Anda di halaman 1dari 32

Satu Lembar Lagi Catatan Hidup,

Menyapa Warna-warni Ujung Bulu

Assalamualaykum Ujung Bulu


17 Juni 2015, sore di hari Rabu. Saat itu saya sudah duduk dengan siapnya bersama kawan
lainnya menanti kedatangan kendaraan yang akan membawa kami ke suatu tempat. Sebelumnya
perkenalkan, nama saya Zainal saya beserta beberapa teman lainnya kali ini mendapatkan
kesempatan untuk menjadi anggota Tim Desa Bangkit Sejahtera (DBS) Yayasan Kalla. Sedilit
banyaknya, tugas kami sudah cukup tergambarkan dari nama tersebut dan untuk keseluruhannya
akan tergambarkan dari tulisan ini nantinya.
Tepat pukul 4 sore waktu Makassar, kendaraan dari yayasan yang akan mengantar kami ke lokasi
pengabdian sudah tiba di tempat. Tanpa menunggu lagi kamipun bergegas naik dan berangkat.
Ujung Bulu, yah, itulah tujuan kami kali ini. Salah satu desa yang ada di Kabupaten Jeneponto,
Sulawesi Selatan. Saya sering mendengar cerita orang ketika menyebut kata Jeneponto, kering
dan kuda, garis besar dari setiap tanggapan orang ketika menyebut tempat itu. Sedikit
senyuman tersungging di bibir ku ketika mengingat hal itu. Bukan karena lucu atau apa, tapi
karena perasaan semangat dan tidak sabar untuk melihat tempat baru yang akan saya tinggali
selama beberapa bulan ke depan untuk menjalankan tugas dan amanah sebagai sarjana
pendamping desa.

Perjalanan menuju desa UjungBulu cukup melelahkan dan memakan waktu. Karena jam
keberangkatan di sore hari, maka perjalanan malampun kami dapatkan untuk sampai ke sana.
Duduk selama beberapa jam membuat saya cukup kelelahan dan kedinginanan akibat angin
malam. Namun tetap saja, dalam hati saya merasa bahwa ini akan menjadi batu sandungan awal
bagi keteguhan hati saya dan mungkin juga bagi teman-teman yang lain untuk menjalankan
tanggung jawab nantinya. Sebaris doa sempat ku sematkan dalam hati agar menjadi pengiring
dalam perjalanan kami Ya Allah kuatkan dan selamatkan saya sampai ke tujuan
Pukul 10.45 malam hari, setelah melewati jalan yang berbatu dan menanjak, akhirnya sampailah
saya dan kawan-kawan di tujuan. Desa Ujung Bulu, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto.
Kami pun turun tepat di depan salah satu rumah yang setelah kutanyakan ke kawan saya, rumah
tersebut adalah kediaman bapak Kepala Desa Ujung Bulu. Tidak berapa lama kami berdiri di
depan rumah beliau sambil menenteng tas-tas kami, Seseorang kemudian muncul dalam keadaan
mengantuk membukakan kami pintu rumahnya sambil tersenyum kepada saya dan kawankawan.
Mariki masuk nak katanya, yang tidak lain beliau sendiri adalah bapak kepala desa yang
kemudian disusul seorang wanita yang kuduga pastilah istri beliau.
Dengan langkah sedikit terseret akibat kaki yang kram karena terlalu lama duduk, saya pun
masuk ke dalam rumah tersebut.
Assalamualaykum ucap saya sambil tersenyum kepada pemilik rumah. Waalaykumsalam
anak, masuk ki jawab pemilik rumah.
Kami duduk di ruang tamu tidak cukup lama, pemilik rumah sebelumnya sudah mempersiapkan
kedatangan kami, sedikit jamuan mereka yang sangat memuaskan perut kami yang lapar

akhirnya menutup malam pertama kami di tempat baru itu. Saya dan kawan-kawan selanjutnya
diarahkan ke ruang tengah dengan gelaran karpet, sarung dan bantal yang sudah disediakan
untuk beristirahat. Kamipun beristirahat, menutup hari di tempat baru. Selamat malam Ujung
Bulu.
Tak Kenal Maka Tak Sayang
Sayup-sayup saya mendengar suara Dani, salah seorang

teman saya membangunkan saya.

Sambil sedikit mengantuk saya mengambil handphone dan melihat jam, sudah pukul 5.50 pagi.
Rasa dingin sungguh menusuk membuat saya melipat badan saya sedemikian rupa, mengambil
ancang-ancang untuk bangun. Saya pun bergegas ke belakang, mengambil air wudhu lalu
melaksanakan sholat subuh yang cukup kesiangan akibat kelelahan perjalanan semalam.
Tidak lama setelah itu, seorang bapak datang kepada kami. Ah, beliau bapak yang semalam
membukakan pintu kepada kami. Pak kepala desa. Baru pagi ini saya bisa melihat beliau dengan
jelas. Perawakan beliau tidak begitu besar namun seperti orang timur pada umumnya, sosoknya
cukup menarik, rambutnya agak panjang, dan penampilannya sederhana. Setelah cukup banyak
berbincang dengan beliau saya bisa tahu bahwa beliau adalah orang yang tegas, terbuka dan
berwawasan luas. Saya lupa, nama beliau adalah Pak Mansyur. Pagi itu kami buka dengan
diskusi perkenalan tentang kampung beliau ditemani dengan suguhan kopi madu. Ayah dari 4
anak tersebut banyak bercerita tentang kondisi desa Ujung Bulu dengan segenap permasalahan
dan tantangannya.
Waktu berlalu tidak terasa, pukul 11.30 wita kami minta izin untuk mempersiapakan diri
sebelum pergi silaturahmi kepada para kepala dusun di desa ujungbulu. Sebelumnya saya dan
kawan-kawan memang sudah merencakan bahwa hari pertama tersebut akan kami habiskan

untuk berkunjung ke kepala-kepala dusun setempat untuk perkenalan dan untuk mappatabe
kepada mereka atas keberadaan kami di desa ini.
Setelah makan siang , shalat dan dianggap semua telah siap , kami minta izin untuk pergi .
Bapak Jumasang , kepala dusun kambuttatoa. Rumah beliau yang pertama kami datangi untuk
silaturahmi. Sosok beliau yang berusia lanjut ditambah lagi keterbatasan berbahasa indonesia
dengan baik menjadi kesulitan bagi Dani dan Suci kawan saya yang belum terlalu lancar
berbahasa Makassar. Agar lebih mudah saya pun bertindak sebagai transleter. Kopi , minuman
khas desa ujungbulu sekaligus menjadi

penyambung hidup ekonomi masyarakat, inti dari

diskusi yang saya tangkap dengan pak Jumasang.

Setelah pamit , kami pun lanjutkan

perjalanan .
Singgah di salah satu masjid di dusun Bontojai untuk shalat azhar karena jam telah menunjuk
pukul 15.50 wita. Hikmahnya pun kami dapatkan setelah keluar dari masjid , bertemu dengan
Kak Amir , salah seorang penyuluh agama di desa ujungbulu. Diskusi berlangsung singkat
sebagai awal untuk saling mengenal dan Alhamdulillah beliau siap bekerja sama dengan kami
selama pengabdian.
Sekitar pukul 16.20 wita , kami tiba dirumah pak Nuru kepala dusun Bontojai.

Kami

menyampaikan maksud kedatangan serta menjelaskan secara singkat tujuan keberadaan kami di
desa ujungbulu selama 1 tahun kedepan. Bagus itu , demikian respon beliau. Diskusi pun
berlanjut dengan suguhan minuman kopi yang menemani.
Beberapa saat kemudian terdengar sahutan, dek mari ki makan , istri bapak memanggil kami
untuk makan bersama. Hidangan ketupat dan daging ayam menjadi penegas bahwa masyarakat
jeneponto memang sangat memuliakan tamu-tamunya.

Sebelum pamit pulang , kami ditawari untuk menginap di rumah bapak , karena kami sempat
menyampaikan bahwa tempat penginapan belum pasti dan sementara menginap dirumah pak
Kades.
kami diskusikan dulu dengan teman-teman , bagaimana baiknya , ucap Dani menghargai
tawaran beliau.
Kumandang suara adzan menandakan maghrib telah tiba , kami pun singgah di masjid dan
kembali lagi bertemu dengan Kak Amir yang selanjutnya meminta kami mampir di rumahnya.
Diskusi hanya berlangsung singkat karena kami harus segera balik ke rumah pak Kades untuk
pergi shalat tarwih.
Marhaban ya Ramadhon di Ujung Bulu
Seperti sebelum-sebelumnya, dinginnya udara malam Ujung Bulu masih saja semenusuk malam
pertama kedatangan saya. Hanya saja kali ini khayalan saya terbang ke bagian lain menuju
samata. Malam ini adalah malam menyambut ramadhan pertama. Sebentar lagi rutinitas sholat
tarawih akan dimulai lagi selama sebulan penuh. Ada yang berbeda, saya sedang tidak di rumah.
Saya sedang bersama keluarga baru yang kehangatannya mengingatkan ku pada rumah.
Untuk pertama kalinya saya harus melewati makan sahur pertama ramadhan terpisah dari orang
tua saya. Puasa hari pertama, kamis, 18 Juni 2015. Sedih juga, tapi apa boleh buat, ini adalah
amanah yang harus diemban. Semoga ramadhan kali ini memberi kesan yang lebih indah seperti
ramadhan-ramadhan sebelumnya.
Pukul 03.25 wita , saya di bangunkan oleh Ardi keponakan pak Kades untuk makan sahur. Berat
rasanya bangun sahur di hari pertama dengan kondisi ujungbulu yang sangat dingin. Setelah

santap sahur dan menikmati secangkir kopi madu, saya bersiap untuk shalat shubuh di masjid.
Kembali dari masjid , saya , Dani serta Suci banyak berdiskusi mengenai tempat menginap kami
serta kegiatan yang akan dilaksanakan. Diskusi ringan itu membawa kami menyambut pagi yang
cerah. Terlihat melintas beberapa warga yang akan ke kebun untuk memetik kopi. Kami pun ikut
untuk melihat tata cara memetik kopi oleh warga. Fakta yang saya dapat lihat bahwa cara panen
warga tidak baik karena antara buah kopi yang sudah masak dan belum dipetik bersamaan
sehingga mengurangi kualitas kopi sekaligus berdampak pada nilai jual yang rendah.
Sekembalinya kami dari kebun kopi sekitar pukul 07.00 kami melihat Pak Kades sedang
mensortir biji kopinya yang akan diolah menjadi kopi cita rasa madu, karena penasaran kami pun
mendekati beliau. Kami pun banyak berdiskusi mengenai permaslahan dan tantangan petani
kopi di Ujungbulu.
Menulis dan merangkum informasi yang telah saya dapatkan selama 2 hari kemudian berdiskusi
dengan teman-teman kegiatan apa lagi yang akan dilakukan yang pada saat itu jam menunjukkan
pukul 09.30 wita. Akhirnya , karena hari kamis merupakan hari pasar begitulah warga Desa
Ujungbulu menyebutnya, kami pun memutuskan untuk pergi ke pasar membeli barang yang
diperlukan selama kegiatan observasi berlangsung yaitu kertas karton manila dan spidol.
Setelah sampai di pasar Malakaji saya bertemu dengan teman-teman dari Kelurahan Cikoro yang
juga berkunjung ke pasar. Apa kabar , bagaimana keadaan tempat tinggal ta?. Beberapa
pertanyaan dalam diskusi yang penuh canda diantara kami. Setelah semua barang-barang
keperluan sudah dibeli , saya dan teman-teman pulang tetapi kami berniat berkunjung ke posko
Cikoro terlebih dahulu untuk bersilaturahmi.

Sekitar pukul 16.30 wita saya balik ke desa Ujung Bulu dengan kondisi agak loyo karena hari
pertama puasa. Berkeliling ke beberapa tempat dengan cuaca yang lumayan panas cukup
menguras tenaga hari ini. Suguhan roti dicampur susu dan yang pasti secangkir kopi madu
menjadi menu buka puasa ala ibu desa saat saya berbuka puasa. Syukur Alhamdulillah.
Dusun Balewang
Pagi yang masih dingin di hari Jumat, 19 Juni 2015. Aktivitas saya mulai dengan menulis diary
yang sempat tertunda 2 hari, sambil menunggu jumatan tiba. Kondisi berbeda mulai kami
rasakan karena tempat tinggal yang belum pasti. Perasaan sungkan dan merepotkan pada
keluarga Pak Kades membuat saya dan teman-teman kurang fokus pada kegiatan. Saya mencoba
menghubungi Kak Enal suvervisi kami untuk meminta saran, tanggapan dan solusinya.
Berusaha saja , jangan terlalu dipikirkan sehingga menjadi beban dan mengganggu kegiatan
observasi kalian , saran dari Kakanda Enal
Selanjutnya saya ke rumah Pak Dusun Kayu Colo untuk meminta solusi sekaligus silaturahmi.
Alhamdulillah bapak memberikan kami solusi dengan menawarkan salah satu rumah warga
bernama Ibu Rahmatia untuk kami tempati selama 1 tahun program berjalan. Habis magrib kita
sama-sama ke rumahnya Ibu. Begitulah ucapan beliau seklaigus menjadi jawaban atas rasa
galau kami.
Saya melanjutkan perjalanan menuju Dusun Bungayya untuk silaturahmi kepada Bapak , tetapi
sampai di rumah beliau ternyata beliau sedang tidur siang sehingga kami memutuskan untuk
meneruskan perjalanan ke Dusun Panakkukang.

Saya dan teman-teman sempat bingung

menentukan jalan untuk sampai ke sana karena dusunnya berada di seberang bukit. Setelah
singgah bertanya kepada beberapa warga akhirnya kami menemukan arah jalan menuju kesana.

Assalamualaykum... . Ucapan mengiringi langkah saya memasuki rumah Pak Mamu Erang
kepala dusun Panakkukang. Saya mencoba menjelaskan maksud kedatangan kami dalam bahasa
Makassar karena beliau kurang fasih berbahasa Indonesia. Kurang lebih 30 menit kami bercerita
dengan bapak menggalih informasi tentang potensi SDA akhirnya saya pamit menuju Dusun
Balewang.
Kami sempat dilanda kebingungan saat mencari rumah Pak Ansar Kadus Balewang , akhirnya
saya meminta Suci untuk bertanya kepada warga yang sementara duduk depan rumahnya.
Lewatmi dek, klo dari sini dilewati sekolah rumahnya, demikian jawaban Ibu tempat kami
bertanya. Ternyata di samping rumah ibu terdapat kebun , saya pun tak melewatkan momen
untuk mendokumentasikani tanaman yang ada di kebun tersebut yaitu daun sop dan kol. Tak
beberapa menit kemudian datanglah seorang Bapak sambil bertanya kepada warga lainnya.
Siapa itu dan dari mana . Dengan suara lantangnya khas Jeneponto membuat saya sedikit takut
.
Saya pun menjelaskan siapa kami dan maksud keberadaan kami di desa Ujungbulu.
Kami dari Yayasan Kalla sedang ada program disini Pak . Begitu jawab saya.
Kau tahu ji orang mana pak JK ?, dengan tegas Beliau mencoba menggalih pengetahuan saya
tentang sosok pak JK.
Orang Bone pak . Jawabku. Weee..kenapa nu tahu sekali. Sambil tersenyum mengagumi
jawaban saya dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Pak buhari dengan suara lantang dengan mata sedikit merah seperti orang habis minum ballo
membuat saya berbisik dalam hati, mungkin inimi bosnya painung balloka disini, dengan

perasaan sedikit khawatir. Beliau banyak bercerita tentang pribadinya dan karakter orang jepon
secara umum.
Dalam perjalanan menuju rumah Pak Ansar saya bercerita kepada Suci tentang perasaan
kekhawatiranku.
Mungkin selama kita di Desa Ujungbulu , Dusun Balewanglah menjadi tantangan terberat,
Kenapa memangkah ? . Respon Suci dengan rasa penasaran
Nanti saya jelaskan, kita lagi puasa. Mencoba tenang sekligus singgah di sebuah masjid untuk
salat azhar karena pada saat itu telah masuk waktu azhar.
Ya Allah lindungilah kami dalam menjalankan pekerjaan ini . Sepintas doa yang saya
sampaikan setelah shalat. Rencana kami bertemu dengan Pak Dusun tertunda karena beliau lagi
ke kebun , akhirnya kami memutuskan kembali ke posko.
Melewati rumah Pak Dusun Bungayya terlihat beliau sedang duduk di rumahnya . Ayo kita
sekalian singgah saja!. Pintaku pada teman-teman.
Setelah menjelaskan maksud kedatangan saya disertai bebrapa pertanyaan tentang pekerjaan,
kondisi masyarakat dan tanaman budidaya warga kami pun pamit pulang.
Pukul 21.00 wita saya , Suci dan Dani berniat menemui Pak Dusun untuk konsultasi kesiapan
rumah Ibu Rahmatia. Setelah menunggu bebrapa menit kami pun berkunjung ke rumah Ibu yang
pada saat itu sudah ada Pak Dusun yang menunggu. Setelah maksud kami sampaikan ,
Alhamdulillah tuan rumah merespon dengan baik .

Iye , disini meki tinggal karena samaji itu dngan di rumahnya Pakde. Keluarga ji juga..
Demikian jawab beliau membuat saya merasa lega.
Maksih banyak ini Ibu , jadi nanti kami sampaikan dulu ke Pakde terus bawah barang-barang
kami kesini, Dani merespon.
Suka dan Duka. Pakde..Kami Pamit..
Sabtu, 20 Juni 2015. Dingin begitulah kondisi yang tak akan berubah dari hari ke hari di Desa
Ujungbulu , saya harus berjuang menyesuaikan diri dengan cuaca apalagi menjelang shubuh.
Dingin terasa menusuk tulang

membuat perasaan malas bangun. Tetapi saya pikir bahwa

keberadaan di Ujungbulu adalah sebuah bentuk pertanggungjawaban maka harus saya


menghadapi semua tantangan tersebut.
Kondisi pagi hari yang cerah tak secerah perasaan saya dan teman-teman karena kejelasan
mengenai tempat tinggal kami belum ada. Pagi itu kami berniat menyampaikan kepada Pak Desa
bahwa kami telah mendapatkan tempat di Ibu Rahmatia. Mondar-mandir keluar masuk di rumah
Kades mencoba melihat kesempatan untuk berbicara dengan pak desa. Tetapi pagi sampai siang
hari beliau kelihatan sibuk sehingga membuat saya khawatir jangan sampai mengganggu. Suci
dan Dani memutuskan masuk ke kamar untuk tidur karena merasa ngantuk sekali, saya pun
mencoba mengamati kegiatan Pak Desa setiap saat siapa tahu ada kesempatan berbicara dengan
beliau.
Pukul 11.00 wita kesempatan itu tak kunjung datang karena beliau masuk ke kamar untuk tidur.
Perasaan jenuh dan putus asa sempat menghampiri mencoba menguji ketegaran saya.
Kayaknya pekerjaan sarjana pendamping desa sangat berat . Demikian pikir saya.

Menjelang sore hari tiba , dari dalam kamar terdengar suara mesin mobil berbunyi. Ternyata pak
desa akan pergi , lagi saya , Suci dan Dani merasa putus asa dengan kondisi yang kami alami
karena memasuki hari ke-4 tempat penginapan belum juga jelas.Sampai tiba saat berbuka puasa
ternyata pakde belum juga datang , kecemasan pun menghampiri .Bersabar dan berdoa hanya
itulah yang bisa kami lakukan. Pukul 21.00 wita , saya pulang dari shalat tarwih. Akan tetapi,
pak desa belum juga datang.
Kita duduk-duduk saja depan rumahnya bapak sambil kita tunggu beliau, ucap Dani.
Sekitar pukul 22.00 wita akhirnya beliau datang bersama Ardi dan Kak Sahir. Setelah sampai
mereka asyik bercerita tentang banyak hal, termasuk pengalaman beberapa lembaga LSM yang
pernah mendampngi warga Desa Ujungbulu. Pembicaraan yang seru dan sesekali canda
membuta saya menikmatinya karena kebetulan mereka membahas hal yang hampir sama dengan
program kami. Sesekali saya dan Dani mencoba mengambil kesempatan untuk berbicara tetapi
sampai pukul 23.30 wita kami belum sempat karen pembicaraan mereka memang mengalir
seakan akan tanpa jedah. Setelah kak sahir pamit pulang, kami berdua segera mengambil
kesempatan untuk berbicara akan tetapi beliau dengan cepatnya berdiri dari tempat duduknya
menuju kamar dengan sedikit celotehan
Klo begitu pergi tidur paleng . Dengan ekspresi ngantuk bercampur rasa lelah. Malam itu
terasa ujian berat karena sikap Pakde seolah-olah cuek membuat kami semakin galau.
Sama dengan hari sebelumnya aktifitas sahur,shalat shubuh menghiasi pagi saya sambil berdoa
semoga hari ini lebih baik dari sebelumnya. Duduk dalam kamar sambil main gadget kemudian
sesekali mengamati aktifitas Pakde. Suara tegas dan lantang terdengar berasal dari teras rumah ,

pagi itu beliau lagi bersantai bersama keluarga . Saya pun mengajak Dani dan Suci untuk
memberanikan diri bergabung sekaligus menyampaikan maksud kami.
Kenapa ko ?, ucap beliau yang seolah sudah tahu tujuan kami mendekatinya. Akhirnya kami
pun menyampaikan apa yang sebelumnya ingin kami sampaikan mengenai tempat
tinggal.Pembicaraan sesuai harapan saya, Pakde merespon baik usaha kami dalam
mengupayakan tempat tinggal.
Iya baikji itu , karena keluarga ji juga itu . Respon beliau terhadap pilihan kami untuk tinggal
di rumah Ibu Rahmatia.
Setelah penyamapaian maksud kami, pembicaraan dilanjutkan denga bermacam macam topik
karena memang beliau senang bercerita. Cerita tentang keluarga kami, permasalahan
pemerintahan, kampus sampai pada tragedi konflik Ambon. Membawa suasana pagi itu begitu
berbeda dengan pagi hari sebelumnya.
Hari itu planning kami memang break dan fokus menulis saja dan memperjelas masalah tempat
tinggal. Setelah selesai bercerita dengan Pakde saya pergi ke rumahnya ibu rahmatia untuk
mengkonfirmasi bahwa insya Allah sebentar kami akan segera pindah kesini.
Pukul 12.30 wita setelah selesai shalat dhuhur saya beristirahat. Terlelap dalam tidur tidak terasa
terbangun saat azhar tiba. Selesai shalat saya bersiap pamit sama Pakde untuk pindah ke rumah
Ibu Rahmatia akan tetapi terlambat karena beliau baru saja pergi. Kami memutuskan untuk
menunggu beliau kembali pulang baru kami pamit sambil menunggu kami berdiskusi mengenai
kegiatan yang akan selanjutnya dilaksanakan. Pukul 19.00 wita, selesai berbuka puasa, akhirnya
kami pun pamit kepada Bapak dan Ibu Desa untuk berangkat ke rumah Ibu Rahmatia.

Observasi Potensi Lahan dan Kondisi Masyarakat.


Tepat di hari Senin, 22 Juni 2015, hari pertama di tempat yang baru kami jalani lagi. Kehangatan
keluarga kak Arfah dan Ibu Rahmatia sangatlah menenangkan hati. Subuh itu sahur kami terasa
begitu nikmat dengan lauk ikan dan tempe yang begitu sederhana namun dibalut dengan
kehangatan.
Masih dalam keadaan yang tenang dan cuaca yang dingin, rasa ngantuk masih menjalar di
mataku seakan menjadi penguji ketegaranku menjalani profesi sebagai sarjana pendamping desa
yang jauh dari kampung dan orang tua. Namun teringat akan tanggung jawab akan keberadaan
saya di tempat ini, menggerakkan saya untuk kembali melanjutkan aktivitas dengan penuh
semangat. Hari ini kami melanjutkan lagi kegiatan Observasi Potensi Lahan dan Kondisi
Masyarakat di Dusun Bontomanai. Jalan berliku dan menanjak menuju dusun bontomanai
membuat mental lagi-lagi teruji. Suasana perkampungan sangat sepi , hanya terlihat hamparan
tanaman sayur-sayuran sepanjang jalan. Pemandangan gunung yang indah menjadi penghibur
bagi saya selama mengamati kondisi kampung dusun botomanai.
Mampir di sebuah masjid saat waktu dhuhur , sangat memprihatinkan dengan kondisi jemaah
yang sepi membuat saya teringat dengan kondisi kampung saya yang demikian.

Pak junaedi

sosok yang ramah dan sederhana yang saya temui di masjid, perkenalan singkat kami yang

sempat membahas markisa membuat bapak mengajak kami ke kebun untuk melihat pohon
markisanya. Perjalanan panjang nan melelahkan melalui perkebunan masyarakat yang subur dan
terlihat dari kejauhan membentang luas.
Perjalanan Sang Sarjana Pendamping
Tertanggal Selasa,

23 Juni 2015, ngantuk di pagi hari membuat perasaan malas untuk

beraktifitas. Berniat baring-baring di tempat tidur akan tetapi jadinya ketiduran. Ngantuk, dingin
dan malas menjadi satu kesatuan yang sulit untuk dilawan pagi itu.
Pukul 10.30 wita , kabar datang dari Kak Enal supervisi kami. Rapat di daerah Cikoro, Gowa
menjadi agenda hari itu. Saya sempat kurang setuju dengan keputusan Kak Enal yang tidak
mengunjungi lokasi Ujungbulu yang justru meminta kami datang ke Cikoro. Tapi saya sadar tak
selamanya mesti sesuai yang kita harapkan, sehingga kami pun berangkat menuju Cikoro, Gowa
yang harus ditempuh kurang lebih 1 jam dari Ujungbulu.
Diskusi hanya berlangsung santai dan ringan seolah olah tak menggambarkan sebuah rapat
penting. Sempat muncul rasa kecewa sih , perjalanan panjang dari Ujungbulu rasanya tak setara
dengan keinginan yang diharapkan. Tetapi , lagi saya harus berpikir positif menanggapi
semuanya karena hanya dengan itu semangat tetap terjaga. Badah azhar saya berniat balik ke
Ujungbulu , akan tetapi dalam perjalanan kami kehujanan sehingga memaksa untuk menepi
berteduh di salah satu rumah warga. Keramahan warga yang bersedia teras rumahnya kami
tempati berteduh seolah menjadi gambaran yang indah hidup di desa.
Hujan tak kunjung redah sampai menjelang berbuka puasa, Nurul salah satu teman kami di
Cikoro meminta kami untuk balik ke rumah tempat tinggalnya untuk menginap dan melanjutkan

perjalanan esok hari. Satu malam di Cikoro mungkin itulah kata yang tepat menggambarkan
peristiwa kala itu.
Keesokan harinya, setelah melewati malam di Cikoro, saya berniat menuju kota Jeneponto untuk
mengurus pembayaran BPJS serta membeli keperluan ATK yang kami butuhkan. Start dari
Cikoro sekitar pukul 09.20 wita dan sampai ke pusat kota Jeneponto pukul 12.15 wita .Kegiatan
selama di kota memakan waktu sekitar 4 jam lamanya. Segala urusan selesai pukul 16.10 wita
dan balik ke Ujungbulu. Masalah sempat menghalang dijalan, ban motor taupik salah satu rekan
kami bermaslah sehingga mesti harus dilakukan pergantian ban.

Periistiwa itu seolah

mengingatkan kami bahwa perjuangan mengabdi 1 tahun di desa sesungguhnya banyak


rintangannya yang akan datang kapan saja.
Setelah semua beres kami melanjutkan perjalanan menuju Botolebang lokasi lain dari teman
kami yang meminta untuk singgah yang berlanjut di Tolo Timur. Saling tukar informasi tentang
kondisi desa dampnigan menjadi pembicaraan yang diwarnai dengan canda. Kebersamaan di
anatara kami menjadi pelipur rasa jenuh selama di desa dampingan. Pukul 20.09 wita perjalanan
kami lanjutkan menuju Ujungbulu , kegelapan dan kedinginan mengiringi perjalanan kami
pulang.
Keesokan harinya, seperti biasa pagi hari dimulai pukul 04.00 wita , makan sahur dan shalat
shubuh menjadi aktifitas rutin selama Bulan Suci Ramadhan. Seharian hanya beraktifitas
dirumah sambil menunggu Pak Desa kembali dari kota karena kami ingin mengkonfirmasi
bahwa akan ada kegiatan Safari Ramadhan pada tanggal 29 Juni 2015.Selama menunggu saya
dan teman-teman sempat meeting untuk persiapan kegiatan Safari Ramadhan. Kerja dan kerja
itulah harapan saya kepada teman-teman.

Pukul 12.30 wita , selesai shalat Dhuhur saya menyempatkan untuk tidur siang karena merasa
ngantuk yang berat. Pukul 15.24 wita baangun dari tidur saya segra bergegas untuk ke masjid
karena waktu shalat Azhar telah tiba. Aktifitas sore hanya di isi dengan santai sambil prepare apa
yang harus dikerjakan. Sore itu saya berniat menemui Pak Misi dirumahnya sekalian membeli
sabun cuci. Maksud saya menemui beliau adalah untuk mengkonfirmasi kesiapan saya untuk
membawakan ceramah tarwih sekalian sosialisasi ke warga tentang tujuan kami berada di Desa
Ujungbulu.
Waktu berjalan tanpa terasa telah memasuki waktu berbuka puasa. Saya pun sesekali
mempersiapkan materi ceramah yang akan saya sampaikan.

Pengalaman pertama

menyampaikan ceramah tarwih di kampung orang menjadi satu pengalaman yang tak akan
terlupakan.
Aktifitas dihari berikutnya yaitu menemui Kepala Dusun Belewang dan Panakkukang. Muncul
perasaan was-was ketika ingin berkunjung ke Dusun Balewang, karena masyarakat disitu banyak
painung dan pabotoro.
Sampai di rumah Pak Ansar, Kepala Dusun Balewang menjelang shalat jumat. Hanya istri beliau
yang kami temui. Tidak adai dek , lagi di kebun biasa pulangnya nanti menjelang magrib,
jawab istrinya.
Saya pun bertanya-tanya kenapa kok sudah mau shalat jumat tapi masih dikebun?, seakan
menjadi gambaran masyarakat dusun balewang secara umum yang mengabaikan agama. Setelah
selesai shalat Jumat saya pun menemui Imam Dusun yang sementara duduk di teras masjid.
Setelah perkenalan dari kami, beliau banyak memberikan nasehat dan ilmu agama kepada saya,
yang seolah menghapus dahaga ilmu agama saya. Sesekali beliau menceritakan kondisi

masyarakat Dusun Balewang yang terdapat 3 golongan yaitu painung , pabotoro dan taat agama.
Beliau bercerita mengenai suka duka menjadi imam di Dusun Balewang dengan kondisi
masyarakat yang jauh dari agama. Satu pesan yang saya petik adalah bahwa menyampaikan
kebenaran menjadi kewajiban bagi umat muslim terlebih kepada mereka yang jauh dari agama.
Pembicaraan yang sangat bermanfaat buat saya kala itu. Saya semakin yakin bahwa tantangan
terbesar saya dan teman teman adalah di dusun balewang.
Kegiatan kami lanjutkan dengan menemui Kepala Dusun Panakkukang yang selanjutnya menuju
Pak Lamakka slah satu guru mengaji di dusun tersebut. Kami banyak mengupas kondisi
masyarakat di Dusun Panakkukang termasuk tantangn dan maslah yang di hadapi para petani.
Pembelajaran penting saya rasakan pada kunjungan hari itu ke Dusun Balewang dan
Panakkukang. Berharap semua niat baik kami dapat terlaksana meskipun tantangan sudah
menanti di depan.
Tertanggal Sabtu, 27 Juni 2015, tidak terasa waktu berjalan, saya telah tinggal di Ujungbulu
lebih dari satu minggu. Adaptasi terhadap lingkungan baru betul-betul menjadi pengalaman yang
berharga.Pukul 09.00 wita , saya berkunjung ke rumah Pak Dusun Balewang yaitu Pak Ansar.
Setelah 2 kali kunjungan kami tidak pernah berhasil bertemu beliau maka pada hari itu akhirnya
kami pun bertemu. Sosok agak sangar seperti apa yang ada dalam benak saya selama ini menjadi
karakter dari Pak Ansar. Berdiskusi dengan beliau terasa seperti lagi ujian skripsi , saya harus
hati-hati menyimak dan berbicara karena takut beliau tersinggung sebagaimana yang pernah di
isyaratkan oleh Imam Dusun Balewang sehari sebelumnya.
Setelah selesai dari rumah Pak Ansar kunjungan saya lanjutkan untuk menemui kepala sekolah
SD balewang. Sesampai di sekolah terdengar suara keributan anak-anak yang lagi mengikuti

pesantren kilat. Saya tidak berhasil bertemu dengan kepala sekolah , hanya seorang guru agama
bernama Ibu Hasni yang menerima kami karena beliau memang tinggal di rumah dinas sekolah.
Banyak hal yang Ibu Hasni sampaikan kepada kami , suka duka sampai tantangan sebagai guru
di desa khususnya Dusun Balewang. Cerita beliau membuat saya merasa miris mendengarnya ,
siswa nakal sampai terancam keselamatan jiwa dua hal yang sangat memprihatinkan.
Pukul 11.31 wita kami kembali ke posko untuk istirahat dan menulis laporan harian. Stelah
berbuka puasa

saya dan Dani berniat shalat tarwih ke masjid kampung parang sekalian

sosialisasi program dan perkenalan kepada masyarakat.


Sekali lagi hari ini, kami mendapatkan kisah untuk menjadi cerita di lembaran halaman hidup
kami. Kami menutup hari dengan penuh rasa syukur atas segalanya.
Safari Ramadhan
Satu hari lagi kami jalani dengan rutinitas sebagai sarjana pendamping. Ahad, 28 Juni 2015,
diskusi awal sebelum memulai aktifitas hari itu. Membuat surat undangan acara Safari
Ramadhan kepada para kepala dusun. Setelah semua selesai kami pun lanjut menuju tempat print
out. Sekembali dari tempat print kami berniat menemui Pak Desa untuk meminta tanda tangan
surat undangan. Akan tetapi , beliau tidak ada di rumah. Lagi pergi melayat orang meninggal ,
jawab istri beliau ketika saya menanyakan keberadaan Pak Desa. Saya menunggu beliau ,
berharap segera datang. Kurang lebih satu jam menunggu tetapi beliau tak kunjung datang.
Merasa ngantuk menunggu memmbuat saya memutuskan kembali dulu ke posko. Pukul 16.00
wita saya kembali menuju rumah Pak Desa , rasa deg-degan menghampiri saat kami mendekati
pekarangan rumah beliau karena teringat akan karakterx yang tegas dan suara lantang. Ternyata
beliau lagi ingin mencuci mobil, kami menunggu sampai selesainya.

Kenapa ko ?, tanya Pak Desa dengan lantang. Kami pun menyampaikan maksud kedatangan
kami. Berbincang bincang sampai menjelang berbuka puasa , kami pun memutuskan untuk
kembali ke posko. Malam hari setelah selesai shalat tarwih di masjid Dusun Kambutta Toa kami
bertemu dengan sosok bapak bernama Zaintompo. Kami pun di ajak bertamu ke rumahnya,
cerita banyak hal dan pengalaman bellau sebagai masyarakat Ujungbulu memberi pelajaran pada
saya. Inti dari ilmu yang bisa saya petik adalah bahwa silaturahmi merupakan awal dengan
keberhasilan suatau kegiatan.
Hari yang ditunggu pun tiba, Senin, 29 Juni 2015 akan menjadi hari saya dan teman-teman,
kegiatan Safari Ramadhan dan dongeng tinggal hitungan jam. Surat undangan saya usahakan
sampai pada tujuan, bergegas kebut di pagi hari membuat saya kembali teringat masa-masa
mengembang amanah di organisasi waktu masih kuliah. Perjalanan hari untuk mengantar
undangan di awali di Dusun Balewang dan di akhiri di Dusun Bontomanai sekitar pukul 14.00
wita Kebut sehari , itulah gambaran persiapan Safari Ramadhan. Rombongan tim safari datang
secara tiba-tiba tanpa saya ketahui. Menanyakan kesiapan tim kami yang belum 100. Saya segera
bergegas mempersiapkan semuanya dan alhamdulillah berkat pertolongan Allah semua berjalan
lancar.
Acara dongeng pun dimulai dengan ceria dan penuh canda bersama anak-anak. Beban saya
sedikit berkurang melihat canda tawa anak-anak yang masih imut-imut. Berbuka puasa bersama
dengan rombongan tim safari bersama dengan beberapa warga terasa nikmat , apalagi tim dari
Cikoro juga berkunjung ke lokasi kami. Pukul 19.30 wita , acara inti akan segera dimulai.
Harapan dan doa saya semoga semuanyaberjalan lancar. Penyampaian yang jelas oleh Kak
Hakim tentang program DBS sangat membantu kami agar lebih dikenal luas oleh masyarakat
Ujungbulu.

Hari-hari Lain di Kampung Ujung Bulu.


Tertanggal, Selasa 30 Juni 2015. Rasa dingin yang begitu terasa membuat saya terkungkung
dalam selimut. Merasa berat untuk bangun dari tempat tidur, ingin rasanya pulang ke kampungku
yang iklimnya sangat bersahabat. Tetapi ini adalah sebuah amanah dan pengabdian yang harus di
jalankan. Saya hanya berharap makna hidup bisa saya temukan di tanah Ujungbulu.
Setelah shalat Shubuh saya lanjut tidur sejenak akan tetapi keenakan jadinya bangun jam 09.30
wita. mencuci dan mandi mengawali aktifitas saya pada hari itu. Setelah selesai dari semua itu
saya

melanjutkan

menulis

laporan

harian

dan

bebrapa

catatan

penting

temuan

dilapangan.Seharaian hanya beraktifitas di posko membuat jenuh saya.


Shalat tarwih ke-14 , saya dan Dani menuju Masjid Kambutta Toa salah satu dusun di
Ujungbulu. Kami bermaksud bersilaturahmi dan menyampaikan bebrapa hal mengenai progaram
Desa Bangkit Sejahtra agar masyarakat lebih mengenal kami. Syukur alhamdulillah semua
berjalan lancar.
Keesokan harinya, sulitnya untuk bangun makan sahur karena kedinginan masih menjalar.
Melewati hari yang sulit di desa Ujungbulu. Memasuki hari ke-15 di desa Ujungbulu. Pagi hari
aktifitas dimulai dengan mengunjungi rumah Dusun Balewang , Panakkukang dan Bungayya
untuk memberikan bantuan tas sekolah ke masing-masing dusun. Akan tetapi , tak satupun dari
beliau yang sempat kami temui. Pukul 15.30 wita menuju Tolo Timur untuk menghadiri
undangan kegiatan teman. Ramai dan ceria itulah gambaran suasana dongeng yang dibawakan
Kak Hakim. Melepas rasa jenuh dengan kembali berkumpul dengan sesama sarjana pendamping.
Kembali ke Ujungbulu malam hari dengan cuaca yang dingin. Istirahat sejenak sambil
berbincang-bincang dengan tamsil salah satu pemuda yang kami kenal. Cerita yang awalnya

santai tiba-tiba menjadi serius ketika Tamsil menceritakan segelumit kondisi dan karakter
masyarakat Ujungbulu yang keras dan terbilang kejam ketika nilai moral dilanggar. Pembunuhan
sadis oleh massa menjadi ciri Jeneponto yang selama ini hanya saya dengar dari cerita gosip kini
langsung saya dengar langsung dari orang Ujungbulu yang pernah menyaksikan secra langsung
peristiwa itu. Takut , cemas bercampur jadi satu dalam perasaan saya mendengar semua cerita
itu. Saya hanya berdoa semoga selama satu tahun tinggal di desa Ujungbulu saya tidak akan
pernah menyaksikan peristiwa itu.
Kamis, 2 Juli2015, hari itu mungkin jadi hari yang berkesan bagi saya dan teman-teman selama 2
minggu tinggal di Ujungbulu. Untuk pertama kalinya saya melihat langsung Pak Desa sedang
marah tingkat tinggi karena kedatangan para sales atau penyuluh perlengkapan Tabung Elpiji.
Emosi meledak tatkala para sales itu telah menjual produknya ke masyarakat dengan harga
tinggi. Takut bercampur kasihan menyelimuti ketika para sales tersebut di usir dari Desa
Ujugbulu. Doa dan harapan terungkap semoga peristiwa itu tidak menimpah saya dan temanteman.
Pukul 16.00 wita kami menuju Bontolebang Kec.Kelara untuk menghadiri kegiatan Safari
Ramadhan teman-teman. Suasana tatkala ramai dengan kegiatan sebelumnya , kecerian dan tawa
para anak-anak seolah menjadi penghibur bagi kami para sarjana pendamping desa. Berbuka
puasa sampai sahur bareng bersama Kak Hakim , Kak Enal , Kak Muhajir dan teman-teman yang
lain menjadi momen bahagia hari itu.
Kembali menyambut pagi yang cerah di Jumat, 3 Juli 2015, rombongan menuju sebuah bukit
yang menyajikan pemandangan yang indah. Alam adalah lukisan terindah oleh Allah sebagai
penanda kebesarannya. Foto dan foto itulah aktifitas pelipur lara di pagi hari sebelum rombongan

kembali ke Makassar dan desa dampingan masing-masing. Kembali menuju desa Ujungbulu
pukul 10.15 wita dengan menempuh rute yang berbeda karena kami berniat ke Bank BRI
Malakaji. Pemandangan pegunungan Bawakaraeng yang indah terlihat sepanjang perjalanan
dengan kondisi yang menanjak.
Kondisi masyarakat desa yang jauh dari ibu kota kabupaten nampak begitu membutuhkan
bantuan, itulah gamabran yang sempat teramati sepanjang perjalanan saya. Syukur saya
panjatkan karena dilahirkan di sebuah kampung yang dekat dengan kota.
Menjadi Sarjana Pendamping, Menjadi Warga Ujung Bulu
Sehari lagi kembali berlalu, Selasa, 28 Juli 2015. Tantangan masyarakat Desa Ujungbulu pada
musim kemarau ialah angin kencang, rintangan tinggal di desa memang keras. Bangga terhadap
masyarakat yang tetap tinggal di desa membangun dan mengembangkan potensi alam. Hidup di
desa memang tidak gampang sehingga wajar jika banyak memilih merantau ke kota dan ke luar
negeri. Membangun desa adalah membangun masyarakat yang sadar akan pentingnya potensi
alam yang dimilikinya. Masyarakat Desa Ujungbulu adalah masyrakat yang kuat secara fisik
akan tetapi belum semuanya kuat scara psikis, ideologi masyarakat desa tidak boleh ditinggalkan
akan tetapi diselaraskan dengan ilmu modern agar mampu sejalan. Satu pesan yang penuh makna
dari Pak Desa Ujungbulu, beliau mengatakan membangun Indonesia adalah memperbaiki moral
karena SDA sudah bagus akan tetapi moral bobrok sama saja dengan nol. Nilai-nilai moral itulah
yang masih dilestariakn masyarakat Desa Ujungbulu meskipun tidak di pungkiri mulai merosok
seiring perkembangan zaman. Nilai masyarakat Indonesia yang terkenal dengan keramahannya
sesungguhnya hanya dimulai dari desa , meskipun nilai itu jarang lagi kita temukan di kota yang

notabene masyarakat perantau dari desa karena nilai moral telah tergadai oleh kebutuhan
hegomonitas.
Hari Ahad pertama di bulan Agustus. Cerita dengan Kak Rahmatia tentang keadaan agama dan
kepercayaan yang di anut masyarakat , Dusun Kayu Colo beruntung telah memiliki masyarakat
yang memahami ajaran islam yang sesungguhnya dan telah meninggalkan paham animisme.
Berbeda dengan Dusun Bontomanai yang masyarakatnya masih banyak yang berpaham
animisme. Keadaan masyarakat yang berwatak keras terhadap ajaran baru dan sulit berubah dari
paham animisme. Keadaan yang sama terjadi di kampung saya di Samata Kab.Gowa , hal ini
menunjukkan bahwa gerakan dakwah belum sepenuhnya sampai pada masyarakat terpencil di
pedesaan. Tantangan berdakwah di desa jauh lebih berat dibandingkan di kota , peran tokoh
agama dan pemrintah menjadi penting dalam mengembangkan syiar ajaran islam yang benar
pada masyarakat pedesaan yang banyak berlatar pendidikan masih rendah.
Di sore hari, Tamsil salah satu tokoh kunci pemuda mengajak untuk bermain sepakbola di daerah
perbatasan Gowa-Jeneponto. Jarak yang lumayan jauh hanya untuk menyalurkan hasrat hobi
seolah tak menjadi halangan. Satu lagi masalah yang ada di desa ketinggian adalah terbatasnya
sarana olahraga khususnya sepakbola yang memadai karena kondisi lahan yang tidak datar.
Padahal menurut para pemuda bahwa kekompakan dan persaudaraan banyak terjalin di kegiatan
olahraga. Memang harus di akui bahwa persaudaraan masyarakat pedesaan jauh lebih erat
ketimbang di kota, jarak ratusan meter dari rumah bahkan ribuan masih saling mengenal jika
dibandingkan kehidupan di kota metropolitan yang bahkan satu kompleks pun kadang tidak
saling kenal. Maka wajar jika muncul anggapan bahwa kehidupan di kota siapa lho siapa gue,
mereka berlomba untuk menjadi yang terhebat dari segi materi , pangkat dan jabatan.

Membeli kebutuhan pokok di Pasar Malakaji yang harus di tempuh kurang lebih satu jam dari
Desa Ujungbulu. Aktifitas ekonomi masyarakat terpusat ke Pasar Malakaji pada hari itu.
Transaksi jualbeli berlangsung begitu ramai apalagi adanya sistem tawar-menawar antar penjual
dan pembeli. Sistem jual beli seperti itulah yang harus tetap ada di masyarakat dengan terus
mengembangkan peran pasar-pasar tradisional agar tidak kalah bersaing dengan arus
perkembangan pasar berlabel minimarket. Keberadaan minimarket masuk desa sangatlah
mengancam kestabilan ekonomi rakyat kecil yang banyak menggantungkan kebutuhan pada
pasar tradisional. Pukul 20.45 wita , bertemu dengan Pak Desa dan adek-adek PPL dari FKM
Unhas. Satu pesan yang sangat mendalam maknanya disampaikan pak desa bahwa banyak orang
yang terlalu takut kehilangan sehingga mereka ragu dalam bertindak.
Desa Ujungbulu boleh berbangga memiliki sosok Kepala Desa yang sangat tegas dan sangat
disegani sekalipun lawan politiknya. Tetapi memang harus diakui sehebat apapun sesorang pasti
ada saja orang yang tidak suka. Cerita dari beberapa anak muda desa Ujungbulu yang banyak
mengkritik cara kepemimpinan kepala desanya menjadi bukti. Pak Mansyur Kepala Desa
Ujungbulu memang memiliki karakter yang unik dibandingkan dengan orang lain pada
umumnya. Cerita cerita dari kepala desa sangatlah menginspirasi saya sebagai anak muda yang
masih butuh banyak pengalaman. Beliau selalu menekankan bahwa yang utama dalam
pengabdian di masyarakat bagaimana kita mampu merebut hati mereka. Dalam sebuah diskusi
dengan adik-adik PBL FKM UNHAS beliau mengatakan bahwa masyarakat Ujungbulu yang
notabene berpendidikan rendah akan berpikir dengan matanya bukan dengan otaknya. Gambaran
yang dimaksud beliau adalah bahwa masyarakat yang tidak berpendidikan hanya akan menilai
hasil kerja dari pengabdian dengan apa yang tampak di mata mereka sehingga ketika suatu

program hanya menyentuh segi berpikir maka boleh dikatakan masyarakat belum bisa
memahami sebagai pengabdian.
17 Agustus 1945 (2015)
Dalam dua kesempatan yang berbeda , perbincangan saya dengan warga dan pak desa membahas
mengenai situasi keamanan warga desa yang sedikit terganggu dengan adanya kasus pencurian di
salah satu rumah warga. Desa Ujungbulu yang dikenal sangat aman dari kasus seperti itu justru
kecolongan menjadi trending topik. Kekhawatiran pun muncul dari kepala desa terhadap
keamanan warganya, lagi dan lagi beliau menampakkan bahwa beliau sosok pemimpin yang
sangat peduli dengan warganya.
Cerita dari Tamsil mengenai kejadian perkelahian pemuda asal desa Ujungbulu dengan pemuda
dari Ramba di lokasi perkemahan, dalam cerita itu saudara Tamsil menggambarkan karakter
orang asli Jeneponto yang cepat emosi dan tidak pikir panjang. Budaya masyarakat yang bersatu
ketika ada masalah atau konflik yang di alami tetangga atau keluarga menjadi kelebihan
sekaligus bisa jadi kekurangan ketika akar permaslahan atau konflik yang terjadi adalh
disebabkan oleh keluarga bersangkutan. Pendidikan yang rendah menjadi kelemahan masyarakat
pedesaan dengan karakter yang keras karena akan menjadikan masyarakat bertindak sesuai
nafsu tanpa pertimbangan yang positif.
Pagi hari di peringatan hari Kemerdekaan Indonesia, kamis sudah berada di lokasi lapangan
Ramba untuk menghadiri upacara peringatan HUT RI ke 70 sekaligus mendampingi adek-adek
dari SDN 45a Kayu Colo selama mengikuti perkemahan. Saya bertemu dengan salah satu guru
pembina dari salah satu sekolah , beliau bercerita banyak tentang kekurangan pelaksanaan
kegiatan perkemahan siswa-siswi yang dikoordinir oleh pihak kecamatan. Menurut beliau

anggaran pelaksanaan kegiatan hanya dibebankan kepada pihak sekolah akan tetapi timbal balik
tidak sebanding, baik dari segi pelayanan maupun jalannya kegiatan yang tidak memiliki output
yang jelas.
Sesaat sebelum lomba gerak jalan indah , adek2 dari SDN 45a Kayucolo mengundurkan diri dari
peserta disebabkan ketidaksiapan mental dan fisik. Pembinaan pramuka yang belum berjalan di
SDN 45a menjadi alasan mengapa mreka kalah sebelum bertanding. Prihatin memang melihat
kondisi yang telah terjadi, semoga keberadaan kami sarjana pendamping mampu mengubah
kondisi kekurangan pembinaan kepramukaan di SDN 45a Kayucolo pada khususnya dan siswa
di Desa Ujungbulu pada umumnya.
Masih seputar memperingati hari kemerdekaan Indonesia,

kegiatan lomba keagamaan

dilaksanakan dengan kondisi kepastian peserta yang belum ada. Hal itu menandakan dukungan
dari para tokoh agama, guru mengaji dan imam dusun belum terlalu signifikan dalam mendorong
anak-anak untuk menimbah pengalaman dalm kegiatan lomba.
Dan sampailah pada titik yang tersulit yang ingin saya ceritakan yaitu kesalahan saya dalam
menentukan jadwal pertandingan takraw yang berakibat pada banyaknya warga dan peserta yang
protes terhadap kesalahan saya. Saya pun kelimpungan dalam pusaran masalah besar ditambah
lagi sosok teman satu rekan saya sesama sarjana pendamping dan adek-adek P3MD UIN
Alauddin Makassar yang mengabaikan saya dalam menghadapi masalah itu. Satu lagi
masalahnya karena pendapat saya dalam menangani maslah sedikit berbeda dengan Tamsil,
sosok teman pemuda desa Ujungbulu yang senantiasa membantu saya dalm menjalankan lomba
takraw ini. Detik itu, setelah saya mengeluarkan pendapat berbeda dengan Tamsil seketika itu
pula saya meliht ekspresi kekecewaan dari wajahnya. Saat itu saya betul-betul dalam masalah,

pikiran saya selalu diselimuti perasaan cemas, takut dan bimbang antara bertanggung jawab atau
lari dari tanggung jawab. Kejadian itu berlangsung sekitar jam 4 sore, terlihat ekspresi dan
perkataan kekecewaan dari sebagian peserta dan warga yang memperhatiakn saya. Satu hal yang
terpikirkan seketika itu dalam pikiran saya adalah saya akan di keroyok oleh warga yang kecewa
dan tidak ada yang menolong saya karena Tamsil, rekan sarjana pendamping yang lain serta
adek-adek dari UIN tidak membantu saya. Kembali ke posko dengan beban pikiran yang berat
namun saya mencoba tersenyum dibalik masalah besar itu. Sepanjang jalan menju posko , di
posko sampai di masjid piran saya kacau dan stress berat dihantui ketakutan akan tindakan yang
membahayakan jika warga bertindak semena mena dan anarkis terhadap saya dan teman-teman
saya. Dalam hati kecil saya terbesik bahwa resiko sebuah pengabdian sarjana pendamping
terlalu besar, akan tetapi saya mencoba menepisnya dengan menumbuhkan harapan dan
semangat untuk mencoba bertahan dari masalah.
Samapailah di posko setelah shalat isya , saya bertemu dengan Tamsil yang masih memendam
kecewa terhadap saya. Tetapi saya mencoba memberi penjelasan dan meminta maaf dan
alhmdulillah Tamsil bersedia untuk berdiskusi kembali. Malam itu betul-betul menjadi diskusi
yang menguras isi hati yang dalam antara saya dan Tamsil. Dia banyak bercrita tentang sifatnya
dan karakter orang-orang di sekelilingnya serta dia juga mengutarakan rasa empatinya kepada
saya karena harus berjuang sendiri sebagai sarjana pendamping tanpa teman2 yang lain. Saat itu
saya menyadari betul beratnya tanggung jawab sebagai sarjana pendamping.

Suara Sarjana Pendamping

Hari ini tepat 3 bulan pengabdian saya sebagai sarjana pendamping desa di Ujungbulu dibawah
naungan Yayasan Kalla. Saya terkadang dihantui perasaan jenuh dan bosan dengan keadaan yang
saya hadapi, tetapi saya sadar itu pikiran pecundang dan tidak boleh membuat saya lemah. Saya
Cuma berharap sistem perencanaan program Desa Bangkit Sejahtera lebih diperbaiki lagi, mulai
dari perekrutan sarjana pendamping yang berkompeten dibidangnya sampai pada pelaksanaan
program di desa dampingan. Program DBS tahun ini masih butuh banyak perbaikan,
bersuaralah para sarjana pendamping untuk kesuksesan program DBS ke depannya, kritiklah
karena ingin melihat kebaikan bukan karena kebencian, bersemangatlah teman seperjuanganku ,
kurang lebih seperti itulah komentar saya yang tertulis di LINE dan alangkah kagetnya saya
ketika Suci memperlihatkan komentar dari salah seorang yang merespon dengan simbol kepalan
tangan dalam bahasa Makassar disebut panjaguru. Seketika itu pikiranku bertanya-tanya,
mengapa? Kenapa ? kok begitu ? Saya terus kepikiran dengan simbol itu sambil terus bertanya
dalam hati kecilku apa yang salah dengan tulisanku itu?. Pertama, Program DBS tahun ini
masih butuh banyak perbaikan, komentar ini saya tulis dengan alasan program DBS masih perlu
perbaikan dengan adanya kekurangan yang ada misalnya penegakan kedisplinan para sarjana
pendamping, masih banyak kendala di pengelolaan keuangan program di lapangan. Satu harapan
saya bahwa program ini bisa sukses membawa manfaat bagi masyarakat. Kedua, Bersuaralah
para sarjana pendamping untuk kesuksesan program DBS ke depannya, komentar ini saya tulis
untuk mengajak teman-teman sarjana pendamping yang lain bersuara memberi saran atau
tanggapan terhadap maslah yang dihadapi di lapangan supaya bisa di cari solusinya demi
perbaikan dan kesuksesan program DBS. Ketiga, , kritiklah karena ingin melihat kebaikan
bukan karena kebencian, komentar ini saya tulis semata mata hanya sebagai kata-kata bijak
bukan ajakan untuk mengkritik, mencela atau sejenisnya kepada pihak tertentu. Tapi yang

sempat hadir di pikiranku adalah mungkin gara-gara kalimat tersebutlah sehingga respon yang
saya dapat adalah panjaguru. Keempat, Bersemangatlah teman seperjuanganku, ungkapan
ini hanya ingin menyemangati rekan sarjana pendamping yang lain agar tetap semangat
melaksanakan amanah. Maka dari itu sekali lagi saya minta maaf lewat tulisan ini jika ada salah
dan dosa yang terselip di dalam komentar saya.
Selamat Jalan Kak
Innalillahi wa innailaihirojiun. Selamat jalan kakak terkasih. Mendapatkan kabar duka dikala
menjalani tugas sebagai sarjana pendamping merupakan salah satu momen yang menyayat hati.
Kepulangan kakak saya ke rahmatullah memberikan kesedihan yang begitu dalam bagi saya.
Seminggu penuh saya meninggalkan Desa Ujung Bulu untuk kembali ke Makassar melayat
kakak saya. Peristiwa yang membuat saya menyadari sepenuhnya berartinya keluarga. Musibah
itu bertepatan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu pelatihan calon guru TK/TPA dan
Kader Dai.
Muncul kekhawatiran dalam diri saya kepada teman-teman untuk mengontrol kegiatan tersebut.
Satu hari saya meninggalkan lokasi dampingan, saya dihubungi oleh teman mahasiswa P3MD
UIN Alauddin Makassar menyampaikan bahwa kegiatan Pelatihan Calon Guru TK/TPA berjalan
lancar. Saya pun merasa legah mendengar kabar itu, akan tetapi belakangan saya dengar ada
kesalahan sedikit yang terjadi karena Kepala KUA Rumbia sekaligus pemateri dalam kegiatan
tersebut mengaku sedikit kecewa karena terlalu lama menunggu dan tidak ada hidangan makan
siang yang disediakan oleh panitia. Beliau datang dilokasi sekitar jam 12.00 akan tetapi jadwal
kegiatan kami jam 13.00, itupun masih molor karena menunggu peserta hadir. Mendengar hal
seperti itu saya pun bertanya-tanya dalam hati, apa penyebabnya mengapa hal sepeleh itu terjadi,

ternyata adanya kelemahan koordinasi menjadi penyebabnya. Pembelajaran penting ketika akan
mengadakan kegiatan adalah perkuat koordinasi.
Akhir Tulisan, Selamat Hari Raya Idul Adha..
Burasa dan ketupat sudah matang malam ini. Gema takbir sudah terdengar dari masjid yang ada
di desa ini meskipun cukup sayup. Esok hari, Selasa 29 September adalah hari raya Idul Adha.
Perasaan haru bercampur dengan rasa rindu akan keluarga kembali mengalir ke seluruh tubuh.
Untuk pertama kalinya saya merasakan suasana lebaran Idul Adha di kampung orang lain dan
jauh dari keluarga. Sedikit berbeda apa yang saya rasakan suasana di Desa Ujungbulu dengan di
Samata kampung saya. Jika di Samata malam takbiran terasa begitu ramai dengan suara takbiran
dari pelbagai sudut, akan tetapi di Desa Ujungbulu hal itu tidak terjadi mungkin disebabkan
letaknya yang sangat jauh dari kota dan masyarakat juga tidak ada yang bertahan di masjid
untuk bertakbir karena cuaca yang dingin menusuk.
Setelah melaksanakan shalat Idul Adha , saya pun bersilaturahmi dengan masyarakat di sekitar
posko. Hal yang penting bahwa budaya orang Jeneponto yang sangat menjunjung tinggi
persaudaraan dan menghormati tamunya yang datang berkunjung. Keramahan dan kemurahan
hati masyarakat sangat terasa setiap kali kita berkunjung ke rumahnya.
Hal penting lain yang bisa saya tuliskan adalah perbincanga saya dengan Kepala Sekolah SDN
Biringromang, beliau banyak bercerita mengenai perkembangan dunia pendidikan di Kabupaten
Jeneponto. Menurt beliau yang pernah mengabdi sekitar 12 tahun di Kabupaten Maros,
Kabupaten Jeneponto masih tertinggal dari Kabupaten Maros. penyebab yang di ungkapkan
beliau adalah sebagian guru-guru di Kabupaten Jeneponto masih malas untuk mengajar serta
lemahnya koordinasi dari tingkat atas ke bawah.

Hal lain yang ingin saya ceritakan adalah cerita dari salah satu Imam Dusun yang banyak
bercerita mengenai kondisi agama masyarakat. Menurut beliau masih banyak masyarakat yang
acuh tak acuh terhadap ajaran agama. Masyarakat lebih mementingkan pekerjaan dunianya
ketimbang akhiratnya. Selain itu , golongan yang terdapat ada 2 yaitu muhammadiyah dan NU.
Menurut beliau masyarakat saling mengaku yang paling benar dengan golongannya masingmasing.
Begitu banyak hal yang sebenarnya terjadi dan untuk saya ceritakan, namun karena keterbatasan
hal tersebut tidak dapat terwujud. Sungguh, menjadi salah satu anggota dari tim Sarjana
Pendamping Desa ini adalah suatu kesempatan yang patut saya syukuri sedalam-dalamnya.
Banyak cerita, pengalaman, pembelajaran dan kehangatan serta hal-hal positif lainnya yang saya
dapatkan di Desa Ujungbulu ini. Menjadi salah satu anggota tim Sarjana Pendamping Desa
mengantarkan saya untuk belajar menghadapi kehidupan nyata selanjutnya. Ujung Bulu menjadi
miniatur hidup yang kembali saya temui. Ujung bulu memberikan coretan warna dalam lembaran
kisah hidup saya.

Anda mungkin juga menyukai