Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

PENERAPAN COGNITIVE BEHAVIOURAL THERAPY (CBT) PADA PENGGUNAAN NAPZA

Pembimbing :
dr. Carlamia H Lusikooy, Sp.KJ
dr.Imelda Indriyani, Sp.KJ

Disusun oleh :
Regina Ayu A / 11.2015.289
Johanes Hansen / 11.2015.378
Yeni Notanubun / 11.2015.422
Muhamad Azhan Bin Ramli / 11.2015.450
Raja Ahmad Rusdan Musyawir Bin Raja Abdul Malek / 11.2015.451

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


Rumah Sakit Ketergantungan Obat , Cibubur
Universitas Kristen Krida Wacana , Jakarta Barat

Pendahuluan
Di Indonesia terdapat berbagai macam masalah baik dari masalah politik , sosial , ekonomi , dan
masih banyak lagi salah satunya masalah penyalahgunaan zat terlarang . Masalah penyalahgunaan dan
ketergantungan

narkotika,

psikotropika

dan

zat adiktif

lain

(NAPZA)

merupakan

masalah

yangpenatalaksanaannya melibatkan banyak bidang keilmuan (medik dan non-medik) dan memerlukan
waktu yang cukup panjang serta memerlukan banyak tenaga profesional . Selain itu dibutuhkan tempat
sebagai pengalihan pasien pasien yang sudah mengalami adiksi untuk memperbaiki keadaannya . Faktor
utama untuk penyembuhan pasien adiksi adalah pada dirinya sendiri .Tekad yang kuat untuk memulai
hidup baru , tidak menggunakan zat terlarang bukan hal mudah . Misalnya dia menggunakan zat tersebut
sebagai pengalihan masalah hidupnya agar lebih terasa ringan . Di samping itu, juga cukupbanyak
faktorfaktor luar yang mengganggu proses pemulihan pasien, misalnya:dukungan keluarga dan/atau
kelompok sebaya yang tidak selamanya positif, tawaranpengedar, kepatuhan pasien pada program terapi
medik, dan lain-lainnya. Umumnyafaktor - faktor tersebut di luar kendali medik. Napza terdiri atas
berbagai macam zat yang mempunyai efek berbeda-beda , ada yang hanya untuk pengobatan , menekan
aktifitas psikoaktif , meningkatkan aktifitas , efek halusinasi , dan masih banyak lagi . Selain efek
ketergantungan , NAPZA tentunya mempunyai efek samping. Maka dari itu , dalam referat ini akan
dibahas pengertian dan jenis NAPZA , faktor resiko , CBT sebagai penatalaksanaan pada pengguna
NAPZA .
Pengertian NAPZA
NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lain. Sebutan yang mirip di
masyarakat adalah Narkoba, yang merupakan akronim dari narkotik, psikotropika dan bahanbahan( atau obat-obatan, zat adiktif lain) berbahaya. Napza ada yang semata-mata berasal dari tumbuhtumbuhan ( natural, alami) seperti: ganja, ada yang sintesis (shabu) dan ada pula yang semisintesis
(putauw). Napza didefinisikan sebagai setiap bahan kimia/ zat yang bila masuk ke tubuh akan
mempengaruhi fungsi tubuh secara fisik dan psikologis. Contoh NAPZA adalah alkohol, opioid, ganja,
kokain, amfetamin, dan benzodiazepin.1,2
Dampak Penggunaan NAPZA
NAPZA mempunyai berbagai dampak. Salah satunya adalah dampak kesehatan. Misalnya
alkohol dapat menyebabkan intoksikasi, opioid dapat menyebabkan endokarditis, ganja menyebabkan
gangguan saraf, dan sebagainya. NAPZA juga mempunyai dampak terhadap kesehatan mental, antaranya
depresi, skizofrenia, gangguan memori, psikosis, dan ansietas. Penggunaan NAPZA juga berdampak pada
2

sosial, misalnya gangguan interaksi dalam rumah tangga, perilaku kriminal, kesulitan belajar, dan
kehilangan pekerjaan.1
Faktor RIsiko Penyalahgunaan NAPZA
Faktor Individual
Kebanyakan dimulai pada saat remaja, sebab pada remaja sedang mengalami perubahan biologi,
psikologi maupun sosial yang pesat. Ciri-ciri remaja yang mempunyai resiko lebih besar menggunakan
NAPZA:
a. Cenderung memberontak.
b. Memiliki gangguan jiwa lain, misalnya : depresi, cemas.
c. Perilaku yang menyimpang dari aturan atau norma yang ada.
d. Kurang percaya diri.
e. Mudah kecewa, agresif dan destruktif.
f. Murung, pemalu, pendiam.
g. Merasa bosan dan jenuh.
h. Keinginan untuk bersenang senang yang berlebihan.
i. Identitas diri kabur.
j. Kemampuan komunikasi yang rendah.
k. Putus sekolah.
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik sekitar rumah,
sekolah, teman sebaya, maupun masyarakat.
a. Lingkungan Keluarga komunikasi orang tua dan anak kurang baik, hubungan kurang harmonis,
orang tua yang bercerai, kawin lagi, orang tua terlampau sibuk, acuh, orang tua otoriter, kurangnya
orang yang menjadi teladan dalam hidupnya, kurangnya kehidupan beragama.
b. Lingkungan Sekolah sekolah yang kurang disiplin, sekolah terletak dekat tempat hiburan, sekolah
yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan positif,
adanya murid pengguna NAPZA.
c. Lingkungan Teman Sebaya berteman dengan penyalahguna, tekanan atau ancaman dari teman.
d. Lingkungan Masyrakat/ Sosial lemahnya penegak hokum, situasi politik, sosial dan ekonomi
yang kurang mendukung.

Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selalu membuat seseorang kelak menjadi
penyalahguna NAPZA.Akan tetapi makin banyak faktor faktor diatas, semakin besar kemungkinan
seseorang menjadi penyalahguna NAPZA.
Epidemiologi
Data terakhir jumlah kasus narkoba yang diambil dari tahun 2010-2012 menunjukan bahwa Jawa
Timur menempati urutan pertama berdasarkan provinsi dan mengalami peningkatan dari tahun 20102012.3

Jawa Timur

DKI Jakarta
2010

Jawa Barat

2011
2012

Sumatera Utara

Jawa Tengah
0

2000 4000 6000 8000 10000

Gambar 1. Lima Provinsi Terbesar Kasus Narkoba di Indonesia Tahun 2010-20113


Interaksi Zat Psikoaktif -Individu-Lingkungan sosial
Gangguan penggunaan zat merupakan suatu gangguan kesehatan jiwa dan merupakan interaksi
dari tiga faktor, yakni zat psikoaktif, individu, dan lingkungan sosialnya. 4
Faktor Zat
Tidak semua zat meninmbulkan ketergatungan, berdasarkan pembagiannya zat dibagi menjadi 2
yakni, zat yang menimbulkan ketergantungan dan zat yang tidak menimbulkan yang ketergantungan.
Apabila dalam suatu daerah terdapat banyaknya zat yang menimbulkan ketergantungan, maka daerah
tersebut akan mudah ditemukan kasus ketergantungan zat, oleh karena itu produksi, distribusi, dan
konsumsi zat yang menimbulkan ketergantungan perlu diatur dengan ketat.
4

Faktor Individu
Tidak semua individu memiliki kemungkinan yang sama besar untuk ketergantungan zat, terdapat
beberapa factor yang dapat membuat seseorang memiliki factor resiko ketergantungan suatu zat. Seperti
individu yang memiliki perasaan rendah diri, kurangnya kesabaran, mudah emosi, mudah kecewa dan
kecenderungan menjadi agresif.
Faktor Lingkungan
Hubungan ayah dan ibu yang retak, komunikasi yang kurang efektif antara orangtua dan anak,
merupakan faktor yang ikut mendorong seseorang pada gangguan penggunaan zat di samping faktor
lingkungan pergaulan baik di sekolah, di tempat kerja, maupun di luar sekolah atau tempat kerja.4
Masalah Penggunaan Zat yang Memerlukan Intervensi CBT
Pengkondisian Klasik
Pengkondisian klasik (classical conditioning) terjadi ketika stimulus netral (neutral stimulus),
yang tidak memiliki efek terhadap respon, dipasangkan dengan stimulus pemicu (eliciting stimulus), yang
memiliki efek yang menetap. Seperti yang dibuktikan melalui eksperimen Pavlov dimana anjing yang
berulang kali diberikan makanan diiringi bunyi bel, secara nir sadar mengeluarkan air liur sebagai respons
terhadap bunyi bel meskipun tidak ada makanan, begitu banyak penderita ketergantungan NAPZA mulai
menunjukkan rasa keinginan (craving) ketika didedahkan dengan isyarat tertentu. Dalam keadaan normal
bunyi bel tidak menyebabkan anjing mengeluarkan air liur. Namun, setelah berulang kali bunyi bel
mengiringi pemberian makanan, anjing tersebut akan mengeluarkan air liur meskipun tanpa makanan.
Dalam keadaan ini, bunyi bel adalah stimulus yang dikondisikan (conditioned stimulus), sedangkan
salivasi adalah respons yang dikondisikan (conditioned response). Sejauh mana isyarat yang diberikan
mengarah ke keinginan untuk menggunakan zat dikenal sebagai reaktivitas terhadap isyarat (cue
reactivity). Berbagai faktor mempengaruhi perkembangan perilaku yang dipelajari melalui pengkondisian
klasik dan reaktivitas terhadap isyarat. Contohnya adalah waktu, frekuensi, dan jenis isyarat serta respons.
Suatu respons yang bersifat jelas dan segera memberikan penguatan isyarat (cue reinforcement) yang
paling ampuh. Jika suatu isyarat sering diberikan dan berhubungan erat dengan ketergantungan zat,
reaktivitas terhadap isyarat dan keinginan akan meningkat. 5
Jenis Isyarat dan Respons yang Dikondisikan pada Pengguna Zat
Isyarat Eksternal dan Internal

Seringkali isyarat eksternal atau luar adalah lingkungan pengguna zat itu sendiri, misalnya teman
yang menggunakan zat dan lokasi penggunaan zat. Biasanya pemicu eksternal lebih mudah diatasi
dibanding pemicu internal. Hal ini disebabkan oleh waktu untuk isyarat menimbulkan respons
penggunaan zat adalah pendek pada pemicu internal. Maka, reaktivitas terhadap isyarat dan keinginan
akan meningkat. Keadaan suasana perasaan (mood) yang negatif adalah isyarat internal yang sering
ditemui. Penyalahgunaan NAPZA oleh pengguna zat untuk mendapatkan kepuasan dan bebas dari
perasaan marah, murung, atau cemas, secara negatif memperkuat (negative reinforcement) penggunaan
zat yang sudah ada.5
Respons Agonistik
Respons terkondisi yang ditimbulkan oleh isyarat penggunaan zat, menyerupai efek dari zat itu
sendiri. Keadaan yang menyerupai efek dari zat, yang kemudiannya dikondisikan, memiliki potensi untuk
memicu penggunaan zat dan kekambuhan (relapse). Respons agonistik tersebut menguatkan lagi efek zat
yang sebenarnya, dan hal inilah yang membawa kepada kehilangan kendali untuk penggunaan zat.
Misalnya, pengguna morfin dapat merasakan kokain di kerongkongan, bunyi denging yang samar-samar
di telinga, perasaan gembira dan gairah yang merupakan respons agonistik. 5
Respons Antagonistik
Respons antagonistik artinya menyerupai efek gejala putus zat. Misalnya, bekas pengguna opioid
yang sudah bebas dan bersih dari zat tersebut selama beberapa bulan sering mengalami tanda-tanda putus
opioid apabila mereka mulai berbicara tentang waktu mereka menggunakan opioid. Efek yang mirip
gejala putus zat adalah respons yang terkondisi dari penggunaan zat. Lebih banyak jumlah zat yang
diperlukan untuk mengatasi efek ini, yang membawa kepada toleransi yang terkondisi (conditioned
tolerance). Respons antagonistik ini diatasi dengan penggunaan zat, yang meningkatkan kemungkinan
kambuh.5
Pengkondisian Operan
Pengkondisian operan (operant conditioning) adalah suatu proses yang menggambarkan
pengguna zat meningkatkan perilaku ketergantungan mereka secara terus-menerus untuk mendapatkan
ganjaran/penguatan positif (positive reinforcement) atau menghilangkan gejala putus zat/penguatan
negatif (negative reinforcement). Efek yang diinginkan dan kehilangan efek yang tidak diinginkan
dirasakan melalui sistem dopaminergik mesolimbik. Neurotransmiter dopamin bekerja pada positive
reinforcement dan negative reinforcement. Maka, dopamin dikatakan bekerja dengan cara meningkatkan
keinginan dan kepuasan. Penggunaan zat biasanya menyebabkan pengguna mencari sumber kepuasan
yang lain, seperti perubahan perilaku. Pengkondisian operan adalah determinan utama ketergantungan zat.
6

Cara yang paling efektif untuk mengurangi dan mengeliminasi keadaan ini adalah memberikan ganjaran
yang lebih bermanfaat. Pengaruh kognitif dapat meningkatkan penguatan positif (positive reinforcement)
jika seseorang itu mempercayai ganjaran berhubungan dengan penggunaan zat. Sebagai contoh, seorang
pengguna percaya bahwa hubungan sosial dapat ditingkatkan melalui penggunaan alkohol atau kokain.
Pengalaman yang menguatkan penggunaan zat secara positif membawa kepada harapan bahwa kesan
yang sama akan berulang pada penggunaan berikutnya. Pengaruh kognitif juga dapat meningkatkan
penguatan negatif (negative reinforcement) apabila penggunaan zat membawa kepada sangkaan bahwa
akan ada pengurangan ketidaknyamanan. Maka, banyak orang minum alkohol untuk mengurangi stres. 5
Terapi Kognitif
Teori kognitif dari Beck bahwa terdapat distorsi kognitif yang memberikan interpretasi
maladaptif. Distorsi negatif ini biasanya terjadi pada proses kognitif automatis. Berikut adalah contoh
distorsi maladaptif.

All-or-nothing thinking, yaitu melihat segala hal hitam dan putih


Overgeneralization, yaitu menyimpulkan dari satu peristiwa negatif kepada semua peristiwa yang

ada.
Mental filter, yaitu membentuk fragmen negatif dari situasi dan menetap, menghilangkan hal

positif.
Automatic discounting, yaitu sensitivitas untuk menyerap infomasi negatif dan menyimpulkan

dengan menghilangkan peristiwa positif.


Jumping to the conclusion, yaitu kesimpulan diduga dari peristiwa yang tidak relevan.
Magnification and minimization, yaitu membentuk ketidaksempurnaan dan mengurangi atribut

positif.
Emotional reasoning, yaitu menggunakan perasaan sebagai bukti dari setiap situasi.
Should statement, yaitu kelebihan dari moral imperatif seperti harus dan pasti.
Labeling dan mislabeling, yaitu sebuah label yang tidak cocok dapat membuat reaksi yang

menekan.
Personalization, yaitu interpretasi egosentris dari hubungan interpersonal yang berhubungan
dengan diri 6,7
Terapi kognitif memiliki tiga komponen yaitu aspek didaktik, teknik kognitif, dan teknik perilaku.

Aspek didaktik termasuk penjelasan kepada pasien tentang trias kognitif (pandangan negatif tentang diri,
kehidupan, dan masa depan), skema, dan logika. Ahli terapi harus mengatakan kepada pasien bahwa
mereka akan menyusun hipotesis bersama-sama dan akan mengujinya selama perjalanan terapi. Teknik
kognitif terdiri dari empat proses yaitu:
1. Mendapatkan pikiran automatis.

kognisi yang menghalangi antara peristiwa eksternal dan reaksi emosional orang terhadap
peristiwa.
2. Menguji pikiran automatis.
Ahli terapi membantu klien menguji keabsahan pikiran automatis. Tujuannya adalah untuk
mendorong pasien menolak pikiran automatis yang tidak akurat atau berlebih-lebihan setelah
pemeriksaan yang cermat.
3. Mengidentifikasi anggapan dasar yang maladaptif.
Saat klien dan ahli terapi berusaha mengidentifikasi pikiran automatis, pola biasanya menjadi
tampak. Pola mewakili aturan atau anggapan umum yang maladaptif yang menuntun kehidupan.
4. Menguji keabsahan anggapan maladaptif
Menguji keakuratan anggapan maladaptif dengan meminta klien mempertahankan suatu asumsi. 8

Teknik perilaku digunakan untuk menguji dan mengubah kognisi maladaptif dan tidak akurat.
Tujuan keseluruhan teknik adalah untuk membantu pasien mengerti ketidakakuratan asumsi kognitifnya
dan mempelajari strategi dan cara baru menghadapi masalah tersebut. Diantara teknik perilaku yang
digunakan dalam terapi adalah menjadwalkan aktivitas, penguasaan dan kesenangan, menyusun tugas
bertahap, latiahn kognitif, latihan kepercayaan diri, permainan peran dan teknik pengalihan.6,7,9
Terapi Perilaku
Pengkondisian klasik (classical conditioning) memainkan peranan penting dalam beberapa
intervensi terapeutik. Manajemen kontingensi (contingency management) menggunakan pengkondisian
operan (operant conditioning) sebagai usaha terapeutik dengan menyediakan sistem ganjaran (reward)
untuk sebarang perilaku menghindari penggunaan zat. Terapi aversi (aversion therapy) merupakan usaha
menghubungkan pengalaman tidak nyaman, seperti muntah yang diinduksi oleh obat atau sengatan listrik,
dengan penggunaan zat agar tidak lagi kelihatan bermanfaat. Walaupun efektif, penggunaannya telah
ditinggalkan dikarenakan timbulnya hambatan hubungan terapeutik antara dokter dengan klien.
Sensitisasi tertutup (covert sensitization) menggantikan terapi aversi. Bedanya, pengalaman tidak nyaman
dibayangkan secara imajinasi saja dan tidak dialami dengan sesungguhnya. Pada penghapusan isyarat
(cue extinction), desensitisasi isyarat membawa kepada hilangnya reaktivitas terhadap isyarat (cue
reactivity) tersebut dan menghapus ganjaran (reward). Seorang pengguna zat didedahkan dengan isyarat
terkait zat tanpa diikuti oleh penggunaan zat tersebut. Mereka yang mencapai abstinens dapat melakukan
desensitisasi dari semua isyarat yang memicu keinginan (craving) secara perlahan. Maka, lebih mudah
untuk mempertahankan abstinens seiring berjalannya waktu. 5,10,11
Terapi Perilaku-Kognitif
8

Dalam praktek klinis, terapi kognitif (cognitive therapy) atau CT dan terapi perilaku-kognitif
(cognitive-behavioral therapy) atau lebih dikenali dengan istilah CBT tidak dapat dipisahkan. Maka, dua
istilah ini digunakan secara bergantian. Terdapat dua proses kognitif yang harus diperhatikan yaitu yang
automatis dan yang tidak automatis. Proses kognitif non automatis memerlukan usaha, niat, dan kendali.
Ia dapat diubah walaupun lambat, tergantung pada kesadaran alamiah. Sedangkan proses kognitif
automatis tidak memerlukan usaha, dilakukan tanpa niat maupun kendali, dan sulit diubah tanpa
kesadaran alamiah. Walaubagaimanapun, ia dapat dibawa ke kesadaran alamiah dan dimodifikasi.
Intervensi CBT terdiri dari latihan keterampilan mengatasi masalah (coping skills training) dan latihan
keterampilan sosial (social skills training). Prinsip dasarnya adalah klien dengan ketergantungan zat
memiliki cara-cara maladaptif untuk mengatasi masalah dan bersosial dengan cara menyalahgunakan zat
daripada kemampuan menyelesaikan masalah dan bersosialnya sendiri. Maka, keterampilan diri dalam
bidang tersebut tidak berkembang atau menurun setelah sekian lamanya. Dengan penerapan kedua latihan
tersebut diharapkan keterampilan personal klien dapat dikembangkan kembali. Teknik kognitif yang
digunakan adalah menghilangkan skema negatif yaitu pola kognitif yang digunakan untuk interpretasi
pengalaman hidup, atau restrukturisasi kognitif. Pola kognitif yang dimaksudkan dalam konteks ini
adalah proses kognitif automatis. Terlebih dahulu asumsi maladaptif harus dikenal. Misalnya, pola pikir
hanya zat ini saja yang mampu memberikan kebahagiaan.. Kemudian diperiksa alternatif yang ada
selain dari zat tersebut yang mampu memberikan kebahagiaan, berdasarkan kekuatan klien mengatasi
masalah. Decatastrophizing yaitu dengan membantu klien mengevaluasi situasi yang ada, dengan
menimbulkan pertanyaan bagaimana jika.... Terdapat juga teknik reframing yaitu mengubah persepsi
klien dari situasi atau perilaku yang ada dengan melihat dari perspektif yang berbeda. 5,12-14
Kesimpulan
Masalah penggunaan dan ketergantungan

NAPZA merupakan penyakit otak yang

menimbulkandampak fisik, psikologis dan sosial. Maka pengguna NAPZA biasanya mengalami
keterbatasan di bebagai bidang

dari sosial hingga kehidupan pribadinya sekalipun . Gangguan

penggunaan NAPZA tergolong sebagaipenyakit kronis kambuhan, dan

untuk proses pemulihannya

memakan waktu relatif cukup lama dan melibatkan berbagai pendekatan dan latar belakang profesi. Tiap
jenis NAPZAmemberikan efek yang khas pada tubuh manusia, sehingga penatalaksanaan mediknya
punbervariasi . Ada berbagai cara , salah satunya adalah dengan Cognitive Behaviour Therapy ( CBT )
yang merupakan social learning theories dengan

analisis

fungsional

dan

latihan

ketrampilan

terhadap pasien-pasien ketergantungan napza. CBT dapat juga diberikan dalam bentuk terapi kelompok
atau terapi perorangan yang fungsinya

melakukan pemutusan dari belief dan atau feedback

yangmenimbulkan konsekuinsi somatik dan perilaku atau agar supaya tidak menimbulkanpenguatan
9

terhadap keyakinannya. Juga bisa pada konsekuensi yang mempengaruhiemosionalnya, sehingga tidak
menimbulkan keluhan somatik lagi .

10

Daftar Pustaka
1. D Elvira Sylvia, Hadisukanto Gitayanti. Buku ajar psikiatri. Edisi ke 2. Jakarta: Penerbit FK UI;
2015; h 144- 153
2. Kanwil Dekdikbud. Pencegahan Penyalahgunaan Zat. Jakarta: Badan Pembina Kesehatan Jiwa
Masyarakat. 2007
3. Kementrian Kesehatan RI. Gambaran Umum Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia. Pusat Data
dan Informasi Kemenkes RI. Jakarta: Kemenkes RI, 2013. 8 p.
4. Osman AZ. Keefektifan Cognitive Behavious Therapy untuk Menurunkan Tingkat Kecemasan
Narapidana. UNS. Surakarta; 2012.
5. Walter T & Rumball D. Understanding behavioral and cognitive-behavioral approaches. In T
Walter & D Rumball editors. Treating drinkers & drug users in the community. Oxford:
Blackwell Publishing; 2004. pp.141-3.
6. Ivey AE, D'andrea M & Ivey MB Theories of counselling and psychotherapy. Massachusetts:
SAGE; 2011.
7. Da Silva CJ, Serra AM. Cognitive and cognitive-behavioral therapy for substance abuse
disorders. Rev Bras Psiquiatr 2004; 26(1):33-9.
8. Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P. Cognitive therapy. In CS Pataki & N Sussman editors. Kaplan
& Sadock's Synopsis of Psychiatry. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. pp.873-6.
9. Mchugh RK, Hearon BA, Otto MW. Cognitive-behavioral therapy for substance use disorders.
Psychiatr Clin North Am 2010; 33(3):511-25.
10. Carroll KM, Onken LS. Behavioral therapies for drug abuse. Am J Psychiatr 2005; 162(8):145260.
11. Dutra L, Stathopoulou G, Basden SL. A meta-analytic review of psychosocial interventions for
substance use disorders. Am J Psychiatry 2008; 165(2):179-87.
12. Magill M, Ray LA. Cognitive-behavioral treatment with adult alcohol and illicit drug users. J
Stud Alcohol Drugs 2009; 516-24.
13. Wilson R & Branch R Cognitive behavioural therapy for dummies. John Wiley & Sons; 2006.
14. Ray C Mastering counselling theory. London: Palgrave Macmillan; 2002.

11

Anda mungkin juga menyukai