KNWGWNG
KNWGWNG
Disusun oleh :
Endang Mahati
Esdras Ardi
Nurvita Nindita
Rr. Lydia Purna K
LEMBAR PENGESAHAN
Bagian
: Radiologi
Pembimbing
: dr. Lina
Diajukan
: November 2006
Penguji
dr. Lina
ii
DAFTAR ISI
ii
iii
I.
Pendahuluan ...........................................................................................
II.
A. Epidemiologi ....................................................................................
B. Etiologi..............................................................................................
C. Gejala Klinik.....................................................................................
D. Diagnostik.........................................................................................
E. Stadium Klinik..................................................................................
F. Pengelolaan.......................................................................................
G. Pencegahan........................................................................................
H. Prognosis...........................................................................................
10
I. Radioterapi........................................................................................
10
III.
Laporan kasus..........................................................................................
16
IV.
Pembahasan.............................................................................................
22
V.
Kesimpulan.............................................................................................
23
Daftar Pustaka.....................................................................................................
24
Lampiran ............................................................................................................
25
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
paling sering ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring berada pada urutan ke-4
kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan
kanker paru.1,2
Salah satu faktor penyulit menegakkan diagnosis kanker nasofaring adalah
karena letak predileksinya yang tersembunyi. Selain itu, faktor kurangnya informasi
kepada masyarakat terhadap penyakit ini, juga menyebabkan gejala dini dari
penyakit ini tidak diketahui penderita.3,4
Disamping itu, faktor penyakitnya sendiri ketika masih dini sering tidak
menimbulkan keluhan yang mengganggu sehingga penderita tidak datang berobat,
sulitnya menegakan diagnosis dini, hasil biopsi yang sering negatif meskipun telah
dilakukan berulang kali pada daerah yang dicurigai, kurangnya kewaspadaan dokter
terhadap gejala dini dan sarana alat untuk menegakkan diagnosis dini penyakit
tersebut juga menjadi penyulit dalam menegakkan diagnosis kanker nasofaring.3,4
Tindakan operasi kurang dapat berperan pada penanganan karsinoma
nasofaring. Tindakan pembedahan hanya terbatas pada tindakan biopsi tumor primer
atau kelenjar getah bening regional pada kasus baru, residu atau kekambuhan lokal.2
Radioterapi dalam pengobatan kanker nasofaring diberikan dengan tujuan
untuk radioterapi kuratif atau paliatif. Radioterapi kuratif diberikan kepada pasien
kanker nasofaring WHO 1,2,3 yang menunjukkan respon radiasi yang baik pada
evaluasi awal, sedangkan radioterapi paliatif diberikan kepada pasien dengan
metastase. Pemantauan terhadap pemberian radioterapi harus dilakukan baik selama
pelaksanaan radiasi maupun setelah radiasi.2.
Pada tulisan ini dilaporkan seorang pria dengan karsinoma nasofaring WHO
dalam eksternal radiasi 12 kali.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Karsinoma Nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel mukosa
nasofaring. Predileksi utamanya adalah pada fosa rosenmulleri. Anggapan ini
berdasarkan atas teori bahwa tempat pergantian epitel merupakan predileksi
terjadinya keganasan. Fosa rosenmulleri merupakan daerah pergantian epitel silindris
atau epitel kuboid ke arah gepeng. Selain itu keganasan nasofaring dapat juga terjadi
di dinding atas nasofaring (basis cranii), dinding depan nasofaring (di pinggir/tepi
koanae), dan di sekitar tuba.4
A. Epidemiologi
Kanker Nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia. Survei
departemen kesehatan menunjukkan prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk per
tahun. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia 50-59 tahun, hanya 30% dari
penderita karsinoma nasofaring yang berusia di bawah 50 tahun. Sejauh yang
ditemukan, penderita paling muda delapan tahun, yang tertua 83 tahun. Walau
insidennya tinggi, kanker ini kurang populer karena tumbuh di tempat
tersembunyi dan pada stadium dini tak menimbulkan gejala yang khas, sehingga
pasien ataupun dokter tak menyadari. Ras kulit putih sangat jarang terkena
penyakit ini. Di Asia yang terbanyak adalah bangsa Cina, baik di negara asal
maupun di negara perantauan, dimana tingkat insidensi di Cina Selatan
kejadiannya 40 per 100.000 orang. Ras Melayu-Indonesia dan Malaysiatermasuk yang agak banyak terkena. Perbandingan penderita kanker nasofaring
antara lelaki : perempuan = 2,4 1.3
B. Etiologi
Penyebab Karsinoma Nasofaring sampai saat ini masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak pendapat para ahli yang masih belum jelas. Sudah hampir
dapat dipastikan bahwa penyebab Karsinoma Nasofaring adalah virus Epstein
Barr, karena pada semua pasien Karsinoma Nasofaring didapatkan titer anti-virus
Epstein Barr yang cukup tinggi.1
Faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini
adalah letak geografis , rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan,
kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman/parasit. Penyebab
timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya interaksi antara faktor
lingkungan, karsinogen, dan virus Ebstain Barr.1,5
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan menggunakan bumbu masakan
tertentu, dan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang terlalu panas.2 Penelitian
terdahulu menyatakan bahwa kelembaban udara sekitar merupakan faktor
predisposisi Karsinoma Nasofaring.5
C. Gejala Klinik
Pada dasarnya gejala Karsinoma Nasofaring dibagi menjadi 5 kelompok,
yaitu :
1. Gejala hidung
Gejala hidung merupakan gejala paling dini, tapi seringkali didiagnosis
sebagai rinitis kronik, nasofaringitis kronik dan penyakit lain. Oleh karena
itu, kecurigaan kanker nasofaring dari gejala hidung lebih ditekankan bila
penderita rinore lebih dari 1 bulan, usia lebih dari 40 tahun atau rinore dengan
ingus kental, bau busuk, lebih-lebih bila bercampur titik-titik darah tanpa
kelainan di hidung dan sinus paranasal. Gejala lainnya dapat berupa
epistaksis ringan atau sumbatan hidung.1,5
2. Gejala telinga
Gejala telinga dapat berupa rasa penuh di telinga, berdengung atau tinitus,
serta kurang pendengaran tipe hantaran. Gangguan pendengaran terjadi bila
massa tumor menyebabkan oklusi tuba. Gangguan pendengaran ini kadang
masih dianggap ringan oleh penderita, bahkan oleh dokter karena kurang
pendengaran ini dianggap akibat sumbatan tuba oleh rinitis kronik.Gejala
telinga ini merupakan gejala yang sangat dini dari Karsinoma Nasofaring.
Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab
yang jelas.1,5
3. Gejala tumor leher
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara
limfogen dari karsinoma nasofaring, dapat unilateral maupun bilateral. Khas
tumor leher pada kasus ini adalah bila letak tumor di ujung prosesus mastoid,
dibelakang angulus mandibula, didalam m. sternokleidomastoideus, massa
tumor yang keras, tidak sakit dan tidak mudah digerakkan. Gejala tumor leher
ini merupakan gejala yang agak lanjut dari karsinoma nasofaring,
diperkirakan hal inilah yang mendorong penderita datang berobat.1,5
4. Gejala mata
Gejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan
kelumpuhan syaraf yang berhubungan dengan mata seperti nervus II, III,
IV,VI. Penderita biasanya mengeluh melihat dobel atau diplopia karena
kelumpuhan N VI. Kelumpuhan mata/optalmoplegia akibat kelumpuhan N III
dan N IV, dan apabila mengenai N II akan menimbulkan kebutaan.1,5
5. Gejala kranial/ syaraf
Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranial menyebabkan kelumpuhan
nervi kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor. Pada gejala kranial
ini, sebelum terjadi kelumpuhan syaraf kranial, didahului oleh gejala subjektif
dari penderita, seperti kepala sakit, kurang rasa pada daerah hidung dan pipi,
kadang kesulitan menelan. Gejala-gejala syaraf ini meliputi:
-
Sindroma petrosfenoidal, melibatkan nervus VI, III, IV dan II, gejala yang
muncul antara lain, strabismus, penurunan kelopak mata atas, kesulitan
membuka mata dan penurunan ketajaman penglihatan.
Parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh wajah, karena terjadi parese
nervus V yang merupakan saraf sensorik dan motorik.
spasme esofagus, nyeri pada faring dan laring. Pada parese nervus XI
terdapat kesukaran memutar kepala atau dagu.1,5
D. Diagnostik
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada karsinoma
nasofaring, protokol diagnosis yang perlu dilakukan antara lain:
1.
Pemeriksaan
nasofaring
dengan
rinoskopi
posterior
yaitu
dengan
Biopsi nasofaring
Diagnostik pasti dengan melakukan biopsi nasofaring yang dapat melalui
hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas
tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
menyusuri konkae media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral
dan dilakukan biopsi. Biopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama sama ujung kateter yang berada di
hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga
palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut.1
3.
Serologis
Pemeriksaan serologis diperkenalkan saat ini sebagai salah satu cara untuk
deteksi dini kanker nasofaring. Dengan masuknya virus ke dalam sel
manusia, badan akan membentuk suatu reaksi imunologi atau kekebalan
tubuh terhadap antigen-antigen yang ada di dalam virus. Penyelidikan reaksi
imunologi terhadap antigen virus Epstein Barr ini telah berhasil
mengindentifikasi beberapa antigen khusus yang dijumpai pada karsinoma
nasofaring.
a.
b.
Ig G anti Farly Antigen (FA). Untuk deteksi dini kanker nasofaring, uji ini
kurang sensitif jika dibandingkan dengan Ig A - VCA.
c.
5.
Radiologi
Pemeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer, invasi
ke organ sekitar, adanya destruksi tulang serta metastasis jauh. Pemeriksaan
yang diperlukan antara lain :
Foto thorax PA
Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters)
CT Scan koronal dan aksial dengan kontras, jika pada foto tengkorak
diragukan adanya destruksi tulang dan jika klinis tidak ditemukan
kelainan yang menyokong akan tetapi pada penderita direncanakan
untuk radiasi intrakaviter.
Bone scintigraphy jika ada kecurigaan metastasis ke tulang, diikuti
foto tulang lokal pada daerah yang dicurigai scintigraphy.
Ultrasonografi, jika didapatkan hepar yang membesar dan berbenjol.
MRI 2,5,6
6.
Pemeriksaan neurooptalmologi
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui perluasan tumor ke jaringan
sekitar yang menyebabkan penekanan/ infiltrasi ke saraf otak. Manifestasinya
tergantung dari saraf yang dikenai.2
E. Stadium klinik
Untuk menentukan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC
T = Tumor primer
T0 : tidak terdapat tumor primer.
T1 : tumor terbatas di daerah nasofaring.
T2 : tumor telah meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau rongga
hidung.
T2a Tanpa adanya perluasan ke daerah parafaring
T2b Dengan perluasan ke daerah parafaring
T3 : tumor telah menginvasi jaringan tulang dan atau semua sinus
paranasalis.
T4 : tumor telah meluas ke intracranial dan atau mengenai saraf-saraf
kranial, rongga infra temporal, daerah hipofaring atau rongga orbita
N = Pembesaran kelenjar getah bening regional
N0 : tidak ada metastasis ke KGB regional.
: T1
N0
M0
76,9%
Stadium II : T2
N0
M0
56 %
Stadium III : T3
N0
M0
38,4%
N1
M0
N0,N1
M0
Tiap T
N2,N3
M0
Tiap T
Tiap N
M1
T1, T2 ,T3
Stadium IV : T4
16,4%
F. Pengelolaan
a. Pengobatan Bedah
Dilakukan operasi transpalatal maupun operasi transmaksilerparanasal,
tetapi terapi bedah ini tidak berkembang karena hasilnya kurang efektif
dibandingkan dengan tindakannya.1
Tindakan pembedahan diseksi leher radikal kadang dilakukan untuk
mengobati metastasis ke kelenjar limfe leher. Pembedahan dilakukan
terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau
timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor
induknya sudah hilang.1,5
b. Pengobatan dengan Sitostatika
adalah:
ginjal harus diawasi dengan ketat pada pemberian platamin dan dianjurkan
agar penderita minum 3 liter sehari. Obat-obat lainnya dapat diberikan untuk
mengatasi efek samping yang mungkin timbul seperti antihistamin,
antiemetik dan lain-lain.2
c. Radioterapi
Radio terapi masih merupakan pengobatan utama, ditujukan pada
daerah tumor induk dan daerah perluasannya.6
G. Pencegahan
Karena penyebab Karsinoma Nasofaring belum jelas, pencegahan hanya
berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh pada timbulnya Karsinoma
Nasofaring tersebut yaitu :
1.
Penggunaan vaksin EBV pada penduduk yang tinggal di daerah resiko tinggi.1
2.
H. Prognosis
Ras, umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi prognosis secara
signifikan. Pada penelitiannya Perez melaporkan angka 5 years survival rate pada
pasien kurang dari 50 tahun adalah 45% dan 25-27% untuk pasien yang lebih tua.
Pada penelitian Qin, pasien yang lebih muda dan wanita memiliki survival rate
lebih baik daripada pria. Qin juga melaporkan survival rate pada pasien stadium
awal (86% untuk stadium I, 59% untuk stadium II) lebih baik daripada stadium
lanjut (45% untuk stadium III, 29,2% untuk stadium IV).6
Kerusakan saraf cranial tidak mempunyai hubungan yang signifikan
dengan menurunnnya survival rate.6
Jenis histologik dari tumor mempengaruhi kontrol tumor dan survival
rate. Chen dan Fletzer melaporkan 31-33% rekurensi untuk karsinoma sel
squamosa dan 10-12% untuk limfoepitelioma. Tetapi pada penelitian Meyer dan
Wang tidak ditemukan perbedaan untuk perbedaan variasi histologik.5
I. RADIOTERAPI
Sebagai pengobatan pilihan pada KNF ( karsinoma nasofaring ) penanganan
radioterapi pada KNF dapat diberikan dengan cara :
Brachiterapi
KNF biasanya memiliki lesi primer pada fossa Rosenmuller dengan metastase ke
kelenjar getah bening leher. Karena letaknya yang sulit di deteksi, biasanya datang
pada stadium lanjut. Radioterapi sendiri atau bersama kemoterapi biasanya
merupakan pilihan utama. Radiasi dibedakan atas radiasi kuratif dan radiasi paliatif.5
10
I. Radiasi kuratif
Radiasi kuratif diberikan pada semua tingkatan penyakit kecuali penderita
dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi pada radias kuratif adalah tumor primer
bersama kelenjar getah bening leher dan supraklavicula. Jenis radiasi pada radiasi
kuratif meliputi:
Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta
kelenjar getah bening leher, dengan dosis 60-66 Gy dan kelenjar supraklavicula dengan dosis 50 Gy.
Radiasi intrakaviter (brakhiterapi) sebagai dosis radiasi booster pada
tumor primer diberikan dengan dosis (6x3 Gy), sehari 2x.
Apabila secara teknis tidak bisa diberikan radiasi intrakaviter oleh
karena pasien tidak mampu / menolak dilakukan tindakan brakhiterapi.
Bila setelah dosis total 60 Gy, daerah sinus paranasalis tidak bersih,
maka radiasi dilanjutkan sampai dengan 70 Gy.2
II. Radiasi paliatif
Radiasi paliatif diberikan bila stadium IV metastase jauh. Sasaran dan bentuk
radiasi individual, tergantung keluhan yang perlu mendapat radiasi paliatif.
Untuk tumor primer dosis radiasi 40-50 Gy. Untuk metastase jauh, tergantung
lokasi metastase.5
III. Teknik Radiasi
Pemberian terapi radiasi harus diimbangi dengan teknik radiasi yang baik
dengan harapan mendapatkan hasil terbaik dengan efek samping radiasi
seminimal mungkin, hal ini meliputi:
a) Persiapan Pra Radioterapi
(1) Perbaikan Keadaan Umum
Mempersiapkan keadaan umum penderita sebaik mungkin dengan
mempertimbangkan waktu perluasan tumor.
(2) Dilakukan Pemeriksaan Keadaan Gigi dan Mulut
Meningkatakan Higiene dan menghilankan fokal infeksi di rongga mulut.2
11
Tele Cobalt
jaringan lain.5
c) Alat bantu
Alat bantu terdiri dari :
Masker atau topeng, terbuat dari PVC (Poli Vinil Chloride), atau
Thermoplast
d) Simulasi
Simulasi Dilakukan dengan :
12
batas bawah setinggi tepi bawah korpus vertebra C-2 atau setinggi
tepi atas kartilago tiroidea
13
untuk tumor
primer
maupun
kelenjar. Dilanjutkan
1-2 minggu,
kemudian
14
loading. Pada penderita cukup diberi anestesi lokal. Penderita dalam keadaan
berbaring dan melalui kavum nasi dimasukkan aplikator sambil diraba dari
rongga mulut apakah ujung aplikator benar-benar sudah melekat pada dinding
faring. Aplikator kemudian difiksasi dengan memasukkan tampon diantara
sela-sela aplikator dengan rongga hidung. Sisanya yang berada di luar rongga
hidung juga difiksasi. Diberikan dosis sebesar 15 Gy, 1,5 cm dari sumbu
aplikator, diulangi 1 minggu kemudian dengan cara dan dosis yang sama.
Untuk meningkatkan efek radiasi dan mengurangi efek samping terhadap
jaringan sehat sekitar digunakan radiosensitizer serta radioprotektor saat
pemberian radiasi.2
IV. Pemantauan Radiasi
1. Pemantauan selama pelaksanaan radiasi
-
Dilakukan setiap bulan sekali selama 6 bulan kedua dan setiap 3 bulan
selama 6 bulan ketiga dan seterusnya.
15
BAB III
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. S
Umur
: 43 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
: 5396037
16
o Sampai saat ini penderita sudah 33x disinar, dan hendak melanjutkan
pengobatan brakhiterapi. Keluhan benjolan masih ada, keluhan hidung
mampet (+), mimisan (-), nyeri kepala (-), melihat dobel (-), telinga
gemrebeg (+), mual (-), muntah (-), sariawan (-), buang air besar tidak ada
keluhan.
Tanda Vital
: Tekanan Darah
: 110/80 mm Hg
Nadi
: 78x/menit
: afebris
Kepala
: mesosefal
Mata
Telinga
17
Hidung
Rongga mulut
Tenggorokan
Leher
Dada
Jantung
Abdomen
I : datar, lemas
Pa : nyeri tekan (-),hepar lien tak teraba
Pe : timpani, pekak sisi (+) N, pekak alih (-)
Au : bising usus (+) N
Ekstremitas
Superior
Inferior
Sianosis
-/-
-/-
Oedema
-/-
-/-
Akral dingin
-/-
-/-
Capillary refill
< 2
< 2
Reflek fisiologis
Reflek patologis
18
C. Pemeriksaan Penunjang
1)
Laboratorium
a. Darah rutin ( 4 November 2006 )
Hb
: 13,20 gr/dl
Eritrosit
: 4.930.000/mm3
Lekosit
: 4300/mm
Trombosit
: 211.000/mm
Ht
: 41,6 %
MCV
: 84,4 femtoliter
MCH
: 26,8 pikogram
MCHC
: 31,8 gr/dl
84 mg/dl
Ureum
10 mg/dl
Creatinin
0,78 mg/dl
Na
140 mmol/l
4,6 mmol/l
Cl
105mmol/l
Ca
2,32mmol/l
Pemeriksaan Radiologi
a. CT scan tanpa kontras
- Tampak daerah nasofaring kanan dan kiri asimetris, daerah nasofaring kiri
relatif lebih sempit dibanding kanan.
- Tampak lesi hiperdens, batas tegas, bentuk bulat homogen, dinding tegas,
diameter ukuran 8 x 6 cm di daerah mandibula sinistra meluas kearah
cervical sinistra, tampak lesi tersebut mendesak organ sekitarnya.
Kesan :- Tampak penyempitan pada nasofaring sinistra, tak tampak destruksi
tulang.
19
Duktus biliaris
: tidak melebar
Lien
Pancreas
Ginjal kanan & kiri : ukuran normal, stratum parenkim normal, batas
kortikomeduler normal,PCS normal, batu (-)
Limfonodi paraaorta : tak membesar
Vesica urinaria
Prostat
: normal
Kesan : tak tampak metastase pada organ intra abdomen secara sonografi.
c. X foto thoraks PA
Cor : CTR 50 %
Retrocardial space tak menyempit.
Retrosternal space tak menyempit.
Pulmo :
-
20
pada paru
3)
D. Diagnosis
Ca nasofaring T1 N2 M0 dengan pasca eksternal radiasi XXXIII
E. Usul
1. Dilakukan brakiterapi, penderita selesai, penderita dikirim ke bagian THT
untuk dievaluasi
2. Setelah satu bulan radioterapi selesai penderita dikirim ke bagian THT dan
dikonsulkan ke bagian lain yang dianggap perlu
3. Pemantauan efek samping radiasi dan perbaikan keadaan umum
4. Pemantauan penyebaran dan perkembangan tumor
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki berumur 43 tahun akan melanjutkan pengobatan. 1,5
tahun yang lalu penderita merasa gembrebeg pada telinga kiri, dan teraba benjolan
sebesar kacang kedelai di leher sebelah kiri, tidak nyeri, warna sama dengan kulit
leher, 8 bulan yang lalu penderita merasa benjolan di lehernya semakin besar,
disertai dengan hidung tersumbat dan suara bindeng. Penderita juga sering mengeluh
pusing. 4 bulan yang lalu penderita memeriksakan diri ke RSU Salatiga, ditangani
oleh ahli bedah, dilakukan biopsi dan CT scan , dari hasil biopsi dikatakan kanker
nasofaring kemudian penderita dirujuk ke RSDK. Sampai saat ini penderita sudah
33x dilakukan eksternal radiasi, dan hendak melanjutkan pengobatan brakiterapi.
Keluhan benjolan masih ada, keluhan hidung mampet (+), mimisan (-), nyeri kepala
(-), melihat dobel (-), telinga gemrebeg (+), mual (-), muntah (-), sariawan (-), buang
air besar tidak ada keluhan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan telinga kiri gembrebeg, tenggorokan T22, hiperemis, benjolan di leher 4x2x2 cm di leher kiri. Pemeriksaan laboratorium
dalam batas normal. Pemeriksaan X foto thorax pada posisi PA tidak didapatkan
gambaran metastase. Pemeriksaan USG Abdomen tidak tampak metastase dan
kelainan sonografi organ intraabdomen yang lainnya. Pemeriksaan CT-Scan
Nasofaring tanpa kontras didapatkan lesi hiperdens, batas tegas, homogen, diameter
ukuran 8 x 6 cm di daerah mandibula sinistra yang meluas ke arah cervical
sinistra. . Pemeriksaan Patologi Anatomi didapatkan Ca epidermoid berdiferensiasi
moderat.
Berdasarkan data-data di atas dapat ditegakkan diagnosis Karsinoma
Nasofaring T1 N2 M0.
Karena hasil diagnosisnya adalah Karsinoma Nasofaring T1 N2 M0, maka
penatalaksanaan penderita ini dilakukan terapi eksternal radiasi dengan dosis 6600
cGy, fraksinasi 200 cGy, 5x/minggu. Lapangan radiasi lateral dan supraklavikula.
Dan saat ini penderita sudah mendapatkan ER sebanyak 33x dan akan melanjutkan
brakiterapi.
22
BAB V
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring adalah keganasan dari lapisan epitel mukosa
nasofaring. Karsinoma nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia.
Etiologi dari Karsinoma nasofaring masih belum diketahui. Banyak faktor yang
mempengaruhi kemungkinan keganasan ini. Diagnosa ditegakkan dari gejala klinik,
pemeriksaan klinik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan studi-studi yang baru, didapatkan bahwa penderita karsinoma
nasofaring stadium lanjut yang mendapatkan terapi kombinasi radioterapi dan
kemoterapi menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang hanya
mendapatkan terapi radioterapi saja.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Syafril A. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N
editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi 5. Penerbit FKUI. Jakarta.
2001;146-50
2. Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia. Standar Pelayanan Profesi Radioterapi
Kanker Nasofaring.
3. De Jong Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 1997; 460-1
4. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring
dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC. Jakarta 1997; 321-6.
5. Instalasi PJP SMF Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Standar
Prosedur Radiasi Karsinoma Nasofaring
6. Kuntjoro E. Panduan Kuliah Radiologi. Semarang : SMF Fakultas Kedokteran
UNDIP.