BAB I
PENDAHULUAN
Peritonitis adalah peradangan dari jaringan peritoneum yang dapat bersifat terlokalisir
atau difus, akut atau kronik, dan bersifat infeksius atau aseptik. Peritonitis akut umumnya
bersifat infeksius dan berhubungan dengan perforasi viskus ( peritonitis sekunder ). Bila tidak
ditemukan sumber intra-abdomen, peritonitis tersebut dikatakan bersifat primer atau spontan.
Peritonitis akut berhubungan dengan penurunan aktivitas motorik usus, mengakibatkan
distensi dari lumen usus oleh gas dan udara. Peningkatan jumlah cairan di didalam usus yang
disertai dengan menurunnya asupan secara oral akan menyebabkan menurunnya volume
darah di dalam sistem sirkulasi tubuh. (1)
Peritonitis sendiri dibagi menjadi tiga berdasarkan penyebabnya, yakni peritonitis
primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer umumnya terjadi akibat infeksi pada cairan
intraperitoneal yang sering ditemukan pada pasien dengan gangguan hati. Peritonitis
sekunder ditemukan pada pasien yang mengalami suatu perforasi dan menyebabkan terjadi
kontaminasi peritoneum. Peritonitis tersier terjadi pada pasien yang menjalani dialisis
peritoneum secara rutin. (2)
Kontaminasi bakteri pada peritoneum akan menimbulkan reaksi peradangan dan
cenderung menjadi sepsis. Hal tersebut terjadi apabila mekanisme pertahanan peritoneum
gagal melokalisasi infeksi tersebut. Berdasarkan mekanisme infeksinya, bakteri penyebab
peritonitis berbeda-beda, dimana pada peritonitis primer seringkali bakteri yang bersifat
hematogen, pada peritonitis sekunder umumnya yang menyebabkan infeksi adalah flora usus,
dan pada peritonitis tersier umumnya disebabkan oleh mikroba kulit. Hal ini memandatkan
penggunaan antibiotik yang berbeda-beda pada peritonitis. (2)
Manifestasi umum dari peritonitis adalah nyeri perut yang hebat, dephans muskuler
pada keempat kuardran perut, demam, dehidrasi, mual, muntah, takikardi, letargi, dan
malaise. Berdasarkan pemeriksaan fisik, seorang dokter dapat menentukan sifat dari
peritonitis tersebut, apakah bersifat difus, ataukah bersifat terlokalisir. Dari data-data yang
dikumpulkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012
Peritonitis Generalisata
Peritonitis Generalisata
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab II.1.Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum.(1) Peritoneum adalah membran
serosa terbesar dalam tubuh manusia yang terdiri dari epitel skuamosa simpel
dengan jaringan ikat aerolar sebagai jaringan penyokong dibawahnya. Peritoneum
dibagi menjadi peritoneum parietal yang melapisi dinding rongga abdominopelvis,
dan peritoneum viseral yang menyelubungi beberapa organ di dalam rongga dan
bertindak sebagai lapisan serosanya.(3)
Bab II.2.Klasifikasi dan Etiologi
Peritonitis dibagi menjadi tiga berdasarkan penyebabnya, yakni (2) :
1. Peritonitis Primer
Umumnya terjadi berkesinambungan dengan sirosis hati. Ascites yang terjadi
memberikan medium pertumbuhan yang baik untuk mikroba yang menyebar
secara hematogen. Umumnya ditemukan bakteri gram negatif seperti Eschericia
coli.
2. Peritonitis Sekunder
Terjadi akibat adanya kontaminasi bakteri intra-abdominal dari perforasi viskus.
Umumnya terdapat berbagai jenis mikroba yang menginfeksi secara bersamaan
yang berasal dari flora normal usus. Umumnya ditemukan E. coli, Bacteroides
fragilis. Selain bakteri, peritonitis sekunder dapat terjadi akibat iritasi kimia dari
perforasi gaster.
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier terjadi akibat intervensi medis seperti dialisa peritonitis,
sehingga umumnya terjadi infeksi oleh mikroba flora kulit. Mikroba tersering
adalah Staphylococcus spp.
Bab II.3.Patofisiologi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012
Peritonitis Generalisata
Peritonitis Generalisata
didukung oleh sel-sel mesotel dan makrofag peritoneum, dan berkurangnya aksi
anti-fibrin di dalam eksudat.
Walau dalam keadaan tertentu sekuestrasi bakteri didalam eksudat fibrin ini
mendukung terjadinya infeksi residual, pemberian antibiotik dan pembedahan
yang tepat umumnya dapat mengeliminasi bakteri.
Selain itu juga terdapat respon sistemik yang berupa dehidrasi akibat keluarnya
cairan ke dalam rongga peritoneum dan dapat menyebabkan gangguan
hemodinamik. Selain itu pelepasan sitokin dan mediator kimiawi akan menyebabkan
reaksi peradangan sistemik yang berupa peningkatan suhu tubuh, perubahan
metabolisme, dan perubahan hemodinamik. (4)
Bab II.3.1. Peritonitis Primer
Peritonitis primer umumnya berhubungan dengan sirosis hepar, dimana
pasien dengan sirosis hepar mengalami ascites akibat hipertensi vena portal
dan merembesnya plasma darah ke dalam rongga peritoneum. Namun
berdasarkan laporan terkini, peritonitis primer juga terjadi pada pasien
dengan kelainan metastase yang ganas, sirosis post-nekrotik, hepatitis kronis,
hepatitis akut, gagal jantung kongestif, systemic lupus erythematosus, dan
limfedema.(2)
Meskipun demikian, peritonitis primer merupakan keadaan yang jarang
terjadi. Penyebab infeksi pada peritoneum belum dapat dipastikan, namun
dipercaya bila sumber infeksi berasal dari peredaran bakteri secara
hematogen pada pasien yang mengalami gangguan vena portal dan defek
pada fungsi filtrasinya. Mikroba dapat tumbuh dengan subur di dalam cairan
ascites. Selain itu, pasien yang mengalami gangguan hati, umumnya
memiliki jumlah komplemen dan sel polimorfonuklear ( PMN ) yang sedikit,
sehingga mengganggu proses imun non-spesifik untuk mencegah infeksi
peritoneum. (2)
Bab II.3.2. Peritonitis Sekunder
Peritonitis Generalisata
Peritonitis Generalisata
Volvulus
Intususepsi
Keganasan
Benda asing ( tusuk gigi, tulang ikan, dsb )
Perforasi atau Kebocoran dari Organ Lain
Pankreas Pankreatitis
Kantung empedu Kolesistitis
Kandung kemih Trauma, ruptur
Hati Kebocoran cairan empedu setelah biopsi
Tuba Falopi Salpingitis
Perdarahan ke rongga peritoneum
Disrupsi integritas rongga peritoneum
Trauma
Dialisis peritoneum
Kemoterapi intraperitoneal
Abses perinefrik
Iatrogenik ( post operatif, benda asing )
Peritonitis Generalisata
Nyeri abdomen yang bergantung pada letak ruptur viskus ( nyeri epigastrik
Peritonitis Generalisata
limpa ), nyeri periumbilikus berasal dari midgut ( usus halus, appendiks, kolon
ascendens ), dan nyeri hipogastrium dari organ hindgut ( Kolon tranversal, kolon
descenden, rektum ). Pola ini terlihat karena sistem persarafan otonom mengikuti
distribusi vaskularisasi arteri splanchnic mayor ( celiaca, mesenterium superior,
mesenterium inferior ).(5)
Peritonitis Generalisata
Gambar 2.1. Gambar Foto Roentgen Upright Position Memperlihatkan Free Air di
Atas Hepar ( diambil dari daftar pustaka nomor 2 )
10
Peritonitis Generalisata
11
Peritonitis Generalisata
Pemeriksaan
Diag
Diagno
nosis
sis
Diket
Tidak
Abdomiahui Obs PeritonitisDiketa
(+)
Peritonitis (-)
nal
erva
hui
si
Catastr
Operasi
Segera
Operasi Segera
ophe
AwalPeny
Operasi Elektif
Studi Lanjut Peny
akit
akit
NonNonBeda
Beda
h
h
Berikut beberapa penyebab akut abdomen yang dapat menyulitkan penegakan
diagnosa (5) :
Kolesistitis akalkulosa
Kolesistitis akalkulosa adalah peradangan kantung empedu yang tidak disebabkan
oleh batu empedu. Kadang kala peradangan ini dapat terjadi pada pasien dengan
trauma bakar, trauma luas, atau seusai operasi besar. Spesis dan stasis bilier juga
merupakan faktor yang mendukung. Insidensi gangren dan perforasi lebih tinggi
pada kasus kolesistitis ini. Diagnosanya cukup sulit ditegakan dan kecurigaan
didasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan fisik. Kolesistitis akalkulosa
12
Peritonitis Generalisata
Kemungkinan
terjadinya
necrotizing
pancreatitis
dengan
pembentukan abses perlu dicurigai. Hal ini dapat dikonfirmasi dengan CT scan
dinamik dan aspirasi. Pengurangan kadar hemoglobin yang tidak ditemukan
sebabnya dapat mengarahkan pada diagnosa perdarahan pankreas.
Bab II.7.Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan peritonitis bergantung pada jenis peritonitis yang dialami.
Prinsip tata laksana peritonitis primer adalah dengan memberikan antibiotik yang
sesuai dengan hasil isolasi sampel darah atau cairan peritoneum. Pewarnaan gram
seringkali menunjukan hasil yang negatif, karena itu sebelum hasil kultur didapat,
terapi antibiotik yang dapat diberikan harus meliputi basil aerobik gram negatif dan
kokus gram positif. Sefalosporin generasi ketiga seperti cefotaxime ( 2 gram setiap 8
jam, IV ) memberikan daya cakup yang cukup pada pasien yang sakit ringan hingga
sedang. Antibiotik spektrum luas seperti penicillin / -laktamase inhibitor
( contohnya piperacillin / tazobactam, 3.375 g setiap 6 jam, IV ) atau ceftriaxone ( 2
gram setiap 24 jam, IV ) juga dapat dipertimbangkan pengunaannya. Cakupa empiris
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012
13
Peritonitis Generalisata
untuk bakteri anaerob tidak dianjurkan. Setelah mikroba yang menyebabkan infeksi
diketahui, terapi harus segera dipersempit untuk menyerang agen patogen tersebut.
Pasien dengan peritonitis primer umumnya merespon dalam 72 jam terhadap
pemberian antibiotik yang tepat. Terapi antimikroba dapat diberikan paling sedikit
selama 5 hari bila terdapat pemulihan yang cepat dan hasil kultur darah negatif,
namun dapat mencapai 2 minggu bila pasien mengalami bakteremia dan yang
mengalami pemulihan lambat.(2)
Prinsip terapi untuk peritonitis sekunder adalah :
1. Resusitasi
Semua pasien dengan peritonitis memiliki keadaan hipovolemia dengan berbagai
derajat dikarenakan kehilangan cairan ke dalam rongga ketiga yakni rongga
peritoneum. Pasien harus diresusitasi dengan cairan seperti kristaloid sebelum
operasi (2,4). terapi cairan yang diberikan dapat berupa bolus kristaloid hangat 1
2 liter untuk dewasa atau 20 mL/kg untuk anak-anak (6).
2. Terapi antimikroba
Umumnya hasil pemeriksaan mikrobiologi akan menunjukan berbagai jenis
mikroba di dalam sampel yang didapat dan umumnya berupa gabungan dari
bakteri enterik gram negatif dan bakteri anaerob. Berdasarkan uji secara klinis
dan eksperimental, dianjurkan bila terapi antimikroba yang diberikan mencakup
bakteri aerobik maupun anaerobik, dimana yang tersering adalah E.coli dan
bacteroides fragilis. Pemberian terapi antimikroba harus disesuaikan dengan
keadaan klinis pasien, dimana bila ditemukan pasien afebris, leukosit normal,
maka kemungkinan sepsis setelah penghentian obat tidak ada. Namun bila
didapatkan keadaan demam atau leukositosis, maka kemungkinan terjadinya
infeksi rekuren atau residual berkisar antara 33 50 %. Dengan pendekatan ini,
pemberian antibiotik dapat dihentikan paling cepat 4 hari setelah operasi. Bila
didapatkan pasien tetap demam dan mengalami leukositosis setelah lebih dari 7
hari, maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi infeksi residual (2,4)
14
Peritonitis Generalisata
Tabel 2.2. Anjuran Antibiotik untuk Peritonitis Sekunder (Diambil dari daftar
pustaka nomor 4 )
Agen Tunggal
Ampicillin / Sulbactam
Cefotetan
Cefoxitin
Ertapenem
Imipenem / Cilastatin
Meropenem
Piperacillin / Tazobactam
Ticarcillin / Clavulonic acid
Agen Kombinasi
Aminoglikosida ( Amikacin, Gentamicin, Netilmicin, Tobramycin ) dan
antianaerob
Aztreonam dan Clindamycin
Cefuroxime dan Metronidazole
Ciprofloxacin dan Metronidazole
Sefalosporin generasi ketiga / keempat ( Cefepime, Cefotaxime,
Ceftazidime, Ceftizoxime, Ceftriaxone ) dan antianaerob
3. Intervensi bedah
Tujuan pembedahan pada peritonitis adalah untuk mengeliminasi sumber
kontaminasi, mengurangi jumlah inokulum bakteri, dan mencegah rekurensi atau
infeksi persisten. Teknik yang digunakan untuk mengkontrol kontaminasi
bergantung pada lokasi dan sumber keadaan patologisnya. Secara umum,
pembersihan
peritoneum
secara
menerus
dilakukan
dengan
menutup,
15
Peritonitis Generalisata
generasi
ketiga
secara
tunggal
ceftazidime
dapat
16
Peritonitis Generalisata
BAB III
KESIMPULAN
17
Peritonitis Generalisata
DAFTAR PUSTAKA
1. Atherton JC, Bacon BR, Blumberg RS, et al. Harrisons Principles of Internal
Medicine 17th edition : Acute Appendicitis and Peritonitis. Singapore. McGraw Hill.
2008. p1916-7
2. Beeching NJ, Calderwood SB, Callahan MV, et al. Harrisons Principles of Internal
Medicine 17th edition : Intraabdominal Infections and Abscesses. Singapore.
McGraw Hill. 2008. p807-10
3. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. Danvers : John
Wiley & Sons ; 2006
4. Rotstein OD, Abrams JH. Surgical Critical Care : Intra-abdominal Infection.
Singapore. Taylor&Francis. 2005. p693-8
5. Pasquale MD, Barke RA. Surgical Critical Care : Acute Abdomen. Singapore.
Taylor&Francis. 2005. p591-601
6. Fildes J, Meredith JW, Kortbeek JB, et al. Advanced Trauma Life Support for Doctors
diterjemahkan oleh [ Pusponegoro AD, Karnadihardja W, Soedarmo S, et al ]. Jakarta:
FK UI ; 2008.
18