TUGAS IMMUNOBIOLOGI
Prof. Dr. YOES PRIJATNA DACHLAN, dr, M.SC
Disusun oleh:
A.ZAKARIA AMIEN: 091524353006
BAB I
PENDAHULUAN
1.2.2
1.2.3
1.2.4
1.2.5
1.2.6
1.2.7
1.2.8
1.2.9
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui rhinitis alergi
1.3.2 Tujuan Khusus
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
BAB II
PEMBAHASAN
Rinitis Alergi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari
2.
c. Sedangkan klasifikasi yang lebih baru menurut guideline dari ARIA, 2001
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) disdasarkan pada waktu
terjadinya gejala dan keparahannya adalah:
Berdasarkan Lamanya Terjadi Gejala
Klasifikasi
Intermitten
Persisten
dari
minggu
setiap saat
kambuh.
Berdasarkan Keparahan dan Kualitas Hidup
Ringan
Tidak
mengganggu
harian,
pekerjaan.
tidur,
olahraga,
Tidak
ada
aktivitas
sekolah
atau
gejala
yang
mengganggu.
Sedang sampai Berat
harian,
atau
pekerjaan
4. gejala yang mengganggu
a. Rinitis Nonalergi
1.
Rinitis vasomotor
Keseimbangn vasomotor ini dipengaruhi berbagai hal :
a) Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,
seperti: ergotamin, klorpromazin, obat antihipertensi, dan obat
vasokontriktor lokal.
b) Faktor fisik, seperti iritasi asap rokok, udara dingin, kelembapan
udara yang tinggi, dan bau yang merangsang
2.
c)
d)
Rinitis Medikamentosa
aksesoris
yang
infeksiosa
biasanya
disebabkan
oleh
infeksi
pada
bersin,
hidung meler,
hidung
terasa
gatal dan
3. Rinitis Okupasional
Gejala-gejala rinitis hanya timbul di tempat penderita bekerja.
Gejala-gejala rinitis biasanya terjadi akibat menghirup bahanbahan iritan (misalnya debu kayu, bahan kimia). Penderita juga
sering mengalami asma karena pekerjaan.
4. Rinitis Hormonal
Beberapa penderita mengalami gejala rinitis pada saat terjadi
gangguan keseimbangan hormon (misalnya selama kehamilan,
hipotiroid,
pubertas,
pemakaian
pil
KB).
Estrogen diduga
topikal, ACE
metildopa,
inhibitor,
beta-bloker,
reserpin,
guanetidin,
klorpromazin,gabapentin,
7. Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor diyakini merupakan akibat dari terganggunya
keseimbangan sistem parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis
menjadi
lebih
dominan
sehingga
terjadi pelebaran
dan
yang
disebabkan
oleh
diketahui,
tetapi
diduga
sebagai
akibat
gangguan
keseimbangan
fungsi
vasomotor
dimana
sistem
saraf
konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1 Gejala klinis
lainnya dapat berupa popping of the ears, berdeham, dan batuk-batuk lebih
jarang dikeluhkan.4
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.1
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic
salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut sebagai allergic crease.1
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies
adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti
gambaran peta (geographic tongue).
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
a.
In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis
alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini
berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil
dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis,
tetap
Ditemukannya
berguna
eosinofil
sebagai
dalam
pemeriksaan
jumlah
banyak
pelengkap.
menunjukkan
In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin
End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. 1
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test).1
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan
pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan. 1
2.8 Penatalaksanaan
Hindari kontak & eliminasi, Keduanya merupakan terapi paling
ideal. Hindari kontak dengan alergen penyebab, sedangkan eliminasi untuk
alergen ingestan (alergi makanan).
Simptomatik : Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, dekongestan dan
kortikosteroid
a. Antihistamin
Antihistamin yang sering digunakan adalah antihistamin oral.
Antihistamin
oral
dibagi
menjadi
dua
yaitu
generasi
pertama
Selain itu efek samping yang biasa ditimbulkan oleh obat golongan
antihistamin adalah efek antikolinergik seperti mulut kering, susah buang
air kecil dan konstipasi. Penggunaan obat ini perlu diperhatikan untuk
pasien yang mengalami kenaikan tekanan intraokuler, hipertiroidisme,
dan penyakit kardiovaskular.
Antihistamin sangat efektif bila digunakan 1 sampai 2 jam sebelum
terpapar allergen. Penggunaan antihistamin harus selalu diperhatikan
terutama mengenai efek sampingnya. Antihistamin generasi kedua
memang memberikan efek sedative yang sangat kecil namun secara
ekonomi lebih mahal.
b. Dekongestan
Dekongestan topical dan sistemik merupakan simpatomimetik agen
yang beraksi pada reseptor adrenergic pada mukosa nasal, memproduksi
vasokonstriksi. Topikal dekongestan biasanya digunakan melalui sediaan
tetes atau spray. Penggunaan dekongestan jenis ini hanya sedikit atau
sama sekali tidak diabsorbsi secara sistemik (Dipiro, 2005). Penggunaan
obat ini dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan rhinitis
medikamentosa (rhinitis karena penggunaan obat-obatan). Selain itu efek
samping yang dapat ditimbulkan topical dekongestan antara lain rasa
terbakar, bersin, dan kering pada mukosa hidung. Untuk itu penggunaan
obat ini memerlukan konseling bagi pasien.
Sistemik dekongestan onsetnya tidak secepat dekongestan topical.
Namun durasinya biasanya bisa lebih panjang. Agen yang biasa
Jenisnya
desensitasi,
hiposensitasi
&
netralisasi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran
mukosa di hidung. (Dipiro, 2005).Rhinitis adalah peradangan selaput
lendir hidung. ( Dorland, 2002 )
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
Alergen Inhalan,Alergen Ingestan,Alergen Injektan,Alergen
Kontaktan,
Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi
tiga tahap besar :
Respon Primer,Respon Sekunder,Respon Tersier
Penatalaksanaannya :
Hindari kontak & eliminasi, Keduanya merupakan terapi paling ideal.
Hindari kontak dengan alergen penyebab, sedangkan eliminasi untuk
alergen ingestan (alergi makanan). Simptomatik : Terapi medikamentosa
yaitu antihistamin, dekongestan dan kortikosteroid
4.2 Saran
penyusun sangat membutuhkan saran, demi meningkatkan kwalitas
dan mutu makalah yang kami buat dilain waktu. Sehingga penyusun dapat
memberikan informasi yang lebih berguna untuk penyusun khususnya dan
pembaca umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, arif dkk. 1993. Kapita Selekta Kedokteran Jilid.1 Edisi 3. jakarta Media
Aesculapius
Price, silvya A. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
4. Jakarta : EGC
Smeltzer, suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
universitas indonesia
hendy.2010.
Kumpulan
askep.http://hendy-kumpulanaskep.blogspot.com/
Diakses tanggal 24 september pukul : 16.10