telinga Gibran, nak, temani Ayah dulu yah?. Hanya anggukan kepala jawabnya.
Setelah ayah Gibran terlelap, Gibran kemudian membuka buku kecilnya dan
mendapati bahwa besok dan lusa ada ulangan. Gibran lalu gusar dan pamit pulang
kerumah untuk mempersiapkan diri untuk besok disekolah. Apalagi ditahunya
Ayahnya baik-baik saja maka dengan rileks hatinya pulang kerumah.
Alih-alih mau bangun subuh untuk belajar, tiba-tiba dari luar kamarnya
Gibran mendengar suara isak tangis dan haru biru menguasai rumahnya.
Dibukanya pintu kamar tersebut tepat di depan matanya Ayahnya terbaring
ditutupi sarung dari kaki hingga dileher, sudah tidak dapat mendengar, berbicara,
meliahat, dan merasakan lagi. Dalam hitunga sepermili detik tetesan air mata
Gibran jatuh kelantai tak bisa ditahan tak bisa dikendalikan hingga ia terjatuh
pingsan.
Setelah Gibran bangun, ia hanya mengurung dirinya dikamar sambil
merobek dan menginjak inajk buku pelajaranya. Sejenak ia tertunduk dan berpikir
bahwa ia suadh melakukan kesalah yang sangant fatal dengan meninggalka
Ayahny dirumah sakit hingga terjadi seperti ini. Dilihatnya pisau diatas lemari,
Gibran lalu mengambilnya dan dengan penuh emosi pisau itu dia genggam erat lalu
memberikan kepada tante yang mau potong bawang sembari membuka pintu.
Gibran sadar bahwa karena kemaunya yang tinggi untuk pergi sekolah untuk
menuntut ilmu hingga ia tidak bisa ada saat orang yang disayanginya
membutuhkannya. Selama 4-5 hari Gibran menyalahkan dirinya dan berpikir hingga
hal itu mendewasakanya bahwa segala sesuatu yang sudah terjadi dan merupakan
kehendak Allah kita harus Rida menerimanya. Gibran juga tahu bahwa Ia punya
cita-cita yang harus Ia raih dan cuma belajar dan berusaha jawabnya. Walaupun
setiap hari Gibran bangun pagi dan teringat akan kehilangan Ayahnya, Gibran tetap
pergi sekolah dengan wajah ceria dan semangat karena Gibran punya cita-cita.
SEKIAN