Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

MANAJEMEN NYERI POST OPERASI PADA BEDAH


TORAKS-KARDIOVASKULER

Oleh :
I GNA Bayu Wiradinatha (1102005140)
Pembimbing :
dr. I Ketut Wibawa Nada, Sp.An; KAKV

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI


BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FK UNUD/RSUP SANGLAH
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat-Nya makalah tinjauan pustaka dengan judul Manajemen Nyeri Post Operasi Pada
Bedah Toraks-Kardiovaskuler dapat selesai tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Makalah tinjauan pustaka ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Anestesi RSUP Sanglah. Dalam kesempatan ini,
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kelancaran usulan penelitian ini, antara lain kepada :
1. dr. I Ketut Wibawa Nada, Sp.An; KAKV atas bimbingan dan arahan yang telah
diberikan.
2. Seluruh staf Bagian Ilmu Anestesia dan Reanimasi RSUP Sanglah
1

3. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan maupun dukungan kepada penulis selama proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran
yang membangun untuk membantu penyempurnaan sangat penulis harapkan. Semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca

Denpasar, 30 April 2016


Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................2
Daftar Isi ...................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Manajemen Nyeri Post Bedah Toraks.....................................................5
2.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Post Bedah Toraks.................5
2.1.2 Patofisiologi Nyeri Pasca Torakotomi...........................................6
2.2 Manajemen Nyeri Post Bedah Kardiovaskular........................................6
2.2.1 Faktor Penyebab Nyeri Post Bedah Kardiovaskular.....................7
2.2.2 Patofisiologi Nyeri Post Bedah Kardiovaskular............................7
2.2.3 Farmakologi Dalam Pengobatan Nyeri Akut Bedah Jantung........8
a. Opioid...............................................................................................18
2

b. Alpha 2 Agonist................................................................................24
c. NSAIDs............................................................................................26
d. Paracetamol......................................................................................26
e. Ketamin............................................................................................26
f. MgSO4..............................................................................................26
g. Gabapenti.........................................................................................26
h. Pregabalin.........................................................................................26
i. Multimodal analgesia.......................................................................26
j. Patient-controlled analgesia.............................................................26
BAB III SIMPULAN ..................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................30

BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri post operasi merupakan salah satu komplikasi yang sering dialami oleh pasien.
Nyeri menurut definisi adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cendrung akan
terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukan kerusakan jaringan. Menurut
data statistik sekitar 30-80% pasien mengeluhkan nyeri akut post operasi mulai dari sedang
hingga nyeri yang berat. Hal ini membuat tim kesehatan harus tetap mempertimbangkan
nyeri post operasi sebagai suatu tantangan agar penanganan nyeri post operasi menjadi
prioritas yang utama baik bagi pasien dan tim kesehatan. Menurut laporan NIH, di Amerika
Serikat jumlah biaya untuk perawatan terkait manajemen nyeri lebih dari 100 milyar pada
tahun 1998 dan diperkirakan saat ini sudah mencapai dua kali lipat. Menurut Kongres Dunia
ke 13 mengenai nyeri di Montreal, Quebec, Kanada yaitu semua manusia dengan nyeri
memiliki penilaian dan pengobatan yang sesuai dan adekuat dari petugas kesehatan yang
3

terlatih secara profesional. Nyeri setelah operasi yang efektif menjadi suatu problema bagi
anastesi karena hal ini bersifat individual karena dengan prosedur bedah yang sama belum
tentu menghasilkan nyeri yang sama pada semua pasien (Pennefather dan McKevith, 2011).
Risiko nyeri post operasi terdapat pada hampir seluruh divisi bedah termasuk bedah
toraks kardiovaskular. Nyeri yang paling berat biasanya dijumpai pada bedah toraks.
Beberapa pasien bahkan mengalami nyeri kronis posttorakostomi yang berlangsung bulan
hingga tahunan. Pengobatan nyeri setelah operasi toraks merupakan hal yang penting karena
pemulihan setelah operasi pada pasien bedah toraks tergantung pada maintenance fungsi
respirasi. Sumber nyeri berasal dari berbagai faktor, seperti daerah yang di insisi, kerusakan
tulang kosta dan persarafan kosta, inflamasi struktur dinding dada, insisi parenkim dan pleura
dan posisi peletakan drainase torakostomi. Depresi pernafasan merupakan salah satu kerugian
dari penggunaan opiod yang sering digunakan untuk pengobatan nyeri setelah operasi.
Namun ada beberapa metode analgesik regional lainnya yang bisa digunakan untuk
pengobatan nyeri post operasi tanpa efek samping yang berhubungan dengan opioid. Teknik
tersebut seperti intercosta, intrapleura, intraspinal dan blok paravetrebral. Penggunaan
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) menjadi populer yang dikombinasi dengan
opioid untuk pengobatan nyeri post operasi, meskipun belum ada data mengenai dosis
NSAIDs intravena (Dabbagh, 2013).
Nyeri pada operasi jantung juga harus dipertimbangkan, karena nyeri yang ditimbulkan
biasanya lebih berat pada setelah operasi apabila dibandingkan dengan nyeri yang biasa
dialami oleh pasien. Biasanya nyeri yang muncul akan mereda saat melepaskan chest tube,
namun nyeri setelah operasi pada bedah jantung disebabkan oleh beberapa faktor seperti
tempat insisi setelah sternotomi dan torakotomi, retraksi jaringan intraoperatif dan diseksi
bedah, lokasi cannulation arteri dan vena, lokasi vein harvesting dan lokasi chest tube. Nyeri
yang ditimbulkan bisa terjadi secara akut dan kronis. Nyeri kronis setelah operasi bedah
jantung memiliki prevalensi sekitar 20-55% namun dalam beberapa studi terakhir
menunjukan prevalensi yang cendrung meningkat. Untuk manajemennya akan dibagi menjadi
nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut bisa menggunakan obat-obatan seperti opioid, alpha 2
agonist, NSAIDs, parasetamol, ketamin, MgSO4, gabapenting, pregabalin, multimodal
analgesia dan patient controlled analgesia. Selain itu, ada beberapa teknik anastesi regional
yang digunakan untuk nyeri akut setelah operasi jantung yaitu infiltrasi lokal anastesi di
daerah yang luka, blok persarafan intercosta, infiltrasi lokal anastesi di intrapleura dan
neuraxial blocks yang terdiri dari paravertebral, intratekal/spinal dan epidural torakal
(Dabbagh, 2013).
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Nyeri Post Bedah Toraks
2.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Post Bedah Toraks
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri setelah dilakukan tindakan bedah
toraks. Tindakan posterolateral thoracotomi merupakan insisi dengan nyeri yang hebat dan
biasanya manajemen nyeri setelah dilakukan tindakan tersebut kurang adekuat. Adapun
faktor yang mempengaruhi :
a. Persiapan pre-operasi
Komunikasi informasi dan edukasi yang baik bahwa pasien akan merasakan sensasi
nyeri yang minimal melalui rencana tindakan teknik anastesia. Selain itu dijelaskan
juga keterbatasannya, efek samping dan komplikasi yang ditimbulkan.
b. Toleransi Opioid
Eksposure secara kontinyu terhadap opioid akan menghasilkan respon dosis
rightward shift yang menghasilkan pasien memerlukan dosis opioid yang lebih tinggi
untuk mendapatkan efek farmakologi yang sama dan ini merupakan respon adaptasi
yang harus diprediksi. Tingkatan toleransi opioid berhubungan dengan dosis, durasi
dan tipe opioid yang digunakan. Toleransi opioid mungkin saja terjadi akibat
5

penurunan sensitivitas dan densitas reseptor opioid, up-regulatioin dari siklus


adenosine monofosfat dan adaptasi neurologi. Aktivasi dari N-methyl-D-aspartate
(NMDA) reseptor memainkan peran penting dalam perkembangan toleransi opioid.
Toleransi opioid pada pasien biasanya diikuti intoleransi nyeri terutama pada nyeri
akut.
c. Analgesia Pre-empive
Konsep pre-emptive analgesia pertama kali ditemukan oleg Cricle dan Woolf telah
membuktikannya secara klinis. Pre-emptive analgesia adalah pengobatan antinosiseptif yang dimulai sebelum stimulus berbahaya muncul dimana ini bertujuan
untuk mencegah pembentukan pengubahan proses input sensori secara sentral yang
akan memperkuat nyeri setelah pembedahan. Pre-emptive analgesia bertujuan untuk
menurunkan nyeri akut setelah pembedahan, walaupun efek analgesi obat pre-emptive
telah habis dan menghambat perkembangan nyeri kronis setelah pembedahan. Hal
lain yang berpotensi seperti pre-incisional thoracic epidural, blok paravertebral,
antagonis NMDA, gabapentin dan opioid sistemik. Meskipun hasil dari beberapa
penelitian mendukung konsep penanganan nyeri yang lebih dini, namun beberapa
klinisi masih belum setuju terhadap hal ini. Pada tahun 2002 systematic review preemptive analgesia untuk nyeri pasca pembedahan tidak ditemukan bukti ataupun
keuntungan dari administrasi opioid, NSAIDs atau ketamin sebagai pre-emptive
analgesia dan sedikit keuntungan dari penggunaan anti nyeri epidural yang digunakan
secara kontinyu. Pada tahun 2005 systemic review dari dampak pre-emptive analgesia
pada nyeri setelah torakotomi menyimpulkan bahwa pre-emptive epidural analgesia
berhubungan dengan penurunan nyeri akut namun tidak ada penurunan pada nyeri
kronis.
d. Jenis Kelamin
Pasien perempuan dilaporkan mengalami nyeri yang lebih berat, sering dan lama
dibandingkan pasien laki-laki dengan perkembangan penyakit yang mirip. Sebuah
meta analisis dari pengaruh jenis kelamin pada persepsi stimulus noxious mengatakan
bahwa jenis kelamin perempuan lebih sedikit toleran dari stimulus noxious dari lakilaki. Perbedaan persepsi nyeri antara laki-laki dan perempuan akan menurun dengan
pengaruh usia, namun tidak terbukti oleh semua peneliti. Bencana alam juga
berhubungan dengan peningkatan sensitivitas nyeri. Perempuan biasanya lebih
sensitif terhadap hal ini dan ini mungkin akan memperjelas perbedaan toleransi nyeri
pada jenis kelamin. Seorang anastesia harus lebih waspada terhadap perbedaan respon
6

nyeri pada laki-laki ataupun perempuan, namun masih belum dapat diberikan
rekomendasi yang spesifik untuk penanganan nyeri yang berdasarkan jenis kelamin.
e. Usia
Beberapa studi systematic review menemukan bahwa usia muda bisa sebagai
prediktor yang signifikan untuk nyeri pasca pembedahan farmakokinetik obat analgesi
juga bisa berefek pada penuaan dan pasien yang lebih tua lebih sensitif terhadap
opioid sistemik. Terdapat hubungan yang positif antara usia dan epidural toraks, dan
usia yang lebih tua dilaporkan memerlukan 40% lebih sedikit solution epidural.
f. Faktor Fisiologi
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional dan itu dipengaruhi oleh faktor
fisiologis. Selain itu cemas dikatakan menurunkan ambang batas nyeri. Cemas pada
saat pre operasi dikatakan sebagai prediktor terhadap nyeri berat pada beberapa jenis
post operasi termasuk bedah toraks. Pre operasi yang baik, terutama komunikasi
dengan pasien dan pembentukan raport akan membuat penurunan angka kecemasan
karena pasien merasa lebih nyaman. Depresi pada pre operasi dan gangguan mental
juga dikatakan sebagai prediktor terhadap nyeri yang berat pada post operasi. Ada
juga hubungan antara depresi pre operasi dan perkembangan untuk menjadi nyeri
kronis. Faktor kognitif juga mempengaruhi persepsi nyeri. Kejadian bencana alam dan
perasaan yang tidak mendapatkan bantuan telah menjadi salah satu prediktor nyeri.
g. Pendekatan Pembedahan
-

Sternotomi

Sternum biasanya terfiksasi secara internal dengan kawat baja setelah sternotomi.
Pergerakan tulang saat respirasi biasanya minimal dan nyeri post operasi biasanya
derajatnya sedang. Tetapi, prosedur yang terlalu lebar atau tidak terlalu ahli akan
menyebabkan fraktur sternum, strain atau akan menggangu artikulasi intercosta
anterior dan posterior dengan meningkatkan risiko nyeri post operasi.
-

Video-Assisted Thoracoscopic Surgery

Dengan VAT atau bedah Video-Assisted Thoracoscopic luas insisi akan lebih minimal
sehingga nyeri pasca pembedahan dapat dikurangi. Keuntungan ini mungkin akan
mengurangi alat atau instrumen bedah yang berdiameter besar dan atau perputaran
saat penggunaan instrumen bedah yang bisa menyebabkan kerusakan saraf intercosta
dan memar atau fraktur pada tulang rusuk.
-

Torakotomi Terbuka
7

Insisi posterolateral merupakan pendekatan klasik torakotomi yang memberikan akses


pembedahan yang baik dan daerah pembedahan dapat dengan mudah diperluas.
Apabila tindakan imi dilakukan akan melibatkan pemotongan beberapa otot dada
mayor dan hal ini dipertimbangkan sebagai salah satu insisi pembedahan yang paling
nyeri. Terdapat beberapa bukti bahwa fiksasi secara internal dari tulang rusuk yang
telah terpotong akan menurunkan nyeri pasca pembedahan.
Banyak ahli bedah yang kini menggunakan satu atau lebih dari sekian banyak muscle
sparing incision. Ini merupakan pendekatan yang cukup populer dimana insisi muscle
sparing axillary dan kulit yang diinsisi diperluas secara vertikal ke bawah dari aksila
dengan keuntungan efek kosmetik yang nyata. Meskipun insisi muscle sparing jarang
menimbulkan nyeri pasca pembedahan, namun beberapa studi menunjukan tidak ada
penurunan nyeri pada saat periode operasi. Insisi muscle sparing menimbulkan nyeri
yang lebih ringan terutama nyeri kronis post torakotomi. Wider rib retraction
seringkali memerlukan muscle sparing torakotomi untuk menurunkan lapang pandang
operasi. Wider retraction mungkin meningkatkan risiko fraktur tulang rusuk,
kerusakan sendi posterior costovertebral dan kerusakan persarafan interkosta, semua
itu akan meningkatkan risiko nyeri post torakotomi.
Insisi anterior biasanya digunakan untuk mendapatkan akses jantung dan mediastinal
anterior pada beberapa prosedur. Eksposur dari bedah paru agak terbatas karena
dibagian sebelah kiri terdapat jantung. Reseksi tulang rusuk biasanya dilakukan
dengan insisi untuk meningkatkan akses pembedahan. Nyeri pasca pembedahan
bergantung pada bagian yang diperluas dari daerah eksisi dan perluasan dari retraksi
pembedahan hal ini mirip dengan torakotomi posterolateral. Blok saraf interkosta
biasanya efektif dengan pendekatan inikarena insisi tidak banyak melibatkan bagian
dada yang dipersarafi oleh saraf cutaneus posterior yang datang dari ramus dorsal dan
tidak diblok oleh prosedur blok persarafan interkosta.
Insisi Transverse sternothoracotomy (clamshell) memberikan eksposure pembedahan
yang sangat baik untuk kavitas dada dan mediastinum dan ini biasanya dilakukan
untuk prosedur bedah jantung. Insisi ini akan mengasilkan nyeri pasca pembedahan
yang signifikan dan kini digunakan secara terbatas untuk transplatasi paru, bedah
jantung paru yang kompleks dan tumor mediastinal yang kompleks. Nyeri pasca
pembedahan melalui teknik ini masih menjadi suatu tantangan (Pennefather dan
McKevith, 2011).
2.2 Patofisiologi Nyeri Pasca Torakotomi
8

Patogenesis nyeri pasca torakotomi cukup kompleks. Reseptor nociceptive distimulasi


oleh insisi kulit dan retraksi otot, retraksi dan terkadang fraktur tulang rusuk. Selain itu,
ligamen juga mungkin tertarik, sendi kostokondral terdislokasi dan terjadi kerusakan saraf
interkosta yang akan nantinya akan menyebabkan nyeri. Insisi pleura biasanya teriirtasi oleh
partial surgical stripping, drainase dada dan darah residu dari pleura. Ini akan menghasilkan
aktivasi respon inflamasi yang akan berlanjut pada nociceptive. Transmisi sentral dari
berbagai sinyal nociceptive ini akan menguatkan transmisi nyeri dan meningkatkan persepsi
nyeri melalui sensitisasi sentral (Gambar 1).

Gambar 1. Kerusakan secara langsung dari tulang rusuk dan neurovaskular bundle dan juga
kerusakan artikulasi interkosta anterior dan posterior saat torakotomi (Pennefather dan
McKevith, 2011).
Tanpa penanganan nyeri pasca torakotomi yang adekuat, nyeri bisa menjadi lebih berat.
Luka setelah operasi merupakan daerah yang akan terganggu saat pergerakan, bernafas dan
ventilasi. Saat inspirasi akan terjadi penarikan dari bagian yang rusak dan hal ini akan
9

mengawali reflek kontraksi dari otot ekspirasi. Splinting dari bagian hemitorak yang
mengalami kerusakan akan membatasi distraksi dari struktur yang rusak. Demikian pula
ekspirasi pasif akan menjadi aktif. Kapasitas residu fungsional akan menurun hingga
kapasitas akhir dan penutupan airway akan terjadi. Ini akan menyebabkan atelektasis,
shunting dan hipoxaemia. Inspirasi yang dalam akan terbatas akibat nyeri, forced expiratory
flow akan menurun dan respon batuk akan terganggu. Pengeluaran sputum biasanya juga
terganggu. Anti nyeri yang efektif mampu mengembalikan perubahan-perubahan tersebut dan
meningkatkan fungsi paru-paru setelah torakotomi. Tetapi, banyak penyebab lain yang
menyebabkan penurunan fungsi paru yang muncul setelah torakotomi (Pennefather dan
McKevith, 2011).
Tabel 1. Penyebab penurunan fungsi paru setelah torakotomi
Reseksi jaringan paru
Perdarahan dan edema di jaringan paru residu
Distorsi bentuk bronkial yang diakibatkan lobus yang kolaps
Distensi gaster dan abdominal
Peningkatan resistensi airway
Gangguan pengeluaran mukosilari
Efek residu anestesia
Nyeri yang berhubungan dengan perubahan mekanikal paru
Disfungsi diafragma
Ada beberapa mekanisme untuk transmisi nyeri, terutama setelah torakotomi, dari
sensori, stimulus dari dinding dada, tulang rusuk dan pleura diafragma perifer yang
ditransmisikan melalui persarafan interkosta. Stimulus dari perikardium dan mediastinum
juga ditransmisikan melalui saraf phrenic. Selain itu, saraf vagus juga terdapat aferen saraf
somatik dan visceral dan blokade saraf vagus sangat dianjurkan dilakukan saat pembedahan
toraks. Saraf simpatis memainkan peranan dalam transmisi nyeri dari paru dan mediastinum.
Sehingga penarikan dari pleksus brakial dan distraksi bahu berkontribusi terhadap nyeri pada
beberapa pasien (Pennefather dan McKevith, 2011).
Persarafan phrenic memberikan cabang sensori ke pleura mediastinal, lalu menuju
perikardium fibrous, lapisan parietal dari perikardium serous dan diafragma dome pleura.
Epidural torakal akan memberikan anti nyeri yang sangat baik setelah torakotomi terutama
pada dermatom somatik, namun pada beberapa pasien masih mengalami nyeri bahu
ipsilateral. Pada pasien yang mendapatkan analgesia epidural torakal, blok intraoperasi dari
saraf phrenic di level lemak perikardial dengan lokal anastesi, akan mencegah nyeri bahu
ipsilateral namun hal ini tidak terjadi pada semua pasien. Cabang dari saraf phrenic yang
10

menuju ke perikardium atau mediastinum akan berjalan keatas ke proksimal ke lemak


perikardial yang mungkin saja menyebabkan nyeri bahu pada beberapa pasien. Untuk
mendukung hipotesis ini, dilakukan observasi pasien yang mendapatkan intra-perikardial
pneumonektomi dan yang mendapatkan blok saraf phrenic, keduanya masih merasakan nyeri
pada bagian baju. Accesory phrenic merupakan alternatif dari penjelasan hal tersebut.
Kombinasi blok saraf phrenic dan epidural torakal hampir menghilangkan nyeri awal setelah
dilakukan torakotomi, ini menjelaskan bahwa kontribusi yang minimal dari saraf vagus untuk
nyeri setelah torakotomi. Tetapi, stimulasi saraf vagus bisa menekan nyeri. Blokade dari saraf
vagus mungkin meningkatkan nyeri setelah torakotomi melalui penurunan vagally yang
dimediasi oleh inhibisi sentral nyeri (Pennefather dan McKevith, 2011).
2.2 Manajemen Nyeri Post Bedah Kardiovaskular
2.2.1 Faktor Penyebab Nyeri Post Bedah Kardiovaskular
Ada beberapa penyebab yang berpotensi menjadi faktor risiko untuk nyeri akut yang
terjadi setelah bedah jantung yang terlihat pada tabel dibawah :
Tabel 2.2 Faktor risiko yang berpotensi menjadi penyebab nyeri akut bedah jantung dan
sumber nyerinya (Dabbagh, 2013)
Faktor Etiologi
Daerah insisi setelah sternotomi atau torakotomi
Retraksi jaringan intraoperasi dan diseksi bedah
Daerah cannulation pembuluh darah arteri dan vena
Daerah vena harvesting
Daerah dada dan abdomen untuk chest tube
Seiring berjalannya waktu lokasi nyeri sering berubah ubah, biasanya saat awal post
operasi (sekitar 3 hari setelah operasi) nyeri biasanya di daerah toraks, lalu berpindah ke
daerah tungkai bawah (contohnya lokasi vena harvesting pada pasien CABG) dan akan lebih
jelas sekitar 1 minggu setelah operasi. Saat periode transisi, tipe nyeri akan sering berubahubah, mulai dari nyeri dada radikuler hingga nyeri osteroartikuler pada tungkai bawah
terutama saat diakhir minggu pertama setelah operasi (Dabbagh, 2013).
Faktor etiologi pada nyeri toraks biasanya akibat kerusakan pada tulang rongga dada,
dimana ini merupakan sumber nyeri yang paling sering setelah dilakukan bedah jantung. Ini
akan menghasilkan unexplained postoperative non-incisional pain yang secara fisik akan
menghasilkan retraksi sternum. Saat evaluasi klinis, pasien biasanya sudah memiliki foto
thorax dan potensi patah tulang rusuk (biasanya tulang rusuk bawah daerah posterior atau
11

lateral) bisa dideteksi saat bone scan. Fraktur terjadi saat retraksi sternum (prosedur
pembedahan) dan menyebabkan fraktur tulang rusuk posterior atau lateral dan juga ada
beberapa kemungkinan kerusakan pleksus brakialis saat nyeri tungkai bawah. Nyeri tungkai
bawah berhubungan dengan vein-graft harvesting yang menjadi masalah pada pasien bedah
jantung. Fenomena ini terbatas pada pasien dengan konvensional spahenous vein harvesting
biasanya terjadi beberapa hari setelah operasi. Ini menjelaskan bahwa keterlambatan
munculnya nyeri (biasanya hari 3-4 setelah operasi) dan terjadi penurunan nyeri yang
berhubungan dengan sternotomi yang bisa menjelaskan nyeri tungkai bawah. Ada beberapa
bukti klinis yang menyatakan tindakan invasif vein-graft harvesting yang minimal akan
menurunkan intensitas dan durasi nyeri tungkai bawah setelah operasi (Dabbagh, 2013).
Ada beberapa faktor yang mendasari seperti jenis kelamin, usia, grup etnis, usia muda,
durasi operasi yang lama dan lokasi anatomi pembedahan yang bisa meningkatkan
kemungkinan nyeri akut setelah operasi. Nyeri akut ini terjadi lebih berat pada pasien
dibawah 60 tahun (dibandingkan yang berusia lebih dari 60 tahun) dan juga wanita biasanya
mengalami nyeri lebih berat bila dibandingkan dengan laki-laki, tetapi lebih sering terjadi
lebih kronis pada laki-laki (Dabbagh, 2013).
2.2.2 Patofisiologi Nyeri Akut Post Bedah Kardiovaskular
Harus selalu dipertimbangkan dan diberikan perhatian khusus pasien yang sedang
menjalani bedah jantung, dengan nyeri akut post operasi bisa menjadi iskemia yang residual
dan revaskularisasi inkomplit sehingga tim kesehatan harus mendiagnosis banding dengan
iskemi residual. Diagnosis banding ini sangat penting. Setelah mengekslusi kondisi tersebut,
kita harus fokus dengan sumber yang paling sering dari nyeri setelah operasi yaitu myofascial
origin dan berasal dari banyak sumber biasanya berasal dari dinding dada (termasuk otot,
bony structure, tendon dan ligamen) (Dabbagh, 2013).
Biasanya pasien yang menjalani prosedur pembedahan ketika operasi baru dimulai
akan terjadi peningkatan respons stress saat perioperasi hingga level tertinggi dan saat itu
juga terjadi banyak patofisiologi (termasuk nyeri setelah operasi). Ini sama dengan bedah
jantung dimana tingkatan respon stress terjadi lebih berat akibat fisiologi jantung,
kebanyakan mampu mentoleransi respon inflamasi akibat bypass kardiopulmonary (Dabbagh,
2013).
Pada pasien yang menjalani prosedur bedah jantung, ada ketidakseimbangan
homeostatis yang akan menyebabkan perubahan patofisiologi pada beberapa sistem organ
mayor, termasuk sistem kardiovaskuler, paru-paru, gastrointestinal, sistem urinaria, sistem
endokrin, konsumsi oksigen, sistem imunologi dan berakhir pada sistem saraf pusat dan itu
12

merupakan efek tidak diinginkan dari prosedur bedah jantung karena bisa meningkatkan
morbiditas post operasi dan meningkatkan mortalitas. Dilain sisi, ada beberapa studi yang
menunjukan keuntungan secara klinis setelah diberikan analgesia post operasi yang akan
meningkatkan level stabilitas hemodinamik, metabolik, imunologik, faktor homeostatis dan
mengurangi level stres respon (Dabbagh, 2013).
2.2.2 Farmakologi Dalam Pengobatan Nyeri Akut Pada Bedah Jantung
Metode farmakologi yang digunakan untuk meringankan nyeri akut harus berkerja cepat dan
pilihan obatnya beragam mulai dari opioid hingga nonopioid yaitu opioid, alpha 2 agonists,
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), paracetamol, ketamin, MgSO4, gabapenti,
pregabalin, multimodal analgesia, patient-controlled analgesia (Dabbagh, 2013).
a. Opioid
Opioid pertama kali ditemukan oleh Friedrich Serturner tahun 1803-1806 dan`pada tahun
1960 mulai digunakan dengan dosis tinggi melalui intravena sebagai standar untuk anastesi
jantung.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Dabbagh, A. Potsoperative Pain Management in Cardiac Surgery. 2013. Springer
Heidelberg New York Dordrecht London. Library of Congress Control Number:
2013955229. ISBN 978-3-642-40418-4 (eBook).
2. Pennefather, S.H dan McKevith Mc. Pain Management After Thoracic Surgery. 2011.
P. Slinger (ed.), Principles and Practice of Anesthesia for Thoracic Surgery, DOI
10.1007/978-1-4419-0184-2_46.

14

Anda mungkin juga menyukai