Anda di halaman 1dari 3

Cara Membedakan Antara Abses Peritonsil dan Selulitis

Berdasarkan gejala klinik sukar sekali dibedakan antara abses peritonsil dan selulitis.
Kadang-kadang infeksi tonsil berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsil meluas
sampai palatum mole. Kelanjutan proses ini menyebabkan abses peritonsil. Kelainan ini
dapat terjadi cepat, dengan onset awal dari tonsilitis atau tonsilitis akut.
Untuk membedakannya dapat dengan pemeriksaan fisik. Pada abses peritonsil didapatkan
fluktuasi pada palpasi sedangkan pada selulitis tidak didapatkan. Untuk memastikannya dapat
dilakukan dengan teknik aspirasi jarum. Jarum ukuran 17 dapat dimasukkan (setelah aplikasi
dengan anestesi semprot) ke dalam tiga lokasi yang tampaknya paling mungkin untuk
menghasilkan aspirasi pus. Jika ditemukan pus menandakan terjadinya abses peritonsil,
sedangkan jika tidak ditemukan pus, tampaknya ini masih berhubungan dengan selulitis
dibandingkan abses.
Penatalaksanaan Abses Peritonsil
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, obat simptomatik. Terapi dengan
antibiotika yang adekuat (Penisilin, Sefalosporin, Klindamisin) harus diberikan sampai
temperatur tubuh normal dan sakit menghilang. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin
600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x
250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg.
Irigasi dengan larutan NaCl 0,85% hangat (110-115 0F) atau glukosa 5% tiap 2-3 jam akan
mempercepat penyembuhan dan meringankan penderitaan. Juga perlu kumur-kumur dengan
cairan hangat dan kompres dingin pada leher dan rahang untuk mengendurkan ketegangan
otot.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk
mengeluarkan nanah. Tempat insisi adalah daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi
yang sakit. Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal. Pertama faring disemprot
dengan anestesi topikal. Kemudian 2 cc xilokain dengan adrenalin 1/100.000 disuntikkan.
Pisau tonsila no.12 atau no.11 dengan plester untuk mencegah penetrasi yang dalam yang
digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fossa
tonsilaris. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi dan dengan lembut direntangkan.
Pengisapan tonsil sebaiknya segera dilakukan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan analgesia (lokal), dengan
menyuntikkan xylocain atau Novocain 1% di ganglion sfenopalatinum. Ganglion ini terletak
di bagian belakang atas lateral dari konka media. Ganglion sfenopalatinum mempunyai
cabang n. palatina anterior, media dan posterior yang mengirimkan cabang aferennya ke
tonsil dan palatum molle di atas tonsil. Daerah yang paling tepat untuk insisi mendapat
inervasi dari cabang palatina n.Trigeminus yang melewati ganglion sfenopalatinum.
Pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Indikasi untuk tonsilektomi segera yaitu
adanya obstruksi jalan nafas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam,
riwayat abses peritonsil sebelumnya, dan riwayat faringitis eksudatifa yang berulang. Pada
umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase

abses. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.

Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek


mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada
antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah
sakit (hourshospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan
dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.
DAFTAR PUSTAKA

1.
Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies,
Buku Ajar Penyakit THT, hal.333. EGC, Jakarta.
2.
Fachruddin, darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan,
Telinga-Hidung-Tenggorokan, hal. 185. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
3.
Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-89.
4.
Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar Abscess. Available from. www.emedicine.com.
Accessed at Juli 2007.
5.
Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296, 308-09.
EGC, Jakarta.
6.
Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Head and
Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven Publisher. Philadelphia.
P :1224, 1233-34.
7.
Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali Abses Peritonsil. Accessed:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248.
8.
Preston, M. 2008. Peritonsillar Abscess (Quinsy). accessed:
http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/.

9.
STEYER, T. E. 2002. Peritonsillar Abscess: Diagnosis and Treatment. accessed:
http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html.
10.
Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.

ABSES PERITONSIL

Anda mungkin juga menyukai