Anda di halaman 1dari 33

KETENTUAN HUKUM & EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

KETENTUAN HUKUM &


EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin komplek maka


mempengaruhi dunia ekonomi terkait dalam hal pembangunan nasional.
Pembangunan nasional untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang
adil dan makmur sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Upaya mengembangkan
perekonomian dan perdagangan diperlukan peran dari pemerintah dan pelaku
usaha (masyarakat dan badan hukum). Pengembangan perekonomian tersebut
memerlukan adanya modal yang besar sehingga modal tesebut diperoleh
dengan perkreditan melalui perbankan.

Upaya perkreditan yang dilakukan oleh debitur dan kreditur dilakukan dengan
membuat perjanjian kredit terlebih dahulu sebagai perjanjian pokok. Perjanjian
kredit biasanya dalam bentuk perjanjian baku yang diberikan oleh kreditur
kepada debitur dimana untuk disepakati bersama. Akan tetapi ada pula
perjanjian kredit dibuat secara akta notariil yang dibuat oleh Notaris. Notaris
dalam hal ini harus teliti guna melindungi masing-masing pihak terkait dengan
hak dan kewajibannya. Pemberian kredit oleh kreditur kepada debitur tidak
secara cuma-cuma melainkan disertai dengan pemberian jaminan yang senilai
dengan jumlah dari nilai kredit tersebut.

Mayoritas debitur memberikan jaminan kepada kreditur berupa tanah dalam


bentuk sertifikat hak atas tanah. hal ini disebabkan tanah mempunyai nilai yang
relatif stabil bahkan tidak akan mengalami kemerosotan, sangat menguntungkan
bagi kreditur.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bahwa


hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan dibebani dengan hak
tanggungan. Lembaga Hak Tanggungan tersebut belum dapat berfungsi
sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang
mengaturnya secara lengkap, sesuai yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51
UUPA. Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum
dalam Pasal 57 Undang-Undang Pokok Agraria, masih diberlakukan ketentuan
Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Indonesia dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542


sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, sepanjang
mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan
Undang-Undang Pokok Agraria (Penjelasan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960).
Hal ini disebabkan Hypotheek diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menganut asas perlekatan dimana tidak sesuai dengan asas hukum tanah
nasional yang menganut asas pemisahan horizontal. Sehingga, perlu dibentuk
undang-undang yang spesialitas mengenai hak tanggungan kemudian
diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Ada lembaga jaminan hutang yaitu Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Ketentuan Pasal
1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah, adalah :

Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lainnya.

Berdasarkan pengertian dari hak tanggungan tersebut, bahwa jaminan berupa


tanah tersebut juga termasuk benda yang terdapat diatas tanah sebagai
pelunasan atas hutang tertentu. Pembebanan jaminan atas tanah dengan hak
tanggungan tersebut tidak akan terlepas dari perjanjian kredit sebagai perjanjian
pokoknya.

Dengan demikian, perjanjian tersebut telah menimbulkan hak dan kewajiban


yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Pihak debitur mempunyai
kewajiban untuk melakukan angsuran atau pelunasan terhadap piutang tersebut
kepada kreditur sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit maupun
perjanjian assesoir tersebut. Tidak jarang bahwa debitur telah melakukan
wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 maupun Pasal 20 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 telah memberikan kewenangan kepada kreditur
sebagai pihak pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi atas hak
tanggungan.

Perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU Hak
Tanggungan, Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib
mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada
Kantor Pertanahan.

Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan


Sertifikat Hak Tanggungan (Pasal 14 ayat [1] UU Hak Tanggungan). Sertifikat Hak
Tanggungan inilah yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 14
ayat [3] UU Hak Tanggungan).

Sedangkan, APHT yang dibuat oleh PPAT adalah langkah pertama dari pemberian
hak tanggungan tersebut. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU Hak Tanggungan,
pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di
dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT (Pasal
10 ayat [2] UU Hak Tanggungan).

Jadi, pada dasarnya jika APHT tersebut telah didaftarkan di Kantor Pertanahan
dan telah memperoleh sertifikat hak tanggungan, maka kreditur dapat
melakukan penjualan secara lelang jika debitur wanprestasi.

Lebih lanjut, menurut Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.
93/PMK.06/2010 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelangsebagaimana
terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
106/PMK.06/2013 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan No. 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang*, dalam hal
terdapat gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak lain selain
debitor/tereksekusi, suami atau istri debitor/tereksekusi yang terkait kepemilikan,
pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak
Tanggungan yang memerlukan fiat eksekusi.

Uraian secara sederhana prosedur pelaksanaan lelang melalui Kantor Pelayanan


Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dengan tahapan sebagai berikut:

a.

Permohonan lelang dari Pemilik Barang/Penjual

Pihak penjual mengajukan permohonan lelang secara tertulis ditujukan kepada


KPKNL. Penjual harus segera melengkapi surat permohonan lelangnya dengan
dokumen-dokumen/bukti-bukti hak dan kewenangannya menjual barang secara
lelang. Selain itu Penjual dapat menetapkan syarat-syarat penjualan lelang
asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan lelang yang berlaku.

b.

KPKNL menetapkan tanggal/hari dan jam lelang

Setelah kantor lelang meneliti permohonan lelang beserta dokumen


kelengkapannya tersebut dan memperoleh atas legalitas subyek dan objek
lelang, maka kantor lelang (KPKNL) akan menetapkan waktu dan tempat lelang.

c.

Pengumuman lelang di surat kabar harian

Maksud dan tujuan dari Pengumuman Lelang adalah agar dapat diketahui oleh
masyarakat luas sebagai upaya mengumpulkan peminat. Penjualan secara lelang
wajib didahului dengan Pengumuman Lelang yang dilakukan oleh Penjual.
Pengumuman Lelang berdasarkan Pasal 42 PerMenKeu Nomor 93/PMK.06/2010
paling sedikit memuat:

1.

identitas Penjual;

2.

hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang dilaksanakan;

3.

jenis dan jumlah barang;

4.
lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya
bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah dan/atau
bangunan;
5.

spesifikasi barang, khusus untuk barang bergerak;

6.

waktu dan tempat melihat barang yang akan dilelang

7.
Uang Jaminan Penawaran Lelang meliputi besaran, jangka waktu, cara
dan tempat penyetoran, dalam hal dipersyaratkan adanya Uang Jaminan
Penawaran Lelang;

8.
Nilai Limit, kecuali Lelang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya dari tangan
pertama dan Lelang Noneksekusi Sukarela untuk barang bergerak;
9.

cara penawaran lelang; dan

10. jangka waktu Kewajiban Pembayaran Lelang oleh Pembeli.


Pengumuman Lelang terbit pada hari kerja KPKNL dan tidak menyulitkan
peminat lelang melakukan penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang. Penjual
dapat menambah Pengumuman Lelang pada media lainnya guna
mendapatkan peminat lelang seluas-luasnya.

d.

Peserta lelang menyetorkan uang jaminan ke rekening KPKNL

Uang jaminan lelang harus sudah efektif diterima paling lambat 1 (satu) hari
kerja sebelum pelaksanaan lelang. Uang jaminan penawaran lelang dibebankan
kepada pihak Peserta Lelang dengan besaran yang ditentukan oleh Penjual
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari Nilai Limit dan paling banyak sama
dengan Nilai Limit. Ketentuan mengenai besaran uang jaminan penawaran lelang
disebutkan dalam Pasal 32 PerMenKeu Nomor 93/PMK.06/2010. Uang jaminan
penawaran merupakan prasyarat sebelum melakukan lelang dan hal ini
dimaksudkan agar peserta lelang merasa terikat karena uang jaminan akan
hilang apabila peserta yang ditunjuk sebagai Pembeli melakukan wanprestasi,
sehingga dapat dihindarkan dari adanya peserta yang tidak sungguh-sungguh
berminat mengikuti lelang atau yang hanya main-main.

e.

Pelaksanaan lelang oleh Pejabat Lelang dari KPKNL

Pejabat lelang adalah orang yang berdasarkan undang-undang berwenang


melaksanakan lelang. Setiap pelaksanaan lelang (berdasarkan Pasal 1a Vendu
Reglement dan Pasal 2 PerMenKeu Nomor 93/PMK.06/2010) harus dilakukan oleh
dan/atau dihadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh UndangUndang atau Peraturan Pemerintah. Lelang tetap dilaksanakan walaupun hanya
diikuti oleh 1 (satu) orang peserta lelang dan dalam pelaksanaan lelang, Pejabat
Lelang dapat dibantu oleh Pemandu Lelang. Penawaran lelang dilakukan secara
tertulis dalam amplop tertutup dan diserahkan pada saat pelaksanaan lelang.
Dalam hal terdapat nilai penawaran yang sama diantara peserta lelang, maka
penawaran lelang akan dilanjutkan secara lisan naik-naik terhadap penawar
tertinggi yang sama tersebut.
Peserta lelang/kuasanya harus hadir pada saat pelaksanaan lelang dengan
terlebih dahulu melakukan registrasi. Bagi peserta yang memberikan kuasa
kepada pihak lain, harus disertai dengan Akta Kuasa Notariil. Peserta Lelang

yang teregistrasi wajib menyampaikan penawaran paling sedikit sama dengan


harga limit, bila penawaran kurang dari harga limit, maka bersedia dimasukkan
dalam daftar hitam peserta lelang. Dalam hal penawaran tertinggi dalam lelang
telah sesuai dengan kehendak Penjual, maka barang akan dilepas dan Pejabat
Lelang akan menetapkan penawar tertinggi sebagai Pemenang Lelang/Pembeli.
Namun, dalam hal penawaran tertinggi ternyata belum mencapai harga jual
yang dikehendaki (Harga Limit), maka Pejabat Lelang akan menetapkan bahwa
obyek lelang akan ditahan atau tidak ditunjuk pemenangnya, kecuali Penjual
setuju untuk melepaskan barang tersebut.

f.

Pemenang lelang membayar harga lelang kepada KPKNL

Pemenang lelang harus menyelesaikan pelunasan pembayaran paling lambat 3


(tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang, dan apabila pembayaran tidak
dilunasi dalam jangka waktu yang ditentukan, maka jaminan lelang seluruhnya
menjadi Hak Negara dengan disetorkan ke Kas Umum Negara. Pada dasarnya
Pembeli membayar uang pembelian lelang secara kontan, namun apabila
menggunakan cheque, maka sebelumcheque tersebut dikliring dan hasil
kliringnya dinyatakan baik oleh pihak Bank. Pejabat Lelang diwajibkan
menyetorkan uang hasil lelang ke rekening Penjual dalam waktu 1 x 24 jam
setelah diterimanya pelunasan uang hasil lelang dari Pembeli.

g.

Bea Lelang disetorkan ke Kas Negara oleh KPKNL

Bea lelang Pembeli yang dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan


Pemerintah tentang Bea Lelang, Staatsblad 1949-390, yaitu 9% untuk barang
bergerak dan 4,5% untuk barang tidak bergerak, dan uang miskin dipungut
berdasarkan Pasal 18 Vendu Reglement sebesar 0,7% untuk barang bergerak
dan 0,4% untuk barang tidak bergerak. Dilain pihak kepada Penjual juga
dipungut Bea Lelang, yaitu 3% untuk barang bergerak dan 1,5% untuk barang
tidak bergerak dihitung dari Pokok Lelang. Kepada Penjual tidak dikenakan Uang
Miskin

h.

Hasil bersih lelang disetor ke pemohon lelang

Dalam hal pemohon lelang/pemilik barang adalah instansi pemerintah maka


hasil lelang disetorkan ke Kas Negara. Kemudian KPKNL menyerahkan dokumen
dan Petikan Risalah Lelang sebagai bukti untuk balik nama dan

sebagainya.http://kantorhukumkalingga.blogspot.co.id/2014/03/ketentuanhukum-eksekusi-hak-tanggungan.html
Lelang Objek Hak Tanggungan
Browse Home Lelang Objek Hak Tanggungan

Pendahuluan
Pengertian lelang secara umum adalah penjualan dimuka umum yang dipimpin
oleh pejabat lelang dengan penawaran harga secara terbuka atau lisan, tertutup
atau secara tertulis, yang didahului dengan pengumuman lelang serta dilakukan
pada saat dan tempat yanng telahditentukan.Sementara dalam Pasal 1 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 atau disebut dengan Undang-Undang Hak
Tanggungan (UUHT) menyebutkan pengertian dari hak tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain. Undang-undang Hak Tanggungan dibentuk sebagai pelaksanaan dari Pasal
51 UUPA yang menggantikan berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai
hypotheek yang diatur dalam Kitab Undang-undang HukumPerdata dan
Creditverband yang di atur dalam Staatsblad 1908 No. 542 sebagaimana telah
diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190.
Hak Tanggungan adalah merupakan salah satu jenis jaminan kebendaan yang
meskipun tidak dinyatakan dengan tegas, adalah jaminan yang lahir dari suatu
perjanjian. Jika dilihat dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, dan
Pasal 12 UUHT dapat diketahui bahwa pada dasarnya pemberian Hak
Tanggungan hanya dapat dimungkinkan jika dibuat dalam bentuk perjanjian.
Landasan Hukum Eksekusi Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 20 UUHT, dimana
dalam Pasal tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya eksekusi atau
penjualan hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan dapat
dilaksanakan melalui 2 cara :
Lelang berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT
Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Lelang berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) huruf b jo. Pasal 14 Ayat (2)
Rumusan Pasal 14 ayat (2) UUHT secara jelas menyatakan bahwa sertipikat Hak
Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana halnya suatu
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Melalui penjualan secara lelang, seorang pembeli akan terjamin kepastian


hukumnya atas kepemilikan obyek lelang (tanah) tersebut, karena dari setiap
pelaksanaan lelang akan diterbitkan risalah lelang yang merupakan akta otentik
dari pembelian suatu barang melalui proses penjualan secara lelang, sehingga
dengan alat bukti risalah lelang tersebut hak kepemilkan atas obyek lelang
( tanah ) akan jatuh kepada pihak pemenang lelang, meskipun belum secara
sempurna mendapat hak atas tanah tersebut, karena hak atas tanah tersebut
harus didaftarkan, guna memperoleh legitimasi yang sempurna akan hak atas
tanah tersebut kepada Kantor Pertanahan setempat.
Menurut Boedi Harsono bahwa peralihan hak atas tanah dibedakanmenjadi 2 hal
yaitu: Peralihan hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat serta Peralihan
hak atas tanah karena pemindahan hak, salah satu bentuk pemindahan haknya
bisa melalui proses jual beli, karena perbuatan hukum pemindahan hak atas
tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain.
Lelang atau penjualan dimuka umum merupakan bagian dari terjadinya
peralihan hak tersebut. Menurut Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24
tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menjelaskan bahwa peralihan hak
melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang.
Risalah lelang merupakan bukti adanya peralihan hak secara langsung terjadinya
sutu perubahan data yuridis terhadap tanah yang dijual melalui lelang umum
tersebut, sehingga menurut Pasal 36 (1) dan (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa
pemeliharaan pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data
fisik dan data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar dan secara
otomatis pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan setempat
dimana tanah tersebut berada. Sehingga dari pendaftaran hak atas tanah
tersebut akan diterbitkan sertipikat sebagai surat tanda bukti hak, dan
diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan.
Banyak hak-hak atas tanah yang tidak mempunyai cukup bukti secara tertulis,
atau hanya berdasarkan kepada keadaan-keadaan tertentu diakui sebagai hakhak seseorang berdasarkan kepada hak-hak bawaan dan diakui oleh yang
empunya terhadap tanah tersebut. Jika terjadi mutasi kadang-kadang tidak ada
bukti peralihannya ataupun bukti-bukti berupa surat segel yang telah
ditandatangani oleh kepala desa dan saksi. Sehingga dari permasalahan tersebut
maka pendaftaran tanah sangat berperan penting demi menjamin kepastian
hukum terhadap hak-hak atas tanahnya tersebut. Hakekat dari pendaftaran
tanah menurut Pasal 1 butir (1) ketentuan umum PP No. 24 tahun 1997 bahwa
pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Adapun tujuan dari pendaftaran tanah, yaitu : Memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak, menyediakan informasi kepada
pihak-pihak yang berkepentingan, serta terselenggaranya tertib administrasi,
untuk mencapai tertib administrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan satuan
rumah susun, peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas tanah harus
terdaftar. Menurut Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997
menjelaskan bahwa peralihan hak karena lelang dapat didaftarkan apabila ada
kutipan risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang.
Permasalahan yang timbul adalah mengenai eksekusi hak tanggungan, dimana
dalam praktek sekarang dilakukan melalui parate eksekusi berdasarkan Pasal 6
UUHT. Pelaksanaan lelang tersebut dirasa tidak tepat, karena menganggap
ketentuan Pasal 6 UUHT tentang lelang eksekusi merupakan ketentuan yang
berdiri sendiri terlepas dari ketentuan tentang eksekusi lainnya. Ketentuan Pasal
6 UUHT adalah bagian dari parate eksekusi yang ketentuan dasarnya diatur
dalam Pasal 20 (1) a UUHT. Selain itu, KPKNL juga mengesampingkan ketentuan
Pasal 26 UUHT berikut penjelasannya serta Penjelasan Umum angka 9 UUHT,
yang dengan tegas menyatakan bahwa ketentuan UUHT tentang eksekusi obyek
hak tanggungan belum berlaku karena belum ada peraturan pemerintah sebagai
pelaksanaannya.

Pembahasan
Pengaturan Eksekusi Hak Tanggungan Dalam UUHT
Istilah paratee executie sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, secara etimologis berasal dari kata paraat artinya siap ditangan,
sehingga paratee executie dikatakan sebagai sarana eksekusi yang siap
ditangan. Menurut kamus Hukum, paratee executie mempunyai arti pelaksanaan
yang langsung tanpa melewatiproses .
Kalau istilah paratee executie secara impisit tidak terdapat di dalam peraturan
gadai dan hipotik, tetapi di dalam UUHT istilah paratee executie tersebut secara
implisit justru tersurat dan tersirat dalam UUHT. Khususnya diatur dalam
Penjelasan Umum angka 9 UUHT, yang menyebutkan: Salah satu ciri Hak
Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya,
jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi
telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk
memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam
Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga paratee executie
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglement Indonesia yang diperbaharui
( Het Herziene Inlands Reglement ) dan Pasal 258 Reglement Acara Hukum Untuk
Daerah Luar Jawa dan Madura ( Reglement tot Regeling van Het Rechtswezen in
de Gewesten Buiten Java en Madura )... Pengaturan mengenai eksekusi Hak
Tanggungan, diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang menyebutkan bahwa

apabila debitor cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama untuk
menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT.
Seharusnya pelaksanaan eksekusi obyek Hak Tanggungan tidak mendasarkan
pada Pasal 224 H.I.R. dan 258 R.Bg., seperti yang disebutkan oleh Penjelasan
Umum angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3). Melainkan, paratee
eksekusi itu dilaksanakan tanpa meminta fiat dari Ketua Pengadilan Negeri.
Kedua penjelasan tersebut bila dihubungkan dengan Pasal 6 UUHT, kemudian
dikonstruksikan secara yuridis, maka dalam pelaksanaan eksekusi obyek Hak
Tanggungan dapat dijabarkan seperti dibawah ini :
Pertama, pembentuk UUHT memberikan pengertian pelaksanaan eksekusi obyek
Hak Tanggungan menimbulkan pemaknaan ganda, maksudnya satu sisi
pelaksanaannya melalui pelelangan umum ( Pasal 6 UUHT ) tetapi pada sisi lain
harus mendapatkan fiat dari Ketua Pengadilan Negeri ( berdasarkan Pasal 224
H.I.R. / 258 R.Bg.). Pemaknaan ganda menimbulkan pengertian yang kabur
( vage norman ). Hal tersebut menunjukkan pada sisi lain sifat tidak konsistennya
Pembentuk UUHT dan sisi lain, citranya terhadap nilai kepastian hukumnya tidak
pernah pasti.
Kedua, apabila eksekusi obyek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT
ditinjau dari sifat hukumnya merupakan peraturan yang bersifat hukum materiil
yang didalamnya terkandung sifat hukum formil atau kalau istilah yang diberikan
Sudikno adalah hukum materiil yang didalamnya terkandung hukum formil.
Berlakunya hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
syaratnya jika debitor cidera janji. Maksud melalui pelelangan umum berarti
tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan Negeri. Apabila pelaksanaan
paratee eksekusi harus melalui dan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri
( Pasal 224 H.I.R.), dapat ditafsirkan menyimpang dari Pasal 6 UUHT yang
merupakan peraturan yang sifatnya substantif. Oleh karena apabila
melaksanakan eksekusi obyek Hak Tanggungan harus melalui fiat Ketua
Pengadilan Negeri, berarti menyimpangi aturan Pasal 6 UUHT. Oleh karenanya
bentuk peraturan pelaksanaan paratee eksekusi obyek Hak Tanggungan yang
bersifat prosedural telah menyimpangi aturan yang bersifat substantif. Aturan
yang menyimpang tentunya bukan untuk digunakan melainkan patut dan layak
untuk diabaikan atau bahkan tidak perlu digunakan sebab dapat menjadi kendala
bagi salah satu tujuan hukum yakni kegunaan ( zwekmaszigkeitn ).
Ketiga, pelaksanaan eksekusi obyek Hak Tanggungan oleh Pembentuk UUHT,
tidak didasarkan pada norma dalam batang tubuh yang mengatur secara khusus
materi paratee eksekusi ( Pasal 6 UUHT ), melainkan menggunakan penafsiran
otentik, yang mengacu pada rumusan bagian Penjelasan Umum Angka 9 dan
Penjelasan Pasal 14 ayat ayat (2) dan (3) UUHT, yang mengatur materi eksekusi
Sertipikat Hak Tanggungan. Sehingga pelaksanaannya mendasarkan Pasal 224
H.I.R. / 258 R.Bg., sehingga timbul adanya konflik norma. Akibatnya tidak ada
kemudahan yang semula disediakan oleh Undang-undang bagi kreditor
pemegang Hak Tanggungan pertama apabila debitor ingkar janji.

Sebenarnya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 UUHT, petunjuk


pelaksanaannya diatur dalam Surat Edaran Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara Nomor : SE-21 / PN / 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6
Undangundang Hak Tanggungan menentukan bahwa :
... Penjualan tersebut bukan secara paksa, tetapi merupakan tindakan
pelaksanaan perjanjian oleh pihakpihak. oleh karena itu tidak perlu ragu-ragu
lagi melayani permintaan lelang dari pihak perbankan atas Obyek Hak
Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT.

Penjualan Obyek Hak Tanggungan Melalui Lelang


Pemohon atau penjual menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 16 Peraturan
Menteri Keungan Nomor 40 / PMK. 07/ 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang adalah perorangan, badan hukum / usaha atau instansi yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan atau perjanjian berwenang untuk menjual
barang secara lelang. Adapun hak dan kewajiban dari pemohon atau penjual
lelang adalah sebagai berikut :
Hak pemohon atau penjual lelang :
Memilih cara penawaran dalam pelaksanaan lelang, maksudnya adalah
menentukan cara penawaran dalam suatu pelelangan.
Menetapkan syarat-syarat lelang (bila dianggap perlu) antara lain menetapkan
besarnya uang jaminan, membuat nilai limit.
Menerima uang hasil lelang yang telah dikurangi dengan Bea Lelang Penjual dan
Pph Pasal 25 atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan apabila ada.
Menerima salinan risalah lelang dalam hal barang laku terjual.
Kewajiban pemohon atau penjual lelang :
Mengajukan permintaan lelang ke KPKNL setempat dengan melampirkan syaratsyarat atau dokumen-dokumen yang perlu.
Mengadakan pengumuman lelang.
Menetapkan harga atau nilai limit yang wajar atas barang yang akan dilelang
dan mentaati tata tertib lelang.
Membayar Bea Lelang, biaya administrasi, dan pajak atau pungutan lainnya
(misalnya Pph Pasal 25).
Menyerahkan barang dan dokumen-dokumennya kepada pembeli.

Didalam proses lelang obyek Hak Tanggungan, kreditor atau pihak penjual,
mengajukan permohonan lelang kepada KPKNL. Setelah KPKNL yakin semua

syarat telah dipenuhi oleh pihak pemohon lelang, maka KPKNL akan menentukan
jadwal lelang yang selanjutnya akan diberitahukan kepada pihak penjual.Setelah
pihak penjual menerima jadwal yang diajukan oleh KPKNL selanjutnya akan
melaksanakan pengumuman penjualan lelang terhadap obyek Hak Tanggungan
sesuai dengan prosedur yang ada.
Pengumuman dilakukan agar pelaksanaan lelang tersebut diketahui oleh
masyarakat luas dan berusaha untuk menjaring beberapa peminat lelang untuk
menjadi peserta lelang.
Peserta lelang menurut Salbiah adalah perorangan atau badan usaha dapat
menjadi peserta lelang, kecuali yang nyatanyata dilarang oleh peraturan yang
berlaku, seperti : Hakim, Jaksa, Panitera, Pengacara, Pejabat Lelang, Juru Sita,
Notaris, yang terkait dalam pelaksanaan lelang tersebut. Adapun hak dan
kewajiban dari peserta lelang yaitu :

Hak Peserta Lelang :


Melihat dan meminta keterangan atas dokumen-dokumen barang yang akan
dilelang.
Meminta kembali uang jaminan bila tidak ditunjuk sebagai pemenang lelang.
Meminta petikan atau salinan Risalah Lelang atau Grosse dan kwitansi lelang bila
ditunjuk sebagai pemenang lelang.
Mendapatkan barang beserta dokumen-dokumennya bila ditunjuk sebagai
pemenang lelang.
Kewajiban Peserta Lelang :
Menyetorkan uang jaminan kepada Pejabat Lelang bila disyaratkan demikian.
Peserta atau kuasanya hadir dalam pelaksanaan lelang.
Mengisi surat penawaran dengan baik dan benar dalam lelang tertutup atau
tertulis.
Membayar pokok lelang, bea lelang, uang miskin, dan pajak atau pungutan
lainnya bila ditunjuk sebagai pemenang lelang.
Mentaati tata tertib lelang.

Sifat dari pengumuman lelang tersebut mutlak dilaksanakan oleh pihak pemohon
lelang sesuai dengan Pasal 18 PMK No. 40 / PMK.07/ 2006. Setelah terkumpul
beberapa peminat atau peserta lelang, maka dipersyaratkan kepada setiap
peserta lelang yang ingin mengikuti pelaksanaan lelang untuk terlebih dahulu
membayar uang jaminan yang besarnya telah ditentukan oleh pihak penjual

dengan memperhatikan saran dari Kantor Lelang, hal tersebut sesuai dengan
Pasal 15 ayat (3) PMK No.40 / PMK.07 / 2006.
Setelah terkumpul beberapa peserta lelang, maka lelang tersebut dapat segera
dilaksanakan, dan pelaksanaan lelang tersebut dipimpin oleh Pejabat Lelang dan
dapat dibantu oleh Pemandu Lelang (Pasal 34 ayat (1) PMK No. 40 / PMK.07 /
2006 ). Adapun tugas, hak, dan kewajiban dari pejabat lelang menurut Salbiah
adalah sebagai berikut :
Tugas Pejabat Lelang :
Melaksanakan pelayanan lelang di wilayah kerjanya, termasuk di dalamya
pejabat lelang bertanggungjawab terhadap administrasi penyelenggaraan lelang
yang dilaksanakan.
Pejabat Lelang mempunyai tugas melakukan persiapan lelang, pelaksanaan
lelang dan membuat laporan pelaksanaan lelang.
Hak Pejabat Lelang :
Meminta kelengkapan berkas persyaratan lelang.
Menolak pelaksanaan lelang karena tidak yakin akan kebenaran formal berkas
persyaratan lelang.
Melihat barang yang akan dilelang.
Meminta bantuan dari aparat keamanan ( bila diperlukan ).
Memberikan kuasa kepada pihak lain.
Kewajiban Pejabat Lelang :
Menyetor uang hasil lelang yang diterima dari pembeli lelang ke bendaharawan
penerima atau rekening KPKNL.
Membuat dan menandatangani risalah lelang.
Membuat laporan pelaksanaan lelang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam praktek penjualan melalui lelang yang dilakukanoleh KPKNL tehadap


tanah atau bukan tanah diawali dengan pembacaan tata tertib lelang, setelah
para peserta lelang memahami tentang tata cara pelaksanaan lelang, Pejabat
Lelang sebelum membagikan formulir penawaran harga lelang, akan
menjelaskan barang yang akan dilelang. Dari formulir penawaran tersebut akan
ditentukan atau akan diketahui siapa pembeli barang lelang yaitu peserta lelang
yang akan mengajukan penawaran tertinggi yang mencapai atau melampaui
nilai limit yang disahkan sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang.

Setelah diperoleh pemenang lelang atau pembeli, maka pembeli tersebut wajib
membayar harga lelang yang diperhitungkan dengan uang jaminan, bea lelang,
dan untuk uang miskin dikenakan sebesar 0 % (nol persen). Apabila pembeli
tidak memenuhi kewajibannya tersebut maka dari ketentuan Pasal 50 ayat (5)
PMK No. 40 / PMK.07 / 2006 yang menjelaskan bahwa orang tersebut tidak boleh
mengikuti lelang di seluruh wilayah Indonesia dalam waktu 6 bulan. Akan tetapi
apabila orang tersebut memenuhi kewajibannya maka terhadap orang tersebut
akan dikeluarkan Risalah Lelang sebagai alat bukti yang disahkan oleh Pejabat
Lelang yang menyatakan bahwa orang tersebut merupakanpemenang lelang
yang sah.
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Yang Berasal Dari Penjualan Melalui Lelang
Proses pendaftaran tanah menurut Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah menjelaskan bahwa peralihan
hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftarkan dengan
atau jika dibuktikan adanya kutipan Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat
Lelang, jadi proses pendaftaran tanah karena penjualan di muka umum hanya
dapat dilaksanakan apabila ada bukti Risalah Lelang yang telah disahkan oleh
Pejabat Lelang.
Perlu diperhatikan dalam setiap proses pendaftaran tanah yang berasal dari
lelang, apabila pada obyek pendaftaran tersebut melekat hak lain seperti Hak
Tanggungan, maka obyek pendaftarannya harus sudah bersih dari beban yang
melekat pada tanah atau hak tersebut harus diroya terlebih dahulu.Karena salah
satu syarat pendaftaran tanah kerena lelang harus terbebas dari segala beban
pihak lain.
Menurut Pasal 109 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 3
Tahun 1997, bahwa Sebelum dilaksanakan pendaftaran peralihan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan keterangan dari Kepala
KantorLelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2) diwajibkan
mencantumkan catatan mengenai adanya sita tersebut dihapus, serta pada ayat
(3) Pasal tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan kutipan Risalah Lelang dan
pernyataan dari kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 (3) catatan
mengenai adanya Hak Tanggungan yang bersangkutan dihapus.
Setelah Kantor Pertanahan yakin bahwa telah ada penghapusan beban tersebut
dan pemohon juga telah melampirkan atau melengkapi semua persyaratan yang
diperlukan, maka pelaksanaan peralihan hak dapat dilaksanakan, adapun
persyaratan yang diperlukan untuk melakukan pendaftaran atau peralihan hak
karena pelelangan adalah sebagai berikut :
Surat Permohonan.
Kutipan Risalah Lelang.
Sertipikat Asli.

Apabila Sertipikat asli tidak diberikan, harus ada keterangan Kepala Kantor
Lelang mengenai alasan tidak diserahkannya Sertipikat yang dimaksud.
Untuk lelang non eksekusi diproses sertipikat pengganti yang hilang. Maka
dilakukan pengumuman satu kali selama satu bulan di media cetak (prosedur
penerbitan Sertipikat pengganti karena hilang dilakukan secara terpisah).
Untuk lelang eksekusi diterbitkan sertipikat pengganti dengan nomor hak yang
baru, nomor hak yang lama dimatikan, hal penerbitan Sertipikat tersebut
diumumkan di media massa dengan biaya pemohon.
Identitas diri pemenang lelang dan atau kuasanya (foto copy) :
Perorangan : KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh pejabat yang
berwenang.
Badan hukum : Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum, dilegalisir oleh
pejabat yang berwenang.
Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan.
Bukti pelunasan harga pembelian.
Bukti SSB BPHTB.
Bukti pelunasan SSP PPH final / catatan hasil lelang.
Sertipikat Hak Tanggungan jika dibebani Hak Tanggungan.
Surat pernyataan kreditor melepaskan Hak Tanggungan untuk jumlah yang
melebihi hasil lelang.
Risalah lelang harus memuat keterangan Roya atau pengangkatan sita.
Dokumen-dokumen yang ada diserahkan kepada Petugas Teknis atau (loket II),
setelah dokumen diterima maka Petugas Teknis akan memeriksa semua
kelengkapan dokumen yang ada,apabila tidak lengkap maka akan dikembalikan
lagi kepada pemohon untuk dilengkapi, namun apabila dokumen tersebut
lengkap dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan olehpihak pemohon,
maka Petugas Teknis akan membuat Surat Tanda Terima Dokumen (STTD) dan
Surat Perintah Setor (SPS) dan menyerahkannya kepada pihak pemohon.
Setelah pemohon memperoleh asli SPS dan STTD dari Petugas Teknis, maka
selanjutnya pemohon melakukan pembayaran kepada Petugas Bendahara
Khusus Penerimaan (BKP) sesuai dengan biaya yang tercantum dalam SPS, dan
Petugas BKP akan membuatkan kuitansi yang akan disampaikan kepada pihak
pemohon, kemudian Petugas BKP akan meneruskan salinan kepada Petugas
Teknis untuk dibukukan ke dalam buku permohonan.
Petugas Teknis akan meneruskan dokumen tersebut kepada Kasubsi Pendaftaran
dan Peralihan Hak dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPH dan PPAT), Kasubsi PPH
dan PPAT akan meneliti dan membuat disposisi (menunjuk Petugas Pelaksana

untuk mengolah dokumen tersebut), setelah ditunjuk beberapa Petugas


Pelaksana PPH dan PPAT, selanjutnya Petugas Pelaksana PPH dan PPAT akan
melakukan peminjaman Buku Tanah kepada Petugas Arsip dan akan mengoreksi
atau mengecek semua kelengkapan dokumen lama Sertipikat dengan Buku
Tanahnya, mempelajari Akta PPATnya (identitas komparan dsb) dan akan
mencatat peralihan hak (dituliskan nama pembeli di Buku Tanah Lama dan
mencoret nama penjual atau pemilik lama), membuat konsep Sertipikat dan
Buku Tanah atas nama pemilik baru, serta membuat daftar nama, melakukan
pencatatannya pada Sertipikat lama.
Seluruh dokumen sudah dikelola dan dikoreksi oleh Petugas Pelaksana PPH dan
PPAT dengan benar, maka selanjutnya dokumen tersebut akan langsung
dikirimkan kepada Kasubsi PPH dan PPAT untuk dikoreksi ulang, apabila dokumen
yang diberikan dianggap kurang lengkap atau tidak benar maka dokumen
tersebut akan dikembalikan lagi kepada Petugas Pelaksana PPH dan PPAT untuk
dilengkapi, namun apabila dokumen tersebut dianggap sudah tepat dan benar
dalam pengolahannya maka Kasubsi PPH dan PPAT akan membubuhkan paraf
catatan peralihan hak pada Buku Tanah dan Sertipikat, dan meneruskan
dokumen kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Kepala Kantor Pertanahan yang menerima dokumen dari Kasubsi PPH dan PPAT,
akan mengoreksi ulang dokumen yang diberikan, jika dokumen tersebut
dianggap kurang lengkap atau tidak benar maka dokumen tersebut akan
dikembalikan kepada Petugas Pelaksana PPH dan PPAT untuk dilengkapi, namun
apabila dokumen tersebut dianggap sudah lengkap dan benar dalam
pengolahannya maka Kepala Kantor akan membubuhkan paraf catatan peralihan
hak pada Buku Tanah dan Sertipikat, dan meneruskan dokumen kepada Petugas
Pelaksana PPH dan PPAT.
Setelah dokumen yang diserahkan sudah lengkap denganadanya pengesahan
dari Kasubsi PPH dan PPAT serta dari Kepala Kantor Pertanahan, maka Petugas
Pelaksana PPH dan PPAT akan memberikan stempel pengesahan dari Kantor
Pertanahan yang menerbitkan Sertipikat itu, dan akan mengembalikan Buku
Tanah ke Petugas Arsip Buku Tanah serta menyerahkan dokumen Warkah kepada
Petugas Arsip Warkah,dan selanjutnya akan menyerahkan Sertipikat yang sudah
disahkan tersebut kepada Petugas BKP.
Dokumen yang diberikan oleh Petugas Pelaksana PPH dan PPAT kepada Petugas
BKP akan dibukukan dalam daftar isian dan meneruskan dokumen tersebut
kepada Petugas Penyerah Sertipikat (loket IV), Petugas loket IV akan memberikan
Sertipikat yang sudah disahkan kepada pemohon, akan mencatat daftar isian
pada Buku Tanah dan Sertipikat,membukukan tanggal penerimaan Sertipikat
oleh pemohon, dengan menyebutkan nomor daftar isian, serta mengarsipkan
dokumen tersebut di bagian arsip.

Kesimpulan

Penjualan Obyek Hak Tanggungan melalui lelang berdasarkan paratee eksekusi


Pasal 6 UUHT sebagai sarana untuk mempercepat pelunasan piutang manakala
debitor wanprestasi.
Pengaturan eksekusi obyek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT ( paratee
executie ) tidak konsisten dengan prinsip hukum jaminan, sebab terdapat
kerancuan pengaturan mengenai perolehan hak kreditor pemegang Hak
Tanggungan pertama, karena di satu sisi hak itu terlahir karena Undangundang,
disisi lain hak tersebut terlahir secara diperjanjikan, sehingga pengertian paratee
executie menimbulkan makna ganda / kabur. Hal tersebut akibat pemikiran dari
pembentuk UUHT yang tidak konsisten (inkonsistensi).
Pengaturan tentang prosedur pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan
melalui lelang terdapat kontroversi, karena disatu sisi pelaksanaan penjualannya
melalui eksekusi parate berdasarkan Pasal 6 UUHT dan pada sisi lain
pelaksanaan harus melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri. Pihak Kreditor lebih
sering menggunakan parate eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, tetapi
adakalanya pihak Kreditor menggunakan eksekusi melalui fiat Ketua Pengadilan
Negeri dengan alasan eksekusi tersebut rawan gugatan dan pelaporan ke
kepolisian atau obyek lelang diperkirakan sangat besar nilainya.
Dalam perkembangannya, meskipun adanya Peraturan Menteri Keuangan No.
40 / PMK.07 / 2006, tertanggal 30 Mei 2006,kemudian ditindak lanjuti adanya
Peraturan Direktur Jenderal PER-02 / PL / 2006, tanggal 30 Juni 2006, yang
memberikan kewenangan kepada KPKNL untuk melaksanakan Pasal 6 UUHT
( paratee executie ), namun belum dilaksanakan sepenuhnya.
Pelaksanaan Lelang harus dilakukan oleh Pejabat Lelang dan dapat dibantu
Pemandu Lelang. Penawaran harga dilakukan secara terbuka atau lisan dan
tertutup atau tertulis atau inklusif dan ekslusif, yang didahului dengan
pengumuman, serta dalam pelelangan ditentukan adanya uang jaminan, Bea
Lelang, dan harga limit.
Proses pendaftaran tanah yang berasal dari penjualan lelang hanya dapat
dibuktikan dengan adanya Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang ,
apabila data fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan belum terdaftar
maka perlu diadakan pemeriksaan tanah dan dalam SKPT disebutkan bahwa
tanah tersebut belum terdaftar, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat
pengganti apabila pendaftaran peralihan hak karena lelang eksekusi yang
sertipikatnya tidak dapat diserahkan.
http://zamuji.blogspot.co.id/2012/12/pelaksanaan-lelang-objek-haktanggunggan.html

Asas-Asas dalam Pelaksanaan Lelang

Untuk mewujudkan optimalisasi hasil lelang, diperlukan pelaksanaan lelang yang


efisien, adil, terbuka, dan akuntabel. Dalam rangka memenuhi hal tersebut,
setiap pelaksanaan lelang harus selalu memperhatikan asas keterbukaan, asas
keadilan, asas kepastian hukum, asas efisiensi dan asas akuntabilitas.

1. Asas Keterbukaan

Asas keterbukaan : asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara (vide Penjelasan Pasal 3 angka 4 UU
No. 28 Tahun 1999). Asas ini dipenuhi oleh ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan lelang yang menentukan bahwa setiap pelaksanaan lelang
harus didahului dengan PENGUMUMAN LELANG. Pengumuman lelang berperan
sebagai sumber bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang pelaksanaan lelang.

2. Asas Keadilan

Mengenai tujuan hukum pada umumnya, Aristoteles yang telah terkenal dalam
bukunya yang berjudul Rhetorica, menganggap bahwa hukum bertugas
membuat adanya keadilan. Tujuan Undang-Undang Lelang adalah membuat
adanya keadilan dalam pelaksanaan lelang. Dalam proses pelaksanaan lelang
harus memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi setiap pihak yang
berkepentingan dan diberlakukan sama kepada masyarakat pengguna jasa
lelang. Asas ini menghendaki para pihak memenuhi dan melaksanakan isi lelang
yang tercantum dalam Risalah Lelang, yang mempunyai kekuatan untuk
menuntut prestasi secara adil dari para pihak dan memikul kewajiban untuk
melaksanakan isi Risalah Lelang itu dengan itikad baik (good faith). Blacks Law
Dictionary memberikan pengertian itikad baik adalah in or with good faith;
honestly, openly, and sincerely; without deceit or fraud. Truly; actually; without
simulation or pretense. Bukan hanya ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam Risalah Lelang yang wajib ditaati oleh para pihak, melainkan juga itikad
baik sebagai ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis, yaitu kepatutan, kejujuran,
tanpa tipu muslihat, dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang
dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi pihak-pihak lain.

3. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum: adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara (vide: Penjelasan Pasal 3 angka 1 UU No. 28
Tahun 1999). Dalam setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang oleh
Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik peralihan hak (acta van transport)
atas barang sekaligus sebagai alas hak penyerahan barang. Tanpa Risalah
Lelang, pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh Pejabat Lelang tidak sah
(invalid). Pelaksanaan lelang yang demikian tidak memberi kepastian hukum
tentang hal-hal yang terjadi, karena apa yang terjadi tidak tercatat secara jelas
sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian. Oleh karena itu, Risalah Lelang
sebagai figur hukum yang mengandung kepastian hukum harus diaktualisasikan
dengan tegas dalam undang-undang yang mengatur tentang lelang.

4. Asas Efisiensi

Asas efisiensi dalam lelang akan memberikan jaminan pelayanan penjualan


dengan cepat dan mudah karena dilakukan pada waktu dan tempat yang telah
ditentukan, pengesahan sebagai Pembeli dilakukan pada saat itu juga, dan
penyelesaian pembayaran dilakukan secara tunai serta biaya yang relatif murah.
Asas efisiensi ini juga akan menjamin pelaksanaan lelang menjadi media terbaik
dalam proses jual beli sebab potensi harga terbaik akan lebih mudah dicapai
dikarenakan secara teknis dan psikologis suasana kompetitif tercipta dengan
sendirinya. Dengan demikian akan terbentuk iklim pelaksanaan lelang yang adil,
kondusif, dan berdaya saing.

5. Asas Akuntabilitas

Asas akuntabilitas: adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (vide Pasal 3 angka 7 UU No. 28 Tahun 1999).Dengan
demikian, asas ini menghendaki agar lelang yang dilaksanakan dapat
dipertanggungjawabkan oleh Pejabat Lelang, Penjual dan Pembeli kepada semua
pihak yang berkepentingan dan masyarakat. Pertanggungjawaban Pejabat
Lelang: administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang. Pertanggungjawaban
Penjual: dalam rangka penghapusan, pelaksanaan eksekusi, atau kepentingan
lainnya. Pertanggungjawaban Pembeli: kewajiban dalam pelunasan pembayaran
harga pokok lelang, pembayaran Bea Lelang, dan pembayaran pajak-pajak yang
dikenakan atas pelaksanaan
lelang.http://www.balailelang.co.id/index.php/home/asas-asas-dalampelaksanaan-lelang

ENGERTIAN LELANG

Sebab-sebab Hapusnya Hak Tanggungan


Ada 6 (enam) cara berakhirnya atau hapusnya Hak Tanggungan, keenam cara
tersebut disajikan sebagai berikut:
1.
dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara suka rela oleh debitur.
Disini tidak terjadi cedera janji atau sengketa.
2.
debitur tidak memenuhi tepat pada waktu, yang berakibat debitur akan
ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini tidak jarang
disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur dengan suka rela. Sehingga
dengan demikian utang debitur lunas dan perjanjian utang piutang berakhir.
3.
Debitur cedera janji. Dengan adanya cedera cedera janji tersebut, maka
kreditur dapat mengadakan parate eksekusi dengan menjual lelang barang yang
dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan
barang tersebut. dengan demikian, perjanjian utang piutang berakhir.
4.
Debitur cedera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat Hak
Tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusikan berdasarkan pasal 224 HIR yang
diikuti pelelanngan umum. Dengan dilunasi utang dari hasil penjualan lelang,
maka perjanjian utang piutang berakhir. Disini tidak terjadi gugatan.
5.
Debitur cedera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur
digugat oleh kreditur, yanng kemudian diikuti oleh putusan pengadilan yang
memenangkan kreditur (kalau terbukti). Putusan tersebut dapat dieksekusi
secara suka rela seperti yang terjadi pada cara yang kedua dengan dipenuhinya
prestasi oleh debitur tanpa pelelangan umum dan dengan demikian perjanjian
utang piutang berakhir.
6.
Debitur tidak mau melaksanakan putusan penngadilan yang
mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan
dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan
untuk melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan perjanjian utang piutang
berakhir.[1]
Walaupun hak atas tanah itu hapus, namun pemberian Hak Tanggungan tetap
berkewajiban untuk membayar hutangnya. Hapusnya Hak Tanggungan yang
dilepas oleh pemegang Hak Tanggungan dilakukan dengan pemberian
pernyataan tertulis, mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh
pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya Hak
Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan
pringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadinya karen permohonan pembeli hak
atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang
dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.

Pitlo[2] berpendapat bahwa Hak Tanggungan hapus dalam hal-hal sebagai


berikut:
1.

Berakhirnya perikatan

2.

Hak Tanggungan dilepaskan kreditur

3.

Musnahnya obyek Hak Tanggunngan

4.
Kedudukan pemegang dan pemberi Hak Tanggungan jatuh dalam satu
tangan
5.

Berakhirnya perjanjian pemberian Hak Tanggungan

6.

Berakhirnya hak pemberi Hak Tanggungan

7.

Syarat batal dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan

8.

Pemerintah mencabut hak atas tanah

9.

Penetapan peringkat oleh hakim

10. Jika eksekusi telah dilaksanakan


P.A. Stein[3] mengemukakan pula 6 (enam) carahapusnya Hak Tanggungan
1.

Hapusnya hutang, yang dijamin oleh Hypotheek

2.

Afstand hypotheek

3.

Lenyapnya benda hypotheek

4.

Percampuran kedudukan pemegang dan pemberi hypotheek

5.

Pencoretan, karena pembersihan dan kepailitan

6.

Pencabutan hak milik.

Selain itu, sebab-sebab yang menghapus Hak Tanggungan ditentukan dalam


Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak
Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a)

Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

Karena Hak Tanggungan merupakan jaminan utang yang pembebanannya adalah


untuk kepentingan kreditur (pemegang Hak Tanggungan) adalah logis bila Hak
Tanggungan dapat (dan hanya dapat) dihapuskan oleh kreditur (pemegang Hak
Tannggungan) sendiri. Sedangkan pemberi Hak Tanggungan tidak mungkin dapat
membebaskan Hak Tanggungan itu.
Sesuai dengan sifat Hak Tannggungan yang accesoir, adanya Hak Tanggungan
bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak

Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu hapus karena pelunasan
atau karena sebab-sebab lainnya, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang
bersangkutan menjadi hapus juga.
b)

Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

Mengenai hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegang Hak


Tanggungan, ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan
menentukan sebagai berikut:
hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegangnya dilakukan
dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan
tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Hal ini pokoknya sejalan dengan ketentuan Pasal 1381 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
Perikatan-perikatan hapus:
1. Karena pembayaran;
2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikkuti dengan penyimpanan atau
penitipan;
3. Karena pembaruan utang;
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Karena percampuran utang;
6. Karena pembebasan utang;
7. Karena musnahnya barang yang terutang;
8. Karena kebatalan atau pembatalan;
9. Karena berlakunya suatu syarat batal;
10.

Karena lewatnya waktu.

Tanpa adanya pernyataan bebas dari kreditot terhadap debitor, maka utang
debitor masih tetap harus dipenuhi oleh debitor kepada kreditor. Demikian pula
halnya suatu Hak Tanggungan, tanpa adanya pernyataan pelepasan Hak
Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan tidak
pernah hapus.
Tampak jelas, bahwa suatu Hak Tanggungan yang telah diberikan sebelum
dilepaskan oleh pemegang Hak Tanggungan tidak akan hapus dan akan terus
berlaku untuk menjamin pelunasan utang yang masih akan ada di kemudian hari
selama dan sepanjang perikatan pokok antara debitor dan kreditor pemegang
Hak Tanggungan yang (akan) lahir dari perjanjian antara mereka tidak atau
belum dihapuskan.

Dalam konteks ini pun, untuk kepentingan praktis, maka pernyataan tertulis
kreditor pemegang Hak Tanggungan mengenai maksudnya untuk melepaskan
Hak Tanggungan harus disampaikan agar pencoretan Hak Tanggungan dapat
dilakukan.http://zfadly.blogspot.co.id/2012/04/hapusnya-hak-tanggungan.html
HAK TANGGUNGAN

Pengertian

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain

Objek Hak Tanggungan

(1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan.

(2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai
atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak
Tanggungan.
(3) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut
bangunan,tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik
pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Subyek Hak Tanggungan

Subyek hak tanggungan adalah pihak-pihak yang membuat perjanjian


pembebanan hak tanggungan, yaitu:
- Pemberi hak tanggungan (kreditur)
- Penerima hak tanggungan (debitur)

Asas

- Droit de preference, memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu


kepada pemegangnya.
- Droit de suit, selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun
benda itu berada.
- Memenuhi asas spesialis dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga
dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan. Spesialis,
asas yang menghendaki bahwa hipotek hanya dapat diadakan atas benda-benda
yang ditunjuk secara khusus. Publisitas, asas yang mengharuskan bahwa hipotek
itu harus didaftarkan di dalam register umum, supaya dapat diketahui oleh pihak
ketiga/umum.
- Tak dapat dibagi-bagi (ondeedlbaarheid), hipotek itu membebani seluruh
objek/benda yang dihipotekkan dalam keseluruhan atas setiap benda dan atas
setiap bagian dari benda-benda tak bergerak.
- Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya.

Prosedur

Prosedur pemberian hak tanggungan sesuai ketentuan Pasal 10 UU Nomor 4


tahun 1996, yaitu sebagai berikut:

1) Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak


Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di
dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
(2) Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan perbuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi
pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan
bersamaan dengan permohonan pcndaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Pendaftaran Hak Tanggungan

Pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 UU


Nomor 4 Tahun 1996 sebagai berikut:

(1) Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.


(2) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta
Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),
PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang bersangkutan
dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
(3) Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan
mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak
Tanggungan serta menjalin cacatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang
bersangkutan.
(4) Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan scbagaimana dimaksud pada ayat (3)
adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperiukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur,
buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
(5) Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6)
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan
sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
beriaku.
(7) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat
irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA".
(8) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap dan beriaku sebagai pengganti grosse facte
Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
(9) Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah yang telah
dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan.
(10) Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.

Peralihan Hak Tanggungan

Pada dasranya hak tanggungan diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UU Nomor 4
Tahun 1996 sebagai berikut:

(1) Jlka piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie,
subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut
beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.
(2) Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan.
(3) Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) di lakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku tanah
Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak
Tanggungan serta menjalin catatan tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan dan
sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
(4) Tanggal pencatatan pada buku-tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu
jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
(5) Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari
tanggal pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Bentuk dan isi Akta Pemberian Hak Tanggungan, bentuk dan isi buku-tanah Hak
Tanggungan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tata cara pemberian dan
pendaftaran Hak Tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Janji-janji Dalam Pemberian Hak Tanggungan

Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara


lain :

a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk


menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah
jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan
persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah
bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan
tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk
mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi Ietak obyek Hak Tanggungan apabila
debitor sungguh-sungguh cidera janji;
d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk, mcnyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk
pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang meniadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi
atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
e. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mcmpunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cideta
janji;
f. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek
Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
g. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas
obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang
Hak Tanggungan;
h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan tidak akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan Untuk
pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh
pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
i. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan mempcroleh seluruh atau
sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;
j. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak
Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;

k. Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).

Hapusnya Hak Tanggungan

Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :


a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleb pemegang Hak Tanggungan;
c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri;
d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Eksekusi Hak Tanggungan

(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :


a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalain Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),

obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang
pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor
lainnya.
(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek
Hak -Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu
akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
(3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis
oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2(dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta
tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang
bertentangan dengan ketentuan pada ayat (I), ayat (2), dan ayat (3) batal demi
hukum.
(5) Sampai saat pengumumam untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin
dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah
dikeluarkan.

Pencoretan Hak Tanggungan


(1) Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18,
Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah
hak atas tanah dan sertipikatnya.
(2) Dengan hapusnya Hak Tanggungan , sertipikat Hak Tanggungan yang
bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan dinyatakan
tidak beriaku lagi oleh Kantor Pertanahan.
(3) Apabila sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) karena sesuatu
sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada
buku -tanah Hak Tanggungan.
(4) Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
pihak yang berkepentingan dengn melarnpirkan sertipikat Hak Tanggungan yang
telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang
yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau
pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena
piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan yang
bersangkutan.
(5) Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar.
(6) Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang
diperiksa oleh Pengadilan Negeri lain, permohonan tersebut harus diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
(7) Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan
kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau
putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(8) Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan menurut
tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang beriaku
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7).

(9) Apabila pelunasan utang dilakukan dengan cara angsuran sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), hapusnya Hak Tanggungan pada bagian obyek
Hak Tanggungan yang bersangkutan dicatat pada buku tanah dan sertipikat Hak
Tanggungan serta pada bukutanah dan sertipikat hak atas tanah yang telah
bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya.

From : Dewi mayaningsih S.Hhttp://yukalaw.blogspot.co.id/2012/02/haktanggungan.html


Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bukittinggi terbentuk
pada tahun 2002 dengan nama Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara
(KP2LN) Bukittinggi berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
445/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang
Negara. KPKNL Bukittinggi pada saat itu merupakan unit pelayanan vertikal di
bawah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN). Sebelumnya,
KPKNL Bukittinggi beralamat di Jl. Prof. Dr. Hazairin, SH No. 3 Bukit Tinggi. Sejak
tanggal 27 Januari 2014 KPKNL Bukittinggi telah menempati gedung baru
dengan alamat Jalan Muhammad Yamin Nomor 60 Aur Kuning, Bukittinggi.

KPKNL Bukittinggi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya mempunyai 8


(delapan) wilayah kerja kota dan/atau kabupaten di Propinsi Sumatera Barat
bagian utara, yaitu Kota Bukittingggi, Kabupaten Agam, Kabupaten Padang
Panjang, Kabupaten Payakumbuh, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Tanah Datar,
Kabupaten Pasaman, dan Kabupaten Pasaman Barat.

Kepala KPKNL Bukittinggi saat ini adalah Irwan Mardianto. Kepala kantor dibantu
oleh: Kasubbag Umum Anung Indra Jati; Kasi Pelayanan Penilaian Eko Heru
Cahyono; Kasi Pengelolaan Kekayaan Negara Anthony Saliza; Kasi Pelayanan
Lelang Yudiandra Satya Budhi; Kasi Piutang Negara Ganjar Patrianto; Kasi Hukum
dan Informasi Hakim Setyo Budi Mulyono; dan Kasi Kepatuhan Internal
Zainal.https://www.djkn.kemenkeu.go.id/2013/kpknl-bukittinggi
Kepala KPKNL Bukittinggi Irwan Mardianto, Kepala Seksi Pelayanan Lelang KPKNL
Bukittinggi) Irfan Nugraha
Tata Cara Lelang Internet
1. Tata Cara Umum

Lelang dilaksanakan dengan penawaran secara tertulis tanpa kehadiran peserta


lelang melalui Aplikasi Lelang Email (ALE). ALE dibuka dengan browser pada

alamat domain https://www.lelangdjkn.kemenkeu.go.id/, dengan tata cara


sebagai berikut:

Peserta lelang harus sign-in (bagi yang sudah pernah mendaftar) atau sign-up
(bagi yang belum pernah mendaftar) pada alamat domain di atas untuk
mendaftarkan username dan password masing-masing. Ada beberapa isian yang
harus dilengkapi dalam proses registrasi ini. Pastikan agar alamat email yang
didaftarkan ke ALE valid.
Peserta lelang akan memperoleh kode aktivasi yang dikirim ke alamat email
masing-masing. Kode aktivasi digunakan untuk mengaktifkan username.
Setelah aktif, peserta lelang memilih obyek lelang pada katalog yang tersedia.
Setelah memastikan obyek lelang yang dipilihnya, peserta lelang diwajibkan
untuk:
Mendaftarkan nomor identitas/KTP dan NPWP serta dan mengunggah
softcopy KTP dan NPWP.
Mendaftarakan nomor rekening bank atas nama peserta lelang, guna
kepentingan pengembalian uang jaminan bagi peserta lelang tidak ditunjuk
sebagai pemenang lelang.
Peserta lelang akan memperoleh nomor Virtual Account (VA) yang digunakan
sebagai tujuan penyetoran uang jaminan lelang. Nomor VA dapat dilihat dalam
menu Status Lelang pada ALE (sesuai username masing-masing pada ALE).
Setelah uang jaminan diterima di rekening penampungan KPKNL sesuai
ketentuan, dan peserta lelang dinyatakan bersih dari daftar pihak yang
dikenakan sanksi tidak diperbolehkan mengikuti lelang sesuai ketentuan, maka
peserta lelang akan memperoleh kode token yang digunakan untuk menawar
obyek lelang. Kode token dikirimkan ke alamat email masing-masing peserta
lelang.
Penawaran diajukan dengan cara menekan tombol Tawar (Bid) dalam menu
Status Lelang pada ALE. Sebelum mengajukan penawaran, peserta lelang
harus membaca dan menyetujui Syarat dan Ketentuan Lelang dengan cara
mencentang frasa Saya berkehendak untuk mengikuti lelang serta telah
membaca dan menyetujui Syarat dan Ketentuan Lelang ini.
Penawaran dapat diajukan berkali-kali sampai batas akhir penawaran lelang
ditutup (closing time). Dalam mengajukan penawaran berkali-kali, penawaran
berikutnya harus lebih tinggi daripada penawaran sebelumnya.
Setelah batas waktu penawaran lelang berakhir, seluruh penawaran lelang
direkapitulasi oleh ALE sesuai nominal/angka penawaran dan waktu penerimaan
penawaran lelang. Rekapitulasi seluruh penawaran lelang dapat dilihat pada ALE

(sesuai username masing-masing pada ALE). Rekapitulasi seluruh penawaran


lelang juga dikirimkan ke alamat email masing-masing peserta lelang.
Seluruh peserta lelang (baik pemenang lelang maupun peserta lelang) juga
akan mendapatkan informasi melalui alamat email masing-masing mengenai hak
dan kewajibannya.
Setiap proses yang dilakukan peserta lelang dan memerlukan tindak
lanjut/respon dari petugas (Pejabat Lelang maupun Bendahara Penerimaan)
KPKNL dari ALE, dilakukan pada hari dan jam kerja KPKNL.

2. Uang Jaminan Penawaran Lelang

Peserta lelang diwajibkan menyetor uang jaminan lelang dengan ketentuan


sebagai berikut:
Jumlah/nominal yang disetorkan harus sama dengan uang jaminan yang
disyaratkan penjual dalam pengumuman lelang ini, disetorkan sekaligus (bukan
dicicil).
Setoran uang jaminan lelang HARUS sudah efektif diterima oleh KPKNL
selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang.
Penyetoran uang jaminan lelang ditujukan ke nomor VA masing-masing
peserta lelang. Nomor VA akan dibagikan secara otomatis dari ALE kepada
masing-,masing peserta lelang setelah mengikuti proses pendaftaran.
Penyetoran uang jaminan lelang dapat dilakukan melalui berbagai jalur, yaitu:
ATM (sepanjang limit transaksi mencukupi), sms-banking, i-banking, dan teller
bank. Peserta lelang harus memasukkan nomor VA masing-masing dalam
menyetorkan uang jaminan melalui jalur apapun.
Setiap penyetoran dan/atau pengembalian uang jaminan dari dan ke peserta
lelang dari bank yang sama dengan bank mitra KPKNL penyelenggara lelang
tidak dikenai biaya apapun. Sedangkan setiap penyetoran dan/atau
pengembalian uang jaminan dari bank yang berbeda dengan bank mitra KPKNL
penyelenggara lelang, dikenai biaya transaksi perbankan (jumlahnya bervariasi,
sesuai ketentuan bank masing-masing) dan ditanggung oleh peserta lelang.

3. Pelunasan

Pelunasan kewajiban pembayaran lelang oleh Pembeli dilakukan paling lama 5


(lima) hari kerja setelah pelaksanaan lelang. Pelunasan kewajiban pembayaran
lelang tersebut ditujukan ke nomor VA peserta lelang,

https://www.lelangdjkn.kemenkeu.go.id/prosedur?
_PID=hiLRalAI37wZxTaHYeYOzrz1Yn2PeVXKbRU

Anda mungkin juga menyukai