128 222 1 PB
128 222 1 PB
186
PENDAHULUAN
Pengadaan air bersih di Indonesia masih terpusat di daerah perkotaan, dan dikelola oleh
Perusahan Daerah Air Minum (PDAM). Daerah yang belum mendapatkan pelayanan air bersih
dari PDAM umumnya menggunakan air tanah (sumur), air sungai, air hujan, air sumber (mata
air) dan lain-lain. Sehingga saat musim kemarau sering dijumpai bahwa kualitas air tanah
maupun air sungai yang digunakan masyarakat tidak memenuhi syarat sebagai air minum yang
sehat bahkan di beberapa tempat tidak layak untuk diminum karena keruh bercampur lumpur.
air kotor dan tercemar merupakan penyebab penyakit-penyakit infeksi seperti; Typus
abdominalis, Cholera, Diare dan Dysentri baciller. Walaupun bakteri penyebab penyakit
infeksi dapat dibunuh dengan memasak air hingga mendidih, tetapi juga terdapat zat berbahaya
terutama logam yang dapat menyebabkan keracunan, tidak dapat dihilangkan dengan cara ini.
Koagulan selama ini diketahui sangat efektif menghilangkan residu terlarut pada air.
Bakteri dan partikel-partikel logam berbahaya akan terperangkap ke dalam flok-flok yang
terbentuk dan mengendap. Selama ini telah banyak dilakukan penelitian untuk menjernihkan air
melalui berbagai jenis koagulan alternatif. Jenis koagulan yang sering digunakan di antaranya
adalah; alum (tawas), kapur, Fero Sulfat (FeSO4), Polialuminium klorida (PAC), tepung biji
kelor, serbuk sekam padi, dan lain-lain. Namun masyarakat dan para pelaku industri belum
menyadari hal tersebut mengingat penggunaan dan penelitiannya di Indonesia belum cukup
berkembang. Lagi pula paradigma masyarakat berpikir bahwa menggunakan bahan-bahan
tersebut sangat menghabiskan waktu dan biaya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
besar pengaruh tiap jenis koagulan terhadap persentase penurunan turbiditas (kekeruhan), TSS
(Total Suspended Solid), dan kadar warna di dalam air, dan membandingkan efektivitas
koagulan tepung biji kelor, Poly Aluminium Chloride (PAC), dan tawas dalam menjernihkan air.
Serbuk biji kelor (Moringa oleifera) mengandung berberapa sifat koagulan pada dosis
tunggu 10 g/L dan di atas dosis tersebut, biji kelor memiliki efek yang sama dengan koagulan
alum (tawas), hal ini merupakan salah satu manfaat serbuk biji kelor sebagai koagulan untuk
penjernihan air minum (Postnote, 2002). Koagulan serbuk biji kelor memiliki keuntungan
tambahan yaitu bersifat antimikroba. Mengingat fakta bahwa koagulan serbuk biji kelor dapat
diproduksi secara lokal, penggunaannya dalam pemurnian air harus dikembangkan, hal ini dapat
mengurangi biaya operasional dari sistem pengolahan air yang sudah ada saat ini (Amagloh dan
Benang, 2009). PAC (Poly Aluminium Chloride) adalah suatu persenyawaan organik kompleks,
ion hidroksil serta ion aluminium bertaraf klorinasi yang berlainan sebagai pembentuk
polynuclear dan mempunyai bentuk umum: Alm(OH)nCl(3m-n) (Pararaja, 2008 dalam Rumapea,
2009). Persenyawaan Aluminium Sulfat (Al2(SO4)3) atau sering disebut tawas adalah suatu jenis
koagulan yang sangat populer secara luas digunakan, sudah dikenal bangsa Mesir pada awal
tahun 2000 SM. Alum atau tawas sebagai penjernih air mulai diproduksi oleh pabrik pada awal
abad 15. Alum atau tawas merupakan bahan koagulan, yang paling banyak digunkan karena
bahan ini paling ekonomis (murah), mudah didapatkan di pasaran serta mudah penyimpanannya
(Budi, 2006).
187
Mulai
Analisa Turbiditas,
Warna, dan TSS
Air baku
PAC
Tawas
koagulasi dan
flokulasi
Analisa Turbiditas,
Warna, dan TSS
Selesai
Rancangan disusun dengan faktor tunggal yang terdiri dari empat perlakuan yaitu;
penambahan koagulan tepung biji kelor 500 mg/L air sampel, PAC 250 mg/L air sampel (250
ppm), tawas 20 mg/L air sampel, dan sampel tanpa penambahan koagulan (kontrol). Masingmasing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Pengulangan perlakuan tersebut akan
menghasilkan 12 sampel. Percobaan akan menentukan apakah empat perlakuan yang berbeda
membaca hasil yang berbeda pula pada analisa turbiditas, warna, dan TSS-nya.
Tabel 1. Rancangan Data Pengamatan
Perlakuan ( i )
Kontrol (i1)
Tepung Biji Kelor (i2)
PAC (i3)
Tawas (i4)
1
i1j1
i2j1
i3j1
i4j1
Ulangan ( j )
2
i1j2
i2j2
i3j2
i4j2
3
i1j3
i2j3
i3j3
i4j3
Total (Yi)
Rata-Rata
)
Y1
Y2
Y3
Y4
Y..
Air baku ditampung di dalam sebuah jerigen berkapasitas 20 L. Ukuran pertikel tepung biji
kelor berkisar antara 53 74 m (200 mesh) dengan pH optimal antara 6 8. Kondisi biji harus
diusahakan masih muda atau tua segar dan masih memiliki kulit ari, hal ini dikarenakan agar
penggunaan tepung biji kelor mendapatkan hasil koagulasi yang maksimal. Sebanyak 250 mg/L
tepung PAC disiapkan untuk dosis pakai sebesar 250 ppm. Koagulan memiliki pH optimal
antara 6 7.6, sedangkan untuk serbuk koagulan tawas digunakan dosis pakai sebesar 20 mg/L
air sampel dengan pH optimal koagulan berkisar antara 5.5 7.8. Air sampel dimasukkan ke
dalam tiga buah beaker glass masing-masing sebanyak 1 liter. Sebanyak 500 mg tepung biji
188
kelor ditambahkan ke masing-masing beaker glass. Kemudian diaduk dengan alat Jar Test dan
diendapkan. Air sampel selanjutnya siap dianalisa. Sebanyak 250 mg PAC ditambahkan ke
masing-masing beaker glass yang berisi air sampel baru. Kemudian larutan diaduk dan
diendapkan sebelum siap dianalisa, sedangkan sebanyak 20 mg tawas ditambahkan ke masingmasing beaker glass yang berisi air sampel baru. Kemudian larutan diaduk dan diendapkan
sebelum siap dianalisa. Waktu pengadukan cepat (150 rpm) selama 5 menit diikuti dengan
pengadukan lambat (30 rpm) selama 30 menit. Waktu pengendapan selama 5 jam. Alat
turbidimeter dihubungkan dengan arus listrik dan dibiarkan kurang lebih 15 menit. Air sampel
dimasukkan ke dalam kuvet dan diusahakan agar tidak terdapat gelembung udara. Kemudian
kuvet dikeringkan dengan tisu. Turbiditas air sampel diukur dengan mengkalibrasikan alat
terlebih dahulu menggunakan larutan induk Formazin 0.1 NTU dengan melihat angka pertama
yang muncul. Selanjutnya dilakukan perlakuan yang sama pada air sampel yang lain. Analisa
turbiditas ini dilakukan sebelum dan sesudah proses koagulasi oleh masing-masing koagulan.
Metode yang digunakan untuk analisa kadar warna adalah metode spektrofotometri UVVisible. Metode spektrofotometri UV-Visible merupakan gabungan antara metode
spektrofotometri UV dan Visible. Sistem ini menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda,
sumber cahaya UV dan sumber cahaya tampak (visible). Spektrofotometer adalah alat yang
terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dengan spektrum
dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang
ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Prinsip kerja alat spektrofotometer adalah dengan sampel
menyerap radiasi (pemancar) elektromagnetis yang pada panjang gelombang tertentu dapat
terlihat. Larutan tembaga (Cu) misalnya berwarna biru karena larutan tersebut menyerap warna
komplementer, yaitu kuning. Semakin banyak molekul tembaga per satuan volume, semakin
banyak pula cahaya kuning yang diserap, dan semakin tua warna biru larutannya (Alaerts, 1987
dalam Hakiki, 2010). Setelah proses koagulasi maka dilakukanlah analisa kadar warna pada
sampel yang meliputi tahap-tahap sebagai berikut; Air sampel diletakkan pada kuvet
spektrofotometer, lalu tentukan nilai absorbansi air sampel tersebut pada panjang gelombang
355 nm. Tentukan nilai satuan warnanya dengan menggunakan kurva kalibrasi warna. Kurva
kalibrasi warna dibuat dengan menggunakan larutan Pt-Co pada skala 2.5; 5; 10 dan 25.
189
pH 7.8. Tawas dapat bekerja efektif pada pH air berkisar antara 4.5-8, sedangkan PAC dapat
bekerja pada kisaran pH yang lebih luas.
Setelah proses koagulasi, sampel harus dibungkus plastik hitam untuk menghindari
dekomposisi koloid oleh aktivitas mikroba. Sampel dipersiapkan sebanyak tiga botol untuk
masing-masing jenis koagulan. Satu botol dianalisa satu kali sehingga terdapat tiga kali
pengulangan dalam proses analisa. Sampel tidak dapat dianalisa apabila dibiarkan lebih dari 24
jam karena akan mengganggu proses analisa. Persentase penurunan turbiditas dihitung dengan
bantuan data yang terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Turbiditas Sampel Setiap Perlakuan (NTU)
Perlakuan (i)
Total (Yi)
PAC (i3)
0.04
Tepung biji kelor (i2)
2.55
Tawas (i4)
3.62
Kontrol (i1)
55.30
61.51
Rata-Rata
0.01
0.85
1.21
18.43
20.50
Tabel 3 dapat digunakan untuk melakukan proses analisa keragaman hasil. Hasil analisa
sidik ragam menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan 99% jenis perlakuan berpengaruh
nyata terhadap penurunan turbiditas. Uji BNT 5% dan 1% menunjukkan bahwa rata-rata hasil
perlakuan koagulan tepung biji kelor, PAC, dan tawas berbeda nyata dengan perlakuan kontrol.
Rata-rata hasil perlakuan setiap koagulan juga berbeda nyata satu sama lain.
Nilai rata-rata turbiditas sampel pada masing-masing perlakuan diambil untuk dimasukkan
ke dalam perhitungan. Persentase penurunan turbiditas setiap koagulan dihitung menggunakan
sebuah persamaan. Persentase penurunan turbiditas sampel setelah proses koagulasi oleh
masing-masing koagulan disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 2.
190
partikel koagulan berukuran 100 atau 200 mesh (Pandia dan Husin, 2005). Penurunan turbiditas
hasil koagulasi dengan tawas pada penelitian ini lebih tinggi daripada penelitian Amir dan
Isnaniawardhana (2010) yang hanya sebesar 92.47%, hal ini disebabkan pH awal pada masingmasing air baku berbeda. pH air baku pada penelitian ini sebesar 7.82, sedangkan pH air baku
penelitian Amir dan Isnaniawardhana sebesar 7.15. Sebagaimana Shammas (2001) dalam Amir
dan Isnaniawardhana (2010) menyatakan bahwa pH mempunyai peranan penting dalam
keberlangsungan proses koagulasi-flokulasi.
Tabel 4. Kadar Warna Sampel Setiap Perlakuan (Pt-Co)
Perlakuan ( i )
Total (Yi)
PAC (i3)
4.27
Tawas (i4)
6.42
Tepung biji kelor (i2)
12.87
Kontrol (i1)
51.61
75.17
Rata-Rata
1.42
2.14
4.29
17.20
25.06
Tabel 4 dapat digunakan untuk melakukan proses analisa keragaman hasil. Hasil analisa
sidik ragam menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan 99% jenis perlakuan berpengaruh
nyata terhadap penurunan kadar warna. Uji BNT 5% dan 1% menunjukkan bahwa rata-rata hasil
setiap perlakuan berbeda nyata satu sama lain.Nilai rata-rata kadar warna sampel pada masingmasing perlakuan diambil untuk dimasukkan ke dalam perhitungan. Persentase penurunan kadar
warna setiap jenis koagulan dihitung menggunakan sebuah persamaan. Persentase penurunan
kadar warna sampel setelah proses koagulasi oleh setiap jenis koagulan disajikan dalam bentuk
grafik pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh Jenis Koagulan terhadap Penurunan Kadar Warna Air Baku
PAC lebih efektif dalam menurunkan kadar warna (Gambar 3) karena muatan positif pada
PAC yang diberikan kedalam air menyebabkan terjadinya proses netralisasi dan adsorpsi patikel
warna dalam air melebihi jenis koagulan lain. Sebagaimana Lindu (2001) dalam Amir dan
Isnaniawardhana (2010) menyebutkan bahwa keberhasilan penyisihan warna sangat ditentukan
oleh proses tumbukan antara partikel koloid yang telah dikoagulasi, sehingga mampu
membentuk partikel flok yang berukuran lebih besar dan kompak, sehingga mudah diendapkan.
Penurunan kadar warna hasil koagulasi dengan tawas pada penelitian ini lebih tinggi daripada
penelitian Amir dan Isnaniawardhana (2010) yang hanya sebesar 83.27%, hal ini disebabkan
kadar warna awal pada masing-masing air baku berbeda. Kadar warna air baku pada penelitian
ini hanya sebesar 17.20 Pt-Co sedangkan kadar warna air baku penelitian Amir dan
Isnaniawardhana sangat tinggi yaitu sebesar 278 Pt-Co. kadar warna yang tinggi menandakan
kandungan partikel warna dan zat organik dalam air sangat banyak sehingga proses adsorpsi
191
sedikit terhambat. Penurunan kadar warna hasil koagulasi dengan tepung biji kelor paling
rendah daripada hasil koagulasi dengan koagulan lain. Karena warna dalam air dapat
disebabkan oleh ion-ion metal alam dan zat-zat organik. Warna air sungai kebanyakan
disebabkan oleh zat-zat organik dari limbah domestik sehingga memang lebih cocok
terkoagulasikan oleh koagulan yang bersifat anorganik seperti PAC dan tawas.
Tabel 5. Nilai TSS Setiap Perlakuan (mg/L)
Perlakuan ( i )
Tawas (i4)
PAC (i3)
Kontrol (i1)
Tepung biji kelor (i2)
Total (Yi)
0.0030
0.0181
0.0407
0.1100
0.2045
Rata-Rata
0.0010
0.0060
0.0136
0.0367
0.0682
Nilai rata-rata TSS sampel pada masing-masing perlakuan diambil untuk dimasukkan ke
dalam perhitungan. Persentase penurunan TSS setiap jenis koagulan dihitung menggunakan
sebuah persamaan. Persentase penurunan TSS sampel setelah proses koagulasi oleh setiap jenis
koagulan disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 4.
Penurunan TSS hasil koagulasi dengan tawas pada Gambar 4. lebih tinggi daripada
penelitian Amir dan Isnaniawardhana (2010) yang hanya sebesar 70.57%. Tawas adalah
koagulan yang lebih mudah terlarut (dissolved) dalam air. Sehingga dapat mengikat lebih
banyak partikel suspensi. Walaupun air sampel didiamkan lebih dari satu minggu, namun sifat
tawas yang mudah larut menyebabkan partikel koagulan dalam air bekerja optimal menurunkan
TSS. Penurunan TSS hasil koagulasi dengan PAC pada penelitian ini lebih tinggi daripada
penelitian Budiman dkk. (2008) yang hanya sebesar 37.48%. Budiman dkk. (2008) memakai
dosis yang lebih rendah sebesar 75 ppm dibandingkan dengan dosis PAC yang dipakai pada
penelitian ini. Padahal nilai TSS awal air sampel pada penelitian tersebut sangat tinggi sebesar
228.6 mg/L, hal ini mengakibatkan penyerapan kation oleh partikel koloid masih kurang
sehingga masih banyak partikel yang memiliki muatan negatif dan masih melayang-layang di
192
dalam air. Kenaikan TSS oleh koagulan tepung biji kelor dikarenakan waktu tunggu analisa
yang terlalu lama sehingga terjadi proses dekomposisi koloid pada sampel. Selain itu ukuran
koagulan juga mempengaruhi kondisi tersebut. Ukuran koagulan yang tidak seragam pada
Tepung Biji Kelor menyebabkan partikel-partikelnya tertinggal dan mengkoagulasi kembali
(restabilisasi). Sehingga pada saat proses penyaringan, berat kertas saring menjadi bertambah.
Restabilisasi ini juga disebabkan air sampel yang terlalu lama dibiarkan lebih dari satu minggu
sehingga adsorbsi kation oleh partikel koloid menjadi berlebih, hal ini mengakibatkan tidak
semua partikel dapat diendapkan, sebagian pertikel masih dapat disaring dan tertahan oleh
kertas saring (Budiman dkk., 2008).
SIMPULAN
Tepung biji kelor mampu menurunkan turbiditas sebesar 95.39%, kadar warna sebesar
75.07%, dan menyebabkan kenaikan TSS sebesar 170.270 %. PAC mampu menurunkan
turbiditas sebesar 99.95%, kadar warna sebesar 91.73%, dan TSS sebesar 55.528%. Tawas
mampu menurunkan turbuditas sebesar 93.44%, kadar warna sebesar 87.55%, dan TSS sebesar
93.366 %. Jenis koagulan yang paling efektif dalam menjernihkan air adalah PAC.
DAFTAR PUSTAKA
Amagloh, F. K., dan Yarn, A. 2009. Effectiveness of Moringa oleifera Seed as Coagulant for
Water Purification. African Journal of Agricultural Research 4 (1): 119-123
Amir, R., dan Isnaniawardhana, J.N. 2008. Penentuan Dosis Optimum Aluminium Sulfat dalam
Pengolahan Air Sungai Cileueur Kota Ciamis dan Pemanfatan Resirkulasi Lumpur dengan
Parameter pH, Warna, Kekeruhan, dan TSS. Jurnal Program Studi Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung.
Budi, S.S. 2006. Penurunan Fosfat dengan Penambahan Kapur (Lime), Tawas dan Filtrasi Zeolit
pada Limbah Cair (Studi Kasus RS Bethesda Yogyakarta). Tesis Magister. UNDIP.
Semarang
Budiman, A., Wahyudi. C., Irawaty, W., dan Hindarso, H. 2008. Kinerja Koagulan Poly
Aluminium Chloride (PAC) dalam Penjernihan Air Sungai Kalimas Surabaya Menjadi Air
Bersih. Widya Teknik 7(1): 25-34.
Bulson, P. C., Johnstone, Gibbons, dan W. H. Funk. 1984. Removal and inactivation of Bacteria
During Alum Treatment of a Lake. Applied and Environmental Microbiology 48 (2): 425430.
Chandra. 1998. Penentuan Dosis Optimum Koagulan Ferro SulfatKapur, Flokulan Chemifloce
dan Besfloc serta Biofloculan Moringa oleifera dalam Pengolahan Limbah Cair Pabrik
Tekstil, Skripsi Sarjana. UNPAR. Bandung
Hakiki, R. 2010. Penentuan Zat Pereduksi pada Gliserin dengan Menggunakan
Spektrofotometer UV-Visible. Skripsi Sarjana. USU. Medan
Pandia, S., dan Husin, A. 2005. Pengaruh Masa dan Ukuran Biji Kelor pada Proses Penjernihan
Air. Jurnal Teknologi Proses 4(2): 26-33.
Postnote. 2002. Access to water in developing countries. February 9, 2012.
<www.parliament.uk/documents/post/pn178pdf>.
Rambe, A. M. 2009. Pemanfaatan Biji Kelor (Moringa oleifea) sebagai Koagulan Alternatif
dalam Proses Penjernihan Limbah Cair Industri Tekstil. Tesis Magister. USU. Medan
Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengendalian
Pencemaran Air. Menteri Lingkungan. Jakarta
Rumapea, N. 2009. Penggunaan Kitosan dan Polyaluminium Chloride (PAC) untuk
menurunkan kadar logam besi (Fe) dan Seng (Zn) dalam Air Gambut. Tesis Magister.
USU. Medan
193