Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Teori


2.1.1 Konsep Masa Nifas
a. Pengertian
Masa nifas (postpartum/ puerperium) berasal dari bahasa latin yaitu dari kata
puer yang artinya bayi dan parous yang berarti melahirkan. Yaitu masa pulih
kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat- alat kandungan kembali seperti pra
hamil. Lama pada masa ini berkisar 6- 8 minggu (Sujiyatini, 2010).
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alatalat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung
selama kira- kira 6 minggu (Prawirohardjo, 2006).
Puerperium ialah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya
kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu.
b. Macam-Macam Nifas
1) Puerperium dini
Yaitu kepulihan dinama ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan dan
boleh bekerja setelah 40 hari
2) Puerperium intermedial
Yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia lamanya 6 8 minggu
3) Remote Puerperium
Yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama
hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi waktu untuk sehat sempurna
bisa berminggu-minggu, bulan atau tahunan.
(Sujiyatini, 2010)
c. Tujuan Asuhan Masa Nifas
1) Memulihkan dan mempertahankan kesehatan fisik ibu dengan :
Mobilasi bertahap
Menjaga kebersihan
Mencegah terjadinya anemi
2) Memulihkan dan mempertahankan kesehatan psikologis ibu dengan memberi
dukungan dan memperkuat keyakinan ibu dalam menjalankan peran ibu.
3) Mencegah terjadinya komplikasi selama masa nifas dan bila perlu melakukan
pengobatan ataupun rujukan.
4) Memperlancar dalam pembentukan ASI.
5) Memberikan konseling informasi dan edukasi / KIE pada ibu dan keluarganya
tentang perubahan fisik dan tanda- tanda infeksi, pemberian ASI, asuahan pada
diri sendiri, gizi seimbang, kehidupan seksual dan kontrasepsi sehingga ibu
mampu merawat dirinya dan bayinya secara mandiri selama masa nifas.
(Sujiyatini, 2010)
d. Perubahan Fisiologis Masa Nifas
Selama hamil, terjadi perubahan pada sistem tubuh wanita, diantaranya terjadi
perubahan pada sistem reproduksi, sistem pencernaan, sistem perkemihan, sistem
muskuluskeletal, sistem endokrin, sistem kardiovaskular, sistem hematologi, dan
perubahan pada tanda- tanda vital. Pada masa postpartum perubahan- perubahan
tersebut akan kembali menjadi seperti saat sebelum hamil. Adapun perubahannya
adalah sebagai berikut :
1) Sistem Reproduksi

a) Involusi uterus
Involusi uterus melibatkan reorganisasi dan penanggalan decidua /metrium
dan pengelupasan lapisan pada tempat implantasi plasenta sebagai tanda
penurunan ukuran dan berat serta perubahan tempat uterus, warna dan jumlah
lochia.
b) Involusi tempat plasenta
Setelah plasenta terlepas, tempat plasenta merupakan tempat dengan
permukaan kasar, tidak rata dan kira- kira sebesar telapak tangan. Dengan
cepat luka ini akan mengecil, pada akhir minggu ke-2 hanya sebesar 3-4 cm
dan pada akhir nifas 1-2 cm.
c) Perubahan ligamen
Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang meregang sewaktu
kehamilan dan partus, setelah janin lahir, berangsur- angsur menciut kembali
seperti sediakala.
d) Perubahan pada serviks
Serviks mengalami involusi bersama- sama uterus. Setelah persalinan, bentuk
serviks agak menganga seperti corong berwarna merah kehitaman.
Konsistensinya lunak kadang-kadang teradapat perlukaan-perlukaan kecil.
Setelah bayi lahir tangan masih bisa masuk rongga rahim setelah 2 jam dapat
dilalui oleh 2-3 jari dan setelah 7 hari hanya dapat dilalui 1 jari.
e) Lochea
Adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina pada masa
nifas.
(1) Lochea rubra (cruenta)
Berisi darh segar, sisa-sisa selaput etuban, sel-sel desidua, verniks kaseosa
lanugo dan mekonium. Selama 2 hari pasca persalinan.
(2) Lochea sangunolenta
Berwarna merah kuning berisi darah dan lendir. Pada hari ke 3-7 pasca
persalinan.
(3) Lochea serosa
Berwarna kuning. Cairan tidak berdarah lagi. Pada hari ke 7 14 pasca
persalinan.
(4) Lochea alba
Cairan putih setelah 2 minggu
f) Perubahan pada vulva, vagina dan perineum
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar
selama proses melahirkan bayi dan dalam beberapa hari pertama sesudah
proses tersebut, kedua organ ini tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah 3
minggu vulva dan vagina kembali kepada keadaan tidak hamil dan rugae
dalam vagina secara berangsur- angsur akan muncul kembali sementara labia
menjadi lebih menonjol.
2) Sistem Pencernaan
a) Nafsu makan
Ibu biasanya laparsegera setelah melahirkan, sehingga ia boleh mengonsumsi
makanan ringan.
b) Mortilitas
Secara khas, penurunan tonus dan mortalitas otot traktus cerna menetap selama
waktu yang singkat setelah bayi lahir.
c) Pengosongan usus
Buang air besar secara spontan bisa tertunda selama dua sampai tiga hari
setelah ibu melahirkan.
3) Sistem Perkemihan

a) Keseimbangan cairan dan elektrolit


(1) Mencapai hemostasis internal
(2) Keeimbangan asam basa
(3) Mengeluarkan sisa metabolisme, racun dan zat toksin
b) Keseimbangan dan keselarasan berbagai proses di dalam tubuh:
(1) Pengaturan tekanan darah
(2) Perangsangan produksi sel darah merah
c) Sistem urinarius
Perubahan hormonal pada masa hamil ( kadar streroid yang tinggi) turut
menyebabkan peningkatan fungsi ginjal, sedangkan penurunan kadar steroid
setelah wanita melahirkan sebagian menjelaskan sebab penurunan fungsi
ginjal selama masa postpartum.
d) Komponen urin
Glikosuria ginjal yang diinduksikan oleh kehamilan menghilang.
e) Diuresis postpartum
Dalam 12 jam pasca melahirkan, ibu mulai membuang kelebihan cairan yang
tertimbun di jaringan selama ia hamil.
f) Uretra dan kandung kemih
Trauma bila terjadi pada uretra dan kandung kemih selama proses melahirkan,
yakni sewaktu bayi melewati jalan lahir.
g) Sistem Muskuluskeletal
Adaptasi sistem muskuluskeletal ibu yang terjadi selama masa hamil
berlangsung secara terbalik pada masa postpartum. Adapatasi ini mencakup
hal- hal yang membantu relaksasi dan hipermobilitas sendi dan perubahan
pusat gravitasi ibu akibat pembesaran rahim. Stabilitasi sensi lengkap pada
minggu ke 6 sampai minggu ke- 8 setelah wanita melahirkan. Akan tetapi,
walaupun semua sendi lain kembali normal sebelum hamil, kaki wanita tidak
menglami perubahan setelah melahirkan.
4) Sistem Endokrin
a) Hormon plasenta
Hormon plasenta menurun dengan cepat setelah persalinan. HCG menurun
dengan cepat dan menetap sampai 10% dalam 3 jam sampai hari ke-7
postpartum dan sebagai onset pemenuhan mamae pada hari ke- 3 postpartum
b) Hormon pituitary
Prolaktin darah meningkat dengan cepat, pada wanita tidak menyusui menurun
dalam waktu 2 minggu. FSH dan LH meningkat pada fase konsentrasi
folikuler pada minggu ke- 3, dan LH tetap rendah hingga ovulasi terjadi
c) Hipotalamik pituitary ovarium
Untuk wanita yang menyusui dan tidak menyusui akan mempengaruhi
lamanya ia mendapatkan menstruasi
5) Sistem Kardiovaskular
Pada persalinan pervaginam kehilangan darah sekitar 300-400 cc. Bila
kelahiran melalui seksio sesaria, maka kehilangan darah dapat dua kali lipat.
Perubahan terdiri dari volume darah dan hematokrit. Bila persalianan pervaginam,
hematokrit akan naik dan pada seksio sesaria, hematokrit cenderung stabil dan
kembali normal setelah 4- 6 minggu.
Setelah persalianan, shunt akan hilang dengan tiba- tiba. Volume darah ibu
relatif akan bertambah. Keadaan ini akan menimbulkan beban pada jantung, dapat
menimbulkan decompensation cordia pada penderita vitum cordia. Keadaan ini
dapat diatasi dengan timbulnya haemokonsentrasi sehingga volume darah kembali
seperti sediakala, umumnya hal ini terjadi pada hari 3-5 pospartum.
6) Sistem Hematologi

Selama minggu-minggu terakhir kehamilan, kadar fibrinogen dan plasma serta


faktor- faktor pembekuan darah meningkat.
a) Perubahan Pada Tanda- Tanda Vital
Suhu badan: Suhu badan setelah persalianan mungkin naik 0,5 C hingga
37,2 C- 37 C, tetapi tidak melebihi 38 C.
b) Nadi
Denyut nadi normal pada orang dewasa 60- 80 kali permenit. Sehabis
melahirkan bisa terjadi brakardia puerperial yang denyut nadinya mencapai
40-50 kali/ menit.
c) Tekanan darah
Biasanya tidak berubah, kemungkinan tekanan darah akan lebih rendah setelah
ibu melahirkan katena ada perdarahan.
d) Pernapasan
Keadaan pernapasan selalu berhubungan dengan keadaan suhu dan denyut
nadi (Sujiyatini, 2010).
7) Aspek psikososial yang terjadi pada masa nifas
a) Fase taking in
Yaitu terjadi fantasi, introspeksi, proyeksi dan penolakan.perhatian ibu
terutama terhadap kebutuhan dirinya, mungkin pasif dan ketergantungan.
b) Fase taking hold
Yaitu tahap meniru dan role play.
c) Fase letting go
Yaitu ibu sudah mengambil tanggung jawab dalam merawat bayinya.
(Sujiyatini, 2010)
8) Kebutuhan Dasar Ibu Nifas
a) Nutrisi dan Cairan
Disamping perawatan pada bayi, yang juga sangat penting diperhatikan
adalah merawat kesehatan ibu. Demikian pula dengan asupan makanannya
terutama bagi ibu yang menyusui.
b) Ambulasi
Ambulasi sedini mungkin sangat dianjurkan bagi ibu pasca bersalin karena
hal ini akan meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah resiko terjadi
tromboplebitis, meningkatkan fungsi kerja peristaltik dan kandung kemih
sehingga dapat mencegah konstipasi dan retensi urine serta ibu akan merasa
sehat.
c) Eliminasi BAB/ BAK
Ibu pasca bersalin harus berkemih dalam 6-8 jam pertama minimal 200 cc.
d) Kebersihan diri
Menjaga kebersihan bagi ibu nifas sangatlah penting karena ibu
postpartum sangat rentan terhadap kejadian infwksi sehingga ibu perlu selalu
menjaga kebersihan seluruh tubuhnya, pakaian yang dikenakannya serta
kebersihan lingkungannya.
e) Perawatan Luka Perineum
Perawatan luka perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk
menyehatkan antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam
masa antara kelahiran plasenta sampai dengan kembalinya organ genetik
seperti pada waktu sebelum hamil.
f) Istirahat
Ibu nifas memerlukan istirahat yang cukup, hal ini penting karena jika ibu
kurang istirahat akan mempengaruhi kondisi kesehatan secara umum.
g) Seksual

2.1.2

Pada masa nifas sering terjadi penurunan libido pada ibu. Adanya ruptur
perineum dan penurunan hormon steroid akan mempengaruhi keinginan ibu
untuk berhubungan seksual.
h) Keluarga berencana
Pada periode postpartum, pemakaian kontrasepsi diperlukan oleh karena
dapat meningkatkan kesehatan ibu dan janin dengan memperpanjang masa
interval diantara kehamilan, karena jarak kehamilan yang terlalu dekat (3-18
bulan) akan meningkatkan kejadian BBLR, kelahiran prematur, bayi kecil,
kematian neonatal, dan kematian janin.
i) Senam nifas
Senam nifas adalah senam yang terdiri atas sederetan gerakan- gerakan
tubuh yang dilakukan ibu- ibu setelah melahirkan guna mempercepat
pemulihan keadaan ibu.
(Sujiyatini, 2010)
Konsep Retensi Urin
a. Pengertian
Retensi urin merupakan penumpukan urin dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini
menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan keadaan ketika seseorang
menglamai pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam keadaan distensi,
vesika urinaria dapat menampung urine sebanyak 3000-4000 ml urine (Azis, 2008).
Retensio urin postpartum merupakan tidak adanya proses berkemih spontan
setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan dengan urin sisa
lebih dari 150 ml. Menurut Stanton, retensio urin adalah tidak bisa berkemih selama
24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana tidak dapat mengeluarkan
urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih. Residu urine setelah berkemih
normalnya kurang atau sama dengan 50 ml, jika residu urine ini lebih dari 150 ml
dikatakan abnormal dan dapat juga dikatakan retensi urine.
b. Etiologi
1) Retensi urin akut
Merupakan retensi urine yang berlangsung 24 jam post partum. Retensi
urine akut lebih banyak terjadi akibat kerusakan yang permanen khususnya
gangguan pada otot detrusor berupa kontraksi dari otot detrusor kurang atau tidak
adekuat dalam fase pengosongan kandung kemih. Adanya obstruksi pada uretra,
karena overaktivitas otot uretra atau karena oklusi mekanik. Kerusakan juga bisa
pada ganglion parasimpatis dinding kandung kemih. Pasien post operasi dan post
partum merupakan penyebab terbanyak retensi urine akut. Fenomena ini terjadi
akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan
pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau
trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal,
khususnya pada pasien (Leduc D, dkk, 2013).
Retensio urine biasanya disebabkan oleh trauma kandung kemih. Nyeri atau
interfensi sementara pada persyarafan kandung kemih, nyeri sering mengecilkan
usaha volunter yang diperlukan untuk memulai urinasi/ miksi. uretra,dinding
kandung kemih kurang sensitif. Pada keadaan ini, kandung kemih sangat
mengembang ketika keinginan dan kemampuan untuk berkemih sangat rendah.
Walaupun sejumlah kecil urine dapat dikeluarkan,kandung kemih banyak
mengandung urine residu.
2) Retensi urin kronik

Merupakan retensi urin yang berlangsung > 24 jam post partum. Pada kasus
retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan intravesical
yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan
penurunan fungsi ginjal.
c. Klasifikasi
Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu:
1) Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama post partum
tanpa gejala klinis) Retensi urin post partum yang tidak terdeteksi (covert) oleh
pemeriksa. Bentuk yang retensi urin covert dapat diidentifikasikan sebagai
peningkatkan residu setelah berkemih spontan yang dapat dinilai dengan bantuan
USG atau drainase kandung kemih dengan kateterisasi. Wanita dengan volume
residu setelah buang air kecil 150 ml dan tidak terdapat gejala klinis retensi urin,
termasuk pada kategori ini.
2) Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis) adalah
ketidakmampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan. Insidensi
retensi urin postpartum tergantung dari terminologi yang digunakan. Penggunaan
terminologi tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan, telah
dilakukan penelitian analisis retrospektif yang menunjukkan insidensi retensi urin
jenis yang tampak (overt) secara klinis dibawah 0,14%. Sementara itu, untuk
kedua jenis retensi urin, tercatat secara keseluruhan angka insidensinya mencapai
0,7%.
(Leduc D, dkk, 2013)
d. Tanda Gejala
Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit
yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan.
Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan factor lainnya seperti
ansietas,kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya. Berdasarkan lokasi
bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa kerusakan pusat miksi di medulla spinalsi
menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga
tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak adanya atau
menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal berupa kelemahan otot detrusor
karena lama teregang, intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan
leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa
meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen. Factor obat dapat
mempengaruhi proses BAK, menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi
glumerolus sehingga menyebabkan produksi urine menurun. Factor lain berupa
kecemasan, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat
meningkatkan tensi otot perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi
dengan baik.
Dari semua factor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian terjadi
poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi distensi
bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah satunya berupa
kateterisasi urethra.
Pasien merasa perut kembung karena urine sisa meningkat dan pengosongan
kandung kemih tidak efisien di dalam bladder akibat menurunnya relaksasi otot
spingter internal sehingga urine tertahan di dalam blader lebih lama dan perut pasien
terasa kembung dan penuh.
Pasien merasa mual dan muntah karena adanya pengosongan kandung kemih yang
tidak efektif, menyebabkan refluk balik dan terkumpulnya urine dalam kandung

kemih dapat berisiko menyebabkan hidronefrosis dengan pembesaran ginjal akhirnya


menyentuh saraf abdominalis sehingga menyebabkan gejala mual muntah.
e. Patofisiologi
Proses berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu :
1) pengisian dan penyimpanan urin, serta
2) pengosongan urin dari kandung kemih.
Proses ini sering berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot detrusor
kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem
saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis
terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi
saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari
aktivitas kontraksi otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari
leher kandung kemih dan uretra proksimal.
Pengeluaran urin secara normal timbul akibat adanya kontraksi yang simultan dari
otot detrusor dan relaksasi sfingter uretra. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkolin. Penyampaian
impuls dari saraf aferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion medulla
spinalis di segmen S2 - S4 dan selanjutnya sampai ke batang otak. Impuls saraf dari
batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama
fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral
dihentikan, sehingga timbul kembali kontraksi otot detrusor.
Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis dari otot detrusor
dan sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra yang tidak sempurna
menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga ibu post partum tidak dapat mengosongkan
kandung kemihnya dengan baik.
f. Perawatan Ibu Pada Masa Nifas
1) Perawatan Rumah Sakit
Dalam jam pertama setelah pelahiran tekanan darah dan nadi harus diperiksa
setiap 15 menit, atau lebih sering jika ada indikasi. Jumlah perdarahan pervaginam
diawasi, dan palpasi fundus untuk memastikan kontraksi yang baik. Jika teraba
melemas, uterus harus dipijat melaluli dinding abdomen sampai tetap berkontraksi
pemberian uterotonin kadang diperlukan. Darah dapat berakumulasi di dalam
uterus tanpa perdarahan eksternal. Ini dapat diketahui secara awal dengan
mendeteksi pembesaran uterus selama palpasi fundus dalam jam jam pertama
setelah pelahiran. Karena kemungkinan terjadinya perdarahan yang signifikan
segera setelah kelahiran adalah besar, bahkan pada kasus yang normal, uterus
dipantau secara ketat selama paling kurang 1 jam setelah pelahiran.
Analgesia regional atau anastesia umum digunakan untuk persalinan atau
pelahiran, ibu harus diobservasi di ruang pemulihan sengan peralatan dan staff
yang lengkap.

2) Perawatan perineal
Ibu diberitahukan untuk membersihkan vulva dari anterior ke posterior dari
vulva kea rah anus. Aplikasi kantung es dapat mengurangi edema dan ketidak
nyamanan selama beberapa jam pertama jika terdapat laserasi atau episiotomy.
Sebagian besar wanita juga reda nyerinya dengan pemberian semprotan anastetik
local. Perasaan yang sangat tidak nyaman biasanya menandakan suatu masalah,
seperti hematoma dalam hari pertama atau lebih, dan infeksi setelah hari ke tiga
atau keempat. Nyeri perineal, vaginal atau rektal yang berat biasanya memerlukan

inspeksi dan palpasi yang hati-hati. Dalam kira kira 24 jam setelah pelahiran,
pemanasan basah dengan berendam dalam sitz bath hangat dapat digunakan untuk
menurunkan ketidak nyamanan local. Diizinkan mandi berendam setelah pelahiran
tanpa komplikasi. Insisi episiotomy sembuh sempurna secara normal dan hamper
asimtomatik dalam minggu ketiga.
3) Fungsi kandung kemih
Pengisian kandung kemih setelah pelahiran dapat bervariasi. Pada sebagian
besar unit, cairan intravena diinfuskan pasca partum, dan satu jam setelah
pelahiran. Oxytocin, dalam dosis yang yang berefek antidiuretik, sering diinfuskan
pasca partum, dan sering terjadi pengisian cepat kandung kemih. Selain itu baik
sensasi kandung kemih maupun kemampuan mengosongkan kandung kemih
secara spontan dapat berkurang karena analgesia local maupun umum. Episiotomy
atau laserasi, dan karena pelahiran yang dibantu alat. Jadi retensi urin dengan
distensi berlebihan kandung kemih sering terjadi pada awal nifas. Ching chung,
dkk (2007) melaporkan terjadinya retensi pada 4,7 persen wanita yang menjalani
persalinan epidural. Factor risiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya
retensi adalah primipara, persalinan yang diinduksi atau diaugmentasi oxitosin,
laserasi perineal, persalinan yang lebih dari 10 jam.
Pencegahan distensi berlebihan kandung kemih memerlukan observasi setelah
pelahiran untuk menjamin bahwa kandung kemih tidak terisi secara berlebihan
dan terjadi pengosongan yang adekuat pada setiap miksi. Kandung kemih yang
membesar dapat dipalpasi suprapubik, atau abdomen terlihat membesar karena
secara tidak langsung kandung kemih tersebut mengangkat fundus diatas
umbilicus.
4) Penatalaksanaan
Jika wanita tidak buang air kecil dalam waktu 4 jam setelah pelahiran,
kemungkinan dia tidak bisa. Jika dia telah bermasalah dalam buang air kecil dari
awal, kemungkinan dia juga mengalami kesulitan untuk selanjutnya. Dilakukan
pemeriksaan hematoma perineum dan traktus genitalia. Jika terjadi distensi
berlebihan, balon kateter harus ditinggalkan di tempatnya sampai faktor-factor
yang menyebabkan retensi telah berkurang. Walaupun tanpa penyebab yang jelas,
biasanya yang terbaik adalah meninggalkan kateter ditempatnya selama paling
kurang 24 jam. Ini mencegah rekurensi dan memungkinkan pemulihan sensasi dan
tonus kandung kemih normal.
Jika kateter dilepas, selanjutnya penting untuk menunjukkan kemampuan
berkemih secara tepat. Jika seorang wanita tidak dapat buang air kecil setelah 4
jam, ia harus dipasang kateter dan volume urin diukur. Jika lebih dari 200 ml,
maka kandung kemih tidak berfungsi secara tepat, dan kateter ditinggal untuk hari
selanjutnya. Jika urin kurang dari 200 ml, kateter dapat dilepas dan kandung
kemih selanjutnya diperiksa kembali seperti sebelumnya. 40 persen wanita dengan
gangguan ini menderita bakteriuria sehingga antimikroba dosis tunggal atau
jangka pendek dapat diberikan setelah kateter dilepaskan.
g. Penyebab Retensio Urin Masa Nifas
Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retensio urin post
partum, antara lain:
1) Trauma intra partum
Ini adalah penyebab utama terjadinya retensio urin, dimana terdapat perlukaan
pada urethra dan vesika urinaria. Hal itu terjadi karena adanya penekanan yang
cukup berat dan berlangsung lama terhadap urethra dan vesika urinaria tersebut
oleh kepala bayi yang memasuki panggul terhadap tulang panggul ibu sehingga
terjadi perlukaan jaringan. Akibatnya terdapat edema pada selaput lender pada

leher buli-buli serta terjadinya ekstravasasi darah didalam buli-buli. Ostium


urethra internum tersumbat oleh edema mukosa dan kontraksi vesika jelek akibat
ekstravasasi darah ke dalam dinding buli-buli sehingga pasien menderita retensio
urin.
2) Refleks kejang (krampft) sfingter urethra
Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut ketakutan akan timbul perih dan
sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi ketika berkemih
3) Hypotomia selama hamil dan nifas
Tonus dinding buli-buli sejak masa kehamilan sampai post partum masih sangat
menurun.
h. Miksi Masa Nifas
Masa nifas dini adalah masa nifas dari hari pertama sampai dengan hari ke 10-14
post partum. Pada masa ini pasien berkemih banyak sekali, mengeluarkan urin setiap
harinya lebih kurang 3-4 liter. Pada masa nifas hari pertama terjadi apa yang
dinamakan : Hanflut. Cairan tubuh yang selama masa kehamilan sangat banyak
terdapat didalam jaringan, sekarang via ginjal kembali dikeluarkan dari dalam tubuh
(entedeminasi).
Peningkatan pembentukan urin selama masa nifas dini sangat banyak, setiap hari
dikeluarkan 2-4 liter, dan bahkan pada ibu hamil dengan hydrops fetalis bisa sampai 6
liter per hari. Akan tetapi sebaliknya pengalaman pasien menunjukkan bahwa pada
hari pertama post partum sering sekali mengalami gangguan miksi berupa kesulitan
untuk berkemih. Untuk pertama kalinya berkemih spontan post partum harus sudah
terlaksana 6 jam sesudah melahirkan. Apabila buli buli penuh dan pasien tidak dapat
berkemih untuk mengosongkan nya maka hal tersebut dinamakan : retensio urin masa
nifas, hal ini harus diatasi dengan segala upaya. Jadi pengawasan terhadap miksi yang
benar dan teratur adalah penting selama masa nifas.
i. Diagnosis
Gejala retensi urin postpartum dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan
pada pasien, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Pemeriksaan subyektif, yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien
yang digali melalui anamnesis yang sistematik. Dari pemeriksaan subyektif
biasanya didapat keluhan seperti nyeri suprapubik, mengejan karena rasa ingin
kencing, serta kandung kemih berasa penuh.
2) Pemeriksaan obyektif, yaitu melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien untuk
mencari data-data yang objektif mengenai keadaan pasien. Dari pemeriksaan
obyektif dengan metode palpasi atau perkusi, biasanya ditemukan massa di daerah
suprasimfisis karena kandung kemih yang terisi penuh dari suatu retensi urin.
3) Pemeriksaan penunjang, yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium,
radiologi atau imaging (pencitraan), uroflometri, atau urodinamika,
elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi. Pada pemeriksaan laboratorium
paling sering digunakan kateter dan uroflowmetri, yaitu untuk mengukur volume
dan residu urin pada kandung kemih. Selain itu juga dapat digunakan
cystourethrografi untuk melihat gambaran radiografi kandung kemih dan uretra.
Menurut dr. Basuki Purnomo, volume maksimal kandung kemih dewasa normal
berkisar antara 300-450 ml dengan volume residu sekira 200 ml. Apabila dari hasil
kateterisasi didapatkan volume/residu urin telah mendekati/melampaui batas
normal, maka pasien dinyatakan mengalami retensi urin.
j. Penanganan
Terapi yang tepat untuk pasien dengan retensio urine akut tidak hanya untuk
mengurangi gejala tetapi juga untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada fungsi

vesika urinaria. Peregangan yang berlebihan pada vesika urinaria dapat menyebabkan
dilatasi dari traktus urogenitalia bagian atas yang selanjutnya dapat mempengaruhi
fungsi ginjal. Karena itu tujuan utama kasus ini adalah membuat drainase vesika
urinaria. Tindakan drainase mungkin dapat diawali dengan pemasangan kateter
transurethral. Kateter harus ditinggalkan sampai pasien bisa buang air kecil spontan.
Pada beberapa pasien dengan retensio urine akut mungkin hanya membutuhkan
pemasangan kateter satu kali, tetapi pada pasien lain (khususnya post operasi)
membutuhkan pemasangan kateter dalam jangka waktu yang lama.
Untuk menghilangkan gejala overdistensi vesika urinaria biasanya kateter
dipasang dan ditinggal selama paling sedikit 24 jam untuk mengosongkan vesika
urinaria. Jika kateter sudah dilepas harus segera di nilai apakah pasien sudah buang air
kecil secara spontan. Bila pasien tidak bisa buang air kecil secara spontan setelah 4
jam, kateter harus dipasang kembali dan volume residu urin harus di ukur. Apabila
volume residu urin > 200 cc atau 100 cc pada post operasi ginekologi, kateter harus di
pasang kembali.
Pada retensio urine digunakan obat-obatan yang dapat meningkatkan kontraksi
kandung kemih dan yang menurunkan resistensi uretra.
1) Obat yang kerjanya di sistem saraf parasimpatis
Biasanya digunakan obat kolinergik, yaitu obat-obatan yang kerjanya
menyerupai asetilkolin. Asetilkolin sendiri tidak digunakan dalam klinik
mengingat efeknya difus/non spesifik dan sangat cepat di metabolisir sehingga
efeknya sangat pendek. Obat kolinergik bekerja di ganglion atau di organ akhir
(end organ) tetapi lebih banyak di sinaps organ akhir, yaitu yang disebut dengan
efek muskarinik. Obatobatan tersebut antara lain : betenekhol, karbakhol,
metakholin dan furtretonium.
2) Obat yang bekerja pada sistem saraf simpatis
Obat yang menghambat (antagonis) reseptor diperlukan untuk menimbulkan
kontraksi kandung kemih, sedangkan obat antagonis di pergunakan untuk
menimbulkan relaksasi uretra. Yang telah digunakan secara klinis adalah antagonis
, yaitu fenoksibemzamin. Penghambat reseptor belum tersedia penggunaannya
dalam klinik.
3) Obat yang bekerja langsung pada otot polos
Beberapa obat yang telah di coba adalah : barium klorida, histamin, ergotamin
dan polipeptida aktif, akan tetapi belum dapat digunakan secara klinis karena
efeknya tidak spesifik.
Prostagladin telah terbukti dapat mempengaruhi kerja otot-otot detrusor.
Desmond menyatakan bahwa pengaruh prostaglandin terhadap kandung kemih
adalah meningkatkan sensitifitas kandung kemih, meningkatkan tonus dan
kontraktilitas otot detrusor, dan juga dapat dipergunakan untuk mengembalikan
otot-otot ini jika terganggu kemampuannya dalam menanggapi stimulusi berkemih
normal.
Selama pemasanggan kateter menetap ini pasien disuruh minum banyak
kurang dari 3000 ml selama 24 jam, mobilisasi dan di periksa urinalisis.
Selanjutnya di lakukan kateter buka tutup tiap 4 jam kecuali jika ada perasaan
Pasien ingin berkemih kateter dibuka. Apabila tidak ada rasa ingin berkemih
selama 6 jam maka keteter di buka dan di ukur volumenya. Proses buka tutup
kateter ini dilakukan selama 24 jam dan pasien tetap minum banyak berkisar 3000
ml/24 jam. Setelah itu kateter di lepas dan pasien minum biasa 50-100 ml/jam.
Diharapkan dalam waktu 6 jam pasien dapat berkemih spontan. Bila tidak bisa
pasien dikateter intemitten untuk mengetahui volume urin sisa. Bila volume urin

sisa kurang dari 200 ml pasien boleh pulang. Tetapi apabila volume urin sisa lebih
dari 200 ml dan kurang dari 500 ml maka dilakukan katetrisasi intermitten pasien
disuruh minum biasa (50-100 ml/jam) (Winkjosastro, 2007).
k. Komplikasi
Walaupun pemulihan sempurna biasanya terjadi, retensi urin yang tidak dikenali
dan intervensi terlambat dapat menyebabkan kerusakan otot otot detrusor yang
bersifat ireversibel dan menyebabkan disfungsi berkemih jangka panjang yang
mengakibatkan ruptur kandung kemih spontan, namun ini komplikasi yang sangat
jarang.
2.2 Konsep Manajemen Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas dengan Retensi Urin
2.2.1 Pengkajian Data
Tanggal
: Merupakan waktu pengkajian
Jam
: Merupakan waktu pengkajian
Nama Pengkaji
: Merupakan yang melakukan pengkajian
DATA SUBJEKTIF
a. Identitas
Nama
: Merupakan identitas pasien
Umur
: Semakin tua usia ibu lebih dari 35tahun terlalu muda (>20 thn)
mempunyai resiko pendarahan lebih besar karena organ reproduksi
belum atau tidak mencapai titik maksimal dan menjalankan fungsi
reproduksinya.
Pendidikan : Menggambarkan kemampuan seorang ibu dalam menyerap konseling
yang di berikan oleh bidan.
Pekerjaan : menggambarkan keadaan sosial ekonomi sehingga ikut menentukan
intervensi yang disesuaikan dengan kemampuan klien secara ekonomi.
Alamat
: Ditanyakan untuk maksud mempermudah hubungan bila diperlukan
atau bila keadan mendesak. Dengan diketahui alamat tersebut bidan
dapat mengetahui tempat tinggal klien dan lingkungannya (Depkes RI
2005)
b. Keluhan Utama
1) Afterpain adalah rasa sakit atau mules-mules yang disebabkan oleh kontraksi
rahim, berlangsung 2-4 jam (Mochtar,1998). Tetapi,belum dirasakan oleh ibu saat
ini.
2) Nyeri akibat luka episiotomi.kebanyakan ibu merasakannya
3) Konstipasi akibat kekurangan intake cairan,kurang mobilisasi ataupun makanan
yang berserat.
4) Retensi urine karena takut sakit saat berkemih
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Hal yang perlu dikaji pada riwayat kesehatan sekarang klien yaitu:
1) Frekuensi miksi
2) Kelainan ketika miksi
3) Rasa sakit di daerah sekitar genitalia
4) Adanya mual muntah
5) Keadaan urine seperti, warna, bau, kepekatan urine
6) Adanya hematuria
7) Adanya keluhan nyeri saat berkemih
d. Riwayat Kesehatan Lalu
Klien dikaji adanya penyakit-penyakit yang pernah diderita sebelumnya.
1) Klien dengan riwayat penyakit jantung akan memiliki resiko dekompensasi kordis
dan infeksi nifas dan infeksi nifas akibat perfusi jaringan.

e.

f.

g.
h.
i.

2) Klien dengan TBC memiliki resiko anemia karena pembentukan Hb tidak


sempurna dan mudah terjadi pendarahan post partum disamping memiliki resiko
penularan ke bayinya.
3) Klien dengan riwayat diabetes mellitus resiko infeksi yang besar akibat disfungsi
sirkulasi bahkan bisa timbul infeksi, karena peninggian kadar gula akan membuat
proses penyembuhan menjadi lama. Selain itu proses laktasi juga membutuhkan
glukosa lebih banyak dari wanita dewasa sehingga resiko hipoglikemia lebih
besar.
4) Ibu dengan kelainan pembekuan darah (haemofilli) akan memiliki resiko
terjadinya perdarahan post partum.
Riwayat Kesehatan Keluarga
1) Bila dalam keluarga ada yang menderita penyakit menular seperti TBC, Hepatitis,
ISPA maka ibu dan bayi mempunyi resiko tertular.
2) Penyakit DM yang diderita keluarga akan bisa menurun pada klien karena masa
nifas meninggikan resiko terjadinya DM dengan alasan kebutuhan insulin pada
wanita nifas lebih tinggi.
3) Perlu dikaji adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan yans
sama dengan klien dan adanya riwayat penyakit perkemihan pada keluarga klien
seperti riwayat penyakit ginjal, ataupun keganasan pada traktus urinarius dan
BPH.
Riwayat Menstruasi
Data ini memang tidak secara langsung berhubungan dengan masa nifas, namun dari
data yang bidan peroleh, bidan akan mempunyai gambaran tentang keadaan dasar dari
organ reproduksinya. Dan apa saja kemungkinan yang terjadi jika pasien mengalami
kelainan pada menstruasi seseorang.
Menarche
: pertama kali ibu menstruasi
Banyaknya
: banyak darah menstruasi yang keluar
Siklus
: jarak antar menstruasi tiap bulannya
Keluhan
: keluhan yang dirasakan oleh ibu saat menstruasi
Jenis dan warna: jenis serta warna darah seperti encer,padat dan merah atau hitam
Lamanya
: lama menstruasi dari hari pertama sampai hari terakhir
HPHT
: hari pertama haid terakhir ibu menstruasi
Riwayat menstruasi digunakan untuk mengetahui keadaan organ reproduksi
Riwayat Obstetric
Hal ini untuk mengetahui jumlah anak, kehamilan, persalinan, nifas dan KB yang lalu.
Riwayat Kehamilan Sekarang
Merupakan hal yang berkaitan dengan kehamilan meliputi :
Tempat periksa kehamilan, frekuensi kunjungan periksa, konseling yang pernah di
dapat saat ANC serta obat atau vitamin yang pernah didapat.

j. Riwayat Persalinan
1) Kala I
: lamanya dan keadaan patologis yang terjadi
2) Kala II
: lama, jenis persalinan, BB, TB, APGAR Score
3) Kala III
: pengeluaran plasenta, keadaan kontraksi yang terjadi
4) Kala IV
: keadaan ibu apakah ada tanda dan gejala yang patologis misalnya
terjadi perdarahan
k. Riwayat Pernikahan
Hal ini penting untuk bidan kaji karena dari data inilah bidan akan mendapatkan
gambaran mengenai suasana rumah tangga pasangan. Beberapa pertanyaan yang dapat

diajukan, antara lain: usia nikah pertama kali, status pernikahan, lama pernikahan, dan
suami keberapa.
l. Pola Kebiasaan Sehari Hari
1) Nutrisi
Pada klien nifas diet yang diberikan harus tinggi protein, kalori, mineral serta
cukup cairan. Kapsul iodium dan vitamin A merupakan program pemerintah yang
perlu di perhatikan karena memiliki fungsi bagi perbaikan metabolisme tubuh
(Hamilton 1999).
2) Eliminasi
BAB sudah harus di penuhi dalam 3 hari post partum. Bila ada obstipasi akan
timbul febris karena obstipasi menekan serviks sehingga menimbulkan sumbatan
dan bendungan lochea yang menyebabkan infeksi.
Segera setelah post partum ibu harus dapat berkemih.klien post partum harus
bisa kencing secara spontan.Miksi minimal dalam 24 jam 6 kali (JHPIEGO,2001)
3) Aktivitas dan latihan
Segera setelah persalinan keaadan umum baik klien dapat melakukan ambulasi
dini, aktifitas santai yang berguna bagi semua sistem tubuh terutama fungsi usus,
kandung kemih. Sirkulasi darah dan paru disamping membantu mencegah
trombosit pada pembuluh darah tungkai dan menggubah perasaan sakit menjadi
sehat (Hamilton, 1995).
4) Istirahat dan tidur
Pola lama dan gangguan tidur 2-6 jam post partum berpengaruh pada ibu
postpartum untuk memperbaiki keadaan umum ibu.
m. Riwayat Psikososial Dan Budaya
1) Aspek Psikososial
Peristiwa persalinan akan memberikan tekanan psikis kepada ibu itu sendiri ,hal
ini perlu dikaji karena ketidakstabilan psikis akan mempengaruhi fungsi tubuh
secara fisik yang akan mengakibatkan gangguan post partum (Dongoes,2001)
2) Aspek Sosial Budaya
Pengkajian tentang kebiasaan di lingkungan tempat tinggal klien yang dapat
merugikan klien post partum dan bayinya.
DATA OBYEKTIF
Untuk melengkapi data dalam menegakkan diagnose, bidan harus melakukan pengkajian
data obyektif melalui pemeriksaan inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi yang bidan
dilakukan secara berurutan.
a. Pemeriksaan Umum
1) Tanda-tanda vital
Tekanan darah: Tekanan darah biasanya normal bila selama hail normal tekananya
normal. Setelah persalinan maksimal sistol 140 mmHg, diastol 90 mmHg.
(Depkes RI,1994). Kadangkala terjadi hipotensi akibat deuresis dan deaphoresis
sehingga terjadi perubahan volume fardiofaskuler. Bila hipotensi ini menetap
disertai takikardi menunjukkan adanya shock, perdarahan atau emboli (Reeder,
1998)
Nadi : Bradikardi post partum pada hari ke 6-10 dengan denyutan 40-70 kali/menit
adalah perubahan normal (Reeder 1997)
Suhu : Observasi suhu dilakukan untuk mengetahui apabila ada peningkatan
terlalu tinggi disertai demam mungkin karena infeksi (38 C).
Pernafasan : Observasi pernafasan bersamaan dengan mengukur tensi, nadi dan
suhu ( Syaifudin 1999).
2) Kesadaran : Composmentis

2.2.2

3) Status Gizi : LILA minimal 23,5 cm, pada minggu pertama post partum
kehilangan berat badan sebesar 2 kg akibat kehilangan cairan (Varney,1997).
b. Pemeriksaan Fisik :
Kepala : rambut tidak mudah rontok dan tidak mudah dicabut,bersih
Muka : tidak sembab, tidak pucat, tampak bersih
Mata
: Konjungtiva merah muda,jika agak putih kemungkinan terjadi anemia
Mulut : bibir kering,mengalami dehidrasi karena kekurangan cairan. Caries dalam
gigi dapat mempengaruhi nafsu makan ibu yang dapat mempengaruhi
asupan nutrisi yang penting dalam proses laktasi.
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid bendungn vena jugularis menunjukan
ibu menderita penyakit jantung.
Dada
: bentuk simetris denyut jantung normal, pernafasan normal, rasa panas,
keras, nyeri, perabaan menunjukkan adanya peradangan pada mamae,
keadaan putting susu yang datar menyebabkan bayi sukar menyusu.
Abdomen : fundus harus pada midline, keras dan TFU setinggi pusat semakin
bertambah waktu maka TFU semakin rendah menurut Varney 2001 :
Segera setelah partus TFU 2 jari di bawah pusat.
Dilakukan palpasi di daerah suprapubis. Pada palpasi ditemukan adanya
akumulasi urine di region suprapubis sehingga akan terasa penuh (agak
keras). Selain itu juga perlyu dilakukan palpasi di area CVA untuk
mengetahui adanya gangguan pada area ginjal.
Genetalia : Luka episiotomi dan perineum harus bersih, tidak berwarna kemerahan,
tidak odema dan jahitan harus utuh. Perineum bisa utuh, ruptur / luka
episiotomi.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Urinalisa dan kultur urin
2) USG (non invasive), kateter
3) Residu urin: 6 jam pasca kateter, pasien banyak minum, selanjutnya pasien
diinstruksikan untuk BAK secara spontan dan dihitung residu urin. Pada kasus
obsetrik > 200 ml dan kasus ginekologik > 100 ml
4) Uroflowmetri: penurunan peak flow rate dan perpanjangan waktu berkemih
5) Pemeriksaan specimen urine. Pada pemeriksaan ini diambil hasil dari :
Pengambilan: steril, random, midstream.
6) Pengambilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, KEton, Nitrit.
7) Sistoskopy, IVP.
Interpretasi Data
Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnose, masalah dan kebutuhan
pasien berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang telah dikumpulkan.
Langkah awal dari peruusan diagnose atau maslah adalah pengolahan data dan analisa
dengan menggabungkan data satu dengan yang lainnya sehingga tergambar fakta.
Tanggal : Diperlukan untuk dokumentasi kapan waktu mendiagnosa
Diagnosa Kebidanan: Ny P post partum hari ke- dengan retensio urin
S : data yang diperoleh dari ungkapan oleh ibu tentang apa yang dirasakan ibu pada masa
nifas
O : data yang diperoleh dari pemeriksaan yang dilakukan oleh bidan yang dapat
menunjang dari data obyektif seperti yang dikatakan oleh ibu nifas
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran
: Composmentis
VS
: TD: 130/90-90/6 mmHg S: 36,5-37,5 C, R: 16-24 x/menit N: 6090 x/menit
Abdomen
: TFU 2 jari di bawah pusat, kontaksi baik

2.2.3

2.2.4

2.2.5

Genetalia
: perdarahan (-), lochea rubra (1-3 hari postpartum), sanguinolenta
(4-7 hari postpartum)
Terpasang dower chateter
Identifikasi Diagnosa Potensial
Pada langkah ini, bidan mengidentifikasi masalah atau diagnose potensial lain
berdasarkan rangkaian masalah yang lain juga. Langkah ini membutuhkan antisipasi dan
bila memungkinkan akan dilakukan pencegahan. Merupakan diagnose atau masalah
kegawatdaruratan yang terjadi pada ibu postpartum. Sambil mengamati pasien, bidan
diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnose atau maslah potensial benar-benar terjadi.
Diagnosa Potensial: infeksi saluran kemih
Identifikasi Kebutuhan Segera
Merupakan kebutuhan atau tindakan yang di berikan kepada ibu pada postpartum jika
terjadi kondisi kegawat daruratan yang harus mendapat penanganan sesegera mungkin.
Pada pelaksanaannya, bidan kadang dihadapkan pada beberapa situasi yang darurat yang
menuntut bidan harus segera melakukan tindakan penyelamatan terhadap pasien.
Kebutuhan segera: Kolaborasi dengan dokter
Perencanaan
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh berdasarkan langkah
sebelumnya. Semua perencanaan yang dibuat harus berdasarkan pertimbangan yang tepat,
meliputi pengetahuan, teori yang up to date, serta divalidasikan dengan asumsi mengenai
apa yang diinginkan dan tidak diinginkan oleh pasien.
Tanggal : merupakan pendokumentasian kapan di lakukan rencana tindakan.
a. Informasikan kepada ibu tentang hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
R/ Informasi bagi ibu mengenai kondisi dirinya.
b. Jelaskan kepada ibu dan keluarga bahwa ibu mengalami retensio urine yaitu
ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih atau buang air kecil secara
spontan.
R/ Informasi meningkatkan pengetahuan ibu dan ibu lebih kooperatif terhadap
tindakan.
c. Lakukan advice dokter yaitu memasang kateter tetap dalam 24 jam dan memasang
infus RL serta memberikan terapi obat.
R/ Upaya pengosongan kandung kemih untuk menghilangkan gejala distensi
abdomen. Pada retensio urine digunakan obat-obatan yang dapat meningkatkan
kontraksi kandung kemih dan yang menurunkan resistensi uretra.
d. Anjurkan ibu untuk banyak minum air putih minimal 8 gelas/hari.
R/ Penilaian kemampuan BAK spontan dengan mengetahui apakah pasien merasa
ingin kencing setelah minum baanyak.
e. Anjurkan ibu untuk mobilisasi dini.
R/ Gerakan dapat meningkatkan sirkulasi darah dan merangsang keinginan berkemih.
f. Observasi KU, Vital Sign, pengeluaran darah, TFU, dan kontraksi uterus
R/ Pemeriksaan keadaan umum dan vital sign menggambarkan keadaan ibu secara
umum. Pengeluaran darah dipantau untuk ntisipasi adanya infeksi puerpurium. TFU
merupakan salah satu indicator untuk mengetahui bahwa proses involusi berlangsung
normal, normalnya TFU mengalami penurunan 1cm/ hari teraba keras dan bundar
g. Nilai adanya tanda-tanda demam, infeksi/ perdarahan abnormal
R/ antisipasi adanya tanda bahaya pada masa nifas
h. Pastikan ibu mendapat cukup makanan, istirahat dan cairan
R/ nutrisi serta istirahat yang cukup dapat membantu pemulihan kondisi ibu kembali
normal seperti sebelum hamil.

2.2.6

2.2.7

i. Pastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit
R/ menyusui bayi yang baik dapat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan
bayi serta bagi kondisi ibu. Serta antisipasi adanya tanda tanda penyulit.
j. Berikan konseling mengenai asuhan pada bayi.
R/ asuhan pada bayi membuat ibu tahu akan kebutuhan serta perawatan bayinya.
k. Pantau gangguan emosinal
R/ gangguan emosional akan berdampak negatif bagi ibu dan bayinya.
l. Perhatikan hubungan/respon suami/ keluarga
R/ respon suami dan keluarga yang baik pada ibu dapat memberi dukungan bagi ibu
m. Anjurkan ibu agar tetap menjaga personal higiene khususnya genetalia
R/ kebersihan tubuh terutama genetalia
n. Tanyakan Respon ibu dan ayah dengan bayi
R/ respon yang baik dari orang tua dapat mempengaruhi perkembangan dan
pertumbuhan bayi.
Implementasi
Tanggal : Merupakan waktu pendokumentasian tindakan yang akan dilakukan
Sesuai dengan perencanaan.
Evaluasi
Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan asuhan yang bidan berikan pada pasien,
bidan mengacu pada beberapa pertimbangan, antara lain: tujuan asuhan kebidanan,
efektifitas tindakan untuk mengatasi masalah, dan hasil asuhan.
Tanggal : Merupakan pendokumentasian dilakukannya evaluasi
S : Merupakan data yang di katakan oleh ibu setelah dilakukan tindakan (implementasi)
yang dilakukan oleh bidan.
O : Merupakan data pemeriksaan dan perkembangan yang kita dapatkan setelah dilakukan
tindakan oleh bidan
A : Merupakan diagnose atau kesimpulan dari data subyektif dan obyektif.
P : Merupakan perencanaan selanjutnya yang dilakukan oleh bidan untuk ibu

Anda mungkin juga menyukai