Anda di halaman 1dari 23

TUGAS KMB III

DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN


TRAUMA MEDULLA SPINALIS

DISUSUN OLEH TINGKAT II B :


HASRIANI HARIFIN
HIDAYANTI
FATIMAH SYAM
NI MADE PRATIWI
RAHMITA SARI
UTAMI NUR ATIKAH

AKADEMI KEPERAWATAN MAPPA OUDANG MAKASSAR


2015 - 2016

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

I.

Konsep Medis
A. Definisi
Trauma pada tulang belakang adalah cedera mengenai
servikalis, vertebralis, dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang
mengenai tulang belakang. Chairuddin Rasjad (1998) menegaskan
bahwa semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma
yang hebat, sehingga sejak awal pertolongan pertama dan
transportasi ke rumah sakit penderita harus diperlakukan secar hatihati. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak
pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang
sendiri, dan sumsum tulang belakang (spinal cord).
B. Etiologi
1. Kecelakaan di jalan raya
2. Olahraga
3. Menyelam pada air yang dangkal
4. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis
seperti spondiolosis servikal dengan mielopati yang menghasilkan
saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap
medula spinalis dan akar, mielitis akibat proses inflamasi infeksi
maupun non-infeksi, osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur
kompresi pada vertebra, siringmielia, tumor infiltrasi maupun
kompresi, dan penyakit vaskular.
C. Anatomi dan Fisiologi
Medulla spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu
yang keluar dari hemisfer serebral dan bertugas sebagai
penghubung otak dan saraf perifer. Panjangnya rata-rata 45 cm dan
menipis pada jari-jari. Medulla spinalis yang memanjang dari
foramen magnum di dasar tengkorak sampai bagian atas lumbal
kedua adalah akar saraf. Akar saraf yang memanjang melebihi konus
dan menyerupai ekor kuda disebut kauda ekuina.

Medulla spianlis tersusun dari 33 segmen yaitu 8 segemen


servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen sakral, dan 5 segmen
koksigeus. Medulla spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal,
masing-masing segmen mempunyai satu percabangan untuk setiap
sisi. Medulla spinalis terdiri atas substansia grisea dan substansia
alba. Di dalam substansia grisea terletak di daerah eskternal dan
substansia alba pada bagian internal. Pada medula spinalis,
substansia grisea berada di bagian tengah, sedangkan substansia
alba mengelilingi substansia grisea.
Medulla spinalis dikelilingi oleh meningen, duramater, arakhnoid,
dan piamater. Di antara duramater dan kanalis vertebralis terdapat
ruang epidural. Medulla spinalis berbentuk struktur H dengan badan
sel saraf (substansia grisea). Bagian bawah yang berbentuk H
meluas dari bagian atas dan bersamaan menuju bagian tanduk
anterior (anterior horn). Tanduk-tanduk ini merupakan sel-sel yang
mempunyai serabut-serabut, yang membentuk ujung akar anterior
(motorik) dan berfungsi untuk aktivitas yang didasari dan aktivitas
dari oto-otot yang berhubungan dengan medulla spinalis. Bagian
posterior yang tipis mengandung sel-sel berupa serabut-serabut
yang masuk ke ujung akar posterior dan kemudian bertindak sebagai
relay station dalam jaras atau sensorik.
Bagian torakal medulla spinalis adalah proyeksi dari masingmasing sisi di bagian crossbar H substansia grisea yang disebut
tanduk lateral (lateral horn) tanduk lateral mengandung sel-sel yang
memberikan reaksi serabut autonom bagain simpatis. Serabutserabut ini meninggalkan medulla spinalis yang esra dan terbagi
menjadi tiga kelompok serabut yang disebut traktus atau jaras.
Traktus posterior menyalurkan sensasi, persepsi terhadap sentuhan,
tekanan, getaran, posisi, dan gerakan pasif bagian-bagian tubuh.
Sebelum mencapai daerah korteks serebri, serabut-serabut ini
menyilang menuju ke daerah yang berlawanan pada medulla
oblongata.

D. Patofisiologi
Cedera medulla spinalis kebanyakan terjadi sebagai akibat
cedera pada vertebra. Medulla spinalis yang mengalami cedera
biasanya berhubungan dengan akselerasi, deselerasi, atau kelainan
yang diakibatkan oleh berbagai tekanan yang mengenai tulang

belakang. Tekanan cedera pada medulla spianlis mengalami


kompresi, atau merobek jaringan. Lokasi cedera umumnya mengenai
C1 dan C2, C4, C6, dan T11 atau L2.
Fleksi rotasi, dislokasi, dislokasi fraktur, umumnya mengtenai
servikal pada C5 dan C6. Jika mengenai spian torakolumbar, terjadi
pada T12 l1. Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada
daerah tulang belakang bagian bawah. Bentuk cedera ini mengenai
ligamen, fraktur vertebra, kerusakan pembuluh darah, dan
mengakibatkan iskemia pada medulla spinalis.
Hiperekstensi. Jenis cedera ini umumnya mengenai klien dengan
usia dewasa yang memiliki perubahan degenratif vertebra, usia
muda yang mendapatkan kecelakaan lalu lintas saat menegendarai
kendaraan, dan usia muda yang mengalami cedera leher saat
menyelam. Jenis cedera ini menyebabkan medula spianlis
bertentangan dengan ligamentum flava dan mengakibatkan
kontusiokolom dan dislokasi vertebrata. Transeksi lengkap dari
medulla spianlis dapat mengikuti cedera hiperekstensi. Lesi lengkap
dari medulla spinalis mengakibatkan kehilangan pergerakan volunter
menurun pada daerah lesi dan kehilangan fungsi refleks pada isolasi
bagian medulla spinalis.
Kompresi. Cedera kompresi sering disebabkann karena jatuh
atau melompat dari ketinggian, dengan posisi kaki atau bokong
(duduk). Tekanan mengakibatkjan fraktur vertebra dan menekan
medulla spianlis. Diskus dan fragmen tulang dapat masuk ke medulla
spinalis. Lumbal dan toraks vertebra umumnya akan mengalami
cedera serta menyebabkan edema dan perdarahan. Edema pada
medulla spianlis mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.
E. Manifestasi Klinis

Jika medulla spinalis mengalami cedera, maka saraf saraf


yang berada pada daerah yang mengalami cedera dan yang yang di
bawahnya akan mengalami fungsi, yang menyebabkan hilangnya
kontrol otot dan juga hilangnya sensasi.
Klasifikasi berdasar gangguan fungsi dibawah lesi / cidera dibagi :
1. Cidera complete : kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunter
secara total
2. Cidera incomplete : kehilangan sensasi dan fungsi motorik
volunter secara sebagian
Hilangnya kontrol sebagian menyebabkan timbulnya kelemahan
pada otot sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya
menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot mengalami kelumpuhan,
maka otot tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga
menjadi lemas. Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat
berkembang menjadi spasme otot involunter dan berlangsung lama.
Gejala-gejala dibawah ini dapat muncul sebagian atau semuanya
tergantung lokasi terjadinya cedera :
1. Hilangnya fungsi gerak
2. Hilangnya sensasi untuk merasakan panas, dingin dan sentuhan
3. Hilangnya kontrol kandung kemih
4. Terjadinya spasme otot
5. Penurunan fungsi, sensitifitas dan fertilitas seksual
6. Nyeri hebat
7. Sulit untuk bernafas, batuk, mengeluarkan dahak / slem dari paru.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Sinar X spinal, menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur,
dislokasi), untUk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau
operasi.
2. CT Scan Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun
struktural.

3. Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu


diskus intervertebralis dan ligamen flavum serta lesi dalam
sumsum tulang belakang.
4. Mielografi. Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal
vertebral) jika faktor patologisnya tidak jelas atau dicurigai
adannya dilusi pada ruang sub arakhnoid medulla spinalis
(biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
5. Foto rontgen thoraks, memperlihatkan keadan paru (contoh :
perubahan pada diafragma, atelektasis).
6. Serum kimia yaitu adanya hiperglikemia atau hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan
hematokrit
7. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi.
8. Urodinamik : proses pengosongan bladder.
G. Komplikasi
1. Neurogenik shock
2. Hipoksia
3. Gangguan paru-paru
4. Instabilitas spinal
5. Orthostatic Hipotensi
6. Ileus Paralitik
7. Infeksi saluran kemih
8. Kontraktur
9. Dekubitus
10. Inkontinensia blader
11. Konstipasi
H. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang
masih ada, memaksimlkan pemulihan neurologis, tindakan atas
cidera lain, yang menyertai, mencegah, serta mengobati
komplikasi dan kerusakan neural lebih lanjut. Reabduksi atas
subluksasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulanged). Untuk mendekompresi koral spiral dan tindakan imobilisasi
tulang belakang untuk melidungi koral spiral.
2. Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi
internal, atau debrideben luka terbuka.

3. Fikasi internal elekif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan


tulang belakang, cidera ligaemn tanpa tanpa fraktur, deformitas
tulang belakang progresif, cidera yang tak dapat direbduksi, dan
fraktur non-union.
4. Terapi steroid, nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran
darah koral spiral. Dosis tertinggi metil prednisolon/bolus adalah
3mg/kgBB diikuti 5,4 mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya. Bila
diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki pemulihan
neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki
pemulihan setelah cedera koral spiral.
5. Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan
fungsi sensorik, motorik, dan penting untuk melacak deficit yang
progresif atau asenden.
6. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi,
dan melacak keadaan dekompensasi.
7. Pengelolaan cedera stabil tanpa deficit neurologis seperti angulasi
atau baji dari bahan luas tulang belakang, fraktr psoses
transverses, spinosus, dan lainnya, tindakannya simptomatis
(istirahat baring hingga nyeri berkurang), imobilisasi dengan
fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap.
8. Cedera tak stabil disertai deficit neurologis. Bila terjadi
pergeseran, fraktur memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah
baik harus dipertahankan.
a. Metode reabduksi antara lain :
1. Transaksi memakai sepit (tang) metal yang dipasang pada
tengkorak. Beban 20 kg tergantung dari tingkat ruas tulang
belakang, ulai sekitar 2,5 kg pada fraktur C1.
2. Manipulasi dengan anestesi umum.
3. Reabduksi terbuka melalui operasi
b. Metode imobilisasi antara lain :
1. Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester.
2. ransaksi tengkorak perlu beban sedang untuk
memperahankan cedera yang sudah direabduksi.
3. Plester paris dan splin eksternal lain.
4. Operasi.

9. Cedera stabil disertai deficit neurologis. Bila fraktur stabil,


kerusakan neurologis disebabkan oleh:
a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera
menyebabkan trauma langsung terhadap koral spiral atau
kerusakan vascular.
b. Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit
sebelumnya seperti spondiliosis servikal.
c. Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spiral.
10. Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan
neurologis yang tampak pada saat pertama kali diperiksa :
a. Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif
b. Cedera di daerah servikal, leher di mobilisasi dengan kolar
atau sepit (kapiler) dan di beri metal prednisolon.
c. Pemeriksaan penunjang MRI.
d. Cedera neurologis tak lengkap konservatif.
e. Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis
servikal, ttraksi tengkorak, dan metal prednisolon.
f. Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya.
g. Bila tak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan
memburuk maka lakukan mielografi.
h. Cedera tulang tak stabil.
i. Bila lesinya total, dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi.
Melindungi imobiisasi seperti penambahan perawatan
paraplegia.
j. Bila defisit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti
imobilisasi untuk sesuai jenis cederanya.
k. Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spiral dilakukan
pada saat yang sama.
l. Cedera yang menyertai dan komplikasi:
1. Cedera mayor berupa cedera kepala atau otak, toraks,
berhubungan dengan ominal, dan vascular.
2. Cedera berat yang dapat menyebabkan kematian, aspirasi,
dan syok.

II. Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan dan kelumpuhan eksterimtas, inkontinensia
defekasi dan berkemih,nyeri tekan otot, hiperestesi tepat di atas
daerah trauma, dan mengalami deformitas pada daerah trauma.
2. Riwayat penyakit sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat
dari kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan
industri, dan kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau
bangunan, luka tusuk luka tembak, trauma karena tali pengaman
(Fraktur Chance), dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang
didapat, meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari
paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas yang total dan
melemah/menghilangnya refleks profunda). Ini merupakan gejala
awal dari tahp syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari
sampai beberapa minggu, ileus paralitik, retensi urine, dan
hilangnya refleks-refleks.
3. Riwayat penyakit dahulu
Penkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera tulang belakng sebelumnya, diabetes

melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat


antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adkitif, dan konsumsi
alkohol berlebihan.
4. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan diabetes melitus.
5. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluaraga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image). Adanya perubahan berupa
paralisis anggota gerak bawah memberikan manifestasi yang
berbeda pada setiap klien yang mengalami cedera tulang
belakang.
Cedera tulang belakang memerlukan biaya untuk pemeriksaan,
pengobatan, dan perawatan dapat mengacaukan keuangan
keluarga sehingga faktor biaya ini dapat memengaruhi stabilitas
emosi sertapikiran klien dan keluarga. Perawat juga memasukkan
pengakjian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan
neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Persfektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah
keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam
hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan
yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di
dalam sistem dukungan individu.
6. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara persistem (B1-B6)


dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan
B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhankeluhan dari klien.
a. Keadaan Umum
Pada keadaan cedera tulang belakang umumnya tidak
mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada
tanda-tanda vital, meliputi bradikardi, dan hipotensi.
b. B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernafasan bergantung pada gradasi
blok saraf parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otot-otot
pernafasan) dan perubahan karena adanya kerusakan jalur
simpatetik desending akibat trauma pada tulang belakang
sehingga mengalami terputus jaringan saraf di medulla spinalis.
Pada beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang pada
daerah servikal dan torakal hasil dari pemeriksaan fisik dari
sistem ini akan didapatkan hal-hal sebagai berikut.
1. Inspeksi Umum. Didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak napas, pengunaan otot bantu napas,
dan peningktan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi
interkostalis, pengembangan paru tidak simetris. Eskpansi
dada : dinilai penuh/tidak penuh, dan kesimetrisannnya.
Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan adanya atelektasis,
lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
dan pneumothoraks. Pada observasi ekspansi dada juga
perlu dinilai : retraksi dari otot-otot interkostal, substernal,
pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika
otot-otot interkostal tidak amapu menggerakkkan dinding
dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.
2. Palpasi. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang
lain akan didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga
thoraks.

3. Perkusi. Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan


melibatkan trauma pada thoraks/hemathoraks.
4. Auskultasi. Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi,
stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi
sekret dari kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien cedera tulang belakang dengan
penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada klien cedera tulang belakang dengan fraktur dislokasi
vertebra lumbal dan protrusi diskus intervertebralis L-5 dan S-1
pemeriksaan pada thoraks didapatkan taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
c. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan
(syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien cedera tulang
belakang sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular
klien cedera tulang belakang pada beberapa keadaan dapat
ditemukan tekanan darah menurun, nadi bradikardia, berdebardebar, pusing saat melakukan perubahan posisi, bradikardia
ekstermitas dingin atau pucat. Nadi baradikardia merupakan
tanda perubahan perfusi jaringan otak. Kulit pucat menandakan
adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tandatanda awal dari suatu renjatan. Pada beberapa keadaan lain
akibat trauma kepala akan merangsang pelepasan hormon
antidieuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk
melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh
tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi
elektrolit meningkat sehingga memberikan risiko terjadinya
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem
kardiovaskular.
d. B3 (Brain)

Pengkajian B3 (Brain) meliputi tingkat kesadaran, pengkajian


fungsi serebral, dan pengkajian saraf kranial.
1. Pengkajian Tingkat Kesadaran
Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
peringkat perubahan daalm kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera tulang
belakang biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor,
semikomatosa sampai koma.
2. Pengkajian fungsi serebral
Status mental : observasi penampilan, tingkah laku, nilai
gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas motorik klien. Pada
klien yang telah lama menderita cedera tulang belakang
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
3. Pemeriksaan Saraf Kranial
Pengkajian ini meliputi pengkajian saraf kranial I XII
a). Saraf I. Biasanya pada klien cedera tulang belakang tidak
ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
b). Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
c). Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak mengalami gangguan
mengangkat kelopak mata, pupil isokori.
d). Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan
paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanay tidak
ada kelainan.
e). Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal,
wajah simetris.
f). Saraf VIII. Tidak ditemukan adanay tuli konduktif dan tuli
persepsi.
g). Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
h). Saraf XI. Tidaka ada atrofi otot sternokleidomastoideus
dan trapezius. Adanya usaha dari klien untuk melakukan
fleksi leher dan kaku kuduk (rigiditas nukal).
i). Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi. Indera pengecap normal.
4. Pengkajian Sistem Motorik

Inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas


bawah, baik bersifat paralisis, paraplegia, maupun
quadriplegia. Trauam pada kauda ekuina mengalami
paralisis layu dari otot di bawah lutut yang bersifat menetap.
Pada klien dengan cedera paraplegia yang lama sering
didapatkan dekubitus pada bokong akibat penekanan
setempat tulang sekunder dari kurangnya mobilisasi klien
yang mengalami paraplegia.
Tonus otot. Didapatkan menurun sampai hilang.
Kekuatan otot. Pada penilaian dengan menggunakan
tingkat kekuatan otot didapatkan tingkat 0 pada

ekstermitas bawah.
Keseimbangan dan koordinasi. Didapatkan mengalami

gangguan karena kelumpuhan ekstermitas bawah.


5. Pengkajian Refleks
Pemeriksaan refleks dalam, refleks achilles menghilang, dan
refleks patela biasanya melemah karena kelemahan pada
otot hamstring. Pemeriksaan refleks patologis, pada fsae
akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah beberapa
hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan
refleks patologis.
6. Pengkajian Sistem Sensorik
Gangguan sensibilitas pada klien cedera medulla spinalis
sesuai dengan yang mengalami gangguan. Trauma pada
kauda ekuian klien mengalami hilangnya sensibilitas secara
menetap pada kedua daerah bokong perineum, dan anus.
e. B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya
perfusi pada ginjal.
Bila terjadi lesi pada kauda ekuina (kandung kemih
dikontrololeh pusat S2-S4) atau bawah pusat spinal kandung
kemih akan menyebabkan interupsi hubungan antara kandung

kemih dan pusat spinal. Penggosongan kandung kemih seca


periodik bergantung pada refleks lokal dinding kandung kemih.
Pada keadaan ini, pengosongan dilakukan oleh aksi otot-otot
detrusor dan harus diawali dengan kompresi secara manual
pada dinding perut atau dengan meregankan perut.
Pengosongan kandung kemih yang bersifat otomatis seperti ini
disebut kandung kemih otonom.
Trauma pada kauda ekuina klien mengalamin hilangnya refleks
kandung kemih yang bersifat sementara dan klien mungkin
mengalami inkontensia urine, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal
karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Selama periode
ini, dilakaukan katerisasi interniten dengan teknik steril.
f. B5 (Bowel)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan
adanya ileus paralitik, di mana klinis didapatkan hilangnya
bising usus, kembung, dan defekasi tidak ada. Hal ini
merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang akan
berlangsung beberapa hari sampai bebrapa minggu. Pada
pemeriksaan refleks bulbokavernosa didapatkan positif,
menandakan adanya syok spinal yang jelas pada klien dengan
cedera medula spinalis. Pemenuhan nutrisi berkurang karena
adanya mual dan asupan nutrisi yang kurang. Pemeriksaan
rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya pada
mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya
dehidrasi.
g. B6 (Bone)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada
ketinggian lesi saraf yang terkena trauma.
Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental
dari saraf yang terkena. Disfungsi motorik paling umum adalah
kelemahan dan kelumpuhan pada seluruh ekstremitas bawah.
Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya

perubahan warna kulit : warna kebiruan menunjukkan adanya


sianosis (ujung kuku, ekstermitas, telinga, hidung, bibir, dan
membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa
dapat berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin atau
syok. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensori, danmudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar X
b. CT Scan
c. MRI
d. Mielografi
e. Foto rontgen thoraks
f. Serum kimia
g. GDA
h. Urodinamik

B. Penyimpangan KDM

C. Diagnosa Keperawatan

1. Risiko tinggi terhadap disrefleksia berhubungan dengan


perubahan fungsi saraf (cedera medula spinalis pada T6 dan di
atasnya).
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular.
3. Risiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah
baring lama.
D. Intervensi
Risiko tinggi terhadap disrefleksia berhubungan dengan perubahan
fungsi saraf (cedera medula spinalis pada T6 dan di atasnya).
Tujuan : klien dan keluarga dapat mencegah atau menanggapi awal
tanda - tanda atau gejala dari disrefleksia.
Kriteria hasil : Mengenal tanda - tanda atau gejala - gejala sindrom,
mengidentifikasi tindakan pencegahan/korektif, dan tidak mengalami
episode disrefleksia.
Intervensi
Identifikasi/monitor faktor faktor

Rasional
Distensi visceral biasanya

risiko/faktor pencetus, seperti

disebabkan oleh disrefleksia

distensi kandung kemih, daerah

autonom yang dianggap suatu

kulit/jaringan yang tertekan,

masalah gawat. Pengobatan

posisi duduk yang lama, suhu

pada fase akut harus dilakukan

ekstrem.

segera (untuk mengurangi


stimulasi, mengobati gejala gejala yang tidak pernah hilang)
kemudian intervensi dan
tindakan harus diarahkan pada

Observasi adanya tanda -

upaya pencegahan.
Deteksi dini dan itervensi segera

tanda /gejala - gejala sindrom.

sangat penting untuk mencegah

Seperti perubahan tanda tanda

masalah yang mungkin muncul

vital, hipertensi paroksismal,

atau komplikasi yang serius

takikardi atau brakikardi, respons

autonom, berkeringat rasa terbakar


dibawah daerah trauma, mengigil,
hidung tersumbat, sakit kepala
yang menyebar. Catat hal - hal
yang berhubungan dengan
keluhan atau tanda atau gejala
yang berhubungan dengan sakit
dada, pandangan kabur, mual,
rasa metalik, sindrom Horner
Dampingi terus pasien selama

Masa seperti ini sangat potensial

fase seperti ini.

untuk terjadinya komplikasi yang


fatal. Pemantauan/intervensi yang
terus menerus dapat mengurangi

Pantau tekanan darah sesering

kecemasan pasien.
Terapi atau pengurangan terhadap

mungkin (3-5 menit) selama fase

stimulus yang berlebihan dapat

disrefleksia autonomik akut dan

menurunkan tekanan darah yang

kurangi stimulasi. Lanjutkan untuk

cepat mengakibatkan krisis

melakukan pemantauan tekanan

hipotensi, terutama pada pasien

darah setelah gejala - gejala

yang tekanan darahnya rendah.

tersebut reda

Disrefleksia autonom dapat terjadi


terutama jika stimulus tidak

Tinggikan bagian kepala tempat

hilang
Tekanan darah yang rendah

tidur sampai 45 derajat atau

dapat mencegah perdarahan

sampai posisi duduk

intrakranial, kejang atau bahkan


meninggal. Catatan menempatkan
pasien quadriplegia padaposisi
duduk secara otomatis dapat

menurunkan tekanan darah.


Hilangkan stimulus penyebab jika Menghilangkan stimulus yang
memungkinkan, misalnya :

berbahaya yang biasanya

kandung kemih, usus, tekanan

mengakhiri episode masalah dan

kulit (termasuk melepaskan

dapat mencegah disrefleksia

ikatan kaki/baju yang ketat) suhu

autonom yang lebih serius,

ekstrem

contoh : adanya luka bakar


karna sinar matahari, anesthesia
local harus digunakan. Contohnya
pengeluaran feses yang keras
dapat ditunda sampai keadaan
kardiovskuler stabil.

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


neuromuskular.
Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam klien terkondisi dan mampu
melaksanakan aktivitas fisik dengan kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak
terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot, dan klien
menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi
Rasional
Kaji mobilitas yang ada dan
Mengetahui tingkat kemampuan
observasi terhadap peningkatan

klien dalam melakukan aktivitas

kerusakan serta kaji secara teratur


fungsi motorik
Ubah posisi klien tiap 2 jam

Menurunkan risiko terjadinya


iskemia jaringan akibat sirkulasi
darah yang jelek pada daerah

Bantu klien melakukan latihan

yang tertekan
Untuk memelihara fleksibilitas

ROM, perawatan diri sesuai

sendiri sesuai kemampuan

toleransi
Lakukan gerakan pasif pada

Otot volunter akan kehilangan

ekstermitas yang sakit

tonus dan kekuatannya bila tidak


dilatih untuk digerakkan

Risiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah


baring lama.
Tujuan : dalam 2 x 24 jam klien memperhatikan perilaku mampu
mempertahankan keutuhan kulit.
Kriteria hasil : klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka,
mengetahui penyebab, dan cara pencegahan luka, tidak ada tanda tanda kemerahan atau luka, kulit kering.
Intervensi
Rasional
Kaji faktor resiko terjadinya
Faktor yang memengaruhi
gangguan integritas kulit

gangguan integritas kulit adalah


immobilisasi, hilangnya sensasi,

Anjurkan untuk melakukan latihan

inkontinensia bladder / bowel


Meningkatkan aliran darah ke

ROM dan mobilisasi jika mungkin


Kaji keadaan kulit klien setiap 8

semua daerah
Menjegah lebih dini terjadinya

jam
Ubah posisi tiap 2 jam

dekubitus
Daerah yang tekanan akan
menimbulkan hipoksia, perubahan
posisi meningkatkan sirkulasi
darah

E. Evaluasi
1. Dapat mencegah atau menanggapi awal tanda - tanda atau gejala
dari disrefleksia.
2. Mampu melaksanakan aktivitas fisik dengan kemampuannya.
3. Mampu mempertahankan keutuhan kulit.

DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Capernito-Moyet, Lynda Juall. 2009. Nursing Care Plans and
Documentation : Nursing Diagnoses and Collaborative Promblems.
5th-ed. Philadhephia : Wolters Kluwer.
http://medicastore.com/penyakit/675/Cedera_Medula_Spinalis_Akibat_Ke
celakaan.html
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Tarwoto, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai