Anda di halaman 1dari 20

Referat

Dermatitis Atopik

Oleh:
Debora Lusiana Herman
11.2014.052
Pembimbing: Dr. Endang S, Sp.KK

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kudus 2016

KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karuniaNya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada dr. Endang S, Sp.KK sebagai pembimbing yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.

Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran mengenai dermatitis atopik,
serta diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di
rumah sakit Mardi Rahayu Kudus. Dalam makalah ini membahas mengenai definisi, etiologi,
dan penanganan pada dermatitis atopik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca sehingga dapat memberi informasi kepada para pembaca.
Penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sehingga lebih baik pada penyusunan makalah berikutnya. Terima kasih.

Kudus, Mei 2016

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.2
Daftar isi...3
Pendahuluan.4
Definisi.5
Epidemiologi

.5

Etiopatogenesis ................6
Gambaran Klinis.....9
Diagnosis ..............................................................................................................12
Pemeriksaan Penunjang ........14
Diagnosis Banding...................................................................................................15
Penatalaksanaan...16
Prognosis.20
Daftar Pustaka . 21

Pendahuluan
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, dapat pula pada dewasa. Penyakit ini
biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta adanya riwayat rinitis
alergika dan atau asma pada keluarga maupun penderita. Faktor penyebab dermatitis atopik
merupakan kombinasi faktor genetik (turunan) dan lingkungan seperti kerusakan fungsi kulit,
infeksi, stress dan lain-lain.
Konsep atopi diperkenalkan pertama kali oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923. Kata
atopi diambil dari bahasa Yunani atopia yang berarti sesuatu yang tidak lazim, different atau out
of place, dan istilah ini untuk menggambarkan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan
(hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat di dalam lingkungan
kehidupan manusia.
Kejadian dermatitis atopik menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Pada tahun 2000, di Indonesia ditemukan 23,67%
kasus baru dermatitis atopik pada anak dari 611 kasus baru penyakit kulit lainnya. Makalah ini
dibuat bertujuan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
dan membahas lebih dalam tentang dermatitis atopik.

Tinjauan Pustaka
4

Definisi
Dermatitis atopik (D.A.) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal,
yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (D.A., rinitis
alergik, dan atau asma brokial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami
ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).
Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai
untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam
keluarganya. Misalnya: asma bronkial, rinitis alergik, dermatitis atopik, dan konjungtivitis
alergik.
Sinonim
Banyak istilah lain yang dipakai sebagai sinonim D.A., yaitu ekzema atopik, ekzema
konstitusional, ekzema fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier. Tetapi, yang
paling sering digunakan adalah dermatitis atopik.
Epidemiologi
Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A. makin meningkat sehingga
merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan negara
industri, prevalensi D.A. pada anak mencapai 10 sampai 20 persen, sedangkan pada dewasa kirakira 1 sampai 3 persen. Di negara Agraris seperti Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi
D.A. jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak daripada pria dengan rasio 1,3 : 1.

Etiopatogenesis
5

Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis D.A., misanya faktor genetik,
lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik. Konsep dasar terjadinya D.A. adalah
melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.1
Kadar IgE dalam serum penderita D.A. dan jumlah eosinofil dalam darah perifer umumnya
meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara D.A. dan alergi saluran napas,
karena 80% anak dengan D.A. mengalami asma bronkial atau rinitis alergik. Dari percobaan
pada tikus yang disensitisasi secara epikutan dengan antigen, akan terjadi dermatitis alergik, IgE
dalam serum meningkat, eosinofilia saluran napas, dan respons berlebihan terhadap
metakolin. Hal tersebut menguatkan dugaan bahwa pajanan allergen pada D.A. akan
mempermudah timbuinya asma bronkial. Berikut ini 4 kelas gen yang mempengaruhi penyakit
atopi.1
a. kelas I : gen predisposisi untuk atopi dan respons umum IgE
reseptor FcERI-P, mempunyai afinitas tinggi untuk IgE (kromosom 11812-13)
gen sitokin IL-4 (kromosom 5)
gen reseptor-a IL-4 (kromosom 16)
a. kelas II : gen yang berpengaruh pads respon IgE spesifik
TCR (kromosom 7 dan 14)
HLA (kromosom 6)
b. kelas III : gen yang mempengaruhi mekanisme non-inflamasi (misalnya hiperresponsif
bronkhial.
c. kelas IV : gen yang mempengaruhi inflamasi yang tidak di perantarai IgE
TNF (kromosom 6)
Gen kimase sel mast (kromosom 14)
Genetik
Kromosom 5q31 -33 mengandung kumpulan famili gen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan
GM-CSF, yang diekspresikan oleh sel TH2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting
dalam ekspresi D.A. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi
predisposisi D.A. Ada hubungan yang erat antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas
dan D.A., tetapi tidak dengan asma bronkial atau rhinitis alergik. Varian genetik kimase sel
mas, yaitu serine protease yang disekresi oleh sel mas di kulit, mempunyai efek spesifik pads
organ, dan berperan dalam timbulnya D.A.
Respons Imun Pada Kulit
6

Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit D.A. Jumlah TH2
lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1 menurun.

Pada kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita D.A. bila dibandingkan dengan
kulit normal orang yang bukan penderita D.A., ditemukan lebih banyak sel-sel yang

mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y.
Pada lesi akut dan kronis bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada
lesinya penderita D.A., menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang mengekspresikan
mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak banyak mengandung sel yang

mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12.


Lesi kronis D.A. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-5, GM-CSF,IL-12, dan IFN-y,
meningkat bila dibandingkan dengan yang akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis D.A.
berperan dalam perkembangan TH1.
Pada D.A. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup lebih lama dan

menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup dan


fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada D.A. memicu
kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada keritinosit epidermal akan
meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T cell expressed and secreted).
Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin proinflamasi yang lain dari
epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit D.A.
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita D.A. adalah abnormal, dapat secara langsung
menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi
fenotip TH2. SL yang mengandung IgE meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen
tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung IgE setelah
menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke
kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah sel TH2
bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu FceRII, FceRII
(CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE.
IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan
penderita alergi saluran napas kadar ekpresi F ceRI di permukaan SLnya rendah, sedangkan di lesi
ekzematosa D.A. tinggi. Ada korelasi antara ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam
7

serum. Selain pada SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga ditemukan pada
permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita D.A. berkurang sehingga kehilangan air
(transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini mempercepat
absorbsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap
alergen menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik atau jalan udara,
maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif1.
Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita D.A. menurun,
sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi
sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi
meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan IL-13 merupakan
sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson C sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan
IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1
(vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan fungsi sel TH1.
Sel monosit di darah tepi penderita D.A. diaktivasi, mempunyai insidens apoptosis
spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini
disebabkan oleh meningkatnya produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada D.A.
Perubahan sistemik pada D.A. adalah sebagai berikut:
-

Sintesis IgE meningkat.


IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap makanan, aeroalergen,

mikroorganisme, toksin bakteri, dan autoalergen.


Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit meningkat.
Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
Eosinofilia.
Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL-10 dan PGE21.

Gambaran Klinis
Kulit penderita D.A. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang,
dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin. Penderita D.A.
cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois,
frustrasi, agresif, atau merasa tertekan.
Gejala utama D.A. Jalah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya
lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan
krusta.
D.A. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: D.A. infantil (terjadi pada usia 2 bulan sampai
2 tahun; D.A. anak (2 sampai 10 tahun); dan D.A. pada remaja dan dewasa1.
D.A. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)
9

D.A. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah usia 2 bulan.
Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok,
pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke
skalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan
di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat
mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi D.A.
infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas
generalisata bahkan, walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis
dan residif.
Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian besar penderita sembuh
setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak.
Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya
menyebabkan kambuh penyakitnya.
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi masih ada silang
pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara dramatis membaik setelah makanan
tersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan1.
D.A. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri (de novo). Lesi lebih
kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak
kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher,
jarang di muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi erosi,
likenifikasi, mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan
perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan siklus gatalgaruk. Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol, bulu
kucing dan anjing, juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.
D.A. berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat memperlambat pertumbuhan1.
D.A. pada remaja dan dewasa
Lesi kulit D.A. pada bentuk ini dapat berupa plak papular-eritematosa dan berskuama,
atau plak likenifikasi yang gatal. Pada D.A. remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan
10

samping leher, dahi, dan sekitar mata. Pada D.A. dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik,
sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di
bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp. Kadang erupsi meluas, dan paling
parah di lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung
bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering tejadi eksoriasi dan
eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang dewasa sering
mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stres. Mungkin karena stres dapat
menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat,
sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya D.A. remaja atau
dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30
tahun, jarang sampai usia pertengahan; hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit
penderita D.A. yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan
iritan eksogen.
Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-kira 70% suatu saat
dapat mengalaminya. D.A. pada tangan dapat mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit
dibedakan dengan dermatitis kontak. D.A. di tangan biasa timbul pada wanita muda setelah
melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai pemicunya.
Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hipelinearis palmaris, xerosis kutis,
iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian
luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus,
dan keratokonus (bentuk kornea yang abnormal). Selain itu penderita D.A. cenderung mudah
mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau sengatan serangga1.

11

Diagnosis
Diagnosis D.A. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka yang diperbaiki
oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi oleh Williams (1994)1.
Kriteria mayor
-

Pruritus
Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
Dermatitis di fleksura pada dewasa
Dermatitis kronis atau residif
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

Kriteria minor
12

White dermographism
-

Xerosis
Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
Pitiriasis alba
Dermatitis di papila mame
White dermographism dan delayed blanch response
Keilitis
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
Tes kulit alergi tipe dadakan positif
13

Kadar IgE di dalam serum meningkat


Awitan pada usia dini1.

Diagnosis D.A. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa:
-

riwayat atopi pada keluarga,


dermatitis di muka atau ekstensor,
pruritus,

ditambah tiga kriteria minor


-

xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular,


fisura belakang telinga,
skuama di skalp kronis1.

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat dipergunakan untuk menegakkan
diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang dapat ditemukan pada dermatitis atopik, misalnya
kenaikkan kadar IgE dalam serum, mengurangnya jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dan
imunitas seluler, jumlah eosinofil dalah darah relatif meningkat.
2. Dermatografisme putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturut-turut akan
terlihat: Garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya
selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa menit. Penggoresan pada penderita
yang atopi akan bereaksi belainan. Garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi
kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini
disebut dermatografisme putih.
3. Percobaan asetil kolin
Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan hyperemia pada
orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopi akan timbul vasokonstriksi terlihat
kepucatan selama satu jam.
4. Percobaan histamin
14

Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopi eritema akan berkurang
dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak
eritema bertambah pada kulit orang normal.
Diagnosis Banding
Diagnosis Banding

Gejala Klinis

Dermatitis Seboroik

Eritema dan skuama yang berminyak dan agak

Scabies

kekuningan, batas kurang tegas.3


Adanya terowongan berwarna putih atau
keabu-abuan

berbentuk

garis

lurus

atau

berkelok dan pada ujung terowongan terdapat


Dermatitis Kontak (Alergi dan Iritan)
Psoriasis

papul atau vesikel.4


Tidak disertai riwayat atopi pada keluarga1
Bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
kasar,

muncul

pada

ekstremitas

bagian

ekstensor, siku dan lutut.

Penatalaksanaan
Non-Farmakologis2

Mengidentifikasi berbagai makanan seperti susu, ikan, telur, kacang-kacangan yang dapat

mencetuskan D.A. secara teliti melalui anamnesis


Hindari sabun atau pembersih kulit yang mengandung antiseptik atau antibakteri yang

digunakan rutin karena mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi sekunder
Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol atau yang kasar karena dapat mengiritasi

kulit
Kuku selalu dipotong pendek untuk menghindari kerusakan kulit akibat garukan

Farmakologis1,2
Terapi Topikal
Hidrasi kulit

15

Kulit penderita D.A. kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak sehingga
mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan allergen dengan demikian
perlu diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan
hidrokortison 1% di dalamnya. Setelah mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit
tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam.
Kortikosteroid topikal.
Pengobatan D.A. dengan kortikosteroid topikal adalah yang paling sering digunakan sebagai
anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang
tidak diinginkan.

Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison 1 %-2.5%.
Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali
pada muka digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga
dipakai di daerah genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat,
misalnya fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara
intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh; sebaiknya
dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah.

16

Tabel 1. Klasifikasi Kortikosteroid

Imunomodulator topikal

Takrolimus
Merupakan suatu penghambat calcineurin, menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam D.A.
yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit.
untuk anak usia 2-15 tahun : salap 0,03%
untuk dewasa : 0,03% dan 0,1%.
Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid dan dapat digunakan di muka
dan kelopak mata.

Pimekrolimus
Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator golongan
makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces hygroscopicus var.
ascomyceticus. akan menghambat calcineurin (suatu molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi
transkripsi gen sitokin). Askomisin menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam
menghambat fase elisitasi dermatitis kontak alergik, tetapi respons imun primer tidak
terganggu bila diberikan secara sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin. Cara
pemakaian dioleskan 2 kali sehari.

Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Penderita
yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati untuk memakai pelindung matahari
karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut berpotensi menimbulkan kanker kulit.
Preparat ter
Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi kronis,
jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik, misainya yang mengandung likuor
karbonis detergen 5% sampai 10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%.
Antihistamin
Pengobatan D.A. dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan karena berpotensi kuat
menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam

17

jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu
diperhatikan, bila dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif1
Pengobatan Sistemik
Kortikosteroid.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka
pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap
(tapering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang
menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul
kembali. Prednisolon 1 mg/kg berat badan dapat digunakan pada anak, namun sebaiknya tidak
lebih dari 1 sampai 2 minggu.
Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam
hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai ialah yang
mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit
dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade
reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada orang
dewasa.
Anti-infeksi.

Pada D.A. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang belum resisten dapat
diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten

diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.


Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid dihentikan sementara dan
diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari

selama 10 hari.
Antijamur topikal atau sistemik dapat diberikan bila ada komplikasi infeksi jamur.

Interferon
IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH2.
Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan
jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
Siklosporin

18

D.A. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan pengobatan dengan
siklosporin dalam jangka pendek. Dosis jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat
badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat
dengan cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan menghambat
calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila pengobatan dengan siklosporin
dihentikan umumnya penyakitnya akan segera kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal
yaitu peningkatan kreatinin dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan
hipertensi1.
Terapi Sinar (phototherapy)
Untuk D.A. yang berat dan luas yang tidak responsif terhadap pengobatan topikal dapat
digunakan PUVA (photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau
Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada
hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek
imunosupresif dengan cara memblokade fungsi sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin
keratinosit1. Terapi ini dapat menimbulkan risiko penuaan kulit dini dan keganasan kulit pada
pengobatan jangka lama. Fotokemoterapi tidak dianjurkan untuk anak usia kurang dari 12 tahun
karena dapat mengganggu perkembangan mata.
Prognosis
Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita DA. Faktor yang berhubungan dengan
prognosis kurang balk D.A. yaitu:
-

DA luas pada anak


menderita rinitis alergik dan asma bronkial
riwayat D.A. pada orang tua atau saudara kandung
awitan (onset) D.A. pada usia muda
anak tunggal
kadar igE serum sangat tinggi.

19

Daftar Pustaka
1. Djuanda, Sularsito SA. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2013. p. 138-47
2. Sugito TL. Penatalaksanaan terbaru dermatitis atopik. In: Boediardja SA, Sugito TL,
Indriatmi W, Devita M, Prihianti S, editor. Dermatitis atopik. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2009. P.39-55.
3. Dermatitis atopic pada

anak.

17

Mei

2009.

Diunduh

dari

www.

childrenallergyclinic.wordpress.com, 21 Mei 2016.


4. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2013. p. 130-38
5. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2013. p. 189-90
6. Handoko RP. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2013. p. 122-24

20

Anda mungkin juga menyukai