Anda di halaman 1dari 19

TERJEMAHAN JURNAL

Induksi Persalinan dengan Kateter Transervikal vs Misoprostol Oral pada


Wanita Primipara dan pada Wanita dengan Serviks yang Belum Matang
ABSTRAK
TUJUAN: Untuk membandingkan induksi persalinan dengan kateter transerviks
dengan terapi misoprostol oral pada wanita primipara dan pada wanita dengan
serviks yang belum matang, yang memiliki risiko tinggi kegagalan induksi
persalinan. DESAIN STUDI: Dilakukan sebuah studi retrospektif pada sebuah
rumah sakit pendidikan di Swedia. Hasil utama yang dinilai adalah persalinan
pervaginam dalam 24 jam serta jumlah cesarean section. Hasil sekunder yang
dinilai adalah interval induksi dengan persalinan pervaginam, korioamnionitis, dan
asfiksia neonatal. HASIL: Persalinan pervaginam dalam 24 jam didapatkan lebih
sering setelah pemasangan kateter dibandingkan dengan misoprostol oral pada
wanita primipara (p < 0.001) dan wanita dengan skor Bishop 3-4 (p < 0.001),
namun tidak pada wanita dengan skor Bishop 0-2 (p = 0.07). Angka cesarean
section sebanding pada seluruh kelompok (p > 0.05). Interval induksi dengan
persalinan pervaginam adalah 8-12 jam lebih singkat setelah pemasangan kateter
(p < 0.001). Angka korioamnionitis dan bayi baru lahir dengan skor Apgar < 7
pada menit ke-5 sebanding (p > 0.05). KESIMPULAN: Induksi persalinan dengan
kateter transerviks menyebabkan lebih tingginya angka persalinan pervaginam
dalam 24 jam dan lebih singkatnya waktu interval induksi dengan persalinan
pervaginam dibandingkan terapi misoprostol oral. Hasil ini didapatkan tanpa
peningkatan angka cesarean section, korioamnionitis, atau asfiksia neonatal.
Kata kunci: Pematangan Serviks, Kateter Transerviks, Misoprostol Oral,
Persalinan Pervaginam, Cesarean Section

I.

Pendahuluan
Induksi persalinan dilakukan pada hampir 25% kehamilan cukup bulan di

beberapa negara berkembang. Di Swedia, hal ini meningkat dari 7% pada awal
tahun 1990 hingga 16% pada tahun 2012.1,2 Induksi persalinan meningkatkan
risiko persalinan memanjang dan persalinan operatif. Hal ini terutama lebih tinggi
pada wanita primipara dan wanita dengan serviks yang belum matang. 3 Diantara
subkelompok ini, preinduksi pematangan serviks dibutuhkan untuk keberhasilan
persalinan pervaginam. Sepengetahuan kami, tidak ada laporan mengenai
perbandingan induksi persalinan dengan kateter transerviks dan misoprostol oral
dengan paritas serta skor Bishop yang berbeda. Para peninjau Cochrane tidak
melaporkan adanya analisis subkelompok seperti itu.4,5
Penanganan mekanis dengan kateter pada induksi persalinan pertama kali
dijelaskan pada tahun 1860.6 Insersi kateter transerviks kedalam ruang
ekstraamniotik yang memisahkan membran janin dengan dinding uterus memicu
pelepasan prostaglandin dan oksitosin dari membran janin dan desidua uterin. 7
Agen ini melarutkan ikatan silang glikosaminoglikan antara serabut kolagen pada
jaringan konektif servikal, yang menyebabkan penipisan dan dilatasi serviks. 8
Kateter transerviks juga dapat memicu jalur neuroendokrin yang berhubungan
dengan sintesis dan pelepasan oksitosin, seperti refleks Ferguson.9
Terapi prostaglandin untuk induksi persalinan telah digunakan sejak tahun
1980.10 Pemberian peroral tidak digunakan karena adanya dugaan kurangnya
penipisan dan ketakutan akan efek samping gastrointestinal yang mungkin timbul.
Namun, terapi oral dengan misoprostol analog PGE1 ditoleransi baik dan memiliki
risiko hiperstimulasi uterin dan asfiksia neonatal yang lebih rendah dibandingkan
dengan misoprostol vagina.1,5
Pilihan metode biasanya didasarkan oleh preferensi tenaga medis, indikasi
induksi persalinan, paritas, skor Bishop, dan apakah terdapat riwayat cesarean
section sebelumnya.
Tujuan studi ini adalah untuk meneliti induksi persalinan dengan kateter
transerviks dibandingkan dengan terapi menggunakan misoprostol oral. Hasil
primer yang dinilai adalah persalinan pervaginam dalam 24 jam pertama dan

angka cesarean section. Hasil sekunder yang dinilai adalah interval induksi dengan
persalinan pervaginam, angka korioamnionitis dan asfiksia neonatal.
2.

MATERI DAN METODE


Studi ini disetujui oleh Dewan Etik Sains Medis di Stockholm 2014/255-

31. Studi ini dimulai sebagai proyek kontrol kualitas dalam Program Edukasi
Medis di Institut Karolinska. Seluruh data klinis ibu dan neonatus didapatkan dari
rekam medis asli rumah sakit tersier di Department of Womens and Childrens
Health, Karolinska University Hospital, Solna, Swedia. Sejak 1 Januari sampai 31
Desember 2012, terdapat 3.952 wanita yang melahirkan di bagian obstetri.
Diantara seluruhnya, 839 wanita, (21,2%) memiliki induksi persalinan dengan
amniotomi, infus oksitosin, kateter transerviks atau PGE2 vagina (Gambar 1).
Menurut sistem ICD-10 dan rekam medis 317 wanita, 37,8% induksi menjalani
induksi persalinan dengan kateter transerviks. Tiga wanita dengan kematian janin
intrauterin (IUFD) tidak dimasukkan dalam penghitungan. Dengan demikian,
dilakukan analisis data klinis dari 317 wanita. Kateter Foley 22 Charriere (Meteko
Instruments AB, Stockholm, Swedia) dimasukkan kedalam ruang ekstraamnion
dengan pengamatan menggunakan spekulum atau pemeriksaan jari berdasarkan
preferensi klinisi. Setelah dimasukkan, balon kateter dikembangkan menggunakan
50 ml air atau NaCl 0,9% dan difiksasi di paha tanpa tegangan. Posisi kateter
dikontrol oleh pengontrol traksi setiap 30 menit. Amnniotomi dilakukan segera
setelah ekspulsi terjadi. Jika tidak keluar dalam 8 jam, kateter dilepas dan

dilakukan amniotomi berdasarkan panduan klinis. Infus oksitosin (Syntocinon ,


CD Pharma, Swedia) 5 U/500 mL saline dimulai jika tidak ada kontraksi uterus
dalam 1 jam setelah amniotomi dan segera setelah pelepasan kateter pada
subkelompok dengan ruptur membran janin sebelum persalinan. Aktivitas jantung
janin dipantau dengan kardiotokografi (CTG) 20 menit sebelum dan setelah
pemberian serta pada waktu persalinan. Antara 1 Januari hingga 31 Desember
2013, terdapat 3.916 wanita yang melahirkan di bagian obstetri. Dari
keseluruhannya, 819 wanita (20,9%) memiliki induksi persalinan dengan
amniotomi, infus oksitosin, kateter transerviks atau PGE2 vagina (Gambar 2).

Misoprostol oral pertama kali diperkenalkan untuk induksi persalinan pada tahun
2013, dan 275 wanita menjalani persalinan menggunakan metode ini. Satu peserta
tidak dimasukkan kedalam studi karena menggunakan metode lain. Dengan
demikian, 274 wanita (33,4%) dari seluruh induksi ditangani dengan misoprostol
oral. Sembilan wanita dengan IUFD tidak dimasukkan dalam penghitungan.
Dengan demikian, dilakukan analsis data klinis dari 265 rekam medis. Induksi
persalinan dengan misoprostol oral diberikan dengan tablet misoprostol terkecil
yang tersedia (Cytotec, Pfizer, Swedia) 200 g yang dilarutkan dalam 20 ml air
dengan kosnentrasi 10 g/mL. Didapatkan konsentrasi terapi PGE1 yang adekuat.11
Larutan 2,5 mL berisikan 25 g misoprostol diaspirasi dalam syringe 3 mL dimana
para wanita kemudian menyemprotkan larutan tersebut kedalam mulut mereka.
Setelahnya, air kembali diaspirasi kedalam syringe dan ditelan. Terapi dilanjutkan
setiap 2 jam hingga onset persalinan sampai dosis maksimal, yaitu 8 dosis.
Aktivitas jantung janin dipantau dengan CTG setiap 20 menit sebelum tiap dosis
dan saat waktu persalinan. Jika diamati adanya kontraksi uterin, dosis berikutnya
ditunda selam 2 jam, jika persalinan aktif belum dimulai. Ketika skor Bishop telah
>5, dilakukan amniotomi. Infus oksitosin 5 U/500 mL saline dimulai untuk
augmentasi persalinan menurut panduan klinis, jika tidak ada kemajuan dalam 3-4
jam setelah amniotomi atau ruptur membran janin spontan sebelum persalinan.

Gambar

Kelahiran
anak
n = 3.952
Induksi
persalinan
n = 839dengan kateter
Pematangan serviks
transerviks
n = 317
Dieksklusi
Dianalisis
IUFD n = 3
n = 314
1.

Penilaian

Eligibilitas Subjek pada Tahun 2012


Kelahiran
anak
n = 3.916
Induksi
persalinan
Pematangan serviks
dengan misoprostol
noral
= 819
n = 275
Dieksklusi
Dianalisis
Diagnosis salah n
n = 265
=1
Gambar
IUFD n = 9
Eligibilitas Subjek pada Tahun 2013

2. Penilaian

Kehamilan postterm dijelaskan sebagai kehamilan dengan usia gestasi 42 +


0 minggu.12 Ruptur membran janin pre-persalinan didiagnosis secara visual dan
induksi dimulai setelah 36-48 jam. Kelompok penyakit hipertensi terdiri dari
wanita dengan hipertensi esensial, hipertensi gestasional, atau preeclampsia.
Kelompok distress janin iminens terdiri dari wanita dengan penurunan gerakan
janin disertai oligohidramnion, patologi CTG antepartum atau patologi pada aliran
darah arteri umbilikus, perdarahan desidua, atau imun Rhesus. Indikasi
psikososialnya adalah ketakutan akan persalinan atau persalinan normal dengan
adanya penyakit ringan saat kehamilan. Kesakitan maternal terdiri dari wanita
yang mengalami trombofilia, keganasan, penyakit jantung, atau penyakit sistemik
kronis lainnya. Indikasi/penyakit janin terdiri dari makrosomia, anomali atau
aritmia jantung janin. Wanita dengan diabetes gestasional atau diabetes mellitus
direncanakan untuk dilakukan induksi pada minggu 41. Fase latensi panjang

didefinisikan sebagai dilatasi serviks 3 cm terlepas dari kontraksi yang


berlangsung 18 jam atau lebih. Pada kelompok dupleks, kehamilan kembar
dikoriotik dengan pertumbuhan janin simetris diinduksi pada minggu 38 dan
kehamilan kembar monokoriotik dengan kriteria sama diinduksi pada minggu 37.
Pematangan serviks dikategorikan berdasarkan skor Bishop dengan 0-2 poin untuk
konsistensi, penipisan, dilatasi, posisi, dan station di kanal pelvis. Skor Bishop > 5
merupakan kriteria untuk serviks matang.13 Hiperstimulasi dijelaskan sebagai
kontraksi > 5 tiap 10 menit selama 20 menit yang dipantau dengan CTG. Skor
Apgar < 7 pada menit ke-5 merupakan kriteria untuk asfiksia neonatal.14
Seluruh data dimasukkan kedalam program computer Statistica, versi AX,
StatSoft, Inc, Tulsa, Oklahoma, AS (2014). Data kontinyu dianalisis dengan
menggunakan analisis varian satu jalur (ANOVA). Asumsi parameter statistik diuji
dengan uji Levene dan Bartlett. Signifikansi statistik berada pada p < 0.05.
Kekuatan

analisis

dilakukan

berdasarkan

data

sebelumnya.4,5,15

Kami

memperkirakan angka persalinan pervaginam < 24 jam adalah hingga 40% pada
kelompok misoprostol dan memperkirakan bahwa persalinan pervaginam < 24 jam
dapat dicapai pada 60% dalam kelompok kateter. Berdasarkan tingkat signifikan
5% dan kekuatan 90% yang ingin dicapai, dibutuhkan 125 wanita dalam tiap
kelompok studi ini.
3.

Hasil
Indikasi induksi persalinan serupa pada kedua kelompok (Tabel 1). Wanita

yang mengalami IUFD dimasukkan dalam Tabel 1 dan dikeluarkan dari Tabel 2-5.
Data demografi maternal, seperti usia, paritas, usia gestasi, dan angka usia gestasi
preterm < 37 + 0 minggu (259 hari) sebanding (p > 0.05). Rata-rata skor Bishop
lebih rendah pada kelompok misoprostol (p < 0.001, Tabel 2). Keadaan ibu
ditunjukkan pada Tabel 3. Pemasangan kateter transerviks diikuti dengan lebih
tingginya persalinan pervaginam < 24 jam pada wanita primipara dibandingkan
pada wanita dengan skor Bishop 3-4 (p < 0.001), namun tidak pada wanita dengan
skor Bishop 0-2 (p = 0.07). Angka seksio saesaria sebanding pada semua
kelompok (p > 0.05). Tingkat persalinan dengan bantuan alat pada setiap

kelompok tidak jauh berbeda/sama (p > 0.05) dan indikasi utama untuk persalinan
dengan alat dengan kedua metode adalah pemanjangan kala 2 persalinan (p > 0.05,
data tidak ditampilkan).
Interval induksi hingga persalinan pervaginam 8-12 jam lebih singkat pada
kelompok kateter (p < 0.001, Tabel 4). Pada kelompok misoprostol, 24 wanita
(9%) terpasang kateter transerviks dan 6 wanita (2%) diterapi dengan PGE2 vagina
dikarenakan serviks yang tidak matang dengan skor Bishop < 5 setelah 8 dosis
maksimum misoprostol. Pada kelompok kateter, tidak ada insersi yang diikuti
dengan metode induksi persalinan lainnya.
Angka korioamnionitis sebanding pada kedua metode ini (p > 0.05). Berat
badan lahir dan angka bayi baru lahir dengan skor Apgar < 7 pada menit ke-5
sebanding (p > 0.05), Tabel 5).
Diantara wanita dengan hanya ruptur membran janin (data tidak
ditampilkan), persalinan pervaginam < 24 jam dicapai pada 75,5% dengan kateter
dan 53,2% dengan misoprostol oral (p > 0.05). Angka caesarian section dengan
kateter adalah 22,6% dibandingkan dengan 19% pada kelompok misoprostol oral
(p > 0.05).

Tabel 1. Indikasi induksi persalinan.


Indikasi
Postterm
Ruptur membran janin prepersalinan
Penyakit hipertensi
Distres janin iminens
Psikososial
Penyakit maternal
Diabetes
Wanita primipara 40 tahun setelah IVF
Indikasi/penyakit janin
Pemanjangan fase laten
Dupleks
Kematian janin intrauterine

Kateter
n = 317 (%)
67 (21.1)
73 (23.0)
36 (11.4)
41 (12.9)
27 (8.5)
20 (6.3)
13 (4.1)
13 (4.1)
10 (3.1)
9 (2.8)
5 (1.6)
3 (0.9)

Misoprostol
n = 274 (%)
64 (23.3)
41 (15.0)
36 (13.1)
36 (13.1)
24 (8.8)
22 (8.0)
10 (3.6)
7 (2.6)
17 (6.2)
6 (2.2)
2 (0.7)
9 (3.3)

Nilai p
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p>0.05

Tabel 2. Data demografi ibu. Wanita yang mengalami kematian janin


intrauterine tidak dimasukkan.
Variabel
Usia (median dan rentang)
Primipara (%)
Riwayat caesarian section (%)
Usia gestasional (median dan rentang)
Usia gestasi < 37 + 0 minggu (%)
Skor Bishop seluruh wanita (rata-rata)
Skor Bishop 0-2 (%)
Skor Bishop 3-4 (%)
Skor Bishop 5 (%)

Kateter n = 314
32 (17 - 50)
173 (55.1)
40 (12.6)
39 (34 - 42)
4 (1.3)
2.6
27 (8.6)
190 (60.5)
97 (30.9)

Misoprostol n = 265
32 (18 - 46)
164 (61.9)
8 (3.0)
39 (34 - 42)
13 (4.9)
2.1
110 (41.5)
128 (48.3)
27 (10.2)

Tabel 3. Keadaan ibu (Wanita yang mengalami kematian janin intrauterine


tidak dimasukkan).

Nilai p
p > 0.05
p > 0.05
p > 0.05
p > 0.05
p > 0.05
p < 0.001
p > 0.05
p > 0.05
p > 0.05

Variabel
Seluruh wanita
Persalinan pervaginam dalam 24 jam (%)
Caesarian section (%)
Persalinan menggunakan alat (%)
Hiperstimulasi
Korioamnionitis (%)
Ruptur uterin
Wanita primipara
Persalinan pervaginam dalam 24 jam (%)
Caesarian section (%)
Skor Bishop 0-2
Persalinan pervaginam dalam 24 jam (%)
Caesarian section (%)
Skor Bishop 3-4
Persalinan pervaginam dalam 24 jam (%)
Caesarian section (%)

Kateter
n = 314 (%)
237 (75.5)
71 (22.6)
41 (13.0)
0
7 (2.2)
0
n = 173
136 (78.6)
51 (29.4)
n = 27
16 (59.2)
8 (29.6)
n = 190
141 (74.2)
46 (24.2)

Misoprostol
n = 265 (%)
141 (53.2)
51 (19.2)
48 (18.1)
0
8 (3.0)
0
n = 162
66 (40.2)
41 (25.0)
n = 110
47 (42.7)
30 (27.3)
n = 128
78 (60.9)
19 (14.8)

Nilai p
p < 0.001
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p>0.05
p < 0.001
p > 0.05
p = 0.07
p > 0.05
p < 0.001
p > 0.05

Tabel 4. Interval induksi dengan persalinan pervaginam dalam satuan jam


(rata-ratastandard

error).

Wanita

yang

mengalami

kematian

janin

intrauterin dan wanita yang menjalani persalinan caesarian section tidak


dimasukkan.
Variabel
Seluruh wanita
Wanita primipara
Skor Bishop 0-2
Skor Bishop 3-4

Kateter n = 243
11.8 0.3
13.0 0.4
13.1 1.3
11.9 0.4

Misoprostol n
= 214
21.6 0.6
24.9 0.8
24.1 0.8
20.1 0.8

Nilai P
p < 0.001
p < 0.001
p < 0.001
p < 0.001

Tabel 5. Keadaan Neonatal


Variabel
Kateter n = 314
Berat badan lahir (ganja) (rata-rataSD) 3495568
Skor Apgar < 7 pada menit ke-5 (%)
7 (2.2)

Misoprostol n = 265
3472579
4 (1.5)

DISKUSI
Pada studi ini, dilakukan perbandingan antara induksi persalinan dengan kateter
transerviks dan terapi misoprostol oral pada wanita primipara dan wanita dengan
serviks yang belum matang, yang berisiko tinggi pada kegagalan induksi

Nilai p
P > 0.05
P > 0.05

persalinan dan menyebabkan persalinan memanjang dan caesarian section.


Kelahiran anak pertama tanpa penyulit merupakan faktor prognostic positif utama
dalam keberhasilan persalinan selanjutnya.16
Pemasangan kateter transerviks yang diikuti dengan persalinan pervaginam
< 24 jam lebih sering didapati pada wanita primipara dan wanita dengan skor
Bishop 3-4 dibandingkan dengan kelompok misoprostol oral. Kurangnya
signifikansi wanita dengan skor Bishop 0-2 dapat dijelaskan dengan adanya
keterbatasan ukuran sampel. Angka caesarian section sebanding pada kedua
metode di seluruh kelompok, dan angka persalinan menggunakan alat juga
sebanding. Indikasi utama caesarian section dan persalinan menggunakan alat
dengan kedua metode adalah persalinan memanjang. Indikasi keduanya adalah
distress janin, yang didefinisikan dengan adanya pola CTG patologis atau laktat
patologis pada kulit kepala janin.
Telah ditekankan pada praktik klinis bahwa pematangan serviks dengan
prostaglandin berbahaya pada wanita dengan riwayat caesarian section karena
dapat meningkatkan risiko ruptur scar uterus.1,5 Empat puluh wanita (12,6%)
dengan riwayat seksio saesaria sebelumnya diterapi dengan kateter transerviks dan
8 wanita (3%) dengan riwayat seksio saesaria diterapi dengan misoprostol oral
berdasarkan preferensi dokter. Namun, tidak ditemukan adanya ruptur uterus pada
studi kami.1 Namun, insiden korioamnionitis pada studi ini lebih rendah dibanding
yang sebelumnya pernah dilaporkan, yaitu 15,2% setelah pemasangan kateter dan
14,3% setelah terapi misoprostol oral.18 Angka korioamnionitis pada kelompok
kateter dan misoprostol oral sebanding dan tidak berbeda dari angka insidens di
bagian obstetri pada umumnya, yaitu 1,3% pada tahun 2012 dan 2013.
Dengan demikian, sepengetahuan kami, hanya sedikit laporan mengenai induksi
persalinan dengan kateter transerviks dibandingkan terapi menggunakan
misoprostol oral. Abramovici et al meneliti induksi persalinan dengan misoprostol
oral 50 g setiap 4 jam hingga maksimal 6 dosis pada 98 wanita dan dibandingkan
dengan kateter transerviks selama hampir 12 jam pada 99 wanita. Persalinan
pervaginam < 24 jam didapati 84,8% setelah pemasangan kateter vs 68,4% setelah
pemberian misoprostol pada seluruh wanita, serta 82,5% setelah pemasangan

kateter vs 53,4,4% setelah pemberian misoprostol pada wanita primipara. Peneliti


menyimpulkan bahwa misoprostol sama efektifnya dengan kateter pada wanita
multipara namun kurang efektif pada wanita primipara. 18 Goonewardene et al
melaporkan induksi persalinan pada kehamilan postterm dengan misoprostol oral
25 g setiap 4 jam selama 24 jam pada 74 wanita dan dibandingkan dengan kateter
selama 24 jam pada 78 wanita. Persalinan pervaginam < 24 jam tidak diukur.
Peneliti menyimpulkan bahwa kateter lebih efektif dibandingkan misoprostol
oral.19 Angka caesarian section dalam studi ini sebanding dengan yang dilaporkan
oleh Abramovici et al18 namun lebih rendah dibandingkan yang dilaporkan
Goonewardene et al.19 Dalam studi multisentris PROBAAT-II yang sedang
berlangsung, dimulai pada tahun 2013 di Belanda, induksi persalinan dengan
kateter selama 4 hari sebanding dengan terapi misoprostol oral 50 g setiap 4 jam
hingga 3 dosis sehari selama 4 hari.20
Pada kesimpulannya, induksi persalinan dengan kateter transerviks
memberi angka persalinan pervaginam < 24 jam yang lebih tinggi dan 8-12 jam
lama induksi yang lebih singkat pada wanita primipara dan wanita dengan serviks
yang belum matang. Keadaan ini didapati tanpa adanya peningkatan angka
caesarian section, korioamnionitis, dan asfiksia neonatal.

DAFTAR PUSTAKA
1.

World health Organization (2011) WHO Recommendations for Induction


of Labour. World Health Organization, Ge- neva.

2.

The Swedish National Board of Health and Welfare (2013) Pregnancies,


Deliveries and Newborn Babies. The Swedish Medical Birth Register 19732012. www.socialstyrelsen.se

3.

Caughey, A.B., Sundaram, V., Kaimal, A.J., Cheng, Y.W., Gienger, A.,
Little, S.E., et

al. (2009) Maternal and Neo- natal Outcomes of Elective

Induction of Labor (Review). Evidence Report/Technology Assessment,


176, 1-257.
4.

Jozwiak, M., Bloemenkamp, K.W.M., Kelly, A.J., Mol, B.W.J., Irion, O.


and Boulvain, M. (2012) Mechanical Me- thods for Induction of Labour
(Review). Cochrane Database of Systematic Reviews, 2012, Article ID:
CD001233. http://dx.doi.org/10.1002/14651858.cd001233.pub2

5.

Alfirevic, Z., Aflaifel, N. and Weeks, A. (2014) Oral Misoprostol for


Induction of Labour. Cochrane Database of Sys- tematic Reviews, 2014,
Article ID: CD001338. http://dx.doi.org/10.1002/14651858.cd001338.pub3

6.

Woodman, W.B. (1863) Induction of Labor at Eight Months and Delivery


of a Living Child in Less than Four Hours by Dr Barnes Method. Lancet,
81, 10-11.

7.

Challis, J.R. and Smith, S.K. (2001) Fetal Endocrine Signals and Preterm
Labor. Biology of the Neonate, 79, 163-167.

8.

Hertelendy, F. and Zakar, T. (2004) Prostaglandins, the Myometrium and


the Cervix. Prostaglandins, Leukotrienes & Essential Fatty Acids, 70, 207222. http://dx.doi.org/10.1016/j.plefa.2003.04.009

9.

Ferguson, J.K. (1941) A Study of the Motility of the Intact Uterus at Term.
Surgery, Gynecology, and Obstetrics, 73,359-366.

10.

Ulmsten, U., Wingerup, L. and Ekman, G. (1983) Local Application of


Prostaglandin E2 for Cervical Ripening or In- duction of Term Labor.
Clinical

Obstetrics

&

Gynecology,

26,

95-

105.http://dx.doi.org/10.1097/00003081-198303000-00013
11.

The Swedish Medical Products Agency (2012) Laboratory Study on


Preparation of Cytotec for Labour Induction. La- boratory Report No. 297:
2012/507712.

12.

World Health Organization (1977) WHO: Recommended Definitions,


Terminology and Format for Statistical Tables Related to the Perinatal
Period and Use of a New Certificate for Cause of Perinatal Deaths. Acta
Obstetricia et Gyne- cologica Scandinavica, 56, 247-253.

13.

Bishop, E.H. (1964) Pelvic Scoring for Elective Induction. Obstetrics &
Gynecology, 24, 266-268.

14.

Apgar, V. (1953) A Proposal for a New Method of Evaluation of the


Newborn Infant. Current Researches in Anesthe- sia & Analgesia, 32, 260267. http://dx.doi.org/10.1213/00000539-195301000-00041

15.

Thorbiornson, A., Vladic, T., Vladic Stjernholm, Y. (In Manuscript)


Advantage for Labor Induction with Oral Pros- taglandin-E1 Compared
with Vaginal Prostaglandin-E2 in Primiparous Women and Women with an
Unripe Cervix.

16.

Spong, C.Y., Berghella, V., Wenstrom, K.D., Mercer, B.M., Saade, G.R.
(2012) Preventing the First Cesarean Delivery: Summary of a Joint Eunice
Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human
Development, Society for Maternal-Fetal Medicine and American College
of Obstetricians and Gynecologists Workshop. Obstetrics & Gynecol- ogy,
120, 1181-1193.

17.

Heinemann, J., Gillen, G., Sanchez-Ramos, L. and Kaunitz, A.M. (2008)


Do Mechanical Methods of Cervical Ripen- ing Increase Infectious
Morbidity? A Systematic Review. American Journal of Obstetrics and

Gynecology, 189,177-188. http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2008.05.005

18. Abramovici, D., Goldwasser, S., Mabie, B.C., Mercer, B.M., Goldwasser, R.
and Sibai, B.M. (1999) A Randomized Comparison of oral Misoprostol
versus Foley Catheter and Oxytocin for Induction of Labor at Term.
American Journal of Obstetrics and Gynecology, 181, 1108-1112.
http://dx.doi.org/10.1016/s0002-9378(99)70090-6
19.

Goonewardene, M., Kumara, D.M.A., Ziard, M.H. and Bhabu, B. (2014)


Intracervical Foley Catheter vs Oral Miso- prostol for Preinduction Cervical
Ripening of Postdated Pregnancies. Sri Lanka Journal of Obstetrics and
Gynecology, 3, 66-70. www.slcog.lk

20. Ten Eikelder, M.L., Neervoort, F., Rengerink, K.O., Jozwiak, M., de
Leeuw, J.W., de Graaf, I., et al. (2013) Induction of Labour with a Foley
Catheter or Oral Misoprostol at Term: The PROBAAT-II Study, a
Multicenter Randomized Controlled Trial. BMC Pregnancy and Childbirth,
13, 183. http://dx.doi.org/10.1186/1471-2393-13-183

TELAAH JURNAL (PICOVIA)


1.

PROBLEM/PATIENT
Jurnal ini bertujuan untuk membandingkan induksi persalinan dengan kateter
transerviks dengan terapi misoprostol oral pada wanita primipara dan pada wanita
dengan serviks yang belum matang, yang memiliki risiko tinggi kegagalan induksi
persalinan

2.

INTERVENTION
Dalam penelitian ini tidak dilakukan intervensi apapun.
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif. Seluruh data klinis ibu dan
neonatus didapatkan dari rekam medis asli rumah sakit tersier di Department of
Womens and Childrens Health, Karolinska University Hospital, Solna, Swedia .

Data diambil pada tahun 2012 dan 2013.


3.

COMPARATION
a. Rata-rata skor Bishop lebih rendah pada kelompok misoprostol
dibandingkan
kelompok kateter transervikal (p < 0.001)
b. Pemasangan kateter transervikal diikuti dengan lebih tingginya
persalinan pervaginam < 24 jam pada wanita primipara dibandingkan
pada wanita dengan skor Bishop 3-4 (p < 0.001)
c. Angka seksio saesaria sebanding pada semua kelompok (p > 0.05)
d. Tingkat persalinan dengan bantuan alat pada setiap kelompok tidak jauh
berbeda/sama.

4.

OUTCOME
Interval induksi hingga persalinan pervaginam 8-12 jam lebih singkat pada
kelompok kateter (p < 0.001, Tabel 4). Pada kelompok misoprostol, 24
wanita (9%) terpasang kateter transerviks dan 6 wanita (2%) diterapi
dengan PGE2 vagina dikarenakan serviks yang tidak matang dengan skor
Bishop < 5 setelah diberikan 8 dosis maksimum misoprostol. Pada
kelompok kateter, tidak ada insersi yang diikuti dengan metode induksi

persalinan lainnya.
.
Angka korioamnionitis sebanding pada kedua metode ini (p > 0.05).
Berat badan lahir dan angka bayi baru lahir dengan skor Apgar < 7 pada
menit ke-5 sebanding (p > 0.05). Diantara wanita dengan ruptur membran
janin, persalinan pervaginam < 24 jam dicapai pada 75,5% dengan kateter
dan 53,2% dengan misoprostol oral (p > 0.05). Angka caesarian section
dengan kateter adalah 22,6% dibandingkan dengan 19% pada kelompok
misoprostol oral (p > 0.05).
5.

VALIDITAS
Studi ini disetujui oleh Dewan Etik Sains Medis di Stockholm 2014/25531. Studi ini dimulai sebagai proyek kontrol kualitas dalam Program
Edukasi Medis di Institut Karolinska.
Kelebihan : Kekuatan dengan penelitian ini adalah bahwa data yang
dikumpulkan dari catatan medis asli dan jumlah sampel yang besar
sehingga hasil yang didapat dapat mewakili populasi yang ada. Bias dalam
menyeleksi subyek dan menentukan status paparan kecil
Kelemahan : Desain penelitian retrospektif merupakan kelemahan dari
penelitian ini. Sehingga kelemahannya berupa : Memerlukan ketersediaan
catatan yang lengkap dan akurat. Validitas hasil penelitian dapat terancam ,
karena adanya subjek yang hilang pada saat follow up.

6.

IMPORTANT
Sangat sedikit laporan tentang induksi persalinan dengan transervikal
kateter dibandingkan misoprostol oral. Penelitian ini adalah penilaian dan
langkah awal yang signifikan dalam mengidentifikasi sikap dan praktik
spesialis obstetri ginekologi terhadap masalah induksi persalinan pada
wanita primipara dan wanita dengaan serviks yang belum matang, yang
akan mejadi informasi dan masukan terhadap tindakan induksi persalinan
pada wanita primipara dengan serviks yang belum matang.

7.

APPLICABLE
Induksi persalinan dilakukan pada hampir 25% kehamilan cukup bulan di
beberapa negara berkembang. Di Swedia, hal ini meningkat dari 7% pada awal
tahun 1990 hingga 16% pada tahun 2012. Induksi persalinan meningkatkan risiko
persalinan memanjang dan persalinan operatif. Selama ini pemberian

misoprostol oral tidak digunakan karena dianggap kurang efektif dan


memiliki efek samping pada gastrointestinal. Namun, pengobatan oral
dengan analog misoprostol PGE1 ditoleransi dengan baik dan diikuti
dengan risiko lebih rendah untuk hyperstimulasi rahim dan asfiksia
neonatal dibandingkan dengan misoprostol vaginal. Hasil penelitian ini
dapat dipakai sebagai acuan pedoman atau SOP untuk manajeman dalam
induksi persalinan wanita primipara dengan serviks yang belum matang .
Penelitian ini juga dapat diaplikasikan di RS W.Z. Johannes karena dapat
sebagai alternatif pada persalinan pervaginam karena saat ini masih tingginya
persalinan seksio saesaria di RS W.Z. Johannes.

Anda mungkin juga menyukai