Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS DIANOSA KEPERAWATAN

HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL


A. KASUS
Pada akhir minggu ke I praktik Residensi 2, saya menjumpai klien dengan
identitas Sdr E, Umur 79 th pendidikan SD seorang buruh tani, Dalam setahun ini
klien masuk dan keluar rumah sakit sudah 4 kali dengan penyakit yang sama, yaitu
Chronic Health failure. Klien menderita penyakit ini sudah 15 tahun yang lalu,
sebelumnya klien pekerja keras, perokok berat sampai umur 45 tahun, suka makan
sate kambing. Sejak umur 49 tahun klien menderita hipertensi dan tidak berobat
secara rutin. Pada umur 60 tahun sampai sekarang ini klien tidak lagi mengalami
hipertensi, tetapi justru tekanan darahnya selalu rendah. Klien merasa penyakitnya
tidak akan sembuh, dan mempunyai banyak penyakit. Klien malu dengan
penyakitnya karena harus selalu dibesuk dan saudara dan klien pikir merepotkan
orang lain. Klien merasa pesimis dengan apa yang dilakukan, merasa tidak mampu
melakukan kegiatan harian walaupun hanya makan dan duduk disisi tempat tidur.
Kepala sering terasa pusing, dan berpikir dekat dengan kematian. Saat dibicara,
klien suara pelan, kontak mata mudah beralih, merasa khawatir dan sedih.
Berdasarkan temuan tersebut, saya menegakkan diagnosis keperawatan
psikososial harga diri rendah situasional selain ansietas dan ketidakberdayaan.
Untuk diagnosis keperawatan umum, yang saya tegakkan adalah perubahan perfusi
jaringan serebal, dan pola nafas infektif. Tindakan keperawatan yang saya lakukan
selain memberikan suhan keperawatan untuk masalah fisik, juga memberikan
tindakan generalis dan spesialis. Terapi spesialis yang saya berikan adalah Cognitif
Therapy dan logoterapy VAT. Pelaksanaan Cognitive Therapy dilakukan sebanyak 3
pertemuan dan Logoterapy juga dilakukan sebanyak 3 pertemuan pada akhir
pemberian asuhan keperawatan pada Tn E ini, klien semangat menjalani hari-hari,
wajah rileks, dan mau me;lakukan aktivitas atau mobilisasi duduk disisi tempat
tidur, makan sendiri, klien tidak mempunyai pikiran bahwa penyakitnya banyak
tidakl sulit disembuhkan. Klien berpikir penyakitnya dapat sembuh jika ia ingin,

dan pada 2 pertemuan terakhir klien mampu melakukan aktivitas harian dengan
bantuan minimal, tidak mengeluh pusing, merasa ada aktivitas yang dilakukan dan
memberikan makna hidup yang membuatnya semangat menjalani pengobatan dan
perawatan serta perasaan malu dan merepotkan orang lain hilang.
B. ANALISIS DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Klien yang mempunyai Penyakit kronis seperti CHF cenderung mempunyai
penilaian negatif tentang diri sehubungan dengan penyakitnya saat ini. Menurut
Wilkinson dan Ahern (2012) harga diri rendah situasional merupakan
berkembangnya persepsi yang negatif tentang diri klien sendiri sebagai respons
terhadap situasi saat ini. Akibat penyakitnya klien dapat mempunyai pikiran negatif
yang secara otomatis muncul tanpa dikehendaki pasien sendiri. Hal ini dapat
mengganggu proses perawatan dan pengobatan. Harga diri rendah situasional yang
dialami Tn E ini, disebabkan karena perubahan peran sosial yang disebabkan
seringnya mengalami kekambuhan sesak napas dan harus menjalani rawat inap
secara berulang. Hal ini memicu munculnya gangguan citra tubuh serta
menyebabkan kehilangan fungsi tubuh yang nyata. Kondisi ini

menyebabkan

respon hilangnya harapan terhdap kesembuhan penyakitnya yang ditunjukkan


dengan ungkapkan evaluasi diri tidak sanggup menghadapi situasi atau peristiwa
penyakit yang selalu kambuh dan dirawat kembali, adanya perasaan tidak akan
sembuh, tidak ada harapan untuk sembuh dari penyakitnya dan ungkapkan
kematiannya sudah dekat termasuk perasaan malu terhadap orang lain (NANDA,
2012).
Klien dengan penyakit kronis perlu dilakukan asuhan secara komprehensif,
tidak hanya perawatan yang sifatnya masalah fisik saja tetapi juga masalah
psikososial seperti harga diri rendah situasional. Dalam mengatasi harga diri rendah
situasional, saya menetapkan tujuan klien menunjukkan harga diri yang meningkat
yang ditunjukkan dengan secara positif mengungkapkan adanya penerimaan diri
terhadap penyakitnya, mampu berkomunikasi secara terbuka terkait dengan
penyakitnya, dapat memenuhi kebutuhan pribadi klien secara bermakna, mampu
menerima kritik dari orang lain. Selain itu klien juga mampu melakukan
penyesuaian diri terhadap kondisi psikososial yang muncul akibat penyakit kronis
yang dialaminya dan mampu secara bertahap menjalani perubahan gaya hidup
(Wilkinson dan Ahern, 2012). Setelah pemberian terapi generalis untuk mengatasi

harga diri rendah situasional yang dialami klien, dalam 6 kali pertemuan saya
memberikan dua terapi spesialis yaitu pemberian logoterapi VAT yang dilanjutkan
dengan pemberian terapi kognitif .
Pemberian logoterapi diharapkan klien dapat menemukan makna terhadap
situasi sulit yang dihadapi sehingga klien mampuan mendapatkan bimbingan
antisipasi untuk mempersiapan klien menghadapi krisis situasional akibat
penyakitnuya, meningkatkan sikap dan persepsi sadar dan tidak sadar klien
terhadap tubuhnya, selain itu juga dapat meningkatkan kemampuan koping dengan
membantu klien beradaptasi dengan persepsi stressor, perubahan, atau ancaman
yang mengganggu pemenuhan tuntutan hidup dan peran (Wilkinson dan Ahern,
2012). Pemenuhan makna hidup bagi klien yang mengalami harga diri rendah
situasional sangatlah penting karena dapat meningkatkan kemampuan kopinh
dal;am menghadapi situasi hidup yang dialami. Pemberian logoterapi ini sudah
tetap karena sudah sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maryatun
(2011), bahwa terdapat perbedaaan harga diri baik secara kognitif, afektif dan
perilaku secara signifikan pada kelompok yang diberikan logoterapi dari pada yang
tidak diberikan logoterapi.
Melalui terapi ini klien diajak mengenali masalahnya, apa penyebab dari
masalah tersebut, apa yang diharapkan dari masalah tersebut. Pada pertemuan
berikutnya klien diajak mengidentifikasi alasan alasan memilih harapan tersebut
serta makna apa yang akan diambil dengan memilih alasan tersebut, kemudian
memilih beberapa aktivitas yang dapat dilakukan oleh klien Tn E. Setelah itu klien
diajak mengevaluasi dari pelaksanaan aktivitas tersebut dan selanjutnya mencari
makna yang dapat diambil dari aktivitas tersebut. Penyakit kronis d halnya n
penyakit degeneratif seperti multiple sklerosis sering menimbulkan simptom yang
tidak diprediksikan dan sering melibatkan adanya keluhan ansietas dan harga diri
yang rendah. Hasil penelitian Rosali dan

Borjali (2011) yang dilakukan pada

sekelompok pasien multiplesklerosis yang mengalami ansietas dan harga diri


rendah, ternyata pemberian logoterapi secara berkelompok tidak saja dapat
mengurangi atau menghilangkan ansietas tetapi juga dapat meningkatkan harga diri
rendah klien dari pada klien yang tidak mendapatkan terapi tersebut.
Klien yang mengalami penyakit kronis seperti CHF, tidak bisa terlepas dari
perasaan depresi, tertekan dan perasaan keputusasaan yang dapat berakhir pada
kejadian harga diri rendah situasional. Harga diri rendah situsional sering kali

ditandai dengan munculnya pikiran negatif yang secara otomatis yang berhubungan
dengan kondisi penyakitnya. Seperti halnya yang dirasakan oleh klien Tn E yang
mengungkapkan pikiran penyakitnya tidak akan sembuh. Kondisi ini yang
membuat saya memilih terapi kognitif untuk membantu meningkatkan harga diri
klien. Dengan pelaksanaan terapi kognitif, klien akan dilatih mengidentifikasi
pikiran negatif yang dimiliki, kemudian akan diajarkan menlawan pikiran tersebut
ketika muncul. Hilangnya pikiran otomatis negatif yang dialami akan memperbaiki
persepsi klien tentang dirinya sendiri yang negatif. Menurut hasil penelitian
Kristyaningsih (2009), bahwa terapi kognitif dapat membantu merubah harga diri
klien yang rendah atau dapat meningkatkan harga diri klien. Menurut Wilkinson
dan Ahern (2012), salah satu sasaran utama memberikan asuhan keperawatan pada
klien harga diri rendah situasional adalah peningkatan harga diri, hal ini membantu
pasien meningkatkan penilaian diri pribadi tentang harga diri yang positif.
Pemilihan terapi kognitif untuk meningkatkan harga diri rendah situasional ini
sudah tepat, hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Melanie dan Fennell (1998),
bahwa terapi kognitif mendorong penerimaan diri klien terhadap penyakitnya dan
merubah pikiran negatif, merubah emosi serta perilaku yang muncuk akibat harga
diri rendah.
C. Rekomendasi
Hasil analisis diagnosis keperawatan ini menghasilkan suatu rekomendasi bahwa
pada klien demgan penyakit kronis yang mengalami kekambuhan yang sering dan
harus dirawat di rumah sakit secara berulang sering berdampak pada perasaaan
depresi, sedih, juga harga diri rendah situasional. Sehingga ketika menjumpai kasus
seperti diatas, seorang mahasiswa harus menegakkan diagnosis harga diri rendah
situasional selain diagnosis keperawatan yang lain untuk kemudian memberikan
terapi spesialis terapi cognitive therapy dan logoterapi

Referensi:
Wilkinson, J.M., dan Ahern, N.R. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan
(terjemahan). Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Kristyaningsih, T. (2009). Pengaruh Terapi Kognitif terhadap Perubahan Harga Diri
dan Kondisi Depresi Pasien Gagal Ginjal Chronic di Ruang Haemodialisa
RSUP Fatmawati Jakarta Tahun 2010. Thesis Program Magister Ilmu
Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Maryatun, S. (2011). Pengaruh Logoterapi Terhadap Perubahan Harga Diri


Narapidana Perempuan dengan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IIA Palembang, Jakarta. Thesis. Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
NANDA International. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 20092011. Cetakan I. Jakarta: Penebit Buku Kedokteran EGC
Rosali dan Borjali. (2011). The Efficiency Of Group Logo Therapy In Decreasing
Anxiety And Increasing Self Esteem In Patients With Multiple Sclerosis.
Quarterly Clinical Psychology Studies; Summer 2011; 1(3);43-59.
Melanie J. V. Dan Fennell. (1998). Cognitive therapy in the treatment of low selfesteem. Advances in Psychiatric Treatment (OE998v),ol. 4, pp. 296-304

Anda mungkin juga menyukai