Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling sering
terjadi. Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad ke-19 sehubungan dengan
penyebaran Trichophytonrubrum ke Eropa dan Amerika. Hal ini dipengaruhi oleh perjalanan
orang keliling dunia, pendudukan koloni oleh Inggris dan Perancis pada abad ke-19 dan awal
abad ke-20 dan migrasi penduduk selama perang dunia kedua. Beberapa penulis berspekulasi
bahwa area endemik spesies ini bermula di Asia Tenggara. (2)
Tingkat prevalensi tinea pedis secara nyata diketahui karena pasien tidak mencari
nasihat medis kecuali kualitas hidup mereka dipengaruhi, karena ini bukan penyakit yang
mengancam jiwa. Diperkirakan 10% dari jumlah penduduk di banyak negara menderita
penyakit ini. Frekuensi tinea pedis di Eropa dan Amerika Utara berkisar 15-30% dan pada
beberapa masyarakat tertentu lebih tinggi, misalnya buruh tambang (sampai 70%) dan atlit.
Tinea pedis lazim ditemukan pada daerah beriklim tropis dan sedang. (2,3,5)
Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anak remaja terutama pada
laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Kemungkinan infeksi berkaitan dengan
paparan ulangan dermatofita sehingga orang yang menggunakan fasilitas mandi umum
seperti pancuran, kolam renang, kamar mandi lebih cenderung terinfeksi. (2-4)

1. 2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami tentang tinea pedis.
1.2.2 Tujuan Khusus
Agar mahasiswa dapat mengetahui, memahami, dan mampu menjelaskan juga
tentang etiologi, patogenesis, gambaran klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis,
diagnosis banding, penatalaksanaan, pencegahan dan prognosis dari tinea pedis serta
untuk memenuhi tugas akhir Skills Lab semester V.
9

1. 3 Manfaat
1.3.1 Penulis
Menambah

pengetahuan

tentang

tinea

pedis

dan

melakukan

penatalaksanaannya yang baik untuk menghidari komplikasi dari tinea pedis.


1.3.2 Kampus
a. Menjadi masukan bagi mahasiswadasn klinisi khususnya dokter
spesialis

Kulit dan Kelamin dalam pengelolaan pasien dengan tinea

pedis.
b. Menjadi referensi tambahan dalam perkuliahan.

BAB II
10

TINAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi Tinea Pedis


Tinea pedis adalah infeksi jamur pada kaki yang khususnya menyerang sela jari kaki
dan telapak kaki, dapat meluas kelateral maupun punggung kaki.

2. 2 Etiologi Tinea Pedis


Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling
sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton floccosum.(22) T.
rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang hiperkeratotik, kering menyerupai bentuk sepatu
sandal (mocassinlike) pada kaki; T. mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang
vesikular dan lebih meradang sedangkan E. floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara
dua pola lesi diatas. (1-4)

2. 3 Patogenesis Tinea Pedis


Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi jaringan
keratin. Jamur harus tahan terhadap efek sinarultraviolet, variasi suhu dan kelembaban,
persaingan dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan sphingosines yang diproduksi
oleh keratinosit. Setelah proses adheren, spora harus tumbuh dan menembus stratum korneum
dengan kecepatan lebih cepat daripada proses proses deskuamasi. Proses penetrasi ini
dilakukan melalui sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan
nutrisi. Trauma dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan
baru muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk kompetisi
dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur
oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat tergantung pada aktivasi sistem
kekebalan tubuh. (4)
Keadaan basah dan hangat dalam sepatu memainkan peran penting dalam pertumbuhan
jamur. Selain itu hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi sela jari merupakan faktor
predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit. Sekitar 60-80% dari seluruh penderita
dengan gangguan sirkulasi (arteri dan vena) kronik akibat onikomikosis dan/atau tinea pedis.
11

Jamur penyebab ada di mana-mana dan sporanya tetap patogenik selama berbulan-bulan
di lingkungan sekitar manusia seperti sepatu, kolam renang, gedung olahraga, kamar mandi
dan karpet. (2)
Bukti eksperimen menunjukkan bahwa pentingnya faktor maserasi pada infeksi
dermatofita sela jari. Keadaan basah tersebut menunjang pertumbuhan jamur dan merusak
stratum korneum pada saat yang bersamaan. Peningkatan flora bakteri secara serentak
mungkin dan bisa juga memainkan peran. Terdapat bukti tambahan bahwa selama beberapa
episode simtomatik pada tinea pedis kronik, bakteri seperti coryneform bisa berperan sebagai
ko-patogenesis penting, tetapi apakah bakteri tersebut membantu memulai infeksi baru masih
belum diketahui. (2)
2. 4 Gambaran Klinis Tinea Pedis
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:
A. Interdigitalis
Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari
IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat
meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah
ini lembab, maka sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih
dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru,
yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur.(1) Jika perspirasi berlebihan
(memakai sepatu karet/boot, mobil yang terlalu panas) maka inflamasi akut akan
terjadi sehingga pasien terasa sangat gatal.(7) Bentuk klinis ini dapat berlangsung
bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan sama sekali. Kelainan ini dapat
disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis dan
limfadenitis.(1)

Gambar 1 : Tinea pedis tipe interdigiti*


12

* Dikutip dari kepustakaan no.10


B. Moccasin foot (plantar)
Tinea pedis tipe moccasin atau Squamous-Hyperkeratotic Type umumnya
bersifat

hiperkeratosis

yang

bersisik

dan

biasanya

asimetris

yang

disebut foci. (7) Seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit
menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi
lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.(1) Tipe ini
adalah bentuk kronik tinea yang biasanya resisten terhadap pengobatan. (6,21)

Gambar 2 : Tinea pedis pada telapak kaki*


C. Lesi Vesikobulosa
Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadangkadang bula yang terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari,
kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Setelah pecah, vesikel tersebut
meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret. Keadaan tersebut
menimbulkan gatal yang sangat hebat. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk
selulitis, limfangitis dan kadang-kadang menyerupai erisipelas. Jamur juga didapati
pada atap vesikel.(1,6,7)

Gambar 3: Tinea pedis; vesikel yang meluas ke punggung kaki**


D. Tipe Ulseratif

13

Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke dermis
akibat maserasi dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi pada sela-sela jari;
dapat dilihat pada pasien yang imunokompromais dan pasien diabetes. (3,8)

Gambar 4 : Tinea pedis tipe ulseratif *


* Dikutip dari kepustakaan no. 10
** Dikutip dari kepustakaan no. 10
2. 5 Pemeriksaan Penunjang Tinea Pedis
A. Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) pada kerokan sisik kulit akan terlihat hifa
bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis dermatofitosis. KOH
digunakan untuk mengencerkan jaringan epitel sehingga hifa akan jelas kelihatan di
bawah mikroskop. Kulit dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di
luar kelainan sisik kulit dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan di atas
gelas kaca, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20
menit untuk melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea
pedis tipe vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi hifa.(1,8,18)

14

Gambar 5 : KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)**

* Dikutip dari kepustakaan no. 10


** Dikutip dari kepustakaan no. 16
B. Kultur jamur dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan dan menentukan
spesis jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanam bahan klinis pada media
buatan.

Media

yang

dianggap

paling

baik

adalah

medium

agar

dekstrosa Sabouraud. Media agar ini ditambahkan dengan antibiotik (kloramfenikol


atau sikloheksimid).(1,8)

Gambar 6 : Trichophyton rubrum; koloni Downy*


C. Pemeriksaan histopatologi, karakteristik dari tinea pedis atau tinea manum adalah
adanya akantosis, hiperkeratosis dan celah (infiltrasi perivaskuler superfisialis kronik
pada dermis). (8,18)

15

Gambar 7 : Gambaran histopatologi dari tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial dari
epidermis **
* Dikutip dari kepustakaan no. 16
** Dikutip dari kepustakaan no. 22
D. Pemeriksaan lampu Wood pada tinea pedis umumnya tidak terlalu bermakna
karena banyak dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi kecuali pada tinea kapitis
yang disebabkan oleh Microsporum sp. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di
daerah tersebut dikerok untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terinfeksi.(20)
2. 6 Diagnosis Tinea Pedis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.
Pemeriksaaan laboratorium berupa a) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20%
ditemukan hifa yaitu double conture (dua garis lurus sejajar dan transparan), dikotomi
(bercabang dua) dan bersepta. Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu deretan spora di ujung
hifa. Hasil KOH (-) tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong. b) Kultur
ditemukan dermatofit. (8,10)

2.7 Diagnosis Banding


A. Dermatitis kontak

16

Tinea pedis harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya batasnya tidak
jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah. Predileksinya pada bagian
yang kontak dengan dengan sepatu, kaos kaki, bedak kaki dan sebagainya. Adanya
riwayat pengunaan sepatu baru. Tidak ditemukan jamur pada kultur tetapi hanya
tanda-tanda peradangan. Dermatitis kontak akan memberikan tes tempel positif,
sedangkan pada tinea pedis hasilnya negatif. (1,9)

Gambar 8 : Dermatitis kontak*


B. Pomfolix

Gambar 9 : Pomfolix
* Dikutip dari kepustakaan no. 10
Pomfolix umumnya terjadi pada dorsum jari-jari kaki pada anak-anak, agak
kronik, sering pada musim dingin, sangat gatal dan ada riwayat keluarga yang atopi.
Kulit

di

dorsum

pedis

tidak

ditemukan

jamur.(9)

C. Psoriasis
Mengenai telapak kaki; jarang terdapat pustul, menebal, lesi yang batas jelas;
psoriasis dapat ditemukan pada bagian tubuh yang lain dan pada psoriasis terdapat
fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Tidak didapatkan jamur pada
pemeriksaan kulit.(9)

17

Gambar 10 : A menunjukan psoriasis dengan eritrodermi eksfoliatif . Gambar B


menunjukkan hiperkeratotik psoriasis yang simetri**.
D. Hiperhidrosis pada kaki
Lesi dapat memburuk dan berwarna putih, erosi disertai maserasi pada telapak
kaki dan bau yang sangat busuk. (9)
* Dikutip dari kepustakaan no. 10
** Dikutip dari kepustakaan no. 10

2. 8 Penatalaksanaan dan Pencegahan


Secara umum penatalaksanaan tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan tipenya
Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea Pedis dan pengobatannya (3,4)
Tipe

Organisme

Gejala Klinis

Pengobatan

Penyebab
Moccasin

Trichophyton

Hiperkeratosis

yang Antifungal topikal disertai

rubrum

difus, eritema

Epidermophyton

retakan

floccosum

permukaan

Scytalidium

kaki; pada umumnya untuk

hyalinum

sifatnya

S. dimidiatum

sulit

dan dengan

obat-obatan

pada keratolitik asam salisilat,


telapak urea

kronik

dan

asam

mengurangi

dan hiperkeratosis; dapat juga

disembuhkan; ditambahkan

berhubungan

laktat

dengan

dengan obat-obatan oral

defisiensi Cell
18

Mediated
Interdigital

T. mentagrophytes

Immunity (CMI)
Tipe
yang
paling Obat-obatan topikal; bisa

(var. interdigitale)

sering; eritema, krusta juga menggunakan obat-

T. rubrum

dan

E. floccosum

terjadi pada sela-sela pemberian antibiotik jika

S. hyalinum

jari kaki,

S. dimidiatum
Candida spp.
Inflamasi

Vesikobulosa

maserasi

yang obatan

oral

dan

terdapat infeksi bakteri;


kronik

ammonium

T. mentagrophytes

klorida hexahidrate 20 %
Vesikel dan bula pada Obat-obatan
topikal

(var.

pertengahan

mentagrophytes)

berhubungan

kaki; biasanya cukup pada fase


dengan akut,

reaksi dermatofit

namun

dalam

apabila

keadaan

berat

maka indikasi pemberian


Ulseratif

glukokortikoid
pada Obat-obatan

T. rubrum

Eksaserbasi

T.

daerah

antibiotik

mentagrophytes

interdigital; Ulserasi

apabila terdapat infeksi

E. floccosum

dan

erosi;

terdapat

topikal;
digunakan

biasanya sekunder
infeksi

sekunder oleh bakteri;


biasanya terdapat pada
pasien
imunokompromais da
n pasien diabetes
A. ANTIFUNGAL TOPIKAL
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir. Efek
samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak alergi, yang
biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain. (3)
1. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada
pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.(11,18)
a. Klotrimazole 1%. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat
pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan

19

sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar,
eritema, edema dan gatal.
b. Ketokonazole 2% krim

merupakan

antifungal

berspektrum

luas

golongan Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen


sel yang mengecil hingga menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan
selama 2-4 minggu.
c. Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat
biosintesis

ergosterol sehingga permeabilitas

sel

meningkat

yang

menyebabkan keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel
jamur. Lotion 2% bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan
umumnya dalam jangka waktu 2-6 minggu.
2. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar
dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali
sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang
rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat
sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10%.(11,18)
3. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan
antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam berbagai
jenis jamur.(11,18)

Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis


dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang
dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang
terjadi.

4. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna pada
tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik). (11)

Terbinafine (Lamisil), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan


kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki
keefektifan yang sama dengan terbinafine 10% dalam mengobati tine pedis
namun dalam dosis yang lebih kecil dan lebih aman. (17)

5. Antijamur Topikal Lainnya. (11,18)


a. Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam
salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal
sebagai salep Whitfield. Asam benzoat memberikan efek fungistatik
20

sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik. Asam benzoat


hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai setelah lapisan
tanduk yang menderita infeksi terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi
ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluhan yang kurang
menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini berlemak.
b. Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek
fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat
memberikan efek fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk salep
campuran yang mengangung 5 % undesilenat dan 20% seng undesilenat.
c. Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk
kristal kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam alkohol.
Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1 %.
B. ANTIFUNGAL SISTEMIK
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal dilakukan.
Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian beberapa obat
antifungal di bawah ini antara lain :
1. Griseofulvin merupakan

obat yang

bersifat

fungistatik.

Griseofulvin

dalam

bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 1 g untuk orang dewasa dan
0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan
bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah
sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan
dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan dosis tunggal
harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar penderita. Griseofulvin
diteruskan selama 2 minggu setelah penyembuhan klinis. Efek samping dari
griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang
didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus
digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat bersifat
fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.(1)
2. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu
ketokonazole

yang

bersifat

fungistatik. Kasus-kasusyang resisten

terhadap

griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari
2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi
untuk penderita kelainan hepar.(1)

21

3. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai


pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari
sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan
mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang
merupakan komponen penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat tersebut
untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti
antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat
menimbulkan

terjadinya

edema),

sulfonilurea

(dapat

meningkatkan

resiko

hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis tipe moccasion. (1,11,12)


4. Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg 250 mg sehari
bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase
sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin ditemukan pada kirakira 10 % penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea,
vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping
lainnyadapat berupa gangguan pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa
pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan
bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar
dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus.(1) Terbinafin baik digunakan pada pasien tinea
pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu penelitian ternyata ditemukan
bahwa pengobatan tinea pedis dengan terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan
pengobatan griseofulvin. (15,19)

C.

Pencegahan
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki tetap dalam

keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab, menghindari pemakaian
sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki telanjang di tempat-tempat umum seperti
kolam renang serta menghindari hindari kontak dengan pasien yang sama. Penularan jamur
ini biasanya asimptomatik, sehingga umumnya tidak terlihat. Eradikasi jamur merupakan
suatu hal yang sulit dan membutuhkan proses yang panjang. Setelah mandi sebaiknya kaki
dicuci dengan benzoil peroksidase. (4,12)

22

2. 9 Komplikasi
A. Selulitis
Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis.
Selulitis dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi
bakteri pada daerah subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi sekunder pada
luka. Faktor predisposisi selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit pembuluh
darah perifer. Dalam keadaan lembab, kulit akan mudah terjadi maserasi dan fissura,
akibatnya pertahanan kulit menjadi menurun dan menjadi tempat masuknya bakteri
pathogen seperti -hemolytic streptococci (group A, B C, F, and G), Staphylcoccus
aureus, Streptococcus pneumoniae, dan basil gram negatif.(4,12) Apabila telah
terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian antibiotik. Jika terjadi gejala yang
sifatnya sistemik seperti demam dan menggigil, maka digunakan antibiotik secara
intravena. Antibiotik yang dapat digunakan berupa ampisillin, golongan beta laktam
ataupun golongan kuinolon. (14)
B. Tinea ungium
Merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya dihubungkan
dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T. rubrum merupakan jamur
penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal, pecah-pecah, dan tidak
berwarna yang merupakan dampak dari infeksi jamur tersebut. (12)
C. Dermatofid
Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi id, merupakan suatu penyakit
imunologik sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat
menyebabkan vesikel atau erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris dan jarijari tangan. Reaksi dermatofid bisa saja timbul asimptomatis dari infeksi tinea pedis.
Reaksi ini akan berkurang setelah penggunaan terapi antifungal. (12,13) Komplikasi ini
biasanya terkena pada pasien dengan edema kronik, imunosupresi, hemiplegia dan
paraplegia, dan juga diabetes. Tanpa perawatan profilaksis penyakit ini dapat kambuh
kembali.(4,12)
2. 10 Prognosis
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa minggu setelah
pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun kronik. Kasus yang lebih
berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi
bila tidak dilakukan pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi.(3,8)

23

BAB III
KESIMPULAN
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan
telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia dewasa dan jarang pada
perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu
dan berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan
jamur makin subur. Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton

24

rubrum (paling sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton
floccosum.
Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasion foot, lesi
vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan KOH dan pemeriksaan lampu Wood dan ditemukan adanya hifadouble counture,
dikotomi dan bersepta. Diagnosis banding dapat berupa dermatitis kontak, pemfolix,
psoriasis, dan hiperhidrosis pada kaki. Penatalaksanaan disesuaikan berdasarkan tipe tinea
pedis. Pengobatan dapat berupa antifungal topikal maupun oral dan apabila ditemukan infeksi
sekunder maka indikasi penggunaan antibiotik. Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi
tinea pedis yaitu menjaga agar kaki tetap dalam keadaan kering dan bersih, hindari
lingkungan yang lembab dan pemakaian sepatu yang terlalu lama.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1.

Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p. 89- 104.

25

2.

Perea S, Ramos MJ, Garau M, Gonzalez A, Noriega AR, Palacio AD. Prevalence
and risk factors of tinea ungium and tinea pedis in the general population in Spain. J Clin
Microbiol 2000;38:3226-30.

3.

Sobera JO, Elewski BE. Fungal diseases. In. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors. Dermatology volume 1. 2nd ed. US: Mosby Elsevier; 2003. p.

4.

Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal infections: dermatophytosis,
onychomicosis, tinea nigra, piedra. In. Freedberg IM, Elsen AZ, Wolf K, Austen KF,
Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 6th ed. New york:
McGraw-Hill; 2003. p.

5.

Hapcioglu B, Yegenoglu Y, Disci R, Erturan Z, Kaymakcalan H. Epidemiology of


superficial mycosis (tinea pedis, onychomycosis) in elementary school children in Istanbul,
Turkey. Coll Antropol 2006;1:119-24.

6.

Habif TP. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed. London:
Mosby; 2004. p. 409-456.

7.

Falco OB, Plewig G, Wolff HH, Winkelmann RK. Dermatology. 3rd ed. Berlin: Springer
Verlag; 1991. p. 227-8.

8.

Verma S, Heffernan MP. In. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGrawHill; 2008. p.1807-21.

9.

Hall JC. Dermatology Mycology. In. Hall JC, editor. Sauser manual of the skin. 8th ed. US:
Mosby; 2000. p. 244-47.

10. Dawber R, Bristow I, Turner W. Text atlas of podiatric dermatology. UK: Oxford; 2005. p.
65-6.

26

11. Bahry B, Setiabudy R. Obat jamur. In. Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD,
Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi danterapi. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
UI; 2004. p. 560-70.
12. Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology for the practicing
allergist: tinea pedis and its complications.Clin Mol Allergy 2004;2:5.
13. Noble SL,

Pharm D,

of common tinea infections.

Forbes RC.

Diagnosis

and management

[Online]. 2000 July [cited 2010 June 2]; Available

from: URL: http://www.aafp.org/afp/980700ap/noble.html


14. Swartz MN. Cellulitis. Clin Practise 2004; 350:904-12.
15. Savin RC, Zaias N. Treatment of chronic moccasin-type tinea pedis with terbinafine: a
double-blind, placebo-controlled trial. J Am Acad Dermatol 1990;23:804-7
16. Burns T, Breathnec S, Cox N, Griffiths C. Rooks textbook of dermatology volume 14. 7th ed. UK: Blackweel; 2004. p. 31.32-34.
17. Chauvin MFd, Vallanette VC, Kienzler JL, Larnier C. Novel, single-dose, topical treatment
of tinea pedis using terbinafine: result of adose-finding clinical trial. Orig Article 2007;51:16.
18. Weinstein A, Berman B. Topical treatment of common superficial tinea infections. Am Fam
Physic 2002;65:2095-102.
19. Bell-Syer SEM, Hart R, Crawford F, Torgerson DJ, Tyrrell W, Russell I. Oral treatments for
fungal infections of the skin of the foot. [Online]. 2002 Apr 22 [cited 2010 May 28];
Available from: URL: http://www2.cochrane.org/reviews/en/ab003584.html
20. Hainer BL. Dermatophyte infections. Am Fam Physic 2003;67:101-8.
21. Rippon JW. Medical Mycology: the pathogenicfungi and the pathogenic actinomycetes.
3rd ed. WB Saunders Company: Filadelphia; 1988. p. 218-24.
27

22. Viklund A, Burley C. Dermatology glossary: define your skin. [Online]. 2005 Nov 28 [cited
2010 June 8]; Available from: URL:http://www.chrisburley.com/

28

Anda mungkin juga menyukai