Anda di halaman 1dari 24

REFRESHING

ANESTESI PADA PENDERITA HIPERTENSI

Disusun Oleh :
Yoga Eka Pratama
2010730114
Pembimbing :
dr. Irwan Sp.An

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RS. ISLAM JAKARTA SUKAPURA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi adalah penyebab utama kematian dan cacat dalam sebagian besar masyarakat
barat dan kelainan yang paling umum terjadi pada pasien sebelum operasi pembedahan dengan
prevalensi keseluruhan 20-25%. Hipertensi tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan
mempercepat terjadinya aterosklerosis dan kerusakan organ. Hipertensi merupakan faktor resiko
utama untuk penyakit jantung, otak, ginjal dan pembuluh darah. Komplikasinya meliputi infark
miokard, gagal jantung, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusif perifer dan diseksi aorta. Adanya
hipertrofi ventrikel kiri (LVH) pada pasien hipertensi dapat menjadi indikator penting dari
kematian jantung. Peningkatan kematian jantung juga telah dilaporkan pada pasien dengan
murmur karotis, bahkan tanpa adanya gejala.
Manajemen pasien dengan hipertensi telah berubah dalam beberapa dekade terakhir.
Hipertensi didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia sebagai tekanan diastolik diatas 95
mmHg dan tekanan sistolik lebih dari 160 mm Hg. Hipertensi kronik dapat menyebabkan gagal
ginjal, gagal jantung, stroke dan infark miokard. Idealnya semua pasien dengan hipertensi harus
dirawat sebelum operasi. Namun, ada sedikit bukti untuk hubungan antara tekanan darah sistolik
kurang dari 180 mmHg atau tekanan diastolik kurang dari 110 mmHg dan komplikasi
perioperatif meskipun anestesi harus menyadari bahwa pasien mungkin mengalami perubahan
besar dalam tekanan darah. Tekanan arteri intra-operasi harus dipertahankan pada 20% dari
tekanan pre-operasi.

BAB II
HIPERTENSI

2.1. Definisi
Pengukuran tekanan darah dipengaruhi oleh banyak variabel, termasuk postur, waktu
siang atau malam, kondisi emosional, kejadian terkini, pemberian obat-obatan dan peralatan serta
teknik yang digunakan.Diagnosis hipertensi tidak dapat dilakukan dengan pembacaan tunggal
tapi juga memerlukan informasi riwayat kenaikan tekanan darah sebelumnya. Walaupun
kecemasan saat preoperatif atau nyeri sering menghasilkan beberapa derajat hipertensi bahkan
pada pasien normal, pasien dengan riwayat hipertensi umumnya menunjukkan peningkatan
tekanan darah yang lebih besar saat preoperative.
Definisi hipertensi sistemik sering berubah-ubah tetapi hipertensi umumnya dianggap
sebagai tekanan darah tinggi secara konsisten yaitu tekanan sistolik lebih besar dari 140-160
mmHg dan tekanan diastol lebih besar dari 90-95 mmHg.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah
Kategori

Tekanan sistolik (mmHg)

Normal
High normal
Hipertensi
Derajat 1 / Ringan
Derajat 2 / Sedang
Derajat 3 / Berat
Derajat4/Sangat berat

< 130
130

Tekanan diastolik
(mmHg)
< 85
85 89

140 159
160 179
180 209
>210

90 99
100 109
110 119
>120

2.1.2. Epidemiologi
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang
berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk
pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam
kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia.
Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan
besar juga akan bertambah.
Hipertensi umumnya dimulai pada usia muda, sekitar 5 sampai 10% pada 20 - 30
tahun.Bagi pasien yang berusia antara 40 70 tahun, setiap peningkatan tekanan darah sistolik
sebesar 20 mmHg atau tekanan darah diastolik sebesar 10 mmHg akan meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular. Berdasarkan kriteria baru, prevalensi hipertensi tingkat 1 dan 2 di tiga
kecamatan daerah Jakarta Selatan pada tahun 2007 mencapai angka 40,1% pada lelaki dan
44,4% pada wanita. Di Amerika Serikat insiden hipertensi lebih tinggi di kalangan orang-orang
Asia dibandingkan dengan kelompok Eropa, penyebabnya atau dasarnya tidak diketahui.

2.1.3. Etiologi
Beberapa faktor yang pernah dikemukakan relevan terhadap mekanisme penyebab
hipertensi adalah sebagai berikut:

Genetik
Dibandingkan dengan orang kulit putih, orang kulit hitam di negara barat lebih
banyak menderita hipertensi, lebih tinggi tingkat hipertensinya dan lebih besar tingkat
morbiditas dan mortalitasnya, sehingga diperkirakan ada kaitan hipertensi dengan

perbedaan genetik.
Geografi dan lingkungan

Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi kelompok daerah
kurang makmur dengan daerah maju, seperti bangsa Indian Amerika Selatan yang tekanan
darahnya rendah dan tidak banyak meningkat sesuai dengan pertambahan usia
dibandingkan masyarakat barat.
Janin
Faktor ini dapat memberikan pengaruh karena berat lahir rendah tampaknya
merupakan predisposisi hipertensi di kemudian hari, barangkali karena lebih sedikitnya
jumlah nefron dan lebih rendahnya kemampuan mengeluarkan natrium pada bayi dengan

berat lahir rendah.


Jenis kelamin
Hipertensi lebih jarang ditemukan pada wanita pra-menoupause dibanding pria

yang menunjukkan adanya pengaruh hormon.


Natrium
Banyak bukti yang mendukung peran natrium dalam terjadinya hipertensi.Hal ini
dikarenakan ketidakmampuan mengeluarkan natrium secara efisien baik diturunkan
maupun didapat. Berdasarkan studi populasi, seperti Studi INTERSALT pada tahun 1988
diperoleh korelasi antara asupan natrium rerata dengan tekanan darah dan penurunan

tekanan darah dapat diperoleh dengan mengurangi konsumsi garam.


Sistem renin-angiotensin
Renin memicu produksi angiotensin (zat penekan) dan aldosteron yaitu zat yang
memicu natrium dan mengakibatkan terjadinya retensi.

Hiperaktivitas simpatik
Hal ini dapat terlihat pada hipertensi usia muda. Katekolamin akan memacu
produksi rennin, menyebabkan kontriksi arteriol dan vena dan meningkatkan curah

jantung.
Resistensi insulin atau hiperinsulinemia
Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah diketahui sejak beberapa
tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin merupakan zat penekan karena
meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi natrium.

Disfungsi sel endotel


Penderita hipertensi mengalami penurunan respon vasodilatasi terhadap nitrat
oksida, dan endotel mengandung vasodilator seperti endotelin-I, meskipun kaitannya
dengan hipertensi tidak jelas.

2.1.4. Diagnosis dan Klasifikasi Hipertensi


Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan
tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras.
Batas atas tekanan darah normal yang diijinkan adalah sebagai berikut :

Dewasa : 140/90 mmHg


Dewasa muda (remaja) : 100/75 mmHg
Anak usia prasekolah : 85/55 mmHg
Anak < 1 tahun (infant) : 70/45 mmHg

Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) pada pertemuan mengenai Pencegahan,
Deteksi, Evaluasi dan Penatalaksanaan Hipertensi tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas
prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 (lihat Tabel 2).
Tabel 2.Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 7
Kategori
Normal
Pre hipertensi
Hipertensi tahap 1
Hipertensi tahap 2

Sistole (mmHg)

Diastole (mmHg)

120

< 80

120-139
140-159
160

80-90
90-99
100

Klasifikasi di atas untuk dewasa usia18 tahun ke atas. Hasil pengukuran tekanan darah
(TD) dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi, aktivitas,
obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah
dilakukan2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD
darah sebelumnya.Penderita dengan klasifikasiprehipertensi mempunyai progresivitas yang
meningkat untuk menjadi hipertensi.Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai
risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah
dari nilai itu. Disamping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam
2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:
1. Hipertensi primer
Hipertensi primer disebut juga hipertensi esensial atau idiopatik dan merupakan 95% dari
kasus-kasus hipertensi.Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular,
sehingga tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular perifer
bertambah atau keduanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi
melibatkan perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai kondisi klinis biasanya diketahui
beberapa tahun setelah kecenderungan ke arah sana dimulai. Pada saat tersebut, beberapa
mekanisme fisiologis kompensasi sekunder telah dimulai sehingga kelainan dasar curah jantung
atau resistensi perifer tidak diketahui dengan jelas.
Pada hipertensi yang baru dimulai, curah jantung biasanya normal atau sedikit meningkat
dan resistensi perifer normal.Pada tahap hipertensi lanjut, curah jantung cenderung menurun dan
resistensi perifer meningkat.Adanya hipertensi juga menyebabkan penebalan dinding arteri dan
arteriol, mungkin sebagian diperantarai oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu hipertrofi

vaskular dan vasokonstriksi, sehingga menjadi alasan sekunder mengapa terjadinya kenaikan
darah.
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder terjadi akibat masalah primer lain. Penyebab hipertensi sekunder
dapat digolongkan menjadi empat kategori, yaitu:
a

Hipertensi kardiovaskular, biasanya berkaitan dengan peningkatan kronik resistensi

perifer total yang disebabkan oleh aterosklerosis.


Hipertensi renal dapat terjadi akibat dua defek ginjal, yaitu oklusi parsial arteri renalis

atau penyakit jaringan ginjal itu sendiri.


Hipertensi endokrin terjadi akibat gangguan endokrin seperti feokromositoma dan

Sindrom Conn.
Hipertensi neurogenik yang terjadi akibat lesi saraf.

2.1.5. Patofisiologi
Hipertensi dapat bersifat idiopatik (esensial) atau yang jarang terjadi dapat bersifat
sekunder yang diakibatkan oleh kondisi medis lain seperti penyakit ginjal, hiperaldosteronisme
primer, sindrom Cushing, akromegali, kehamilan, atau terapi estrogen.Hipertensi primer terjadi
pada 80-95% kasus dan mungkin disebabkan oleh hasil kerja jantung yang abnormal, resistensi
vaskuler sistemik (SVR), atau keduanya.Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri sehingga beban kerja jantung
bertambah.Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan

kontraksi.Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan


hipertrofi kompensasi akhirnya terlampaui dan terjadi dilatasi dan payah jantung.Jantung
menjadi semakin terancam oleh semakin parahnya aterosklerosis koroner. Bila proses
aterosklerosis berlanjut, penyediaan oksigen miokardium berkurang. Peningkatan kebutuhan
oksigen pada miokardium terjadi akibat hipertrofi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung
sehingga akhirnya menyebabkan angina atau infark miokardium.

2.1.6.Terapi Jangka Panjang


Terapi obat telah terbukti mengurangi penyakit hipertensi, mencegah terjadinya stroke,
gagal jantung kongestif, penyakit arteri koroner, dan kerusakan ginjal.
Kebanyakan pasien dengan hipertensi ringan hanya membutuhkan terapi obat tunggal,
yang dapat terdiri dari beta-bloker, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor, calcium
channel blockers, atau diuretik.Penyakit yang muncul bersamaan yang mempengaruhi pemilihan
obat termasuk penyakit paru-paru bronchospastik, penyakit arteri koroner, gagal jantung
kongestif, diabetes, dan hiperlipidemia, ACE inhibitor dan beta blocker adrenergik umumnya
kurang efektif pada pasien kulit hitam. Selain itu, pengobatan dengan beta bloker adrenergik saja
mungkin juga kurang efektif pada pasien usia lanjut.
Pasien dengan hipertensi sedang sampai berat sering membutuhkan obat kedua atau
ketiga.Diuretik kurang sering digunakan sebagai pilihan pertama karena alasan efek samping
elektrolit dan metabolik serta meningkatkan kejadian aritmia. Agen ini sering digunakan untuk
melengkapi beta bloker adrenergik dan ACE inhibitor hanya jika terapi obat tidak efektif. ACE
inhibitor telah terbukti dapat memperpanjang usia hidup pada pasien dengan gagal jantung atau
disfungsi ventrikel kiri. Selain itu, ACE inhibitor dapat mempertahankan fungsi ginjal pada

pasien dengan diabetes dan pasien dengan insufisiensi ginjal. Keakraban dengan nama dan
mekanisme kerja agen antihipertensi yang umum digunakan adalah wajib untuk anestesi.
Tabel 3. Agen antihipertensi oral
Kategori
Diuretik

Golongan
Thiazide-type

Potassium-sparing

Loop

Symphatolytics

Beta blockers

Alpha blockers

Alpha dan beta blockers


Central 2-agonists

Postganglionic blocker

Obat
Chlorothiazide
Chlorthalidone
Hydrochlorothiazide
Indapamide
Metolazone
Spironolactone
Triamterene
Amiloride
Bumetanide
Asam ethacrynic
Furosemide
Torasemide
Acebutolol
Atenolol
Betaxolol
Bisoprolol
Carteolol
Metoprolol
Nadolol
Penbutolol
Timolol
1
Doxazosin
Terazosin
1+2
Phenoxybenzamine
Labetalol
Carvedilol
Clonidine
Guanabenz
Guanfacine
Methyldopa
Guanethidine
Reserpine

Vasodilators

Calcium
channel
Benzothiazepine

blockers Diltiazem

Phenylalkylamines

Verapamil

Dihydropyridines

Amlodipine
Felodipine
Isradipine
Nicardipine
Nifedipine
Nisoldipine
Benazepril
Captopril
Enalapril
Fosinopril
Lisinopril
Moexipril
Perindropil
Quinapril
Ramipril
Trandropil
Candesartan
Eprosartan
Irbesartan
Losartan
Telmisartan
Valsartan
Hydralazine
Minoxidil

ACE inhibitors

Angiotensin-reseptor antagonists

Direct vasodilators
.
2.2. Anestesi pada Pasien Hipertensi

2.2.1. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Pasien Hipertensi


Sebuah pertanyaan yang sering muncul dalam praktek anestesi adalah derajat hipertensi
preoperasi yang dapat diterima pada pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif.Kecuali untuk
pasien yang dikontrol secara optimal, kebanyakan pasien hipertensi masuk ke ruang operasi
dengan beberapa derajat hipertensi.Meskipun padasaat preoperatif pasien memiliki hipertensi
sedang (tekanan<diastolik 90-110 mm Hg) namun hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya

komplikasi pasca operasi.Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pasien hipertensi yang tidak
diobati atau tidak terkontrol lebih cenderung untuk mengalami episode iskemia intraoperatif
infark, aritmia, atau hipertensi, dan hipotensi.Penyesuaian intrabedah selama anestesi serta
penggunaan obat vasoaktif diharapkan dapat mengurangi insiden komplikasi postoperasi yang
disebabkan preoperatif tidak memadai untuk mengontrol hipertensi.
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani
prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensi

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk


prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan

penyakit, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya.Penilaian
status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan
yang sebenarnya ataukah suatu hipovolemia relatif (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan
vasodilator).Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia
dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia. Untuk
evaluasi jantung, EKG dan rontgen toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat
menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya
diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal.Jika ditemukan
ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu

diperhatikan.Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya
retinopati hipertensi perlu dicatat.Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi
kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme
arteri dan penyakit ginjal.
Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya bisa dilakukan
ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak selalu layak atau selalu diinginkan
karena gangguan autoregulasi serebral.Penurunan tekanan darah yang berlebihan dapat
mengganggu perfusi serebral. Selain itu, keputusan apakah akan menunda atau melanjutkan
dengan intervensi bedah harus bersifat individual, tergantung pada beratnya elevasi tekanan
darah sebelum operasi, kemungkinan iskemi miokard, disfungsiventrikel atau komplikasi
vaskularisasi serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan besar yang disebabkan
operasi di awal jantung atau afterload yang diperbolehkan). Dalam banyak kasus, hipertensi saat
preoperative terjadi karena ketidakpatuhan pasien dengan pola obat yang diberikan.Dengan
sedikit pengecualian, antihipertensi harus dilanjutkan sampai operasi. Beberapa dokter
mempertahankan pemberian ACE inhibitor di pagi hari sebelum operasi karena hubungannya
dengan peningkatan insiden hipotensi intraoperatif.ACE inhibitor diketahui dapat mencegah
terjadinya risiko hipertensi perioperatif dan mampu mencukupi kebutuhan antihipertensi
parenteral. Operasi pada pasien dengan tekanan diastolik preoperatif lebih besar dari110 mmHg,
terutama pada pasien yang telah diketahui pasti mengalami kerusakan organ akhir maka operasi
harus ditunda sampai tekanan darah lebih terkontrol selama beberapa hari.
2.2.2. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anesthesia

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestesi

Mengurangi mual-muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi reflek yang membahayakan


Premedikasi bertujuan mengurangi kecemasan pra operasi dan sangat dibutuhkan pada

pasien hipertensi.Preoperatif hipertensi ringan hingga menengah sering sembuh setelah


pemberian agen anxiolytic, seperti midazolam.pemberian antihipertensi preoperatif harus
dilanjutkan sesuai jadwal dan dapat diberikan dengan sedikit tegukan air. Seperti disebutkan
sebelumnya, beberapa dokter melanjutkan pemberian ACE inhibitor karena diketahui dapat
mencegah menurunkan tekanan darah intraoperatif.Pemberian 2adrenergik agonis sentral dapat
dijadikan sebagai tambahan yang berguna untuk premedikasi penderita hipertensi, pemberian
sedasi tambahan klonidine dosis 0,2 mgdapat mengurangi penggunaan obat anestesi intraoperatif
dan mengurangi terjadinya hipertensi perioperative. Sayangnya, pemerian klonidine selama
selain dapat menimbulkan hipotensi tapi juga menyebabkan terjadinya bradikardi selama
operatisi.

2.3. Manajemen Intraoperatif


2.3.1. Objektif

Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah menjaga
kestabilan tekanan darah pasien.Pasien batas akhir hipertensi dapat diobati seperti pasien dengan
tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol
telah terjadi perubahan autoregulasi aliran darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi
mempertahankankan aliran darah otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien dengan
hipertensi yang lama harus dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner dan
hipertrofi

jantung,sehingga

peningkatan

tekanan

darah

yang

berlebihan

dapat

dihindari.Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan takikardia, dapat memicu terjadinya


iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan keduanya.Tekanan darah arteri umumnya harus
dijaga dalam 10-20% dari tingkat pra operasi.Jika hipertensi terjadi sebelum operasi dimana
tekanan darah lebih dari 180/120 mmHg, maka tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam
batas normal, yaitu 150-140/90-80 mm Hg.

2.3.2. Pemantauan
Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan intraoperatif
khusus.Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan pada pasien dengan tekanan
darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur pembedahan utama yang terkait dengan
perubahan yang cepat atau ditandai dengan preload jantung atau afterload.Pemantauan
elektrokardiografibertujuan untuk mengetahui dengan cepat tanda-tanda iskemia.Produksi urin
harus dipantau melalui kateter urin terutama pada pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani
tindakan dan diharapkan dapat bertahan lebih dari 2 jam.Selama pemantauan hemodinamik
invasive dilakukan, pemenuhan kebutuhan ventrikel sering berkurang terutama pada pasien
dengan hipertrofi ventrikel.

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah


meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu tinggi. Mempertahankan
kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan
pengontrolan hipertensi pada periode preoperative. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan
pergeseran tekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini
akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah
diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan mengubah
kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dalam mengukur autoregulasi serebral
dapat digunakan beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang
dianjurkan untuk penderita hipertensi.

Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama dengan yang
terjadi pada serebral.
Anestesiaakan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan

memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal
atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O
+ pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia.
Anestesia regional dapat dipilih sebagai teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anestesia
regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien
dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang

diberikan,

maka

penyebab

yang

lain

harus

dipertimbangkan

seperti

phaeochromacytoma,carcinoid syndrome dan tyroid storm.

2.3.3. Induksi Anestesi


Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan hemodinamik
pada pasien hipertensi.Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering
menimbulkan hipertensi.Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi perifer terutama pada keadaan
kekurangan volume intravaskuler sehingga pemberian cairan sebelumnya penting dilakukan
untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi
akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang
sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi
endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan iskemia miokard.Angka kejadian hipertensi
akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%.Durasi laringoskopi
dibawah 15 detik dapat membantu meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa
teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari
terjadinya hipertensi.

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit.

Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb,


sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).

Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.

Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3


mg, atau labetatol 5-20 mg).

Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.

2.3.4. Pemilihan obat anestesi


A. Obat induksi
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum jelas bagi agen
hipertensi.Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan darah yang tajam justru
lebih

sering

terjadi

pada

pasien

hipertensi

dibandingkan

dengan

pasien

normotensi.Barbiturat, benzodiazepin, propofol, dan etomidare adalah induksi anestesi yang


paling aman diberikan pada pasien hipertensi.Pemberian ketamin merupakan kontraindikasi
untuk tindakan operasi karena dapat memicu terjadinya hipertensi namun hal ini dapat
dihilangkan dengan pemberian dosis kecil bersama dengan agen lainnya, terutama
benzodiazepin atau propofol.

B. Rumatan
Anestesi bisa aman dilanjutkan dengan agen volatile (tunggal atau dengan oksida
nitrous), suatu teknik seimbang (oksida opioid + nitrous + relaksan otot), atau sama sekali
teknik intravena. Terlepas dari teknik pengobatan primer, penambahan agen volatile atau
vasodilator intravena umumnya memungkinkan kontrol lebih memuaskan tekanan darah
intraoperatif.vasodilatasi Depresi dan miokard yang relatif cepat dan reversibel yang
diberikan oleh agen volatile dapat berpengaruhterhadap tekanan darah arteri.Oleh sebab itu,
beberapa dokter percaya bahwa pemberian opioid dan sufentanil dapat menekansaraf otonom
serta mengontrol tekanan darah.
C. Pelumpuh otot

Dengan beberapa pengecualian seperti pankuronium, setiap pelumpuh otot dapat


digunakan secara rutin.Pankuronium memiliki efek memblokade syaraf vagal dan
melepaskan katekolamin sehingga dapat memperburuk keadaan pasien hipertensi yang tidak
terkontrol.Ketika pankuronium diberikan perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit akan terjadi
peningkatan detak jantung serta naiknya tekanan darah. Tetapi pankuronium berguna utnuk
mengimbangi kekuatan vagal berlebihan yang disebabkan oleh manipulasi opioid atau
bedah.Pemberian obat hipotensi seperti tubocurarine, merocurine, acracurium, atau mungkin
mivacurium dapat dijadikan pilihan untuk pasien hipertensi.

D. Vasopressors
Penderita hipertensi dapat menampilkan respon berlebihan untuk kedua ranjaucatechola endogen (dari inkubasi atau stimulasi bedah) dan agonis simpatik eksogen
diberikan.Jika seorang vasopresor diperlukan untuk mengobati hipotensi berlebihan, dosis
kecil agen langsung penuaan seperti fenilefrin (25-50 g) mungkin lebih baik untuk agen
langsung.Namun demikian, dosis kecil efedrin (5-10 mg) lebih tepat bila tinggi nada vagal.
Kesabaran sympatholytics diambil sebelum operasi mungkin menunjukkan respon jatuh ke
vasopressors, terutama efedrin.

2.4. Hipertensi Intraoperatif


Hipertensi intraoperatif yang tidak menanggapi peningkatan kedalaman anestesi
(terutama dengan agen volatile) dapat diobati dengan berbagai agen parenteral menyebabkan
reversible siap seperti kedalaman anestesi yang tidak memadai, hipoksemia, atau hypercapnia

harus selalu dikecualikan sebelum memulai terapi antihipertensi. Pemilihan agen hipotensi
tergantung pada ketajaman, keparahan, dan menyebabkan hipertensi, fungsi dasar ventrikel,
tingkat hem, dan adanya penyakit paru-paru bronchospastic-adrenergik blokade sendiri atau
sebagai dukungan-plement merupakan pilihan yang baik untuk pasien dengan fungsi ventrikel
yang baik dan detak jantung tinggi tetapi kontraindikasi pada pasien dengan penyakit
bronchospastic. Nicardipine mungkin lebih baik untuk pasien dengan penyakit bronchospastic.
Reflex

tachycardia

berikut

nifedipin

sublingual

telah

associted

dengan

infark

ischernia.Nitroprusside tetap menjadi agen yang paling cepat dan efektif untuk pengobatan
intraoperarive hipertensi sedang sampai parah.Nitrogliserin mungkin kurang efektif tetapi juga
berguna dalam mengobati atau mencegah iskemia miokard.Fenoldopam juga merupakan agen
yang berguna dan dapat meningkatkan atau mempertahankan fungsi ginjal. Hydralazine
berkelanjutan menyediakan kontrol tekanan darah namun memiliki onset tertunda dan sering
dikaitkan dengan takikardi refleks. Yang terakhir ini tidak terlihat dengan labetalol karena
kombinasi blockade dan adrenergik.

2.5. Manajemen Postoperatif


Hipertensi pascaoperasiharus diantisipasi terutama pada pasien dengan hipertensi kurang
terkontrol.Pemantauan tekanan darah harus terus dilanjutkan baik di ruang pemulihan dan
periode pasca operasi dini.Iskemia miokard dan gagal jantung kongestif dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan darah sehingga terjadi hematoma dan luka pada garis jahitan
gangguan pembuluh darah.
Hipertensi pada periode pemulihan sering multi-faktorial dan ditingkatkan dengan
gangguan pernapasan, rasa sakit, volume overload, atau distensi kandung kemih.Masalah

tambahan harus diatasi dan pemberian obat antihipertensi parenteral dapat dilakukan jika
perlu.Pemberian nicardipine melalui intravena berguna dalam mengontrol tekanan darah
terutama jika dicurigai iskemia miokard dan bronkospasme.Ketika pasien kembali mendapatkan
asupan oral, maka pengobatan preoperatif harus ulang diulang kembali.

BAB III
KESIMPULAN
1. Hipertensi adalah penyebab utama kematian dan cacat dalam sebagian besar masyarakat
barat dan kelainan yang paling umum terjadi pada pasien sebelum operasi pembedahan
dengan prevalensi keseluruhan 20-25%. Hipertensi tidak terkontrol yang dibiarkan lama
akan mempercepat terjadinya aterosklerosis dan kerusakan organ. Hipertensi merupakan
faktor resiko utama untuk penyakit jantung, otak, ginjal dan pembuluh darah. Semakin
meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan
besar juga akan bertambah. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan hipertensi antara
lain adalah genetik, geografi dan lingkungan, janin, natrium, sistem renin-angiotensin,
hiperaktivitas simpatik, resistensi insulin atau hiperinsulinemia, dan disfungsi sel endotel.
2. Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan
tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur, jenis kelamin
dan ras.Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) pada pertemuan mengenai
Pencegahan, Deteksi, Evaluasi dan Penatalaksanaan Hipertensi tahun 2003, klasifikasi
hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2.
3. Anestesi pada pasien hipertensi dilakukan dengan penilaian preoperatif terlebih dahulu
yaitu mengenai jenis pendekatan medikal yang diterapkan, ada tidaknya kerusakan target
organ, status volume cairan tubuh, dan kelayakan penderita untuk dilakukan teknik
hipotensi. Pada intraoperatif yang terpenting adalah mempertahankan kestabilan
hemodinamik. Pemantauan tekanan darah harus terus dilanjutkan baik di ruang
pemulihan dan periode pasca operasi dini. Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk
pasien dengan hipertensi adalah menjaga kestabilan tekanan darah pasien.
4. Dalam pemilihan obat anestesi bagi pasien hipertensi, barbiturat, benzodiazepin,
propofol, dan etomidare adalah induksi anestesi yang paling aman. Anestesi rumatannya

adalah pemberian opiopd dan sufentanil yang dapat menekan saraf otonom serta
mengontrol tekanan darah. Sebagai pelumpuh otot, pemberian obat hipotensi seperti
tubocurarine, merocurine, acracurium, atau mungkin mivacurium dapat dijadikan pilihan
untuk pasien hipertensi.

DAFTAR PUSTAKA
John, F Butterworth , etc . 2013. Morgan &Mikhails : Clinical Anesthesiology Fifth edition. A
LANGE medical book
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et al. The seventh
report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and
treatment of highblood pressure: The JNC 7 report. JAMA. 2003;289(19):2560-72.
Sherwood , Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia .EGC : Jakarta
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi :Konsep Klinis Proses- proses Penyakit, edisi 6, Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai