Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS SEBAGAI CAUSA KEJADIAN GAGAL GINJAL KRONIK

A. PENDAHULUAN
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang vital dan mempunyai banyak
fungsi seperti memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksik,
mempertahankan keseimbangan: cairan, asam dan basa cairan tubuh, garam-garam
dalam tubuh, mengeluarkan sisa-sisa metabolisme dari protein seperti ureum,
kreatinin, amoniak, serta pembentukan hormon renin dan eritopoetin. Selain fungsi
tersebut, ginjal berfungsi antara lain mengatur tekanan darah, mengatur keadaan
kalsium pada tulang, dan mengatur produksi sel darah merah. Melihat fungsi ginjal
tersebut maka akan berbahaya jika terjadi kelainan atau kerusakan pada ginjal, karena
dapat ,menyebabkan gangguan kesehatan atau bahkan kematian.
Dewasa ini telah banyak ditemukan kelainan-kelainan pada ginjal diantaranya
gagal ginjal, istilah ini digunakan untuk menunjukkan adanya kelainan pada ginjal
karena fungsi menurun. Penurunan fungsi ginjal yang berlangsung secara terus
menerus disebut gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik biasanya cukup lanjut dan
tidak bisa pulih. Adanya penurunan fungsi ginjal ini diketahui dari Test Klirens
Kreatinin (TKK) yang menunjukkan nilai kurang dari 25 ml/menit. Jika nilai TKK
kurang dari 10 ml/menit berarti fungsi ginjal yang tersisa sudah sangat kurang dan
disebut sebagai Gagal Ginjal Terminal (GGT). Pada gagal ginjal terminal sudah tidak
mungkin dilakukan pengobatan konservatif sehingga untuk mempertahankan
kelangsungan hidup, penderita memerlukan terapi pengganti yaitu transplantasi atau
hemodialisis. Penderita gagal ginjal baru merasakan adanya kelainan pada dirinya jika
fungsi ginjal sudah menurun menjadi sekitar 25% bahkan dibawah 10% pada
penderita muda. Disamping morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan terus
meningkat, gagal ginjal terminal dapat menjadi beban berat bagi penderita maupun
keluarga, dan sering pada kasus ini terjadi kematian. Hal ini terjadi karena berbagai
macam faktor, terutama karena ketidaktahuan penderita sehingga penderita sampai di
Rumah Sakit dalam keadaan yang sangat parah serta faktor ekonomi menyebabkan
penderita pasrah pada keadaan.
Salah satu penyebab utama terjadinya gagal ginjal kronik adalah nefropati
diabetik (ND) akibat dari penyakit Diabetes Melitus yang tidak terkontrol dan
merupakan penyebab kematian terbesar penderita DM. Nefropati diabetik merupakan

komplikasi mikrovaskuler yang sering ditemukan baik pada Diabetes Melitus tipe 1
maupun Diabetes Melitus tipe 2.
B. DEFINISI dan DIAGNOSIS DIABETES MELITUS
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal,
saraf, dan pembuluh darah. Penyakit ini secara klinik sangat bervariasi yang ditandai
dengan intoleransi glukosa, diikuti komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler yang
dapat menyerang seluruh organ dalam tubuh antara lain ginjal.
Diagnosis DM ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan kadar gula darah
jika penderita menunjukkan gejala-gejala klasik seperti bertambahnya rasa haus dan
jumlah volume urin, penurunan berat badan yang tidak dapat diterangkan sebabnya
atau mengantuk, koma, glikosuria, serta ketonuria yang nyata. Pemeriksaan yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena dan untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa bahan darah
kapiler.

C. KOMPLIKASI DIABETES MELITUS


a. Komplikasi Akut
Kompliaksi akut yang paling sering dialami oleh penderita DM adalah
gangguan

kontrol

gula

darah.

Gangguan

tersebut

adalah

hiperglikemia/ketoasidosis dan hipoglikemia. Kondisi hipergilekmia akut akan


menyebabkan terjadinya glukoneogenesis. Glukosa diproduksi intraseluler dari
sumber lain seperti glikogen, protein, dan lemak. Produk antara glukoneogenesis
ini adalah asam amino, asam lemak dan benda keton. Produk anatar inilah yang
kemudia menurunkan pH darah sehingga terjadi asidosis. Bila tidak segera
ditangani dengan baik, kondisi ini dapat menyebabkan kematian.
Hipoglikemia merupakan simptom yang paling sering dialami oleh
penderita DM. Penyebab hipoglikemia yang sering adalah setelah terapi insulin
(biasanya short acting insulin) maupun OAD. Faktor lain misalnya diet yang
terlalu ketat, aktivitas fisik yang terlalu berlebihan, mengkonsumsi alkohol, dll.
Hipoglikemia menampakkan gejala yang khas yaitu pada sistem saraf simpatis
berupa rasa lapar, hipersalivasi, tremor, berkeringat, palpitasi. Sedangakan pada
sistem saraf pusat glukopenia akan menimbulkan gejala seperti gemetar,
disorientasi, bingung, ansietas, agresi, berkelakuan seperti orang mabok, kejang,
koma, kerusakan otak, kematian.
b. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik diabetes melitus terutama disebabkan gangguan
integritas pembuluh darah. Komplikasi kronis yang berhubungan dengan DM
adalah penyakit mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi tersebut
kebanyakan berhubungan dengan perubahan-perubahan metabolik, terutama
hiperglikemia. Penelitian Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) pada
DM tipe 1 menunjukkan bahwa pengendalian kadar glukosa darah yang ketat

dapat menurunkan resiko terjadinya komplikasi mikroangiopati. Tiga kelainan


metabolik yang berhubungan denga hiperglikemia kronik yang menyebabkan
patogenesis ari komplikasi diabetik adalah: glikosilasi non enzimatik, perubahan
glukosa pada jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Kerusakan vaskuler
merupakan gejala yang khas sebagai akibat dari DM, dan dikenal sebagai nama
nagiopati diabetika. Makroangiopati (kerusakan makro vaskuler) biasany
amuncul sebagai gejala klinik berupa penyakit jantung iskemik dan pembuluh
darah perifer. Adapun mikroangiopati (kerusakan mikrovaskuler) memberikan
manifestasi retinopati, nefropati, dan neuropati. Patogenesis komplikasi diabetes
melitus kronis dapat dijelaskan sebagai berikut :

Komplikasi kronis DM sangat berkaitan erat dengan kualitas pembuluh


darah dimana ada 11 faktor penentu kualitas endotel pembuluh darah yaitu:
Genetics, Insulin resistance, Glucose intolerance, lipids, Obesity, Uric Acid,
Cigarrate, Hypertension, Inactivity, Platelet agregation, and stress.

D. NEFROPATI DIABETIK
Dalam pengertian klinik, nefropati diabetik (ND) adalah komplikasi diabetes
yang ditandai dengan adanya proteinuria menetap (persisten) (>0,3 g/24 jam), disertai
dengan adanya retinopati dan hipertensi tanpa kelainan ginjal primer (infeksi dan
kelainan ginjal lain) dan gagal jantung.
Nefropati diabetik adalah suatu penyakit menahun dari DM yang ditandai
dengan adanya mikro atau makroproteinuria (mula-mula intermiten kemudian
persisten), penurunan GFR, peningkatan tekanan darah yang perjalanannya progresif
menuju stadium akhir berupa gagal ginjal kronik.
Pada DM tipe 1, peningkatan GFR , albuminuria dan pembesaran ginjal
merupakan gejala yang ditemukan hampir pada semua psaien di saat diagnosis
diabetes ditegakkna. Gejala-gejala ini bersifat sementara dan masih mungkin
reversibel bila kadar glukosa darah terkendali dengan insulin. Setelah beberapa tahun
timbullah perubahan struktural pada jaringan ginjal berupa penebalan membrana
basalis dan ekspansi mesangium yang menopang glomerulus. Perubahan ini menandai
adanya permulaan nefropati (nefropati insipiens). Bila selama itu kadar glukosa darah
tetap tidak terkendali, hiperfiltrasi, mikroalbuminuria dan kenaikan tekanan darah
akan lebih jelas meskipun pasien tetap asimptomatik selama bertahun-tahun. Lama
kelamaan jumlah protein yang dikeluarkan ke dalam urin makin meningkat secara
progresif, akhirnya 10 30 tahun setelah menderita diabetes, proteinuria menjadi
persisten. Pada saat ini diagnosis nefropati sudah dapat ditegakkan. Sesuai dengan
bertambah

lamanya

menderita

diabetes,

kerusakan

glomerulus

berlanjut,

menimbulkan gangguan faal ginjal yang ditandai dengan penurunan GFR, kemudian
kadar kreatinin meningkat dan akhirnya timbul gagal ginjal terminal. Perjalanan
penyakit nefropati pada pasien DM tipe 1 dilihat pada bagan berikut:

E. PATOFISIOLOGI dan PATOGENESIS


Salah satu akibat dari komplikasi kronik DM adalah penyakit mikrovaskuler
diantaranya nefropati diabetik yang merupakan penyebab utama gagal ginjal.
Berbagai teori tentang patogenesis nefropati seperti peningkatan produk glikosilasi
dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End
Products), peningkatan reaksi jalur poliol, glukotoksitas, dan protein kinase C
memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal.
Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya
kadar glukosa, hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan/perubahan
terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel sel mesangium.
Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah,
sehingga terjadi perubahan perubahan pada permeabilitas membran basalis
glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria.
Glikosilasi non enzimatik adalah reaksi reversibel peningkatan glukosa pada
protein, lemak, dan asam nukleat tanpa aktivasi enzim. Dengan adanya hiperglikemia
yang terus menerus glukosa akan menjadi ireversibel berkaitan dengan kolagen dan
protein protein lain dalam dinding pembuluh darah dan jaringan intersitial. Produk
ini yang disebut AGEs. AGEs dapat menyebabkan kerusakan jaringan atau keadaan
patologis melalui beberapa mekanisme :

a) Pengikatan protein seperti albumin, LDL, immunoglobulin, dan penebalan


membran basalis atau peningkatan permeabilitas pembuluh darah
b) Pengikatan pada reseptor reseptor sel seperti makrofag makrofag,
menyebabkan pelepasan cytokine dan hormon pertumbuhan yang dapat
menstimulasi terjadinya proliferasi pada glomerulus dan dinding sel otot polos
pembuluh darah
c) Merangsang terjadinya oksidasi lemak dan oksigen radikal
d) Inaktivasi nitric oxide dengan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi
e) Perubahan koagulasi pada sel sel endotelial
Jaringan yang tidak memerlukan insulin untuk transpor glukosa
seperti ginjal, sel darah merah, pembuluh darah, retina mata, dan sel-sel saraf
menggunakan mekanisme pathway untuk metabolisme glukosa yang dinamai
polyol pathway. Dengan adanya hiperglikemia glukosa akan diubah menjadi
sorbitol oleh enzim aldose reductase. Sorbitol kemudia akan diubah menjadi
fruktosa oleh enzim sorbitol dehydrogenase. Akumulasi dari sorbitol dan
fruktosa meningkatkan tekanan osmotik intraseluler yang akan menarik air ke
dalam sel.

Hiperglikemia dapat meningkatkan diacylgkycerol (DAG) dan


kenaikan DAG akan meningkatkan aktivitas protein kinase (PKC). PKC
menyebabkan perubahan-perubahan fungsi sel vaskuler. Perubahan-perubahan

yang terjadi berupa peningkatan vasculer endothelial growth factor, ekspresi


protein membran basalis (plasminogen activator inhibitor-1[PAI-1] dan
fibronectin). Akibatnya terjadi perubahan membrana basalis, perubahan
permeabilitas vaskuler dan hemodinamik.
Hasil penelitian tentang progresivitas penyakit ginjal pasien DM tipe 2
pada orang-orang Pima Indian memperlihatkan karakteristik hiperfiltrasi
glomerulus. Hiperfiltrasi akan meningkatkan sekresi katekolamin yang akan
merangsang reseptor beta pada aparatus juxta glomerulus melepaskan renin,
kemudian angiostensin II menyebabkan konstriksi arteriol efferent pada
glomerulus

yang

mengakibatkan

hipertensi

glomerulus

yang

akan

mempercepat terjadinya kerusakan ginjal. Gangguan fungsi pada glomerulus


tersebut menimbulkan albuminuria dan peningkatan GFR.
Individu dengan diabetes melitus memiliki kolesterol dan trigliserida
plasma yang tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar organ menyebabkan
hipoksia dan cdera jaringan, merangsang reaksi peradangan yang berperan
menimbulkan

ateroskelrosis. Ateroskelrosis

termasuk

dalam

penyakit

makrovaskuler dan merupakan penyebab kematian pada penderita DM tipe 2.


Diabetes melitus sendiri merupakan faktor resiko aterosklerosis. Tidak seperti
pada mikroangiopati, aterosklerosis tidak tergantung pada berat ringannya
diabetes dan seringkali didapatkan pada pasien dengan gangguan toleransi
glukosa. Patogenesis aterosklerosis diawali dengan adanya inflamasi pada
pembuluh darah. Insulin dapat secara langsung menstimulasi pembentukan
aterosklerosis denganadanya hiperglikemia yang kronis. Hasil glikosilasi
protein

menempel

menimbulkan

pada

sel-sel

perubahan-perubahan

dinding
menuju

pembuluh
terjadinya

Mekanisme timbulnya aterosklerosis sebagai berikut:

darah

sehingga

aterosklerosis.

Dengan adanya perubahan/inflamasi pada dinding pembuluh darah


akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah, dimana pada
penderita DM sering dijumpai adanya peningkatan trigliserida dan kolesterol
plasma. Pada penderita DM konsentrasi HDL sebagai pemberish plak biasanya
sangat rendah. Adanya faktor resiko lainnya seperti hipertensi akan
meningkatkan kerentanan terhadap aterosklerosis. Konsekuensi adanya
aterosklerosis adalah penyempitan lumen pembuluh darah yang menyebabkan
berkurangnya suplai darah ke ginjal. Hal ini menimbulkan gangguan proses
filtrsi di glomerulus yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal.

F. HEMODIALISIS (HD)
a.

Latar Belakang
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang

terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin


hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal.
Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute
Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan
HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan
HD kronik/reguler (Daurgirdas et al.,2007).

Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, di Amerika pada tahun 2009


diperkirakan terdapat 116395 orang penderita GGK yang baru. Lebih dari 380000 penderita
GGK menjalani hemodialisis reguler (USRDS, 2011). Pada tahun 2011 di Indonesia terdapat
15353 pasien yang baru menjalani HD dan pada tahun 2012 terjadi peningkatan pasien yang
menjalani HD sebanyak 4268 orang sehingga secara keseluruhan terdapat 19621 pasien yang
baru menjalanai HD. Sampai akhir tahun 2012 terdapat 244 unit hemodialisis di Indonesia
(IRR, 2013).
Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi (UF)
ataupenarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 20-30% penderita yang
menjalani HD reguler (Tatsuya et al.,2004). Gangguan hemodinamik saat HD juga bisa
berupa peningkatan tekanan darah. Dilaporkan Sekitar 5-15% dari pasien yang menjalani
HD reguler tekanan darahnya justru meningkat saat HD. Kondisi ini disebut hipertensi
intradialitik (HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal and Light, 2010; Agarwal et
al.,2008).
Hipertensi intradialitik adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan tekanan
darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada saat akhir dari HD
lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD. Tekanan darah penderita bisa normal saat
memulai HD, tetapikemudian meningkat sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan pada
akhir HD. Bisa juga terjadi pada saat memulai HD tekanan darah pasien sudah tinggi dan
meningkat pada saat HD, hingga akhir dari HD. Peningkatan tekanan darah ini bisa berat
sampai terjadi krisis hipertensi (Chazot dan Jean, 2010).
Pada pasien dengan gagal jantung biasanya dengan tekanan darah yang rendah, saat
HD juga terjadi peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah pada pasien ini tidak
mencapai level hipertensi seperti pada pasien yang tidak gagal jantung. Peningkatan tekanan
darah ini juga meningkatkan risiko kematian dengan peningkatan 10 mmHg saat HD,
walaupun tekanan darah sistolik (TDS) pra HD 120 mmHg (Inrig et al.,2009).
Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini belum
sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID seperti aktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat
dilakukan ultrafiltrasi (UF), overaktif dari simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD,
viskositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), fluid
overload, peningkatan cardiac output(COP), obat antihipertensi yang ditarik saat HD dan
vasokonstriksi yang diinduksi oleh endothelin-1(ET-1). Di antara berbagai faktor tersebut
yang paling umum diketahui sebagai penyebab HID adalah stimulasi RAAS oleh
hipovolemia yang disebabkan oleh UF yang berlebihan saat HD dan variasi dari kadar
elektrolit terutama kalsium dan kalium (Chazot dan Jean, 2010).
Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah, besarnya
UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB) antara waktu HD dan

target BB kering penderita. BB kering adalah BB di mana penderita merasa nyaman, tidak
ada sesak dan tidak ada tanda-tanda kelebihan cairan. Pada penyandang HD reguler 2 kali
seminggu, kenaikan BB antar waktu HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang
dilakukan saat HD sekitar 2 liter (Nissenson and Fine, 2008). Guideline K/DOQI 2006
menyatakan bahwa kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8% BB kering
(K/DOQI, 2006). Umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi 2 kg bahkan
mencapai 5 kg, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari 2 L.
b.

Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergencyatau HD segera dan HD kronik.

Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.


A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al.,2007):
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
B. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur hidup
penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai
jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu
sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal
tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al.,2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
C. Prinsip dan cara kerja hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2) kompartemen
cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah dikeluarkan dari
pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian masuk ke dalam mesin
dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis, darah yang telah bersih ini
masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di dalam tubuh. Proses dialisis
(pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al.,2007).

Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan
(kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan
lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser). Perpindahan
solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui
mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan
molekulnya secara acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara
konveksi,artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas
bersama molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan

oleh

mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau


mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al. 2007).
Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan cairan
disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al.,2007).

c.

Komplikasi hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal.
Tindakan ini rutin dilakukan pada penderitapenyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau
gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan
yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat
menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah
gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF
atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40%penderita yang
menjalani HD reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanandarahnya justru
meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension
(HID) (Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Daurgirdas et al.,2007).
1) Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah:hipotensi, kram otot, mual

muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil
(Daurgirdas et al.,2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang jarang
terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi
komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).

2) Komplikasi kronik
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik.
Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.
(Bieber dan Himmelfarb, 2013).

3) Hipertensi Intradialitik
Hipertensi dialitik adalah suatu peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) >10
mmHg dari pre ke post HD (Inrig et al.,2007; Inrig et al.,2009). Hipertensi dialitik
sering ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani HD rutin, walaupun komplikasi
HD ini sudah dikenal sejak beberapa tahun lalu namun sampai saat ini belum ada
batasan yang jelas mengenai HID. Berbagai penelitian mengemukakan definisi yang
berbeda-beda.Beberapa penelitian mendefinisikan HID adalah peningkatan mean
arterial blood pressure (MABP) 15 mmHg atau lebih selama atau sesaat setelah HD
selesai (Amerling et al., 1995; Mees, 1996).

Hipertensi intradialitik juga didefinisikan sebagai adanya hipertensi yang


mulai sejak jam kedua atau ketiga saat sesi HD, setelah dilakukan UF atau
peningkatan tekanan darah saat HD yang resisten terhadap UF (Cirit et al.,1995).
Sementara peneliti lain mengemukakan HID adalah suatu kondisi berupa
terjadinya peningkatan tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah
selama dan pada saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD
(Chazot dan Jean, 2010).
d.

Etiologi dan patofisiologi


Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini belum
sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID seperti
volume overload, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena
diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan UF, overaktif dari simpatis, variasi dari ion
K+ dan Ca2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh terapi
eritropoeitin (EPO), UF yang berlebih saat HD, obat antihipertensi terekskresikan saat
HD dan adanya disfungsi endotel (Locatelli et al.,2010).
1. Volume overload
Cairan ekstrasel yang berlebihan (overload) menyebabkan meningkatnya
cardiac output (COP) merupakan salah satu penyebab yang penting dari
meningkatnya tekanan darah. Hipervolumia (fluid overload) diyakini berperan dalam
patogenesis HID (Locatelli et al.,2010).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 7 pasien yang mengalami hipertensi
saat HD, di dapatkan gambaran dilatasi pada jantung. Pada pasien ini tekanan darah
meningkat saat dilakukan UF. Pasien ini kemudian diterapi dengan melakukan UF
berulang yang intensif untuk menurunkan berat badan keringnya dan dilakukan
monitor terhadap fungsi jantung. Semua pasien menunjukkan perbaikan tekanan
darah, tekanan darah menjadi normal tanpa pemberian obat antihipertensi. Pada
pemeriksaan ekokardiografi didapatkan perbaikan dari parameter fungsi jantung. Dari
hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa tekanan darah paradoksal meningkat
dengan UF biasanya karena overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan untuk
melakukan UFyang intensif pada pasien-pasien seperti ini (Cirit et al.,1995).
Peneliti lain melakukan penelitian terhadap 6 pasien yang mengalami HID
yang resisten terhadap obat antihipertensi. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan
sebelum dan saat HD. Pada saat dilakukan UF sedang didapatkan perbaikan fungsi
sistolik jantung, tetapi MABP dan indeks jantung juga meningkat. UF yang lebih
agresive menghasilkan tekanan darah yang normal pada semua pasien dan indeks
jantung juga menjadi normal. Peneliti menjelaskan fenomena ini dengan kurva FrankStarling. Pasien pada awalnya berada pada bagian yang menurun dari kurva, dengan
UF sedang pasien berpindah ke kiri dan ke atas kurva, dengan peningkatan indeks

jantung, COP dan tekanan darah. Dengan UF lebih jauh, pasien pindah ke bagian
yang bawah pada bagian kurva yang meningkat dengan tekanan darah menjadi normal
(Gunal et al.,2002).
Penemuan dari 2 penelitian ini mengindikasikan bahwa tekanan darah
meningkat paradoksal saat UF mungkin disebabkan oleh karena peningkatan COP
karena adanya overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan dilakukan UF yang
intensif untuk menurunkan berat badan kering pasien (Cirit et al.,1995; Gunal et
al.,2002; Chou

et al.,2006). Peneliti lain mengemukakan bahwa HID mungkin

berhubungan dengan delayed post HD hypotension. Sehingga bila dilakukan UF yang


agresif pasien yang rawat jalan harus dimonitor ketat dengan mengunakan ambulatory
blood pressure monitoring (ABPM) (Chou et al.,2006).
2. RAAS activation
Mekanisme lain yang berperan terhadap kejadian HID adalah aktivasi dari
RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II yang diinduksi oleh UF saat HD.
Aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II menyebabkan
peningkatan yang tiba-tiba dari resistensi vaskular dan meningkatkan tekanan darah
(Chou et al.,2006).
Penelitian terhadap 30 pasien yang proneterhadap HID dengan 30 kontrol
pasien HD yang matched umur dan jenis kelamin, didapatkan kadar renin rata-rata
sebelum dan sesudah HD sama pada kelompok pasien yang pronetehadap HID.
Sebaliknya rata-rata kadar renin setelah HD meningkat signifikan pada kelompok
kontrol. Disimpukan bahwa aktivasi RAAS bukan merupakan penyebab utama dari
HID (Chou et al., 2006).
3. Sympathetic overactivity
Pasien dengan PGK umumnya sudah terjadi

sympathetic overactivity,

ditandai dengan peningkatan konsentrasi katekolamin plasma pada pasien PGK. Hal
ini mungkin disebabkan oleh menurunnya kliren renal terhadap katekolamin dan
langsung oleh karena aktivitas saraf simpatis.Sympathetic overactivity pada PGK
menjadi normal setelah dilakukan nefrektomi, hal ini diduga karena signal dari ginjal
yang sakit berperan dalam aktivasi simpatis (Locatelli et al.,2010).
Hipertensi intradialitik berhubungan dengan peningkatan stroke volume dan
vasokonstriksi perifer, sehingga mungkin sympathetic overactivity berperan dalam
onset HID. Pada penelitian lain didapatkan kadar norepinefrin meningkat signifikan
setelah HD pada pasien kontrol, bukan pada pasien yang prone terhadap HID (Chou
et al.,2006). Evaluasi akurat dari aktivitas simpatis dengan microneurografi pada
pasien

dengan

HID

belum

dilakukan

sehingga

overactivitydalam HID belum didukung oleh


(Locatelli et al.,2010).

mekanisme

sympathetic

evidence-based percobaan klinis

4. Perubahan kadar elektrolit


Komposisi yang adekuat dari dialisat dan kontrol terhadap variasi kadar
elektrolit sangat penting pada terapi HD. Kadar elektrolit pasien seperti sodium,
kalium, kalsium dan perubahan dari elektrolit saat HD sangat penting sebab erat
hubungannya dengan kontraktilitas jantung, resistensi vaskular perifer dan kontrol
tekanan darah. Penarikan sodium saat dialisis sangat penting karena berperan dalam
menjaga stabilitas kardiovaskular saat HD dan mencegah overhidrasi saat dialisis dan
HID.
Penarikan sodium yang adekuat bisa dicapai dengan memilih kecepatan UF
dan konsentrasi sodium dialisat yang tepat. Untuk mempertahankan keseimbangan
sodium, berat badan kering dan konsentrasi sodium saat akhir dialisis harus
dipertahankan konstan (Locatelli et al.,2010).
Perubahan kadar kalium saat HD dapat memberikan dampak klinis yang
penting. Hipokalemia dapat mencetuskan autonomic dysfunction dan mempengaruhi
inotropik jantung. Walaupun hipokalemia dapat menyebabkan vasokonstriktor secara
langsung, tidak ada data yang mendukung pengaruh konsentrasi kalium pada dialisat
terhadap kejadian HID (Locatelli et al.,2010).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 30 pasien

prone terjadi HID

didapatkan bahwa kadar kalium dialisat tidak berhubungan dengan kejadian HID,
tidak ada perbedaan antara kadar kalium plasma pre dan post HD pada pasien dengan
HID maupun tanpa HID (Chou et al.,2006). Kalium tidak beperan dalam kejadian
HID, tapi perubahan kadar kalium yang tajam dapat memicu aritmia (Locatelli et
al.,2010).
5. Eliminasi obat saat hemodialisis
Beberapa obat termasuk

obat

anti

hipertensi

ditariksaat

prosedur

hemodialisis. Penarikan dari obat anti hipertensi saat HD bisa menyebabkan HID.
Golongan obat CCB tidak ditarik saat prosedur hemodialisis, sedangkan sebagian
besar dari penghambat ACE secara komplit ditarik saat dialisis (Daugirdas et al.,
2007). Pengetahuan akan obat yang di tarik saat HD sangat penting, sehingga terapi
bisa disesuaikan pada pasien yang mengalami HID. Tetapi penting diingat bahwa
penarikan obat anti hipertensi saat HD, tidak berperan di dalam konsep dari HID
(Locatelli et al.,2010).
6. Terapi erythropoiesis-stimulating agents
Sejak diperkenalkannya erythropoiesis-stimulating agents (ESA) sebagai
terapi anemia pada pasien PGK lebih dari 20 tahun yang lalu, prevalensi hipertensi
pada pasien HD meningkat. Peningkatan dari hematokrit dan viskositas darah serta

peningkatan dari konsentrasi ET-1, dan

peningkatan resistensi vaskular perifer

mungkin berperan dalam kondisi ini (Krapf dan Hulter, 2009).


7. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi merupakan salah satu komponen dari peresepan HD. Penentuan
besarnya UF harus optimal dengan tujuan untuk mencapai kondisi pasien euvolemik
dan normotensi Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di
darah, besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB)
penderita antar waktu HD dan target BB kering penderita (K/DOQI, 2006).

G. Diagnosa Keperawatan
Pre Hemodialisis
1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urin, retensi cairan dan
natrium.
2. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic
Intra Hemodialisis
1.

Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk sampah

2.

dan prosedur dialysis.


Nyeri akut b.d agen cedera di daerah insersi

Post Hemodialisis
1.
2.

Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive
Resiko Perdarahan b.d efek samping terkait terapi hemodialisa
Rencana Intervensi

No
Diagnosa
Tujuan/KH
Intervensi
1 Kelebihan
Setelah dilakukan asuhanFluit manajemen:
volume
cairankeperawatan selama 1X 41. Monitor status hidrasi (kelembaban membran
b.d. mekanismejam
pasien
mengalami
mukosa, nadi adekuat)
pengaturan
keseimbangan cairan dan2. Monitor tnada vital
melemah
elektrolit.
3. Monitor adanya indikasi overload/retraksi
Kriteria hasil:
4. Kaji daerah edema jika ada
Bebas
dari
edema
anasarka, efusi
Fluit monitoring:
1. Monitor intake/output cairan
Suara paru bersih
Tanda vital dalam batas2. Monitor serum albumin dan protein total
3. Monitor RR, HR
normal
4. Monitor turgor kulit dan adanya kehausan
5. Monitor warna, kualitas dan BJ urine

Pola nafas tidakSetelah dilakukan asuhanMonitor Pernafasan:


efektif
b.dkeperawatan selama 1X 41. Monitor irama, kedalaman dan frekuensi
hiperventilasi,
jam pasien menunjukkan pernafasan.
penurunan energi,pola nafas yg adekuat dg2. Perhatikan pergerakan dada.
kelemahan
kriteria :
3. Auskultasi bunyi nafas
4. Monitor peningkatan ketdkmampuan istirahat,
Tidak ada dispnea
kecemasan dan sesak nafas
Kedalaman nafas normal
Tidak ada retraksi dada /5. Atur posisi tidur klien untuk maximalkan
penggunaan otot bantuan ventilasi
6. Monitor status pernafasan dan oksigenasi
pernafasan
sesuai kebutuhan
Intoleransi
Setelah dilakukan asuhanNIC: Toleransi aktivitas
aktivitas
B.dkeperawatan selama 1X 41. Tentukan penyebab intoleransi aktivitas &
ketidakseimbanga jam Klien dapat menoleransi tentukan apakah penyebab dari fisik,
n
suplai
&aktivitas & melakukan ADL psikis/motivasi
kebutuhan O2
dgn baik
2. Kaji kesesuaian aktivitas&istirahat klien
Kriteria Hasil:
sehari-hari
o Berpartisipasi
dalam3. aktivitas secara bertahap, biarkan klien
aktivitas fisik dgn TD, berpartisipasi dapat perubahan posisi,
berpindah&perawatan diri
HR, RR yang sesuai
o Warna kulit normal,4. Pastikan klien mengubah posisi secara
bertahap. Monitor gejala intoleransi aktivitas
hangat & kering
5. Ketika membantu klien berdiri, observasi
o Memverbalisasikan
pentingnya
aktivitas gejala intoleransi spt mual, pucat, pusing,
gangguan kesadaran&tanda vital
secara bertahap
6.
Lakukan latihan ROM jika klien tidak dapat
o Mengekspresikan
pengertian pentingnya menoleransi aktivitas
keseimbangan latihan &
istirahat
o toleransi aktivitas
Resiko infeksi b/dSetelah dilakukan askep ...Kontrol infeksi
tindakan invasive,jam risiko infeksi terkontrol 1. Ajarkan tehnik mencuci tangan
penurunan dayadg KH:
a. Ajarkan tanda-tanda infeksi
tahan
tubuh
Bebas dari tanda-tanda
b. laporkan dokter segera bila ada tanda
primer
infeksi
infeksi
Angka leukosit normal
c. Batasi pengunjung
Ps mengatakan tahu
d. Cuci tangan sebelum dan sesudah
tentang tanda-tanda dan
merawat ps
gejala infeksi
e. Tingkatkan masukan gizi yang cukup
f. Anjurkan istirahat cukup
g. Pastikan penanganan aseptic daerah IV
h. Berikan PEN-KES tentang risk infeksi
2. proteksi infeksi:
a. monitor tanda dan gejala infeksi
b. Pantau hasil laboratorium
c. Amati
faktor-faktor
yang
meningkatkan infeksi
d. monitor VS

bisa

Anda mungkin juga menyukai