A. PENDAHULUAN
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang vital dan mempunyai banyak
fungsi seperti memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksik,
mempertahankan keseimbangan: cairan, asam dan basa cairan tubuh, garam-garam
dalam tubuh, mengeluarkan sisa-sisa metabolisme dari protein seperti ureum,
kreatinin, amoniak, serta pembentukan hormon renin dan eritopoetin. Selain fungsi
tersebut, ginjal berfungsi antara lain mengatur tekanan darah, mengatur keadaan
kalsium pada tulang, dan mengatur produksi sel darah merah. Melihat fungsi ginjal
tersebut maka akan berbahaya jika terjadi kelainan atau kerusakan pada ginjal, karena
dapat ,menyebabkan gangguan kesehatan atau bahkan kematian.
Dewasa ini telah banyak ditemukan kelainan-kelainan pada ginjal diantaranya
gagal ginjal, istilah ini digunakan untuk menunjukkan adanya kelainan pada ginjal
karena fungsi menurun. Penurunan fungsi ginjal yang berlangsung secara terus
menerus disebut gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik biasanya cukup lanjut dan
tidak bisa pulih. Adanya penurunan fungsi ginjal ini diketahui dari Test Klirens
Kreatinin (TKK) yang menunjukkan nilai kurang dari 25 ml/menit. Jika nilai TKK
kurang dari 10 ml/menit berarti fungsi ginjal yang tersisa sudah sangat kurang dan
disebut sebagai Gagal Ginjal Terminal (GGT). Pada gagal ginjal terminal sudah tidak
mungkin dilakukan pengobatan konservatif sehingga untuk mempertahankan
kelangsungan hidup, penderita memerlukan terapi pengganti yaitu transplantasi atau
hemodialisis. Penderita gagal ginjal baru merasakan adanya kelainan pada dirinya jika
fungsi ginjal sudah menurun menjadi sekitar 25% bahkan dibawah 10% pada
penderita muda. Disamping morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan terus
meningkat, gagal ginjal terminal dapat menjadi beban berat bagi penderita maupun
keluarga, dan sering pada kasus ini terjadi kematian. Hal ini terjadi karena berbagai
macam faktor, terutama karena ketidaktahuan penderita sehingga penderita sampai di
Rumah Sakit dalam keadaan yang sangat parah serta faktor ekonomi menyebabkan
penderita pasrah pada keadaan.
Salah satu penyebab utama terjadinya gagal ginjal kronik adalah nefropati
diabetik (ND) akibat dari penyakit Diabetes Melitus yang tidak terkontrol dan
merupakan penyebab kematian terbesar penderita DM. Nefropati diabetik merupakan
komplikasi mikrovaskuler yang sering ditemukan baik pada Diabetes Melitus tipe 1
maupun Diabetes Melitus tipe 2.
B. DEFINISI dan DIAGNOSIS DIABETES MELITUS
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal,
saraf, dan pembuluh darah. Penyakit ini secara klinik sangat bervariasi yang ditandai
dengan intoleransi glukosa, diikuti komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler yang
dapat menyerang seluruh organ dalam tubuh antara lain ginjal.
Diagnosis DM ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan kadar gula darah
jika penderita menunjukkan gejala-gejala klasik seperti bertambahnya rasa haus dan
jumlah volume urin, penurunan berat badan yang tidak dapat diterangkan sebabnya
atau mengantuk, koma, glikosuria, serta ketonuria yang nyata. Pemeriksaan yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena dan untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa bahan darah
kapiler.
kontrol
gula
darah.
Gangguan
tersebut
adalah
D. NEFROPATI DIABETIK
Dalam pengertian klinik, nefropati diabetik (ND) adalah komplikasi diabetes
yang ditandai dengan adanya proteinuria menetap (persisten) (>0,3 g/24 jam), disertai
dengan adanya retinopati dan hipertensi tanpa kelainan ginjal primer (infeksi dan
kelainan ginjal lain) dan gagal jantung.
Nefropati diabetik adalah suatu penyakit menahun dari DM yang ditandai
dengan adanya mikro atau makroproteinuria (mula-mula intermiten kemudian
persisten), penurunan GFR, peningkatan tekanan darah yang perjalanannya progresif
menuju stadium akhir berupa gagal ginjal kronik.
Pada DM tipe 1, peningkatan GFR , albuminuria dan pembesaran ginjal
merupakan gejala yang ditemukan hampir pada semua psaien di saat diagnosis
diabetes ditegakkna. Gejala-gejala ini bersifat sementara dan masih mungkin
reversibel bila kadar glukosa darah terkendali dengan insulin. Setelah beberapa tahun
timbullah perubahan struktural pada jaringan ginjal berupa penebalan membrana
basalis dan ekspansi mesangium yang menopang glomerulus. Perubahan ini menandai
adanya permulaan nefropati (nefropati insipiens). Bila selama itu kadar glukosa darah
tetap tidak terkendali, hiperfiltrasi, mikroalbuminuria dan kenaikan tekanan darah
akan lebih jelas meskipun pasien tetap asimptomatik selama bertahun-tahun. Lama
kelamaan jumlah protein yang dikeluarkan ke dalam urin makin meningkat secara
progresif, akhirnya 10 30 tahun setelah menderita diabetes, proteinuria menjadi
persisten. Pada saat ini diagnosis nefropati sudah dapat ditegakkan. Sesuai dengan
bertambah
lamanya
menderita
diabetes,
kerusakan
glomerulus
berlanjut,
menimbulkan gangguan faal ginjal yang ditandai dengan penurunan GFR, kemudian
kadar kreatinin meningkat dan akhirnya timbul gagal ginjal terminal. Perjalanan
penyakit nefropati pada pasien DM tipe 1 dilihat pada bagan berikut:
yang
mengakibatkan
hipertensi
glomerulus
yang
akan
ateroskelrosis. Ateroskelrosis
termasuk
dalam
penyakit
menempel
menimbulkan
pada
sel-sel
perubahan-perubahan
dinding
menuju
pembuluh
terjadinya
darah
sehingga
aterosklerosis.
F. HEMODIALISIS (HD)
a.
Latar Belakang
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang
target BB kering penderita. BB kering adalah BB di mana penderita merasa nyaman, tidak
ada sesak dan tidak ada tanda-tanda kelebihan cairan. Pada penyandang HD reguler 2 kali
seminggu, kenaikan BB antar waktu HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang
dilakukan saat HD sekitar 2 liter (Nissenson and Fine, 2008). Guideline K/DOQI 2006
menyatakan bahwa kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8% BB kering
(K/DOQI, 2006). Umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi 2 kg bahkan
mencapai 5 kg, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari 2 L.
b.
Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergencyatau HD segera dan HD kronik.
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan
(kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan
lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser). Perpindahan
solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui
mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan
molekulnya secara acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara
konveksi,artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas
bersama molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan
oleh
c.
Komplikasi hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal.
Tindakan ini rutin dilakukan pada penderitapenyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau
gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan
yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat
menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah
gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF
atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40%penderita yang
menjalani HD reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanandarahnya justru
meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension
(HID) (Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Daurgirdas et al.,2007).
1) Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah:hipotensi, kram otot, mual
muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil
(Daurgirdas et al.,2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang jarang
terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi
komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
2) Komplikasi kronik
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik.
Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.
(Bieber dan Himmelfarb, 2013).
3) Hipertensi Intradialitik
Hipertensi dialitik adalah suatu peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) >10
mmHg dari pre ke post HD (Inrig et al.,2007; Inrig et al.,2009). Hipertensi dialitik
sering ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani HD rutin, walaupun komplikasi
HD ini sudah dikenal sejak beberapa tahun lalu namun sampai saat ini belum ada
batasan yang jelas mengenai HID. Berbagai penelitian mengemukakan definisi yang
berbeda-beda.Beberapa penelitian mendefinisikan HID adalah peningkatan mean
arterial blood pressure (MABP) 15 mmHg atau lebih selama atau sesaat setelah HD
selesai (Amerling et al., 1995; Mees, 1996).
jantung, COP dan tekanan darah. Dengan UF lebih jauh, pasien pindah ke bagian
yang bawah pada bagian kurva yang meningkat dengan tekanan darah menjadi normal
(Gunal et al.,2002).
Penemuan dari 2 penelitian ini mengindikasikan bahwa tekanan darah
meningkat paradoksal saat UF mungkin disebabkan oleh karena peningkatan COP
karena adanya overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan dilakukan UF yang
intensif untuk menurunkan berat badan kering pasien (Cirit et al.,1995; Gunal et
al.,2002; Chou
sympathetic overactivity,
ditandai dengan peningkatan konsentrasi katekolamin plasma pada pasien PGK. Hal
ini mungkin disebabkan oleh menurunnya kliren renal terhadap katekolamin dan
langsung oleh karena aktivitas saraf simpatis.Sympathetic overactivity pada PGK
menjadi normal setelah dilakukan nefrektomi, hal ini diduga karena signal dari ginjal
yang sakit berperan dalam aktivasi simpatis (Locatelli et al.,2010).
Hipertensi intradialitik berhubungan dengan peningkatan stroke volume dan
vasokonstriksi perifer, sehingga mungkin sympathetic overactivity berperan dalam
onset HID. Pada penelitian lain didapatkan kadar norepinefrin meningkat signifikan
setelah HD pada pasien kontrol, bukan pada pasien yang prone terhadap HID (Chou
et al.,2006). Evaluasi akurat dari aktivitas simpatis dengan microneurografi pada
pasien
dengan
HID
belum
dilakukan
sehingga
mekanisme
sympathetic
didapatkan bahwa kadar kalium dialisat tidak berhubungan dengan kejadian HID,
tidak ada perbedaan antara kadar kalium plasma pre dan post HD pada pasien dengan
HID maupun tanpa HID (Chou et al.,2006). Kalium tidak beperan dalam kejadian
HID, tapi perubahan kadar kalium yang tajam dapat memicu aritmia (Locatelli et
al.,2010).
5. Eliminasi obat saat hemodialisis
Beberapa obat termasuk
obat
anti
hipertensi
ditariksaat
prosedur
hemodialisis. Penarikan dari obat anti hipertensi saat HD bisa menyebabkan HID.
Golongan obat CCB tidak ditarik saat prosedur hemodialisis, sedangkan sebagian
besar dari penghambat ACE secara komplit ditarik saat dialisis (Daugirdas et al.,
2007). Pengetahuan akan obat yang di tarik saat HD sangat penting, sehingga terapi
bisa disesuaikan pada pasien yang mengalami HID. Tetapi penting diingat bahwa
penarikan obat anti hipertensi saat HD, tidak berperan di dalam konsep dari HID
(Locatelli et al.,2010).
6. Terapi erythropoiesis-stimulating agents
Sejak diperkenalkannya erythropoiesis-stimulating agents (ESA) sebagai
terapi anemia pada pasien PGK lebih dari 20 tahun yang lalu, prevalensi hipertensi
pada pasien HD meningkat. Peningkatan dari hematokrit dan viskositas darah serta
G. Diagnosa Keperawatan
Pre Hemodialisis
1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urin, retensi cairan dan
natrium.
2. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic
Intra Hemodialisis
1.
2.
Post Hemodialisis
1.
2.
Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive
Resiko Perdarahan b.d efek samping terkait terapi hemodialisa
Rencana Intervensi
No
Diagnosa
Tujuan/KH
Intervensi
1 Kelebihan
Setelah dilakukan asuhanFluit manajemen:
volume
cairankeperawatan selama 1X 41. Monitor status hidrasi (kelembaban membran
b.d. mekanismejam
pasien
mengalami
mukosa, nadi adekuat)
pengaturan
keseimbangan cairan dan2. Monitor tnada vital
melemah
elektrolit.
3. Monitor adanya indikasi overload/retraksi
Kriteria hasil:
4. Kaji daerah edema jika ada
Bebas
dari
edema
anasarka, efusi
Fluit monitoring:
1. Monitor intake/output cairan
Suara paru bersih
Tanda vital dalam batas2. Monitor serum albumin dan protein total
3. Monitor RR, HR
normal
4. Monitor turgor kulit dan adanya kehausan
5. Monitor warna, kualitas dan BJ urine
bisa