Anda di halaman 1dari 18

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

BAB I
PENDAHULUAN

Peritonitis adalah peradangan dari jaringan peritoneum yang dapat bersifat terlokalisir
atau difus, akut atau kronik, dan bersifat infeksius atau aseptik. Peritonitis akut umumnya
bersifat infeksius dan berhubungan dengan perforasi viskus ( peritonitis sekunder ). Bila tidak
ditemukan sumber intra-abdomen, peritonitis tersebut dikatakan bersifat primer atau spontan.
Peritonitis akut berhubungan dengan penurunan aktivitas motorik usus, mengakibatkan
distensi dari lumen usus oleh gas dan udara. Peningkatan jumlah cairan di didalam usus yang
disertai dengan menurunnya asupan secara oral akan menyebabkan menurunnya volume
darah di dalam sistem sirkulasi tubuh. (1)
Peritonitis sendiri dibagi menjadi tiga berdasarkan penyebabnya, yakni peritonitis
primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer umumnya terjadi akibat infeksi pada cairan
intraperitoneal yang sering ditemukan pada pasien dengan gangguan hati. Peritonitis
sekunder ditemukan pada pasien yang mengalami suatu perforasi dan menyebabkan terjadi
kontaminasi peritoneum. Peritonitis tersier terjadi pada pasien yang menjalani dialisis
peritoneum secara rutin. (2)
Kontaminasi bakteri pada peritoneum akan menimbulkan reaksi peradangan dan
cenderung menjadi sepsis. Hal tersebut terjadi apabila mekanisme pertahanan peritoneum
gagal melokalisasi infeksi tersebut. Berdasarkan mekanisme infeksinya, bakteri penyebab
peritonitis berbeda-beda, dimana pada peritonitis primer seringkali bakteri yang bersifat
hematogen, pada peritonitis sekunder umumnya yang menyebabkan infeksi adalah flora usus,
dan pada peritonitis tersier umumnya disebabkan oleh mikroba kulit. Hal ini memandatkan
penggunaan antibiotik yang berbeda-beda pada peritonitis. (2)
Manifestasi umum dari peritonitis adalah nyeri perut yang hebat, dephans muskuler
pada keempat kuardran perut, demam, dehidrasi, mual, muntah, takikardi, letargi, dan
malaise. Berdasarkan pemeriksaan fisik, seorang dokter dapat menentukan sifat dari
peritonitis tersebut, apakah bersifat difus, ataukah bersifat terlokalisir. Dari data-data yang
dikumpulkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

pemeriksaan radiologi, diharapkan seorang dokter dapat menegakan diagnosa peritonitis


dengan tepat dan tidak luput dalam mendiagnosa penyebabnya. (2)
Secara umum penatalaksanaan dari peritonitis adalah dengan resusitasi, terapi
antimikroba, dan terapi operasi. Tujuan terapi adalah untuk mengjilangkan kontaminasi
terhadap peritoneum dan mencegah terjadinya sepsis yang dapat bersifat fatal. Berdasarkan
jenis peritonitis, terdapat berbagai pilihan antibiotik yang dianjurkan. Pada peritonitis
sekunder, seringkali digunakan kombinasi antibiotik aerobik dan nonaerobik, sedangkan pada
peritonitis primer, seringkali digunakan antibiotik yang berspektrum luas.. (2)
Tujuan referat ini dibuat, adalah untuk memahami peritonitis dari patofisiologi hingga
tata laksananya, sehingga pasien dapat segera ditangani dengan cepat dan menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan penyakit ini.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Bab II.1.Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum.(1) Peritoneum adalah membran
serosa terbesar dalam tubuh manusia yang terdiri dari epitel skuamosa simpel
dengan jaringan ikat aerolar sebagai jaringan penyokong dibawahnya. Peritoneum
dibagi menjadi peritoneum parietal yang melapisi dinding rongga abdominopelvis,
dan peritoneum viseral yang menyelubungi beberapa organ di dalam rongga dan
bertindak sebagai lapisan serosanya.(3)
Bab II.2.Klasifikasi dan Etiologi
Peritonitis dibagi menjadi tiga berdasarkan penyebabnya, yakni (2) :
1. Peritonitis Primer
Umumnya terjadi berkesinambungan dengan sirosis hati. Ascites yang terjadi
memberikan medium pertumbuhan yang baik untuk mikroba yang menyebar
secara hematogen. Umumnya ditemukan bakteri gram negatif seperti Eschericia
coli.
2. Peritonitis Sekunder
Terjadi akibat adanya kontaminasi bakteri intra-abdominal dari perforasi viskus.
Umumnya terdapat berbagai jenis mikroba yang menginfeksi secara bersamaan
yang berasal dari flora normal usus. Umumnya ditemukan E. coli, Bacteroides
fragilis. Selain bakteri, peritonitis sekunder dapat terjadi akibat iritasi kimia dari
perforasi gaster.
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier terjadi akibat intervensi medis seperti dialisa peritonitis,
sehingga umumnya terjadi infeksi oleh mikroba flora kulit. Mikroba tersering
adalah Staphylococcus spp.

Bab II.3.Patofisiologi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

Berdasarkan penyebabnya, peritonitis dibagi menjadi tiga, yakni peritonitis primer,


sekunder, dan tersier. Peritonitis primer terjadi bila terdapat peritonitis yang tidak
ditemui sumber kontaminasinya. Peritonitis sekunder terjadi bila terdapat
perpindahan bakteri ke dalam rongga peritoneum akibat perforasi viskus atau saluran
pencernaan. Peritonitis tersier terjadi karena penggunaan tindakan medis tertentu
seperti dialisis peritoneum yang memberikan akses flora kulit ke dalam rongga
peritoneum.(2)
Pertahanan jaringan peritoneum terhadap infeksi terdiri dari 3 bagian, yakni (4) :
1. Penyaringan secara mekanis oleh jaringan limfatik
Mekanisme yang pertama berkaitan dengan menyingirkan bakteri secara fisik.
Mikroorganisme yang berada di dalam rongga peritoneum akan berikatan dengan
cephalad dan disaring oleh jaringan limfatik dan dibawa kedalam peredaran
darah. Interakksi bakteri dan produknya dengan makrofag yang letaknya jauh
dari rongga peritoneum dipercaya bertanggung jawab akan terjadinya respon
imun spesifik pada kasus infeksi peritoneum
2. Fagositosis dan destruksi bakteri oleh sel-sel fagositik didalam peritoneum
Respon peritoneum setelah mekanisme tersebut adalah terjadinya peradangan
lokal yang melibatkan hiperemia jaringan vaskuler yang memperdarahi
peritoneum, eksudasi cairan ke dalam rongga peritoneum, dan masuknya sel-sel
fagositik dalam jumlah yang banyak ke dalam rongga peritoneum. Dalam 2 4
jam, bakteri yang tidak berhasil dieliminasi melalui mekanisme mekanik,
umunya akan melekat pada sel-sel atau sudah difagosit oleh makrofag didalam
peritoneum. Setelah 4 jam, neutrofil akan menjadi sel fagositik yang dominan di
dalam rongga peritoneum. Selain itu, pada peritoneum akan terjadi reaksi
peradangan akibat dilepaskannya sitokin-sitokin oleh sel-sel imun didalamnya.
3. Sekuestrasi dan lokalisasi bakteri yang didukung sel-sel fagositik
Pada akhirnya suatu respon pro-koagulasi, yang dimanifestasikan dengan adanya
eksudat yang mengandung fibrin, akan nampak pada infeksi peritoneum.
Kehadiran fibrin merupakan hal yang penting dalam proses sekuestrasi infeksi,
tidak hanya dengan memerangkap bakteri didalam jaring-jaring fibrin, namun
dengan menyebabkan lipatan-lipatan usus dan omentum untuk membentuk
dinding secara fisik untuk mencegah diseminasi bakteri. Penumpukan fibrin

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

didukung oleh sel-sel mesotel dan makrofag peritoneum, dan berkurangnya aksi
anti-fibrin di dalam eksudat.
Walau dalam keadaan tertentu sekuestrasi bakteri didalam eksudat fibrin ini
mendukung terjadinya infeksi residual, pemberian antibiotik dan pembedahan
yang tepat umumnya dapat mengeliminasi bakteri.
Selain itu juga terdapat respon sistemik yang berupa dehidrasi akibat keluarnya
cairan ke dalam rongga peritoneum dan dapat menyebabkan gangguan
hemodinamik. Selain itu pelepasan sitokin dan mediator kimiawi akan menyebabkan
reaksi peradangan sistemik yang berupa peningkatan suhu tubuh, perubahan
metabolisme, dan perubahan hemodinamik. (4)
Bab II.3.1. Peritonitis Primer
Peritonitis primer umumnya berhubungan dengan sirosis hepar, dimana
pasien dengan sirosis hepar mengalami ascites akibat hipertensi vena portal
dan merembesnya plasma darah ke dalam rongga peritoneum. Namun
berdasarkan laporan terkini, peritonitis primer juga terjadi pada pasien
dengan kelainan metastase yang ganas, sirosis post-nekrotik, hepatitis kronis,
hepatitis akut, gagal jantung kongestif, systemic lupus erythematosus, dan
limfedema.(2)
Meskipun demikian, peritonitis primer merupakan keadaan yang jarang
terjadi. Penyebab infeksi pada peritoneum belum dapat dipastikan, namun
dipercaya bila sumber infeksi berasal dari peredaran bakteri secara
hematogen pada pasien yang mengalami gangguan vena portal dan defek
pada fungsi filtrasinya. Mikroba dapat tumbuh dengan subur di dalam cairan
ascites. Selain itu, pasien yang mengalami gangguan hati, umumnya
memiliki jumlah komplemen dan sel polimorfonuklear ( PMN ) yang sedikit,
sehingga mengganggu proses imun non-spesifik untuk mencegah infeksi
peritoneum. (2)
Bab II.3.2. Peritonitis Sekunder

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

Peritonitis sekunder terjadi akibat munculnya akses bakteri yang bervariasi


ke dalam rongga peritoneum akibat perforasi viskus atau saluran pencernaan.
Organisme yang ditemukan umumnya bervariasi dengan bakteri fakultatif
gram negatif dan bakteri anaerob yang mendominasi, terutama bila
sumbernya berasal dari kolon. Kematian pada pasien dengan peritonitis
sekunder umumnya terjadi karena spesis oleh bakteri basiler gram negatif
dan endotoksin yang bersirkulasi dalam peredaran darah. Bakteri gram
negatif seperti E. coli merupakan bakteri yang paling sering ditemukan dalam
kultur. (2)
Selain itu, peritonitis sekunder dapat terjadi akibat iritasi kimiawi yang dapat
disertai atau tidak disertai infeksi. Contohnya, selama pasien tersebut tidak
mengalami aklorhidria, sebuah perforasi ulkus gaster akan menghasilkan
asam kuat yang beraksi sebagai bahan kimiawi yang iritatif. (2)
Penyebab peritonitis sekunder tersering adalah perforasi appendiks, perforasi
ulkus duodenum, perforasi kolon sigmoid akibat divertikulitis, volvulus, atau
kanker, strangulasi usus kecil, dan peritonitis post-operatif. (4)
Tabel 2.1. Beberapa Kondisi yang Mendukung Terjadinya Peritonitis
Sekunder ( diambil dari daftar pustaka nomor 1 )
Perforasi Usus
Trauma, tumpul atau tembus
Inflamasi
Appendisitis
Divertikulitis
Ulkus peptida
Inflammatory bowel disease
Iatrogenik
Perforasi endoskopi
Kebocoran anastomosis
Perforasi kateter
Vaskuler
Embolus
Iskemia
Obstruksi
Adhesi
Hernia strangulata
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

Volvulus
Intususepsi
Keganasan
Benda asing ( tusuk gigi, tulang ikan, dsb )
Perforasi atau Kebocoran dari Organ Lain
Pankreas Pankreatitis
Kantung empedu Kolesistitis
Kandung kemih Trauma, ruptur
Hati Kebocoran cairan empedu setelah biopsi
Tuba Falopi Salpingitis
Perdarahan ke rongga peritoneum
Disrupsi integritas rongga peritoneum
Trauma
Dialisis peritoneum
Kemoterapi intraperitoneal
Abses perinefrik
Iatrogenik ( post operatif, benda asing )

Bab II.3.3. Peritonitis Tersier


Umumnya peritonitis ini terjadi pada pasien yang menjalani dialisis
peritoneum secara kontinyu. Tidak seperi peritonitis primer atau sekunder
yang umumnya disebabkan bakteri endogen, peritonitis tersier disebabkan
oleh bakteri kulit. Secara patogenesis, peritonitis tersier seripa dengan infeksi
yang terjadi secara intravaskuler, dimana mikroba kulit tersebut bermigrasi
sepanjang kateter yang berfungsi sebagai pintu masuk dan menghasilkan efek
benda asing. (2)
Bab II.4.Tanda dan Gejala Klinis
Tanda dan gejala klinis peritonitis dibagi berdasarkan penyebabnya, yakni (2) :
1. Peritonitis Primer
Demam
Ascites
Nyeri Abdomen
Malaise
Lethargi
Ensefalopati tanpa sebab yang jelas
2. Peritonitis Sekunder

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

Nyeri abdomen yang bergantung pada letak ruptur viskus ( nyeri epigastrik

bila terjadi perforasi gaster )


Rasa tidak nyaman pada perut
Mual
Dephans muskuler dikeempat kuardran
Posisi tubuh yang meringkuk
Rebound tenderness
Demam
Takikardi
3. Peritonitis Tersier
Serupa dengan peritonitis sekunder
Bab II.5.Diagnosa
Penegakan diagnosis peritonitis dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang tepat. Secara umum pemeriksaan penunjang untuk
peritonitis meliputi pemeriksaan darah lengkap, yang memiliki karakteristik berupa
leukositosis shift to the left. Foto polos abdomen dapat menunjukan gambaran ileus
dengan distensi dari ileum maupun kolon, air-fluid level, dan cairan bebas di dalam
rongga peritoneum. Foto abdomen dalam posisi duduk dapat memperlihatkan udara
bebas dibawah diafragma pada 80% pasien dengan perforasi duodenum.(1,2,4)
Anamnesa riwayat penyakit sekarang dan dahulu pasien sangat penting, termasuk
didalamnya adalah riwayat sakit berat yang lampau, riwayat operasi, dan obatobatan yang dikonsumsi saat ini. Gejala-gejala yang dirasakan pasien juga perlu
ditanyakan secara lengkap dan jelas. Rasa nyeri merupakan keluhan yang sering
dirasakan pasien, dan bila kita dapat memperoleh informasi letak nyerinya, hal ini
dapat membantu penegakan diagnosa, sebab nyeri abdomen dimediasikan melalui
sistem saraf otonom dan somatik.(5)
Nyeri viseral ditimbulkan dari organ abdomen yang dipersarafi sistem otonom.
Umumnya rasa nyerinya berupa kram, kurang terlokalisir dengan baik, dan sering
disertai rasa mual dan muntah. Hal-hal yang menimbulkan nyeri viseral adalah
peregangan dinding usus oleh udara atau benda padat, iskemia, dan zat kimiawi
tertentu. Nyeri viseral juga terbagi berdasarkan pola pertumbuhan, nyeri epigastrium
berasal dari organ foregut ( lambung, duodenum, hati, sistem empedu, pankreas,
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

limpa ), nyeri periumbilikus berasal dari midgut ( usus halus, appendiks, kolon
ascendens ), dan nyeri hipogastrium dari organ hindgut ( Kolon tranversal, kolon
descenden, rektum ). Pola ini terlihat karena sistem persarafan otonom mengikuti
distribusi vaskularisasi arteri splanchnic mayor ( celiaca, mesenterium superior,
mesenterium inferior ).(5)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

Gambar 2.1. Gambar Foto Roentgen Upright Position Memperlihatkan Free Air di
Atas Hepar ( diambil dari daftar pustaka nomor 2 )

Penegakan diagnosa peritonitis primer cukup sulit, sebab untuk menegakannya,


penyebab infeksi intra-abdomen harus disingkirkan terlebih dahulu sebelumnya. CT
scan dengan kontras memiliki keuntungan dalam menemukan sumber infeksi intraabdomen. Pengambilan sampel untuk kultur dari cairan peritoneum sering kali sulit,
sebab konsentrasinya yang tidak terlalu banyak. Namun hal tersebut dapat
ditanggulangi dengan memasukan 10 mL cairan peritoneum sampel ke dalam botol
kultur berisi darah. Untuk peritonitis primer, tidak didapatkan studi radiologi yang
spesifik untuk mendiagnosanya.(2)
Kultur mikroba pada peritonitis sekunder lebih mudah karena jumlah mikroba yang
lebih tinggi didalamnya, namun pungsi abdomen bukan prosedur pilihan utama.
Namun pada keadaan tertentu terutama trauma, diagnosa hemoperitoneum harus
segera disingkirkan. Penggunaan CT scan dapat dipertimbangkan bila keadaan
hemodinamik pasien stabil.(2)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

10

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

Bab II.6.Diagnosa Banding


Penegakan diagnosis peritonitis harus memperhatikan kemungkinan penyebab akut
abdomen secara umum. Pada kasus akut abdomen, secara umum pasien masuk ke
dalam salah satu dari keempat kategori berikut (5) :
1. Diagnosa diketahui Indikasi operasi
Pasien dengan peritonitis dan abdominal catastrophe ( contohnya seperti ruptur
atau diseksi aneurisme, infark mesenterium, obstruksi strangulata usus, volvulus,
perforasi sistem gastrointestinal, torsi adneksa atau testis, kehamilan ektopik,
ruptur limpa ) masuk ke dalam kategori ini. Setelah dilakukan stabilisasi awal,
pasien segera diintervensi secara operatif untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas
2. Diagnosa diketahui Indikasi non-operatif
Pasien dengan kolesistitis, divertikulitis, obstruksi usus, dan pasien dengan
dialisa peritoneum masuk ke dalam kategori ini. Pasien-pasien ini menjalani
resusitasi awal dan dimonitar ketat untuk melihat apakah terjadi resolusi
keadaannya, atau terjadi penurunan keadaan umum yang memerlukan intervensi
segera. Mayoritas pasien ini perlu menjalani intervensi secara operatif seusai
keadaan akut abdomen berlalu
3. Diagnosa tidak diketahui Suspek peritonitis
Pada kelompok pasien ini, diagnosa pasti belum ditegakan, namun adanya
peritonitis merupakan mandat untuk melakukan operasi segera. Contoh
sederhana adalah pasien yang dibawa ke dalam ruang operasi untuk
menyingkirkan appendisitis akut. Pada pasien dengan keadaan umum yang
buruk, begitu diagnosis peritonitis ditegakan, pasien harus segera dipersiapkan
untuk operasi, dan menghindari berlama-lama dengan studi diagnostik lainnya
4. Diagnosa tidak diketahui Bukan peritonitis
Pada kelompok pasien ini, dokter penanggung jawab dapat melakukan observasi
dalam menentukan diagnosa pasti. Bila peritonitis atau keadaan yang
memerlukan tindakan operasi timbul, pasien harus segera dioperasi.
Gambar 2.2. Alur Penentuan Perlunya Tindakan Operatif ( Diambil dari daftar
pustaka nomor 4 )

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

11

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

Pemeriksaan
Diag
Diagno
nosis
sis
Diket
Tidak
Abdomiahui Obs PeritonitisDiketa
(+)
Peritonitis (-)
nal
erva
hui
si
Catastr
Operasi
Segera
Operasi Segera
ophe
AwalPeny
Operasi Elektif
Studi Lanjut Peny
akit
akit
NonNonBeda
Beda
h
h
Berikut beberapa penyebab akut abdomen yang dapat menyulitkan penegakan
diagnosa (5) :

Kolesistitis akalkulosa
Kolesistitis akalkulosa adalah peradangan kantung empedu yang tidak disebabkan
oleh batu empedu. Kadang kala peradangan ini dapat terjadi pada pasien dengan
trauma bakar, trauma luas, atau seusai operasi besar. Spesis dan stasis bilier juga
merupakan faktor yang mendukung. Insidensi gangren dan perforasi lebih tinggi
pada kasus kolesistitis ini. Diagnosanya cukup sulit ditegakan dan kecurigaan
didasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan fisik. Kolesistitis akalkulosa

memerlukan intervensi yang segera.


Iskemia mesenterium akut
Iskemia mesenterium akut merupakan keadaan akut abdomen yang paling sulit
ditegakan diagnosanya, hal ini disebabkan anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak
dapat secara tegas menunjukan kecurigaan ke arah keadaan ini. Umumnya
iskemia mesenterium akut disebabkan oleh tiga hal, yakni emboli, trombosis, dan
insufisiensi mesenterium non-oklusif. Emboli seringkali berasal dari kelainan
jantung dan pembuluh darah ( 90% ). Emboli tersebut kemudian paling sering

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

12

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

mengobstruksi pada arteri mesenterika superior bagian proksimal, hanya


beberapa sentimeter dari muaranya, sehingga tidak mengenai arteri colic tengah
dan percabangan arteri jejunal proksimal dari arteri mesenterika superior.
Trombosis pada arteri mesenterika superior umumnya disebabkan plak
arterosklerotik yang luas, sehingga usus mengalami iskemia dari duodenum
hingga kolon tranversal bagian tengah. Insufisiensi mesenterium non-oklusif
umumnya terjadi pada pasien dengan gangguan jantung atau disritmia. Penegakan

diagnosanya dilakukan dengan arteriografi


Pankreatitis
Walau beberapa pasien dapat segera didiagnosa dengan pankreatitis,namun
pankreatitis akut dapat menyebabkan komplikasi dalam berbagai operasi.
Diperlukan kepekaan yang tinggi untuk dapat mencurigai kemungkinan
pankraeatitis. Manifestasi yang umum adalah takikardia, nyeri abdomen, dan
efusi pleura pada paru-paru bagian kiri. Pemeriksaan laboratorium dapat
menunjukan hiperamilasemia atau peningkatan lipase, namun hal tersebut tidak
bersifat spesifik. Pasien dengan pankreatitis tidak membaik dengan terapi
konservatif.

Kemungkinan

terjadinya

necrotizing

pancreatitis

dengan

pembentukan abses perlu dicurigai. Hal ini dapat dikonfirmasi dengan CT scan
dinamik dan aspirasi. Pengurangan kadar hemoglobin yang tidak ditemukan
sebabnya dapat mengarahkan pada diagnosa perdarahan pankreas.
Bab II.7.Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan peritonitis bergantung pada jenis peritonitis yang dialami.
Prinsip tata laksana peritonitis primer adalah dengan memberikan antibiotik yang
sesuai dengan hasil isolasi sampel darah atau cairan peritoneum. Pewarnaan gram
seringkali menunjukan hasil yang negatif, karena itu sebelum hasil kultur didapat,
terapi antibiotik yang dapat diberikan harus meliputi basil aerobik gram negatif dan
kokus gram positif. Sefalosporin generasi ketiga seperti cefotaxime ( 2 gram setiap 8
jam, IV ) memberikan daya cakup yang cukup pada pasien yang sakit ringan hingga
sedang. Antibiotik spektrum luas seperti penicillin / -laktamase inhibitor
( contohnya piperacillin / tazobactam, 3.375 g setiap 6 jam, IV ) atau ceftriaxone ( 2
gram setiap 24 jam, IV ) juga dapat dipertimbangkan pengunaannya. Cakupa empiris
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

13

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

untuk bakteri anaerob tidak dianjurkan. Setelah mikroba yang menyebabkan infeksi
diketahui, terapi harus segera dipersempit untuk menyerang agen patogen tersebut.
Pasien dengan peritonitis primer umumnya merespon dalam 72 jam terhadap
pemberian antibiotik yang tepat. Terapi antimikroba dapat diberikan paling sedikit
selama 5 hari bila terdapat pemulihan yang cepat dan hasil kultur darah negatif,
namun dapat mencapai 2 minggu bila pasien mengalami bakteremia dan yang
mengalami pemulihan lambat.(2)
Prinsip terapi untuk peritonitis sekunder adalah :
1. Resusitasi
Semua pasien dengan peritonitis memiliki keadaan hipovolemia dengan berbagai
derajat dikarenakan kehilangan cairan ke dalam rongga ketiga yakni rongga
peritoneum. Pasien harus diresusitasi dengan cairan seperti kristaloid sebelum
operasi (2,4). terapi cairan yang diberikan dapat berupa bolus kristaloid hangat 1
2 liter untuk dewasa atau 20 mL/kg untuk anak-anak (6).
2. Terapi antimikroba
Umumnya hasil pemeriksaan mikrobiologi akan menunjukan berbagai jenis
mikroba di dalam sampel yang didapat dan umumnya berupa gabungan dari
bakteri enterik gram negatif dan bakteri anaerob. Berdasarkan uji secara klinis
dan eksperimental, dianjurkan bila terapi antimikroba yang diberikan mencakup
bakteri aerobik maupun anaerobik, dimana yang tersering adalah E.coli dan
bacteroides fragilis. Pemberian terapi antimikroba harus disesuaikan dengan
keadaan klinis pasien, dimana bila ditemukan pasien afebris, leukosit normal,
maka kemungkinan sepsis setelah penghentian obat tidak ada. Namun bila
didapatkan keadaan demam atau leukositosis, maka kemungkinan terjadinya
infeksi rekuren atau residual berkisar antara 33 50 %. Dengan pendekatan ini,
pemberian antibiotik dapat dihentikan paling cepat 4 hari setelah operasi. Bila
didapatkan pasien tetap demam dan mengalami leukositosis setelah lebih dari 7
hari, maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi infeksi residual (2,4)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

14

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

Tabel 2.2. Anjuran Antibiotik untuk Peritonitis Sekunder (Diambil dari daftar
pustaka nomor 4 )
Agen Tunggal
Ampicillin / Sulbactam
Cefotetan
Cefoxitin
Ertapenem
Imipenem / Cilastatin
Meropenem
Piperacillin / Tazobactam
Ticarcillin / Clavulonic acid
Agen Kombinasi
Aminoglikosida ( Amikacin, Gentamicin, Netilmicin, Tobramycin ) dan
antianaerob
Aztreonam dan Clindamycin
Cefuroxime dan Metronidazole
Ciprofloxacin dan Metronidazole
Sefalosporin generasi ketiga / keempat ( Cefepime, Cefotaxime,
Ceftazidime, Ceftizoxime, Ceftriaxone ) dan antianaerob
3. Intervensi bedah
Tujuan pembedahan pada peritonitis adalah untuk mengeliminasi sumber
kontaminasi, mengurangi jumlah inokulum bakteri, dan mencegah rekurensi atau
infeksi persisten. Teknik yang digunakan untuk mengkontrol kontaminasi
bergantung pada lokasi dan sumber keadaan patologisnya. Secara umum,
pembersihan

peritoneum

secara

menerus

dilakukan

dengan

menutup,

mengeksklusi, atau memotong viskus yang perforasi. Kolon yang patologis


ditangani dengan efektif dengan cara reseksi segmen yang bermasalah dengan
eksteriorisasi ujung proksimal sebagai bagian akhir kolostomi, dan membentuk
fistula bermukosa. Sebuah anastomosis primer pada pasien dengan peritonitis
difus, diasosiasika dengan peningkatan pembukaan luka operasi dan harus
dihindari. Sebuah kelainan patologis pada usus halus perlu ditangani dengan cara
yang serupa, yakni reseksi segmen yang bermasalah. Bila terdapat kontaminasi
peritoneum yang ekstensif atau keadaan usus menjadi tidak stabil, pembentukan
stoma lebih dianjurkan. Ulkus duodenum yang mengalami perforasi dapat
ditangani dengan menambalnya dengan omentum atau dilakukan pyloroplasty.
Perforasi ulkus gaster ditangani dengan reseksi gaster bagian distal dengan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

15

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

pembentukan anastomosis gastroduodenal atau gastrojejunal, atauu dengan eksisi


lokal dan penutupan secara primer. Appendisitis ditangani dengan appendektomi
(2,4).
Sebagai tambahan untuk mengatasi keadaan patologis yang mendasari, eksudat
purulen yang banyak diaspirasi, dan lokalisasi pada pelvis, celah parakolik, dan
daerah subfrenik dibuka secara halus dan dilakukan debridement. Benda-benda
kontaminan seperti feses, barium, jaringan nekrotik, dan darah harus dikeluarkan
dalam prosedur ini. Pencucian peritonium intraoperatif dengan cairan saline
dapat mendukung hasil debridement. Pada kasus-kasus dengan kontaminasi
berat, penutupan luka dihindari dengan cara membiarkan kulit dan jaringan
subkulit terbuka dan menutupnya secara perlahan (4).
Peritonitis tersier diobati dengan pemberian antibiotik yang ditujukan untuk
S.aureus, Staphylococcus koagulase-negatif, dan basil gram negatif hingga hasil
kultur tersedia. Pengunaan cefalosporin seperti cefazolin dan floroquinolone atau
sefalosporin

generasi

ketiga

secara

tunggal

ceftazidime

dapat

dipertimbangkan. Loading doses diberikan secara intraperitoneal, dan dosis obat


bergantung pada proses dialisis peritoneum dan fungsi ginjal pasien. Antibiotik
dapat diberikan secara kontinyu atau secara intermiten. Bila pasien tampak sakit
berat, antibiotik IV dapat diberikan. Bila tidak terdapat perbaikan setelah terapi
selama 48 jam, dianjurkkan untuk melepas kateter (2).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

16

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

BAB III
KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan peritoneum. Peradangan tersebut umumnya disebabkan


oleh infeksi. Berdasarkan mekanisme infeksinya, peritonitis dibagi menjadi tiga, yaitu primer,
sekunder, dan tersier. Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh bakteri hematogen dan
didahului penyakit hati, peritonitis sekunder umumnya disebabkan kontaminasi peritoneum
karena perforasi viskus, sehingga terdapat berbagai mikroba yang mengkontaminasi
peritoneum, peritonitis tersier disebabkan oleh mikroba kulit yang masuk melalui dialisis
peritoneum.
Secara umum, manifestasi umum dari peritonitis adalah nyeri perut yang hebat,
dephans muskuler pada keempat kuardran perut, demam, dehidrasi, mual, muntah, takikardi,
letargi, dan malaise. Pemeriksaan laboratorium yang menunjang adalah leukositosis dengan
karakteristik shift to the left. Pemeriksaan radiologi dapat ditemukan free air bergantung pada
letak perforasi viskus pada peritonitis sekunder. CT scan dapat dilakukan untuk menentukan
apakah terdapat cairan dan free air dalam rongga peritoneum.
Penatalaksanaan peritoneum terdiri dari tiga tahap, yaitu resusitasi, terapi antimikroba,
dan terapi operasi. Tujuan terapi adalah untuk menghilangkan kontaminasi peritoneum oleh
bakteri, baik dengan penggunaan antibiotik yang tepat, ataupun dengan tindakan operatif..

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

17

Peritonitis Generalisata

Vicky Lumalessil ( 406151039 )

DAFTAR PUSTAKA

1. Atherton JC, Bacon BR, Blumberg RS, et al. Harrisons Principles of Internal
Medicine 17th edition : Acute Appendicitis and Peritonitis. Singapore. McGraw Hill.
2008. p1916-7
2. Beeching NJ, Calderwood SB, Callahan MV, et al. Harrisons Principles of Internal
Medicine 17th edition : Intraabdominal Infections and Abscesses. Singapore.
McGraw Hill. 2008. p807-10
3. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. Danvers : John
Wiley & Sons ; 2006
4. Rotstein OD, Abrams JH. Surgical Critical Care : Intra-abdominal Infection.
Singapore. Taylor&Francis. 2005. p693-8
5. Pasquale MD, Barke RA. Surgical Critical Care : Acute Abdomen. Singapore.
Taylor&Francis. 2005. p591-601
6. Fildes J, Meredith JW, Kortbeek JB, et al. Advanced Trauma Life Support for Doctors
diterjemahkan oleh [ Pusponegoro AD, Karnadihardja W, Soedarmo S, et al ]. Jakarta:
FK UI ; 2008.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Mei 28 Juli 2012

18

Anda mungkin juga menyukai