Hukum Adat Lengkap
Hukum Adat Lengkap
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Komunitas Adat Terpencil dapat dipahami sebagai komunitas manusia yang
menghadapi berbagai keterbatasan untuk dapat menjalani kehidupan sebagaimana
masyarakat pada umumnya. Mereka mendiami daerah-daerah yang secara
geografis relatif sulit dijangkau, seperti: pegunungan, hutan, lembah, muara
sungai, pantai dan pulau-pulau kecil. Mereka hidup dalam kondisi yang sangat
terbatas, baik dalam pemenuhan kebutuhan sosial dasar, sosial-psikologis dan
pengembangan. Sebagian dari mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, hidup
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau nomaden. Mereka
menjalani kehidupan dengan cara-cara yang sangat sederhana, dan jenis kegiatan
ekonomi yang ditekuninya seperti pertanian, nelayan, berburu dan berburu.
Mereka mengalami keterbatasan untuk dapat mengakses pelayanan sosial,
ekonomi dan politik (Dit PKAT, 2003).
Sebagai respon atas kondisi kehidupan KAT tersebut, Departemen Sosial RI
telah menyelenggarakan program pemberdayaan terhadap mereka yang dimulai
sejak tahun 1972, dimana pada saat itu digunakan istilah masyarakat terasing.
Meskipun demikian sampai dengan tahun 2006 populasi KAT masih cukup besar,
yaitu 267.550 KK atau sekitar 1,1 juta jiwa. Dari jumlah tersebut yang belum
diberdayakan masih banyak, yaitu 193.185 KK atau 72 persen, sudah
diberdayakan mencapai 61.188 KK atau 23 persen dan yang sedang diberdayakan
mencapai 13.177 KK atau 5 persen. Meskipun program pemberdayaan telah
dilakukan, namun capaian tujuan program belum secara optimal menyentuh
persoalan pokok kehidupan anggota KAT. Mereka memang telah berdaya secara
sosial-ekonomi, namun masih belum berdaya secara politis dan hukum.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 pada artikel ke
dua (2) disebutkan, bahwa negara sudah seharusnya bertanggungjawab untuk
memberi perlindungan hak azasi dan kesempatan yang sama melalui peraturan
hukum baik di tingkat nasional maupun daerah, serta regulasi-regulasi kebijakan
lainnya. Pemerintah Indonesia telah merespon Konvensi tersebut dengan
diundangkannya Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan
Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Selanjutnya berdasarkan
Keputusan Presiden RI tersebut, Departemen Sosial sebagai instansi sektoral yang
tersebut di lapangan dan (3). kendala apa yang dihadapi dalam pengakuan hukum
terhadap KAT
B. PERMASALAHAN
Pengakuan hukum terhadap keberadaan dan perlindungan bagi KAT belum
tergambar secara jelas, untuk itu diperlukan penelusuran guna mencari tahu
tentang:
PENGATURAN-PENGATURAN HUKUM DILIHAT DARI ASPEK
SOSIAL BUDAYA YANG BERLAKU DALAM MASYARAKAT
SEBAGAI BAHAN PENYUSUNAN RUU KAT/MASYARAKAT
HUKUM ADAT/ MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA
Berdasarkan permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan berikut :
1. Bagaimana bentuk kongkrit pengakuan hukum terhadap KAT dalam bentuk
tertulis (Peraturan, Perundangan, Perda, Pedoman, Juklak/Juknis)
maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat ?)
2. Bagaimana implementasi pengakuan hukum terhadap KAT tersebut, di
lapangan?
3. Kendala apa yang dihadapi dalam pengakuan hukum terhadap KAT
4. Bagaimana harapan pemangku kepentingan (stakeholder) akan realisasi dari
pengakuan hukum tersebut?
tertulis
(Peraturan,
Perundangan,
Perda,
Pedoman,
1.
Metode
Inventarisasi data ini merupakan penelitian eksploratif. Studi eksploratori
dilaksanakan untuk mengungkapkan suatu fenomena atau masalah dimana
pengetahuan yang jelas atau gagasan-gagasan yang dapat digunakan sukar
didapat. Menurut Suhartono (1995), studi eksploratori tekanan utamanya
untuk menemukan ide (gagasan) atau pandangan. Pada akhir studi
penjajagan, diharapkan dapat merumuskan masalah studi dengan lebih tepat,
atau hipotesis penelitian untuk diuji dalam penelitian lebih lanjut.
Pengumpul data akan membaca dan menganalisis terhadap bahan primer
maupun sekunder yang ditemukan selama kegiatan berlangsung,
Bahan-
bahan tersebut berupa pengakuan hukum terhadap KAT, baik secara tertulis
maupun tidak tertulis.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui:
a.
Studi Pustaka
Serangkaian kegiatan penelusuran bukti-bukti tertulis yang relevan
dengan tujuan.
b.
Wawancara Mendalam
Serangkaian kegiatan melakukan tatap muka dan komunikasi dengan
informan yang terkait pengakuan hukum terhadap KAT.
3. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah :
a.
b.
Lokasi Kajian
Kajian dalam rangka inventarisasi Peraturan Daerah (Perda) dan Hukum Adat
ini dilakukan di beberapa provinsi di Indonesia, yaitu:
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Banten
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Sulawesi Selatan
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Papua
BAB II
MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
DALAM KONTEKS PEMBERDAYAAN SOSIAL
A.
perwujudan yang bersifat dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.
Dengan demikian hukum akan selalu terkait dengan nilai, norma dan
keorganisasian tradisional maupun yang modern serta perlindungan yang bersifat
penataan keseluruhan.
B. MASYARAKAT
Masyarakat (society) adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan
kebudayaan. WJS Poerwadarminta (KUBI), PN. Balai pustaka 1982 halaman 636
menyebutkan:
Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang
hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan yang tertentu).
Masyarakat adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas sendiri, yang
membedakan dengan kelompok lain dan hidup dan diam dalam wilayah atau
daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini baik sempit maupun luas
mempunyai perasaan akan adanya persatuan di antara anggota kelompok dan
menganggap dirinya berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki normanorma, ketentuan-ketentuan dan peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu
ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi
kebutuhan kelompok dalam arti luas. Jadi secara luas bahwa dalam masyarakat
terdapat semua bentuk pengorganisasian yang diperlukan untuk kelangsungan
hidupnya (masyarakat tersebut).
Lingkungan masyarakat adalah suatu bagian dari suatu lingkungan hidup
yang terdiri atas antar hubungan individu dengan kelompok dan pola-pola
organisasi serta segala aspek yang ada dalam masyarakat yang lebih luas dimana
lingkungan sosial tersebut merupakan bagian daripadanya. Lingkungan sosial
dimaksud dapat terwujud sebagai kesatuan-kesatuan sosial atau kelompokkelompok sosial, tetapi dapat juga terwujud sebagai situasi-situasi sosial yang
merupakan sebahagian dari dan berada dalam ruang lingkup suatu kesatuan atau
kelompok sosial.
Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial itu bukan
hanya satu, sehingga seorang warga masyarakat bisa termasuk dalam dan menjadi
bagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang ada dalam masyarakat
tersebut. Bisa masuk dalam kesatuan kekerabatan, anggota organisasi tempat
9
Daerah pedalaman (hinterland) yaitu daerah yang jauh dari pantai dan laut
yaitu mereka yang hidup di paling hulu-hulu sungai di daerah landai atau
dekat kaki lereng gunung atau dipuncak-puncak gunung;
2.
Daerah di paling hilir sungai dekat pantai yang jauh dari perjumpaan desa
masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman
ramai dan padat;
3.
Daerah pedalaman dengan areal luas yang pola kehidupannya berburu dan
meramu atau bercocoktanam maupun kecakapan lainnya yang jauh dari
perjumpaan desa masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar
serta pemukiman ramai dan padat;
10
4.
Daerah pedalaman dengan areal luas yang pola kehidupannya berburu dan
meramu atau bercocoktanam maupun kecakapan lainnya yang tidak terlalu
jauh dari dan enggan memanfaatkan perjumpaan desa masyarakat berciri
komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat
terdekat;
5.
manusia
mengenai
masalah-masalah
dasar
dalam
hidup
yang
11
AGAMA
MATERI
ILMU PENGE
TAHUAN
KESENIAN
AKTIVITAS
TEKNOLOGI
KEBUDAYAAN
IDEA
SOSIAL
BAHASA &
KOMUNIKASI
EKONOMI
(ARTEFAK)
ORGANISASI
SOSIAL
b. Sistem keyakinannya
c. Sistem ritual dan seremonialnya
d. Sistem peralatan ritus dan seremonialnya
e. Sistem kejiwaan dan emosi keagamaannya
2. Sistem organisasi sosial (Social organization system) adalah semua aspek
aktivitas perilaku berpola yang telah membudaya dalam interaksi manusia
dalam suatu masyarakat yang diperankan melalui nilai, norma, serta wadah
struktur keorganisasian yang dibentuk. Macam-macamnya adalah :
a. Kesatuan-kesatuan yang hidup dalam masyarakat;
b. Penyebaran warga masyarakat dan pemukimannya;
c. Wilayah mata pencaharian anggota masyarakat;
d. Struktur dan Kepemimpinan dalam masyarakat
e. Aturan Hukum (termasuk kearifan lokal)
f. Sistem kekerabatan
3.
13
peladangan
berpindah
(shifting
cultivation;
swidden
agriculture economy)
c. Ekonomi bercocok tanam menetap (work the soil permanent economy)
d. Ekonomi Maritim
e. Ekonomi tukar komponen kebutuhan (barter economy)
f. Ekonomi Pasar/Uang (Market/Money economy)
g. Ekonomi Gambar (Picture economy)
h. Ekonomi Komunikasi (Communication economy)
i. Ekonomi Tehnologi Internet (Internet economy)
Nomor a) sampai d) merupakan ekonomi subsisten (tradisional) dan e)
sampai i) merupakan ekonomi pasar (modern).
6. Sistem bahasa dan komunikasi (Language and Communication system) yaitu
sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi
ucapan manusia, dan yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia.
Macam-macamnya meliputi:
a. bahasa daerah (local language);
b. bahasa isyarat (gesture language);
c. bahasa kanak-kanak (children language) ;
d. bahasa lisan (spoke language) ;
e. bahasa nasional (national language);
f. bahasa pasar (market language);
g. bahasa perantara (lingua franca);
h. bahasa remaja (teenagers language);
i. bahasa resmi (formal language)
j. bahasa tak resmi (inormal language);
14
15
F.
Kewilayahan
Adapun unsur wilayah meliputi: Batas antar satu wilayah dengan lainnya;
pembahagian
wilayah
bagi
peruntukan
pemukiman,
lapangan
mata
Lingkungan alam;
b.
Lingkungan kebudayaan;
c.
Lingkungan sosial
d.
Lingkungan ekonomi
16
BAB III
PERATURAN DAERAH DAN HUKUM ADAT
Pada bab III dipaparkan Hukum Tertulis yang bersumber dari Peraturan Daearah
(Perda) dan Hukum Tidak Tertulis yang bersumber dari hukum adat di beberapa
provinsi yang menjadi lokasi kajian. Pemaparan hasil kajian dilakukan per provinsi,
sehingga diperoleh informasi yang lengkap pada masing-masing provinsi. Hal ini
sekaligus akan menggambarkan apresiasi dan komitmen daerah dalam pemberdayaan
masyarakat hukum adat/masyarakat adat/Komunitas Adat Terpencil sebagai bagian
dari pembangunan manusia.
Pada pemaparan hasil kajian di bab III ini digunakan istilah masyarakat hukum
adat yang juga menunjuk pada masyarakat hukum adat maupun Komunitas Adat
Terpencil. Penggunaan istilah masyarakat hukum adat semata-mata untuk
kepraktisan pemaparan hasil kajian dalam laporan ini.
A.
Kewilayahan
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
yang secara khusus mengatur kewilayahan Masyarakat hukum adat sampai
saat ini belum ada. Namun demikian, secara informal pemerintah provinsi
maupun kabupaten memberikan pengakuan terhadap wilayah dimana
Masyarakat hukum adat mengatur pemerintahannya. Selain itu Pemerintah
Daerah juga mengakui adanya wilayah yang dikuasai secara kolektif oleh
Masyarakat hukum adat yang dikenal dengan tanah ulayat.
2.
Kebudayaan
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang dikenal dengan sebutan
serambi Makkah, telah menerapkan aturan-aturan hukum Islam bagi warga
masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Provinsi NAD tahun 2007 20012 pada butir 1
ditegaskan, bahwa .....lembaga keagamaan harus menjalankan kegiatannya
berdasarkan fungsi masing-msing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam
hal fungsi dan wewenang.
17
kegiatannya berdasarkan
fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi
dan wewenang. Kemudian pada ayat 1 menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh
akan memberikan perhatian lebih secara seksama dan mendukung upayaupaya untuk mengembangkan adat istiadat dan budaya Aceh.
Di dalam RPJM Provinsi NAD di bidang ekonomi pada butir 3)
ditegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian serius pada
pengembangan ekonomi kerakyatan untuk mencapai keadilan di bidang
ekonomi. Kemudian di bidang sumber daya alam pada butir 2) ditegaskan,
bahwa .... jika HPH hanya memberikan kepada pengusaha, maka di masa
mendatang, Pemerintah Aceh akan menciptakan sistem pengelolaan hutan
yang dikelola sendiri oleh rakyat secara lestari, berkesinambungan dan
bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat Aceh sendiri.
Kemudian berkenaan dengan komunikasi dan seni budaya, pada ayat 1
juga menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian secara
seksama dan mendukung upaya-upaya untuk mengembangkan adat istiadat
dan budaya Aceh. Antara lain mendorong rakyat untuk menghidupkan
kembalai tata cara sopan santun ke-Aceh-an dalam keluarga, dan
menyelanggarakan secara reguler festival dan seni Aceh.
3.
Implementasi
dan
Implementasi
Implementasi pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat dari
Pemerintah Daerah secara yuridis (Perda) belum ada. Pengakuan
ditemukan secara tertulis pada ayat 3 dari RPJM Provinsi NAD
ditegaskan, bahwa : .......lembaga adat harus menjalankan kegiatannya
berdasarkan fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih
dalam hal fungsi dan wewenang.
b.
Kendala
18
Harapan
Tersedianya Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus dan tegas mengatur
kelembagaan Masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya, sehingga
tidak menimbulkan permasalahan dalam penguasaan tanah ulayat.
Hukum Tertulis
a.
Kewilayahan
Pengakuan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten se-Provinsi
Sumatera Utara terhadap Masyarakat hukum adat, yaitu adanya pengakuan
terhadap hak atas wilayah (lahan) secara kolektif bagi Masyarakat hukum
adat yang disebut dengan tanah ulayat dengan hak-hak masyarakat untuk
mengelolanya. Namun demikian pengakuan ini belum secara tertulis
dalam bentuk Peraturan Daerah atau sejenisnya, sehingga pengakuan
tersebut belum memiliki kekuatan yuridis.
b.
Kebudayaan
Dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat, Gubernur
Sumatera Utara pada tahun 2007 mengeluarkan Peraturan Gubernur
Nomor 36 Tahun 2007 tentang Strategi Daerah dalam Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal. Peraturan Gubernur tersebut kemudian
disusul dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Nomor 37 tahun 2007
tentang Rencana Aksi Daerah dalam Percepatan Pembangunan Daerah
Tertinggal.
Sementara itu, persoalan tanah yang melibatkan masyarakat dengan
pemerintah terus terjadi. Pada tahun 2001 Kesultanan Deli dan Forum Peta
Umat mengajukan surat kepada Mendagri dan DPR RI yang intinya
mengklaim tanah-tanah perkebunan yang tebentang luas di Sumatera
Timur sebagian besar diusahakan di atas lahan hak ulayat masyarakat
Melayu. Sultan Deli mengklaim tanah eks-konsesi Kesultanan Deli yang
sekarang merupakan lahan perkebuan tembakau, kepala sawit dan tebu
(PTPN II) adalah tanah ulayat mereka.
19
Kewilayahan
Masyarakat hukum adat secara empiris masih ada di Provinsi Sumatera
Utara. Mereka mengelola kelembagaan adat dengan hak-hak atas lahan
yang penguasaannya secara kolektif, yang disebut dengan tanah ulayat.
Sawah dan ladang pada umumnya tanah pribadi, sedangkan tanah ulayat
berupa hutan atau perbukitan. Namun demikian tanah ulayat tersebut
banyak yang dikuasi oleh pemerintah (BUMN PTPN II), sehingga
seringkali
menimbulkan
permasalahan
antara
masyarakat
dengan
pemerintah.
b.
Kebudayaan
Kajian tentang adat dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal.
Struktur kelembagaan adat di sini memiliki peranan yang sangat penting
dalam setiap pengambilan keputusan masyarakat. Di dalam kelembagaan
adat tersebut ada kepemimpinan adat (informal) yang lebih dominan
dibandingkan dengan kepemimpinan desa. Kepemimpinan adat ini dikenal
dengan Nini-Mama.
Kalau pemerintah desa melaksanakan tugas-tugas administrasi
pemerintahan, maka tugas dari kepemimpinan adat adalah mengelola
kegiatan yang berkaitan dengan adat seperti pada upacara perkawinan, dan
pemberian sanksi adat bagi warga masyarakat yang melanggar normanorma adat. Dalam praktiknya, kedua lembaga pemerintahan ini cukup
baik, dalam arti tidak pernah terjadi konflik kepentingan selama
menjalankan pemerintahan masing-masing.
Sistem kekerabatan menganut garis keturunan dari ibu atau
matrilineal. Artinya, pihak perempuan sebagai penentu dalam membentuk
hubungan kekerabatan. Namun demikian pihak laki-laki dapat juga
sebagai pencipta hubungan karena sebab perkawinan (afinity relationship).
20
Dalam sistem kekerabatan ini dikenal adanya istilah semendo, yaitu tempat
tinggal bagi orang yang sudah menikah di keluarga perempuan (pola
matrilokal). Implikasi dari semendo ini pada hak waris pada anak
perempuan.
Sistem pengetahuan diperoleh masyarakat secara turun temurun.
Misalnya, pengetahuan tentang penyembuhan penyakit atau obat-obatan
masih dilakukan secara tradisional dengan tanaman obat yang dikenal
penduduk. Jika penduduk sakit atau melahirkan, mereka meminta
pertolongan ke dukun yang mereka namakan Dotu.
Implementasi dan Kendala pengakuan Hukum
a.
Implementasi
Eksistensi Masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Utara masih
mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Daerah. Mereka diberikan hak
untuk mengatur pemerintahan adat dan mengelola lembaga adat lengkap
dengan struktur organisasi adat. Berbagai bentuk upacara adat masih
dipelihara dan memperoleh apresiasi dari Pemerintah Daerah dalam acara
pekan seni budaya daerah. Namun demikian pengakuan hukum terhadap
hak tradisional Masyarakat hukum adat belum diimpelemntasikan dengan
pemberian hak atas tanah (hak ulayat).
b.
Kendala
Belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan
Masyarakat hukum adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat.
4.
Harapan
Ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarkat Adat,
termasuk mengatur tentang hak ulayat. Dengan adanya aturan yuridis ini,
maka hak-hak Masyarakat hukum adat akan dilindungi dari kepentingan
pihak-pihak luar.
C.
PROVINSI RIAU
1.
Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
21
Peraturan Daerah yang mengatur kewilayahan belum ada. Oleh karena itu,
dalam menata masyarakat merujuk pada peraturan perundang-undangan
yang ada dengan tetap mengakomodasi wilayah-wilayah berdasarkan
tradisi masyarakat lokal yang sudah dikenal secara turun temurun sebagai
warisan leluhur mereka.
b. Kebudayaan
Komitmen Daerah Kabupaten Bengkalis dalam upaya pemberdayaan
Masyarakat hukum adat diwujudkan dengan terbitnya Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 39 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian Adat
Istiadat Melayu dan Pengembangan Kebiasaan-Kebiasaan, Masyarakat
serta Lembaga Adat di Kabupaten Bengkalis. Perda ini dengan jelas
mengatur model dan strategi pemberdayaan masyarakat dan lembaga adat
agar anggota persekutuan hukum adat dapat mencapai taraf kehidupan
yang lebih sejahtera.
2.
Kewilayahan
Tanah ulayat adalah lingkungan tanah yang dikuasai oleh suatu
kelompok orang-orang yang biasa disebut persekutuan hukum adat.
Sedangkan hak ulayat adalah hak persekutuan hukum adat yang menguasai
suatu lingkungan tanah termasuk lingkungan persediaan, perluasan, untuk
kepentingan hidup persekutuan beserta seluruh warganya. Sebagai obyek
hak ulayat adalah tanah, air, pantai-pantai, tumbuh-tumbuhan (pohonpohon), hewan liar dan sebagainya.
Tanah ulayat tidak mudah dipindah tangankan kepada pihak lain.
Kalaupun dipindah tangankan mestilah memenuhi ketentuan adat.
Persyaratan ini dibuat tidak lain adalah untuk menjaga kesinambungan dari
tanah ulayat yang ada dalam persekutuan hukum adat. Kehidupan adat dan
tanah ulayat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dalam menjaga
kelangsungan hidup masyarakat hukum adat. Karena dengan tanah itu,
masyarakat hukum adat dapat berusaha menghidupi keluarganya.
Kelanjutan hidup manusia tidak bisa berlanjut tanpa adanya tanah tempat
berusaha dan bertempat tinggal. Sehubungan dengan itu, tanah ulayat
22
Kebudayaan
Agama yang dianut oleh Masyarakat hukum adat di Riau yaitu Islam,
Budha dan Kristen. Namun demikian sebagian masih memiliki
kepercayaan animisme, yaitu percaya terhadap kekuatan-kekuatan pada
batu-batu
besar,
pohon-pohon
besar
terutama
berkaitan
dengan
b.
nafkah utama dari mengolahan ladang dan kebun. Mereka pada umumnya
sudah mengenal tanaman industri seperti kelapa sawit dan karet. Pada
kegiatan perladangan, mereka menanam padi darat yang dipanen setelah 4
bulan kemudian. Pengolahan dan penyiapan ladang cukup sederhana, yaitu
penebasan ladang, pembakaran, dan penugalan atau penanaman biji padi.
Kegiatan berladang tersebut melibatkan semua anggota keluarga batih,
yaitu ayah, ibu dan anak-anaknya.
3.
Impl
ementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a.
Implementasi
1). Meskipun sudah ada hukum tertulis yang mengatur Pemberdayaan,
Pelestarian Adat Istiadat Melayu dan Pengembangan KebiasaanKebiasaan, Masyarakat serta Lembaga Adat, yaitu Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 39 Tahun 2001 (Khusus Kabupaten Bengkalis), namun
dalam praktiknya Peraturan Daerah tersebut belum efektif. Informasi
yang dihimpun terkait dengan implementasi hukum tertulis (Perda)
tersebut adalah Masyarakat hukum adat sering dijadikan obyek untuk
mendapatkan dukungan tertentu, tetapi belum dilihat sebagai
komponen yang perlu dikembangkan menjadi kekuatan yang lebih
besar.
2). Sementara itu implementasi hukum adat cenderung melemah,
disebabkan semakin kuatnya pengaruh dari luar. Contoh kasus, tanah
ulayat sebagai milik bersama masyarakat hukum adat mengalami
peralihan hak guna kepada investor, sehingga mengurangi aset
masyarakat hukum adat.
b.
Kendala
Berbagai
kondisi
yang
dirasakan
sebagai
kendala
dalam
1).
2).
4.
Hara
pan
Dalam rangka mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat hukum adat,
terutama pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, maka
diperlukan :
1).
2).
3).
4).
25
1.
Hukum Tertulis
a.
Kewilayahan
Wilayah sebagai tempat hidup kesatuan Masyarakat hukum adat di
Provinsi Sumatera Barat mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah
Daerah. Wujud dari besarnya perhatian Pemerintah Daerah ini terbitnya
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 tentang
Pemanfaatan Tanah Ulayat. Bai I Pasal 1 dari Perda ini menegaskan
pengertian umum, yaitu :
1). Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai
oleh masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.
2). Tanah Ulayat adalah adalah bidang tanah yang di atas dan di dalamnya
terdapat hak ulayat dai suatu masyarakat hukum adat di Provinsi
Sumatera Barat.
3). Tanah Ulayat Nagari adalah Tanah Ulayat yang merupakan kekayaan
nagari, yang pengelolaannya berada pada Kerapatan Adat Nagari
(KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan
masyarakat, sedangkan pengaturan dan pemanfaatannya dilakukan
oleh Pemerintah Nagari.
4). Tanah Ulayat Suku adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan
Suku yang penguasaannya berada pada Penghulu Suku dan
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
5). Tanah Ulayat Kaum adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan
masing-masing kaum dalam suatu suku yang pengaturannya berada
pada Mamak Kepala Waris.
6).
dengan
memberikan
ganti
kerugian
atas
dasar
Kebudayaan
26
27
28
b. Kendala
Belum semua yang berkaitan dengan kelembagaan adat dan hak-hak
Masyarakat hukum adat diatur oleh Pemerintah Daerah.
4.
Harapan
Harapan atas pengakun hukum terhadap Masyarakat hukum adat dan
hak-hak mereka adalah :
1. Perlu lebih dioptimalkan implementasikan hukum adat, dan kearifan lokal
tetap dijunjung tinggi dan dihargai oleh Pemerintah Daerah.
2. Partisipasi masyarakat perlu diperkuat lagi, sehingga lebih peduli terhadap
pembangunan yang berbasis adat dan kearifan lokal.
E. PROVINSI JAMBI
1.
Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Secara yuridis belum ada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi
maupun Kabupaten se Provinsi Jambi yang secara khusus mengatur hakhak Masyarakat hukum adat. Meskipun demikian secara informal
Pemerintah Daerah tetap masih mengakui eksistensi Masyarakat hukum
adat dengan hak-hak mereka atas tanah, lembaga dan hukum adat dalam
menyelesaikan permasalahan antara warga masyarakat. Masyarakat hukum
adat menguasai wilayah adat yang kepemilikannya secara kolektif dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.
b. Kebudayaan
Pada tahun 1979 keluar Undang-Undang Nomor 5 yang menyatakan
Kepala Marga sebagai Kepala Adat dihapus dan hanya dikenal Kepala
Desa. Kepala Desa adalah petugas administratif di bawah Camat dan
30
Kewilayahan
Dalam masyarakat hukum adat Jambi, tanah memiliki kedudukan yang
sangat penting. Artinya, hal ini karena tanah adalah satu-satunya benda
kekayaan yang langgeng sifatnya bagi masyarakat hukum adat. Tempat
dimana mereka tinggal, tempat yang memberikan mereka kehidupan.
Tempat warga masyarakat hukum adat memakamkan keluarganya dan
tempat nenek moyang mereka mulai merintis kehidupan.
Masyarakat hukum adat secara turun temurun mengusai tanah ulayat,
yakni sejak zaman Kerajaan Jambi dan tumbuhnya bersamaan dengan
dusun-dusun dengan batas-batasnya, yang berarti tetap mempertahankan
dusun yang punya hak ulayat. Hak ulayat ini dahulu dikuasai oleh
Bathin/Pasirah sebagai penguasa dan ketua adat/komunal. Apabila ingin
mengerjakan dan memiliki tanah ulayat, maka harus seijin Pasirah.
Namun demikian dengan keluarnya Keputusan Gubernur Tahun 1980
yang mengganti Marga menjadi Desa dan Kelurahan, menyebabkan
penguasaan masyarakat hukum adat akan tanah ulayat akan terancam.
Kuncinya pada Kepala Desa/Pesirah yang sekaligus sebagai seseorang
yang bertanggung jawab atas keberadan tanah ulayat tersebut.
31
b. Kebudayaan
Masyarakat hukum adat mempunyai kelembagaan adat dan berbagai
aturan (hukum adat) di dalamnya yang mengatur perilaku masyarakat.
Kemudian masyarakat mendiami sebuah dusun yang mempunyai batasbatas wilayah, dan berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Disini tergambar ada aturannya (adat), ada wilayah (batas), ada
penguasaannya (Kepala Adat).
Meskipun telah terjadi perubahan status Marga menjadi Desa atau
Kelurahan, tetapi kelembagaan adat tersebut masih menjalankan
peranannya, terutama berkaitan dengan hal-hal berkenaan dengan adat
istiadat dan upacara adat. Pengetahuan lokal tentang flora dan fauna, obatobatan dan hal-hal lain yang berkenaan dengan kehidupan manusia
diperoleh secara turun temurun dari leluhurnya. Selain itu peranan
kelembagaan adat ini memelihara seni budaya tradisional.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum Terhadap KAT
a.
Impleme
ntasi
Akibat penghapusan Marga menjadi Desa dan Kelurahan timbul
berbagai masalah, yaitu permasalahan pertanahan yang tidak pernah
selesai, karena konsep Desa dan Kelurahan telah menghilangkan
kepemilikan hak ulayat mereka. Kemudian, berbagai krisis terjadi di Desa
karena hukum adat tidak diindahkan lagi.
b.
Kendala
Belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus mengatur
kelembagaan adat. Sebaliknya, keluarnya Keputusan Gubernur tahun 1980
yang menghapus desa adat (marga) menjadi desa dan kelurahan akan
mengancam eksistensi kelembagaan adat, hak ulayat dan hak-hak
Masyarakat hukum adat lainnya.
4. Harapan
Kebijakan Gubernur yang mengganti Marga dengan Desa dan Kelurahan
perlu dikaji kembali, sehingga eksistensi Desa Adat/Kelembagaan Adat tetap
ada dengan penguasaan atas tanah ulayat. Selain itu diharapkan permasalahan
32
pertanahan tidak terjadi lagi dan hukum adat dihargai, sehingga tidak terjadi
krisis di Desa.
34
c). Adat Beramau, yaitu sanki kepada laki-laki masih beristeri dengan
perempuan masih bersuami.
d). Adat Bujang/Dara Berzinah/Bunting, yaitu sanksi kepada perjaka
dan gadis yang melakukan perzinahan. Adat yang dikenakan adalah
Adat- Kampang. Apabila keduanya menolak menikah, maka
dikenakan Adat Beramu.
e). Adat Mengambul Milik Orang Lain/Mencuri, yaitu sanksi bagi
seseorang yang mencuri ayam, babi, sapi dan barang lainnya
dengan denda dan mengembalikan barang curian. Tidak sanggup
mengembalikan barang, menggantinya senilai barang yang dicuri
tersebut.
f). Adat Pemalik, yaitu sanksi yang dijatuhkan apabila seseorang
berzinah padahal masih mukhrim, merusak/membakar tempat
keramat,
membakar/merusak/mengotori
tempat
pemujaan/
kemudian
menyerang,
merusak,
membakar
Implementasi
Secara yuridis, sampai saat ini belum ada pengakuan hukum terhadap
Masyarakat hukum adat dari Pemerintah Daerah. Namun secara informal,
Pemerintah daerah tetap masih mengakui keberadaan Masyarakat hukum
adat, Lembaga Adat dengan struktur organisasinya dan hukum adat yang
berlaku dalam menyelesaikan permasalahan pada Masyarakat hukum adat
tersebut.
b.
Kendala
Belum ada aturan hukum (Perda) yang mengatur pola hubungan antara
masyarakat dan pemerintah dengan warga Masyarakat hukum adat.
36
4.
Harapan
Diperlukan aturan hukum (Perda) yang jelas mengatur pemberdayaan
Masyarakat hukum adat. Dalam peraturan tersebut tetap terjaga eksistensi
Masyarakat hukum adat.
G.
37
Meskipun antara Islam dan animisme memiliki ajaran yang berbeda, namun
warga masyarakat memiliki toleransi yang tinggi dalam kehidupan sosial antar
umat beragama/kepercayaan.
Di Kabupaten Pasir terdapat lembaga adat yang secara kultural
memiliki wilayah adat dengan hak ulayatnya dan anggota masyarakat adat,
meskipun secara hukum (lihat Perda No. 3/200) belum memperoleh
pengakuan secara tegas. Lembaga adat tersebut merupakan institusi lokal yang
peranannya memelihara nilai, norma dan adat istiadat dalam mengatur dan
mengendalikan perilaku masyarakat hukum adat dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa norma-nora yang diatur oleh Lembaga Adat antara lain tata cara
perkawinan, kerumahtanggan, pengelolaan hutan dan pergaulan hidup seharihari. Bagi warga yang melanggara norma dan adat, maka dijatuhkan anksi
sesuai dengan ketentuan adat yang sudah berlaku secara turun temurun.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan
a.
Impleme
ntasi
Pengakuan secara tekstual tersebut pada kenyataannya tidak
diimpelementasikan dengan baik. Indikasinya, yaitu (1) Pemda pasir tidak
memiliki program untuk pemastian batas-batas wilayah adat, (2)
Keberadaan Lembaga Adat Pasir (LAP) kurang memperoleh pengakuan
Pemda karena dianggap kurang mengakar kuat dan memiliki yuridiksi
yang jelas, dan (3) Pemda Pasir tidak memperhitungkan keberadaan
masyarakat adat beserta hak-hak atas sumber daya alam sebagaimana
tercermin di dalam Perda No. 13 tahun 2002 tentang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu maupun pada Perda No 5 tahun
2004.tentang Izin Usaha Perkebunan di Kabupaten Pasir.
Pengakuan terhadap keberadan masyarakat hukum adat dengan
sebaga hak-haknya, memperoleh perhatian Bupati Pasir periode 2004-2009
(Ridwan). Ia menganggap bahwa Pemda Pasir memiliki kewajiban untuk
melindungi masyarakat hukum adat. Perlindungan ini diperlukan karena
secra sosial dan ekonomi masyarakat hukum adat sangat ketinggalan
38
b.
Kendala
Adanya pemikiran yang berkembang di kalangan birokrasi bahwa Perda
No 3/200 hanya mengatur adat istiadat dan lembaga adat, bukan
mengatur mengenai keberadaan masyarakat adat dan hak-hak ulayatnya.
4. Harapan
Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat,
maka peranan dan aktivitas Lembaga Adat perlu ditingkatkan, yaitu :
a.
b.
H.
39
2).
b. Kebudayaan
Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami lingkungan, serta pengalamannya dan yang
menjadi pedoman tingkah laku manusia adalah kebudayaan. Di dalamnya
terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: agama/kepercayaan, organisasi
sosial, teknologi, sistem pengetahuan/pendidikan, sistem ekonomi, bahasa/
telekomunikasi, dan kesenian.
Berkaitan dengan agama dan kepercayaan, diatur di dalam Peraturan
Gubernur Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Forum
Kerukunan Amat Beragama (FKUB) Provinsi, dan Kabupaten/Kota di
Provinsi Kalimantan Tengah. Di dalam Peraturan Gubernur tersebut (Pasal
2) ditegaskan syarat calon anggota FKUB sebagai berikut :
a).
b).
c).
Bertaqwa kepada tahun YME dan setia kepada Pancasila dan UUD
1945
d).
e).
40
(2).
(3).
Hak adat adalah hak untuk memanfaatkan sumber daya yang ada
dalam lingkungan hidup warga masyarakat sebagaimana tercantum
dalam lembaga dat, yang berdasarkan hukum adat dan yang berlaku
dalam masyarakat atau persekutuan hukum adat tertentu.
(4).
(5).
41
(6).
yang
termasuk
dalam
wilayah
kedamangan tersebut.
(7).
(8).
Mantir Adat adalah perangkat adat atau gelar bagi seorang yang
duduk di Majelis Adat.
Selain Perda tersebut Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah
dampak
yang
merusak
lingkungan,
dan
tetap
42
Kewilayahan
Wilayah masyarakat hukum adat dibatasi oleh wilayah tertentu,
seperti sungai, bukit/batu-batuan, rawa-rawa, dan hutan. Wilayah
masyarakat hukum adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh
perangkat pimpinan adat berdasarkan hak pengurusan wilayah yang lebih
dikenal dengan sebutan hak ulayat. Hak ulayat atas tanah tersebut
penguasaannya secara kolektif, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan
bersama warga masyarakat hukum adat.
c.
Kebudayaan
Masyarakat hukum adat di Kabupaten Kapuas selain menganut
agama Islam, mereka juga memiliki kepercayaan Kaharingan. Masyarakat
hukum adat memeluk kepercayan ini dan bebas melaksanakan ibadah
sesuai dengan keyakinannya.
Masyarakat memiliki sistem organisasi sosial yang dinamakan
Kedamangan. Eksistensi Kademangan ini sebagai lembaga adat memiliki
aturan adat (istiadat) yang mengikat masyarakat hukum adat. Lembaga
adat ini mengatur upacara adat dalam siklus kehidupan manusia, hubungan
antar sesama manusia dalam suatu komunitas, hubungan ketua adat dengan
masyarakat dan hubungan manusia dengan alam sekitar dan dengan Tuhan
pencipta alam.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat hukum adat
sudah memanfaatkan teknologi modern. Aturan adat memberikan
keleluasaan kepada masyarakat untuk menggunakan teknologi yang
memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
43
44
45
1).
2).
3).
4).
5).
6).
H. PROVINSI BANTEN
1. Hukum Tertulis
a.
Kewilayahan
Masyarakat Baduy merupakan penduduk Desa Kanekes, Kecamatan
Luewidamar Kabupaten Lebak. Secara georafis Desa Kanekas terletak di
aliran Sungai Ciujung pada pegunungan Kendeng. Sebagaimana
disebutkan
di
dalam
Keputusan
Bupati
Lebak
Nomor
Kebudayaan
Pemeritah Kabupten Lebak memperhatikan dengan sungguh/sungguh
keberadaan Masyarakat Baduy sebagai masyarakat hukum adat. Perhatian
Pemerintah Kabupaten Lebak diwujudkan melalui Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan
Lembaga Adat Masyarakat Baduy, yang selanjutnya Perda ini dikenal
dengan Perda Lembaga Adat.
46
melakukan
47
Pemerintah
Daerah
mengalokasikan
dana
untuk
mendorong
Masyarakat Baduy terus terbuka dengan dunia luar. Ini juga dilakukan
dengan maksud agar Masyarakat Baduy sejajar dengan masyarakat lain
terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Cara yang dilakukan
adalah dengan mewarnai desa-desa yang ada di sekitar Desa Kanekes.
Misalnya, membangun mesjid dan sekolah atau memberikan TV.
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Pariwisata adalah
dinas yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang bersinggungan dengan
adat istiadat. Tupoksi itu tepatnya di bawah tanggung jawab Sub Dinas
Seni dan Budaya yang salah satu fungsinya adalah melestarikan dan
mengembangkan nilai budaya serta meningkatkan pelestrian adat istiadat
yang positif. Antara lain mendukung upacara-upacara adat semacam seba
atau sereen taon.
2. Hukum Tidak Tertulis
a.
Kewilayahan
Aspek kewilayah yang didiami oleh Masyarakat Baduy telah diatur
secara tertulis melalui Peraturan Daerah Kabupaten Lebak. Melalui Perda
tersebut diakui eksistensi tanah ulayat dan hak-hak Masyarakat Baduy
untuk memanfaatkan tanah ulayat tersebut. Selain ditetapkan secara
yuridis melalui Perda, secara kultural Masyarakat Baduy telah memiliki
wilayah ulayat untuk menjalani kehidupannya yang diperoleh secara turun
temurun. Perasaan sebagai pemilik atas anah ulayat ini yang kemudian
menjadi dasar Pemerintah Daerah untuk memberikan pengakuan secara
yuridis atas wilayah Masyarakat Baduy.
c. Kebudayaan
Desa Kanekes terdiri atas 52 kampung atau dusun. Tiga diantaranya
adalah Kampung Baduy Dalam dan sebanyak 49 kampung adalah
Kampung Baduy Luar. Istilah Baduy Dalam dan Baduy Luar
menggambarkan pembagian kelompok sosial. Masing-masing memiliki
peranan yang berbeda, namun memiliki satu sistem pemerintahan (adat
dan negara). Pusat pemerintahan adat terletak di Baduy Dalam, dengan
Puun sebagai pimpinan adatnya. Ada tiga Puun yang memimpin
48
hubungan-hubungan luar.
Sedangkan pemerintahan negara/desa dijalankan oleh struktur yang
lain. Kepala Desa dinamakan dengan Jaro Pamarintah yang tinggal di
kalangan Baduy Luar. Jaro Pamarintah dibantu oleh sekretaris desa atau
carik. Orang yang menjabat sebagai carik berasal dari luar Masyarakat
Baduy, karena terampil membaca dan menulis. Tatanan sosial Orang
Baduy masih mengandalkan adat, adat istiadat dan hukum adat sebagai
sumber nilai dan norma. Adat istiadat dan hukum adat masih hidup
bersamaan dengan terawatnya alam dan bertahannya kelembagaan adat.
Untuk
membantu
pekerjaan
sehari-hari,
Masyarakat
Baduy
Implementasi
dan Kendala Pengakuan Hukum
49
a.
Impleme
ntasi
Pemerintah Provinsi Banten dan Kabupaten Lebak, sampai saat ini
tetap konsisten menganggap Masyarakat Baduy sebagai masyarakat
hukum adat. Anggapan inilah yang melahirkan sejarah panjang pengakuan
hukum
Kendala
Ada sejumlah kendala dalam implementasi hukum dalam kerangka
pemberdayaan masyarakat hukum adat, yaitu :
1). Pemerinta Daerah Kabupaten Lebak tidak memiliki rancangan
program,
terbatasnya
anggaran
dan
sarana/prasarana
untuk
50
Baduy,
mengingat
Perda
yang
ada
dalam
Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Hukum tertulis menyangkut aspek kewilayahan masyarakat hukum
adat tertampung di dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 21 tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat. Pengakuan secara tertulis tehadap eksistensi adat istiadat dan
lembaga adat tersebut tidak secara jelas mengatur wilayah masyarakat
hukum adat.
b. Kebudayaan
Komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang,
Provinsi Sulawesi Selatan terkait dengan pemberdayaan masyarakat
hukum adat, yaitu dengan dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun
2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat
dan Lembaga Adat. Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 menjelaskan bahwa :
a). Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang
sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan
berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau
dalam satu masyarakat hukum adat di dalam wilayah hukum adat
tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengakui, mengatasi dan
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan,
dengan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.
b). Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah atau kegiatan
sosial yang berubah dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan
dan perkembangan masyarakat Desa atau satuan masyarakat lainnya,
51
serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara
masyarakat sebagaimana terwujud dalam berbagai pola kelakuan yang
merupakan
kebiasaan-kebiasaan
dalam
kehidupan
masyarakat
setempat.
Kemudian pada Bab IV Pasal 5 ayat (1) disebutkan, bahwa Lembaga
Adat berkedudukan sebagai wadah atau organisasi permusyawaratan/
permufakatan kepala adat/ketua adat atau pemuka adat lainnya yang
berada di luar organisasi pemerintah. Pada ayat (2) disebutkan, bahwa
Lembaga Adat mempunyai tugas, yaitu :
1). Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah
serta menyelesaikan perselisihan menyangkut hukum adat-istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
2). Memberdayakan, melestariakan dan mengembangkan adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya
daerah
serta
memberdayakan
masyarakat
dalam
pemerintahan,
pelaksanaan
pembangunan
penyelenggaraan
menunjang
dan
pembinaan kemasyarakatan.
3). Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif
antara kepala adat/pemangku adat dan pemuka adat dengan aparat
pemerintah di daerah.
Pada ayat (3) dijelaskan, jika ada perbedaan pendapat antara lembaga
adat dan aparat pemerintah di daerah, perbedaan itu diselesaikan dengan
musyawarah/mufakat.
Apabila
tidak
berhasil
diselesaikan
maka
52
b). Mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan adat dan
meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat menjadi lebih
baik.
c). Menyelesaikan perselisihan yang mencakup perkara adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
pemerintahan
yang
bersih
dan
berwibawa,
suasana
yang
Kewilayahan
Kewilayah ditetapkan secara turun temurun dengan luas wilayah
tetap, dan bahkan cenderung berkurang. Sebagian wilayah penguasaannya
53
secara
perorangan.
b.
Kebudayaan
Masyarakat hukum adat dipimpin oleh Pemangku Adat/Penghulu yang
memiliki kewenangan mengatur kehidupan Masyarakat hukum adat dalam
berbagai kepentingan. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka masih
mengembangkan nilai gotong royong dan senantiasa berupaya mengatasi
permasalahan yang terjadi secara bersama-sama.
Transformasi pengetahuan dan teknologi secara turun terumun dari
generasi ke generasi, terutama pengetahuan dan teknologi yang berkaitan
dengan musim, flora fauna, hari baik hari buruk, ramuan obat atau gejalagejala alam yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat.
Sistem mata pencaharian hidup yaitu mengolah alam seperti berkebun,
bersawah dan berladang serta nelayan. Meskipun sumber ekonomi mereka
tergantung dari alam, namun mereka tidak pernah merusak alam. Mereka
memegang teguh kearifan lokal dalam berinteraksi dengan alam yang
memberikan kehidupan turun temurun bagi anak cuku mereka.
Dalam berkomunikasi antar mereka, digunakan bahasa setempat yang
khas yang kadang tidak dapat dimengerti oleh komunitas yang lain.
Penggunaan bahasa mengikuti struktur berdasarkan status sosial dalam
masyarakat.
Kemudian
untuk
mempertahankan
adat
istiadat,
mereka
Implementasi
54
Kendala
Implementasi pengakuan hukum masih dihadapkan pada beberapa
kendala, yaitu :
1).
2).
4.
Harapan
Agar Masyarakat hukum adat memperoleh pengakuan hukum secara
memadai, maka diharapkan :
a.
b.
Pemerintah
mengembangkan
program
pembangunan
budaya
Hukum Tertulis
1.
Kewilayahan
Masyarakat hukum adat di Bali tinggal dalam suatu desa adat yang
dikenal dengan Desa Pakraman. Eksistensi desa adat ini telah memperoleh
pengakuan dari pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa
Pakraman.
2.
Kebudayaan
55
Daerah
(Perda)
menggunaan/pengembangan teknologi
pemerintah
daerah
terus
yang
mengatur
mendorong
seluruh
masyarakat
untuk
desa adat
56
57
Meskipun
demikian,
pemanfaatan
dan
pengembangan
58
Impleme
ntasi
Masyarakat hukum adat yang tinggal di Desa Pakraman sangat
diakui oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Secara yuridis sudah ada
pengakuan Pemerintah Daerah terhadap lembaga adat (Kedamanangan),
tanah adat, hak adat, hukum adat, adat istiadat dan Kepala Desa Adat.
b. Kendala
Sejauh ini tidak ada kendala yang dirasakan dalam implementasi
hukum adat, karena agama, adat dan budaya telah menyatu dalam
kehidupan masyarakat secara turun temurun, dan terus dilembagakan
dengan baik oleh pemerintah maupun lembaga adat.
4.
Harapan
a.
untuk
mewujudkan
masyarakat
yang
Trepti
(tertib,
Pembinaan
dan
mengefektifkan
berfungsinya
lembaga
K.
Hukum Tertulis
59
a.
Kewilayahan
Hukum tertulis yang berupa Peraturan Daerah Provinsi maupun
Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang secara khusus mengatur
kewilayahan Masyarakat hukum adat hingga saat ini belum ada. Meskipun
demikian Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten memberikan pengakuan
terhadap lembaga adat pada Suku Sasak dengan penguasaan wilayah yang
berupa tanah ulayat. Tanah ulayat tersebut kepemilikannya secara kolektif
berdasarkan hukum adat, dan dalam penggunaannya sesuai hukum adat
dan persetujuan dari kepala suku.
b.
Kebudayaan
Pemerintah daerah tetap mempertahankan kondisi hukum adat yang
selama ini ada. Salah satu bentuk perhatian Pemerintah Daerah terhadap
eksistensi lembaga dan hukum adat tersebut adalah diresmikannya
lembaga adat di Desa Sukrarane di Kecamatan Sikra Barat Kabupaten
Lombok Timur, meskipun belum dikukuhkan secara yuridis. Lembaga adat
di desa Sukrarane ini diharapkan sebagai contoh penerapan hukum adat
yang
dikembangkan
menjadi
lembaga
pendidikan
adat
lebih
60
Kewilayahan
Masyarakat hukum adat Suku Sasak di Kabupaten Lombok, dan
Suku Mbojo di Kabupaten Bima mendiami suatu wilayah secara
berkelompok. Mereka telah mendiami wilayah tersebut secara turun
temurun, sehingga terbentuk sistem kekerabatan yang kuat. Penguasaan
wilayah tersebut secara kolektif, dan karenanya tidak dapat dimiliki secara
pribadi. Hal-hal yang berkenaan dengan pemanfaatan wilayah ulayat
tersebut diatur secara adat dan dikendalikan oleh Kepala Suku. Sedangkan
Suku Samawa di Kabupaten Sumbawa hidup berkelompok dan berpindahpindah dari satu daerah ke daerah lain.
b.
Kebudayaan
Di Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat tiga suku besar, yaitu Suku
Sasak, suku Mbojo dan Suku Samawa. Suku Sasak mendiami Pulau
Lombok, dan mereka masih mempertahankan eksistensi kelembagaan adat
melalui Balai Adat. Kemudian Suku Mbojo atau kenal pula dengan dana
Mbojo (Tanah Bima) mendiami Kabupaten Bima, Dompu dan sekitarnya.
Selanjutnya Suku Samawa mendiami Sumbawa dan sekitarnya. Suku ini
hidupnya berpindah-pindah dari satu wilayah ke wialayah lain.
Keberadaan lembaga adat di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
khususnya kasus Kabupaten Lombok Barat
61
Implementasi
dan
Daaerah
Provinsi
maupun
Kabupaten
mengakui
62
Kendala
Kendala yang masih dirasakan implementasi pengakuan hukum
terhadap masyarakat hukum adat adalah masih rendahnya komitmen
Pemerintah Daerah untuk memberikan perlindungan terhadap dokumen
yang bersifat tradisional, sehingga dokumen yang sangat berharga tersebut
mudah ke tangan orang asing.
4.
Harapan
a.
b.
L.
63
b. Kebudayaan
Pemerintah Daerah Kabupaten Rote Ndao menerbitkan Peraturan
Daerah No. 21 tahun 2006 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Usaha
Tenun Ikat. Di dalam Bab II pasal 2 (1) dinyatakan, bahwa maksud dari
pemberdayaan dan perlindungan usaha tenun ikat adalah (a) mendorong
masyarakat agar secara serius menekuni usaha tenun ikat. Kemudian pada
pasal 2 (2) dinyatakan, bahwa pemberdayaan dan perlindungan usaha
tenun ikat adalah (a) melestariakn karya seni yang terkandung di dalam
hasil karya tenun ikat, (b) meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
masyarakat dan (c) mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan
berusaha dan kesempatan kerja.
Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat hukum adat banyak yang
menekuni usaha tenun ikat. Oleh karena itu, keluarnya Perda ini akan
memberikan pemberdayaan dan perlindungan pula terhadap masyarakat
hukum adat, khususnya di bidang ekonomi. Melalui Perda ini diharapkan
taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat hukum adat akan semakin lebih
baik, dan seni budaya mereka (dalam bentuk tenun ikat dengan corak yang
khas) dapat dilestarikan.
2.
Kewilayahan
Hak atau kliam atas suatu wilayah sudah diatur secara ulayat (tanah
suku, hutan suku) yang batas-batasnya diakui oleh komunitas lain di desa.
Wilayah dikuasai oleh suku dan pemanfaatannya diatur oleh kepala suku
(raja) untuk seluruh warga secara turun temurun. Penentuan batas-batas
wilayah menggunakan simbol/tanda seperti pohon, menyusun batu karang
menyerupai tugu, dan mengunakan batas sungai. Berkenaan dengan
kewilayahan ini, masyaralat hukum adat mengenal tempat-tempat keramat
seperti hutan keramat, hutan larangan, kawasan perburuan binatang dan
kawasan bercocok tanam.
b.
Kebudayaan
1). Agama/Kepercayaan
64
65
berkomunikasi
dengan
orang
luar.
Kemudian
dalam
66
a.
Implementasi
Meskipun
secara
yuridis
belum
ada
pengakuan
terhadap
2).
3).
4).
5).
6).
7).
67
4.
Harapan
Untuk memperoleh pengakuan hukum dan peningkatan keberdayaan
masyarakat hukum adat, maka diharapkan :
a.
b.
PROVINSI PAPUA
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut otonomi khusus Papua) sarat
dengan pengaturan mengenai hak-hak masyarakat hukum adat. Pada
bagian Penjelasan Umum ditegaskan, bahwa : ... pengakuan terhadap
eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat hukum adat dan hukum adat.
b. Kebudayaan
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menegaskan keberadaan
masyarakat hukum adat, dan hak-haknya atas sumber daya alam tidak
terlepas dari dasar-dasar hukum yang mendasari. Undang-undang ini
mengatur keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak atas sumber
daya alam, sebagai berikut :
1).
Pengakuan
keterwakilan
68
2).
Perlindungan
terhadap
hak-hak masyarakat hukum adat, yaitu hak atas tanah dan hak atas
kekayaan intelektual, sebagaimana diatur pada pasal 43 dan pasal
44.
Hak atas tanah meliputi hak bersama atau hak ulayat dan hak
perorangan (penjelasan pasal 43 ayat (2)). Namun pengakuan
terhadap hak ulayat disertai dengan catatan-catatan, yaitu :
a).
b).
3).
Pengakuan
adat
(pasal
51)
Undang-Undang
terhadap
Otonomi
peradilan
Khusus
Papua
Dalam
pasal
64
ayat
(1)
69
pada
pasal
(2)
menegaskan
bahwa
kegiatan
70
Peraturan
Daerah
Khusus
Provinsi
Papua
tentang
kesehatan,
perbaikan
gizi,
sanitasi,
perbaikan
pembinaan
secara
berkesinambungan
dalam
segala
aspek
kehidupan.
Kemudian pada bab III diatur penanganan dan pembinaan suku
terbaikan, dimana pasal 3 dan psal 4 mengatur kewajiban Pemerintah
Daerah untuk melakukan studi sosial guna memperoleh data populasi
dan pesebaran suku-suku terabaikan, menyusun prorgam dan model
penanganan, pemberian bantuan,
71
suku-suku
Peraturan
Daerah
Khusus
Provinsi
Papua
tentang
Dinas Kesejahteraan
Sosial bertugas mengumpulkan masyarakat menjadi komunitas
yang relatif menetap termasuk di dalamnya menyediakan
perumahan
b).
c).
Pemerintah Provinsi
Papua sudah mulai menganggarkan dana untuk masyarakat
terasing yang dikelola oleh BPMD.
72
2.
Kewilayahan
Wilayah kekuasaan adat untuk masyarakat Biak berjejeran dari
petak laut atau dalam bahasa setempat swan fior sampai ke hutan
belantara atau kannggu. Dalam suatu wilayah (bar) terdapat sejumlah
kampung.
b.
Kebudayaan
Dalam mengatur tatanan kehidupan, masyarakat hukum adat di
Kabupaten Biak mempunyai pranata-pranata adat yang berfungsi
mengendalikan pola relasi adat di antara masyarakat dan dengan alam.
Masyarakat hukum adat mempunyai institusi adat yang merupakan
institusi tertinggi, dengan kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar. Ia
mengatur aktifitas dan pergaulan hidup antar warga Masyarakat hukum
adat, maupun antara warga masyarakat hukum adat dengan pihak luar.
Masyarakat hukum adat ini memiliki kepala institusi adat (kepala suku)
dengan struktur yang sudah jelas.
Sistem kepemimpinan adat Biak diperoleh karena diwariskan dan
juga pengakuan terhadap jasa dan keberanian seseorang atau menurut
Mansoban (kepemimpinan campuran). Seorang ayah memiliki gelar
korano dapat mewariskan gelar itu kepada anak yang ditakini bisa
meneruskan kepemimpinannya. Warga Masyarakat hukum adat yang
mengabdi dengan sungguh-sungguh dan berjasa bagi ksejahteraan
masyarakat hukum adat, dipilih secara demokratis menjadi pimpinan
dalam wilayah adatnya. Kekuasaan dalam adat Biak bisa dijalankan oleh
Mambri,
Mananwir,
Manpakpok,
Benana,
Manswabye
dan
Mansasonanem.
Mambri, adalah pengakuan atas kepahlawanan seorang tokoh karena
keberanian, kejujuran, kemampuannya dalam melakukan perkaraperkara berr. Misal, menjelajah daerah yang paling jauh, atau
kehebatannya dalam perang. Mananwir, adalah pemimpin marga atau
keret yang diwariskan atau bergantian kepada keluarga yang lebih dahulu
menempati atau memiliki wilayah adat tertentu. Manpakpok, adalah
seseorang yang jago berkelahi, tukang pukul. Benana, adalah orang yang
73
Impleme
ntasi
Meskipun telah ada perundang-undangan yang melindungi
eksistensi masyarakat hukum adat, lembaga adat dan adat istiadat di Biak
(Papua), pada implementasi belum optimal. Hal ini yang mendorong,
salah
satunya
kelahiran
Dewan
Adat
Byak
(DAB)
untuk
Kendala
Implementasi pengakuan hukum terhadap Masyarakat hukum adat
belum efektif. Masih ada kendala yang berasal dari masyarakat sendiri,
masyarakat luar maupun pemritnah, yaitu :
1). Peran dan eksistensi lembaga belum banyak dipahami oleh orang
luar dan bahkan bagi masyarakat hukum adat.
2). Domain kebijakan sampai saat ini masih dikendalikan oleh
pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam.
74
5.
Harapan
Dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan Masyarakat hukum adat,
maka peranan dan aktivitas Lembaga Adat perlu ditingkatkan, yaitu :
a.
b.
75
BAB IV
DIMENSI YURIDIS DAN EMPIRIS MASYARAKAT HUKUM ADAT
A.
karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Dan tanah ulayat adalah
bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum
adat tertentu.
Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pasal 43
tentang Provinsi Papua menegaskan pemberian perlindungan hak-hak masyarkaat
hukum adat, termasuk hak atas tanah yang dimiliki masyarakat hukum adat secara
bersama-sama maupun hak perorangan pada warga masyarakat hukum adat
bersangkutan.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut di atas, bahwa masyarakat hukum
adat menjadi bagian dari warga bangsa Indonesia yang kebutuhan, hak-hak atas
tanah dan hak-hak lainnya, identitas budaya dan hak-hak tradisionalnya harus
diperhatikan dan dilindungi oleh Negara dan Pemerintah. Hal ini menunjukkan,
bahwa Negara dan Pemerintah memiliki komitmen yang besar, bahwa masyarakat
hukum adat tidak boleh tertinggal dan tidak dapat berpartisipasi dalam proses
pembangunan. Sebagaiaman dikemukakan oleh Mulyana (2006), pemerintah
Pusat mewakili Negara harus :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
yang
secara
khusus
menjelaskan
pembinaan
2.
3.
4.
5.
6.
79
BAB V
81
PENUTUP
Negara dan Pemerintah mengakui dan menghargai eksistensi masyarakat hukum
adat di Indonesia. Pengakuan dan penghargaan dari Negara dan Pemerintah tersebut
dapat dicermati dari produk yuridis yang menjadi payung hukum program
perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, baik oleh instansi
Pemerintah sektoral maupun oleh organisasi sosial/LSM dan dunia usaha. Dari pihak
masyarakat, perhatian terhadap masyarakat hukum adat terlihat dari berbagai upaya
yang dilakukan oleh organisasi sosial/LSM dalam memperjuangkan hak-hak dasar
masyarakat hukum adat, antara lain hak atas tanah ulayat, pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan.
Pengakuan dan penghargaan terhadap masyarakat hukum adat tersebut
menunjukkan adanya kesadaran, bahwa masih ada masyarakat Indonesia yang
menjalani kehidupan yang khas, sarat dengan nilai-nilai, norma dan adat istiadat yang
positif, tetapi dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Meskipun demikian, pada
era transformasi sosial budaya yang cepat dewasa ini, mereka masih mampu
mempertahankan keserasian hubungan dengan sesama manusia, alam dan
penciptanya. Semua itu adalah bentuk kebudayaan menjadi modal sosial (social
capital) dalam pembangunan nasional apabila dapat diberdayakan secara optimal.
Sehubungan dengan itu, maka diperlukan kebijakan dan instrumen yang mampu
melindungi dan memberdayakan masyarakat hukum adat tanpa mencabut mereka dari
akar sosial budaya aslinya. Sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa
secara yuridis Negara dan Pemerintah telah menerbitkan peraturan perundangundangan yang secara langsung berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayan
masyarakat hukum adat. Namun demikian, kehendak Negara dan Pemerintah tersebut
belum diikuti oleh Pemerintah Provisni maupun Kabupaten. Sebagian besar
Pemerintah Provinsi maupun Kabupten hingga saat ini belum memiliki Peraturan
Daerah (Perda) atau Peraturan Gubernur/Bupati yang berkenaan dengan perlindungan
dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Implikasi dari belum tersedianya
peraturan perundang-undangan daerah tersebut, maka di lapangan masih seringkali
terjadi permasalahan antara Pemerintah dengan masyarakat hukum adat
berlarut-larut.
82
yang
Semua pihak tentu tidak menghendaki terjadinya konflik sosial yang bercorak
kekerasan, disebabkan adanya perlakuan tidak adil dari pihak luar atas hak-hak atas
tanah ulayat yang sudah dikuasai masyarakat hukum adat secara turun temurun. Maka
dari itu, apabila terjadi pengalihan hak atas tanah ulayat kepada dunia usaha,
seharusnya tetap memberikan kentungan kepada masyarakat hukum adat tersebut.
Terkait dengan itu, sebagai bagian dari upaya perlindungan hak asasi manusia,
Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten perlu menerbitkan peraturan perundangundangan tentang perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Peraturan
perundang-undagan dimaksud tentu berpihak kepada kepentingan, harkat dan
martabat masyarakat hukum adat sebagai warga Negara. Potensi yang belum banyak
dipahami oleh orang luar, bahwa masyarakat hukum adat memiliki sistem kebudayaan
yang khas, yang merupakan keragaman potensi dan sumber daya dalam
pembangunan nasional.
83
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Rizal (dkk), 2005, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat,
Pekanbaru : LPNU Press.
Bahar, Syafroedin, 2006, Upaya Perlindungan terhadap Eksistensi Hak-hak
Tradisional Masyarakat Adat dalam Perspektif Hakj Asasi
Manusia, dalam Suwarto (dkk), mengangkat Keberadan Hakhak Tradisonal : Masyarakat Adat Rumpun Melayu SeSumatera. Pekanbaru : Unri Press.
Dahrendorf, Ral., 1986, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri: Sebuah
analisa kritik. Jakarta: CV.Rajawali
Dharmayua, Made. Suathawa, 2001, Desa Adat : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
di Propinsi Bali, Bali : Upada Sastra.
Direktorat
Pemberdayaan
Komunitas
Persebaran
Adat
Komunitas
Terpencil,
Adat
2003,Atlas
Terpencil.
Nasional
Jakarta:
Ditjen
Manurung, Butet, 2006. Sokola Rimba : Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba,
Yogyakarta : INSIST Press.
Mulyana, Agung, 2006, Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat dalam Rangka
Pembinaan
Persatuan
dan
Kesatuan
Bangsa,
makalah
84
Pembangunan
Berkesinambungan:
Keterpaduan
yang
Terpadu
Pemanfaatan
dan
Sumber-
Norton
85