Anda di halaman 1dari 11

ADAT ISTIADAT JAWA

(manusia Jawa sejak dalam kandungan sampai wafat)


Lahir dan mendewasakan anak

Mupu, artinya mungut anak, yang secara magis diharapkan


dapat menyebabkan hamilnya si Ibu yang memungut anak,
jika setelah sekian waktu dirasa belum mempunyai anak juga
atau akhirnya tidak mempunyai anak. Orang Jawa cenderung
memungut anak dari sentono (masih ada hubungan keluarga),
agar diketahui keturunan dari siapa dan dapat diprediksi
perangainya kelak yang tidak banyak menyimpang dari orang
tuanya.
Syarat sebelum mengambil keputusan mupu anak,
diusahakan agar mencari pisang raja sesisir yang buahnya
hanya satu, sebab menurut gugon tuhon (takhayul yang
berlaku) jika pisang ini dimakan
akan nuwuhaken (menyebabkan) jadinya anak pada wanita
yang memakannya. Anhinga, bisa dimungkinkan hamil, dan
tidak harus memungut anak.
Pada saat si Ibu hamil, jika mukanya tidak kelihatan bersih dan secantik biasanya,
disimpulkan bahwa anaknya adalah laki-laki, dan demikian sebaliknya jika
anaknya perempuan.

Sedangkan di saat kehamilan berusia 7 (tujuh) bulan,


diadakan hajatan nujuhbulan atau mitoni. Disiapkanlah
sebuah kelapa gading yang digambari wayang dewa
Kamajaya dan dewi Kamaratih(supaya si bayi seperti
Kamajaya jika laki-laki dan seperti Kamaratih jika
perempuan), kluban/gudangan/uraban (taoge, kacang
panjang, bayem, wortel, kelapa parut yang dibumbui, dan

lauk tambahan lainnya untuk makan nasi),dan rujak buah.


Disaat para Ibu makan rujak, jika pedas maka dipastikan bayinya nanti laki-laki.
Sedangkan saat di cek perut si Ibu ternyata si bayi senang nendang-nendang, maka
itu tanda bayi laki-laki.
Lalu para Ibu mulai memandikan yang mitoni disebut tingkeban, didahului Ibu
tertua, dengan air kembang setaman (air yang ditaburi mawar, melati, kenanga dan
kantil), dimana yang mitoni berganti kain sampai 7 (tujuh) kali. Setelah selesai
baru makan nasi urab, yang jika terasa pedas maka si bayi diperkirakan laki-laki.
Kepercayaan orang Jawa bahwa anak pertama sebaiknya laki-laki, agar
bisa mendem jero lan mikul duwur (menjunjung derajat orang tuanya jika ia
memiliki kedudukan baik di dalam masyarakat). Dan untuk memperkuat keinginan
itu, biasanya si calon Bapak selalu berdoa memohon kepada Tuhan.

Slametan pertama berhubung lahirnya bayi


dinamakan brokohan, yang terdiri dari nasi tumpeng dikitari
uraban berbumbu pedas tanda si bayi laki-laki) dan ikan asin
goreng tepung, jajanan pasar berupa ubi rebus, singkong,
jagung, kacang dan lain-lain, bubur merah-putih, sayur lodeh
kluwih/timbul agar linuwih (kalau sudah besar terpandang).
Ketika bayi berusia 5 (lima) hari dilakukan
slametan sepasaran, dengan jenis makanan sama dengan
brokohan. Bedanya dalam sepasaran rambut si bayi di potong
sedikit dengan gunting dan bayi diberi nama, misalnya bernama
T. Dewantoro.
Saat diteliti di almanak Jawa tentang wukunya, ternyata T.
Dewantoro berwuku tolu, yakni wuku ke-5 dari rangkaian wuku
yang berjumlah 30 (tiga puluh). Menurut wuku tolu maka
T.Dewantoro berdewa Batara Bayu, ramah-tamah walau bisa
berkeras hati, berpandangan luas,cekatan dalam menjalankan
tugas serta ahli di bidang pekerjaannya, kuat bergadang hingga
pagi, pemberani, banyak rejekinya, dermawan, terkadang suka

pujian dan sanjungan yang berhubungan dengan kekayaannya.


Slametan selapanan yaitu saat bayi berusia 35 (tiga puluh lima) hari, yang pada
pokoknya sama dengan acara sepasaran. Hanya saja disini rambut bayi dipotong
habis, maksudnya agar rambut tumbuh lebat. Setelah ini, setiap 35 (tiga puluh
lima) hari berikutnya diadakan acara peringatan yang sama saja dengan acara
selapanan sebelumnya, termasuk nasi tumpeng dengan irisan telur ayam rebus dan
bubur merah-putih.
Peringatan tedak-siten/tujuhlapanan atau 245 (dua ratus empat puluh lima) hari
sedikit istimewa, karena untuk pertama kali kaki si bayi diinjakkan ke atas tanah.
Untuk itu diperlukan kurungan ayam yang dihiasi sesuai selera. Jika bayinya lakilaki, maka di dalam kurungan juga diberi mainan anak-anak dan alat tulis menulis
serta lain-lainnya (jika si bayi ambil pensil maka ia akan menjadi pengarang, jika
ambil buku berarti suka membaca, jika ambil kalung emas maka ia akan kaya raya,
dan sebagainya) dan tangga dari batang pohon tebu untuk dinaiki si bayi tapi
dengan pertolongan orang tuanya. Kemudian setelah itu si Ibu melakukan sawuran
duwit (menebar uang receh) yang diperebutkan para tamu dan anak-anak yang
hadir agar memperoleh berkah dari upacara tedak siten.
Setelah si anak berusia menjelang sewindu atau 8 (delapan) tahun, belum juga
mempunyai adik, maka perlu dilakukan upacara mengadakan wayang kulit yang
biasa acara semacam ini dinamakan ngruwat agar bebas dari
marabahaya Biasanya tentang cerita Kresno Gugah yang dilanjutkan dengan
cerita Murwakala.
Saat menjelang remaja, tiba waktunya ditetaki/khitan/sunat. Setibanya di tempat
sunat (dokter atau dukun/bong), sang Ibu menggendong si anak ke dalam ruangan
seraya mengucapkan kalimat : laramu tak sandang kabeh (sakitmu saya tanggung
semua).
Orang Jawa kuno sejak dulu terbiasa menghitung dan memperingati usianya dalam
satuan windu, yaitu setiap 8 (delapan) tahun. Peristiwa ini dinamakan windon,
dimana untuk windu pertama atau sewindu, diperingati dengan mengadakan
slametan bubur merah-putih dan nasi tumpeng yang diberi 8 (delapan) telur ayam
rebus sebagai lambang usia. Tapi peringatan harus dilakukan sehari atau 2 (dua)

hari setelah hari kelahiran, yang diyakini agar usia lebih panjang. Kemudian saat
peringatan 2 (dua) windu, si anak sudah dianggap remaja/perjaka
atau jaka,suaranya ngagor-agori (memberat). Saat berusia 32 (tiga puluh dua )
tahun yang biasanya sudah kawin dan mempunyai anak, hari lahirnya dirayakan
karena ia sudah hidup selama 4 (empat) windu, maka acaranya dinamakan tumbuk
alit (ulang tahun kecil). Sedangkan ulang tahun yang ke 62 (enam puluh dua)
tahun disebut tumbuk ageng.
Saat dewasa, banyak congkok atau kasarnya disebut calo calon isteri, yang
membawa cerita dan foto gadis. Tapi si anak dan orang tuanya mempunyai banyak
pertimbangan yang antara lain: jangan mbokongi (menulang-punggungi sebab
keluarga si gadis lebih kaya) walau ayu dan luwes karena perlu
mikir praja (gengsi), jangan kawin dengan sanak-famili walau
untuk nggatuake balung apisah(menghubungkan kembali tulang-tulang
terpisah/mempererat persaudaraan) dan bergaya priyayi karena seandainya cerai
bisa terjadi pula perpecahan keluarga, kalaupun seorang ndoro (bangsawan) tapi
jangan terlalu tinggi jenjang kebangsawanannya atau setara dengan si anak serta
sederhana dan menarik hati. Lagi pula si laki-laki sebaiknya harus gandrung
kapirangu (tergila-gila/cinta).
Melamar
Bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, yang jika disetujui maka
biasanya keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang kedatangan
keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai lamaran dan jika
perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang perkawinan.
Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga
perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat guna meresmikan
adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6 (enam) kain batik
halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam dan tiga buah sisanya
berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya zijdelinnen dan voal berwarna dasar
aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas
berinisial huruf depan panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang
dilamar (kelak dipakai pada hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan
dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup.

Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu


sapisanan atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu
dinamakan mantu regilatau tumplak punjen.
Perkawinan
Orang Jawa khususnya Solo, yang repot dalam perkawinan adalah pihak
perempuan, sedangkan pihak laki-laki hanya memberikan sejumlah uang guna
membantu pengeluaran yang dikeluarkan pihak perempuan, di luar terkadang ada
pemberian sejumlah perhiasan, perabot rumah maupun rumahnya sendiri. Selain
itu saat acarangunduh (acara setelah perkawinan dimana yang membuat acara
pihak laki-laki untuk memboyong isteri ke rumahnya), biaya dan pelaksana adalah
pihak laki-laki, walau biasanya sederhana.
Dalam perkawinan harus dicari hari "baik", maka perlu dimintakan pertimbangan
dari ahli hitungan hari "baik" berdasarkan patokan Primbon Jawa. Setelah
diketemukan hari baiknya, maka sebulan sebelum akad nikah, secara fisik calon
pengantin perempuan disiapkan untuk menjalani hidup perkawinan, dengan diurut
dan diberi jamu oleh ahlinya. Ini dikenal dengan istilah diulik, yaitu mulai dengan
pengurutan perut untuk menempatkan rahim dalam posisi tepat agar dalam
persetubuhan pertama dapat diperoleh keturunan, sampai dengan minum jamu
Jawa yang akan membikin tubuh ideal dan singset.
Selanjutnya dilakukan upacara pasang tarub (erat hubungannya dengan takhayul)
dan biasanya di rumah sendiri (kebiasaan di gedung baru mulai tahun 50-an), dari
bahan bambu serta gedek/bilik dan atap rumbia yang di masa sekarang diganti
tiang kayu atau besi dan kain terpal. Dahulu pasang tarub dikerjakan secara
gotong-royong, tidak seperti sekarang. Dan lagi pula karena perkawinan ada di
gedung, maka pasang tarub hanya sebagai simbolis berupa anyaman daun kelapa
yang disisipkan dibawah genting. Dalam upacara pasang tarub yang terpenting
adalah sesaji. Sebelum pasang tarub harus diadakan kenduri untuk sejumlah orang
yang ganjil hitungannya (3 - 9 orang). Doa oleh Pak Kaum dimaksudkan agar
hajat di rumah ini selamat, yang bersamaan dengan ini ditaburkan pula kembang
setaman, bunga rampai di empat penjuru halaman rumah, kamar mandi, dapur
dan pendaringan (tempat menyimpan beras), serta di perempatan dan jembatan
paling dekat dengan rumah. Diletakkan pula sesaji satu ekor ayam panggang di
atas genting rumah. Bersamaan itu pula rumah dihiasi janur, di depan pintu masuk

di pasang batang-batang tebu, daun alang-alang dan opo-opo, daun beringin dan
lain-lainnya, yang bermakna agar tidak terjadi masalah sewaktu acara berlangsung.
Di kiri kanan pintu digantungkan buah kelapa dan disandarkan pohon pisang raja
lengkap dengan tandannya, perlambang status raja.
Siraman (pemandian) dilakukan sehari sebelum akad nikah, dilakukan oleh Ibuibu yang sudah berumur serta sudah mantu dan atau lebih bagus lagi jika sudah
sukses dalam hidup, disiramkan dari atas kepala si calon pengantin dengan air
bunga seraya ucapan "semoga selamat di dalam hidupnya". Seusai upacara
siraman, makan bersama berupa nasi dengan sayur tumpang (rebusan sayur taoge
serta irisan kol dan kacang panjang yang disiram bumbu terbuat dari tempe dan
tempe busuk yang dihancurkan hingga jadi saus serta diberi santan, salam, laos
serta daun jeruk purut yang dicampuri irisan pete dan krupuk kulit), dengan
pelengkap sosis dan krupuk udang.
Midodareni adalah malam sebelum akad nikah, yang terkadang saat ini dijadikan
satu dengan upacara temu. Pada malam midodareni sanak saudara dan para
tetangga dekat datang sambil bercakap-cakap dan main kartu sampai hampir
tengah malam, dengan sajian nasi liwet (nasi gurih karena campuran santan, opor
ayam, sambel goreng, lalab timun dan kerupuk).
Upacara akad nikah, harus sesuai sangat (waktu/saat yang baik yang telah
dihitung berdasarkan Primbon Jawa) dan Ibu-Ibu kedua calon pengantin tidak
memakaisubang/giwang (untuk memperlihatkan keprihatinan mereka sehubungan
dengan peristiwa ngentasake/mengawinkan anak, yang sekarang jarang diindahkan
yang mungkin karena malu). Biasanya acara di pagi hari, sehingga harus
disediakan kopi susu dan sepotong kue serta nasi lodopindang (nasi lodeh dengan
potongan kol, wortel, buncis, seledri dan kapri bercampur brongkos berupa bumbu
rawon tapi pakai santan) yang dilengkapi krupuk kulit dan sosis. Disaat sedang
sarapan, Penghulu beserta stafnya datang, ikut sarapan dan setelah selesai langsung
dilakukan upacara akad nikah.
Walau akad nikah adalah sah secara hukum, tetapi dalam kenyataannya masih
banyak perhatian orang terpusat pada upacara temu, yang terkadang menganggap
sebagai bagian terpenting dari perayaan perkawinan. Padahal sebetulnya peristiwa
terpenting bagi calon pengantin adalah saat pemasangan cincin kawin, yang setelah
itu Penghulu menyatakan bahwa mereka sah sebagai suami-isteri. Temu adalah

upacara adat dan bisa berbeda walau tak seberapa besar untuk setiap daerah
tertentu, misalnya gaya Solo dan gaya Yogya.
Misalnya dalam gaya Solo, di hari "H"nya, di sore hari. Tamu yang datang paling
awal biasanya sanak-saudara dekat, agar jika tuan rumah kerepotan bisa dibantu.
Lalu tamu-tamu lainnya, yang putri langsung duduk bersila di krobongan, dengan
lantai permadani dan tumpukan bantal-bantal (biasanya bagi keluarga mampu),
sedang yang laki-laki duduk di kursi yang tersusun berjajar di Pendopo (sekarang
ini laki-laki dan perempuan bercampur di Pendopo semuanya). Para
penabuhgamelan tanpa berhenti memainkan gending Kebogiro, yang sekitar 15
(lima belas) menit menjelang kedatangan pengantin laki-laki dimainkan gending
Monggang.Tapi saat pengantin beserta pengiring sudah memasuki halaman
rumah/gedung, gending berhenti, dan para tamu biasanya tahu bahwa pengantin
datang. Lalu tiba di pendopo, ia disambut dan dituntun/digandeng dan diiringi para
orang-tua masih sejawat orang tuanya yang terpilih
Sementara itu, pengantin perempuan yang sebelumnya sudah dirias dukun
nganten (rambut digelung dengan gelungan pasangan, dahi dan alis di kerik
rambutnya, dsb.nya) untuk akad nikah, dirias selengkapnya lagi di dalam kamar
rias. Lalu setelah siap, ia dituntun/digandeng ke pendopo oleh dua orang Ibu yang
sudah punya anak dan pernah mantu, ditemukan dengan pengantin laki-laki (waktu
diatur yaitu saat pengantin pria tiba di rumah/gedung, pengantin perempuan pun
juga sudah siap keluar dari kamar rias), dengan
iringan gending Kodokngorek. Sedangkan pengantin laki-laki dituntun ke arah
krobongan.
Ketika mereka sudah berjarak sekitar 2 (dua) meter, mereka saling melempar
dengan daun sirih yang dilipat dan diikat dengan benang, yang siapa saja melempar
lebih kena ke tubuh diartikan bahwa dalam hidup perkawinannya akan menang
selalu. Lalu yang laki-laki mendekati si wanita yang berdiri di sisi sebuah baskom
isi air bercampur bunga. Di depan baskom di lantai terletak telur ayam, yang harus
diinjak si laki-laki sampai pecah, dan setelah itu kakinya dibasuh dengan air bunga
oleh si wanita sambil berjongkok. Kemudian mereka berjajar, segera Ibu si wanita
menyelimutkan slindur/selendang yang dibawanya ke pundak kedua pengantin
sambil berucap: Anakku siji saiki dadi loro (anakku satu sekarang menjadi
dua). Selanjutnya mereka dituntun ke krobongan, dimana ayah dari pengantin

perempuan menanti sambil duduk bersila, duduk di pangkuan sang ayah sambil
ditanya isterinya: Abot endi Pak ? (berat mana Pak ?), yang dijawab sang
suami:Pada dene (sama saja). Selesai tanya jawab, mereka berdiri, si laki-laki
duduk sebelah kanan dan si perempuan sebelah kiri, dimana si dukun pengantin
membawa masuk sehelai tikar kecil berisi harta (emas, intan, berlian) dan uang
pemberian pengantin laki-laki yang dituangkan ke tangan pengantin perempuan
yang telah memegang saputangan terbuka, dan disaksikan oleh para tamu secara
terbuka. Inilah yang disebut kacar-kucur.
Guna lambang kerukunan di dalam hidup, dilakukan suap-menyuap makanan
antara pengantin. Bersamaan dengan ini, makanan untuk tamu diedarkan (sekarang
dengan cara prasmanan) berurutan satu persatu oleh pelayan. Setelah itu,
dilakukan acara ngabekten (melakukan sembah) kepada orang tua pengantin
perempuan dan tilik nganten (kehadiran orang tua laki-laki ke rumah/gedung
setelah acara temu selesai yang langsung duduk dikrobongan dan disembah kedua
pengantin).
Lalu setelah itu dilakukan kata sambutan ucapan terima kasih kepada para tamu
dan mohon doa restu, yang kemudian dilanjutkan dengan acara hiburan berupa
suara gending-gending dari gamelan, misalnya gending ladrang
wahana, lalu tayuban bagi jamannya yang senang acara itu, dsb.nya.
Mati/Wafat

Demikian, sepasang pengantin itu akan mempunyai anak, menjadi


dewasa, kemudian mempunyai cucu dan meninggal dunia. Yang
menarik tapi mengundang kontraversi, adalah saat manusia mati.
Sebab bagi orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang
meninggal selalu didandani berpakaian lengkap dengan kerisnya
(ini sulit diterima bagi orang yang mendalam keislamannya),
juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu) yang digunakan secara
permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur bersama-sama
dengan mayatnya).
Sebelum mayat diberangkatkan ke alat pengangkut (mobil
misalnya), terlebih dahulu dilakukan brobosan (jalan sambil

jongkok melewati bawah mayat) dari keluarga tertua sampai dengan


termuda.
Sedangkan meskipun slametan orang mati, mulai geblak (waktu matinya), pendak
siji (setahun pertama), pendak loro (tahun kedua) sampai dengan nyewu (seribu
hari/3 tahun) macamnya sama saja, yaitu sego-asahan dan segowuduk, tapi saat
nyewu biasanya ditambah dengan memotong kambing untuk disate dan gule.
Nyewu dianggap slametan terakhir dengan nyawa/roch seseorang yang wafat
sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya akan datang menjenguk
keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah dibersihkan agar nyawa nenek
moyang atau orang tuanya yang telah mendahului ke alam baka akan merasa
senang melihat kehidupan keturunannya bahagia dan teratur rapi. Itulah, mengapa
orang Jawa begitu giat memperbaiki dan membersihkan rumah menjelang hari Idul
fitri yang dalam bahasa Jawanya Bakdan atau Lebaran dari kata pokok bubar yang
berarti selesai berpuasanya.

TERIMA
KASIH

NILAI

TTG

TTOT

KLIPPING
ADAT ISTIADAT
DI DAERAHMU

LAURA ANGGITA
WIDYANATALI
5 / 21

Anda mungkin juga menyukai