Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Edema paru terjadi dikarenakan aliran cairan dari pembuluh darah ke ruang
intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali
kedarah atau melalui saluran limfatik Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan
intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga terjadi gangguan pertukaran
udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia (Soemantri, 2011).
Pada sebagian besar edem paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di
atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas tanpa adanya gangguan
pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk
menetapkan faktor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai
pedoman pengobatan. Edem pulmo adalah suatu keadaan gawat darurat dengan
tingkat mortalitas yang masih tinggi (Harun, 2009).
Edem paru didefinisikan sebagai akumulasi cairan di interstisial dan alveolus.
Penyebab edem paru kardiogenik atau edem paru hidrostatik atau edem
hemodinamik adalah infark miokard, hipertensi, penyakit jantung katup,
eksaserbasi gagal jantung sistolik/diastolik dan lainnya dan Nonkardiogenik/ edem
paru karna terjadinya peningkatan permeabilitas membran kapiler disebabkan oleh
ARDS (Soemantri, 2011).
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah sebagai berikut :
1) Mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi dan patogenesis dari edem pulmo
2) Mengetahui manifestasi klinis dan perjalanan penyakit dari edem pulmo
1

3) Mengetahui cara penegakkan diagnosis dan tatalaksana dari edem pulmo


4) Mengetahui manifestasi penyakit paru yang dapat ditimbulkan dari edem pulmo

1.3 Manfaat Penulisan


Penulisan referat ini diharapkan dapat memberi informasi tentang upaya
pengelolaan dan penatalaksanaan Edem Pulmo.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Edem paru adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang terjadi
secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang
tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran
kapiler (edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi
cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara
progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun, 2009).
Edema paru terjadi ketika cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari cairan
yang dipindahkan. Penumpukan cairan menjadi masalah serius bagi fungsi paru
karena efisiensi perpindahan gas di alveoli tidak bisa terjadi. Edema paru-paru
mudah timbul jika terjadi peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paruparu, penurunan tekanan osmotik koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan
dinding kapiler. Dinding kapiler yang rusak dapat diakibatkan inhalasi gas-gas
yang berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia, atau karena gangguan lokal
proses oksigenasi (Harun, 2009).
Penyebab yang tersering dari edema paru-paru adalah kegagalan ventrikel kiri
akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis. Edema paru-paru
yang disebabkan kelainan pada jantung ini disebut juga edema paru kardiogenik,
sedangkan edema paru yang disebabkan selain kelainan jantung disebut edema
paru non kardiogenik (Harun, 2009).

2.2 Etiologi
Beberapa penyebab edem paru non kardiogenik (Alasdair, 2008)
3

1.Peningkatkan permeabilitas kapiler paru (ARDS)


Secara langsung

Tenggelam

Pnemonia berat

Inhalasi bahan kimia

Keracunan oksigen

Tidak langsung

Sepsis

Luka bakar

Pankreatitis

2. Peningkatan tekanan kapiler paru


Sindrom kongesti vena

Pemberian cairan yang berlebih

Transfusi darah

Gagal ginjal
Edema paru neurogenik
Edema paru karena ketinggian tempat (Altitude)
Penurunan tekanan onkotik

Sindrom nefrotik

Malnutrisi

Peningkatan Permeabilitas Kapiler


Edema paru biasanya disebabkan peningkatan tekanan pembuluh kapiler paru
dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru sering juga disebut acute respiratory
distress syndrome (ARDS) (Amin, 2006).
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara tekanan onkotik (osmotik)
dan hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang
meningkat pada gagal jantung menyebabkan edema paru. Sedangkan pada gagal
ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti
edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik atau malnutrisi
menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga terjadi edema paru (Amin,
2006).
Pada tahap awal terjadinya edema paru terdapat peningkatan kandungan cairan di
jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru dipikirkan bahwa kaskade inflamasi
timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan
tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel
yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan
mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks
ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dan hasilnya
adalah kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler
alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan
banyak mengandung neutrofil dan sel inflamasi sehingga terbentuk membran
hialin. Karakteristik edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru
adalah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal) (Amin,
2006).

Tenggelam (near drowning). Edema paru dapat terjadi pada mereka yang selamat
dari tenggelam dari air tawar atau air laut. Autopsi penderita yang tidak bisa
diselamatkan menunjukan perubahan patologis paru yang sama dengan
perubahan pada edema paru karena sebab lain. Pada saat tenggelam korban
biasanya mengaspirasi sejumlah air. Air tawar adalah hipotonis, dan air laut
adalah hipertonis relatif terhadap darah, yang menyebabkan pergerakan cairan
melalui membran alveolar-kapiler ke dalam darah atau ke dalam paru (Haslet,
1999)
Pneumonia. Pemeriksaan histologis dan mikroskop elektron, edema paru pada
infeksi paru menunjukan perubahan yang sama dengan edema paru karena
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Mekanisme dikarenakan terjadinya
reaksi inflamasi sehingga mengakibatkan kerusakan endotel (Soewondo0, 1998)
Inhalasi bahan kimia toksik. Inhalasi bahan kimia toksik dapat menyebabkan lesi
paru seperti yang disebabkan oleh inhalasi asap. Edema paru dilaporkan dapat
disebabkan akibat paparan terhadap fosgen, klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur
dioksida, oksida metalik, uap asam, dan uap bahan kimia kompleks lainnya.
Fosgen adalah gas yang sangat reaktif, dan banyak dihasilkan oleh industriindustri penghasil polimer, pharmaceutical, dan metalurgi. Senyawa induk fosgen
adalah chloroform dan gas fosgen merupakan metabolit toksiknya. Jika terhisap
oleh manusia pada konsentrasi tertentu menyebabkan edema paru-paru akibat
adanya gangguan keseimbangan cairan yang ada dan meningkatkan peroksida
lipid dan permeabilitas pembuluh darah (Prihatiningsih, 2009)
Keracunan oksigen. Oksigen dalam konsentrasi tinggi ternyata toksik terhadap
paru. Edema paru dapat terjadi 24 72 jam setelah terpapar oksigen 100%. Lesi
yang ditimbulkan secara histologis mirip dengan edema paru yang ditimbulkan
akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru. Di bawah mikroskop elektron,
perubahan dini yang terjadi adalah penebalan ruang interstisial oleh cairan edema

yang berisi serat fibrin, leukosit, trombosit, dan makrofag. Ini terjadi sebelum
tampak kerusakan endotel (Haslet, 1999)
Sepsis. Septikemia karena basil gram negatif infeksi ekstrapulmonal merupakan
faktor penyebab penting edema paru karena peningkatan permeabilitas kapiler
paru (Amin, 2006)
Inhalasi asap dan luka bakar saluran napas. Kerusakan saluran napas telah lama
diketahui menjadi penyebab mortalitas utama pada penderita luka bakar dan
sekarang jelas bahwa inhalasi asap tanpa luka bakar termis juga menjadi
penyebab kematian utama. Jenis kerusakan saluran napas tergantung dari jenis
bahan yang terbakar dan zat kimia yang terkandung di dalam asap yang
ditimbulkan (Alasdair, 2008)
Pankreatitis. Pelepasan zat-zat seperti tripsin, fosfolipase A, dan kalikrein selama
pankreatitis diduga mendasari mekanisme terjadinya edema paru. Tingginya
konsentrasi protein cairan edema menyokong diagnosis ini (Haslet, 1999)
Sindrom Kongesti Vena
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada penderita
dengan kelebihan cairan intravaskular dengan ukuran jantung normal. Ekspansi
volume intravaskular tidak perlu terlalu besa untuk terjadinya kongesti vena,
karena vasokontriksi sistemik dapat menyebabkan pergeseran volume darah ke
dalam sirkulasi sentral. Sindrom ini sering terjadi pada penderita yang mendapat
cairan kristaloid atau darah intravena dalam jumlah besar, terutama pada
penderita dengan gangguan fungsi ginjal, ataupun karena gagal ginjal itu sendiri
(terjadi retensi air). Pemberian kortikosteroid menyebabkan gangguan kongesti
vena lebih lanjut (Amin, 2006)
Sindrom kongesti vena (fluid overload) ini sering terjadi pada penderita dengan
trauma yang luas, yang mendapat cairan dalam jumlah besar untuk menopang
sirkulasi. Pada fase penyembuhan, terjadilah edema paru. Keadaan ini sering

dikacaukan dengan gagal jantung kiri atau ARDS (acute respiratory distress
syndrome) (Amin, 2006).
Edem Paru Neurogenik
Keadaan ini terjadi pada penderita yang mengalami trauma kepala, kejangkejang, atau peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak. Diduga dasar
mekanisme edema paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus
(akibat penyebab di atas) yang menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik,
yang kemudian menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi sistemik ke
sirkulasi pulmonal dan penurunan compliance ventrikel kiri. Akibatnya terjadi
penurunan pengisian ventrikel kiri tekanan atrium kiri meningkat dan terjadilah
edema paru (Prihatiningsih, 2009)
Pada penderita dengan trauma kepala, edema paru dapat terjadi dalam waktu
singkat. Mekanisme neurogenik mungkin dapat menjelaskan terjadinya edema
paru pada penderita pemakai heroin (Prihatiningsih, 2009
Edem Paru Karena Ketinggian Tempat
Penyakit ini secara khas menyerang orang-orang muda yang berada pada
ketinggian di atas 2700 meter (9000 kaki). Penyebab keadaan ini tidak diketahui,
diduga mekanismenya adalah hipoksia karena ketinggian menyebabkan
vasokontriksi arteriole paru dan kegiatan yang berlebih (exercise) merangsang
peningkatan kardiak output dan peningkatan tekanan arteri pulmonal, akibatnya
terjadilah edema paru (Soewondo, 1999)
Gejala-gejala yang paling sering ditemukan adalah batuk, napas pendek, muntahmuntah dan perasaan nyeri dada. Gejala-gejala tersebut terjadi dalam 6 36 jam
setelah tiba di tempat yang tinggi (Soewondo, 1999).
Edem Paru Karena Sindrom Nefrotik

Walaupun edema hampir selalu ditemukan untuk beberapa waktu dalam


perjalanan penyakit dan merupakan tanda yang mendominasi pola klinis, namun
merupakan tanda yang paling variabel di antara gambaran terpenting sindroma
nefrotik, terutama edema paru (Moss M, 2001)
Mekanisme terbentuknya edema sangat kompleks; beberapa faktor adalah: (1)
Penurunan tekanan koloid osmotik plasma akibat penurunan konsentrasi albumin
serum; bertanggungjawab terhadap pergeseran cairan ekstraselular dari
kompartemen intra-vaskular ke dalam interstisial dengan timbulnya edema dan
penurunan volume intravaskular. (2) Penurunan nyata eksresi natrium kemih
akibat peningkatan reabsorpsi tubular. Mekanisme meningkatnya reabsorpsi
natrium tidak dimengerti secara lengkap, tetapi pada prinsipnya terjadi akibat
penurunan volume intravaskular dan tekanan koloid osmotik. Terdapat
peningkatan ekskresi renin dan sekresi aldosteron yang menyebabkan Retensi air
(Moss M, 2001).
Penurunan tekanan koloid osmotik plasma dan retensi seluruh natrium yang
dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk berkembangnya edema pada sindrom
nefrotik. Untuk timbulnya edema harus ada retensi air (Moss M, 2001).
Edem Paru Karena Malnutrisi
Prinsip mekanisme terjadinya edema paru pada malnutrisi hampir sama dengan
sindrom nefrotik. Hipoproteinemia merupakan dasar terjadinya edema (Moss M,
2001).
Aktivitas yang Berlebihan
Pada penelitian yang dilakukan Ayus JC dan kawan-kawan pada pelari maraton
terdapat 18% dari 605 pelari marathon yang mengalami edema paru akibat
hiponatremia. Mekanisme ini disimpulkan bahwa pada saat aktivitas meningkat
(maraton) terjadi pengeluaran natrium melalui air keringat, sehingga tubuh
kekurangan natrium. Setelah selesai melakukan aktivitas tubuh berusaha

melakukan homeostatis, dengan mensekresikan ADH dan terjadilah retensi air.


Akibatnya terjadilah edema paru (Ayus, 2000)
Penyebab Edem paru kardiogenik (Harun, 2009)

Gagal ventrikel kiri

Penyakit Katup mitral

Infark miokard

Hipertensi

Eksaserbasi gagal jantung sistolik/diastolik

2.3 Epidemiologi
Penyakit edem paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak
itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sampai tahun 1980 mencapai
seluruh provinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus
menunjukan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah
(Soemantri, 2009)
2.4. Patofisiologi
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika
cairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam jaringan
sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Dapat terjadi karena terlalu banyak
tekanan dalam pembuluh darah atau tidak ada cukup protein dalam aliran darah
untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak mengandung
sel-sel darah) (Alasdair, 2008)
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru. Area
yang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh kantong-kantong
udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah tempat dimana oksigen

10

dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbondioksida dalam darah
dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya
mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini,
dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini kehilangan
integritasnya. Edema paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan cairan yang
merembes keluar dari pembuluh darah dalam paru sebagai ganti udara. Ini dapat
menyebabkan persoalan pertukaran gas (oksigen dan karbondioksida), berakibat
pada kesulitan bernapas dan oksigenasi darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat
dirujuk sebagai air di dalam paru ketika menggambarkan kondisi ini pada
pasien. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada
peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral); Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri; Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Penurunan tekanan onkotik plasma pada
hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, atau penyakit
nutrisi. Peningkatan tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu cepat
pneumotorak atau efusi pleura (unilateral); Tekanan pleura yang sangat negatif
oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan volume
akhir ekspirasi (asma) (Alasdair, 2008).
Edem paru kardiogenik atau edem volume overload terjadi karena peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi
cairan transvaskular, ketika tekanan interstisial paru lebih besar daripada tekanan
pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceral yang menyebabkan efusi
pleura. Sejak permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka cairan edem ayng
meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan
peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri
(18-25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial

11

peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka
cairan edem akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus. Kejadian tersebut
akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk (Alasdair, 2008).
Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiogenik dibagi
menjadi 3 kelompok :
Peningkatan afterload (Pressure overload ) : terjadi beban yang berlebihan
terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya ialah hipertensi dan stenosis
aorta
Peningkatan preload (Volume overload ) : terjadi beban yang berlebihan saat
diastolik. Contohnya ialah insufisiensi mitral, insufisiensi aorta, dan penyakit
jantung dengan left-to-right shunt (ventricular septal defect )
Gangguan kontraksi otot jantung primer : pada infark miokard akut jaringan otot
yang sehat berkurang, sedangkan pada kardiomiopati kongestif terdapat
gangguan kontraksi otot jantung secara umum. Penyebab edema paru non
kardiak secara patofisiologi dibagi menjadi : Peningkatan permeabilitas kapiler
paru (ARDS) : tenggelam, inhalasi bahan kimia,dan trauma berat; Peningkatan
tekanan kapiler paru : pada sindrom vena kava superior, pemberian cairan
berlebih, dan transfusi darah; penurunan tekanan onkotik plasma : sindrom
nefrotik dan malnutrisi (Harun, 2009).
Edem paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh
darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam
interstisial paru dan alveolus. Cairan edem paru nonkardiogenik memiliki kadar
protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati
oleh moleku besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edem tergantung
pada luasnya edem interstisial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar
dan acute lung injury di mana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan
penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Harun, 2009).

12

2.3. Klasifikasi
Edema paru dapat disebabkan oleh banyak faktor yang berbeda. Dapat
dihubungkan dengan gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema
(edema paru kardiak), atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai
non-cardiogenic pulmonary edema (edema paru non kardiak) (Harun, 2009).

13

2.4. Gambaran klinis


Gambaran klinis dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi
(foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara
klinik sukar dideteksi dini.
Stadium 1 ditandai dengan distensi pembuluh kapiler paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi
gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa sesak napas saat
bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali ronki
pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat
inspirasi (Ingram dan Braunwald,1988).
Pada stadium 2 terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur. Garis-garis yang
memanjang dari hilus ke arah perifer (garis Kerley A), septa interlobularis (garis
Kerley B) dangaris-garis yang mirip sarang laba-laba pada bagian tengah paru
(garis Kerley C) menebal. Penumpukan cairan di jaringan intersisial, akan lebih
memperkecil saluran napas bagian kecil, terutama di daerah basal oleh karena

14

pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering


terdapat takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel
kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja (Ingram dan Braunwald,1988).
Pada stadium 3 terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.
Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt . Penderita biasanya menderita
hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapatterjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin harus digunakan dengan hatihati (Ingram dan Braunwald,1988).
2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edem paru,
misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat gejala yang sesuai dengan gagal
jantung kronik. Edem paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi
hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman
yang yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti
seseorang yang akan tenggelam.(Harun, 2009).
Khas pada edem paru non kardiogenik didapatkan bahwa awitan penyakit ini
berbeda-beda, tetapi umumnya akan terjadi secara cepat. Penderita sering sekali
mengeluh tentang kesulitan bernapas atau perasaan tertekan atau perasaan nyeri
pada dada. Biasanya terdapat batuk yang sering menghasilkan riak berbusa dan
berwarna merah muda. Terdapat takipnue serta denyut nadi yang cepat dan
lemah, biasanya penderita tampak sangat pucat dan mungkin sianosis (Harun,
2009)

15

Pemeriksaan Fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau
teknan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau
sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela
interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukan tekanan negatif
intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inpsirasi, batuk dengan sputuk yang
berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada
pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih
dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan ditemukan gallop,
bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edem perifer, akral dingin dengan sianosis
(sda). Dan pada edem paru non kardiogenik didapatkan khas bahwa Pada
pemeriksaan fisik, pada perkusi terdengar keredupan dan pada pemeriksaan
auskultasi di dapat ronki basah dan bergelembung pada bagian bawah dada
(Lorraine, 2005)
Pemeriksaan penunjang
Elektrokardiografi Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau
fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark,
hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan (Koga, 2009)
Laboratorium

Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.

Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.

16

Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim
jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner (Koga, 2009).

Foto thoraks
Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (Xray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung
jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari
vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai
bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh
struktur-struktur tulang dari dinding dada. X-ray dada yang khas dengan
pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada
kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah
dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang
signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang
paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai
akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang
minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya. Rontgen dada, foto
polos dada merupakan pemeriksaan laboratorium yang praktis untuk
mendeteksi edema paru. Kerugiannya adalah kurang sensitif dalam
mendeteksi

perubahan

kecil

cairan

paru

ditemukan

dan hanya

bersifat

semi

kuantitatif (Koga, 2009).


Gambaran

radiologi

yang

Pelebaran

atau

penebalan

hilus(pelebaran pembuluh darah di hilus); Corakan paru meningkat (lebih dari


1/3 lateral); Kranialisasi vaskuler; Hilus suram (batas tidak jelas); fibrosis
(gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier); terdapat
garis-garis yang memanjang dari hilus ke arah perifer (garis Kerley A), septa
interlobularis (garis Kerley B) dan garis-garis yang mirip sarang laba-laba
pada bagian tengah paru (garis Kerley C) menebal, gambaran bat wing,
gambaran air bronchogram terlihat pada beberapa kasus edem paru. (Koga, 2009).

17

Garis kerley A merupakan garis linier panjang yang membentang dari perifer
menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara
limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek
dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang
menggambarkan adanya edem septum interlobuler. Garis kerley C berupa
garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk
melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah. Kerley D:
garis-garis pendek, horizontal, letaknya retrostrenal hanya tampak pada foto
lateral (Malueka, 2008).
Pulmonary interstitial edema
1. Kerley A,B,C

Gambar 2.4.1 Kerley A,B,C


Ket : hijau=kerley A, biru=kerley B, orange=kerley C

18

Gambar 2.4.2 Kerley A

Gambar 2.4.3 Kerley B

19

Gambar 2.4.4 Kerley B dan C


Ket : Putih=kerley B, Hitam=kerley C

2. Peribronkial cuffing
Cairan interstisial berkumpul mengelilingi bronkus.
Penebalan dinding bronkus
Terlihat seperti doughnuts

Gambar 4.2.5 Edem pulmo interstitial

20

3. Penebalan fissurra
Terdapat cairan di ruang subpleura yang berlanjut di septum interlobular
Cairan berkumpul diruang subpleura
Antara visceral pleura dan parenkim paru

Gambar 3.4.6 Fluid in minor fissure


4. Effusi pleura
Laminar effusions berkumpul pada pleura viseral (subpleural)

Gambar 2.4.7 Laminar efusi pleura


Pulmonary alveolar edema
1. Flluffy, indistinct patch densities
21

2. Bat wing or butterfly configuration


3. Lobus posterior paru lebih terlihat daripada superior

Gambar 2.4.8 Bat wing


Ct-Scan Pulmonary alveolar edema
Bilateral, simetris pada daerah perihilar (dengan air bronchograms). Multiple
septal lines menebal di perifer paru. Ada efusi pleura bilateral, lebih besar di
sebelah kanan daripada kiri.

22

Gambar 2.4.9. Ct Scan


2.9. Diagnosis Banding

Diffuse pneumonia
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial
peribronkial.Tampak bayangan udara pada alveolus masih terlihat,
diliputi oleh perselubungan yangtidak merata. Menunjukan area konsolidasi
yang irreguler di percabangan peribronkovaskuler.

23

Massive aspiration
Terdapat infiltrat dan konsolidasi

2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari penyakit
yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat penting dalam
pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya (Amin, 2006)
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab
diketahui,maka pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum
adalah mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara
memperbaiki jalan napas, ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan
tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu
dipasang (Amin, 2006)
1.Posisi duduk.
2.Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi
CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara
adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
24

4. Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan


tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1
ml/kgBB/jam.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg tiap
5 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil
memuaskan

maka

dapat

diberikan

Nitroprusid

IV

dimulai

dosis

0,1ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan


sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 90
mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital
6.Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15
mg(sebaiknya dihindari).
7.Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2
5ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8.Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9.Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.

25

BAB III
KESIMPULAN
Edem paru bisa dibagi menjadi kardiogenik dan non kardiogenik. Edema paru
non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-pembuluh
kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang
diakibatkan selain kelainan pada jantung. Kelainan tersebut bisa diakibatkan oleh
peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan onkotik (osmotik) antara
kapiler paru dan alveoli, dan terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler paru
yang bisa disebabkan berbagai macam penyakit atau yang sering disebut dengan
acute respiratory distress syndrom. Sedangkan pada kardiogenik atau edem paru
hidrostatik atau edem hemodinamik karena infark miokard, hipertensi, penyakit
jantung katup, eksaserbasi gagal jantung sistolik/diastolik dan lainnya.
Gambaran klinis yang didapat dapat berupa kesulitan bernapas atau perasaan
tertekan atau perasaan nyeri pada dada. Biasanya terdapat batuk yang sering
menghasilkan riak berbusa dan berwarna merah muda. Terdapat takipne serta
denyut nadi yang cepat dan lemah, biasanya penderita tampak sangat pucat dan
mungkin sianosis. Pada pemeriksaan fisik, pada perkusi terdengar keredupan dan
pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah dan bergelembung pada bagian
bawah dada
Pada pemeriksaan foto toraks memperlihatkan adanya infiltrat-infiltrat bilateral
yang difus, kadang-kadang satu paru-paru terserang lebih hebat dari paru-paru
lainnya. Pemeriksaan analisa gas darah dan CT Scan toraks juga dapat membantu
menegakkan diagnosis serta memberikan petunjuk dalam pengobatan. Termasuk
jika kardiogenik, perlu pemeriksaan EKG dan Ekokardiografi.
Pengobatan edema paru ditujukan kepada penyakit primer yang menyebabkan
terjadinya

edema

paru tersebut disertai pengobatan suportif terutama

mempertahankan oksigenasi yang adekuat (dengan pemberian oksigen dengan

26

teknik-teknik ventilator) dan optimalisasi hemodinamik (retriksi cairan,


penggunaan diuretik dan obat vasodilator pulmonal). Diagnosis edem paru dapat
ditegakan dengan pemeriksaan penunang taitu foto polos thorax. Gambaran
radiologi yang ditemukan : Pelebaran atau penebalan hilus(pelebaran pembuluh
darah di hilus); Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral); Kranialisasi
vaskuler; Hilus suram (batas tidak jelas); fibrosis (gambaran seperti granulomagranuloma kecil atau nodul milier); terdapat garis-garis yang memanjang dari
hilus ke arah perifer (garis Kerley A), septa interlobularis (garis Kerley B) dan
garis-garis yang mirip sarang laba-laba pada bagian tengah paru (garis Kerley C)
menebal, gambaran bat wing, gambaran air bronchogram terlihat pada beberapa
kasus edem paru..

DAFTAR PUSTAKA

27

1. Braunwauld, Clinical aspect of heart failure; pulmonary edema. In :


Braunwauld.Heart Disease. A textbook of cardiovascular medicine. 6th
edition. WB Saunders;7:553, 2001.
2. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and noncardiogenic.

In:

Han

Disease.

Textbook

of

Cardiovascular

Medicine.BraunwaldE. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 544-60,


1988.
3. Malueka, RG. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press.
Yogyakarta.
4. Harun S dan Sally N. EdemParuAkut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, SetiatiS,editor. BukuAjarIlmuPenyakitDalam 5th ed.
Jakarta:
PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalamFakultasKedokteranUniversit
as Indonesia. p. 1651-3.
5. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. NaskahLengkap PKB
XXVI IlmuPenyakitDalam 2011. FKUNAIR-RSUD DR.Soetomo, p.113-9.
6. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary
Edema. N Engl J Med 2008; 359: 142-51.
7. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005; 353:2788-96.
8. Koga dan Fujimoto. Kerleys A, B and C Line. N Engl J M 2009;360:15.
9. Pasquate et al. Plasma Surfactant B : A Novel Biomarker in Chronic Heart
Failure. Circulation 2004; 110: 1091-6.
10. Wilson LM. Penyakit Kardiovaskuler dan Paru-Paru. Dalam: Price SA,
Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi
Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta.
1995; 722-3.
11. Amin Z, Ranitya R. Penatalaksanaan Terkini ARDS. Update: Maret 2006.
Availablefrom:URL:http://www.interna.fk.ui.ac.id/artikel/darurat2006/dar2_0
1.html
12. Soewondo A, Amin Z. Edema Paru.Dalam: Soeparman, Sukaton U, Waspadji
S, et al, Ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1998;
767-72.

28

13. Moss M, Ingram RH. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Harrison,
Fauci, Logos, et al. Harrisons Principle of Internal Medicine 15th Edition on
CD-ROM. McGraw-Hill Companies. Copyright 2001.
14. Haslet C. Pulmonary Oedema Adult Respiratory Distress Syndrome. In:
Grassi C, Brambilla C, Costabel U, Naeije R, Editors. Pulmonary Disease.
McGrow-Hill International (UK) ltd. London. 1999; 766-89.
15. Prihatiningsih B. Pengaruh dan Bahaya Gas Phosgene Terhadap Pernafasan
(Paru-Paru)

Manusia.

Update:

2009.

Available

from:

URL:

http://www.diagonal. unmer.ac.id /edisi2_3/abstrak2_3_7.html.


16. Ayus JC, Varon J, Arieff AI. Hyponatremia, Cerebral Edema, and
Noncardiogenic Pulmonary Edema in Marathon Runners. Annals of Internal
Medicine. 2 May 2000. Volume 132. Number 9; 711-14.

29

Anda mungkin juga menyukai