Anest Cedera Kepala 1
Anest Cedera Kepala 1
Namun dalam kondisi hipoksia dan hiperkarbia yang mengancam, intubasi merupakan
suatu keharusan cuma harus hati-hati.
Penderita dengan GCS < 8 pernapasan irregular merupakan indikasi untuk intubasi.
Perlu diperhatikan jangan melakukan intubasi nasotrakeal pada penderita fraktur basis
cranii.
Hipotensi pada umumnya oleh karena hipovolemia, jarang oleh karena cedera kepala
akut semata kemungkinan ada multiple trauma pada torak (hemotorak), abdomen
(ruptur lien/hepar) atau pelvis.
Dalam hal tak ditemukan trauma diluar kepala kemungkinan ada cedera batang otak,
bagi bayi dengan SDH yang luas atau stadium terminal.
Penurunan tekanan darah dengan kenaikan ICP akan memperburuk perfusi otak oleh
karena kita ketahui CPP = MAP ICP. Semakin turun MAP semakin tinggi ICP
semakin jelek perfusi (CPP).
Dalam hal etiologi hipotensi meragukan anggap saja sebagai hipovolemia dan segera
koreksi dengan kristaloid, koloid dan jangan dengan dextrose.
Oleh karena akan menyebabkan serebral odem, laktat asidosis. Pada trauma kepala
akut diusahakan dehidrasi tapi CVP normal, hematokrit antara (30-35%), produksi
urin 1-2 ml/ kg BB/jam.
Hipertensi yang ringan tak perlu dikoreksi karena merupakan kompensasi untuk
mempertahankan CBF karena CBF menurun kurang lebih 50% dalam 24 jam pertama
cedera kepala akut.
Hipertensi dengan MAP > 130 140 mmHg harus diterapi, karena akan
meningkatkan ICP dan odem otak. Lebih terpilih alpha bloker karena penyebabnya
hiper aktivitas syaraf simpatis dan efek serebral minimal.
Pengendalian ICP adalah mutlak karena meningkatnya ICP akan memperburuk perfusi
otak.
Trias cushing (hipertensi, bradikardi & melambatnya respirasi) merupakan gejala
spesifik kenaikan ICP.
Penderita dengan GCS < 8, atau GCS 8 12 yang memerlukan terapi cairan yang
banyak perlu monitoring ICP.
Teknik hiperventilasi adalah jalan tercepat dan sangat efektif menurunkan ICP
merupakan tindakan life saving pada hipertensi intrakranial akut. Perlu diketahui pada
periode 24 jam pertama cedera kepala akut, selalu disertai kurang lebih 50%
penurunan CBF untuk ini diusahakan PaCO2 tak lebih rendah dari 35 mmHg
mencegah iskemik cerebri.
Pemberian osmotik diuretik dan loop diuretik diharapkan dapat mengurangi air
jaringan otak. Pemberian manitol 20% ( 0,25 1) g/kg BB selama 15-25 menit bila
perlu diulangi setiap 4 jam pada kenaikan ICP yang persistent.
Manitol bisa mengurangi viskositas darah yang menyebabkan vasokonstriksi
vasocerebral sehingga bisa menurunkanICP.
Dengan viskositas darah yang rendah memudahkan transport O2 dan pengeluaran
CO2. Usahakan osmolaritas sekitar (300-215) mosm/1, sebab dibawah 300 mosm/1
tidak efektif sementara lebih besar dari 350 mosm/1 menyebabkan disfungsi renalis
dan neurologis.
Jangan berikan manitol bila ada hipotensi/hipovolemik. Pemberian furesemid
intravena 15 menit setelah manitol akan memperkuat efek manitol dan dapat
mencegah rebound pnphenomen (peningkatan ICP dan CBV) serta punya efek
mengurangi kecepatan produksi CSF dengan memblokkir karbonik anhidrase.
Mobilisasi penderita harus hati-hati, setiap perubahan posisi (hiperekstensi,
hiperfleksi, rotasi kepala) serta posisi tredelenburg akan mengganggu drainage
serebral dengan meningkatnya ICP.
PENGELOLAAN ANESTESI
Prinsip dasar/pengelolaan anestesi pada cedera kepala akut:
a.
Optimalisasi
perfusi
b.
Mencegah
iskemik
c. Menghindari teknik dan obat-obat yang bisa menaikkan ICP.
Ini bisa dicapai dengan jalan Menjaga stabilisasi hemodinamik yang optimal.
otak
otak
Bebasnya jalan napas dan ventilasi kendali untuk menjamin oksigenasi yang adekwat
dan hiporkarbia.
Menghindari faktor-faktor yang meningkatkan tekanan vena serebral antara lain :
a. Batuk dan mengejan.
b. Posisi kepala yang ekstrim, yang menimbulkan obstruksi vena besar dileher
(hyperfleksi,hyperekstensi,rotasi dan posisi kepala lebih rendah).
c. Tekanan pada abdomen atau tahanan pengembangan torak.
d. Kanulasi vena jugularis interna untuk pemasangan CVP.
e. Obat-obat yang meningkatkan ICP.
PREMEDIKASI
Cukup memberikan anti kolinergik untuk mencegah sekresi yang berlebihan tidak
perlu memberikan sedasi yang mungkin membuat depresi respirasi yang akan
meningkatkan PaCO2 apalagi obat-obat narkotik.
Glicopirolate tampaknya terpilih sebagai anti sekresi oleh karena sedikit pengaruhnya
pada jantung.
INDUKSI
Induksi yang ideal adalah menghindari kenaikan tekanan darah maupun kenaikan ICP.
Untuk itu hindari hal-hal yang menimbulkan rasa nyeri (pemasangan infus,
pengisapan lendir, manipulasi daerah trauma).
Batuk dan mengejan harus dicegah karena dapat merangsang simpatis menaikkan
tekanan darah, ICP, udem, dan herniasi otak. Posisi harus telentang netral, kepala head
up setinggi 20-30% mencegah obstruksi vena besar di leher.
Pre
oksigenasi
100%
untuk
mencapai
SaO2
100%
Narkotik (terpilih fentanil 1-4 ug/kg BB iv sebelum pentotal untuk menjaga stabilisasi
kardiovaskuler).
Narkotik yang lain menimbulkan vasodilatasi serebral.
Pentothal obat induksi pilihan asal tidak ada kontra indikasi karena mampu
menurunkan CBF dan ICP.
Lidocain 1,5 mg/kg BB iv 1-3 menit sebelum intubasi dapat mencegah kenaikan
tekanan darah dan ICP.
Dalam hal penthotal ada kontra indikasi, pilihan etomidate maupun propofol
merupakan alternatif yang baik.
Vecuronium & recuronium merupakan relaxant pilihan oleh karena effek
pada kardiovaskular stabil dan efek pada ICP minimal.
Succinilkholine bisa menaikkan CBF dan ICP, kemungkinan hiperkalemia, jangan
diberikan pada cedera kepala akut 6-12 jam setelah kejadian, recuronium merupakan
alternatif.
Pancuronium tidak dianjurkan karena efek hipertensinya dapat menaikkan CBF dan
ICP dimana penderita cedera kepala akut ada gangguan auto regulasi.
Atracurium bila mungkin dihindari karena melepaskan histamin dan metabolit
laudanosin yang dimilikinya dapat menimbulkan kejang-kejang pada binatang
percobaan.
PEMELIHARAAN ANESTESI
Penggunaan inhalasi isoflurane and sevoflurane cukup terpilih berdasarkan
autoregulasi tetap baik sampai 1,5 MAC dan respon terhadap CO2 tetap baik sampai
2,8
MAC.
Menurunkan CMR 02 sampai 50% sehingga punya efek proteksi otak.
Kenaikan ICP oleh isoflurane 1% mudah dilawan dengan hipokapnia dan barbiturat.
Sevoflurane, efek neuro hemodinamiknya seimbang dengan isoflurane hanya induksi
dengan pemulihannya lebih cepat.
Halothan kontra indikasi absolut pada CKB karena mensensititasi myokard gampang
aritmia padahal penderita CKB akut, kadar katekolanin meningkat.
Disamping itu kenaikan ICP oleh karena halothan tidak bisa dikounter dengan
hiperventilasi
walaupun
sudah
hipokarbi.
Tambahan lagi antoregulasi hilang pada => I MAC halothan dan menetap sampai
periode pasca bedah. Odem otak akan diperburuk oleh halothan karena merusak BBB
dan Blood-CSF Barriere.
Enflurane tidak dianjurkan dalam bedah syaraf oleh karena autoregulasi hilang pada
1MAC, dapat menimbulkan kejang EEG pada dosis moderat (1,5-2) MAC dimana
CMRO2 akan meningkat berapa ratus persen dan akan meningkatkan CBF dimana
kenaikan ICP akan berakhir 3 jam setelah obat dihentikan.
N20 harus dipertimbangkan untung ruginya oleh karena 60% N2O dapat
meningkatkan CBF krg lebih 100% dengan meningkatkan CMRO2 krg lebih 20% dan
hindari pemakaiannya bila ada aerocele atau resiko emboli udara terutama bila disertai
kerusakan sinus nervosa atau bila sinus tulang kontak dengan udara.
Penggunaan relaxant secara kontinu tampaknya lebih baik dari pada intermittent untuk
mencegah gerakan tiba-tiba penderita selama berlangsungnya operasi bisa menaikkan
ICP drastis dapat digunakan vecuronium 0,1 mg/ kgBB/jam.
Hipertensi ringan tak perlu diterapi kecuali MAP>130 mmHg dicoba dengan
isoflurane dosis rendah bila kurang respons berikan esmolol, propanolol atau
labetalol.
Penggunaan nitroglizerin maupun nitroporuside tak dianjurkan karena merupakan
vasodilator serebral dapat menaikkan ICP.
Kejadian aritmia intraoperatif terutama disebabkan hiper adrenegik sentral, bolus
lidocain (1-1.5) mg/kg BB iv dan titrasi (1-4) mg/menit mungkin bisa menetralisir.
Namun demikian setiap mengkoreksi hipertensi atau aritmia sebaiknya faktor
hipoksia/hiperkarbia perlu dipikirkan lebih dahulu.
Hipotensi intra operatif segera terapi dengan cairan bila kurang respon baru diberi
vasopressor.
Penggunaan cairan pada dasarnya mencegah hipovolemia, hipervolemia, hipoosmoler,
hiperglikemia.
NaCl 0.9 % merupakan cairan terpilih dimana osmolaritasnya 300 mosm/1 sementara
ringer laktat hipo osmolar (273 mosm/1) sebaiknya dibatasi untuk mencegah hipo
osmoler yang akan meningkatkan udem serebri.
Bila tekanan darah melampaui batas autoregulasi (MAP > 150mmHg) akan
menyebabkan rusaknya BBB, odem interstitiel dan meningkatnya ICP.
Tetapi harus dilakukan terapi bila MAP > 130-140 mmHg dan semua penyebabnya
seperti hipopksia, hiperkarbi, hiportermi dan ovelood cairan, serta nyeri dikoreksi
baru diberikan anti hipertensi.
Naiknya tekanan darah karena PaCo2 meningkat, diperlukan untuk mempertahankan
CPP bila diberi anti hipertensi akan memperburuk perfusi otak.
Prinsip pemberian cairan harus dipertahankan dry untuk mencegah exaserbasi odem
serebri, tetapi punya resiko bila CPP tak adekwat akan memperluas kerusakan otak.
Untuk itu cegah terjadi overhidrasi namun tak perlu takut pemberian cairan.
Kontrol elektrolit(K,Na) akibat diuretik harus segera dikoreksi.
Kadar gula darah dikendalikan tak lebih dari 150mg% bila lebih dari 200mg% harus
diterapi dengan insulin.
Hiperglikemia
akan
menambah
asidosis
otak
karena
asam laktat.Glukosa hanya diberikan bila ada hipoglikemia.
meningkatnya
pengaturan
suhu
tubuh,
Bronkial toilet seharusnya dilakukan dalam keadaan tersedasi untuk megurangi iritasi
jalan nafas yang dapat menaikkan ICP.
Untuk
pengendalian
kejang
dapat
phenitoin(dilantin),benzodiazepin/barbiturat atau lidokain.
digunakan
Ini penting diatasi karena kejang dapat menaikkan ICP, hipertensi sampai perdarahan
otak, hipoksia dan rusaknya sel otak.
Dosis permulaan phenitoin 5-20 mg/kg intravena,dengan kecepatan maksimal
pemberian 50 mg/menit, untuk mencegah efek samping kardiovaskular seperti
hipotensi,aritmia sampai henti jantung.
Diazepam diberikan dengan dosis 5- 10 mg intravena(0,3 mg/kg) sementara thiopental
dengan dosis (1-4)mg/kg intravena.
Proteksi otak dengan jalan mempertahankan supply oksigen, hemodinamik yang baik
dan stabil, ICP yang rendah dan kimia darah berimbang.
Kebutuhan oksigen dengan menurunkan suhu tubuh, pemberian obat-obatan yang
menurunkan CMRO2 seperti barbiturat atau etomidat.
Kesimpulan :
Intervensi yang cepat dan tepat baik prabedah maupun selama dan sesudah
pembedahan dalam mencegah terjadinya cedera otak sekunder sangat menentukan
morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala akut.
Hipoksia dan hipotensi hipovolemia harus segera dideteksi dan dikoreksi karena
sebagai penyebab berkembangnya cedera otak sekunder.
Mobilisasi penderita harus extra hati hati karena CKB disertai cedera leher kurang
lebih 20%.
Hindarkan posisi tredelenburg,hiperfleksi,hiperekstensi
cenderung memperburuk cedera leher dan menaikkan ICP.
Bila ICP > 20 mmHg harus segera diterapi.
maupun
rotasi kepala
Hiperventilasi untuk menurunkan ICP dalam 24 jam pertama jaga jangan sampai
PaCO2 <35 mmHg,karena telah terjadi penurunan CBF sebesar 50% akan
memperburuk perfusi otak.
Hipertensi hanya diterapi kalau MAP>130 mmHg karena hipertensi ringan merupakan
kompensasi untuk mempertahankan CBF.
Prinsip pemberian
hiperglikemia.
cairan
cegah
hipovolemia,hipervolemia,hipoosmolar dan
Kadar gula darah sebaiknya jangan melebihi 150mg% kalau >200mg% segera
dikoreksi dengan insulin.
Larutan glukose hanya diberikan kalau ada hipoglikemia.
Keterangan singkatan yang terlampir :
ICP
=
Intra Cranial Pressure
CBF= Cerebral Blood Flow
CBV = Cerebral Blood Volume CPP =Cerebral Perfusion Pressure
MAP
=
Mean Arterial
Pressure
CKB
=Cedera
Kepala
Berat
GCS =
Glasgow Coma Scale
SDH = Subdural Hematom
CMRO2 = Cerebral Metabolic Rate for 02.
Rujukan :
1. Braumann: Acute Management of Head Injury;Balliere s Clinical Anesthesiology
International Practice and Research, Baliere Tindall,Philldelphia,Toronto.
2. Bisri T, Himendra W : Neuroanestesia,edisi 2,Bandung 1997.
3. Bisri T :Pengelolaan Perioperatif Cedera Kepala Akut,edisi 2, Bandung,1999.
4. Duriex ME : Anesthesia for head trauma;Stone JD,Sperry JR; The Neuroanesthesia
Handbook,Mosby,St
Louis,1996.
5. Marshall M : Neurosurgical and Neurological Emergencies in Neuro Anesthesia,
Edward Arnold Publisher 1st edit,London,1974.