Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
Infeksi pada saluran empedu, termasuk saluran empedu dan kantong empedu,
yang paling sering disebabkan oleh obstruksi aliran empedu. Di Amerika Serikat dan
banyak negara-negara maju, banyak di jumpai penderita batu empedu dan sering tanpa
gejala. Di Amerika Serikat, diperkirakan bahwa 25 juta orang dewasa menderita batu
empedu [1] . Batu empedu dapat menghalangi saluran empedu dan pada umumnya
menimbulkan peradangan dan akan berlanjut menjadi infeksi. Pada kasus infeksi bilier
yang sering di jumpai yaitu kolesistitis dan kolangitis. Sekitar 120.000 kolesistektomi
dilakukan setiap tahun di Amerika Serikat untuk kolesistitis akut, yang paling sering
terkena dampak batu empedu (cholelithiasis) [2]. Sekitar 90-95% kolesistitis disebabkan
oleh gallstones dan kolesistitis akalkulus sekitar 5-10%. Penyebab lain dari obstruksi
bilier termasuk tumor dari biliary tree atau tumor organ disekitarnya dan striktur pasca
operasi atau termasuk infeksi bilier sebelumnya. Obstruksi empedu dan radang dapat
mengakibatkan infeksi bakteri empedu, yang dapat mengakibatkan morbiditas berat dan
kematian [3] Wanita memiliki dua sampai tiga kali prevalensi batu empedu dibandingkan
dengan laki-laki, dan kulit putih memiliki dua kali prevalensi kulit hitam. [4] .
Kholangitis disebabkan oleh adanya obstruksi pada sistem aliran empedu

(1,2,3)

Charcot adalah yang pertama kali menemukan kholangitis dan pada tahun 1877 yang
ditandai dengan adanya trias (Charcot's triad), yaitu adanya demam, jaundice, dan nyeri
di perut kanan atas. Dia membuat suatu postulat bahwa "stagnant bile" sering
dihubungkan dengan kelainan obstruktif saluran empedu yang sering diakibatkan oleh
batu atau striktur. Rogers pada tahun 1903 adalah orang yang pertama kali melakukan
pengelolaan kholangitis secara pembedahan dengan melakukan dekompresi pada biliary
tree dengan mengangkat batu pada saluran tersebut dan menggantinya dengan tabung
kaca. Pada tahun 1940 dikemukakan bakteria di dalam patogenesis kholangitis. Pada era
yang sama pula diperkenalkan pemberian antibiotik sistemis pada pengelolaan infeksi
saluran empedu(2).
Pada tahun 1959, Reynolds dan Dargan mendeskripsikan suatu bentuk yang
lebih berat dari kholangitis dengan ditandai adanya septic shock dan gangguan
kesadaran. Bila digabungkan dengan Charcot's triad maka disebut "Reynolds 'pentad(2).

Termasuk dalam penyakit ini adalah acute (ascending) cholangitis, oriental or


recurrent cholangitis, acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)-related sclerosing
cholangitis (AIDS cholangiopathy), dan primary sclerosing cholangitis (PCS)(4)
Namun sebelum tahun 2007 tidak ada satupun kriteria yang digunakan secara
baku untuk menentukan diagnosis dari kolesistitis akut dan kolangitis akut. Kebanyakan
didasarkan pada gejala klinis nyeri hipokondrium kanan yang merupakan gejala utama.
pada tahun 2007 dipublikasikan Tokyo Guideline for the management of acute
cholecystitis and acute cholangitis, dimana didalamya juga mencakup kriteria untuk
menegakkan diagnosis dari kolesistitis akut dan kolangitis akut. Dan dalam
perjalanannya tatalaksana kolesistitis akut dan kolangitis akut disempurnakan pada
revisi pada Tokyo Guideline for the management of acute cholecystitis and acute
cholangitis 2013.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi
Kandung empedu merupakan sebuah kantung yang berbentuk seperti buah pir

dengan panjang 7 12,5 cm, dengan kapasitas produksi rata rata 30 50 ml, namun
kantung

ini dapat mengalami distensi sampai mampu menampung 300 ml cairan

empedu. Kandung empedu terletak di dalam fossa pada permukaan inferior liver
diantara lobus kanan dan kiri .

Kandung empedu secara anatomis dibagi menjadi :


1. Fundus ( mengandung paling banyak otot polos)
2. korpus ( mengandung paling banyak jaringan elastic),
3. infundibulum ( bagian yang melengkung dan berhubungan dengan duktus
sistikus), dan
4. leher ( terletak pada bagian terbawah fossa vesica felea yang meluas sampai
bagian bebas dari ligamentum hepatoduodenale).

Kandung empedu dilapisi oleh satu lapis epithel thorak yang mengandung kolesterol
dan lemak, Mukus disekresikan kedalam kandung empedu oleh kelenjar tubuloalveolar
yang terdapat di daerah infundibulum dan leher kandung empedu. Sel epithel yang
melingkupi kandung empedu ditunjang oleh lamina propria, lapisan otot terdiri dari otot
longitudinal, sirkular dan oblique namun dengan batasan yang tidak jelas, perimuskular
serosa mengandung pembuluh darah, nervus,limfatik, adipose dan penunjang lainnya.
Kandung empedu berbeda dengan traktus gastrointestinalis lainnya karena kekurangan
submukosa dan mukosa.

2.2

Vaskularisasi

Kandung empedu mendapatkan darah dari arteri sistikus yang merupakan


cabang dari arteri hepatica kanan (> 90%). Perjalanan arteri ini mungkin sangat
bervariasi namun biasanya terdapat dalam segitiga hepatosiskitus (Calot triangle) yang
meliputi: duktus sistikus, duktus koledokus dan tepi dari liver. Arteri sistikus dalam
perjalanannya akan bercabang dua ke anterior dan posterior dari kandung empedu.

Aliran darah balik sebagian besar melalui vena vena kecil yang langsung
menuju ke liver hanya sebagian kecil yang menuju vena sistikus yang besar dan
kemudian menuju ke vena porta.
2.3

Limfatik

Drainage limfatik kandung empedu menuju kelenjar getah bening bagian leher
kandung empedu, yang kadang terlihat terletak tepat diatas dari arteri sistikus pada saat
akan masuk kedalam kandung empedu.

2.4

Innervasi
Persarafan berasal dari nervus vagus dan cabang simpatis dari pleksus celiakus.

2.5.

Duktus Biliaris

Duktus biliaris ekstra hepatal terdiri dari : duktus hepatikus kanan dan kiri,
duktus hepatikus komunis, duktus sistikus dan duktus koledokus, duktus koledokus
masuk kedalam bagian kedua dari duodenum melalui struktur muscular yaitu spinkter
oddi.
Duktus hepatikus kiri lebih panjang dari duktus hepatikus kanan sehingga
mempunyai kecenderungan untuk mengalami dilatasi pada saat adanya obstruksi di
bagian distal.
Duktus hepatikus komunis: merupakan penyatuan duktus hepatikus kiri dan
kanan pada saat meninggalkan liver. Duktus hepatikus komunis mempunyai panjang
antara 1 4 mm dengan diameter 4 mm.
Duktus hepatikus kanan terletak di depan vena porta dan disebelah kanan dari
arteri hepatikus kanan. Duktus hepatikus komunis kemudian bergabung dengan duktus
sistikus membentuk duktus koledokus.
Duktus sistikus mempunyai panjang yang bervariasi, ada yang pendek , atau
tidak ada duktus sistikus karena langsung menempel dengan duktus hepatikus komunis,

ada yang panjang berjalan parelel sepanjang duktus hepatikus komunis, atau yang
berbentuk spiral menuju duktus hepatikus kanan sebelum menyatu. Variasi dari duktus
sistikus dan titik penyatuannya secara surgikal sangat penting. Segmen dari duktus
sistikus yang menempel ke duktus hepatikus komunis membawa sejumlah mukosa yang
disebut katup spiral dari Heister (the spiral valves of Heister), katup ini tidak
mempunyai fungsi sebagai katup namun mungkin dapat menyebabkan kanulasi duktus
sistikus menjadi sulit.
Duktus koledokus mempunyai panjang antara 7 10 cm , dengan diameter
antara 5 10 mm. Duktus koledokus ini di bagian menjadi 3 bagian yaitu : 1/3 atas
( Supra duodenum )berjalan kebawah di dalam tepi bebas dari ligamentum
hepatoduodenale; disebelah kanan arteri hepatika dan anterior vena porta hepatica, 1/3
tengah (retroduodenum) berjalan dibelakang dari bagian pertama duodenum kemudian
berjalan menyimpang di sebelah lateral arteri hepatica dan vena porta, 1/3 distal
(pancreas ) berjalan dibelakang kaput pancreas kemudian masuk ke bagian kedua dari
duodenum. Duktus koledokus berjalan di dalam dinding duodenum sepanjang 1 2 cm
sebelum keluar menuju ampulla vateri ( terletak 10 cm di distal dari pylorus ).

Ada 3 jenis konfigurasi penyatuan dari duktus koledokus dan duktus


pankreatikus : 70% duktus koledokus dan pankreatikus menyatu di luar dinding
duodenum sehingga ketika keluar di bagian kedua dari duodenum sudah sebagai 1
saluran, 20% duktus koledokus dan duktus pankreatikus menyatu di dinding duodenum
dengan keluar sebagai 1 saluran, 10% duktus koledokus dan duktus pankreatikus tetap
sebagai saluran terpisah di bagian kedua duodenum.

Spinkter oddi suatu otot polos sirkuler yang melingkupi duktus koledokus pada
ampulla vateri berfungsi untuk mengatur aliran dari empedu dan kadang kala cairan
pancreas ke dalam duodenum.
2.6

Fisiologi

1.

Bentuk dan komposisi empedu


Liver memproduksi dan mensekresi empedu secara terus menerus sepanjang hari

dengan jumlah produksi berkisar antara 500 1000 ml setiap harinya. Sekresi
dipengaruhi oleh rangsangan neurogenik, humoral dan kimia. Rangsangan vagal
menyebabkan sekresi dari empedu sementara rangsangan nervus splanknikus
menyebabkan penurunan aliran empedu. Asam hidroklorida, sebagian protein yang
terdigesti dan asam lemak di dalam duodenum menyebabkan pelepasan sekretin yang
akan merangsang peningkatan produksi empedu dan aliran empedu.

Empedu terutama terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lemak, dan
pigmen empedu. Konsentrasi natrium, kalium , clorine dan calcium di dalam plasma
dan ekstra seluler sama dengan di dalam empedu. PH dari empedu hepar pada dasarnya
netral atau sedikit basa namun dapat bervariasi tergantung dari makanan , jika makanan
mengandung banyak protein maka PH akan menjadi sedikit lebih asam
Garam empedu utama yaitu cholat dan chenodeoxycholat yang berasal dari
pemecahan kolesterol di sintesa di liver. Garam empedu ini kemudian berkonjugasi
dengan taurin dan glisin dan berfungsi sebagai anion. Garam empedu ini kemudian
diekskresikan kedalam empedu oleh sel sel hepatosit dan digunakan untuk proses
digesti dan absorpsi lemak di usus halus. Dalam usus halus 80% garam empedu yang
terkonjugasi akan diabsorpsi di terminal ileum. Sisanya dehidrosilat ( tidak terkonjugasi
)oleh bakteri usus membentuk asam empedu sekunder deoxycholat dan lithocholat.
Asam empedu sekunder ini di absorpsi di colon,kemudian di bawa kembali ke dalam
liver mengalami konjugasi dan kemudian disekresikan kedalam empedu kembali.
Sebenarnya 95% asam empedu di reabsorpsi dan kembali ke system vena porta melalui
liver sehingga disebut sirkulasi enterohepatik dan sisanya dikeluarkan melalui tinja.
Namun walau sedikit yang diekskresikan mempunyai efek yang maksimal

10

Warna empedu disebabkan adanya pigmen empedu bilirubin diglucoronida yang


merupakan metabolit produk dari pemecahan hemoglobin, dan pada waktu muncul di
empedu konsentrasinya 100 kali lebih pekat dari pada di dalam plasma. Pada saat di
dalam usus halus oleh bakteri diubah menjadi urobilinogen dan sebagian diabsorpsi dan
di sekresikan kembali kedalam empedu.
2.

Fungsi Kandung empedu


Kandung empedu, duktus biliaris dan sfingter oddi secara bersama sama

berfungsi untuk menyimpan dan mengatur aliran dari empedu. Fungsi utama dari
kandung empedu untuk memekatkan dan menyimpan empedu dari liver untuk kemudian
mengalirkan kedalam duodenum sebagai respon terhadap makanan.
3.

Absorpsi dan Sekresi


Pada waktu puasa 80% empedu yang dihasilkan oleh liver disimpan dalam

kandung empedu dan didalamnya terjadi proses absorpsi

karena perunit area dari

mukosa kandung empedu mempunyai kemampuan absorpsi yang tinggi yang


mengakibatkan perubahan konsentrasi empedu. Absorpsi ini juga mencegah terjadinya
peningkatan tekanan intra luminal dari kandung empedu.
Sel epithel kandung empedu juga mensekresikan dua buah produk penting
kedalam lumen kandung empedu yaitu: glikoprotein dan ion hydrogen. Kelenjar
mukosa di infundibulum dan leher kandung empedu mensekresikan mucus yang
mengandung glikoprotein yang bertujuan melindungi mukosa kandung empedu dari
proses litik oleh empedu dan juga memungkinkan pasase dari empedu keluar dari
kandung empedu. Pada waktu obstruksi duktus sistikus terjadi peningkatan mucus dan
absorpsi empedu sehingga terbentuk white bile dan gambaran hidrops dari kandung
empedu. Ion hydrogen yang dihasilkan epithel kandung empedu menyebabkan
terjadinya penurunan PH dari empedu sehingga lebih asam dan juga mencegah
tebentuknya garam calcium.
4.

Aktifitas Motorik
Pengisian kandung empedu disebabkan karena kontraksi dari sfingter oddi. Pada

waktu makanan sampai pada duodenum hormone CCK ( Cholesistokinin ) hormone

11

yang dihasilkan secara endogen oleh duodenum sebagai rangsangan adanya makanan
merupakan rangsangan utama pengosongan kandung empedu. Ketika ada makanan
kandung empedu mengeluarkan isinya sebanyak 50% - 70% dalam waktu 30 40 menit
dan dalam waktu 60 90

menit kemudian terisi kembali secara gradual; hal ini

berkorelasi karena terjadi penurunan kadar hormone CCK. Defek dari aktifitas motorik
ini menyebabkan terjadinya nukleasi cholesterol dan merangsang terbentuknya batu
empedu.
5.

Regulasi neurohormonal
Nervus vagus merangsang kontraksi kandung empedu sementara rangsangan

simpatis

splanknik

menyebabkan

inhibis

iaktifitas

motorik.

Obat

obat

parasimpatomimetik menyebabkan kontraksi kandung empedu , atropine menyebabkan


relaksasi. Reseptor hormonal terdapat pada otot polos, nervus, pembuluh darah, dan
epitel kandung empedu. CCK merupakan protein yang terdapat pada traktus intestinalis
bagian atas dimana konsentrasi tertinggi di dalam duodenum, mempunyai efek langsung
terhadap reseptor yang terdapat pada otot polos kandung empedu menyebabkan
kontraksi kandung empedu, relaksasi duktus biliaris distal dan sfingter oddi dan
duodenum. Stimulasi CCK terhadap duktus biliaris dan empedu juga dipengaruhi oleh
neuro vagal kolinergik sehingga pada pasien yang mengalami vagotomi respon terhadap
stimulasi CCK menghilang menyebabkan ukuran dan volume kandung empedu
meningkat.
2.7

Sfingter Oddi
Merupakan struktur komplek yang mengatur aliran empedu ke dalam

duodenum, mencegah regurgitasi isi duoedum ke dalam duktus biliaris dan mengalirkan
empedu kedalam kandung empedu. Panjang 4 6 mm dengan tekanan basal dalam
keadaan istirahat 13 mmHg diatas tekanan dalam duodenum. Kontraksi 4 kali permenit
dengan amplitude 12 140 mmHg. Relaksasi dipengaruhi peningkatan kadar CCK.

12

2.8

Epidemiologi
Secara epidemiologis, penyakit ini menunjukkan insidensi yang berbeda-beda di

seluruh dunia. Berbeda dengan kolesistitis di Amerika Serikat Kholangitis relatif jarang,
dan kejadiannya sering berhubungan dengan penyebab obstruksi dan baktibilia yaitu
pada prosedur ERCP (1-3%) yang sering terjadi akibat injeksi zat kontras secara
retrograd. Sedangkan di negara-negara lainnya, Oriental cholangio-hepatitis sangat
endemik di Asia Tenggara, Cina, dan Taiwan. Pada bentuk ini sering timbul " recurrent
pyogenic cholangitis" dengan batu intra & extrahepatal pada 70-80% pasien dan
cholelithiasis pada 50-70% pasien. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin di dalam
insidensi penyakit ini. Mayoritas pasien berusia antara dekade ke-empat dan lima, serta
pada usia yang lebih tua akan lebih banyak disertai penyakit penyerta lainnya dan
tingkat mortalitasnya pun lebih tinggi(3).
Secara ras terdapat perbedaan insidensi kholangitis. Namun hal ini ternyata lebih
disebabkan oleh pola makanan yang berbeda. Pada bangsa-bangsa di Eropa Utara,
Hispanik, Amerika, dan Indian yang mempunyai kebiasaan untuk mengkonsumsi diit
tinggi lemak, maka kholangitis terjadi berhubungan dengan cholelithiasis yang
disebabkan oleh batu cholesterol. Sebaliknya pada bangsa-bangsa yang banyak
mengkonsumsi makanan tinggi serat seperti di Asia, maka penyebab kholangitis
tersering adalah batu primer pada ductus choledochus yang disebabkan oleh infeksi,
stasis empedu, striktur dan parasit ("recurrent pyogenic cholangitis"). Sedangkan di
Afrika : terdapat hal yang unik yaitu berkaitan dengan pasien yang menderita "sickle
cell anemia". Mortalitas penyakit ini dahulu sangat tinggi yaitu 100 %, terutama jika
disertai oleh penyakit penyerta. Sekarang angka mortalitasnya jauh menurun yaitu

13

berkisar antara 7 -40 %. Jika dilakukan tindakan operasi emergensi maka kematiannya
akan meningkat yaitu 17-40 %. Namun demikian, apabila dilakukan terapi bedah
definitifhya secara elektif, tingkat mortalitasnya akan menurun sampai dengan 3 %
saja(3).
2.9

Etiologi
Penyakit yang menyebabkan perlambatan atau berhentinya aliran empedu cukup

banyak sehingga sering menyebabkan kesukaran dalam diagnosis. Dapat disebabkan


oleh berbagai keadaan patologis yang semuanya akan berakhir dengan stasis aliran
cairan empedu dan akhirnya terjadi infeksi oleh bakteri akibat adanya multiplikasi yang
meningkat pada sistem bilier. Kelainan yang paling sering menimbulkan obstruksi
adalah batu saluran empedu (hampir 90%), penyebab lainnya adalah striktur yang dapat
terjadi setelah pembedahan atau tindakan endoskopi atau sekunder setelah sclerosing
cholangitis; kista; divertikula; kelainan kongenital; choledocele; pankreatitis; neoplasma
pankreas atau kholedokal; parasit (Ascaris, Clonorchis, atau Echinococcus spp.);
hambatan pada tabung drainase; atau kompresi ekstrinsik. Sumbatannya sendiri selalu
komplet yang mengakibatkan bahan yang terinfeksi tidak dapat dikeluarkan secara
adekuat. Selain itu peningkatan tekanan intraduktal dapat menimbulkan aliran balik
(reflux) cairan empedu dan bakteriemia sehingga dapat menyebabkan septic shock dan
kematian.
Di negara-negara Asia Tenggara dan Cina cacing tidak jarang ditemukan sebagai
penyebab, walaupun jenis cacing yang ditemukan berbeda-beda.
Etiologi Kholangitis :

Batu empedu dan saluran bilier

Striktur sistem bilier

Neoplasms pada sistem bilier

Komplikasi iatrogenik akibat manipulasi "CBD" (Common Bile Duct)

Parasit: cacing Ascaris, Clonorchis sinensis

Pankreatitis kronis

14

Pseudokista atau tumor pankreas

Stenosis ampulla

Kista Choledochus kongenital atau penyakit Caroli

Sindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi

Diverticulum Duodenum

2.10

Patogenesis
Kolesistitis dan kolangitis terjadi oleh karena adanya infeksi pada cairan

empedu, yang disebut sebagai bactibilia; sumbatan parsial atau total pada duktus
sistikus dan koledokus (common bile duct (CBD)), akan terjadi peningkatan tekanan
intraluminal; multiplikasi organisme di dalam saluran empedu, sehingga sering terjadi
penyebaran di dalam aliran darah.
Cairan

empedu

normalnya

steril.

Faktor-faktor

perlindungan

mekanis

("mechanical" factors protecting) pada biliary tree antara lain sphincter Oddi yang
menjaga aliran balik intestinal content ke dalam CBD; tight junction diantara hepatosit,
yang memisahkan bile canaliculi dari hepatic sinusoid berfungsi melindungi biliary tree
dari transient bacteriemia. Selain itu sel-sel Kupffer di dalam hepatic sinusoid juga
membantu mempertahankan sterilitas dari biliary system dengan cara phagositosis.
Cairan empedu sendiri mempunyai daya antibakterial termasuk IgA dan garam
empedu. Yang terakhir, semprotan aliran empedu dari liver ke intestine menjaga biliary
system tetap bersih dari organisme. Lydakis menemukan pada penderita dengan
kholedokoduodenostomy dimana terjadi perlambatan pengosongan empedu ternyata
hasil kultur darahnya positif.
Infeksi saluran empedu lebih mungkin terjadi pada keadaan adanya abnormalitas
dari biliary tree termasuk batu dan striktur. Partial malignant obstruction juga
dihubungkan dengan infeksi biliaris, namun infeksi lebih jarang terjadi pada complete
neoplastic obstruction. Biliary bacteria juga dapat memecah (deconjugate) bilirubin dan
menghidrolisa phospholopids. Hasil pemecahan tersebut dapat membentuk batu dan
lumpur (sludge), yang dapat menyumbat saluran empedu yang sudah mengalami
konstriksi atau yang sebelumnya dilakukan pemasangan kateter dan stent untuk
mengalirkan cairan empedu pada sistem bilier yang abnormal.

15

Peningkatan jumlah bactibilia pada keadaan patologis biliaris, obstruksi total


biliaris menyebabkan suatu keadaan yang disebut "immune malfunction". Beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa dengan tidak adanya garam empedu dan biliary IgA
di dalam intestine menyebabkan perubahan koloni bakteri di dalam usus halus. Pada
keadaan normal terdapat sedikit koloni bakteri coliform di dalam duodenum dan
jejunum. Ding dan kawan-kawan menemukan pada penelitiannya terhadap tikus yang
dilakukan ligasi dan transeksi CBD terdapat pergeseran flora kuman di dalam caecum
ke kuman Escherichia coli dan "microaerobes" sedangkan jumlah kuman lactobacilli
menurun.
Selain terjadi perubahan koloni bakteri di dalam duodenum dan intestine juga
ditemukan adanya bakteri di nodus limfatikus mesenterium, di sirkulasi portal, liver,
lien dan paru-paru. Peningkatan translokasi kuman ini mungkin sebagian disebabkan
oleh tidak adanya garam empedu, dan yang juga bertanggung jawab terhadap adanya
translokasi dari endotoksin. Oleh karena itu garam empedu mempunyai "detergent "
effect terhadap endotoksin.
Pengaruh endotoksin pada fungsi immun terjadi secara langsung maupun
melalui cytokine. Contohnya, peritoneal macrophage dari germ-free rats yang dilakukan
ligasi pada saluran empedu ternvata tidak menghasilkan tumor necrosis factor (TNF),
suatu mediator endotoxin toxicity, hal ini menunjukkan pengurangan endotoksin
terinduksi di dalam cell-mediated immunity mungkin diperantarai oleh TNF dan
cytokine-cytokine lainnya. Baik pada percobaan dengan tikus yang dilakukan obstruksi
biliaris secara eksperimental maupun pasien dengan acute cholangitis terdapat
peningkatan kadar beberapa cytokine, termasuk TNF-alpha, IL-6, IL-8, dan IL-1
receptor antagonist.
Terdapat juga perubahan pada fungsi neutrophil yang ditemukan pada
obstructive jaundice. Pada penelitian binatang dan klinis menunjukkan adanya
pengurangan phagositosis, kerusakan adhesi, dan respon abnormal terhadap cytokine,
kesemuanya dapat mengurangi respon neutrophil terhadap infeksi. Selain itu, sebagian
besar penelitian terhadap funsi phagositosis sel Kupffer pada model binatang obtruksi
biliaris memperlihatkan adanya kerusakan, yang dapat pulih kembali jika sumbatannya
dihilangkan.

16

Dengan berkurangnya pertahanan terhadap infeksi pada obstruksi biliaris,


bakteri dapat mencapai biliary tree. Jalumya sendiri tidak diketahui, namun diduga
dapat melalui asceding dari duodenum; melalui portal venous system, melalui sekresi
dari liver, mungkin setelah penyebaran melalui darah portal, melalui lymphatic, atau
melalui kandung empedu yang terinfeksi.
2.11

Patofisiologi
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak

mengalami hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kolesistitis
dan kolangitis terjadi akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai
oleh bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh batu
"CBD" , striktur, stenosis, atau tumor , serta manipulasi endoskopik "CBD". Dengan
demikian pasase empedu menjadi lambat sehingga bakteri dapat berkembang biak
setelah mengalami migrasi ke sistem bilier melalui vena porta, sistem limfatik porta
ataupun langsung dari duodenum. Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara asenden
menuju duktus hepatikus, yang pada akhimya akan menyebabkan tekanan intrabilier
yang tinggi dan melampaui batas 250 mmH 20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik
empedu yang berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan
limfatik perihepatik, sehingga pada gilirannya akan terjadi bakteriemia yang bisa
berlanjut menjadi sepsis (25-40%).
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu
sepsis berlanjut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal
ginjal yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multipel)
dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka prognosisnya menjadi
lebih buruk. Beberapa kondisi yang memperburuk prognosis adalah sebagai berikut :

Umur

Febris

Lekositosis

Syok Septik

Kultur darah (+)

17

Gangguan sistem phagositosis

Immunosuppresi

Adanya Neoplasma hepar

Obstruksi intrahepatal multipel

Penyakit hepar kronis

Abses hepar

2.12

Bakteriologi
Adanya infeksi bakteri merupakan hal yang penting di dalam patogenesis

kholangitis. Sesuai dengan rute infeksi yang telah diuraikan sebelumnya, maka jenis
bakteri yang dapat ditemukan pada kultur cairan empedu maupun darah adalah yang
terbanyak berturut-turut yaitu bakteri gram negatif, anaerob dan gram positif yang
terutama berasal dari usus halus. Tabel 1. Memperlihatkan berbagai jenis bakteri yang
dapat ditemukan pada kultur empedu maupun darah.
Cholecystitis
Escherichia coli

Kholangitis

31 %

Keduanya

Darah

26%

44%

26%

Enterococcus

18%

11%

13%

9%

Klebsiella spp

15%

12%

11%

14%

Pseudomonas spp

6%

5%

5%

9%

Enterobacter spp

2%

5%

4%

1%

Staphylococcus

0.3%

3%

3%

9%

Bacteriodes spp

3%

4%

4%

2%

Clostridium spp

2%

4%

3%

0.3%

Toloza EM & Wilson SF. In: Fry DE (ed). Surgical Infections

18

Terdapat berbagai

faktor yang dapat dijadikan prediktor terjadinya baktibilia,

faktor-faktor prediktor terjadinya baktibilia, antara lain:

Umur > 60 tahun

Febris>37.3 C

Bilirubin Total > 8.6

Lekositosis > 14.000/mm3

Episode cholecystitis akuta atau kholangitis yang baru lalu

Kanulasi bilier atau prosedur by pass

Diabetes mellitus

Hyperamylasemia

Obesitas

Toloza EM & Wilson SF. In: Fry DE (ed). Surgical Infections 1995
2.13

Diagnosis
Diagnosis kholangitis akuta dapat ditegakkan secara klinis yaitu dengan

ditemukannya "Charcot's Triad " yang terdiri dari nyeri di kuadran kanan atas, ikterus
dan febris yang dengan/tanpa menggigil. Namun demikian, kurang dari 50 % kasus
ditemukan ketiganya secara bersamaan. Adapun frekuensi gejala-gejala dan tanda-tanda
yang dapat ditemukan adalah :

Febris > 38 C

: 87-90%

Nyeri abdomen

: 40 %

Ikterus

: 65 %

Tidak ditemukannya ketiga tanda tersebut secara bersamaan terutama


disebabkan oleh obstruksi saluran empedu yang tidak komplit. Apabila keadaan
penyakit menjadi lebih berat yaitu disertai oleh sepsis atau syok maka akan
ditemukan.lReynold's Pentad" yang ditandai oleh Charcot's triad ditambah dengan
Mental confusion / Lethargy dan syok. Kedaan ini terjadi pada 10 - 23 % pasien.
Perubahan tersebut disebabkan-oleh obstruksi total saluran empedu sehingga tekanan
yang meningkat menyebabkan refluks aliran empedu sehingga bakteri dapat mencapai

19

sistem pebuluh darah sistemik dan terjadi sepsis. Oleh karena itu pada keadaan ini perlu
segera dilakukan drainase untuk dekompresi dan pengendalian terhadap sumber infeksi.
Kriteria Diagnostik Kolangitis Akut
A. Tanda tanda infeksi sistemik
A.1. Demam dan atau menggigil ( > 38 o C )
A2. Data laboratorium bukti adanya respon inflamasi :
Lekosit abnormal ( <4.000 atau >10.000)
CRP 1
B. Kolestasis
B.1. Jaundice (T-Bil 2 mg/dl)
B.2. Data laboratorium LFT yang abnormal :
Peningkatan serum ALP, r-GTP (GGT), AST dan ALT sebanyak 1,5x nilai normal
C. Imaging ( USG.CT Scan, MRCP )
C.1. Dilatasi saluran bilier
C.2. Bukti adanya etiologi seperti batu, striktur, stent, dan lain lain.
Suspected diagnosis : satu item A + satu item B atau C
Definite diagnosis

: satu item A + satu item B + satu item C

Berdasarkan Tokyo Guidelines maka berat ringan nya Cholangitis dibagi menjadi:
1. Mild Cholangitis : Cholangitis yang masih berrespon terhadap therapi medikal
2. Moderate Cholangitis : tidak berrespon terhadap therapi medikal tapi belum ada
kegagalan organ
3. Severe Cholangitis :
a. Disfungsi kardiovaskular :hipotensi yang membutuhkan dopamine > 5
g/kg per min, atau dobutamine
b. Disfungsi neurologis : penurunan kesadaran
c. Disfungsi respirasi: PaO2/FiO2 ratio < 300
d. Disfungsi renal : oliguria, creatinine > 2.0 mg/dL
e. Disfungsi liver : PT-INR > 1.5
f. Disfungsi haematologi : trombosit < 100.000/mm3
Pemeriksaan alat bantu terutama berguna untuk mencari kemungkinan etiologi
cholangitis yang sangat menentukan jenis terapi yang harus dilakukan sebagai terapi
pembedahan definitif maupun untuk tujuan dekompresi sementara. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah:

20

1. USG hepatobilier dan pankreas :


a. Dapat ditemukan "CBD" yang berdilatasi.
b. Kemungkinan disertai dengan batu "CBD".
2. CT.Scan lebih sensitif dan spesifik dari pada USG dan memberikan gambaran :
a. Batu "CBD".
b. Tumor sistem bilier atau pankreas
c. Batu pada sistem bilier intrahepatal
d. Adanya atrofi pada hepar
e. Abscess pada hepar (biasanya multipel bi!a penyebabnya batu)
3. MRI Cholangiografi :
Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik, serta akurat, yaitu masing-masing
91.6 %,: 100 %, dan 96.8 %. Kelebihan alat ini adalah non invasif, dapat dilakukan
hampir semua usia dan dapat membedakan jenis batu cholesterol dari jenis lainnya
secara jelas.
4. Cholangiography :
Menimbulkan morbiditas 1-7 % dan mortalitas 0,25%, oleh karena itu sebaiknya
dihindari, kecuali disertai oleh tindakan dekompresi yang dilakukan bersama-sama.
Dapat dilakukan secara ERCP (Endoscopic Retrograde Choalngio Pancreatography)
ataupun PTC (Percutanues Transhepatic Cholangiography).
5. Cholescintigraphy dengan HIDA :
a. Menunjukkan "Liver uptake"
b. Tidak terdapat visualisasi kandung empedu. CBD, maupun usus halus oleh
karena adanya obstruksi total.
6. Laboratorium, menunjukkan perubahan-perubahan sebagai berikut :
a. Leukositosis > 10.000 / mm3

: 33-80%

b. Serum bilirubin 2-10 mg/dl

: 68-76 %

c. Alkali phosphatase 2-3,. normal pada 90%


d. C-reactive protein : Biasanya ditemukan peningkatan

21

Menurut Tokyo Guideline, diagnostik kolesistitis akut didasarkan kepada


pemeriksaan fisik tanda tanda inflammasi lokal, tanda tanda inflammasi sistemik dan
pemeriksaan imaging. Pada pemeriksaan fisik tanda tanda lokal pada abdomen yang
dicari adalah Murphys sign dan adanya nyeri/massa pada abdomen kanan atas. Tanda
tanda inflamasi sistemik yang dinilai adalah adanya demam, peningkatan CRP lebih dari
3 mg/dl dan lekositosis lebih dari 10.000/mm3.
Pemeriksaan diagnostic imaging yang sangat baik dalam menegakkan diagnosis
kolesistitis akut adalah pemeriksaan ultrasonografi ( USG ). Diagnosis acute calculous
cholecystitis dapat ditegakkan dari pemeriksaan USG jika didapatkan adanya penebalan
dinding kandung empedu ( 5 mm ), pericholecystic fluid, nyeri pada saat probe USG
ditekan ke arah kandung empedu ( ultrasonography Murphys sign ). Dapat pula
ditemukan adanya pembesaran kandung empedu, batu/sludge kandung empedu, debris
echo atau gas imaging.\
Selain USG dapat pula digunakan CT Scan abdomen dalam penegakkan diagnosis
kolesistitis akut. Gambaran kolesistitis akut yang bisa didapatkan antaralain:
pembesaran kandung empedu, penebalan dinding kandung empedu, edema subserosal,
pericholecystic fluid,pericholecystic abscess dan koleksi gas dalam kandung empedu.

Kriteria Diagnostik kolesistitis akut


A. Tanda tanda inflammasi lokal :
1. Murphys sign (keadaan dimana pasien berhenti bernafas karena nyeri ketika
pemeriksa menekan perut kanan atas)
2. RUQ mass/pain/tenderness (RUQ: kuadran kana atas)
B. Tanda tanda inflammasi sitemik
1. Demam
2. Peningkatan CRP

22

3. Peningkatan lekosit
C. imaging findings yang karakteristik untuk kolesistitis akut:
Penebalan dinding kantung empedu (5mm atau lebih)
Pembesaran kantung empedu
Debris echo
USG Murphys sign (
Gambaran udara
Cairan pericholecystic
Suspected diagnosis : satu item A + satu item B
Definite diagnosis

2.14

: satu item A + satu item B + C

Diagnosis Banding
Paling sulit membedakan antara kholangitis dengan kholesistitis akut. Tanda dan

gejala dari keduanya termasuk demam, nyeri di perut kanan atas, dan ikterus.
Nyeri perut pada kholesistitis lebih konsisten, sering lebih berat, dan lebih
mungkin berhubungan dengan peritoneal sign, Jumlah lekosit biasanya meningkat pada
kholesistitis, tapi alkali fosfatase dan aminotransferase biasanya normal atau sedikit
meningkat, kecuali jika disertai dengan kholedokholitiasis atau kholangitis. Kadar
bilirubin pada kholesistitis rentangnya lebar, tapi mungkin meningkat pada keadaan
terdapatnya batu di CBD. Hal ini tidak jelas sebab meningkatnya kadar bilirubin
tersebut, namun kemungkinan oleh karena kompresi CBD oleh kandung empedu yang
mengalami inflamasi, intrahepatic cholestasis, atau peningkatan permeabilitas dari epitel
kandung empedu, yang mengakibatkan bilirubin masuk ke sirkulasi. Pemeriksaan
imaging dari biliary tree dapat membantu membedakan kholesistitis dari kholangitis.
Abses hepar, akibat komplikasi dari cholangitis, harus dibedakan dari
cholangitis pada pemeriksaan USG, CT, atau kadang-kadang dengan Cholescintigraphy
Viral dan drug-induced hepatitis ditandai oleh kadar transaminase yang lebih tinggi
daripada cholangitis.
Pankreatitis ditandai oleh kadar amilase yang lebih tinggi, dan nyeri yang lebih
jelas. Perforasi ulkus duodenum, right-sided pyelonephritis, acute appendicitis, right

23

lobe pneumonia, dan pulmonary infarct harus diidentitikasi dari riwayat, pemeriksaan
fisik serial, dan pemeriksaan laboratorium.
2.15

Penatalaksanaan
Jenis dan waktu terapi yang tepat ditentukan oleh tingkat berat ringannya

kolangitis akut. Drainase bilier dan pemberian antibiotik adalah 2 hal penting dalam
pemberian terapi. Antibiotik segera harus diberikan pada pasien yang dicurigai sebagai
cholangitis pemberian antibiotik berdasarkan berat ringan cholangitis , menurut Tokyo
guidelines pada mild cholangitis pemberian antibiotik cukup 2 -3 hari sementara yang
moderate di berikan selama 5 7 hari. Pada severe cholangitis maka drainage bilier
dilakukan bersamaan dengan pemberian antibiotik

Penatalaksanaan infeksi bilier akut (Dikutip dari Tokyo Guidelines, 2013)


Ketika diagnosis kolangitis akut ditegakkan, terapi medikamentosa seperti
puasa, pemberian cairan intravena, antibiotika dan analgetika diberikan, disertai dengan
monitoring tanda vital dan output urine. Selain itu diperlukan juga penilaian berulang
dari tingkat berat ringannya kolangitis akut berdasarkan responnya terhadap terapi.
Pada mild cholangitis (grade I), pemberian terapi medikamentosa memberikan
respon yang baik. Pada pasien yang tidak berespon baik terhadap medikamentosa harus
dipertimbangkan drainase bilier. Drainase bilier dapat dilakukan dengan menggunakan
endoskopi, perkutaneus ataupun drainage terbuka tergantung etiologinya.

24

Pasien yang tidak memberi respon terhadap medikamentosa tanpa adanya tandatanda gagal organ termasuk ke dalam moderate cholangitis (grade II). Pada pasien ini,
terapi drainase bilier awal dengan endoskopi atau perkutaneus drainase harus dilakukan.
Terapi definitif dengan menghilangkan sumber sumbatan dilakukan setelah kondisi
pasien stabil.
Pasien dengan kolangitis akut dengan kegagalan organ termasuk ke dalam
severe cholangitis (grade III). Pada pasien ini memerlukan terapi suportif seperti
ventilator, obat-obatan inotropik, terapi DIC dll, selain terapi medikamentosa. Drainase
bilier harus dilakukan secepatnya segera setelah pasien stabil. Terapi definitif dilakukan
setelah keadaan akut teratasi. Berdasarkan penelitian randomized controled trial (RCT)
yang telah didiskusikan dalam Tokyo Consensus Meeting, drainase bilier menggunakan
endoskopi berdasarkan tingkat keamanan dan keberhasilannya direkomendasikan A,
sedangkan drainase perkutan direkomendasikan B. Dan indikasi dilakukan drainase
terbuka adalah apabila ada kontraindikasi atau ketidakberhasilan dari drainase dengan
endoskopi atau drainase transhepatik perkutan. Pada keadaan tersebut, tujuan utama
terapi adalah dekompresi bilier sehingga operasi yang dilakukan harus segera dengan
pemasangan T tube dan mengabaikan lithotomy.

25

Bagan penatalaksanaan kolangitis akut akut (Dikutip dari Tokyo Guidelines, 2013)

Perbandingan drainase endoskopi dan drainase terbuka


2.16

Prognosa
Prognosa penderita dengan kholangitis tergantung dari berbagai faktor (multiple

factors). Beratnya penyakit pada saat penderita datang mempunyai pengaruh yang
bermakna. Sebagai contoh, hipotensi dan gangguan sensorium, adanya pus pada biliary
tree, abses hepar atau respon minimal terhadap terapi awal akan meningkatkan
mortalitas. Bila terapi koservatif gagal dan drainase tidak dilakukan pada saat yang tepat
maka angka mortalitas hampir mencapai 100%.
Bila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu sepsis
yang berlarut, gagal organ multiple yang biasanya didahului oleh gagal ginjal
(hepatorenal sindroma), abses hati pyogenik (sering multiple) dan bahkan peritonitis.
Jika sudah terdapat komplikasi maka prognosis menjadi lebih buruk. Beberapa kondisi
yang memperburuk prognosis adalah umur, febris, leukositosis, shock septic, kultur
darah positif, gangguan sistem fagositosis, immunosupresi, adanya neoplasma hepar,
obstruksi intrahepatal multiple, penyakit hepar kronis dan abses hepar.
Tindakan dekompresi secara bedah menunjukkan angka mortalitas antara 2-13%
dan morbiditasnya 12-21%. Dengan drainase endoskopik angka mortalitas 1-13% dan
morbiditas 4-24%. Teknik minimal invasif (PTBD) menunjukkan mortalitas yang
rendah yaitu 0,05-7% dengan angka morbiditas yang bervariasi antara 4-80%. Jika
penyebabnya neoplasma maligna primer maka angka morbiditas tindakan pembedahan
lebih tinggi yaitu sampai 40%, angka ini meningkat bila sudah terdapat metastasis
ekstensif yaitu mencapai 59%.

26

Lai, dkk. mengemukakan faktor-faktor yang dapat meningkatkan angka


mortalitas

post

operasi

adalah

asidemia,

trombositopenia,

hipoalburninemia,

hiperbilirubinemia dan penyakit penyerta lainnya.

BAB III
PENUTUP
Diagnosis pasti ikterus obstruktif adalah penting sekali karena berhubungan
dengan pengobatan, apakah memerlukan tindakan operasi atau hanya medikamentosa.
Dalam usaha menentukan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan yang memberikan
gambaran saluran empedu dan dapat menunjukkan letak sumbatan. Banyaknya imaging
yang dapat dilakukan dengan memakai alat dari yang konvensional sampai alat yang
canggih

maka

pemilihan

pemeriksaan

adalah

amat

penting.

Pemeriksaan

radiologi/imaging untuk menentukan penyebab kholestasis yang sering digunakan


adalah USG, CT-scan, Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP),
Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP), Percutaneous Transhepatic
Cholangiography (PTC), Percutaneous Transhepatic Billiary Drainage (PTBD).

27

DAFTAR PUSTAKA
1.

Mulvihill, 3J. The Biliary System. In: Sabiston DC, Lyerly HK (eds). Sabiston

2.

Essentials of Surgery. WB Saunders Company, 2nd Ed, 1994. Pp: 377-99.


Hanau LH, Steigbigel NH. Acute (Ascending) Cholangitis. In: Infectious Disease

3.

Clinics of North America. Vol. 14, No 3. WB Saunders Company, September 2000.


Hams HW. Biliary System. In: Norton JA, Bollinger RR, Chang AH, Lowry SF,
Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW (eds). In: Surgery Basic Science and Clinical

4.

Evidence. Springer. 2001. Pp: 553-81.


Seymour I. Schwartz; Gallbladder and Extrahepatic Biliary System. In Schwartz
S.I, Principles of Surgery, 7th ed , Singapore , Me Graw Hill International Book c,

5.

1999, pp 1454 June 8, 2006


Lipsett PA, Pitt HA: Acute cholangitis. Surg Clin North Am 1990 Dec; 70(6): 1297-

6.

312[Medline]
Hanau LH, Steigbigel NH: Acute (ascending) cholangitis. Infect Dis Clin North Am

7.

2000 Sep; 14(3): 521-46[Medline].


Lai EC: Management of severe acute cholangitis. Br J Surg 1990 Jun; 77(6): 604-

8.

5[Medline].
Sievert W, Vakil NB: Emergencies of the biliary tract. Gastroenterol Clin North Am
1988 Jun; 17(2): 245-64[Medline].

28

9.

Sinanan MN: Acute cholangitis. Infect Dis Clin North Am 1992 Sep; 6(3): 571-

99[Medline]
10. Rosenthal RJ, MD, Rossi RL, MD, Martin RF, MD: Options and strategies for the
management of choledocholithiasis. World J Surg 22 (1998) 1125-1132
11. Tokyo Guidelines for the Management of Acute Cholangitis and Cholecystitis
Journal of Hepato-Biliary-Pancreatic Surgery, Volume 14 number 1 2007. Springer
12. Richard A. Pierce,Steven M. Strasberg : Biliary Surgery, Washington Manual of
Surgery,The, 5th Edition Copyright 2008 Lippincott Williams & Wilkins, 265272

29

Anda mungkin juga menyukai