Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
berkat rahmat-Nya saya sebagai penyusun dapat menyelesaikan tugas laporan kasus yang
membahas tentang Struma Nodosa Non Toksik ini.
Penyusun membuat laporan ini sebagai salah satu tugas individu dalam masa
Kepaniteraan Klinik stase Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Sekarwangi. Saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun atas kekurangan pada laporan ini.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, khususnya kepada dr.
Edwin, SpAn, dan kepada teman-teman kelompok saya dalam stase Anestesi. Saya harap
laporan kasus tentang Struma nodosa non toksik ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Cibadak, April 2016


Penulis

BAB I
Status Pasien
A. IDENTITAS
Nama

: Ny. I

Umur

: 43 Tahun

Alamat

: Cilutung Warung Kiara

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Agama

: Islam

Ruang Perawatan

: Aisyah Bedah

Tanggal MRS

: 4 April 2016

No. CM

: 372xxx

B. ANAMNESIS
Telah dilakukan Autoanamnesa pada tanggal 6 April 2016
Keluhan utama: Benjolan di leher kiri sejak 2 tahun SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang : Os datang ke Poliklinik Bedah RSUD Sekarwangi dengan
keluhan benjolan di leher kiri yang dirasakan sejak 2 tahun SMRS, Awalnya benjolan kecil
seperti kelereng dengan diameter sekitar 1 cm, Lama kelamaan membesar dan sampai
sekarang benjolan kira-kira berdiameter +8 cm, benjolan dirasakan ikut bergerak ketika
menelan, keluhan dada berdebar (-), tangan berkeringat (-), tangan gemetar (-), demam (-),
mual (-), muntah (-), penurunan berat badan (-), keringat malam (-), suara serak (-), nyeri
menelan (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :


OS mengaku belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat penyinaran radiasi disekitar
leher tidak ada, riwayat penggunaan obat-obatan tidak ada. OS tidak memiliki riwayat darah
tinggi, kencing manis. OS juga belum pernah memiliki riwayat benjolan/tumor sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluarga pasien tidak memiliki riwayat keganasan maupun penyakit seperti yang dialami
pasien.
Riwayat Pengobatan :
Os belum pernah mengonsumsi obat apapun. Belum pernah berobat ke dokter
Riwayat Alergi :
Os tidak memiliki riwayat alergi makanan, cuaca, debu atau obat-obatan.
Riwayat Psikososial :
Menurut Os, jika Os memasak, selalu menggunakan garam tapi Os tidak tahu apakah itu
garam beryodium atau tidak. Riwayat gondok endemis didaerah tempat tinggal disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaraan

: Compos mentis

Tanda-tanda Vital
Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 84 x/mnt, teratur, kuat angkat, isi cukup

Suhu

: 36,8 C,

RR

: 18 x/mnt

Antropometri :
-

BB

: 51 kg

TB

: 150 cm

Status Gizi

: Normoweight

a. Status Generalis
Kepala : Normocephal, rambut lurus, tidak mudah dicabut
dan tidak rontok, laserasi (-).
Mata

: Refleks cahaya (+/+), pupil isokor, sklera ikterik


(-/-), konjungtiva anemis (-/-), edema palpebra -/-

Hidung

: Normonasi, deviasi septum (-), sekret (-/-), darah


(-/-), massa (-/-)

Telinga: Normotia, serumen (+/+), darah (-/-), Pembesaran


KGB retro/post auricular (-/-)
Mulut

: Bibir kering (+), lidah kotor (-), stomatitis (-),


faring hiperemis (-), tonsil membesar (-), gigi goyang (-),
terdapat gigi ompong satu dibagian depan, Mouth
opening 3 jari, Mallampati 1.

Leher : Pembesaran KGB (-), Kaku kuduk (-), TMD 10cm


Jantung

: I :Iktus kordis tidak terlihat


P: Iktus cordis teraba pada ICS 4 linea midclavikularis
sinistra
P: Batas jantung kanan setiinggi ics 4 linea parasternal
dekstra, Batas jantung kiri setinggi ics 4 linea
midclavikularis sinistra
A: BJ I dan II normal, murmur (-), Gallop (-).

Pulmo : I: Bentuk dan gerak simetris, tidak terdapat retraksi dinding dada.
P: Vocal Fremitus kanan dan kiri sama.
P: Sonor diseluruh lapang paru.
A: Vesikuler diseluruh lapang paru, tidak terdapat wheezing dan ronki.
Abdomen

: I : Cembung, masa (-), laserasi (-), spidernevi (-)


A : Bising usus (+)
P : Nyeri tekan abdomen kanan bawah (+), Hepar dan lien tidak teraba

P : Timpani pada 4 kuadran abdomen


Punggung

: Tidak terdapat kelainan tulang belakang.

Ektremitas sup

: Akral: hangat,Sianosis (-/-), CRT < 2 (-/-), edema (-/-)

Ektremitas inf

: Akral: hangat,Sianosis (-/-) , CRT < 2 (-/-), edema (-/-)

b. Status Lokalis
REGIO COLLI SINISTRA ANTERIOR
(I)

Terdapat

massa, berbentuk bulat, ukuran diameter 8cm, benjolan ikut

bergerak saat pasien menelan ludah, tidak hiperemis.


(Pa)

Teraba massa, konsistensi kenyal, batas tegas, mobile, nyeri tekan (-),
permukaan rata, pembesaran KGB regional (-).

D. RESUME
Os datang ke Poliklinik Bedah RSUD Sekarwangi dengan keluhan benjolan di leher kiri
yang dirasakan sejak 2 tahun SMRS, Awalnya benjolan kecil seperti kelereng dengan
diameter sekitar 1 cm, Lama kelamaan membesar dan sampai sekarang benjolan kira-kira
berdiameter +8 cm, benjolan dirasakan ikut bergerak ketika menelan, keluhan dada
berdebar (-), tangan berkeringat (-), tangan gemetar (-), demam (-), mual (-), muntah (-),
penurunan berat badan (-), keringat malam (-), suara serak (-), nyeri menelan (-)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
T3 Total

1,45

ng/ml

0.58-1.59

T4 Total

10,5

ug/dl

Hipotiroid : <5.1
Eutiroid : 5.1-14.1
Hipertiroid : >14.1

TSH

0,525

uIU/ml

Hipotiroid : <0.27
Eutiroid : 0.27-4,2
Hipertiroid : >4.2

HEMATOLOGI
Hematologi Rutin

EKG
Tidak ditemukan kelainan.
Ro Thoraks
Tidak ditemukan kelainan.
F. Diagnosis Kerja
Struma nodusa non toksik regio coli anterior sinistra
Diagnosis Anastesi : ASA I

G. Penatalaksanaan
Operatif : Isthmulobectomy sinistra
Rencana Tindakan Anestesi : Anestesi Umum
Keadaan Pra- operasi
Perempuan usia 43 tahun dengan diagnosis Struma Nodusa Non Toxic
Pasien dijadwalkan untuk melakukan tindakan operasi Isthmulobectomy sinistra pada
hari Rabu, 6 April 2016.
Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Composmentis
Tanda vital pra-operasi
TD
: 130/80 mmHg
N
: 84 x/menit
R
: 18 x/menit
S
: 36,9 C
Saturasi 02 : 98%
Operasi dilaksanakan pada 6 April 2016 pukul 11.10 s/d 13.00 WIB.
Penatalaksanaan anestesi pukul 11.00 WIB
Premedikasi
Ondancentron 4mg/2 ml
Midazolam 2 mg
Intraoperatif
Dilakukan Anestesi umum
Posisi : Terlentang
Menggunakan ETT no.6,5
Anestesi dengan :
induksi: i.v
Maintenance : O2 3L, N2O 4L dan Sevofluran 2,5 %
Cairan yang diberikan : RL II
Obat Anestesi
Propofol ( Dosis 2-2,5 mg/kgBB)
Dosis pemberian : 100-125 mg
Dosis yang diberikan : 100 mg
Fentanyl ( Dosis 1-3 g/kgbb)
Dosis pemberian : 50-150 g/kgbb
Dosis yang diberikan 100 g/kgbb
Noveron (Rocuronium bromida) (Dosis 0,6-1,2 mg/kgbb)
Dosis pemberian : 30 60 mg
Dosis yang diberikan : 30 mg
Penghitungan Cairan
Cairan masuk : RL 1000cc.
Cairan keluar : darah 150cc

Kebutuhan cairan : 2cc/kgBB/jam (50kg) = 100cc/jam


Cairan pengganti puasa
= lama puasa x maintenance
= 6 x 100 cc/jam
= 600 cc/jam
Cairan stress operasi
= 6cc/kgbb/jam
= 300cc/jam, lama operasi 1,5 jam = 450 cc
TOTAL : 1050 cc/jam
Tanda-tanda vital intraoperative

Keadaan Pasien Pasca Operatif


Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Delirium
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 85 x/menit
Pernapasan
: 20 x/menit

BAB II
PEMBAHASAN

STRUMA NODOSA NON TOKSIK

A. DEFINISI
Pengertian struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi karena folikelfolikel tiroid terisi koloid secara berlebihan. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran
kelenjar tiroid yang bukan karena proses inflamasi ataupun karena neoplasma dan tidak
disertai fungsi abnormal dari Tiroid yaitu hipertioidisme ataupun hipotiroidisme. Terjadinya
pembesaran kelenjar Tiroid itu sendiri dapat disebabkan oleh kurangnya diet iodium yang
dibutuhkan untuk mensekresikan hormon Tiroid, hal ini akan berpengaruh pada jumlah dari
hormon Tiroid yang dihasilkan. Terjadinya pembesaran kelenjar Tiroid dikarenakan sebagai
usaha agar hormon Tiroid tetap cukup dihasilkan.3
B. EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 2,2 miliar orang di seluruh dunia memiliki beberapa bentuk gangguan
kekurangan yodium. Dua puluh sembilan persen dari populasi dunia tinggal di wilayah yang
kekurangan yodium, terutama di Asia, Amerika Latin, Afrika Tengah, dan wilayah Eropa.
Dari mereka yang berisiko, 655 juta diketahui memiliki gondok. Berdasarkan laporan dari
World Health Organization (WHO), United Nations Children's Fund (UNICEF), dan
International Council for the Control of Iodine Deficiency Disorders (ICCIDD), adanya
kekurangan yodium (yaitu, rata-rata yodium urin> 100 mg / dL) dikaitkan dengan prevalensi
gondok kurang dari 5%; defisiensi yodium ringan (yaitu, yodium urin median 50-99 mg /
dL), dengan prevalensi gondok dari 5-20%; defisiensi yodium sedang (yakni, urin yodium
rata-rata 20-49 mg / dL), dengan prevalensi gondok dari 20-30%, dan kekurangan yodium
berat (yaitu, urin yodium rata-rata 20-49 mg / dL), dengan prevalensi gondok lebih besar dari
30%.3

C. ETIOLOGI
1. Kekurangan yodium, yaitu kekurangan asupan yodium yang cukup kurang dari 50
mcg /dl. Defisiensi yodium berat yang berhubungan dengan asupan kurang dari 25
mcg / dl dikaitkan dengan hipotiroidisme dan kretinisme.
2. Goitrogens, diantaranya :
-

Obat misalnya

Propylthiouracil, lithium, fenilbutazon, aminoglutethimide,

yodium yang mengandung ekspektoran


-

Makanan - Sayuran dari genus Brassica misalnya, kubis, lobak, rumput laut,
singkong.

Terjadinya pembesaran kelenjar Tiroid (struma) dapat berupa ukuran sel-selnya yang
bertambah besar atau oleh karena volume yang bertambah pada jaringan kelenjar dan
sekitarnya dengan pembentukan struktur baru. Adapun yang menyebabkan terjadinya proses
tersebut ada empat, diantaranya :
1. Gangguan pertumbuhan

Terbentuknya kista

Jaringan Tiroid yang tumbuh pada lidah, misalnya pada Kista tiroglosus atau Tiroid
lingual

2. Proses inflamasi atau gangguan autoimun

Tiroiditis

Graves Disease

3. Gangguan Metabolik

Akibat defisiensi iodium atau intake iodium

Hiperplasia kelenjar Tiroid

4. Tumor atau neoplasma

Adenoma atau adenokarsinoma

D. PATOGENESIS
Struma dapat akan menyebar, uninodular, atau multinodular. Kebanyakan struma nontoksik diperkirakan akibat dari stimulasi TSH sekunder yang tidak adekuat dalam mensintesis
hormon tiroid dan faktor pertumbuhan parakrin lainnya. Peningkatan kadar TSH
menginduksi hiperplasia tiroid difus, diikuti oleh hiperplasia fokal, menghasilkan nodul yang
mungkin mengandung atau tidak mengandung konsentrasi yodium, nodul koloid, atau nodul
microfollicular. Struma akibat familial diakibatkan karena defisiensi yang diwariskan pada
enzim yang diperlukan untuk mensintesis hormon tiroid, mungkin bisa komplit atau parsial. 1

E. MANIFESTASI KLINIS
Kebanyakan pasien dengan Struma Non-Toksik tidak bergejala atau asimtomatis,
walaupun pasien sering mengeluhkan sensasi tekanan pada leher. Dengan perjalanan struma
yang terus membesar, gejala sensasi penekanan seperti dispnea dan disfagia terjadi. Pasien
juga sering mengeluhkan pada tenggorokannya yaitu radang selaput lendir hidung. Disfonia
jarang terjadi, kecuali bila terdapat keganasan. Pembesaran yang tiba-tiba nodul atau kista
karena dapat menyebabkan perdarahan nyeri akut. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan
benjolan teraba lunak, kelenjar membesar difus (struma simpel) atau nodul dari berbagai
ukuran dan konsistensi dalam kasus multinodular goiter. Deviasi atau kompresi pada trakea
dapat ditemukan.1

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pasien biasanya dengan Eutiroid, dengan TSH normal atau rendah-normal atau dengan
normal kadar T4-bebas yang normal. Jika beberapa nodul meluas, kadar TSH dapat menurun,
atau dapat terjadi hipertiroid. FNAB direkomendasikan pada pasien yang memiliki nodul
yang dominan atau salah satu dengan nyeri atau membesar, kasus karsinoma telah dilaporkan
dalam 5 sampai 10% dari struma multinodular. CT scan sangat membantu untuk
mengevaluasi sampai sejauh mana perpanjangan retrosternal dan apakah terjadi kompresi
saluran napas atau tidak.1

G. TATALAKSANA
Goiter non-toksik biasanya tumbuh sangat lambat selama beberapa dekade tanpa
menyebabkan gejala. Tanpa bukti pertumbuhan yang cepat, gejala obstruktif misalnya,
disfagia, stridor, batuk, sesak napas, ataupun tirotoksikosis, pengobatan tidak diperlukan.
Terapi diperlukan jika pertumbuhan gondok seluruhnya atau terdapat nodul tertentu, terutama
jika terjadi ekstensi intrathorasik dari gondok, gejala penekanan, atau gejala tirotoksikosis.
Ekstensi intrathoracic dari gondok tidak dapat dinilai dengan palpasi atau biopsi. Jika
signifikan dalam ukuran, harus diangkat melalui pembedahan. Terapi yang tersedia saat ini
misalnya terapi yodium radioaktif, dan terapi Levothyroxine (L-tiroksin, atau T4) . 3
1. Terapi Iodium radioaktif
adalah terapi Goiter non-toksis, sering dilakukan di Eropa. Ini adalah pilihan terapi yang
wajar, terutama pada pasien yang lebih tua atau memiliki kontraindikasi untuk operasi.
Iodium radioaktif untuk terapi goiter non-toksis diperkenalkan kembali pada 1990-an.
90 % pasien dengan goiter difus non toksik, memiliki rata-rata pengurangan 50-60% pada
volume goiter setelah 12-18 bulan, dengan pengurangan gejala penekanan. Penurunan dalam
ukuran goiter telah berkorelasi positif dengan dosis Iodium-131 (131 I). Pengurangan dalam
ukuran gondok lebih besar pada pasien yang lebih muda dan pada individu yang hanya
memiliki riwayat goiter yang singkat atau yang memiliki gondok kecil. Baseline TSH
bukanlah prediktor respon terhadap yodium radioaktif. Gejala obstruktif membaik pada
kebanyakan pasien yang menerima yodium radioaktif.
Hipertiroidisme jarang dan biasanya terjadi dalam dua minggu pertama setelah
pengobatan. Tidak seperti pasien dengan hipertiroidisme yang diobati dengan iodium
radioaktif, hanya sebagian kecil pasien dengan goiter non toksik berkembang menjadi
hipotiroidisme setelah pengobatan iodium radioaktif.
Satu studi menunjukkan bahwa terapi T4 untuk goiter non-toksis mengurangi volume
tiroid pada 58% pasien, dibandingkan dengan 4% pada pasien yang diterapi dengan plasebo.
Namun, hasil ini belum terbukti direproduksi, dan manfaat menggunakan T4 perlu harus
ditimbang terhadap risiko hipertiroidisme subklinis dari yang dihasilkan terkait dengan
peningkatan risiko kepadatan mineral tulang menurun dan atrial fibrilasi meningkat.3
Indikasi operasi pada struma, diantaranya :

Struma difusa toksik yang gagal terapi medikamentosa


Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
Struma dengan gangguan penekanan
Kosmetik
Kontraindikasi operasi pada struma, diantaranya :
Struma toksik yang belum dipersiapkan sebelumnya
Struma dengan dekompensasi kordis atau penyakit sistemik yang belum
terkontrol
Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang
umumnya karena karsinoma

ANESTESI
Anestesia : Suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan
dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anestesia Umum adalah Tindakan menghilangkan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible.
Trias Anestesi
1. Hipnotik (ketidaksadaran)
2. Analgesia
3. Relaksasi otot
Indikasi General Anestesi :
1.

Bayi dan Anak-anak

2.

Dewasa yang memilih general anestesi

3.

Pembedahan yang luas

4.

Pasien dengan kelainan mental

5.

Pembedahan yang lama

6.

Pasien dengan riwayat keracunan atau alergi terhadap obat anestesi lokal.

7.

Pasien dengan terapi antikoagulans


Kontraindikasi General Anestesi :

1. Mutlak :
Dekomp.kordis derajat IIIIV ; AV blok derajat IItotal (tidak ada gelombang P)
2.

Relatif :
Hipertensi berat/tak terkontrol (diastolic >110), DM tak terkontrol, infeksi akut,
sepsis, GNA

Induksi Anestesi
Tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Cara induksi anestesi :
1. Intravena

Tiopental ( Tiopenton, pentotal)


Dosis intravena 3-7 mg/kg ( disuntik secara perlahanlahan dihabiskan dalam

30-60 detik)
Propofol
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kgBB
Dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam

Ketamin
Kurang digemari untuk induksi anestesi, karena sering menimbulkan takikardi,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala.
Dosis bolus induksi iv 1-2 mg/kg
2. Intramuskular

Ketamin ( Ketalar )
Dosis 5-7 mg/kgBB
3. Inhalasi

N2O
o Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%.
o Gas bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat.

Halotan
o Induksi ini memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2.
o Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran
N2O:O2=3:1, dimulai dengan halotan 0,5 vol%.

Isofluran

Sevofluran
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.

4. Induksi per Rektal


Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau midazolam.

TEKNIK ANESTESI UMUM


1. Sungkup Muka (Face Mask)
Untuk mengantar udara/gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan
napas pasien.
Indikasi : - Tindakan singkat (1/2 1 jam)
- Keadaan umum baik (ASA I II)
Ukuran : 03 (Bayi Baru Lahir); 02,01,1 (Anak kecil); 2,3 (Anak besar); 4,5 (Dewasa)
2. Intubasi Trakea
Indikasi
Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun. Kelainan anatomi, bedah khusus,
bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas.
Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi misalnya, saat resusitasi, ventilasi
jangka panjang.
Pencegahan aspirasi dan regugirtasi
Kesulitan Intubasi
Leher pendek berotot
Mandibula menonjol
Maksila/gigi depan menonjol
Uvula tak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
Gerak sendi temporo mandibular terbatas

Gerak vetebra servikal terbatas.


Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
- Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ektubasi dikerjakan umumnya pada anestesia sudah ringan dengan catatan tak
akan terjadi spasme laring
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan
lainnya.
3. Sungkup Laring
Dikenal dengan LMA ( Laryngeal Mask Airway ) merupakan alat jalan napas
berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai
sendok yang pinggirannya dapat dikembang kempiskan seperti balon pada pipa
trakea.
Dikenal 2 macam sungkup laring :
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.
Indikasi LMA
Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
management
Pada penatalaksanaan difficult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan
Kontraindikasi
Pasien dengan risiko aspirasi isi lambung
Pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.

Premedikasi : tindakan pemberian obat sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi.
1. Ondancentron
Antagonis 5-HT3 yang diindikasikan sebagai antiemetik dengan lama aksi 6 jam
Mekanisme kerja :
o Memblokade area posterma (CTZ) dan nukleus solitarius melalui
kompetitif selektif di reseptor 5HT3
o Memblok reseptor perifer ujung nervus vagus dengan menghambat ikatan

serotonin dengan reseptor ujung nervus vagus


Pada pemberian oral, ondancentron diabsorbsi secara cepat, dieliminasi dengan
cepat dari tubuh. Metabolisme terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan

glukoronida atau sulfat di hati


Bisa diberikan secara oral, im, atau iv
Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara perlahan melalui iv untuk 15 menit
sebelum operasi

2. Midazolam
Diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak.

Waktu paruh antara 1-4 jam


Premedikasi : 0,05 mg/kgBB IV 10 menit sebelum operasi dipercaya akan
memberikan keadaan amnesia retrogard yang cukup
Sedasi intravena : 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit,
durasi 15-80 menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesi
Induksi : 0,1-0,2 mg/kg IV selama 30-60 detik

Induksi : tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi
1. Propofol
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan
efek primernya berlangsung di reseptor GABA A (Gamma Amino Butired
Acid)
Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil
dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis
induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat
menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan
tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.

Pada sistem kardiovaskuler


Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh
darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi.
Ini diakibatkan Propofol mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin
dan menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada
-

jantung tergantung dari :


Pernafasan spontan mengurangi depresi jantung berbanding nafas kendali
Pemberian drip lewat infus mengurangi depresi jantung berbanding pemberian
secara bolus
Umur makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung
Pada sistem pernafasan
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus
dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan.

Dosis dan penggunaan

a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.


b) Sedasi : 25 to 75 g/kg/min dengan I.V infus
c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 150 g/kg/min IV (titrate to
effect).
d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila
digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang
minimal 0,2%
f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam
lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih
dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.
Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa
muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat
dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat
diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal
tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan
muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan
propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati

hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan
pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik
(thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah
dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang.
Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada
anak-anak akibat pemberian propofol.
2. Fentanyl
Merupakan derivat agonis sintetik opioid fenil piperidin, yang secara
strukturberhubungan dengan meperidin, sebagai anestetik 75 125 kali lebih

poten dari Morfin.


Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai
tambahanuntuk general anastesi maupun sebagai awalan anastetik. Fentanil
memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit. Fentanil
bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian bisa menyebabkan rigiditas
otot, euforia, miosis dan bradikardi. Seluruhefek dari kerja fentanil secara cepat
dan secara penuh teratasi dan hilang dengan menggunakan narkotik antagonis

seperti Naloxone.
Sebagai dosis tunggal, fentanil memiliki onset kerja yang cepat dan durasi
yanglebih singkat dibanding morfin. Dikarenakan durasi dan kerja dosis
tunggal fentanil yang cepat, mengakibatkandistribusi ke jaringan yang tidak
aktif menjadi lebih cepat pula, seperti jaringan lemakdan otot skelet, dan

ini menjadi dasar penurunan konsentrasi obat dalam plasma


Dosis : 1-5 g/kgbb

3. Noveron
Noveron (Rocuronium bromide) adalah pelumpuh otot non-depolarisasi (inhibitor
kompetitif) yang berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil kolin menempatinya,

sehingga asetil kolin tidak dapat bekerja


Rokuronium berkompetisi untuk reseptor kolinergik pada lempeng akhir motorik.
Tidak ada perubahan yang secara klinis bermakna terhadap parameter
hemodinamik. Rocuronium bromide memiliki aktifitas vagolitik ringan dan

terkadang dapat menimbulkan takikardi.


Onset : 1-2 menit

Durasi : 30-45 detik


0,6 1 mg/kgBB

DAFTAR PUSTAKA
1. Bernard M. Jaffe and David H.Berger. Brunicardi F. Charles et all. Schwartzs:
Principles of Surgery 9th Edition. 2010.
2. Sabiston, Textbook of Surgery
3. Stephanie L. Lee and George T. Griffing. Goiter non toxic. 2010.
http://emedicine.medscape.com

Anda mungkin juga menyukai