Anda di halaman 1dari 12

Todar's Online Textbook of Bacteriology

2002 Kenneth Todar University of Wisconsin-Madison Department of Bacteriology

Bacterial Toxigenesis
Toxigenesis, atau kemampuan untuk menghasilkan toksin, adalah
mekanisme pokok dari bakteri patogen yang menyebabkan penyakit. Pada
bidang kimia, ada 2 tipe toksin bakteri, lipopolysakarida, yang
berhubungan dengan dinding sel dari bakteri gram negatif dan protein yang
terpisah dari sel bakteri dan bekerja pada jaringan yang berpindah ketempat
tumbuhnya bakteri. Sel toksin yang berhubungan dengan lipopolysakarida
(LPS) merujuk pada endotoksin dan ekstraseluler dan penyebaran toksin
yang tertuju pada eksotoksin.
Endotoksin adalah zat yang berhubungan dengan komponen sel struktural
dari membran terluar pada bakteri gram negatif. Bagaimanapun endotoksin
bisa saja terpisah dari sel pertumbuhan bakteri atau dari sel yang lisis
sebagai suatu hasil dari pertahanan host yang efektif (misalnya: lysozyme)
atau aktivitas dari antibiotik tertentu (misalnya: penicilin dan
chepalosporin). Eksotoksin biasanya disekresi oleh bakteri tapi pada
beberapa kasus dia dilepaskan oleh bakteri sel yang lisis. Bagaimanapun,
masing-masing tipe toksin bakteri dapat bekerja pada hubungan tertutup
dengan sel-sel yang memproduksi toksin atau pada kendali jaringan dari inti
original pada invaksi bakteri atau pertumbuhan. Beberapa bakteria toksin
juga dapat bekerja pada kolonisasi dan memainkan aturan invasi.
Bacterial Protein Toxins
Eksotoksin adalah jenis protein tersembunyi yang dapat larut oleh bakteri
hidup selama pertumbuhan eksponensial. Produksi pada toksin, biasanya
khusus untuk jenis bakteri yang khas dan menimbulkan penyakit yang
berhubungan dengan toksin (misalnya: hanya Clostridium tetani yang
menghasilkan toksin tetanus; hanya Corynebacterium diphtheriae yang
menghasilkan toksin difteri). Biasanya virulensi strain dari bakteri yang
menghasilkan toksin sedangkan strain nonvirulensi tidak, dan toksin adalah
determinan terbesar dari virulensi (misalnya: tetanus dan difteri). Pada saat

bersamaan dikatakan bahwa produksi eksotoksin hanya terbatas pada bakteri


gram positif, tetapi keduanya bakteri gram poisitif dan gram negatif
menghasilkan protein toksin yang dapat larut.
Toksin protein kuman adalah racun manusia yang terkuat yang dikenal dan
berfungsi untuk memelihara tingginya aktivitas pada pencernaan. Eksotoksin
merupakan bakteri yang paling berpotensi dan mematikan pada strychnine,
bisa ular dan endotoksin pada tabel 1 dibawah ini.
TABLE 1. LETHALITY OF BACTERIAL PROTEIN TOXINS
Lethal
toxicity

Toxin
Botulism Type Toxic Dose
Host
D
(mg)
Tetanus
0.8x10-8
Mouse
Shigella
4x10-8
Mouse
Neurotoxin
Diphtheria
2.3x10-6
Rabbit
Guinea
6x10-5
Pig

compared
with:
Strychnine

Endotoxin

3x106

3x107

Snake
Venom
3x105

1x106

1x107

1x105

1x106

1x107

1x105

2x103

2x104

2x102

Enzim yang mirip toksin protein dapat dilihat dalam beberapa cara. Seperti
enzim, bakteri eksotoksin dapat berbah karena panas, asam dan enzim
proteolitik;mereka punya aktifitas biologi yang tinggi (must act
catalytically); dan mereka menunjukkan aksi spesifik. Substrat (pada host)
bisa saja sebuah komponen pada sel jaringan, organ atau cairan tubuh.
Biasanya tempat kerusakan disebabkan oleh indikasi toksin pada lokasi dari
substrat untuk toksin tersebut. Istilah seperti enterotoksin, neurotoksin,atau
hemolisinbiasanya digunakan untuk mengindikasi tempat target dari
beberapa toksin protein yang mudah ditemukan.
Protein toksin tertentu memiliki aktivitas citotoksik yang sangat spesifik
(misalnya: mereka menyerang sel-sel tertentu. Sebagai contoh tetanus atau
botulinum toksin yang hanya menyerang saraf (neuron). Tetapi untuk
beberapa toksin (seperti yang diproduksi oleh staphylacoccus, streptococcus,

clostridia dll) memiliki aktivitas cytotoksik yang luas dan karena kematian
nonspesifik dari segala jenis sel dan jaringan, walaupun dihasilkan pada
necrosis. Toksin jenis fosfoliphase bekerja dengan cara ini. Mereka
memotong phospolipid yang merupakan komponen regular dari membran
sel host, kematian sel ini disebabkan dari kebocoran kandungan seluler. Ini
juga merupakan fakta dari bentuk pori hemolisin dan leukocidin.
Beberapa toksin bakteri yang dengan nyata menyebabkan kematian pada
hewan yang dikenal dengan toksin lethal, dan walaupun disebabkan oleh
jaringan dan tempat target diketahui. Mekanisme yang tepat hingga terjadi
kematian yang tidak diketahui (toksin anthraks LF).
Bakteri protein toksin sangat anti genik. In vivo, antibody spesifik
(antitoksin) menetralkan toksisitas dari protein kuman ini. Sedangkan invitro, antitoksin spesifik tidak saja menghalangi aktivitas enzimatik. Usulan
bahwa antigen determinan pada toksin bisa jadi jelas porsi aktiv (enzimatik)
pada molekul protein. Tingkat penetralan pada tempat enzimatik bisa
tergantung pada jarak dari tempat antigen ke molekul. Walaupun sejak
toksin sepenuhnya dinetralkan secara in vivo, usulan dari host faktor harus
sesuai dengan peraturan.
Protein toksin bersifat tidak stabil, ketika mereka kehilangan sifat toksiknya
mereka menjaga sifat antigennya. Ini pertama ditemukan oleh Erlich dan dia
menggolongkannya kedalam toksoid dalam produk ini. Toksoid adalah
toksin yang didetoksifikasi dengan menjaga antigennya dan kapasitas
imunnya. Susunan toksoid dapat diakselerasikan dengan asam ascorbic,
keton dll. Campuran ini dipertahankan pada suhu 37 derajat dengan range
PH 6-9 untuk beberapa minggu. Hasil dari toksoid dapat digunakan untuk
immun buatan melawan penyakit yang disebabkan oleh patogen dengan
determinan pokok dari bakteri yang mematikan adalah produksi toksin.
Toksoid adalah perantara immun melawan difteri dan tetanus yang menjadi
bagian dari vaksin DPT.
A plus B subunit Arrangement of Protein Toxins
Banyak protein toksin, khususnya yang bekerja di intra sel (anggap pada sel
host) terdiri dari 2 komponen: komponen 1 (sub unit A) bertanggung jawab
untuk aktivitas enzim pada toksin; komponen lainnya (subunit B) mengakut
dengan mengikat pada reseptor di membran sel host dengan ditransfer
melalui enzim ke membran. Komponen enzimatik tidak aktif hingga dia

terpisah dari toksin aslinya (A+B). isolasi subunit A adalah enzimatik aktif,
tapi kurang terikat dan kemampuan masuk dalam sel. Isolasi subunit B dapat
mengikat ke target sel (walupun diblock ikatan pada toksin yang asli) tapi
mereka nontoksik.
Ada variasi dari cara subunit toksin disintesa dan disusun: A+B
mengindikasikan bahwa toksin ini disintesis dan disimpan sebagai 2 subunit
protein terpisah yang berinteraksi pada permukaan target sel; A-B atau A-5B
mengindikasikan bahwa subunit A dan B disitesis secara terpisah tetapi
berhubungan dengan ikatan nonkovalen selama sekresi dan mengikat target
mereka; 5B mengindikasikan daerah asal (domain) ikatan pada protein
disusun dari 5 subunit identik. A/B merupakan toksin yang disintesis sebagai
polypeptida tunggal yamg terbagi kedalam domain A dan B yang dapat
dipisahkan oleh pemotongan proteolitik.
Atatachment and Entry of Toksin
Setidaknya ada dua mekanisme pada tempat masuk toksin dalam target sel.
Mekanisme pertama disebut direct entry, sub unit B dari yang asli (A+B)
ikatan toksin kereseptor spesifik pada target sel dan menginduksi susunan
pori membran melewati subunit A yang ditransfer ke sel sitoplasma.
Mekanisme alternatif, toksin asli mengikat ke target sel dan struktur A+B
diambil kedalam sel melalui proses pada reseptor-mediated endositosis
(RME). Toksin adalah sel internal pada gelembung membran tertutup yang
disebut endosome. Ion H+ masuk kedalam endosome yang lebih rendah
dimana PH internal menyebabkan subunit A+B terpisah. Bagaimanapun sub
unit A pada endosome akan mampu mencapai target pada sel sitoplasma.
Sisa subunit B pada endosome akan didaur ulang ke permukaan sel.
Pada kedua kasus (diatas) molekul protein yang besar harus melalui dan
melewati membran lipid bilayer (begitu juga dengan sel membran atau
endosome membran). Aktivitas ini merefleksikan kemampuan terbesar dari
toksin A+B atau A/B, atau komponen B-nya, untuk masuk ke bilayers
artificial lipid, membuat sedikit jaln masuk kecil untuk ion yang permeable.
Beberapa bakteri yang toksin (seperti difteri) telah diketahui menggunakan
secara langsung jalan masuk keduanya dan RME untuk masuk kedalam sel
host,yang tidak lagi mengherankan sejak kedua mekanisme pokok yang
bervariasi . Toksin bakteri dengan mekanisme enzimatik serupa (sama) dapat
masuk kedalam sel target dengan mekanisme(cara) yang berbeda.

Demikianlah, toksin difteri dan Pseudomonas exotoxin A, yang memiliki


mekanisme identik dari aktifitas enzimatik,memasuki sel hostnya dalam
sedikit cara yang berbeda. Toksin adenylate cyclase dari Bordetella pertussis
dan toksin anthraks (factor edema) dari Bacillus anthracis berperan berbeda
dalam memproduksi katalis cAMP dari cadangan sel host interseluler ATP.
Tetapi, toksin anthraks memasuki sel dengan perantara reseptor endositosis,
sedangkan pertusis adenylate cyclase langsung menghambat sel membran.
Reseptor spesifik untuk toksin sub unit B pada sel target atau jaringan
sialogangliosit (glikoprotein) yang disebut protein-G pada sel membran.
Sebagai contoh, toksin choleramenggunakan gangliosit GM1, dan toksin
tetanus menggunakan gangliosit GT1 atau GD1b sebagai reseptor pada sel
host.
Kontrol dari Sintesis dan Pelepasan Toksin Protein
Peraturan sintesis dan sekresi dari banyak bakteri yang toksin dikontrol
sangat ketat oleh elemen pengatur yang sensitive untuk sinyal disekitarnya.
Sebagai contoh produksi toksin difteria yang sepenuhnya menahan
kemampuan zat besi yang banyak dan memadai dalam medium yang
digunakan untuk pertumbuhan bakteri tersebut. Kemampuan dari toksin
cholera dan hubungan faktor virulensi diatur oleh keadaan sekitar
(lingkungan), osmolaritas dan temperatur. Pada B-pertussis, induksi dari
komponen virulensi berbeda yang mengejutkan, seperti factor pengikatan
yang diproduksi pada permulaan menetapkan infeksi tersebut, dan toksintoksin yang mensintesa dan kemudian melepaskan pertahanan host dan
membantu pertahanan bakteri.
Banyak dari eksotoksin klasik yang disintesa dengan sebuah NH terminal
leader (signal) yang merupakan rangkaian yang terdiri dari (1-3) muatan
asam amino dan sebuah regangan (14-20) asam-asam amino hidrofobik.
Sinyal lanjutan dapat mengikat dan masuk kedalam membran sitoplasma
selama penterjemahan seperti pada saat disimpan polipeptida disintesa.
Sinyal peptida melekat sebagai toksin (protein) dilepaskan kedalam plasma
tepi. Alternatifnya, toksin dapat mensitesis intrasitoplasma lalu melompati
rangkaian leader untuk lewat menyebrangi membran. Seringnya, protein
harus megiringi dan menuntun proses ini. Beberapa toksin multikomponen,
seperti toksin cholera, memiliki subunit sintesa dan sekresi terpisah kedalam
plasma tepi dimana mereka berkumpul. Pada bakteri gram negatif, membran
luarnya berfungsi sebagai permeabilitas barrier tambahan yang biasanya

protein toksin tersebut harus diperantarai untuk melepaskan bentuk yang


dihancurkan/dilarutkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa beberapa
eksotoksin gram negatif (sepert: E.Colli ST enterotoksin) dapat dilepaskan
pada penyusunan membran fesikel dari komponen membran luar. Sejak
fesikel ini disangka dapat memiliki faktor yang berhubungan dengan
membran luar, mereka dapat bersikap sebaik kemampuan bombs pada
interaksi spesifik dan dapat masuk kedalam sel target untuk melepaskan
muatan toksiknya.
Diptheria toxin
Toksin bakteri yang paling banyak diketahui dan dipelajari adalah toksin
difteri, yang dihasilkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Toksin difteri
adalah bakteri eksotoksin dari prototipe A/B. Yang dihasilkan sebagai rantai
polipetida tunggal dengan berat molecular 60,000 daltons. Fungsi protein ini
dapat dibedakan dalam dua bagian: subunit A, dengan berat molecular
21,000 daltons, yang mengandung aktivitas enzimatik untuk menghambat
pemanjangan yang melibatkan sintesis protein host; subunit B, dengan berat
molecular 39,000 daltons, bertanggungjawab untuk mengikat membran sel
host yang rentan.
In vitro, toksin dihasilkan dari bentuk inaktif yang dapat diaktifkan oleh
enzim tripsin proteolitik yang dihadirkan oleh thiol (reducing agent).
Aktivitas enzimatik dari fragmen A untuk melindungi toksin yang utuh.
Fragmen B diharuskankan untuk memungkinkan fragmen A menjangkau
sitoplasma sel yang rentan. bagian terminal-C dari fragmen B bersifat
hidrofilik dan mengandung determinan yang berinteraksi dengan reseptor
membran yang spesifik pada sel membran yang sensitif dan terminal-N akhir
dari fragmen B bersifat hidrofobik yang kuat. Membran reseptor spesifik
untuk fragmen B belakangan ini telah ditunjukkan menjadi
transmembranosus protein pengikat heparin pada permukaan sel yang
rentan.
Toksin difteri memasuki sel target dengan jalan masuk langsung lainnya atau
diperantarai reseptor endositosis. Langkah pertamanya adalah ikatan
reversibel dari terminal-C yang merupakan bagian hidrofilik dari fragmen B
(AAA 432-535) pada reseptor. Selama RME semuanya toksin lalu diambil
didalam sebuah fesikel endositik. Didalam fesikel endositik, PH turun juga
sekitar 5 yang diikuti pembentangan dari rantai A dan B. Terbukanya kedua
daerah rantaiA dan B hidrofobik ini dapat masuk kedalam membran fesikel.

Hasil dari perentangan rantai A pada bagian membran sitoplasmik. Ada


pemotongan dan pelepasan ikatan rantai A dalam sitoplasma. A dilepasakan
sebagai perpanjangan rantai tapi umtuk mengaktifkan kembali (enzimatik)
konfirmasi globular dalam sitoplasma rantai A mengkatalis ADP ribosilasi
dari pemanjangan faktor-2 (EF-2).
Toksin difteri sangat kuat kerjanya; sebuah molekul tunggal dari subunit A
dalam sel merupakan lethal dan sebuah basilus difteri tunggal sangat kuat
dan mampu untuk menghasilkan sekitar 5,000 molekul/jam. Toksin (subunit
A) menggunakan NAD sebagai subsrat; mengkatalisis tambahan dari bagian
ADP-ribose NAD untuk pemanjangan faktor yang mengaktivasi fungsinya
dalam sitesis protein.
Other considerations
Observasi pada informasi genetik yang tidak melibatkan kelangsungan hidup
bakteri seringkali terletak di ekstrakromosom, gen yang melakukan produksi
toksin biasanya terletak pada plasmid atau didalam lisogenic bakteriofag.
Proses perubahan genetik pada bakteri, khususnya konjugasi dantransduksi,
dapay mengerahkan elemen genetikini antara penyaringan pada bakteri. Dan
oleh karena itu dapat memainkan suatu aturan dalam mendeterminankan
potensial patogen pada suatu bakteri. Transfer horizontal pada elemen
genetik yang menyebabkan kematian terjadi antarspecies bakteri, yang dapat
menjelaskan bagaimana E.Colli dan Vibrio cholerae memproduksi diare
seperti menginduksi toksin.
Mengapa bakteri tertentu memproduksi toksin potensial merupakan suatu
misteri, sama dengan pertanyaan mengapa organisme harus menghasilkan
antibiotik. Produksi pada toksin dapat memainkan aturan dalam
mengadaptasi partikel niche, tapi ini bukan hal yang penting bagi
kelangsungan hidup organisme. Kebanyakan toksigenik bakteri hidup bebas
dialam dan berhubungan dengan manusia dalam bentuk phenotipikal identik
kepenyaringan toksigenik tapi kurang mampu untuk memproduksi toksin.
Ada fakta bahwa aturan patogen pada difteria, tetanus dan botulinum toksin,
variasi enterotoksin, staphylacoccus, toksik shock sindrome toksin dan
streptococcus eritrhogenic toksin dan fakta yang baiknya bahwa keterlibatan
patologis pada pertussis toksin, anthraks toksin, shiga toksin, dan necrotizing
toksin of clostridia, dalam penyakit bakteri.

Ringkasan dari protein toksin dan aktivitasnya dapat dlihat pada tabel 2 dan
3.
TABLE 2. ACTIVITIES OF EXTRACELLULAR BACTERIAL PROTEIN
TOXINS
BACTERIA
NAME OF TOXIN
ACTIVITY
INVOLVED

Factor Edema (EF) adalah suatu


siklus adenlyate yang disebabkan
meningkatnya
level
pada
Anthrax toxin (EF) Bacillus anthracis
intraseluler AMP siklik pada fagosit
dan bentuk pori ion permeabilitas
pada membran (hemolisis)
Bekerja
setempat
untuk
meningkatkan level pada AMP
Adenylate cyclase Bordetella
siklik dalam fagositosis dan bentuk
toxin
pertussis
pori
permeabilitas
ion
pada
membran (hemolisis)
Ribosylation ADP dari protein G
yang merangsang siklus adenlyate
Cholera enterotoxin
Vibrio cholerae
dan peningkatan cAMP sel pada
(ctx)
traktus GI, yang menyebabkan
sekresi air dan elektrolit
E. coli LT toxin
Escherichia coli Sama dengan toksin cholera
Merangsang siklus guanylate dan
E. coli ST toxin
Escherichia coli membantu melancarkan sekresi air
dan elektrolit dari epitel instestinum
Melekatkan secara enzimatis rRNA
Shigella
pada hasil penahanan dari sitesa
Shiga toxin
dysenteriae
protein pada sel yang mudah
dimasuki
Stimulasi
terpenting
siklus
Perfringens
Clostridium
adenylate untuk peningkatan cAMP
enterotoxin
perfringens
dalam sel epitel
Zn++ dipengaruhi pada hambatan
protease yang merupakan hasil
Clostridium
Botulinum toxin
neurotransmitter
pada
sinaps
botulinum
neuromuscular dalam paralysis
flasid
Tetanus toxin
Clostridium tetani Zn++ dipengaruhi pada penghambat

neurotransmissi pada hasil sinaps


pada spastic paralysis
ADP ribosylation of elongation
Diphtheria
toxin Corynebacterium
factor 2 leads to inhibition of protein
(dtx)
diphtheriae
synthesis in target cells
Pseudomonas
Sintesa protein penghambat; sama
Exotoxin A
aeruginosa
dengan toksin difteri
Lethal factor (LF) adalah Zn++ yang
dipengaruhi
protease
yang
Anthrax toxin (LF) Bacillus anthracis menginduksi pelepasan sitokin dan
sel sitotoksik dari mekanisme yang
tidak diketahui
ADP ribosylation menghambat
Bordetella
Pertussis toxin (ptx)
penghambat protein-G dari siklus
pertussis
adenylate pada ikatan sel
Aktivasi massive pada system
Staphylococcus
Staphylococcus
immun, termasuk limfosit, dan
enterotoxins*
aureus
makrofag penting untuk emesis
Toxic
shock
Bekerja pada system vaskuler yang
Staphylococcus
syndrome
toxin
menyebabkan inflamasi, demam dan
aureus
(TSST-1)*
shock
Staphylococcus
Pembelahan dalam sel epidermis
Exfoliatin toxin*
aureus
(pemisahan intraepidermal)
Erythrogenic toxin
Sama dengan TSST inflamasi,
(streptococcal
Streptococcus
demam
dan
shock;
dapat
pyrogenic exotoxin pyogenes
menyebabkan reaksi erythematous
SPE)*
setempat
* The pyrogenic exotoxins produced by Staphylococcus aureus and Streptococcus pyogenes have been
designated as superantigens. They represent a family of molecules with the ability to elicit massive
activation of the immune system. These proteins share the ability to stimulate T cell proliferation by
interaction with Class II MHC molecules on APCs and specific V beta chains of the T cell receptor.
The important feature of this interaction is the resultant production of IL-1, TNF, and other
lymphokines which appear to be the principal mediators of disease processes associated with these
toxins.

TABLE 3. ENZYMATIC ACTIVITY AND BIOLOGICAL EFFECTS OF SOME


BACTERIAL EXOTOXINS
TOXIN (subunit arr)* ENZYMATIC ACTIVITY

Cholera

toxin(A- Protein

Gs

BIOLOGICAL EFFECTS

mengatur Aktivasi

siklus

adenylate;

membantu
melancarkan
tingkat cAMP
intracellular
siklus adenlyate ribosilat pada sekresi cairan dan
5B)
ADP
elektrolit
dalam
epitel
intestinum terpenting untuk
diare
Menghalangi sitesis protein
Diphtheria toxin Pemanjangan factor 2
sel hewan pada sel yang telah
(A/B)
ribosilat ADP
mati
Menghambat
penghambat
dari
siklus
adenylate;
Pertussis toxin (A- Mengatur protein Gi siklus
penambahan tingkat aktifitas
5B)
adenlyate ADP
pengaruh hormon cAMP dan
mengurangi aktifitas fagosit
Protein
Gs
mengatur
E. coli heat-labile
Sama dengan identifikasi
siklus adenylate ribosilat
toxin LT (A-5B)
cholera toksin
ADP
ST
toksin, dengan
Stimulus
sklus
beberapa tipe, merupakan
Sguanylatepada sel epitel
polipeptida kecil dengan
traktu GI dalam intraseluler
E. coli heat stable ukuran antara 18 sampai
menghasilkan
akumulasi
toxin ST
72AA,
dan
GMP siklik yang telah
memungkinkan
untuk
memiliki jaringan efek sekresi
mengurangi
aktivitas
dan penting untuk diare
enzimatik
Pembagian glicosida dari Menonaktifkan
subunit
ribosom RNA (membagi ribosom 60s mamalia dan
Shiga toxin (A/5B) adenin
tunggal penting untuk menghambat
berdasarkan dari 28S sintesis protein dan sel mati
rRNA)
yang rentan
Menghambat sintesis protein
Pemanjangan factor 2
Pseudomonas
pada sel yang rentan, yang
ADP ribosilate yang sama
Exotoxin A (A/B)
dihasilkan oleh sel yang telah
untuk toksin difteri
mati
++
Zn
dipengaruhi kerja Menghambat
pelepasan
protease
pada asetilkolin presinaptik dari
Botulinum toxin
synaptobrevin
pada neuron peripheral kolinergik
(A/B)
ganglioside
neuron yang
menyebabkan
motorik
kelumpuhan lemah

Menghambat
pelepasan
Zn++ dipengaruhi kerja
neurotransmitter dari neuron
protease
pada
Tetanus toxin(A/B)
penghambat pada CNS yang
synaptobrevin di system
menyebabkan
kelumpuhan
saraf pusat
spactic
A1 (Lethal Factor=LF)
adalah sebuah Zn++ yang Subunit B disbut antigen
dipengaruhi
protease pelindung (AP), ditambah
Anthrax toxin LF
dengan substrat yang tidak pelepasan induksi sitokin LF
(A2+B)
diketahui ; A2 (Edema dan kematian sel target atau
Factor=EF) adalah sebuah hewan coba
siklus adenylate
Pengaturan
Calmodulinsiklus
Bordetella
Penambahan cAMP dalam
adenylate
yang
pertussis AC toxin
fagosit
penting
untuk
mengkatalis bentuk dari
(A/B) and Bacillus
menghambat fagositosis dari
AMP siklikdari sel yang
anthracis
EF
netrofil
dan
makrofag;
rentan pada ATP, dan
(A1+B)
hemolisis atau leukolisis
bentuk dari ion permeable
dari membran sel
Pemisahan
stratum
Membadi desmogline 1,
granulosum
Staphylococcus
ditemukannya
sebuah
melewati/menembus
aureus Exfoliatin cadherin
dalam
epidermis diantara lapisan
B (?)
desmosome
pada
hidup dan lapisan superficial
epidermis
yang telah mati.
* toxin subunit

Tugas terjemahan mikro

PROTEIN KUMAN

Disusun oleh :
DINDA M ROESMAN
0371150010

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSYIAH


NANGGROE ACEH DARUSALAM
2006

Anda mungkin juga menyukai