Anda di halaman 1dari 7

http://badanbahasa.kemdikbud.go.

id/lamanbahasa/artikel/1823

Pendokumentasian Bahasa dalam Upaya Revitalisasi


Bahasa Daerah yang Terancam Punah di Indonesia
Adi Budiwiyanto

Ethnologue (2015) mencatat sebanyak 7.102 bahasa dituturkan di seluruh dunia.


Sementara itu, di Indonesia tercatat 707 bahasa yang dituturkan sekitar 221 juta
penduduk. Itu berarti bahwa kurang lebih sepuluh persen dari jumlah bahasa di
dunia ada di Indonesia. Di satu sisi, hal itu menjadi suatu kebanggaan karena itu
menunjukkan kekayaan bahasa sekaligus keberagaman budaya yang kita miliki.
Akan tetapi, di sisi lain hal itu menjadi tantangan, atau bahkan beban, bagi kita
untuk menjaga keberadaan bahasa-bahasa itu.
Para ahli bahasa memprediksi bahwa setengah dari bahasa-bahasa di dunia akan
punah. Di Indonesia sendiri, menurut Moseley (2010) dalam buku Atlas of the
Worlds Languages in Danger, terdapat 146 bahasa yang terancam punah dan 12
bahasa yang telah punah. Bahasa-bahasa itu umumnya berada di bagian timur
Indonesia. Bahasa-bahasa yang teridentifikasi telah punah adalah Hukumina, Kayeli,
Liliali, Moksela, Nakaela, Nila, Palumata, Piru, dan Teun di Maluku, Mapia dan
Tandia di Papua, serta Tobada di Sulawesi.
Kepunahan bahasa dapat disebabkan oleh beberapa hal. Austin dan Sallabank
(2011: 56) membaginya ke dalam empat kategori utama.
1. Bencana alam (gempa bumi, tsunami, dsb), kelaparan, dan penyakit.
2. Perang dan genosida.
3. Represi terbuka, biasanya mengatasnamakan persatuan nasional atau
asimilasi (termasuk pemukiman kembali secara paksa).
4. Dominasi ekonomi, politik, atau budaya.
Faktor-faktor penyebab kepunahan itu mungkin terjadi secara bersamaan dan
terkadang agak sulit untuk menentukan garis pemisahnya.
Keempat kategori di atas dapat dibagi lagi ke dalam lima faktor yang paling
umum.
1. Faktor ekonomi, misalnya, kemiskinan di pedesaan yang menyebabkan
terjadinya urbanisasi.
2. Faktor dominasi budaya oleh masyarakat mayoritas, misalnya, pendidikan
dan kepustakaan yang hanya menggunakan bahasa mayoritas atau bahasa
negara; akibatnya, bahasa daerah menjadi terpinggirkan.
3. Faktor politik, misalnya, kebijakan pendidikan yang mengabaikan atau
mengecualikan bahasa daerah, kurangnya pengakuan atau representasi
politik, atau larangan penggunaan bahasa minoritas dalam kehidupan
masyarakat.
4. Faktor sejarah, misalnya, penjajahan, sengketa batas wilayah, atau naiknya
satu kelompok berikut ragam bahasanya menjadi dominansi politik dan
budaya.

5. Faktor sikap, misalnya, bahasa minoritas diasosiasikan dengan kemiskinan


serta buta huruf dan penderitaan, sementara bahasa mayoritas dikaitkan
dengan kemajuan.
Lewis et al., (2015) berpendapat bahwa ada dua dimensi dalam pencirian
keterancaman bahasa, yaitu jumlah penutur yang menggunakan bahasanya serta
jumlah dan sifat penggunaan atau fungsi penggunaan bahasa. Suatu bahasa
dikatakan terancam apabila semakin sedikit masyarakat yang mengakui bahasanya
dan, oleh karena itu, bahasa itu tidak pernah digunakan ataupun diajarkan kepada
anak-anak mereka. Selain itu, suatu bahasa dikategorikan terancam punah jika
bahasa itu semakin sedikit digunakan dalam kegiatan sehari-hari sehingga
kehilangan fungsi sosial atau komunikatifnya. Semakin kecil ranah penggunaan
bahasa dalam masyarakat cenderung akan memengaruhi persepsi pengguna
bahasa akan kesesuaian penggunaan bahasa dalam fungsi yang lebih luas.
Keberagaman bahasa adalah pilar keberagaman budaya. Oleh karena itu,
kepunahan yang terjadi pada suatu bahasa berarti juga hilangnya kekayaan
budaya. Tradisi, memori, serta cara berpikir dan berekspresi, yang merupakan
warisan yang tak ternilai untuk mencapai masa depan yang lebih baik, pun akan
hilang. Sejumlah ahli linguistik ekologi, dengan menggunakan analisis wacana kritis,
mendapati bahwa antara budaya, bahasa, dan keanekaragaman hayati mempunyai
korelasi. Analisis itu menyingkap bahwa praktik kebahasaan memperlihatkan sikap
eksploitatif terhadap lingkungan alam. Oleh karena itu, mereka mengklaim bahwa
punahnya lingkungan alam sebagian disebabkan oleh bahasa. Namun, yang lebih
menyedihkan adalah ketika penutur suatu bahasa kehilangan bahasanya. Bahasa
sering dianggap sebagai simbol identitas kesukuan atau identitas kebangsaan. Jadi,
ketika seseorang kehilangan bahasanya, itu berarti ia telah kehilangan identitas
etnis atau identitas kebangsaannya.
Oleh karena itu, untuk mengatasi bahasa-bahasa daerah yang terancam punah itu,
diperlukan revitalisasi bahasa. Salah satu bentuk revitalisasi yang dapat dilakukan
adalah dengan pendokumentasian bahasa.

Revitalisasi Bahasa yang Terancam Punah


Menurut Hinton (2011: 291293), revitalisasi bahasa adalah upaya untuk
mengembalikan bahasa yang terancam punah pada tingkat penggunaan yang lebih
baik dalam masyarakat setelah mengalami penurunan penggunaan. Lebih lanjut
Hinton menegaskan tugas utama revitalisasi bahasa meliputi 1) mengajarkan
bahasa kepada mereka yang tidak mengetahui bahasa itu dan 2) membuat orang
yang mempelajari bahasa dan orang yang sudah mengetahui bahasa itu
menggunakannya dalam situasi yang lebih luas. Tujuan transmisi antargenerasi
dikatakan berhasil jika tugas yang kedua dapat dicapai. Tentu saja itu merupakan
tugas sekaligus tantangan yang berat.
Hinton mengusulkan enam upaya nyata yang dapat
mengembalikan penggunaan bahasa yang hampir punah, yaitu

dilakukan

dalam

1. belajar beberapa kata, seperti salam dan perkenalan atau percakapan


pendek;
2. mengumpulkan publikasi linguistik, catatan lapangan dan rekaman suara
sebagai bagian dari penciptaan sumber daya berbasis masyarakat dan arsip;
3. mengembangkan sistem tulis dan pembuatan kamus berbasis masyarakat
dan tata bahasa pedagogis;
4. membuat rekaman audio atau video dari penutur yang tersisa dengan tujuan
mendokumentasikan dan mengarsipkan contoh penggunaan bahasa mereka
dengan membuat korpus bahan berbagai jenis;
5. mengikuti kelas bahasa atau kemah bahasa; dan
6. menjalankan sekolah imersi penuh (sekolah yang bahasa pengantarnya
adalah bahasa yang terancam punah itu sendiri) untuk anak-anak pada
masyarakat yang memiliki sumber daya untuk mendukung mereka.
Untuk memastikan apakah suatu bahasa perlu direvitalisasi, perlu dilakukan
penilaian vitalitas atau daya hidup bahasa. Daya hidup bahasa dapat diukur dari
beberapa indikator. Unesco (2003) menggunakan sembilan faktor untuk
menentukannya, yaitu
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

transmisi bahasa antargenerasi;


jumlah penutur absolut;
proporsi penutur dengan jumlah penduduk keseluruhan;
kecenderungan dalam ranah penggunaan bahasa;
daya tanggap terhadap ranah baru dan media;
materi untuk pendidikan bahasa dan keberaksaraan;
kebijakan bahasa oleh pemerintah dan institusi, termasuk status resmi dan
penggunaanya;
8. sikap masyarakat penutur terhadap bahasa mereka;
9. jumlah dan kualitas dokumentasi bahasa.
Faktor (16) digunakan untuk mengevaluasi daya hidup bahasa dan keadaan
keterancaman,. Faktor (78) diguanakan untuk menilai sikap bahasa, sementara
faktor (9) dipakai untuk menilai pentingnya pendokumentasian.
Berdasarkan menilaian daya hidup bahasa, Unesco (2003) menggolongkan enam
tingkat keadaan bahasa.
1. Aman: bahasa dituturkan oleh semua generasi dan transmisi antargenerasi
tidak terputus.
2. Rentan: bahasa dituturkan oleh anak-anak, tetapi hanya pada ranah tertentu.
3. Terancam: anak-anak tidak lagi menggunakan bahasanya di rumah sebagai
bahasa ibu.
4. Sangat terancam: bahasa hanya digunakan antargenerasi tua, tetapi tidak
kepada anak-anak.
5. Hampir punah: hanya generasi tua yang dapat menuturkan, tetapi jarang
digunakan.
6. Punah: tidak ada penuturnya.
Sementara itu, berdasarkan penilaian pentingnya pendokumentasian, Unesco
mengategorikan enam tingkat keadaan dokumentasi.
1. Unggul: ada tata bahasa yang komprehensif dan kamus, teks yang luas;
aliran bahan bahasa konstan; banyak terdapat rekaman audio dan video
berkualitas tinggi yang beranotasi.

2. Baik: ada satu tata bahasa yang baik dan sejumlah tata bahasa yang
memadai, kamus, teks, sastra; rekaman audio dan video berkualitas tinggi
yang beranotasi jumlahnya memadai.
3. Cukup: mungkin ada tata bahasa yang memadai atau jumlahnya cukup,
kamus, dan teks, tetapi tidak ada media sehari-hari; rekaman audio dan
video mungkin ada dalam kualitas atau anotasi yang beragam.
4. Taklengkap: ada beberapa sketsa tata bahasa, senarai kata, teks yang
bermanfaat untuk penelitian bahasa, tetapi cakupannya kurang; rekaman
audio dan video mungkin ada dengan kualitas yang bervariasi, dengan atau
tanpa anotasi.
5. Kurang: hanya sedikit sketsa tata bahasa, sedikit senarai kata, dan teks yang
taklengkap; rekaman audio dan video tidak ada, tidak dapat dipakai, atau
tidak beranotasi.
6. Tanpa dokumentasi: tidak ada bahan.
Dengan diketahui keadaan dokumentasi suatu bahasa, tahap selanjutnya dapat
dirancang tugas khusus dan memungkinkan untuk mendesain proyek penelitian
bersama-sama dengan anggota masyarakat tutur suatu bahasa.

Pendokumentasian bahasa
Pendokumentasian bahasa belakangan ini gencar dilakukan oleh para peneliti
bahasa. Hal itu dilakukan mengingat banyak bahasa yang masih dituturkan pada
saat ini terancam kepunahan. Jika satu bahasa punah, tentu tidak mungkin
dilakukan pengecekan data terhadap penutur jati dan tidak mngkin pula dilakukan
pengumpulan sejumlah data tambahan. Dalam hal ini, dokumentasi bahasa tidak
hanya dianggap sebagai repositori data untuk penelitian ilmiah, tetapi dokumentasi
bahasa juga berperan penting dalam pemertahanan bahasa.
Himmelmann (2006: 15) berpendapat bahwa dokumentasi bahasa adalah
rekaman bahasa yang bersifat multiguna dan kekal. Multiguna dalam konteks itu
berarti bahwa dokumentasi bahasa meliputi rekaman sebanyak mungkin dan
beragam yang mencakup semua aspek bahasa. Dengan kata lain, dokumentasi
bahasa idealnya berisi semua register dan ragam, bukti bahasa sebagai praktik
sosial dan kecakapan kognitif, serta mencakup contoh penggunaan bahasa lisan
dan tulisan. Sementara itu, sifat dokumentasi bahasa yang kekal mengandung
perspektif jangka panjang yang dapat menjangkau masalah dan isu kebahasan di
masa yang akan datang. Jadi, tujuan pendokumentasian bahasa bukanlah
pembuatan rekaman yang sifatnya jangka pendek untuk tujuan-tujuan khusus
ataupun untuk kelompok-kelompok tertentu. Oleh karena itu, dokumentasi bahasa
yang ideal adalah rekaman yang dapat digunakan untuk generasi selanjutnya dan
masyarakat penutur yaang identitasnya masih belum diketahui dan yang ingin juga
mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan yang belum muncul pada saat
pendokumentasian dilakukan. Bentuk dokumentasi bahasa yang dimaksud adalah
berupa korpus data primer yang komprehensif.
Pendokumentasian bahasa termasuk dalam cabang linguistik dokumenter
(documentary linguistics). Dalam pandangan tradisional (linguistik struktural),
pendokumentasian bahasa pada dasarnya adalah menyusun tata bahasa, kamus,

dan sejumlah teks (Woodbury, 2008: 5; Himmelmann, 2006: 1719). Hubungan di


antara unsur-unsur itu bersifat hierarkis. Posisi teratas adalah tata bahasa,
kemudian kamus, dan terbawah adalah teks. Tata bahasa merupakan seperangkat
aturan untuk memproduksi ujaran. Kamus merupakan senarai pasangan bentuk dan
makana konvensional yang digunakan untuk menghasilkan ujaran. Adapun teks,
baik dalam bentuk kumpulan teks maupun apendiks tata bahasa, berfungsi
memperluas contoh tentang bagaimana sistem tersebut bekerja dalam konteks.
Teks-teks tersebut biasanya diambil dari korpus data primer yang digunakan
sebagai dasar pendeskripsian sistem. Akan tetapi, sesungguhnya teks tersebut
tidak menyediakan akses pada data primer karena teks-teks itu telah disunting
sedemikian rupa. Selama berabad-abad banyak tata bahasa dari berbagai bahasa
dan juga kamus yang telah dihasilkan. Namun, semuannya belum dapat memenuhi
tujuan pendokumentasian bahasa, yaitu menyediakan rekaman bahasa yang
bersifat multiguna dan kekal.
Pendokumentasian bahasa dimulai dengan pengembangan proyek untuk bekerja
sama dengan masyarakat tutur pada suatu bahasa. Perkembangannya dpat dilihat
dari serangkaian tahapan yang meliputi pengumplan data, pemrosesan data, dan
penyimpanan data. Secara terperinci, Austin (2006: 89110) mengidentifikasi
proses pendokumentasian dalam lima tahapan: perekaman (recording),
pendigitalan (capturing), analisis (analysis), pengarsipan (archiving), dan mobilisasi
(mobilization). Perekaman berkaitan dengan penggunaan media (audio, video, atau
gambar) dan teks. Pendigitalan berkaitan dengan pengubahan bahan rekaman
dalam bentuk digital. Analisis berkaitan dengan pentranskripsian, penerjemahan,
pembuatan anotasi, dan notasi metadata. Pengarsipan berkenaan dengan
pembuatan arsip serta hak akses dan penggunaan. Adapun mobilisasi berkaitan
dengan pemublikasian dan pendistribusian bahan dalam berbagai bentuk.

Pendokumentasian Bahasa Terancam Punah di Indonesia


Upaya pendokumentasian bahasa terancam punah di Indonesia mulai gencar
dilakukan pada tahun 2000-an. Upaya tersebut umumnya dilakukan oleh yayasan,
institusi, atau perguruan tinggi, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri,
yang sungguh-sungguh mempunyai perhatian besar terhadap masalah kebahasaan.
Hans Rausing Endangered Languages Project yang didanai oleh Arcadia dan DoBeS
(Dokumentation Bedrohter Sprachen) Project yang disponsori oleh Volkswagen
Foundation adalah beberapa contoh prakarsa pendokumentasian bahasa hampir
punah di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Pemerintah Indonesia melalui institusinya, Badan Bahasa, telah mengawali
pendokumentasian bahasa yang terancam punah ketika menginventarisasi bahasabahasa daerah yang ada di Indonesia. Hingga kini, kegiatan inventarisasi itu masih
berlangsung. Melalui kegiatan itu, diketahui bahasa-bahasa yang memerlukan
prioritas pendokumentasian bahasa mengingat jumlah penuturnya yang semakin
berkurang.

Kegiatan pendokumentasian bahasa bukanlah yang mudah untuk dilakukan. Ada


begitu banyak tantangan di dalamnya. Untuk dapat bertemu dengan penutur asli
bahasa tertentu, pendokumentasi harus bekerja ekstra keras dan kadang harus
mempertaruhkan nyawa. Secara geografis, penutur bahasa-bahasa yang terancam
punah susah untuk dicapai. Biasanya terletak di pedalaman, di pegunungan, atau di
pulau terpencil. Perlu waktu cukup panjang untuk sampai ke sana. Tentu saja itu
menghabiskan dana yang tidak sedikit karena transportasi sangat mahal. Setelah
sampai di lokasi, pendokumentasi harus mampu beradaptasi dengan lingkungan
dan masyarakat. Jika tidak, mereka bisa jadi dianggap pencuri oleh penduduk asli
karena dikira akan mencuri bahasa mereka.
Pengumpulan data untuk pendokumentasian juga memerlukan waktu yang tidak
sedikit. Idealnya semakin lama pengumpulan data, semakin banyak informasi yang
dapat digali. Jika data yang terkumpul memadai, pengkaji bahasa akan sangat
terbantu ketika menganalisis data. Hal itu tentu akan berimbas pada kualitas
dokumentasi.
Bentuk dokumentasi bahasa daerah yang terancam punah yang dihasilkan oleh
Badan Bahasa pada umumnya baru sebatas kamus. Kalaupun ada rekaman suara,
kualitasnya mungkin tidak seideal yang diharapkan dan belum beranotasi.
Dokumentasi berupa tata bahasa belum dilakukan. Tata bahasa yang sudah
dihasilkan didominasi oleh bahasa-bahasa dengan penutur yang lebih dari satu juta.
Arka (2013: 89) mencatat dari tahun 1975 hingga 2007, dari total 335 publikasi tata
bahasa, bahasa Jawa (51) menempati jumlah yang tertinggi, diikuti berturut-turut
oleh bahasa Sunda (24), bahasa Bali (14), bahas Lampung (9), dan bahasa Aceh (7).
Dokumentasi berupa kamus saja sesungguhnya belumlah cukup.
Dokumentasi berupa korpus bahasa-bahasa yang terancam punah semestinya
menjadi prioritas utama. Korpus merupakan data primer. Tidak seperti kamus atau
tata bahasa yang datanya biasanya sudah mengalami penyuntingan. Korpus dapat
menjadi alat dalam menyusun kamus dan dapat menjadi alat analisis dalam
menyusun tata bahasa.
Pendokumentasian bahasa sesungguhnya langkah awal dalam upaya merevitalisasi
bahasa-bahasa yang terancam punah. Keberhasilan untuk merevitalisasi tetap
bergantung pada masyarakat penutur itu sendiri. Namun, pemerintah pusat dan
daerah, sebagai penentu kebijakan bahasa, juga bertanggung jawab untuk menjaga
dan melestarikan bahasa-bahasa yang ada di wilayahnya.

Daftar Pustaka
Arka, I Wayan. 2013. Language Management and Minority Language Maintenance.
Dalam Language Documentation & Conservation vol. 7
Austin, Peter K. 2006. Data and Language Documentation. Dalam Jost Gippert,
Nikolaus P. Himmelmann, dan Ulrike Mosel, eds, Essentials of Language
Documentation. Berlin: Walter de Gruyter.

Brenzinger, Matthias. 2007. Language diversity endangered. Berlin: Walter de


Gruyter.
Lewis, M. Paul, Gary F. Simons, dan Charles D. Fennig (eds.). 2015. Ethnologue:
Language of the World, Eighteenth edition. Dallas, Texas: SIL International.
Diakses dari versi daring: http://www.ethnologue.com pada 19 Agustus 2015.
Himmelmann, Nikolaus P. 2006. Language Documentation: What is it and what is it
good for?. Dalam Jost Gippert, Nikolaus P. Himmelmann, dan Ulrike Mosel,
eds, Essentials of Language Documentation. Berlin: Walter de Gruyter.
Hinton, Leanne. 2011. Revitalization of Endangered Language. Dalam Peter K.
Austin dan Julia Sallabank, eds, The Cambridge Handbook of Endangered
Languages. Cambridge: Cambridge University Press
http://www.ethnologue.com/endangered-languages. Diakses pada 1 Juli 2015.
http://dobes.mpi.nl/projects/?lang=id. Diakses pada 2 Juli 2015.
Moseley, Christopher (ed.). 2010. Atlas of the Worlds Languages in Danger, 3rd
edn.
Paris,
UNESCO
Publishing.
Diakses
dari
versi
daring:
http://www.unesco.org/culture/en/endangeredlanguages/atlas pada 1 Juli
2015.
Unesco Ad Hoc Expert Group on Endangered Languages (2003). Language Vitality
and
Endangerment.
http://www.unesco.org/new/fileadmin
/MULTIMEDIA/HQ/CLT/pdf/Language_vitality_and_endangerment_EN.pdf.
Woodbury, Tony. 2008. Defining Documentary Linguistics. Diakses dari
http://hrelp.org/events/workshops/eldp2008_6/resources/woodbury.pdf pada
29 Juni 2015.

Anda mungkin juga menyukai