ini

menunjukaan beberapa teknik pembedahan disertai keuntungan dan


kerugiannya.(16)

Teknik canal-wall-down memiliki probabilitas tertinggi dalam


membersihkan

kolesteatoma

secara

permanen.

Canal-wall-up

prosedur memiliki keuntungan mempertahankan penampilan normal,


tetapi mereka memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kolesteatoma
persisten atau berulang. Risiko kekambuhan cukup tinggi sehingga

ahli

bedah

menyarankan

suatu

tympanomastoidectomy

kedua

setelah 6 bulan sampai 1 tahun setelah operasi awal.


Di Amerika Serikat, kebanyakan prosedur bedah kolesteatoma
dilakukan dengan insisi pada belakang telinga dikombinasikan dengan
insisi pada ekternal auditory kanal. Kemudian menyingkirkan air cell
dari mastoid secara keseluruhan. Mengelevasi membran timpani dan
evaluasi mastoid. Singkirkan kolesteatoma. Apabila ossiculus juga
terlibat,

maka

bagian

tersebut

perlu

disingkirkan

jug

auntuk

menghindari kekambuhan dari kolestetoma. Membran timpani pada


umumnya juga direkonstruksi pada prosedur ini. Apabila dilakukan
canal-wall-up, tulang direkonstruksi dengan cartilage graft. Bila
menggunakan teknik canal-wall-down, maka perlu dibuat meatoplasty
yang besar agar ada sirkulasi udara yang adekuat ke cavitas telinga.
(15)

Karakteristik prosedur canal-wall-up :

Menyingkirkan semua air cell

Functional tuba eustachius

Ruang telinga tengah yang dipertahankan dengan baik

Komunikasi adekuat antara mastoid dengan ruang telinga


tengah melalui additus ad antrum.

Eliminasi dari tulang attic dilengkapi dengan cartilage atau


bone graft.

Karakteristik teknik canal-wall-down :

Membersihkan

semua

air

cell

termasuk

yang

dalam

retrofacial, retrolabyrinthine, and subarcuate air cell tracts.

Pembersihan dinding lateral dan posterior dari epitimpanun


sehingga tegmen mastoideum dan tegmen timpani menjadi
lembut.

Biasanya amputasi dari mastoid tip dianjurkan.

Saucerization dari lateral margin kavitas.

Perbesarana meatus
Terapi postoperatif yang diberikan antara lain antimikroba yang

sesuai dan steroid bila diperlukan. Antimikroba yang dipakai adalah


antimikroba

topikal,

contohnya

ialah

aminoglycoside

and

fluoroquinolone topikal. Jenis antimikroba ini efektif untuk bakteri


gram negatif. Selain itu, untuk menghindari efek ototoksik, dapat juga
dipakai ciprofloxacin (Ciloxan) or ofloxacin (Floxin Otic).

Selain

antimikroba, agen yang umum diberikan adalah steroid, yaitu steroid


cream.

Steroid berfungsi untuk mengontrol perkembangan dari

jaringan granulasi.(15)
Setelah tindakan bedah dilakukan, pasien dianjurkan untuk
kontrol secara rutin. Pasien yang menajalani prosedur canal-walldown dianjurkan untuk kontrol setiap 3 bulan untuk pembersihan
liang telinga. Tujuanny aialah untuk menjaga agar telinga pasien
tetap bebas daei deskuamasi epitel dan serumen. Pada pasien yang
menjalani prosedur canal-wall-up umumnya memerlukan tindakan
operatif kedua, setelah 6-9 bulan setelah tindakan operatif pertama.

Gambar 17
i. Komplikasi
Perikondritis atau kondritis terjadi pada kurang dari 1% pasien.
Eksposur dan devaskularisasi karena pembedahan menjadi penyebab
mudahnya terjadi infeksi. Gejala dari perikondritis adalah nyeri yang
meningkat, eritema, dan edema pada kulit yang melapisi kartilago
aurikula. Gejala lainnya adalah adanya fluktuasi.

20

Perikondritis
Komplikasi yang paling ditakutkan dari operasi tympanomastoid
adalah perlukaan pada nerves fasialis. Perlukaan pada nerves fasialis
biasanya

diketahui

saat

prosedur

berlangsung

namun

kadang

diketahui pada saat pasien berada di ruang pemulihan. Langkah


pertama untuk menangini perlukaan nerves fasialis adalah dengan
dekompresi nerves di sekitar area yang terlihat terjadi perlukaan.
Jauhkan tulang beberapa millimeter proksimal dan distal dari segmen
yang rusak sehingga perlukaan dapat jelas terlihat.

(15)

Bila lebih dari

50% dari diameter nerves mengalami perlukaan seperti terpotong,


tertarik, terjepit, dilakukan reseksi pada segmen yang mengalami
perlukaan dan dilakukan reanastomisis atau graft dari nerves.(15)

Bila perlukaan pada nerves fasialis tidak diketahui selama


operasi berlangsung dan pasien bangun dnegan paralisis fasial,
dokter harus menunggu beberapa jam untuk memastikan bahwa ini
bukan efek dari anestesi local. Bila dokter tidak yakin bahwa nerves
fasialis utuh, pasien harus dilakukan operasi secepatnya untuk
dilakukan dekompresi nerves secepatnya dan derajat perlukaan
diukur lalu diputuskan apakah segmen yang mengalami perlukaan
perlu dieksisi.(15)
Kadang fistula labyrinthine diketahui dari preoperative CT scan
image atau fistula terlihat tanpa diprediksi sebelumnya. Bila hal ini
terjadi,

epitel

yang

mengalami

dekskuamasi

diangkat

hingga

meninggalkan matrix di kanal horizontal. Bila fistula muncul di


permukaan, matrix perlahan diangkat dan sisanya ditutupi dengan
fascia.(15)
Bila fistula besar dan matrix kolesteatoma tertempel ke labirin
membranous itu sendiri, matrix dibiarkan pada posisinya. Bila labirin
membranous terbuka saat operais, antibiotik IV spectrum luas dan
steroid harus diberikan secepatnya. Kadang, fistula kanal terbentuk
selama prosedur operasi. Bila fistula itu menyangkut salah satu dari
kanalis semisirkularis, harus dilapisi dengan jaringan lunak (mislanya
fascia) dan diberikan antibiotik IV dan steroid. Pasien ini akan
mengalami gangguan keseimbangan setelah operasi namun dapat
kembali normal bila antibiotik dan steroid diberikan pada waktu yang
tepat.(15)
Drainase yang persisten dapat terjadi dan yang palings erring
karena adanya sel udara yang tersekuestrasi yang terus memicu
infeksi. Solusi satu-satunya adalah dengan mengangkat area yang
bersangkutan. Bila area osteitis besar dan otorrhea postoperative
terjadi terus-terusan selama berbulan-bulan atau tahunan, perlu
dipikirkan untuk dilakukan skin graft.(15)
Benda asing yang berada di kavitas mastoid atau luka dapat
menjadi focus infeksi. Benda asing yang paling sering ditemukan

adalah fragmen metal dari bor yang mengenai ujung alat suction
irigasi saat operasi.(15)
Herniasi otak melalui tegmen fossa tengah terlihat mengkilap.
Adanya cairan bening dengan lesi mengkilap seperti di atas
menunjukan adanya kemungkinana herniasi otak dan leakage cairan
serebrospinal. Dapat dilakuakn MRI atau CT scan untuk memastikan.
(15)

j. Prognosis
Melakukan proses eliminasi dari kolesteatoma hampir selalu
berhasil, namun terkadang membutuhkan tindakan operasi yang
berkali-kali.

Karena

penanganan

dari

kolesteatoma

dengan

pembedahan pada umumnya berhasil dengan sempurna, oleh karena


itu komplikasi yang timbul dari pertumbuhan kolesteatoma yang tidak
terkontrol sangatlah jarang terjadi.
Pada

penanganan

canal-wall-down

tympanomastoidectomy

akan memberikan angka persentase rekurensi ataupun persistensi


yang rendah dari kolesteatoma. Reoperasi dari kolesteatoma hanya
terjadi pada 5% atau bahkan lebih sedikit. Oleh karena itu tehnik ini
jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan closed-cavity
technique yang memiliki angka rekurensi antara 20-40%.(15)
Meskipun

begitu,

karena

tulang-tulang

pendengaran

dan

ataupun membran timpani tidak dapat mengalami resolusi secara


sempurna kembali kedalam keadaan normal, kolesteatoma tetap
secara relatif merupakan penyebab yang cukup sering dari tuli
konduktif yang bersifat permanent.

BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi ataas tiga
bagian yaitu : auris externa, auris media, dan auris interna. Auris
externa terdiri dari auricula dan meatus acusticus externus sampai
membrane tympani. Auris media terdiri dari cavum tympani beserta
isinya. Sedangkan auris interna terdiri dari cochlea dan 3 buah canalis
semicircularis.
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum tympani,
tuba eustachius dan prosessus mastoideus.
Adapun kelainan kelainan telinga tengah yaitu kelainan tuba
eustachi

seperti

palatoskisis

tuba

(sumbing

terbuka

abnormal

langit-langit),

obstruksi

myoklonus
tuba,

palatal,

barotrauma

(aerotitis)
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah , tuba eustachius , antrum mastoid, dan sel mastoid.
Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan non supuratif (=

otitis media serosa = otitis media sekretoria = otitis media musinosa


= otitis media efusi)
Masing masing golongan mempunyai bentuk akut dan
kronis , yaitu otitis media supuratif akut (Otitis Media Akut= OMA) dan
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK). Begitu pula otitis media serosa
terbagi menjadi

otitis media serosa akut (barotrauma = aerotitis )

dan otitis media serosa kronis . Selain itu terdapat juga otitis media
spesifik, seperti otitis media tuberkulosa atau otitis media sifilitika.
Otitis media adhesiv
Kolesteatoma atau epidermosis atau keratoma merupakan lesi destruktif dasar
tengkorak yang dapat mengikis dan menghancurkan struktur penting pada tulang
temporal.(15) Kolestetaoma dibagi menjadi 3 tipe yaitu kongenital, primary acquired, dan
secondary acquired.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai