Oleh:
dr. Ayyub Erdiyanto
Pembimbing:
dr. Satmoko Nugroho, Sp.S
Pendamping:
dr. Sofie Giantari
dr.Yuliawaty Soetio
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PPSDM KESEHATAN
2014
A.
DATA PRIBADI
Nama
: Ny.S
No registrasi : 20.13.65
Umur
: 64 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat
: Tiris
B.
1.
2.
ANAMNESIS
Keluhan utama : nyeri pada dada kanan dan punggung kanan
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kanan di bawah payudara,
menjalar sampai bagian bawah ketiak kanan dan punggung sebelah kanan. Nyeri ini
sudah dirasakan pasien sejak 6 bulan SMRS. Nyeri terasa tajam, seperti ditusuk-tusuk,
hilang timbul. Terjadi beberapa kali dalam sehari. Pasien terkadang juga mengeluh
terasa nyeri pada bagian tersebut saat sedang digaruk, bergesekan dengan pakaian,
tapi hal itu jarang terjadi. Nyeri yang dirasakan pasien juga bisa terjadi kapan saja dan
tidak dipengaruhi aktivitas atau gerakan. Demam (-), sesak (-). Pusing (-). Pasien
3.
4.
5.
hilang.
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.
Riwayat pengobatan
Sejak saat sakit kulit sampai sekarang, pasien berobat ke bidan 4 kali. Penyakit
kulit menghilang, namun nyeri tetap ada. Pasien sering mengkonsumsi
dexametasone tablet dan asam mefenamat (beli sendiri di toko). Lalu pasien
berobat ke PKM maron, dan di rujuk ke poli saraf RS Waluyo Jati
C.
1.
2.
3.
Tanda Vital
1.
Tekanan darah
: 130/80 mmHg
2.
Temperatur
: 36,8 C
3.
Nadi
: 88x/menit, teratur, kuat
4.
Napas
: 20x/menit
Kepala leher
1.
Rambut
: hitam
2.
Bentuk kepala
: bulat, moonface (+)
3.
Mata : anemis (-), ikterus (-), tanda radang (-), gangguan neurologis (-), pupil
4.
5.
6.
4.
Thorax
1. Kulit :
lesi (-)
2. pemeriksaan neurologi :
fungsi motorik : atrofi otot (-), hipertrofi otot (-), tonus dbn, kekuatan
otot 5 di semua extremitas
fungsi sensorik :
Nyeri
Dextra
Sinistra
(+++) di segmen
(+) N diseluruh
torakalis 4 dan 5
dinding dada
dextra
Suhu
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Getar
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Raba halus
daerah
torakalis
dextra
2. Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
: gerak dada D = S
:
FR
segmen
dan
Perkusi
Auskultasi :
3. Jantung
: S1S2 tunggal,
SN
Ves
Ves
Ves
Ves
RH
Ves
Ves
WH
Abdomen
:
Cembung, bising usus (+)N, timpani, soepel, nyeri tekan (-)
Genitalia : dalam batas normal
Ekstrimitas : akral hangat, kering, CRT < 2 detik, edema (-/-), deformitas (-)
6.
7.
D.
DIAGNOSIS/ASSESMENT
Post Herpetik Neuralgia
E.
PLANNING
Planning terapi
:
1. Terapi medikamentosa :
PDA 2x1
Depakote 250 mg 2x1
Sohobion 1x1
2. Terapi nonmedikamentosa
TENS
Planning monitoring :
Keluhan
Vital sign
Planning edukasi
:
Menjelaskan tentang perjalanan penyakit pasien, rencana tatalaksana dan komplikasi
pasien
Menjelaskan bahwa kepatuhan pengobatan ke dokter menunjang keberhasilan
pengobatan.
Epidemiologi
Sebagian besar insidens herpes zoster dan neuralgia paska herpetika didapatkan
data dari Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan belum didapatkan angka insiden di Asia,
Australia dan Amerika Selatan.2
Pada penderita herpes zoster hampir 100 persen pasien mengalami nyeri, dan 1070 persennya mengalami neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada
penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Anak antara usia 5 dan 9
tahun mengambil 50% dari semua kasus, kebanyakan kasus lain timbul antara usia 1 dan
4 tahun serta 10 dan 14 tahun. Sekitar 10% diatas usia 15 tahun. Pada penderita HIV atau
dengan leukemia dilaprkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok
sehat usia sama.1,2
Etiologi
Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia.Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah
icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA
untai ganda. Virus varicella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm.1,3
Analisis endonuklease terbatas atas DNA virus pasien varicella yang kemudian
menderita herpes zoster membenarkan identitas molekul dua virus yang
bertanggung jawab untuk presentasi klinis yang berbeda ini.3
Gambar 7.
Virus Varisella zoster, virus ini menyebabkan penyakit varicella dan untuk reaktivasi
selanjutnya akan menyebabkan pnyakit zoster.Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap
berada di dalam akar saraf sensorik untuk hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf
sensoris pada kulit, menyebabkan ruam karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah
resolusi, banyak individu terus mengalami nyeri pada distribusi dari ruam (postherpetic
neuralgia).2
Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah meningkatnya
usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa
ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya
mengalami neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula
dalam menimbulkan neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh,
pasien dengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.1
Patogenesis
Periode inkubasi virus Varisella zooster sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah
infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama
bertahun-tahun.8,9
The enveloped virus creates the chickenpox rash and can travel from the
skin to sensory nerves. Once in the sensory nerves, the virus moves to the
sensory ganglia where it becomes latent. If reactivated, the virus travels
from the sensory ganglia back to the skin where it creates the shingles
rash.
Gambar 8.
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella
zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan
pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui.
Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status
imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan
di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah
mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan
pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang
dikenal dengan namaLipschutz inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses
peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer
dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan
demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses perjalanan virus ini
menyebabkan kerusakan pada saraf. Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan
pada infeksi virus varisella zoster:9
1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau
saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat
dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan dorsal horn, akar
dan ganglion.
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan
akar saraf yang terlibat.
Mekanisme nyeri
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis:
1. Proses stimulasi singkat10
2. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atau inflamasi
jaringan
3. Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf
Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan menyebabkan
timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak menyebabkan terjadinya
lesi, maka rasa nyeri yang terjadi hanya dalam waktu singkat.
Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya inflamasi jaringan atau dikenal
sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah terjadinya kalor, rubor, dolor
dan fungsiolaesa.
Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan
mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi
saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal
dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya.
Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik,
melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal
(mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif sentral
(sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya aktivitas abnormal sistem saraf
aferen akibat lesi, yaitu:10
1. aktivitas ektopik
2. sensitisasi nosiseptor
3. interaksi abnormal antar serabut saraf
4. hipersensitifitas terhadap katekolamin
Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal
semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut A yang
biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada
allodinia dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme terjadinya allodinia disebabkan oleh
adanya: 1,10,11
1. sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi
sebagai
rangsan
yang
menyebabkan
vasokonstriksi
(penciutan
pembuluh
darah),
trombosis
respon
berlebihan
terhadap
konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari
sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata
11
12
13
Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat
sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu
penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai
mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit
kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan durasi
dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan pemberian
acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.12.13
Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh
rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri
yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood
sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka
panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum
timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti
rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia
yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/
14
tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/
normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus
bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.1,2,13
Dworkin membagi neuralgia paska herpetika ke dalam tiga fase:1
- Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung <
4 minggu
- Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
- Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit
atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. Nyeri digambarkan sebagai rasa
seperti terbakar, teiris tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa tersetrum di sepanjang
dermatom yang terkena/ terlibat. Didapatkan pula gangguan allodinia dimana
sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei tempat tidur menimbulkan rasa nyeri
tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri ini dapat menganggu pasien
dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat berpakaian atau saat
tidur. Keluhan sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah lesi, sensitif
terhadap perubahan temperatur. 13
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:8,21,25,27
1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya.
2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus
3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus
15
4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22%
kasus.
5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.
6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan
herpes simpleks dengan herpes zoster
7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung
diagnosis herpes zoster subklinis.
3.8. Terapi
Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika
Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan
neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan
terapi non farmakologis.1
Tiga hal yang perlu menjadi perhatian khusus dalam upaya terapi NPH adalah:
(1) memberi analgesia, (2) mengurangi depresi dan kecemasan dan (3) mengurangi
insomnia. Strategi terapi selalu difokuskan pada pencegahan, mengingat sekali NPH
terjadi maka akan sangat sulit dilakukan terapi. Sejumlah modalitas terapi perlu
dipertimbangkan dengan arif dan bijaksana, mengingat beragam variasi pasien
terhadap terapi (usia lanjut, efek samping dan komplikasi-komplikasi terapi yang bisa
terjadi). Obat-obatan harus dipertimbangkan dengan dosis minimal yang efektif serta
follow-up
perjalanan
nyeri
pasien.
Kombinasi
obat-obatan
tetap
perlu
16
Analgesik
Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek
analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri
neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih
baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja
sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan
serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari
dibagi dalam 4 dosis, tramadol terbukti lebih efektif dibanding plasebo dalam
pengobatan NPH. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya
amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat
lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek
toleransi dan takifilaksisnya. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek
yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan
tidur, dan kecacatan. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari pada NPH.1,2
Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltagegated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan
3) menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik.1
Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya
kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral,
gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Karbamazepin,
lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga
terjadi hambatan.1
17
18
ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika
adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.1
Terapi topikal
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltagegated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls
ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi
sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih.
Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA. Lidokain topikal
merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam mengobati nyeri
neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan lidocaine
patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik
selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama
bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua.1
Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim
capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia
paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah
diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P
yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini.
Pada suatu uji klinik acak terkendali melibatkan 143 pasien neuralgia paska herpetika,
dilaporkan setelah pengobatan selama 4 minggu, 21% nyeri berkurang pada kelompok
yang mendapat terapi capsaicin , sedangkan 6% nyeri berkurang pada kelompok
kontrol (p<0.05). Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar
yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya ( 1/3 pasien pada uji klinik ini).1,2,3
Terapi non farmakologis
19
Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri.
Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska
herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus
tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.1
TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga
komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun
dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.1
Pencegahan neuralgia paska herpetika
Perlu diingat, NPH sendiri merupakan komplikasi dari herpes zoster. Jika
herpes zoster dapat dicegah, tentunya NPH dapat dihindari. Untuk mencegah herpes
zoster, dapat digunakan vaksin.2
Jika penderita telah menderita herpes zoster, terapi sedini dan seagresif
mungkin menunjukkan penurunan insidens terjadinya nyeri neuropatik yang sangat
serius dan sulit untuk diatasi. Terapi tersebut mencakup pemberian anti virus yang
terbukti menurunkan insidens NPH. Dianjurkan pula pemberian amitriptilin yang
dimulai dari dua hari setelah ruam muncul.1,13
Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada
penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia paska
herpetika. Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan
mencegah kerusakan saraf, sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam
20
mengurangi nyeri dan eritema, mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan
kulit lebih cepat.13
Komplikasi
Neuralgia Pasca Herpetik (NPH) sendiri merupakan salah satu komplikasi dari herpes
zoster. Yang perlu diperhatikan, NPH tidak berakibat fatal, walaupun penderita merasa nyeri
yang dirasa berat sekali, ditambah dengan waktu yang panjang.1,2
Tidak ada komplikasi secara fisik dari NPH. Tetapi tentunya secara sosial NPH sangat
mengganggu bagi penderitanya. Nyeri yang dirasakan oleh penderita sangatlah berat
sehingga penderita selalu merasa takut telah terjadi sesuatu yang parah pada tubuhnya. Disini
pentingnya penjelasan bagi penderita, karena ketakutan malah memperburuk nyeri yang
dirasa.1,2
Prognosis
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi
sensorik.1,2
Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan
nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.1,2
Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko berulangnya HZ masih
mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan
timbul kembali kecil.1,2
21
KESIMPULAN
vesikular.
Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat
22
mengingat sekali NPH terjadi maka akan sangat sulit dilakukan terapi.
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena
setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik
seperti biasa. Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko
berulangnya HZ masih mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai
daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Mardjono, Mahar, Sidarta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat.
Jakarta: 2004. Hal 21-26.
4.
Duus, Peter. Diagnosis Topik Neurologi. EGC. Edisi 2. Jakarta. Hal 29, 44 Snell, S,
Richard.Neuroanatomi Klinik. EGC. Edisi 2. Jakarta. Hal 365-383.
5.
Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit
FKUI : 2000. Hal 115-131.
23
6.
Snell RS. Neuroanatomi Klinik : Pendahuluan dan Susunan Saraf Pusat. 5th Ed.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007. p. 1-16.
7.
Sherwood L. Human Physiology : The Central Nervous System. 7th ed. Canada:
Brooks/ColeCengangeLearning:2010.p.176-79.availablefrom
http://www.cumc.columbia.edu/publications/invivo/Vol1_no7_apr15_02/varicella.hl
8.
Canadian Paediatric Society. Chickenpox. 2009. Retrived April 6, 2009 available from
http://www.cps.ca/caringforkids/immunization/ChickenpoxFacts.htm.
9.
University of Maryland Medical Center. 2009 Chicken pox and Shingles. Retrived
April 6, 2009 available
from:http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_chickenpox_shingles_0000
82_4.htm
10.
11.
12.
Silverthorn. Human Physiology : Homeostatis and Control. 5th Ed. San Fransisco:
Pearson;2010. p.449-57. The Fuctional Imaging Lab in London:
http://www.fil.ion.ucl.ac.uk/
13.
Djuanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta.2005.Harrison.PrinciplesofInternalMedicine.Avilablefrom:
http://www.consumersresearchcncl.org/Healthcare/Dermatologists/derma_chapter2.ht
ml
15.
24