Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama.Pada dasarnya
epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat
adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak.Ketidak seimbangan polarisasi
listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga
menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau
seluruh daerah yang ada di dalam otak.Epilepsi sering dihubungkan dengan
disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi
penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial,
rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya).
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000,
diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta
orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang.
Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang
penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi
50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi
di negara-negara berkembang.
Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang
tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan
gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan
yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.

B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.

Apa itu epilepsi?


Apa penyebab dari epilepsi?
Bagaimana gejala dari epilepsi?
Bagaimana penanganan pada penderita epilepsi?

C. Tujuan
1.
2.
3.
4.

Mengetahui pengertian dari Epilepsi


Mengetahui sebab terjadinya Epilepsi
Mengetahui gejala dari Epilepsi
Melakukan prosedur penanganan pada pasien Epilepsi

BAB II
KONSEP DASAR EPILEPSI

A. Pengertian
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulangulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang
tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel
(Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan
ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik.
Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran,
gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan
berbagai gangguan fisik.
Epilepsy adalah merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi
berulang-ulang.Diagnosa ditegakkan paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab
(Jastremski, 1988).

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai gejala


klinis, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak secara
berlebihan dan berkala tetapi reversibel dengan berbagai etiologi.

B. Etiologi
1. Idiopatik.
2. Acquerit :
a. kerusakan otak,\

g.

Stroke

b. keracunan obat,

h.

cerebral edema

c. metabolik, bakteri.

i.

Hypoxia

d.

trauma lahir

j. Keracunan

e.

trauma kepala

k. gangguan metabolic

f.

tumor otak

l. infeksi.

C. Patofisiologi
Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari
sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara
berlebihan dan hypersinkron.Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut
juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum
maupun yang fokal (parsial).Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar
melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau
daerah yang lebih jauh letaknya di otak.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan
epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron
diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun
mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka
menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat ini belum

terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk
melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya epilepsi).
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik).Otak ialah rangkaian berjutajuta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah
aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps.
Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan
norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik
sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di
otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan
menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik
berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mulamula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain
pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang
mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis
dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke
belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum
yang disertai penurunan kesadaran.

D. Klasifikasi dan Gambaran Klinis


1. Epilepsi Umum.
a. Grand mal (Tonik Klonik )
Ditandai dengan aura :
1) sensasi pendengaran atau penglihatan.
2) Hilang kesadaran.
3) Tonus otot meningkat sikap fleksi / ekstensi.
4) Sentakan, kejang klonik.
5) Lidah dapat tergigit, hypertensi, tachicardi, berkeringat, dilatasi
pupil dan hypersalivasi.
6) Setelah serangan pasien tertidur 1-2 jam.
7) Pasien lupa, mengantuk dan bingung.
b.

Petit mal.
1) Hilang kesadaran sebentar.

2) Klien tampak melongo.


3) Apa yang dikerjakannya terhenti.
c.

Infantile spasm.
1) Terjadi usia 3 bulan 2 tahun.
2) Kejang fleksor pada ektremitas dan kepala.
3) Kejang hanya beberapa fetik berulang.
4) Sebagian besar klien mengalami retardasi mental

2. Epilepsi Jenis Focal / Parsial.


a.
Focal motor. : Lesi pada lobus frontal.
b.
Focal sensorik : Lesi pada lobus frontal
c.
Psikomotor : Disfungsi lobus temporal.
E. Gejala :
1. Bangkitan umum :
a.

Tonik : 20 60 detik.kontraksi otot, tungkai dan siku fleksi, leher dan


punggung melengkung, jeritan epilepsi (aura).
b. Klonik : spasmus 40 detik.flexi berseling relaksasi, hypertensi,
midriasis, takikardi, hyperhidrosis, hypersalivasi.
c. Pasca Serangan :
1) aktivitas otot terhenti
2) klien sadar kembali
3) lesu, nyeri otot dan sakit kepala
4) klien tertidur 1-2 jam
2. Jenis parsial :
a. Sederhana : tidak terdapat gangguan kesadaran.
b. Komplex : gangguan kesadaran.
Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan epilepsi partial (lokal, fokal):
1.

Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap


normal. Dengan gejala motorik:
a. Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
b. Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson
c. Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.

d. Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu.
e. Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
f. Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
g. Visual : terlihat cahaya
h. Auditoris : terdengar sesuatu
i. Olfaktoris : terhidu sesuatu
j. Gustatoris : terkecap sesuatu
k. Disertai vertigo

F.

2.

Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.


a. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mulamula baik kemudian baru menurun.
b. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
c. Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah
seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju,
berjalan, mengembara tak menentu, dll.

3.

Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,


tonik, klonik).

4.

Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.

5.

Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.

6.

Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu


berkembang menjadi bangkitan umum.

Manisfestasi Klinis dan Prilaku


1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau
gangguan penginderaan

2. Kelainan gambaran EEG


3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptoge
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak
enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya)
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat.
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang
tidak normal seperti pada keadaan normal
8. terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu
tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara
secara tiba- tiba.
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendangmenendang
11. Gigi geliginya terkancing
12. Hitam bola matanya berputar- putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada
otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif

serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang
tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun
kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal
atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
2. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan.
3. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
a. Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
b. Menilai fungsi hati dan ginjal
c. menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi).
4.

H.

Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

Komplikasi
Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat
kejang berulang. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.

I.

Penatalaksanaan
1. Manajemen Epilepsi :
a.

Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsy

b.

Melakukan terapi simtomatik

Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran


pengobatan yang dicapai, yakni:
a.

Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.

b.

Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang


normal.

c.

Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.

Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika


penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia),
perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan
itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah
serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin
(difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan
pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
a.

Selama Kejang
1) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu
2) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinka
3) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
4)

b.

Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping


untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.

Setelah Kejang
1) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
2) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
3) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
4)

Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang

5) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan

10

6) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama


kejang dan biarkan penderita beristirahat.
7) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
8) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.

J. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan
untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang
menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot
yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat,
yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang
kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat
dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan
pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang
mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar
melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi
dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan
persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia
dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti
konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari
rencana pencegahan ini.

K. Pengobatan

11

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan


diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan.
Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam
kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul
seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan
tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah
cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th.Penghentian pengobatan selalu
harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila
pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika
terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan
keterbalakangan mental.Keterbelakangan mental di kemudian hari.Kondisi yang
menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi ini pertama pengobatan
adalah karbamazepin dan fenitoin.Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone,
tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua.
Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di
ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek
samping, maka dosis harus ditingkatkan.Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih
AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua.

BAB III

12

ASUHAN KEPERAWATAN

A.

Pengkajian
Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya
ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran
secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat.Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak
bicara.
1.

Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.

2.

Riwayat penyakit dahulu:


a. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
b. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
c. Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
d. Tumor Otak
e. Kelainan pembuluh darah
f. Demam.
g. Strok
h. gangguan tidur
i. penggunaan obat
j. hiperventilasi
k. stress emosional

3. Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan


penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat
4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.

13

4. Riwayat psikososial :
a. Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita
b. Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau ayan yang lebih umum di
masyarakat).

B.

Diagnosa Keperawatan
1.

Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan


keseimbangan).

2.

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di


endotrakea, peningkatan sekresi saliva

3.

Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat

C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi
aman, tidak ada memar, tidak jatuh.

Intervensi

Rasional

Observasi:
Identivikasi factor lingkungan yang
Barang- barang di sekitar pasien dapat
memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang

14

Pantau status neurologis setiap 8 jam

Mengidentifikasi perkembangan atau


penyimpangan hasil yang diharapkan

Mandiri
Jauhkan benda- benda yang dapat
mengakibatkan terjadinya cedera pada
pasien saat terjadi kejang
Pasang penghalang tempat tidur pasien

Mengurangi terjadinya cedera seperti


akibat aktivitas kejang yang tidak
terkontrol
Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah Area yang rendah dan datar dapat
dan datar
mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu
Memberi penjagaan untuk keamanan
beberapa lama setelah kejang
pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi
karena menjulur keluar
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal
tidak biasa yang dialami beberapa saat
sebelum terjadinya kejang pada pasien
sebelum kejang
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice Mengurangi aktivitas kejang yang
dokter
berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika Sebagai informasi pada perawat untuk
merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, segera melakukan tindakan sebelum
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa terjadinya kejang berkelanjutan
sebagai permulaan terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selama
resiko cedera
pasien kejang

2.

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di


endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada
dispnea

15

Intervensi

Rasional

Mandiri
Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut menurunkan resiko aspirasi atau masuknya
dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat sesuatu benda asing ke faring.
yang lain jika fase aura terjadi dan untuk
menghindari rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring,
permukaan datar

Tanggalkan pakaian pada daerah leher /


dadadan abdomen

meningkatkan aliran (drainase) sekret,


mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan
nafas
untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi
dada

Melakukan suction sesuai indikasi


Mengeluarkan mukus yang berlebih,
menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Kolaborasi
Berikan oksigen sesuai program terapi.

Membantu memenuhi kebutuhan oksigen


agar tetap adekuat, dapat menurunkan
hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi
yang menurun atau oksigen sekunder
terhadap spasme vaskuler selama serangan
kejang.

3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
a. Adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar

16

b. Menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat


Intervensi

Rasional

Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor
yang berpengaruh pada perasaan isolasi
sosial pasien

Memberi informasi pada perawat tentang


factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien

Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan
motivasi pada pasien

Dukungan psikologis dan motivasi dapat


membuat pasien lebih percaya diri

Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater

Konseling dapat membantu mengatasi


perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.

Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok Memberikan kesempatan untuk mendapatkan
penyokong, seperti yayasan epilepsi dan
informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi
sebagainya.
masalah dari orang lain yang telah
mempunyai pengalaman yang sama.
Edukasi:
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi Keluarga sebagai orang terdekat pasien,
kepada pasien
sangat mempunyai pengaruh besar dalam
keadaan psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman
dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak Menghilangkan stigma buruk terhadap
penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi
menular
dapat menular).

4. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat

17

Tujuan: mengurangi rendah diri pasien


Kriteria hasil:
a. Adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
b. Menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi

Rasional

Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang
Memberi informasi pada perawat tentang factor
berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien yang menyebabkan isolasi sosial pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan motivasi
pada pasien
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater

Dukungan psikologis dan motivasi dapat


membuat pasien lebih percaya diri

Konseling dapat membantu mengatasi perasaan


terhadap kesadaran diri sendiri.

Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok


penyokong, seperti yayasan epilepsi dan
sebagainya.

Memberikan kesempatan untuk mendapatkan


informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi
masalah dari orang lain yang telah mempunyai
pengalaman yang sama.

Edukasi:

Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat


mempunyai pengaruh besar dalam keadaan
psikologis pasien

Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi


kepada pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman
dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak
menular

D.

Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita


epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular)

EVALUASI
1. Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar

18

2. Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3. Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak
menarik diri (minder)
4.

Pola napas normal, TTV dalam batas normal

5. Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari
secara normal
6. Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan
normal

19

Anda mungkin juga menyukai