Anda di halaman 1dari 24

BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH
1.1.
Benjolan
Benjolan adalah pembesaran jaringan yang abnormal akibat tanda peradangan,
dimana pertumbuhan baru jaringan yang multiplikasi selnya tidak terkontrol dan
progresif (Dorland, 2014)
1.2.

Nodus cervival anterior

Kelenjar getah bening sebelah ventral terhadap larynx dan trachea, terdiri dari
pembuluh superficialis pada vena jugularis anterior dan pembuluh profunda pada
ligamentum cricothyroideum medianum. (Dorland, 2012)
1.3. Fluktuasi
Fluctuantion adalah gerakan seperti gelombang, seperti suatu cairan dalam
rongga tubuh setelah diguncang. (Dorland, 2012
1.4.

Tensilitis
Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari

cincin waldeyer (Soepardi et al., 2007). Adapun menurut Reeves et al. (2001)
serta Muscari (2005) tonsilitis adalah infeksi (virus atau bakteri) dan inflamasi
atau pembengkakan akut pada tonsil/amandel.
1.5.

Obat isoniazid
Menurut Medicastore FK UI (2007) dan Tjay & Rahardja (2010) isoniazid

merupakan obat antibiotik primer untuk penyakit Tubercolosis (TBC), dimana


Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang disingkat dengan INH secara in vitro
bersifat tuberkulostatik (menahan perkembangan bakteri) dan tuberkulosid
(membunuh bakteri) yang bekerja dengan menghambat sintesa asam mikolinat
yang merupakan unsur penting pembentukan dinding sel mikobakterium
tuberkulosis.

1.6.

Pemeriksaan biopsi
Pemeriksaan biopsi merupakan salah satu cara pemeriksaan patologi

anatomi yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pasti suatu lesi
khususnya yang dicurigai sebagai suatu keganasan. Pemeriksaan patologi ini juga
bermanfaat tidak hanya menegakkan diagnosis dan rencana pengobatan tetapi juga
untuk menentukan prognosis. Secara umum biopsi adalah pengambilan sejumlah
kecil jaringan dari tubuh manusia untuk pemeriksaan patologis mikroskopik.
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Fine Needle Aspiration Biopsy/ FNAB), adalah
prosedur biopsi yang menggunakan jarum sangat tipis yang melekat pada jarum
suntik untuk menarik (aspirasi) sejumlah kecil jaringan dari lesi abnormal. Sampel
jaringan ini kemudian diperiksa di laboratorium dengan mikroskop. (Suyatno &
Pasaribu, 2009).
1.7.

Pemeriksaan kultur mikroorganisme


Pemeriksaan kultur mikroorganisme merupakan jenis pemeriksaan untuk

isolasi dan identifikasi jenis bakteri yang terdapat dalam sampel (Berman et al.,
2009).

BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa saat diraba benjolan terasa hangat, dengan konsistensi lunak, nyeri
bila disentuh dan tidak tampak fluktuasi ?
2. Mengapa Ny. Fitri wajahnya pucat, badan sering terasa demam, merasa lemah
3.
4.
5.
6.

dan selera makan hilang ?


Mengapa batuk Ny. Fitri tak kunjung sembuh ?
Jelaskan tentang tensolitis ?
Jelaskan tentang obat isoniazid !
Mengapa Ny. Fiotri disarankan dokter untuk melakukan pemeriksaan biopsi

dan kultu mikroorganisme ?


7. Interpretasi anamnesis dan pemeriksaan fisik!
8. Dignosis banding kasus ini !

BAB III
ANALISIS MASALAH
3.1.

Saat disentuh benjolan terasa hangat, dengan konsistensi lunak, nyeri


bila disentuh dan tidak terdapat fluktuasi

Menurut Tierney et al. (2003) dan Sambandan & Mabel (2011) bila benjolan
pada kelenjar getah bening terasa nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua
sisi, adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari sekitarnya, maka hal tersebut
mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri.

Adanya

nyeri tekan umumnya

diakibatkan oleh peradangan atau proses perdarahan. Adapun konsistensi lunak


mengarahkan kepada proses terjadinya infeksi, selanjutnya tidak adanya fluktuatif
mengarahkan kepada tidak terjadinya abses/pernanahan.
3.2.

Wajah pucat, badan sering terasa demam, merasa lemah dan selera
makan hilang
Adanya infeksi bakteri yang disertai peradangan meyebabkan badan terasa

demam. Mekanisme terjadinya demam adalah sebagai berikut : Infeksi mikroba


menginvasi dalam paru -> dibawa ke kelenjar getah bening terdekat aktivasi
makrofag mengeluarkan

pirogen endogen

IL-1, TNFa, IL-6, INF

->

mempengaruhi metabolisme asam arakidonat mempoduksi prostaglandin/PGE2


mengubah termogulasi di hypothalamus -> peningkatan suhu tubuh 37,9C
(Tierney et al., 2003)
3.3.

Batuk yang tak kunjung sembuh


Menurut Nwagbara et al. (2013) batuk yang terjadi dikarenakan adanya

iritasi dan infeksi pada bronkus/saluran pernapasan bagian atas, dimana batuk ini
membuang/mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai
batuk purulen (menghasilkan sputum). Adanya batuk yang kunjung sembuh yang
disertai demam, nyeri tenggorokan dan keringat malam serta penurunan berat
badan mengarahkan kepada infeksi tuberkulosis.

3.4.

Tonsilitis
Menurut Soepardi et al., (2007) dan Reeves, Roux & Lockhart (2001)

serta Muscari (2005) tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang


merupakan bagian dari cincin waldeyer. Tonsilitis adalah infeksi (virus atau
bakteri) dan inflamasi pada tonsil. Fungsi cincin waldeyer adalah sebagai benteng

bagi saluran makanan maupun saluran napas terhadap serangan kuman-kuman


yang ikut masuk bersama makanan/ minuman dan udara pernapasan.
Tonsilitis bisa disebabkan oleh beberapa jenis bakteri dan virus, antara
tonslitis akut dan tonsilitis kronik memiliki perbedaan penyebabnya yaitu
Tonsilitis akut lebih sering disebabkan oleh kuman grup A streptococus hemolyticus, pneumococcus, streptococcuc viridans dan streptococcuc pyrogenes,
sedangkan tonsili-tis kronik kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut
tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif
(Sembiring et al,. 2013; Soepardi et al., 2007).
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk
detrius. Detrius ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel
yang terlepas. Secara klinis detrius ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai
bercak kekuningan. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah
rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higene mulut yang
buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid digantikan oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kriptus melebar. Secara klinis kriptus diisi oleh detrius. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan
jaringan disekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submanibula (Soepardi et al., 2007; Burton & Glasziou, 2009).
Soepardi et al. (2007) emyatakan bahwa terdapat bermacam tonsilitis
yaitu :

1. Tonsilitis Akut
a. Tonsilis viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.
Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi

infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak lukaluka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
b. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, hemolitikus
yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus viridan,
Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk
alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.
2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium
diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari
10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
b. Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus
yang terdapat dalam susu sapi.
c. Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa )
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.
d. Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala
pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah
kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.
3. Tonsilis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa
jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

3.5.

Obat Isoniazid
Menurut FK UI (2007), Tjay & Rahardja (2010) dan Medicastore (2014)

isoniazid adalah hidrazid dari asam isonikotinat yang merupakan suatu analog
sintetik piridoksin. Isoniazid adalah obat anti-tuberkulosis yang paling poten,
tetapi tidak pernah diberikan sebagai obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
aktif. Isoniazid secara invitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosit dengan
konsentrasi hambatan minimum (KHM) sekitar 0,025 0,05 g/ml. Mekanisme
kerja utamanya adalah menghambat asam mikolat yang merupakan unsur penting
dinding sel mikobakterium.
Obat Generik : Isoniazid / INH
Obat Bermerk : Beniazide, INH-Ciba, INHA 400, Kapedoxin, Nufadoxin Forte,
Pehadoxin, Pyravit, Suprazid
Komposisi kandungan
Isoniazid Tablet
Tiap tablet mengandung Isoniazid 300 mg.
Farmakologi
Isoniazid adalah antibiotik dengan aktivitas bakterisid dan bakteriostatik terhadap
mikobakterium. Isoniazid bekerja dengan menghambat sintesa asam mikolinat
yang merupakan unsur penting pembentukan dinding sel mikobakterium

tuberkulosis. Isoniazid aktif terhadap bakteri M. tuberculosis, M. bovis, dan


beberapa strain M. kansasii.
Farmakokinetik
Isoniazid di absorpsi dengan mudah secara per oral. Kadar puncak dicapai dalam
waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Absorpsi akan terganggu jika diminum
bersama makanan, terutam karbohidrat atau antasida yang mengandung
aluminium. Di hati isoniazid terutama mengalami asetilasi dan pada manusia
kecepatan metabolisme isoniazid dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara
bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya. Masa
paruh rata-rata pada asetilator cepat hamper 80 menit, sedangkan nilai 3 jam
adalah khas untuk asetilator lambat. Masa paruh obat ini dapat memanjang bila
terjadi infusiensi hati. Penyakit hati kronik akan mengurangi metabolisme dan
dosis harus dikurangi. Perlu ditekankan bahwa perbedaan kecepatan asetilasi tidak
berpengaruh pada efektifitas atau toksisitas isoniazid bila obat ini diberikan setiap
hari. Isoniazid mudah berdifusi kedalam sel dan ke semua cairan tubuh dan bahan
kaseosa (jaringan nekrotik yang seperti keju); kadarnya didalam cairan kira-kira
sama dengan kadarnya dalam serum. Obat terdapat dengan kadar yang cukup
dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal kira-kira
20% kadar dalam cairan plasma. Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam
plasma dan otot daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat
tertinggal lama di jaringan terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup sebagai
bakteriostatik. Antara 75-95% isoniazid diekskresikan melalui urine dalam waktu
24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama dalam bentuk
asetil isoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi, dan asam nikotinat
yang merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil dieksresi dalam
bentuk isonikotinil glisin dan isonikotinil hidrasion dan dalam jumlah yang sangat
kecil sekali berupa N-metil isoniazid Jaringan yang terinfeksi cenderung menahan
obat lebih lama. Obat tersebut mudah menembus sel-sel dan efektif terhadap
basil-basil yang sedang tumbuh dalam sel. INH mengalami N-asetilasi dan
hidrolisis, yang menghasilkan produk-produk tidak aktif. Ekskresi melalui filtrasi
glomerular, terutama dalam bentuk metabolit. Asetilator lambat mengekskresikan

lebih banyak parent-compound nya. INH juga diekskresikan kedalam air ludah,
sputum dan susu.
Indikasi

Pengobatan dan pencegahan tuberkulosis, dalam bentuk pengobatan


tunggal maupun kombinasi dengan obat tuberkulosis lainnya.

Pengobatan infeksi mikobakterium non-tuberkulosis.

Kontraindikasi
Isoniazid tidak boleh diberikan kepada :

Penderita penyakit hati akut.

Penderita dengan riwayat kerusakan sel hati disebabkan terapi isoniazid.

Penderita yang hipersensitif atau alergi terhadap isoniazid.

Dosis dan aturan pakai


Dosis yang lazim diberikan :

Dewasa : 5 mg/kg berat badan/hari atau 10 mg/kg berat badan 3 kali


seminggu.

Anak : 10 15 mg/kg berat badan/hari dalam 2 dosis terbagi (pagi dan


malam), atau 20 40 mg/kg berat badan 2 3 kali seminggu.

Isoniazide sebaiknya diminum dalam keadaan perut kosong. Waktu yang paling
baik pemberian isoniazid adalah 1 2 jam sebelum makan. Apabila terdapat
gangguan saluran pencernaan/lambung apabila diminum sebelum makan, makan
isoniazid dapat diminum bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek
gangguan pencernaan.
Efek samping
Efek samping yang dapat terjadi diantaranya neuritis perifer, neuritis optik, reaksi
psikosis, kejang, mual, muntah, kelelahan, gangguan pada lambung, gangguan
penglihatan, demam, kemerahan kulit, dan defisiensi vitamin B (pyridoxine). Efek
samping yang berpotensi fatal adalah hepatotoksisitas (gangguan dan kerusakan
sel hati).
Peringatan dan perhatian

Hati-hati penggunaan Isoniazid pada penderita dengan gangguan fungsi


ginjal dan hati. Pada penderita gangguan fungsi ginjal dosis isoniazid perlu
diturunkan.

Hati-hati penggunaan isoniazid pada penderita dengan riwayat psikosis,


penderita dengan risiko neuropati (seperti diabetes melitus), alkoholisme,
malnutrisi, dan penderita HIV.

Perlu dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum memulai terapi dan


selama terapi perlu dilakukan monitor fungsi hati secara berkala.

Hati-hati penggunaan isoniazid pada ibu hamil dan ibu menyusui.


Isoniazid diberikan bila manfaat pengobatan lebih besar dari pada risiko
bagi ibu dan bayi.

Interaksi obat

Isoniazid dapat meningkatkan toksisitas karbamazepine, ethosuximide,


fenitoin, diazepam, triazolam, teofilin, dan warfarin.

Konsentrasi dalam darah isoniazid dapat berkurang bila digunakan


bersamaan dengan ketokonazole.

Risiko hepatotoksisitas dapat menigkat bila digunakan bersamaan dengan


rifampisin dan obat hepatotoksik lainnya.

Pada penderita yang mengkonsumsi alkohol, efektivitas isoniazid dapat


menurun dan risiko neuropati dan hepatotoksisitas dapat meningkat.

3.6.

Pemeriksaan biopsi dan kultur mikroorganisme


Pada kasus ini harus dilakukan pemeriksaan biopsi dan kultur

mikroorganisme, mengingat bahwa : (1) biopsi dilakukan terutama untuk


mengantisipasi gejala benjolan yang mengarah kepada kegaanasan, dimana biopsi
dapat dilakukan dengan mengambil sejumlah kecil jaringan KGB keluar melalui
jarum, Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Fine Needle Aspiration Biopsy/ FNAB)
adalah prosedur biopsi yang menggunakan jarum sangat tipis yang melekat
pada jarum suntik untuk menarik (aspirasi) sejumlah kecil jaringan dari lesi
abnormal, selanjutnya jaringan tersebut dibawa ke laboratorium untuk
pemeriksaan patologis mikroskopik; (2) mikroba dari jaringan yang diambil
diletakkan pada kultur medium dan

membiarkan mikroorganisme untuk

berkembang, selanjutnya dilakukan pengidentifikasikan organisme penyebab


infeksi untuk memudahkan dignosa penyakit (Weiler et al., 2000; Giri & Singh,
2012 )
3.7.

Interpretasi anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis :
1. Keluhan utama : adanya benjolan dileher sebesar kacang tanah, konsistensi
lunak yang nyeri bila ditekan
2. Keluhan penyerta : Badan terasa demam, merasa lemah dan selera makan
hilang, serta batuk yang tak kunjung sembuh
3. Riwayat penyakit : mempunyai riwayat tonsilitis sewaktu kecil dan belum
pernah mengkonsumsi obat isoniazid.
Pemeriksaan fisik
Leher : ada benjolan
kemerahan, diraba
hangat, konsistensi lunak,
nyeri disentuh, tidak
fluktuasi
Badan terasa demam

Keadaan fisiologis
Tidak ada benjolan

Interpretasi
Abnormal

Suhu badan normal

Abnormal

Berdasarkan interpretasi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,

sambil

menunggu hasil pemeriksaan laboratorium, maka patut diduga bahwa Ny. Fitri
menderita sakit limfadenitis.

Mengingat bahwa Ny. Fitri sejak 5 bulan lalu

mengalami batuk yang tak kunjung sembuh, maka limfadenitis yang diderita
pasien tersebut merupakan limfadenitis tuberkulosis, seperti yang dinyatakan oleh
Mulyani & Asri (2009) bahwa biasanya limfadenitis tuberkulosis diikuti oleh
riwayat batuk lebih dari 3 minggu.
3.8.

Diagnosis banding
Diagnosis banding limfadenitis berdasarkan adanya benjolan di leher adalah

sebagai berikut (Permenkes RI No.5, 2014) :


1. Gondongan : pembesaran kelenjar parotitis akibat infeksi virus, sudut
rahang bawah dapat menghilang karena bengkak

2. Kista duktus tiroglosus : berada di garis tengah dan bergerak dengan


menelan
3. Kista dermoid : benjolan di garis tengah dapat padat atau berisi cairan
4. Hemangioma : kelainan pembuluh darah sehingga timbul benjolan berisi
jalinan pembuluh darah, berwarna merah atau kebiruan.

BAB V
SASARAN PEMBELAJARAN

1. Etiologi, patofisiologi, komplikasi, patogenesis dan diagnosis banding dari


limfadenitis tuberkolosis?
2. Jelaskan pemeriksaan biopsi dan kultur mikrorganisme !
3. Bagaimana hubungan tonsilitis dengan penyakit pada kasus ini?
4. Jelaskan farmakologi selain obat isoniazid untuk obat bakteriostatik!

BAB VI
BERBAGI INFORMASI

6.1.

Etiologi, patofisiologi, komplikasi, patogenesis dan diagnosis banding


limfadenitis tuberkolosis

1) Etiologi :
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
yang merupakan bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran
sekitar 0,4 x 3 m dan tidak berspora. M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan
pewarnaan Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus (pewarna
Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin) serta sangat kuat mengikat zat warna tersebut
sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam dan alkohol,
sehingga dijuluki bakteri tahan asam (Raviglione, 2010; Brooks et al., 2008).
Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat,
lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam
mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang
bertanggung jawab pada sifat tahan asam. Penghilangan lipid dengan
menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini
(Brooks et al., 2008).
Basil tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin bersifat
dorman dan aerob. Bakteri tuberculosis ini mati pada pemanasan 100 o C selama
5-10 menit atau pada pemanasan 60 o C selama 30 menit dan dengan alkohol 7095% selama 15-30 detik. Bakteri init tahan selama 1-2 jam di udara terutama
ditempat lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap
sinar atau aliran udara. (Widoyono, 2008) Bakteri ini mendapatkan energi dari
oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan
pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak khas dan laju pertumbuhannya lebih
lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu replikasi basil tuberkulosis sekitar 18
jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berproliferasi dengan baik
pada temperatur 22-23C, dan tidak terlalu bersifat tahan asam bila dibandingkan
dengan bentuk patogennya (Brooks et al., 2008).
2) Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi
TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering

terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan


TB post-primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering
terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada
orang dewasa (Raviglione, 2010). Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ
lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner.
Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi
oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih,
tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium. TB primer terjadi pada saat
seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis. Basil TB ini masuk
ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit
oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan
mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara
limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.
Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar
limfe regional dihilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan
reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe
regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 4 minggu
setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan
membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam
makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon
bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan
kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting.
Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas
seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi
penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat
bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan
penyakit (Datta & Smieja, 2004).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah
memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya
imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB
primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada

TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran


limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta & Smieja, 2004). Kelenjar
limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama
dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra & Janmeja, 2009). Basil TB juga
dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil
TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi
droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa
ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta & Smieja,
2004).
3) Patofisiologi
Bakteria dapat masuk melalui makanan ke rongga mulut dan melalui tonsil
mencapai kelenjar limfa di leher, sering tanpa tanda TB paru. Kelenjar yang sakit
akan membengkak, dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur
kelenjar didekatnya satu demi satu terkena radang yang khas dan dingin ini. Di
samping itu, dapat terjadi juga perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar
melekat satu sama lain berbentuk massa. Bila mengenai kulit, kulit akan
meradang, merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan
jebol, mengeluarkan bahan keperti keju. Tukak yang terbentuk akan berwarna
pucat dengan tepi membiru dan menggangsir, disertai sekret yang jernih. Tukak
kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang tipis atau
berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan bahan seperti
keju lagi, demikian berulang-ulang. Kulit seperti ini disebut skrofuloderma
(Mohapatra & Janmeja, 2009).
4) Komplikasi
Pembentukan abses
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu infeksi
bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi
infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut
dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang
mati inilah yang membentuk nanah,yang mengisi rongga tersebut. Akibat

penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong. Jaringan


pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas abses;
hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih
lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam, maka infeksi bisa menyebar di dalam

tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.


Sepsis (septikemia atau keracunan darah)
Sepsis adalah kondisi medis yang berpotensi berbahaya atau mengancam
nyawa, yang ditemukan berhubungan dengan infeksi yang diketahui atau

dicurigai.
Fistula
Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening,
padat/keras, multiple dan dapat berkonglomerasi satu sama lain. Dapat pula
sudah terjadi perkijuan seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunak seperti
abses tetapi tidak nyeri. Apabila abses ini pecah ke kulit, lukanya sulit sembuh
oleh karena keluar secara terus menerus sehingga seperti fistula. Fistula
merupakan penyakit yang erat hubungannya dengan immune system/daya
tahan tubuh setiap individual. (Sutedjo, 2009)

5) Diagnosis banding
Menurut Santoso & Krisifu (2004), El-Hiday & Errayes (2008) dan Sedicias et
al. (2012) dignosis banding untuk penyakit limfadenitis tuberkulosis adalah (1)
limfoma non hodgkin; (2) limfoma hodgkin; (3) kanker tiroid; (4) nasofaring.

2. Pemeriksaan biopsi dan kultur mikroorganisme


1) Pemeriksaan biopsi
Biopsi adalah pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh
manusia untuk pemeriksaan patologis mikroskopik. Biopsi merupakan salah

satu cara pemeriksaan patologi anatomi yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis pasti suatu lesi khususnya yang dicurigai sebagai suatu keganasan.
Pemeriksaan patologi ini juga bermanfaat tidak hanya menegakkan diagnosis dan
rencana pengobatan tetapi juga untuk menentukan prognosis (Widoyono, 2008).
Biopsi

kebanyakan

dlakukan

untuk

mengetahui

adanya

kanker.

Pemeriksaan penunjang seperti X-ray, CT scan ataupun ultrasound dapat


dilakukan terlebih dahulu untuk mengalokasikan area biopsi. Biopsi dapat
dilakukan juga dengan proses pembedahan. Dengan demikian biopsi adalah
pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosa dokter bukan untuk terapi
kanker kecuali biopsi eksisional dimana selain pengambilan sampel juga
mengangkat semua massa atau kelainan yang ada.Kemajuan teknologi radiologi
yang pesat dan merupakan mitra utama biopsi, terutama pada tumor yang terletak
di rongga dada dan rongga abdomen. Keberadaan fluoroskop-TV, ultrasonogram
dan CT Scan sangat bermanfaat dalam menuntun ujung jarum sampai mencapai
massa tumor. Kemajuan teknlogi laboratorium, tersedianya pewarnaan dan
ditopanng kerja sama patologist dan radiologist, sitologi biopsi dapat dilakukan
lebih efektif dan efisien.
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Fine Needle Aspiration Biopsy/ FNAB),
adalah prosedur biopsi yang menggunakan jarum sangat tipis yang melekat
pada jarum suntik untuk menarik (aspirasi) sejumlah kecil jaringan dari lesi
abnormal. Sampel jaringan ini kemudian diperiksa di laboratorium dengan
mikroskop. (Suyatno & Pasaribu, 2009). Tehnik FNAB aman, sederhana, tanpa
komplikasi, murah, dan dapat dipercaya, serta dapat dilakukan pada pasien rawat
jalan dengan resiko yang sangat kecil. Tehnik FNAB menggunakan jarum halus
25 G, lebih halus dari jarum yang digunakan untuk pengambilan darah. Dengan
FNAB, tindakan bedah dapat dikurangi sampai 50% kasus (Novrial, 2010; Lina et
al., 2010)
2) Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan kultur mikroorganisme merupakan jenis pemeriksaan untuk
isolasi dan identifikasi jenis bakteri yang terdapat dalam sampel (Berman et al.,
2009). Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan

kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen atau


Kenyon-Gabet-Tan. Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau
biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basil
mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar
perwarnaan dapat positif. Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk
membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus.
Berbagai media dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan
Bactec TB. . Bahan yang diperiksa adalah sputum, cairan lambung, air kemih,
cairan sinovium, atau debris bergantung dari letak penyakit. Karena basil
tuberkulosis sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam hingga
delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmot dapat dipakai untuk
biakan binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam minggu.
Pembelahan sel menuntut 20-24 jam (Zumla et al., 2013).
3. Hubungan hubungan tonsilitis dengan penyakit pada kasus ini
Ny. Fitri mempunyai riwayat tonsilitis sewaktu kecil dan belum pernah
mengkonsumsi obat isoniazid. Oleh karena itu, diduga tonsilitis akut tersebut
pengobatannya tidak adekuat, sehingga menimbulkan gangguan tonsilitis yang
kronis.

Menurut Sembiring et al. (2013) Gangguan tonsilitis kronis dapat

menyebar dan menimbulkan komplikasi melalui perkontinuitatum (saluran yang


berhubungan), hematogen (melalui darah) atau limfogen (kelenjar limfa). Apalagi
menurut Mohapatra & Janmeja (2009) dan Zumla et al. (2013) bakteri
Mycobacterium tuberculosis dapat masuk melalui makanan ke rongga mulut dan
melalui tonsil mencapai kelenjar limfa di leher. Pada kondisi tonsil yang infeksi,
maka sangat mudah Mycobacterium tuberculosis menginfeksi kelenjar limfa, yang
akhirnya terjadi penyakit limfadenitis tuberkulosis.
4. Farmakologi selain obat isoniazid untuk obat bakteriostatik
Menurut Kee & Hayes (2012) obat yang bersifat bakteriostatik diantaranya adalah
sebagai berikut :

Tabel 1. Obat bakteriostatik


Mekanisme kerja
1. Penghambatan sintesis
dinding sel

2. Pengubahan
permeabilitas
membran sel

3. Penghambatan sintesis
protein

4. Mengganggu
metabolisme seluler

Efek bakteriostatik
Pemecahan enzim
dinding sel
Penghambatan enzim
dalam sintesis dinding
sel
Penghambatan
permeabilitas
membran
Hilangnya substansi
selular menyebabkan
sel menjadi lisis
Mengganggu sintesis
protein tanpa
mempengaruhi sel-sel
normal
Menghambat tahaptahap sintesis protein
Mengganggu tahaptahap metabolisme di
dalam sel

Obat
Penisilin
Setalosporin
Basiltrasin
Vancomisin
Amfoterasin B
Nistatin
Polimiksin
Kolistin

Aminoglikosida
Tetrasiklin
Ertromisin
Linkomisin

Sulfonamid
Trimetoprin
Isoniazid (INH)
Asam Naudiksat
Ritampin
Etambutol
Pirazinamid

Farmakologi obat yang setara dengan isoniazid adalah :


1. Etambutol
Absorbsi : ~ 80% ; Distribusi : terdistribusi secara luas dalam tubuh;
terkonsentrasi dalam ginjal, paru, saliva dan sel darah merah; Difusi relatif dari
darah ke dalam cairan serebrospinal : cukup dengan atau tanpa inflamasi; Cairan
serebrospinal: normal meninges : 0% ; inflamasi meninges : 25%; Ikatan protein :
20% hingga 30%; Metabolisme : hepatik (20%) menjadi bentuk metabolit
inaktif ;T eliminasi 2.5-3.6 jam; Waktu untuk mencapai kadar puncak, serum: 2-4
jam; Ekskresi : urin (~ 50%) dan feses (20%) dalam bentuk obat yang tidak
berubah; Pada pemberian oral dosis tunggal 25 mg/Kg BB, diperoleh kadar 2 5
g/ml di dalam serum setelah 2 4 jam. (Tjay & Rahardja, 2010).

2) Pirazinamid
Pirazinamid aktif dalam suasana asam terhadap mikrobaterium, obat ini bersifat
bakterisid terutama pada basil tuberkulosis intraselular. Pada pemberian oral obat
ini mudah diserap dan tersebar luas ke seluruh jaringan tubuh. Kadar puncak
dalam serum tercapai dalam waktu kurang lebih 2 jam, dengan waktu paruh antara
10-16 jam. Pirazinamid mengalami hidrolisis dan hidroksilasi menjadi asam
hidroksi pirazinoat yang merupakan metabolit utamanya serta di ekresi melalui
filtrasi glolerolus (Tjay & Rahardja, 2010).

DAFTAR PUSTAKA
Berman, A., Snyder, S.J., Kozier, B. & Erb, G. (2009). Buku Ajar Praktik
Keperawatan Klinis Kozier Erb. Edisi 5. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Brooks, G.P., Butel, J.S., & Morse, S.A. (2008). Mikrobiologi Kedokteran :
Jawetz, Melnick & Adelberg. Edisi 25. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Burton, M. J. & Glasziou, P.P. (2009). Tonsillectomy or Adenotonsillectomy
Versus Non-Surgical Treatment for Chronic/Recurrent Acute Tonsillitis.
London : John Wiley & Sons, Ltd.
Datta, M., & Smieja, M. (2004). Tuberculosis in Evidence Based Infectious
Diseases. London : BMJ Books, BMA House.
El-Hiday, A.H., & Errayes, M.M. (2008). A 26-year-old male with lower neck
masses. Annals of Tropical Medicine and Public Health, 1, 31-32.
FK UI. (2007). Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FK. Universitas
Indonesia.
Giri, S. & Singh, K. (2012). Fine needle aspiration cytology for the diagnosis of
tuberculous lymphadenitis. International Journal of Current Research
and Review, 4 (24), 124-130.
Kee, J.L., & Hayes, E.R. (2013). Farmakologi. Edisi 13. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Lina, J., Tambunan, G.W., & Lubis, N.D. (2010). Ketepatan pemeriksaan terpadu
sitologi biopsi aspirasi jarum halus (Si-BAJAH) dan ultrasonografi pada
nodul tiroid di RSUP Adam Malik Medan. Majalah Patologi, 19(2), 3338.
Mohapatra, P.R., & Janmeja, A.K. (2009). Tuberculosis lymphadenitis. JAPI 57,
585-590.
Mulyani, H., & Asri, A. (2009). Gambaran Limfadenitis Tuberkolosis pada Anak
yang Didiagnosis dengan FNAB di Bagian Patologi Anatomi FK UnandRSUP Dr. M. Djamil Padang. Padang : Bagian Patologi FK Universitas
Andalas.
Muscari, E.M. (2005). Keperawatan Pediatrik; Infeksi Saluran Pernapasan
Bagian Atas. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Novrial, D. (2010). Validitas diagnostik biopsi aspirasi jarum halus pada
karsinoma payudara. Mandala of Health, 4(2), 76-81.
Permenkes RI No.5. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Kemetrian Kesehatan.

Raviglione, M.C. (2010). Tuberculosis : The Essentials. Fourth Edition. Boca


Raton : CRC Press Taylor & Francis Group.
Reeves, C. J., Roux, G., & Lockhart, R. (2001). Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika
Santoso, M., & Krisifu, C. (2004). Diagnostik dan penatalaksanaan limfoma non
hodgkin. Dexa Media, 17(4), 143-149.
Sedicias, S., Sedicias, G., Duarte, R., Medeiros, E., & Vasconcelos, I. (2012).
Differential diagnosis of tuberculous lymphadenitis : Case report.
Journal of The Senology International Society, 1(3), 78-88.
Sembiring, R.O., Porotuo, J., & Waworuntu, O. (2013). Identifikasi bakterri dan
uji kepekaan terhadap antibiotik pada penderita tonsilitis di poliklinik
THT-KL BLU RSU Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Journal e-Biomedik,
1(2), 1053-1057.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R.D. (2007). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorokan-Kepala Leher. 6th Ed.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sutedjo, A. (2009). Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books.
Suyatno & Pasaribu, E. (2009). Diagnostik dan Terapi Bedah Onkologi. Jakarta :
Sagung Seto.
Tierney, L.M. J., McPhee, S.J., & Papadakis, M.A. (2003) Diagnosis & Terapi
Kedokteran Penyakit Dalam. Buku 2. Jakarta : Salemba Medika.
Tjay, T.H., & Rahardja, K. (2010). Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan,
dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Weiler, Z., Nelly, P., Baruchin, A.M., & Oren, S. (2000). Diagnosis and treatment
of cervical tuberculous lymphadenitis. Journal of Oral and Maxillofacial
Surgery, 58, 477481.

Widoyono, M.P.H. (2008). Jurnal: Penyakit Tropis Epidemologi, Penularan,


Pencegahan dan Pemberantasannya. Semarang : EMS
Zumla, A., Raviglione, M., Hafner, R., & Von Reyn, C.F.. (2013) Current
concepts tuberculosis. The New England Journal of Medicine, 368(8),
745-754.

Anda mungkin juga menyukai