Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH EKONOMI MAKRO

KRISIS EKONOMI GLOBAL 2008


Dosen Pengampu:
Aminullah Ahmad Muttaqin., S.HI, M.Sc., Fin

Disusun Oleh:
Muhammad Evandi Rizki Lukmono

(155020301111082)

Rachman Yacob

(155020301111083)

Chendy Laksmana

(125020300111064)

Muhamad Risqi Wicaksono

(125020300111039)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016/2017

PENDAHULUAN
Dengan karakteristik perekonomian terbuka, Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari
pengaruh aktivitas ekonomi global. Di Indonesia, imbas krisis mulai terasa sejak triwulan akhir
1997 akibat krisis Asia dan posisi Indonesia kembali tertekan ketika krisis Suprime
Mortgage yang berasal dari Amerika Serikat mulai terasa imbasnya sejak triwulan III 2008 dan
mulai ditunjukkan dengan melemahnya laju pertumbuhan ekonomi di awal 2009. Dalam kaitan
itu, dampak yang ditimbulkan dari masing-masing krisis memiliki pengaruh yang berbeda
terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Dalam upaya mengurangi dampak yang ditimbulkan
dari masing-masing krisis tersebut, Pemerintah bersama Bank Indonesia berupaya mengawal
pertumbuhan dan melakukan kebijakan-kebijakan yang terukur, terpadu dan saling berkoordinasi
untuk bisa melalui dampak dari adanya krisis.
Makalah ini akan menjelaskan krisis keuangan global (KKG) yang dibandingkan dengan
krisis keuangan Asia (KKA) tahun 1997-1998. Selanjutnya akan dianalisis sejauh mana dampak
krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia, bagaimana respon kebijakan
pemerintah, desain dan implementasi stimulus fiskal, dan bagaimana arah kebijakan moneter.
Apa Perbedaan Krisis Keuangan Asia 1997-1998 dengan Krisis Keuangan Global 2008 ?
KRISIS KEUANGAN ASIAN 1997-1998
Krisis yang berawal dari merosotnya nilai tukar baht Thailand pada
tanggal 2 Juli 1997, bagai bola salju yang terus meluncur seperti lepas
kendali, bagai sebuah layang-layang yang lepas talinya. Serta merta dalam
hitungan minggu menyebar ke Indonesia, Malaysia, Philippines dan disusul
Korea Selatan pada bulan November 1997. Hanya dalam waktu setahun,
prestasi pencapaian ekonomi dalam dua dekade terbalik dan tenggelam
begitu saja. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun-tahun
terakhir 1967-1996 mencapai 7,6% pupus begitu saja. Menjadi sebuah
tragedi perekonomian yang berlangsung sangat tragis dan suram dalam
sejarah perekeonomian Indonesia. Tak dapat dielakkan lagi, enam bulan
berjalannya krisis menyebabkan hiruk pikuk perekonomian yang semakin
buruk dalam tempo yang singkat dan dirasakan oleh masyarakat dan dunia

usaha secara nyata. Bahkan berlanjut dengan krisis sosial dan politik disaat
bangsa yang lain gegap gempita menyongsong milenium ketiga.
Bagi perbankan, krisis ini menimbulkan kesulitan likuiditas yang sangat
luar biasa akibat hancurnya Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Bank Indonesia
berusaha membantu dengan mempertahankan kestabilan sistem perbankan
dan

pembayaran

melakukan

untuk

pengetatan

kelangsungan
Rupiah

dengan

ekonomi

nasional.

menaikkan

suku

Pemerintah
bunga

dan

pengalihan dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke Sertifikat Bank Indonesia


(SBI). Dampaknya suku bunga pasar uang ikut melambung tinggi dan
kekeringan likuiditas perbankan pun terjadi. Masyarakat sebagai pemilik
dana pihak ketiga merasa panik dan turun kepercayaannya terhadap bank.
Maka terjadi penarikan dana secara besar-besaran yang semakin menambah
kesulitasn likuiditas perbankan. Akibat dari hal tersebut pembayaran
terancam macet dan kelangsungan ekonomi nasional terguncang.
KRISIS KEUANGAN GLOBAL 2008
Timbulnya bencana krisis kuangan global dipicu dari transaksi surat
kredit perumahan atau subprime mortgage di AS dengan bunga rendah pada
tahun 2001-2005. Sehingga mendorong masyarakat AS untuk berinvestasi di
sektor properti dengan mengandalkan pinjaman bank bersuku bunga rendah
tersebut. Penyaluran subprime mortage akhirnya mengalami peningkatan
besar dari USD 200 miliar pada tahun 2002 menjadi USD 500 miliar pada
tahun 2005.
Bentuk subprime mortgage yang bisa diperjualbelikan kepada pihak lain
dengan sistem bunga, kemudian dijual kembali dalam bentuk portofolio
mortgage, dan disekuritaskan lagi dalam bentuk mortgage backed securities
(MBS) yang bisa diturunkan (derivative) lagi menjadi collateral debt
obligation (CDO) dengan nilai yang berlipat ganda dari nilai riil perumahan
yang menjadi jaminan, akan menimbulkan bubble yang sangat rawan dan
memacu gejolak ekonomi. Hal tersebut dibuktikan pada saat Bank Sentral
meningkatkan suku bunga pada seluruh konsumen dan nasabah mengalami

default atau gagal bayar sehingga terjadi penyitaan oleh bank yang
kemudian melahirkan peningkatan kredit macet bank dan mempengaruhi
kesehatan

likuiditas

bank

tersebut.

Kondisi

ini

diperburuk

dengan

menurunnya kepercayaan masyarakat dengan penarikan dana pihak ketiga


secara besar-besaran dan menyeret perusahaan-perusahan besar kelas
dunia yang menjadi investor bangkrut dan ambruk karena tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Kronologi krisis keuangan global
dapat dilihat di gambar 1.

Perbedaan antara KKG 2008 dengan krisis Keuangan Asia pada tahun
1997-1998 yang terjadi di Indonesia menarik untu disimak. Tabel 1
membandingkan sejumlah variable ekonomi kunci selama dua periode krisis
tersebut. Indikator yang paling penting adalah tingkat pertumbuhan PDB,
pada krisis keuangan Asia jatuh dibawah -18% sedangkan pada KKG masih
tumbuh positif (4.4%). Sebagian besar variabel lainnya terdapat perbedaan
mencolok. Depresiasi mata uang Rp yang terjadi pada tahun 1997-1998
lebih dari tiga kali lebih tinggi daripada KKB.Tingkat tertinggi dari inflasi

tahunan hampir tujuh kali lebih tinggi di era KKA. Puncak tingkat suku bunga
tertinggi pada instrument operasi pasar terbuka BI, Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) berjangka 30 hari, ternyata enam kali lebih tinggi daripada KKG.
Tingkat bunga pinjaman antarbank berjangka tujuh hari tertinggi adalah
lebih dari delapan kali lebih tinggi daripada era KKG. Penurunan cadangan
devisa pada krisis 1997-1998 dua kali lipat lebih besar dibanding krisis
keuangan global. Hanya saja kapaitalisasi pasar modal antara KKA dan KKB
hampir mirip, di mana terjadi penurunan kapitalisasi sedikit di atas 50%.
Secara relatif, posisi Indonesia pada 2008 tidak seburuk pada tahun 1997.
Tabel 1.
Krisis Keuangan Asia
Laju pertumbuhan PDB -18.3

Krisis Keuangan Global


4.4

(%)
Puncak

25.5

Depresiasi 83.6

rupiah (%)
Puncak
Inflasi

(% 82.6

12.1

tahunan)
Puncak suku bunga SBI 70.4

11.2

30 hari (% tahunan)
Puncak suku bunga 95.0

10.8

pinjaman antarbank 7
hari (% tahunan)
Penurunan
cadangan 42.7

17.1

devisa (%)
Penurunan

55.1

kapitalisasi 52.2

pasar saham (dalam %


rupiah)

HANCURNYA KEAJAIBAN PERTUMBUHAN ASIA


Periode sebelum krisis moneter tahun 1997, perekonomian Negara-negara Asia Timur
melaju dengan cepat. Hali ini ditandai dengan tingginya tingkat pertumbuhan di Negara-negara

tersebut selama empat dekade. Pertumbuhan Indonesia sendiri selama empat dekade (1961-2000)
sangat pesat. Pada periode 1961-1970 tingkat pertumbuhan Indonesia adalah 4,2%. Kemudian
periode 1971-1980, pertumbuhan perekonomian Indonesia meningkat pesat menjadi 7,9%.
Pertumbuhan ini merupakan yang tertinggi selama empat dekade terakhir. Selanjutnya pada
periode 1981-1990, pertumbuhan Indonesia menurun tetapi masih tinggi yaitu sebesar
6,3%.Namun pada periode 1991-2000, pertumbuhan Ekonomi Indonesia turun menjadi 4,4%.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan Indonesia meningkat .
Pertama, Indonesia menerapkan kebijakan outward-looking dengan penekanannya pada
peningkatan nilai ekspor dan Foreigh Direct Investment (FDI).
Kedua, yaitu kebijakan makroekonomi yang tepat dan peran pemerintah yang efektif di dalam
alokasi sumber daya ekonomi.
Ketiga, Semakin membaiknya sektor pendidikan , pertumbuhan tenaga kerja, dan produktifitas
tenaga kerja.
Keempat, adanya fleksibilitasi pasar tenaga kerja yang mendorong pertumbuhan semakin cepat.
Namun, pertumbuhan ekonomi di Negara Asia mempunyai kerapuhan. Sayangnya kerapuhan
tersebut baru disadari setelah krisis moneter melanda Negara-negara tersebut tahun 1997.
Kerapuhan tersebut adalah perhatian penuh terhadap kebijaka perekonomian yang hanya pada
pertumbuhan ekonomi saja, sedangkan pembangunan fundamental ekonominya diabaikan.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi memang tinggi, namun secara fundamental lemah. Padahal
fundamental perekonomian sangat baik untuk menopang akselerasi pertumbuhan yang cepat.
Kondisi seperti ini disebut Bubble Economy.
DAMPAK KRISIS GLOBAL TERHADAP INDONESIA
Krisis keuangan global terbukti memporakporandakan pasar modal dan valas. IHSG
anjlok dari 2.830 menjadi 1.111, atau turun lebih dari 60%. Nilai kurs rupiah terhadap dolar AS
terdepresiasi cukup dramatis dari Rp 9.076 hingga sempat hampir menembus Rp 13.000 atau
mengalami depresiasi lebih dari 30% sejak januari 2008. Volatilitas memang meningkat tajam di
pasar valas dan modal yang terintegrasi dengan pasar keuangan global ini. (lihat gambar 2).

Tekanan yang terjadi di pasar modal Indonesia menyebabkan merosotnya likuiditas di sektor
perbankan dan institusi keuangan non bank yang disertai berkurangnya transaksi keuangan. Hal
ini dikarenakan banyaknya investor dari institusi keuangan AS yang melepas kepemilikan saham
mereka di pasar modal Indonesia untuk menyelamatkan perusahaan mereka sendiri yang terkena
krisis keuangan. Porsi kepemilikan investor asing dalam saham Indonesia selama 2006-2008
memang cukup tinggi, berkisar antara 66%-67%. (lihat gambar 3).
Secara umum, terjadi penurunan total aset yang tercatat di C-BEST (Central Depository
and Book Entry Settlement System) sampai tanggal 24 Desember 2008 sebesar Rp 746,64 triliun.
Penurunan aset ini menurun sebesar 42% di banding dengan data per 28 Desember 2007 sebesar
Rp 1.298,251 triliun (lihat table 2). Total aset saham yang tercatat di C-BEST sampai dengan 24
Desember 2008 didominasi kepemilikannya oleh investor asing dengan jumlah Rp 436,30 triliun
(67%), yang menurun sebesar 1% dibandingkan data pada 28 Desember 2007. Aset saham yang
dimiliki investor lokal sampai dengan 24 Desember 2008 sebesar 33% atau 210,23 triliun, yang
berarti menurun 1% dibandingkan data tahun sebelumnya (KSEI,2008). Sementara itu, total aset
Obligasi Korporasi yang tercatat di C-BEST samapi dengan 24 Desember 2008 mayoritas
dimiliki investor lokal Rp 67,74 triliun (96%), yang turun 1% dibandingkan data pada 28
Desember 2007 sebesar Rp 76,02 triliun. Aset Obligasi Korporasi yang dimiliki investor asing
pada saat yang sama sebesar Rp 2,71 triliun, menurun 1% dibandingkan data pada 28 Desember
2007. (lihat gambar 4). Selain itu KKG juga memiliki indirect effect bagi perekeonomian
Indonesia, yaitu: (1) mempengaruhi momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam bentuk
pengeringan likuiditas, lonjakan suku bunga, anjloknya harga komoditas, dan melemahnya
pertumbuhan sumber dana; (2) menurunya tingkat kepercayaan konsumen, investor, dan pasar
terhadap berbagai institusi keuangan yang ada; (3) flight to quality, pasar modal Indonesia
terkoreksi akibat indikasi melemahnya mata uang rupiah; (4) kurangnya pasokan likuiditas di
sektor keuangan karena kebangkrutan berbagai institusi keuangan global khususnya bank-bank
investasi akan berdampak pada cash flow sustainability perusahaan-perusahaan besar di
Indonesia; (5) menurunya tingkat permintaan dan harga komoditas utama ekspor Indonesia tanpa
diimbangi peredaman laju impor secara signifikan menyebabkan defisit perdagangan yang
semakin melebar; (6) Defisit perdagangan akan menyulitkan penggalangan capital inflow dalam
jumlah besar untuk menutup defisit itu sendiri seiring dengan keringnya likuiditas pasar
keuangan global.

R
ESPON KEBIJAKAN PEMERINTAH
Presiden SBY telah memberikan 10 arahan untuk mengantisispasi krisis keuangan global sebagai
berikut :
Pertama, Memelihara momentum pertumbuhan ekonomi dan tetap optimis untuk memelihara
momentum pertumbuhan.
Kedua, Optimalkan Pasar Domestik
Ketiga, Penanggulangan Kemiskinan
Keempat, Dunia Usaha harus tetap bergerak supaya penerimaan Negara tetap terjaga dan
pengangguran tidak bertambah.
Kelima, Tingkatkan nilai tambah Produk Indonesia agar lebih kompetitif.
Keenam, Kampanyekan Konsumsi Produk Dalam Negeri
Ketujuh, Kokohkan kemitraan antara pemerintah, Bank Indonesia, Perbankkan dan dunia usaha.
Kedelapan, Hentikan sikap ego sektoral dan memandang rendah masalah.
Kesembilan, Hetikan politik partisan dalam menghadapi krisis global dan mengutamakan
kepentingan rakyat diatas kepentingan golongan dan pribadi.
Kesepuluh, Jalin komunikasi yang jujur dan bijak terhadap rakyat.
STIMULUS FISKAL

Stimulus yang ditetapkan dalam APBN 2009 sebesar 12,5 triliun dan pemerintah
memberikan stimulus tambahan sekitar 20 triliun, sehingga total nya bisa mencapai Rp 32 triliun.
Kemudian pemerintah akan menggunakan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) APBN
2008 sebesar 51,3 triliun untuk memberi stimulus mendorong pertumbuhan ekonomi dan
mengerem PHK. Melalui stimulus fiskal, pemerintah mencoba mengantisipasi merosotnya
aktivitas ekonomi sosial. Stimulus tersebut akan dialokasikan pada PPN Ditanggung Pemerintah,
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah, Dana Subsidi, Pajak Penghasilan (PPh) 21, dan Bantuan
Program. Pemerintah memutuskan 31 sektor industri untuk mendapatkan stimulus fiskal berupa
intensif PPN Ditanggung Pemerintah dan Bea masuk Ditanggung Pemerintah. Karena
pertimbangan pengaruh krisis global, pemerintah terus menambah stimulus fiskal sampai akhir
2009 dari yang awal diberikan sebanyak 32 triliun menjadi 71,3 triliun dimana memberikan
hamper 80% untuk stimulus pajak. Kenaikan jumlah stimulus fiskal yang ambisius ini ditujukan
untuk menekan daya rusak krisis ekonomi, khususnya untuk sektor ketenagakerjaan.
ARAH KEBIJAKAN MONETER
Penurunan BI rate sebesar 50 basis poin sehingga menjadi 8.75% melalui Rapat Dewan
Gubernur 7 Januari 2009 diharapkan dapat menjadi stimulus moneter. Penurunan BI rate tersebut
dilakukan setelah melihat bahwa angka inflasi tahun 2008 hanya 11,06%. Bahkan BI
memperkirakan angka inflasi tahun 2009 akan berkisar di level 5-7 persen. Orientasi utama
kebijakan moneter adalah pada tingkat inflasi. Setelah BI rate menjadi 8,25%, masalahnya
apakah perbankan mau menurunkan tingkat bunga kredit agar dapat membantu menggerakkan
sector riil? Selama ini, respon perbankan atas berubahnya BI rate membutuhkan waktu 3-6
bulan.

Anda mungkin juga menyukai