Anda di halaman 1dari 29

BAB I

STATUS PASIEN
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. A

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 31 tahun

Agama

: Islam

Suku

: Sunda

Pendidikan Terakhir

: SLTA

Status Pernikahan

: Belum Menikah

Pekerjaan

: Tidak Bekerja

Alamat

: Cikabuyutan barat Rt/Rw 05/09 Desa Hegarsari


Kecamatan Pataruman-Banjar

Tanggal Masuk RS
II.

: 15 Desember 2015 Jam 12.30 WIB

RIWAYAT PERAWATAN
Rawat Jalan

: Pernah di RSJ Provinsi Jawabarat Tahun 2009 dan di Poli


Jiwa RSUD Banjar

Rawat Inap

: Belum Pernah

III. RIWAYAT PSIKIATRI


ALLOANAMNESIS
Tanggal
: 30 Desember 2015
Nama
: Ny. S
Hubungan dengan pasien
: Ibu kandung, akrab, dapat dipercaya.
Keluhan Utama
Memukul Ibunya
Riwayat Penyakit Sekarang
8 tahun SMRS, pasien ada masalah ditempat kerjanya dan ditinggal perempuan
yang pasien sukai sebelum pasien bisa mengungkapkan perasaanya, saat itu pasien
pertama kali mengalami perubahan perilaku, bicara kacau, ketawa sendiri, marahmarah, ngamuk melempar Tv, mendengar bisikan dan melihat apa yang tidak bisa
1

dilihat oleh orang sekitarnya, dan membahayakan orang-orang disekitar rumahnya.


Kemudian keluarga pasien membawa pasien berobat jalan ke RSJ Provinsi Jawa Barat,
ada perbaikan namun pasien sering tidak kontrol dan minum obat teratur.
5 Tahun SMRS, pasien kembali bekerja, 4 bulan setelah kerja gejala muncul
kembali sama seperti gangguan sebelumnya. Pasien dibawa berobat ke poli jiwa RSU
kota Banjar, ada perbaikan namun pasien minum obat tidak teratur dan putus berobat
dengan alasan faktor ekonomi.
3 hari SMRS, pasien bertengkar dengan ibunya karena pasien tidak mau minum
obat, karena kesal pasien memukul kaca, membantingkan handphone, memotong ayam
pada malam hari, membentak ibunya, keluyuran, bicara sendiri, mendengar bisikan dan
melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang sekitarnya. Ibunya kemudian
memutuskan untuk membawa pasien ke RSU Kota Banjar.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Gangguan Psikiatrik
8 tahun SMRS, pasien berobat ke RSJ Provinsi Jawa Barat dengan keluhan
bicara kacau, ketawa sendiri, marah-marah, ngamuk melempar Tv, mendengar bisikan
dan melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang sekitarnya, dan membahayakan
orang-orang disekitar rumahnya.
5 Tahun SMRS, kembali sama seperti gangguan sebelumnya. Pasien dibawa
berobat ke poli jiwa RSU kota Banjar.
- Gangguan Medik
Dalam batas normal
- Gangguan Zat Psikoaktif
Konsumsi zat psikoaktif, alkohol, dan merokok disangkal.

Riwayat Kehidupan Pribadi


- Riwayat Perkembangan Prenatal dan Perinatal
Pasien dilahirkan dalam keadaan sehat, tidak ada trauma saat kehamilan, saat
kehamilan ibu pasien tidak mengonsumsi obat-obatan, pada saat persalinan ibu
-

pasien ditolong oleh paraji (dukun beranak).


Riwayat Perkembangan Masa Kanak-kanak Awal (0 3 tahun)
Perkembangan fisik pasien cukup baik, pola perkembangan motorik juga baik.
Riwayat tumbuh kembang pasien baik (sesuai dengan usianya).
2

Saat usia 2 tahun rumah pasien kebakaran dan usia 3 tahun ditinggal ibu

menjadi TKW.
Riwayat Kanak-kanak Pertengahan (3 11 tahun)
Pasien merupakan anak yang baik. Sejak sekolah, pasien memiliki banyak
teman, tidak pernah berkelahi/bermasalah di sekolah dan lingkungan tempat

tinggal. Prestasi di sekolah juga tidak mengecewakan.


Riwayat Masa Pubertas dan Remaja
a. Hubungan Sosial
Sikap pasien terhadap orangtua, kakak kandung, kerabat, dan tetangga cukup
baik. Pasien dapat bergaul dengan baik dengan temantemannya.
b. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien adalah SLTA.
c. Perkembangan Kognitif
Pasien tidak memiliki gangguan belajar, prestasi belajar dinilai biasa saja.
d. Perkembangan Motorik
Selama ini dirasa baik dan normal. Pasien mampu melakukan aktivitas dan
kegiatan sehari-hari dengan baik seperti makan, minum, toilet, dan kebersihan
diri.
e. Perkembangan Emosi dan Fisik
Pasien dinilai memiliki emosi yang biasa saja, kadang senang kadang juga
sedih. Sulit beradaptasi, pendiam dan sulit mengungkapkan perasaanya
f. Riwayat Psikoseksual
Pasien dapat bergaul dengan baik dengan teman-temannya, baik yang lakilaki ataupun perempuan.
7 tahun yang lalu, pasien menyukai perempuan yang tinggal berdekatan
dengan tempat kerjanya, namun perempuan yang pasien sukai pindah rumah

sebelum pasien mengungkapkan perasaannya.


- Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pekerjaan
Pasien bekerja di tempat pengelasan besi di Bandung selama 3 Tahun.
b. Riwayat Pernikahan
Pasien belum menikah.
c. Riwayat Keagamaan
Menurut keluarga, pasien rajin beribadah.
d. Riwayat Aktivitas Sosial
Pasien tidak aktif dalam mengikuti kegiatan sosial di lingkungan rumahnya.
e. Riwayat Hukum
Pasien tidak pernah bermasalah secara hukum.
Riwayat Keluarga
3

Pasien merupakan anak kesatu dari tiga bersaudara. Adik pertama pasien sudah
menikah, adik kedua masih sekolah, Orangtua dan adik-adik pasien sangat menyayangi
pasien.
Ayah pasien bekerja sebagai buruh bangunan, Ibu pasien dulu berjualan dipasar
namun semenjak pasien ada gangguan ibu berhenti berjualan dan tidak bekerja.
Kehidupan ekonomi pasien tergolong rendah.
Situasi Kehidupan Sekarang
Pasien tinggal bersama ibu, ayah dan adik kedua pasien. Sebelum ada Gangguan
pasien anak yang rajin dan jarang melawan orangtuanya. Pasien cukup dekat dengan
keluarganya, terutama ayahnya.
Berdasarkan home visit ke rumah pasien pada hari rabu 30 Desember 2015
didapatkan : Rumah yang ditinggali pasien dihuni oleh 4 orang ( ibu, ayah, pasien dan
adik kedua). Kondisi rumah pasien tampak dari luar dan dalam terbuat dari tembok,
dicat berwarna kuning, rumah dengan luas 10x7 m, lokasinya masuk ke dalam gang
kecil. Beratapkan genteng, terdiri dari 3 kamar tidur, 1 ruang keluarga dan ruang tamu
menyatu, 1 ruang makan, 1 dapur dan 1 kamar mandi.
Rumah terbilang cukup jika hanya untuk tempat tinggal yang dihuni oleh 4 orang.
Lantai rumahnya dikeramik. Perabotan di dalam rumah berupa 1 set bangku dan meja
untuk tamu, Tv dan lemari. Di dalam kamar tidur terdapat 1 kasur kapuk dan lemari
baju.
Sirkulasi udara didalam cukup baik. Akses jalan menuju rumah pasien cukup
memadai dikarenakan masuk ke dalam gang. Jarak antara rumah pasien dengan rumah
tetangga sekitar 1-2 meter.
Tanggapan Keluarga Setelah Pasien Dirawat
Keluarga menyadari sepenuhnya bahwa pasien sedang sakit dan perlu perawatan
khusus di RS untuk penyakitnya.Keluarga optimis pasien akan sembuh dari gangguan
jiwanya khususnya ibu yang tampak sangat sayang kepada pasien.
Tanggapan Tetangga Sekitar Rumah Setelah Pasien Dirawat
Ketua Rt dan tetangga sekitar rumah pasien mendukung pasien bisa sembuh.
IV. STATUS MENTAL
Penampilan
Pasien seorang laki-laki, dengan tinggi 165 cm dan berat badan 58 kg. Pasien
berkulit kuning langsat dengan rambut hitam lurus pendek. Pasien menggunakan
pakaian berwarna kuning dan celana pendek. Tampilan pasien sesuai dengan usia
sebenarnya.
4

Perilaku dan Aktivitas Psikomotor


Pasien nampak tenang, perhatian pasien baik, berminat untuk diwawancara.
Konsentrasi pasien cukup baik, bisa menjawab pertanyaan dari pemeriksa. Saat
diwawancara pasien terlihat senang, terlihat dari tingkah lakunya Agitasi (-), riwayat
agresivitas (+).

Pembicaraan (speech)
Cara berbicara
Volume berbicara
Kecepatan berbicara
Gangguan berbicara
Alam Perasaan
Mood
Afek
Gangguan Persepsi
- Halusinasi
Auditorik
Visual
Taktil
Gustatorik
- Ilusi
GangguanPikir
- Bentuk pikir
- Proses Pikir

:Spontan, logorhea (-)


:Kencang
:Normal
:Tidak ada afasia, tidak ada disartria
: Khawatir
: Cemas, sesuai
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: Realistik

Produktivitas

Kontinuitas

: Normal

Blocking

: Tidak ada

Assosiasi longgar

: Tidak ada

Inkoherensia

: Tidak ada
Word salad

: Tidak ada

Neologisme

: Tidak ada

Flight of Idea

: Tidak ada

Isi pikir
o

Waham

Bizarre

: Tidak ada

Persekutorik/paranoid

: Tidak

ada

Curiga

: Tidak ada

Referensi

: Tidak ada

Kebesaran

: Tidak ada

Thought of insertion

: Tidak ada

Thought of broadcasting

: Tidak ada

Thought of withdrawal

: Tidak

ada
o Delution of control
o Obsesi

: Tidak ada
: Tidak ada

Sensorium dan Kognitif


- Kesadaran
:Composmentis
- Orientasi
: Baik
o Waktu:pasien mampu menyatakan sekarang ini siang/sore/malam saat ditanya
tentang waktu.
o Tempat:pasien dapat menyebutkan saat ini sedang berada di rumah saat ditanya
tentang posisinya.
o Orang : pasien tahu ia sedang diwawancarai oleh Dokter Muda saat ditanya
-

mengenai pewawancara.
Konsentrasi
: Baik
Daya ingat
: Baik
Daya ingat jangka panjang baik (pasien dapat mengingat alamat rumah).
Daya ingat jangka pendek baik (pasien dapat mengingat menu sarapan pagi tadi).
Daya ingat yang baru-baru ini terjadi baik (pasien dapat mengingat kapan ia datang
ke rumah sakit dan diantar oleh ibunya).
Daya ingat segera baik (pasien dapat mengingat nama dokter muda yang
wawancara saat itu, dan dapat mengulang dengan baik urutan nama benda meja,

pulpen, sepatu).
Daya Nilai
- Daya nilai sosial

: Cukup baik

Ketika ditanya apakah mencuri adalah suatu perbuatan baik atau suatu perbuatan
buruk, pasien menjawab mencuri adalah perbuatan yang buruk.
6

Uji daya nilai


: Baik
Misalnya jika pasien menemukan dompet (dengan identitas pemilik) dijalan dan
terdapat uang Rp1.000.000,00 ia bingung untuk mengembalikan dompet beserta
uang tersebut kemana.

V.

Reality Test Ability(RTA)

: Baik

Tilikan

: Tilikan tipe II

IKHTISAR PENEMUAN YANG BERMAKNA


Tingkah laku
: Agitasi (-), riwayat agresivitas (+)
Cara berbicara
: Spontan, logorhea (-)
Mood
: Khawatir
Afek
: Cemas, sesuai
Gangguan Presepsi
: Ilusi (-)/ Riwayat halusinasi dengar(+)
Gangguan proses pikir
: Tidak ada
Gangguan isi pikir
: Preokupasi
Perhatian
: Baik
RTA
: Baik
Tilikan
: Tilikan tipe II
Faktor stressor
: - Masalah dalam pekerjaanya
- Ditinggal perempuan yang dia sukai
namun
mengungkapkan

tidak

sempat

perasaannya
- Perbedaan pendapat dengan ibu

VI. FORMULASI DIAGNOSTIK


AKSIS I
: F20.5 ( Skizofrenia Residual)
AKSIS II
: Diagnosis tertunda
AKSIS III
: Tidak ada diagnosis
AKSIS IV
: Masalah Support System
AKSIS V
:GAF SCALE 1 tahun 80-71
GAF SCALE Pulang 80-71
VII. EVALUASI MULTIAKSIAL
AKSIS I
: F20.5 ( Skizofrenia Residual)
AKSIS II
: Diagnosis tertunda
AKSIS III
: Tidak ada diagnosis
AKSIS IV
: Masalah Support System
AKSIS V
:GAF SCALE 1 tahun 80-71
GAF SCALE Pulang 80-71
VIII. DAFTAR MASALAH
Organobiologik
: Tidak ada
7

Psikologi
Sosial
Keluarga

: Riwayat agresivitas, agitasi, logorhea, flight of idea


: Masalah pekerjaan dan ditinggalkan oleh perempuan yang disukai
: Perbedaan pendapat dengan ibu

IX. PENATALAKSANAAN
Farmakoterapi
Cepezet injeksi 50 mg ampul (1/2 amp 0 1 amp ) 15-16 Desember 2015
Skizonoat injeksi DEPO ampul ( 1 amp 0 0) 15-17 Desember 2015
Oral mulai tanggal 17 Desember 2015
Olandoz tablet 10 mg (1 tab 0 1tab)
Triheksifenidil tablet 2 mg (1 tab 0 1 tab)
Depakote tablet 250 mg ER (1 tab 0 1 tab)
Chlorpromazin tablet 100 mg (0 tab 0 1 tab)
Terapi Psikoterapi
- Memotivasi pasien agar minum obat teratur dan kontrol rutin setelah pulang dari
perawatan.Dengan cara memberi tahu akibat yang terjadi apabila tidak rutin minum
obat, seperti : Bapak/Ibu, harus rutin minum obat yang diresepkan oleh dokter, karena
apabila tidak rutin, gejala-gejala yang menyebabkan bapak/ibu dirawat akan muncul
-

kembali dan mungkin bapak/ibu akan dirawat kembali.


Memberi dukungan dan perhatian kepada pasien dalam menghadapi masalah serta
memberikan dorongan agar lebih terbuka bila mempunyai masalah dan jangan
memperberat pikiran dalam menghadapi suatu masalah.Dengan cara agar tidak
memendam masalah sendiri, bahwa dengan bercerita dengan keluarga akan membuat

pasien lebih tenang dan kemungkinan kambuh kecil.


Memberikan edukasi kepada pasien bahwa obat yang diminum tidak menimbulkan
ketergantungan justru sebagai pengontrol zat kimia di otak agar gejala yang dialami
pasien bisa terkontrol dan pasien bisa menjalani kehidupan sehari-hari seperti sebelum
sakit.Hal ini sangat penting, karena banyak pasien merasa seperti berbeda dari orang
lain. Sehingga pasien merasa tidak pantas untuk berbaur ataupun bekerja. Hal ini harus
dicegah, karena sesungguhnya dengan melakukan aktivitas rutin, seperti bekerja atau
menyalurkan hobi, akan membantu kesembuhan pasien.

Terapi Kognitif
- Menjelaskan pada pasien tentang penyakit dan gejala-gejalanya, menerangkan tentang
gejala penyakit yang timbul akibat cara berfikir, perasaan dan sikap terhadap masalah
yang dihadapi.
8

- Apabila tedapat beban pikiran yang berlebihan pada pasien akan menimbulkan
kekambuhan gejala lagi, walaupun pasien diterapi obat. Hal ini penting untuk
pengetahuan pasien tentang keadaan pasien tersebut.
Terapi Sosial
Melibatkan pasien secara aktif dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok di RS agar ia
dapat beraktivitas dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Proses terapi aktivitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks daripada terapi
individual, oleh karena itu untuk memimpinya memerlukan pengalaman dalam psikoterapi
individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya dan
menyerahkan kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang tingkat
kecemasannya sesuai, sehingga pasien terdorong untuk membuka diri dan tidak
menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari
suatu terapi aktivitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya
merupakan suatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka
dihadapkan dengan orang lain.
Setalah pasien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan
memperkenalkan diri terlebih dahulu dan juga memperkenalkan co-terapis dan kemudian
mempersilahkan anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang
tidak mampu maka terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud
dan tujuan serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan di bicarakan dalam
kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul pasien. Ditetapkan
bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis.
Terapis sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan
sebagai perintah.
Keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa pasien masih perlu mengikuti
terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang banyak bicara agar mengajak
temannya yang kurang banyak bicara. Dapat juga co-terapis membantu mengatasi
kemacetan.
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya kekacauan
dikeluarkan dan terapi aktivitas kelompok berjalan terus dengan memberikan penjelasan
kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar atau permintaan yang datang dari

anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat, atau


bukan pula wasit.
Diakhir terapi aktivitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat pembicaraan
yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin dilakukan. Dilanjutkan
kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk pertemuan berikutnya.
Terapi Keluarga
Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit pasien, penyebabnya, faktor
pencetus, perjalanan penyakit dan rencana terapi serta memotivasi keluarga pasien untuk
selalu mendorong pasien mengungkapkan perasaaan dan pemikirannya.
Dikarenakan banyak keluarga pasien akibat stigma masyarakat, keluarga pasien
menjadi malu, sehingga keluarga kekurangan empati terhadap pasien sendiri. Hal ini harus
dicegah, dengan memberikan dukungan kepada keluarga, untuk menyayangi pasien
selayaknya

keluarga

yang

sedang

sakit

dan

butuh

perhatian

keluarga

untuk

kesembuhannya.
Terapi Pekerjaan
Memanfaatkan waktu luang dengan melakukan hobi atau pekerjaan yang bermanfaat.
Hal ini tentunya apabila insight of ilness pasien sudah baik dan tidak ada gejala. Kita bantu
untuk memulihkan pekerjaan yang tepat sehingga pasien mempunyai aktifitas rutin seharihari layaknya orang normal.
X.

PROGNOSIS
- Faktor - faktor yang mendukung kearah prognosis baik:
Keluarga pasien dan tetangga pasien masih mendukung pasien untuk sembuh.
- Faktor - faktor yang mendukung kearah prognosis buruk:
Usia muda, adanya gambaran psikotik
- Kesimpulan prognosisnya adalah:
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
Quo ad sanationam
: dubia ad bonam

10

XI. LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL


Tampak Depan

Tampak Samping

11

Ruang Keluarga dan Ruang Tamu

Kamar Tidur 1

Kamar Tidur 2

12

Ruang Makan Keluarga

Dapur

Kamar Mandi

13

Halaman Belakang

14

15

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan yang ditandai oleh
kekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya delusi atau halusinasi), dalam mood
(contohnya afek yang tidak sesuai), dalam perasaan dirinya dan hubungannya dengan dunia
luar serta dalam hal tingkah laku. Sedangkan skizofrenia residual adalah keadaan yang
muncul pada individu dengan gejala skizofrenia yang, setelah episode skizofrenia psikotik,
tidak lagi psikotik.
Menurut DSM-IV, adapun klasifikasi untuk skizofenia ada 5 yakni subtipe paranoid,
terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan dan residual. Untuk istilah
skizofrenia simpleks dalam DSM-IV adalah gangguan deterioratif sederhana. Sedangkan
menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia yang
ke-III skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu katatonik, paranoid, hebefrenik, tak terinci
(undifferentiated), simpleks, residual dan depresi pasca skizofrenia. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai skizofrenia residual.
2.2 Epidemiologi

16

Penelitian insiden pada gangguan yang relatif jarang terjadi, seperti skizofrenia, sulit
dilakukan. Survei telah dilakukan di berbagai negara, namun dan hampir semua hasil
menunjukkan tingkat insiden per tahun skizofrenia pada orang dewasa dalam rentang yang
sempit berkisar antara 0,1 dan 0,4 per 1000 penduduk. Ini merupakan temuan utama dari
penelitian di 10 negara yang

dilakukan oleh WHO. Untuk prevalensi atau insiden

skizofrenia di Indonesia belum ditentukan sampai sekarang, begitu juga untuk tiap-tiap
subtipe skizofrenia.
Prevalensinya antara laki-laki dan perempuan sama, namun menunjukkan perbedaan
dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset yang lebih awal daripada
perempuan. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, sedangkan
perempuan 25 sampai 35 tahun. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa laki-laki
adalah lebih mungkin daripada wanita untuk terganggu oleh gejala negatif dan wanita lebih
mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya, hasil
akhir untuk pasien skizofrenik wanita adalah lebih baik daripada hasil akhir untuk pasien
skizofrenia laki-laki. Skizofrenia tidak terdistribusi rata secara geografis di seluruh dunia.
Secara historis, prevalensi skizofrenia di Timur Laut dan Barat Amerika Serikat adalah lebih
tinggi dari daerah lainnya.
2.3 Etiologi
Penyebab skizofrenia sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Namun berbagai
teori telah berkembang seperti model diastesis-stres dan hipotesis dopamin. Model diastesis
stres merupakan satu model yang mengintegrasikan faktor biologis, psikososial dan
lingkungan. Model ini mendalilkan bahwa seseorang yang mungkin memiliki suatu
kerentanan spesifik (diastesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang
menimbulkan

stres, memungkinkan

perkembangan

gejala skizofrenia.

Komponen

lingkungan dapat biologis (seperti infeksi) atau psikologis (seperti situasi keluarga yang
penuh ketegangan).
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya
aktivitas dopaminergik. Teori tersebut muncul dari dua pengamatan. Pertama, kecuali untuk
klozapin, khasiat dan potensi antipsikotik berhubungan dengan kemampuannya untuk
bertindak sebagai antagonis reseptor dopaminergik tipe 2. Kedua, obat-obatan yang
17

meningkatkan aktivitas

dopaminergik (seperti amfetamin) merupakan salah satu

psikotomimetik. Namun belum jelas apakah hiperaktivitas dopamin ini karena terlalu
banyaknya pelepasan dopamin atau terlalu banyaknya reseptor dopamin atau kombinasi
kedua mekanisme tersebut. Namun ada dua masalah mengenai hipotesa ini, dimana
hiperaktivitas dopamin adalah tidak khas untuk skizofrenia karena antagonis dopamin efektif
dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien teragitasi berat. Kedua, beberapa
data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin meningkatkan
kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan jangka panjang dengan obat
antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa abnormalitas awal pada pasien skizofrenia
mungkin melibatkan keadaan hipodopaminergik.
Skizofrenia berdasarkan teori dopamin terdiri dari empat jalur dopamin yaitu:
a.

Mesolimbik dopamin pathways: merupakan hipotesis terjadinya gejala positif


pada penderita skizofrenia. Mesolimbik dopamin pathways memproyeksikan badan sel
dopaminergik ke bagian ventral tegmentum area (VTA) di batang otak kemudian ke
nukleus akumbens di daerah limbik. Jalur ini berperan penting pada emosional, perilaku
khususnya halusinasi pendengaran, waham dan gangguan pikiran. Antipsikotik bekerja
melalui blokade reseptor dopamin ksususnya reseptor dopamine D2. Hipotesis hiperaktif
mesolimbik dopamin pathways menyebabkan gejala positif meningkat.

b.

Mesokortikal dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah VTA ke daerah
serebral korteks khususnya korteks limbik. Peranan mesokortikal dopamin pathways
adalah sebagai mediasi dari gejala negatif dan kognitif pada penderita skizofrenia. Gejala
negatif dan kognitif disebabkan terjadinya penurunan dopamin di jalur mesokortikal
terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks. Penurunan dopamin di mesokortikal
dopamin pathways dapat terjadi secara primer dan sekunder. Penurunan sekunder terjadi
melalui inhibisi dopamin yang berlebihan pada jalur ini atau melalui blokade antipsikotik
terhadap reseptor D2. Peningkatan dopamin pada mesokortikal dapat memperbaiki gejala
negatif atau mungkin gejala kognitif.

c.

Nigostriatal dopamin pathways: berjalan dari daerah substansia nigra pada batang
otak ke daerah basal ganglia atau striatum. Jalur ini merupakan bagian dari sistem saraf
ekstrapiramidal.

Penurunan

dopamin

di

nigostriatal

dopamin

pathways

dapat
18

menyebabkan gangguan pergerakan seperti yang ditemukan pada penyakit parkinson


yaitu rigiditas, bradikinesia dan tremor. Namun hiperaktif atau peningkatan dopamin di
jalur ini yang mendasari terjadinya gangguan pergerakan hiperkinetik seperti korea,
diskinesia atau tic.
d.

Tuberoinfundibular dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah hipotalamus


ke hipofisis anterior. Dalam keadaan normal tuberoinfundibular dopamin pathways
mempengaruhi oleh inhibisi dan pelepasan aktif prolaktin, dimana dopamin berfungsi
melepaskan inhibitor pelepasan prolaktin. Sehingga jika ada gangguan dari jalur ini
akibat lesi atau penggunaan obat antipsikotik, maka akan terjadi peningkatan prolaktin
yang dilepas sehingga menimbulkan galaktorea, amenorea atau disfungsi seksual.
Selain dopamin, neurotransmiter lainnya juga tidak ketinggalan diteliti mengenai

hubungannya dengan skizofrenia. Serotonin contohnya, karena obat antipsikotik atipikal


mempunyai aktivitas dengan serotonin. Selain itu, beberapa peneliti melaporkan pemberian
antipsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas noradrenergik.
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain :
a. Faktor Genetik
Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia.
Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita
skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah
0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang
menderita skizofrenia 7 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 68%; bagi
kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative
trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa
gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga
mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang
mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami
skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini.
19

b. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut
neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi
satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau
dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang
berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk
skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine
tampaknya juga memainkan peranan.

c. Faktor Psikologis dan Sosial


Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama
semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak
yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga.
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother
kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin,
dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anakanaknya.
Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga pada
masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian.
Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan
anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak
merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya.
2.4 Gejala dan Diagnosa
Gejala positif :
a. Halusinasi (auditorik; mendengar suara-suara yang mengomentari atau bercakap-cakap
tentang dirinya, visial, olfaktori, gustatorik dan taktil)

20

b. Waham (biasa dalam bentuk waham kejar, cemburu, bersalah, kebesaran, keagamaan,
somatic, waham dikendalikan, siar pikiran, penarikan pikiran, waham menyangkut diri
sendiri)
c. Perilaku aneh (dalam berpakaian, perilaku social, seksual, agresif, perilaku berulang)
d. Gangguan proses pikiran (inkoherensi, tangensialitas, bicara kacau)
Gejala negatif :
a. Afek yang tumpul atau datar (ekspresi wajah tidak berubah, penurunan spontanitas
gerak, hilangnya gerakan ekspresif, kontak mata yang buruk, afek yang tidak sesuai,
tidak adanya modulasi bicara)
b. Alogia (kemiskinan bicara, kemiskinan isi bicara, penghambatan dan peningkatan latensi
respon)
c. Tidak ada kemauan, apatis
d. Anhedonia (tidak suka berhubungan sosial, tidak suka dalam hubungan pertemanan)
e. Atensi impairmen (pecahnya perhatian)
Terlebih dahulu akan dibahas mengenai penegakan diagnosa skizofrenia. Adapun
menurut DSM-IV sebagai berikut:
a. Gejala Karakteristik: dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk bagian
waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan berhasil):
1)

Waham

2)

Halusinasi

3)

Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau inkoherensi)

4)

Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas

5)

Gejala negatif yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan (avolition)
Catatan: hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau atau

halusinasi terdiri dari suara yang terus-menerus mengomentari perilaku atau pikiran
pasien atau dua lebih suara yang saling bercakap-cakap satu sama lainnya.
b. Disfungsi sosial/pekerjaan: untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan,
satu atau lebih fungsi utama seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan
diri, adalah jelasdi bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa
21

anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal,


akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
c. Durasi: tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Pada 6
bulan tersebut, harus termasuk 1 bulan fase aktif (yang memperlihatkan gejala kriteria A)
dan mungkin termasuk gejala prodormal atau residual.
d. Penyingkiran gangguan skizoafektif atau gangguan mood: gangguan skizoafektif atau
gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan karena:
1)

Tidak ada episode depresif berat, manik atau campuran yang telah terjadi
bersama-sama gejala fase aktif.

2)

Jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya relatif
singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.

e. Penyingkiran zat/kondisi medis umum


f. Hubungan dengan gangguan
Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)
di Indonesia yang ke-III sebagai berikut: harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang
amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas):
a. thought eco = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya
(tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya sama tapi kualitasnya berbeda,
thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawal), dan thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya.
b. delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar, delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar, delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya
dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya secara jelas merujuk ke
pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau penginderaan khusus), dan
delusion perception = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas
bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
22

c. Halusinasi auditorik: suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap


perilaku pasien atau mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara) atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu
bagian tubuh pasien.
d. Waham-waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar
dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa.
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas
ataupun disertai oleh ide-ide yang berlebihan yang menetap atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraannya tidak relevan atau neologisme.
c. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu (porturing),
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor.
d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan respon emosional
yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan
sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodormal). Harus ada suatu
perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek
perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat
sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial.
Diagnosa skizofrenia residual digunakan pada pasien yang telah sembuh dari gejala
yang menonjol seperti delusi, halusinasi atau perilaku yang terdisorganisasi tapi masih
memperlihatkan bukti yang ringan akan adanya proses berjalannya penyakit seperti afek

23

datar atau kurangnya komunikasi. Adapun cara penegakan diagnosa menurut DSM-IV
sebagai berikut:
a. Tidak adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku katatonik
terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol.
b. Terdapat terus bukti-bukti gangguan seperti yang ditunjukkan oleh adanya gejala negatif
atau dua atau lebih gejala yang tertulis dalam kriteria A untuk skizofrenia, ditemukan
dalam bentuk yang lebih lemah (misalnya keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi
yang tidak lazim).

Selain itu, PPDGJ-III memberikan pedoman diagnostik untuk skizofrenia residual


yakni harus memenuhi semua kriteria dibawah ini untuk suatu diagnosis yang meyakinkan:
a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik,
aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan
dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja
sosial yang buruk.
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang memenuhi
kriteria untuk diagnosis skizofrenia.
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi
gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan
telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia.
d. Tidak terdapat demensia atau penyakit gangguan otak organik lain, depresi kronis, atau
institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.
2.5 Diagnosa Banding
Depresi pasca skizofrenia merupakan salah satu diagnosa banding dari skizofrenia
residual. Keduanya mempunyai kesamaan yakni gejala skizofrenia yang masih ada tapi tidak
lagi mendominasi atau menonjol. Namun terdapat perbedaan yang jelas diantara keduanya.
Penegakan diagnosa depresi pasca skizofrenia tentu saja pasien harus memenuhi gejala
24

depresi selama 2 minggu. Adapun gejala utama depresi yakni mood yang depresif,
kehilangan minat dan kegembiraan, atau berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah dan penurunan aktivitas. Selain itu gejala lainnya dari depresi adalah
konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, adanya ide
bunuh diri, pandangan masa depan yang suram dan pesimis, tidur terganggu, nafsu makan
berkurang, gagasan tentang rasa bersalah atau tidak berguna. Selain itu, pasien telah
menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir sedangkan pada skizofrenia residual, gejala
negatif timbul dan penurunan yang nyata dari gejala waham dan halusinasi sedikitnya sudah
melampaui kurun waktu 1 tahun.

2.6 Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk masing-masing subtipe skizofrenia.
Pengobatan hanya dibedakan berdasarkan gejala apa yang menonjol pada pasien. Pada
skizofrenia residual, gejala negative lebih menonjol, maka adapun pengobatan yang
disarankan kepada pasien obat-obat antipsikotik golongan atipikal yang dapat meningkatkan
dopamin di mesokortikal.4 Memang obat tertentu (terutama obat antipsikotik baru) telah
dinyatakan efektif secara spesifik terhadap gejala negative pada gangguan psikotik, tetapi
bukti yang mendukung pendapat ini masih tidak konsisten.
Risperidon adalah suatu obat antipsikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna
pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamin tipe 2 serta antihistamin
(H1). Menurut data penelitian, obat ini efektif mengobati gejala positif maupun negatif.
Risperidon senyawa antidopaminergik yang jauh lebih kuat, berbeda dengan klozapin,
sehingga dapat menginduksi gejala ekstrapiramidal juga hiperprolaktinemia yang menonjol.
Meskipun demikian, risperidon dianggap senyawa antipsikotik atipikal secara kuantitatif
karena efek samping neurologis ekstrapiramidalnya kecil pada dosis harian yang rendah.
Klozapin termasuk obat antipsikotik atipikal yang juga mempunyai aktivitas antagonis
yang bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan antagonis lemah pada reseptor
dopamin tipe 2 juga bersifat antihistamin (H1). Efek samping berupa gejala ekstrapiramidal
sangat minimal, namun mempunyai sifat antagonis beta-1 adrenergik yang bisa
menimbulkan hipotensi ortostatik dan sedatif. Selain itu, dilaporkan terjadinya
25

agranulositosis dengan insiden 1-2% ditambah harganya yang mahal. Klozapin adalah obat
lini kedua yang jelas bagi pasien yang tidak berespon terhadap obat lain yang sekarang ini
tersedia.
Selain terapi obat-obatan, juga bisa diterapkan terapi psikososial yang terdiri dari
terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, psikoterapi individual. Terapi
perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan
kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi
interpersonal. Perilaku adaptif didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk
hal-hal yang diharapkan sehingga frekuensi maladaptif atau menyimpang dapat diturunkan.
Terapi berorientasi keluarga cukup berguna dalam pengobatan skizofrenia. Pusat dari terapi
harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari situasi yang
kemungkinan menimbulkan kesulitan. Setelah pemulangan, topik penting yang dibahas di
dalam terapi keluarga adalah proses pemulihan khususnya lama dan kecepatannya.
Selanjutnya diarahkan kepada berbagai macam penerapan strategi menurunkan stresdan
mengatasi masalah dan pelibatan kembali pasien ke dalam aktivitas. Terapi kelompok
biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Terapi
kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan dan
meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan skizofrenia. Psikoterapi individual membantu
menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting didalam psikoterapi adalah
perkembangan hubungan terapeutik yang dialami psien adalah aman. Pengalaman tersebut
dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan
pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan oleh pasien. Ahli psikoterapi
sering kali memberikan interpretasi yang terlalu cepat terhadap pasien skizofrenia.
psikoterapi untuk seorang pasien skizofrenia harus dimengerti dalam hitungan dekade,
bukannya sesi, bulanan, atau bahkan tahunan. Di dalam konteks hubungan profesional,
fleksibilitas adalah penting dalam menegakkan hubungan kerja dengan pasien. Ahli terapi
mungkin akan makan bersama, atau mengingat ulang tahun pasien. Tujuan utama adalah
untuk menyampaikan gagasan bahwa ahli terapi dapat dipercaya, ingin memahami pasien
dan akan coba melakukannya dan memiliki kepercayaan tentang kemampuan pasien sebagai
manusia. Mandred Bleuler menyatakan bahwa sikap terapeutik terhadap pasien adalah

26

dengan menerima mereka bukannya mengamati mereka sebagai orang yang tidak dapat
dipahami dan berbeda dari ahli terapi.
2.7 Prognosis
Prognosis tidak berhubungan dengan tipe apa yang dialami seseorang. Perbedaan
prognosis paling baik dilakukan dengan melihat pada prediktor prognosis spesifik di tabel
berikut ini:
Prognosis Baik
Onset lambat

Prognosis Buruk
Onset muda

Faktor pencetus yang jelas

Tidak ada faktor pencetus

Onset akut

Onset tidak jelas

Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan

Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan

pramorbid yang baik

pramorbid yang buruk

Gejala gangguan mood (terutama

Perilaku menarik diri, autistik

gangguan depresif)
Gejala positif

Gejala negatif

Riwayat keluarga gangguan mood

Riwayat keluarga skizofrenia

Sistem pendukung yang baik

Sistem pendukung yang buruk


Riwayat trauma prenatal
Tidak ada remisi dalam 3 tahun
Banyak relaps
Riwayat penyerangan

Walaupun skizofrenia bukanlah penyakit yang fatal, namun rata-rata kematian orang
yang menderita skizofrenia dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.
Tingginya angka kematian berkaitan dengan kondisi buruk di institusi perawatan yang
berkepanjangan yang menyebabkan tingginya angka Tuberkulosis dan penyakit menular
lainnya. Namun, penelitian baru-baru ini pada orang-orang skizofrenia yang hidup dalam
masyarakat, menunjukkan bunuh diri dan kecelakaan lain sebagai penyebab utama kematian
di negara berkembang maupun negara-negara maju. Bunuh diri, khususnya, telah muncul
sebagai masalah yang mekhawatirkan, karena risiko bunuh diri pada orang dengan gangguan
skizofrenia selama hidupnya telah diperkirakan di atas 10%, sekitar 12 kali lebih tinggi dari
27

populasi umum. Sepertinya ada sebuah peningkatan mortalitas untuk gangguan


kardiovaskular juga, mungkin terkait dengan gaya hidup yang tidak sehat, pembatasan akses
perawatan kesehatan atau efek samping obat antipsikotik.

BAB III
KESIMPULAN
Skizofrenia residual adalah salah satu tipe skizofrenia dimana masih ditemuinya bukti
adanya gangguan skizofrenia, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang
cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Gejala dari skizofrenia residual berupa gejala
negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun,
afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk. Jika waham atau
halusinasi ditemukan, maka hal itu tidak lagi menonjol.
Untuk menentukan diagnosis dari skizofrenia residual, PPDGJ III dapat digunakan sebagai
pedoman. Menurut PPDGJ III pedoman diagnostik untuk Skizofrenia Residual (F20.5) adalah
persyaratan berikut harus dipenuhi semua:
a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotor, aktivitas
menurun, afek yang tumpul, sip pasif dan ketidaan inisiatif, kemiskinan dalam kualitas atau
isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak
mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang memenuhi
kriteria untuk diagnosis skizofrenia.
28

c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala
yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom negatif dari skizofrenia
d. Tidak terdapat dimentia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronik atau
institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.
Pada skizofrenia residual terdapat adanya gangguan persepsi, isi pikiran, perilaku dan
adanya hendaya dalam bidang sosial sehingga pasien membutuhkan farmakoterapi, psikoterapii,
dan sosioterapi.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Kumala, Poppy dkk. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. EGC.
Jakarta:1998. 970

2.

Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J., dan Grebb, Jack A. Sinopsis Psikiatri,
Jilid I. Binarupa Aksara. Tangerang: 2010. 699-702, 720-727, 737-740

3.

Syamsulhadi dan Lumbantobing. Skizofrenia. FK UI. Jakarta: 2007.26-34

4.

Maslim, Rusdi.Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ- III. FK


Unika Atmajaya. Jakarta:2001. 46, 50

5.

Goodman

dan

Gilman.

Dasar

Farmakologi

Terapi

Vol.I.

EGC.

Jakarta:2007.475,480 & 482

29

Anda mungkin juga menyukai