PENDAHULUAN
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka
mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam
sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus,
kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.
Abses leher dalam dapat berupa: 1,2
1.
2.
3.
4.
5.
abses peritonsil
abses retrofaring
abses parafaring
abses submandibula
angina Ludovici (Ludwigs Angina)
BAB 2
1
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING
2.1.
ANATOMI FARING
Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. 3
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke
bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa
kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding
2
faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus
otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan
laringofaring (hipofaring).
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot. 4
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofraing karena
fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis
yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena
fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya berlapis gepeng dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam
rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring
dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.
2. Palut lendir (mucous blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di
bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan bergerak
sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini mengandung enzim lysozyme
yang penting untuk proteksi.
3. Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. konstriktor faring superior, media, dan
inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian
bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot
ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut rafe
faring (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot
ini dipersarafai oleh N. vagus [X].
Otot-otot yang longitudinal adalah M. stilofaring dan M. palatofaring. Letak otot-otot
ini di sebelah dalam. M. stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,
sedangkan M. palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah
faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting
3
Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Yang utama berasal dari cabang A. karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang
fausial) serta dari cabang A. maksila interna yakni cabang palatina superior.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari N.vagus, cabang dari N. glososfaring
dan serabut simpatis. Cabang faring dari N. vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring
yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali M. stilofaring yang
dipersarafi langsung oleh cabang N. glosofaring [IX].
Kelenjar getah bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media, dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar
getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening
jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir
ke kelenjar getah bening dalam bawah.
Pembagian faring
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
verrtebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan
beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring
dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen
jugulare, yang dilalui oleh N. glosofaring, N. vagus, dan N. asesorius spinal saraf
kranial dan V. jugularis interna, bagian petrosus Os. temporalis dan foramen laserum,
dan muara tuba Eustachius.
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring,
tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual, dan foramen sekum.
Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat dalam
radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di
bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum
mole berhubungan dengan gangguan N. vagus.
Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah M. konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper
pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi
jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila
terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang
sebenarnya.
Tonsil
tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka
struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika
medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
kantong pil (pills pocket), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan
pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk
infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis
ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan,
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di
faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.
Lapisan fasia leher dalam
Fasia servikalis :
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1. Lapisan superfisial
2. Lapisan media :
divisi muskular
divisi viscera
3. Lapisan profunda :
divisi alar
divisi prevertebra
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus organ,
otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia
servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis
profunda.
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah
toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis
8
superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan
pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu : 7
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak sampai
daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan melekat pada
klavikula serta membungkus M. sternokleidomastoideus, M. trapezius, M. masseter, kelenjar
parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan
pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi muskular
terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus M.
sternohioid, M. sternotiroid, M. tirohioid dan M. omohioid. Dibagian superior melekat pada
Os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan
skapula.
Divisi viscera membungkus organ-organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea
dan esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior
sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os
hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta
bersatu dengan perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang
berada pada bagian posterior faring dan menutupi M. konstriktor dan M. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan
dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan
media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang
retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas
ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari dasar
tengkorak sampai ke Os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan
dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk
selubung karotis (carotid sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang
faringomaksilaris sampai ke toraks.
Ruang faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti
penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4
1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan
ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah
mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh :
anterior : fasia bukkofaringeal (divisi viscera lapisan media fasia servikalis
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi
bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II) dimana divisi viscera dan alar bersatu. Abses
retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di ruang
retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang
terpisah di bagian lateral oleh midline raphe. Tiap-tiap bagian mengandung 25 buah kelenjar
limfe retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 45 tahun. Kelenjar ini
menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba
Eustakius dan telinga tengah. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang
bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut juga
dengan ruang retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior.
2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak
dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus Os hioid. Ruang ini dibatasi di
bagian dalam oleh M. konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asendens
mandibula yang melekat dengan M. pterigoideus interna dan bagian posterior kelenjar
parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh Os stiloid dengan
otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah bagian yang lebih luas dan
dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk
mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
10
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi A. karotis interna, V.
jugularis interna, N. vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis
(carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang
tipis.
11
12
danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi prevertebra
13
Gambar 9. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger space, dan
prevertebral space.10
Ruang submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid.
Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila
(lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari badan mandibula,
medial oleh perut anterior M. digastricus, posterior oleh ligament stylohyoid dan perut
posterior dari M. digastricus, superior oleh M. mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh
lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva sub
mandibular dan sub mandibular lymphanodes.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang
submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila
saja.
14
Gambar 10. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh M. mylohyoideus.
2.2.
FISIOLOGI FARING
Fungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara,
disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu
pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung.
Fungsi faring dalam proses bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding belakang
faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula M.
salfingofaring dan M. palatofaring, kemudian M. levator veli palatini bersama-sama M.
konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring M. levator veli palatini
menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak
yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan M.
palatofaring (bersama M. salfingofaring) dan oleh kontraksi aktif M. konstriktor faring
superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan.
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi,
tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
bersamaan dengan gerakan palatum.
16
BAB 3
ABSES LEHER DALAM
3.1.
3.1.3. Etiologi
17
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab
tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1
Biasanya, organisme Gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi melalui kultur.
Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang paling sering. Selanjutnya, yang
paling sering adalah Staphylococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus. Terakhir, organisme
lain yang bisa dikultur adalah Lactobacillus, bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces
sp., Micrococcus, Neisseria sp., diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak bersporulasi.
Beberapa bukti menunjukkan bakteri anaerob sering menyebabkan infeksi ini. 13
3.1.4. Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menampati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Proses inflamasi dan supurasi dapat melebar
melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang, dasar lidah. Walaupun
sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior.1
Patofisiologi abses peritonsil tidak diketahui. Teori yang paling banyak diterima
adalah kelanjutan dari episode tonsilitis eksudatif yang menjadi peritonsilitis terlebih dahulu
dan lalu membentuk abses. Progresifitas proses inflamasi dapat terjadi pada populasi yang
diobati dan yang tidak diobati. Abses peritonsil juga ditemukan tanpa riwayat tonsilitis
rekuren atau kronis. Abses peritonsil juga bisa merupakan manifestasi dari infeksi Epstein
Barr Virus (misalnya mononucleosis).12
Teori lain menunjukkan asal abses peritonsil ada di kelenjar Weber.1,12 Kelenjar air liur
kecil ini ditemukan di ruang peritonsil dan disebutkan membantu membersihkan debris dari
tonsil. Saat obstruksi terjadi sebagai hasil dari jaringan parut karena infeksi, nekrosis jaringan
dan pembentukan abses terjadi, sehingga terjadilah abses peritonsil.
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis, bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut
lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral.
18
19
20
karena intake oral yang kurang. Untuk mengetahui dua peristiwa ini perlu
pemeriksaan darah perifer lengkap, elektrolit, dan kultur darah.
Tes Monospot
Pada pasien yang menunjukkan tonsilitis dan limfadenopati servikal bilateral,
tes Monospot (antibodi heterofil) harus dipertimbangkan
Jika hasil tes positif, pasien membutuhkan evaluasi hepatosplenomegali. Tes
yang paling tepat saat organisme teridentifikasi, membatasi resiko resitensi antibiotik.
3. Pemeriksaan radiologi
Foto x-ray jaringan lunak polos
Foto jaringan lunak leher lateral menampakkan nasofaring dan orofaring dapat
membantu dokter untuk menyingkirkan abses retrofaring.
Pada foto anteroposterior, foto menunjukkan distorsi jaringan lunak tetapi
21
Lokasi aspirasi dianestesi dengan lidocaine dengan epinefrin, dan jarum ukuran 16-18
G dipasang di spuit 10cc. Infiltrasi adalah metode pilihan untuk anestesi lokal untuk
nyaman.
Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh dari abses.
Penggunaan penisilin intravena dosis tinggi tetap sebagai pilihan baik untuk
pertama.
Cephalexin atau sefalosporin lain (dengan atau tanpa metronidazol) tampaknya
merupakan pilihan awal. Pilihan alternatif antara lain (1) cefuroxime or
cefpodoxime
(dengan
atau
tanpa
metronidazol),
(2)
klindamisin,
(3)
secara
signifikan mengurangi waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan trismus
dibandingkan dengan kelompok pasien yang hanya diobati dengan antibiotik
parenteral.17 Dan juga, penggunaan steroid pada pasien dengan gejala dan tanda
2. Bedah
Penanganan pasien yang diduga abses peritonsil sebaiknya meliputi rujukan ke spesialis THT
atau bedah dengan pengalaman terhadap penanganan penyakit ini. Rujukan segera sebaiknya
dipertimbangkan jika diagnosis belum jelas dan diindikasikan pada pasien dengan obstruksi jalan
napas.
Preoperatif
Persetujuan sebaiknya diterima dari pasien atau wali hanya setelah menjelaskan
komplikasi yang mungkin secara hati-hati.
Pada kasus dimana akses jalan napas terganggu, konsultasi segera dengan dokter
anestesi harus dilakukan, dan mendiskusikan obstruksi jalan napas yang potensial.
Potensi obstruksi jalan napas yang signifikan muncul jika akses jalan napas pasien
dibatasi oleh trismus atau edema struktur orofaringeal.
Intraoperatif
Pada pasien kooperatif, tindakan dapat dilakukan di kursi pemeriksaan. Lipatan
supratonsil dianestesi dengan injeksi anestesi lokal dengan epinefrin untuk mengurangi
perdarahan. Tempat aspirasi atau insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau
pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada
sisi yang sakit.
a. Aspirasi jarum
Aspirasi jarum dapat dilakukan pada anak berumur 7 tahun, khususnya jika
sedasi sadar dilakukan.
Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik karena bisa
menentukan lokasi rongga abses secara akurat.
Cairan aspirasi dapat dikirim untuk kultur dan pada beberapa kasus, dpat tidak
dilanjutkan dengan insisi dan drainase.
24
Pembukaan dibiarkan terbuka untuk drainase, dan pasien diminta untuk berkumur
dengan larutan NaCl, supaya material yang terakumulasi keluar dari rongga abses.
Aspirasi atau drainase yang berhasil menuju ke perbaikan segera gejala-gejala
pasien.
Pada pasien sangat muda atau inkooperatif atau saat abses terletak di tempat tidak
biasa, sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
tonsilektomi afroid.
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-
Pascaoperatif
Beberapa pasien mungkin membutuhkan rawat inap untuk 24-48 jam atau sampai
intake oral sudah terpenuhi dan nyeri sudah menurun.
Penggunaan antibiotik lanjutan jika penting. Saat pasien dapat intake cairan lewat
mulut, antibiotik bisa diberikan secara oral selama 7-10 hari.
3.1.9. Komplikasi
Sejumlah komplikasi klinis dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil terlewat atau
terlambat. Keparahan komplikasi tergantung progresifitas penyakit dan juga karakteristik
ruang-ruang yang terkena. Penanganan dan pencegahan segera penting.1,12
1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
4. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang submandibular dan sublingual di dasar mulut
(Angina Ludovici).
5. Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau
cabangnya terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal
pascaoperasi.18
26
3.1.10. Prognosis
Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat sembuh
dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami abses kembali, membutuhkan
tonsilektomi. Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronis
setelah insisi dan drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan. 12
3.2.
ABSES RETROFARING
3.2.1. Definisi1,2,19
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep
neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses
infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe
retrofaring.
Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini
terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing
2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun
kelenjar limfa akan mengalami atrofi.
Abses retrofaringeal menghasilkan gejala nyeri tenggorok, demam, kaku leher, dan
stridor. Abses retrofaringeal terjadi lebih sedikit daripada jaman dahulu karena penggunaan
antibiotik meluas pada infeksi saluran napas atas supuratif. Abses retrofaringeal, dulu secara
eksklusif merupakan penyakit anak, sekarang meningkat frekuensinya pada orang dewasa.
Abses retrofaringeal menunjukan tantangan diagnostik pada dokter gawat darurat karena
kejadiannya yang tidak frekuen dan presentasi yang bervariasi.
Pengenalan segera dan penanganan agresif terhadap abses retrofaringeal penting
karena penyakit ini masih memiliki mortalitas dan morbiditas yang signifikan.
27
3.2.2. Epidemiologi
Frekuensi
Abses retrofaringeal relatif berkurang frekuensinya dibanding dulu karena
penggunaan antibiotik. Namun pada beberapa studi di Amerika Serikat yang merupakan
negara maju juga didapatkan peningkatan frekuensi dalam 12 tahun sebanyak 4,5 kali.20
Mortalitas / Morbiditas
Saat mediastinitis terjadi, mortalitas mencapai 50%, meskipun dengan pengobatan
antibiotik. Abses retrofaringeal juga dapat menyebabkan trombosis vena jugularis interna,
erosi
arteri karotid, perikarditis, dan abses epidural. Selain invasi ke struktur yang
berdekatan, abses retrofaringeal juga bisa menyebabkan sepsis dan resiko terhadap jalan
napas (airway compromise).
Tingkat mortalitas keseluruhan adalah 1% penelitian infeksi ruang leher dalam di
Taiwan.21 Pada studi terhadap 234 orang dewasa dengan infeksi leher dalam di German,
tingkat mortalitas 2,6%.22 Penyebab kematian terutama karena sepsis dengan kegagalan
multiorgan. Di Amerika Serikat, 2003, pada data pasien rawat inap anak (Kids Inpatient
Database) menunjukan 1321 pasien abses retrofaring tanpa kematian. 28 Pada kasus di
Childrens National Medical Center di Washington DC menunjukkan 4 anak umur 8-18 bulan
dengan abses retrofaringeal yang terkana mediastinitis. Ke-4 anak diobati secara agresif
dengan antibiotik dan drainase bedah, dan 3 pasien membutuhkan debridement torakoskopik.
Ke-4 anak selamat tanpa sekuel.29
Ras
Abses retrofaringeal melalui beberapa studi menunjukan hasil yang berbeda-beda
dalam hubungannya dengan ras.
Dalam 10 tahun kasus abses retrofaringeal yang ditangani di Kings County Hospital
di Brooklyn, New York, 70% pasien adalah dari ras Afrika-Amerika, 25% Kaukasia,
dan 5% Hispanik.
28
Pada studi pasien pedtiatrik dengan abses retrofaringeal di Wayne State University di
Detroit menunjukkan 43% kasus terjadi di orang kulit hitam, 54% kulit putih, 1%
Hispanik, dan 1% campuran.
Di Amerika Serikat, 2003, pada data pasien rawat inap anak (Kids Inpatient
Database) menunjukan 1321 pasien abses retrofaring, 37,4% kulit putih, 11,7%
Afrika-Amerika, 11,1% Hispanik, 2% Asia, 3,8% ras lain, dan sisanya ras tidak
dicatat.28
Jenis Kelamin
Abses retrofaringeal lebih biasa terjadi pada laki-laki daripada perempuan, dengan
frekuensi 50-67% pada laki-laki dan 33-50% pada perempuan, dari hasil beberapa studi.22,23.
Umur
Abses retrofaringeal dulu merupakan penyakit yang biasa terjadi pada anak, namun
sekarang frekuensi pada dewasa meningkat.19
3.2.3. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi
saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding belakang
faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi,
intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses
dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised atau penyakit kronis seperti diabetes,
kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko yang meningkat terhadap abses
retrofaringeal.1,2,19
3.2.4. Patofisiologi 19
Ruang retrofaringeal adalah posterior dari faring,
anterior, fasia prevertebral di posterior, dan selubung karotid di lateral. Ruang ini memanjang
superior sampai basis kranii dan inferior ke mediastinum.
Abses di ruang ini dapat disebabkan oleh organisme berikut:
-
29
napas, mediastinitis, pneumonia aspirasi, abses epidural, trombosis vena juular, fasiitis
nekrotikans, sepsis, dan erosi arteri karotid.
3.2.5. Gejala dan tanda 1,2,19
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil,
rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga
terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan, terutama
di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor.
Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan
suara. Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan
gizi yang kurang disertai letargi.
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat
bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat membengkak. Pada anak
dapat ditemukan gejala dan tanda tonsilitis, faringitis, dan juga otitis media.
3.2.6. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium 19
Rata-rata sel darah putih pada suatu studi 17000, dengan jarak antara 310045900.
Sel darah putih pada 18% pasien kurang dari 8000; jadi, sel darah putih
normal tidak menyingkirkan diagnosis abses retrofaringeal.
Pada studi di Jerman, rata-rata sel darah putih 14700 dengan jarak 200114000.
30
Kultur darah diindikasikan sebelum pemberian antibiotik, tapi hasil kultur mungkin
negatif pada sekitar 82% kasus abses retrofaringeal.
Kultur pus, yang diaspirasi pada saat drainase abses retrofaringeal, dapat
menumbuhkan satu atau lebih organisme 91% dari setiap pemeriksaan.
Pada studi orang dewasa dan anak dengan infeksi leher dalam, pasien dengan
protein C-reaktif lebih dari 100 memiliki masa rawat inap lebih lama.
2. Pemeriksaan radiologi 19
Pelebaran jaringan lunak retrofaringeal diamati pada 88% pasien dengan abses
retrofaringeal menunjukan pembengkakan jaringan lunak lebih dari 7 mm pada C2
dan lebih dari 14 mm pada C6. Studi lain menemukan pembengkakan jaringan
lunak lebih dari 7 mm pad C2 dan lebih dari 22 mm pada C6; jadi, radiografi leher
lateral bisa kurang sensitif untuk mendeteksi abses retrofaringeal daripada studi ini.
CT scan leher
o
CT scan leher dengan kontras intravena sangat bergun untuk diagnosis dan
manajemen abses retrofaringeal. Abses retrofaringeal tampak sebagai lesi hipodens
pada ruang retrofaringeal dengan penebalan cincin perifer. Temuan lain pada CT
scan meliputi pembengkakan jaringan lunak, lapisan lemak yang terobliterasi, dan
efek masa.
Lakukan CT scan leher dengan kontras intravena saat temuan x-ray leher
lateral kurang jelas atau gejala klinis abses retrofaringeal memenuhi tetapi x-ray
31
leher lateral memberi hasil negatif. X-ray leher lateral dapat menyesatkan, terutama
pada anak-anak.
CT scan leher dengan kontras intravena juga dapat berguna jika x-ray positif
karena CT scan dapat membedakan antara abses retrofaringeal dan selulitis. CT scan
juga menunjukkan pelebaran abses retrofaringeal
limfadenopati pada anak, yang dapat membantu dokter bedah THT untuk
menentukan pengobatan dengan antibiotik intravena saja atau dengan drainase abses.
Foto x-ray dada diindikasikan untuk melihat pneumonia aspirasi dan mediastinitis.
MRI dengan gadolinium dapat melihat abses retrofaring, tetapi modalitas ini belum
digunakan secara luas.
3.2.7. Diagnosis 1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas
atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan
lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7
mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih
dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra
servikal.
3.2.8. Diagnosis banding 1,19
1.
2.
3.
4.
5.
Adenoiditis
Tumor
Aneurisma aorta
Epiglotitis
Abses peritonsil
3.2.9. Terapi 1
32
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob,
diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi
langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak
terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien
dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
3.2.11. Prognosis 19
Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera, ditangani
secara agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa setinggi 40-50% jika
pasien mengalami komplikasi serius.
3.3.
ABSES PARAFARING
34
disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di bawah garis perlekatan M. milohiod pada
mandibula sedang gigi anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut.
35
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior M. sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan M. pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan M.
sternokleidomastoideus (cara Mosher).
37
3.4.
ABSES SUBMANDIBULA
3.4.1. Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah submandibula.1,2,26 Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
(deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari
proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga
kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.1,2
Akhir-akhir ini abses leher bagian dalam termasuk abses submandibula sudah
semakin jarang dijumpai.27 Hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang luas dan kesehatan
mulut yang meningkat. Walaupun demikian, angka morbiditas dari komplikasi yang timbul
akibat abses submandibula masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan yang
cepat dan tepat sangat dibutuhkan.
3.4.2. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar
limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.1
Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula, jika
apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid. Infeksi dari gigi dapat
menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara langsung melalui
pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang mastikor.27
Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik
kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan
adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Pneumonia,
Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan
pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella,
maupun Fusobacterium.37
3.4.3. Patofisiologi
Patofisiologi abses submandibula melalui gigi antara lain:38
1. Iritasi Pulpa
2. Hiperemic Pulpa
38
3. Pulpitis
4. Ganggren pulpa
5. Abses
Gambar 20. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital.
39
Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal space; CS:
carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland; GGM: genioglossus
muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle; MPM: medial pterygoid muscle;
LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal muscle.27
3.4.4. Gejala dan tanda 1,2
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau
di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur yang banyak, trismus akibat
keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh
lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
adanya pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi
didapatkan material yang bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus
mandibula dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.
3.4.5. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik.
2. Radiologis
a. Foto x-ray jaringan lunak kepala AP
b. Foto x-ray panoramik: dilakukan apabila penyebab abses submandibuka berasal
dari gigi.
c. Foto x-ray thoraks: perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema
subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.
d. CT-scan: CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standard pada
abses leher dalam. Berdasarkan suatu penelitianbahwa hanya dengan pemeriksaan
klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu
rendah pada 70% pasien. Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan
hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid
level.37
3.4.6. Diagnosis 1,2
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3.4.7. Terapi
1. Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya
40
Gambar 21. (a) Insisi pada abses submandibula atau parotid. (b). Insisi pada abses
submasseter. Pada saat insisi kutaneus, perjalanan arteri dan vena fasialis (a) harus
diperhatikan, begitu juga dengan nervus fasialis (b).
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan trakeostomi
perlu dipertimbangkan.
3.4.8. Komplikasi
41
3.5.
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan
anaerob. Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik
melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang. Selain itu,
95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang submandibular bilateral dan gangguan jalan
nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang seringkali merenggut nyawa. Rute
infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau dari
perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga yang erupsi
sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah
ketiga pada tanda pertama sakit, perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau
adanya bengkak di sudut rahang.
Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab odontogenik
dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat M. myohyloid,
dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke ruang submandibular. Di samping
itu, perawatan gigi terakhir juga dapat menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran
organisme dari gangren pulpa ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta
inokulasi Streptococcus yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan
submandibular oleh manipulasi instrumen saat perawatan gigi.
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar
submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut, abses
peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher,
trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah,
infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui
isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri anaerob yang
diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan peptococci.
Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum, Aerobacter
aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri
Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies
Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella.
43
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa tegang
dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka
mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta
kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Gejala
klinis umum angina Ludovici meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam kasus yang
parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi
eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian
suhu pada leher dan jaringan ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot
potato voice) akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan,
nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan
dalam artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular yang
dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan
adanya iritasi pada M. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan
air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis menunjukkan adanya
hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan segera. Pada pasien juga
mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena kurangnya asupan makanan dan
minuman.
3.5.4. Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan laboratorium
drainase.
Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang menginfeksi
(aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan antibiotik dalam terapi.
2.
Pemeriksaang radiologi
Foto x-ray: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam
mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat menunjukkan
luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada dapat menunjukkan
perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru. Foto panoramik rahang
44
dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses, serta struktur tulang
abses.
CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat memberikan
evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan dapat mendeteksi
akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan napas sehingga
dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan
buatan.
MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak dibandingkan
dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam lebih panjangnya
waktu yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat berbahaya bagi pasien
yang mengalami kesulitan bernapas.
produksi
beta-laktamase
terutama
pada
Bacteroides
sp,
penambahan
dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh M. styloglossus melalui M.
constrictor media dan superior, merupakan penghubung antara ruang submandibular dengan
ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig dapat menyebar secara langsung melalui
celah buccopharingeal ini ke ruang pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan cepat
menjadi berbahaya serta menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat.
Akibat barrier anatomik yang tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar secara mudah ke
jaringan leher, ruang fascia retropharingeal, bahkan hingga mediastinum dan ruang
subphrenik. Selain gejala obstruksi jalan napas yang dapat terjadi tiba-tiba, komplikasi dari
angina Ludwig dapat berupa trombosis sinus kavernosus, aspirasi dari sekret yang terinfeksi,
dan pembentukan abses subphrenik. Komplikasi lebih lanjut yang telah dilaporkan meliputi
sepsis, mediastinitis, efusi perikardial/pleura, empiema, infeksi dari carotid sheath yang
mengakibatkan ruptur A. carotis, dan thrombophlebitis supuratif dari V. jugularis interna.
3.5.8. Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk
mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. Sekitar
45% 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang terinfeksi, disertai
dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain itu,
35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan trakeostomi.
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian pada era
preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas
yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam
ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka
mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%.30
BAB 4
KESIMPULAN
47
Infeksi leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses
submandibula, angina ludovici, dan abses parafaring. Infeksi leher bagian dalam berkembang
dalam ruang faring yang potensial. Sumber infeksi dapat berasal dari gigi geligi, faring atau
traumatik, dimana terjadi perforasi pada membran mukosa pelindungan mulut atau ruang
faring.
Infeksi pada leher dalam merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam jiwa
akibat komplikasi-komplikasi terjadinya abses yang dapat menyebabkan kondisi lain yang
lebih serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan
kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di ruang potensial di antara
dua fascia leher. Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi.
Kuman penyebab abses leher dalam adalah campuran kuman aerob dan anaerob.
Kuman aerob yang paling dominan adalah stafilokokus dan streptokokus. Kuman anaerob
paling banyak adalah kuman gram negatif anaerob. Antibiotik ceforazone, ceforazone
sulbactam, moxyfloxacine, dan ceftriaxone masih sensitif terhadap kuman aerob penyebab
abses leher dalam. Metronidazole dan klindamisin sensitif terhadap kuman anaerob gram
negatif.
48
DAFTAR PUSTAKA
searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrugMatch=False&searchSo
urce=Images&ftbool=False.
14. Ramirez-Schrempp D, Dorfman DH, Baker WE, Liteplo AS. Ultrasound soft tissue
applications in the pediatric emergency department: to drain or not to drain?. Pediatric
Emergency Care. Jan 2009;25(1):44-8.
15. Kilty SJ, Gaboury I. Clinical predictors of peritonsillar abscess in adults. J Otolaryngol
Head Neck Surg. Apr 2008;37(2):165-8.
16. Ozbek C, Aygenc E, Tuna EU, Selcuk A, Ozdem C. Use of steroids in the treatment of
peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Jun 2004;118(6):439-42.
17. Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy hemorrhage:
assessment of risk factors with special attention to introduction of coblation technique.
Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul 2009;266(7):1011-5.
18. Kahn JH, OConnor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. Terakhir
diperbaharui:
17
Juni
2010.
Diakses:
10
Mei
2016.
Terdapat
pada:
http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall.
19. Abdel-Haq NM, Harahsheh A, Asmar BL. Retropharyngeal abscess in children: the
emerging role of group A beta hemolytic streptococcus. South Med J. Sep
2006;99(9):927-31.
20. Wang LF, Kuo WR, Tsai SM, Huang KJ. Characterizations of life-threatening deep
cervical space infections: a review of one hundred ninety-six cases. Am J Otolaryngol.
Mar-Apr 2003;24(2):111-7.
21. Ridder GJ, Technau-Ihling K, Sander A, Boedeker CC. Spectrum and management of
deep neck space infections: an 8-year experience of 234 cases. Otolaryngol Head Neck
Surg. Nov 2005;133(5):709-14.
22. Lander L, Lu S, Shah RK. Pediatric retropharyngeal abscesses: a national perspective.
Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Dec 2008;72(12):1837-43.
23. Shah RK, Chun R, Choi SS. Mediastinitis in infants from deep neck space infections.
Otolaryngol Head Neck Surg. Jun 2009;140(6):936-8.
24. Coticchia JM, Getnick GS, Yun RD, Arnold JE. Age-, site-, and time-specific differences
in pediatric deep neck abscesses. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. Feb
2004;130(2):201-7.
25. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal infection.
International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
26. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all. Odontogenic
infection pathway to the submandibular space: imaging assessment. Int. J. Oral
Maxillofac. Surg. 2002; 31: 1659.
27. Huang T, Chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection: analysis of
18 cases. Head and neck. Ockt 2004.860-4 .
50
51