Fasciolasis Interna Hewan Besar
Fasciolasis Interna Hewan Besar
Oleh:
Ricky Kartika Cahya Ningsih Lestari
140130100111029
1. Signalement
1
a. Nama hewan
:-
: Sapi potong
c. Jenis kelamin
: jantan
d. Umur
: 16 bulan
5. Pembahasan.
2
dinding saluran empedu yang dapat disebebkan oleh adanya infeksi pada
lumen saluran empedu yang mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
empedu. adanya obstruksi dan Kehadiran cacing dewasa dalam lumen
saluran
empedu
intrahepatik
membuat
iritasi
terus-menerus
dan
darah
untuk
memenuhi
kebutuhan
metabolisme
dan
menerus
akan
menyebabkan
terjadi
hypoalbuminaemia
dan
merombak
hemogloblin.
Globin
yang
merupakan
bagian
infeksi. Gejala klinis pada infeksi akut ialah ternak menjadi lemah, nafas
cepat dan pendek, perut membesar disertai rasa sakit dan kematian akibat
adanya pendarahan. Fasciolosis bentuk subakut kurang atau bahkan sama
sekali tidak memperlihatkan gejala. Fasciolosis bentuk kronis merupakan
infeksi yang berjalan lama dan cacing dalan tubuh hospes telah menjadi
dewasa. Gejala klinis yang nampak pada infeksi yang bersifat kronis ialah
anemia sehingga menyebabkan ternak lesu, lemah, nafsu makan menurun,
cepat mengalami kelelahan, membran mukosa pucat, diare, oedema di
antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus serta kematian dapat terjadi
dalam waktu 1-3 bulan (Subronto, 2007; Ditjennak, 2012).
4. Diagnosis
Diagnosa terhadap kasus fasciolosis didasarkan dari anamnesa dan
gejala klinis yang didapatkan dilapang yang ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium yang meliputi pemeriksaan feses, biopsi hati, uji serologi
untuk deteksi antibodi(Ditjennak, 2012). Pemeriksaan laboratorium yang
sering
digunakan
untuk
mengidentifikasi
fasiolosis
ialah
dengan
stadium yakni stadium cacing muda yang sedang bermigrasi pada hepar dan
saluran empedu dan bentuk dewasa. Fasciolosis pada sapi jantan diterapi
dengan menggunakan Dovenix ( bahan aktif: Nitroxynil ) dosis: 10 mg/kg
berat badan (1 ml untuk 25 Kg berat badan) diberikan secara Subcutan.
Nitroxynil merupakan obat yang berfungsi untuk mengikat komponen
protein dalam cacing. Pemberian obat cacing secara berkala minimal 2 kali
dalam 1 tahun bertujuan mengeliminasi migrasi cacing dewasa.
6. Pencegahan
Pencegahan yang efektif yang dilakukan pada kasus fasciolosis
Menurut Martindah, dkk. (2005), prinsip pengendalian fasciolosis pada
ternak ruminansia adalah memutus daur hidup cacing. Untuk itu, diperlukan
tindakan-tindakan pencegahan terhadap infeksi antara lain dengan cara:
a. Limbah kandang hanya digunakan sebagai pupuk pada tanaman padi
apabila sudah dikomposkan terlebih dahulu sehingga telur Fasciola sp.
sudah mati.
b. Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan
pemotongan sedikit yakni 1-1.5 jengkal dari tanah.
c. Jerami dijemur selama 2-3 hari berturut-turut dibawah sinar matahari dan
dibolak-balik selama penjernuran sebelum diberikan untuk pakan.
d. Tidak melakukan penggembalaan ternak di daerah berair atau yang
tercemar oleh metaserkaria cacing hati dan
Melakukan rotasi
pengembalaan
e. menggunakan itik sebagai predator alami dari siput atau menggunakan
Mollusida sebagai agen kimia untuk menekan populasi siput terutama
pada musim penghujan.
Daftar Pustaka
[Aciar]. 2003. Technology Implementation Procedure Fasciolosis Of Cattle And
Buffaloes And Its Control Measures. [Terhubung Berkala]
Http://Aciar.Gov.Au/System/Files/Node/9010/Mn133%20part%206.Pf.
Australia: Australian Center For International Agricultural Research.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual
Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan Dan
Kesehatan Hewan. Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan,
Direktorat Kesehatan Hewan.
Baratawidjaya, K.G. 2009. Imunologi Dasar Edisi Ke-8. Jakarta : Ui-Press.
9
Boray Jc, Hutchinson Gw. & Stephen L. 2007. Liver Fluke Disease In Sheep And
Cattle. Primefact 446.
Guntoro S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta: Kanisius
Raadsma, H.W., Kingsford, N.M., Suharyanta, Spithill, T.W., Piedrafita D., 2007.
Host Responses During Experimental Infection With Fasciola
Gigantica Or Fasciola Hepatica In Merino Sheep: I. Comparative
Immunological And Plasma Biochemical Changes During Early
Infection. Vet. Par., 143(3-4): 275-286.
Shaikh, A.A., Bilqees, F. M., Khan, M.M. 2004. Bile Duct Hyperplasia And
Associated Abnormalities In The Buffaloes Infected With Fasciola
Gigantica. Pakistan J. Zool., 36(3): 231-237.
Talukder S, Bhuiyan Mj, Hossain Mm, Uddin Mm, Paul S. & Howlader Mmr.
2010. Patho Logical Investigation Of Liverfluke Infection Of
Slaughtered Black Bengal Goat In A Selected Area Of Bangladesh.
Bangladesh Journal Of Veterinary Medicine, 8( 1) : 35-40.
Tizard, Ian. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press :
Surabaya
Urquhart Et All. 1996. Veterinary Parasitolgy Second Edition. Paris : Blackwell
Science.
10
Mekanisme imunologis
Sebagai contoh adalah mekanisme self cure. Cacing yang terkena dalam selaput
lendir usus dan abomasum mengeluarkan antigen selama ekdises ketiga yang
berlaku sebagai alergens. Akibatnya terbentuknya beban cacing merangsang
reaksi hipersensitifitas tipe I lokal yang akut, dibagian usus yang mengandung
parasit. Kombinasi antara antigen cacing dengan IgE terikat sel mast
menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast dan dilepaskannya amin vasoaktif.
Senyawa ini merangsang kontraksi otot usus dan pertambahan permeabilitas
vaskular yang memungkinkan keluarnya cairan ke dalam lumen usus. Kombinasi
ini menghasilkan pelepasan dan pengeluaran sebagian besar beban cacing dalam
saluran gastrointestinal hewan (Tizard, 1988).
IgE memiliki peranan yang lain dalam mengurangi jumlah cacing pada
hewan. Misalnya, makrofag dapat berikatan pada larva cacing melalui jalur yang
diperantarai IgE untuk menghancurkannya. Demikian juga dengan memperantarai
sel mast, IgE merangsang pelepasan Faktor Anafilaksis Kemotaktik Eosinofil
(FAKE). Bahan ini menyebabkan dilepaskannya eosinofil dalalm jumlah besar ke
dalam sirkulasi. Atas dasar inilah maka eosinofilia menjadi demikian khas pada
infeksi cacing. Eosinofil memegang 2 peranan. Pertama, mengandung enzim yang
mampu menetralkan bahan vasoaktif yang dikeluarkan oleh sel mast. Kedua,
bersama-sama dengan antibodi dan komplemen, eosinofil dapat membunuh
beberapa larva cacing dan karena itu juga membantu fungsi proteksi. Eosinofil
melekat pada cacing melalui IgG. Kemudian mengalami degranulasi, melepaskan
isi granulanya pada kutikel cacing. Protein basa utama granula dapat
menyebabkan kerusakan langsung pada kutikel dan juga membantu perlekatan
11
eosinofil tambahan. Efek sitotoksik dari protein basa diperbesar oleh faktor yang
berasal dari sel mast misalnya histamin ataupun komplemen (Tizard, 1988).
Mekanisme lainnya yang terlibat meliputi netralisasi yang diperantarai antibodi
terhadap enzim proteolitik yang dipakai larva untuk menembus jaringan,
penyumbatan lubang anus dan mulut larva oleh sekresi dari larva dan pencegahan
terhadap ekdisis dan terhadap antigen kelompok luar (Tizard, 1988).
Mekanisme Pertahanan Selular
Sel T limfosit yang telah disensitisasi dapat berhasil menyerang cacing yang
terbenam di dalam mukosa usus atau yang sedang mengalami stadium jaringan.
Limfosit T tersebut menekan aktifitas cacing dengan dua mekanisme. Pertama,
terjadinya tanggap perbarahan dari mononuklear ke tempat invasi larva dan
merubah lingkungan setempat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan dan
migrasi. Kedua, limfosit sitotoksik mungkin mampu menyebabkan kehancuran
larva (Tizard, 1988).
Respon imun pejamu terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh
karena patogen lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap
banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang
subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 dan IL-5 merangsang
perkembangan dan aktifasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan
cacing diikat oleh eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi
granula enzim yang menghancurkan parasit (Baratawidjaya, 2009).
Parasit yang masuk ke dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE
dan juga dibantu oleh ADCC. Sitokin yang dilepas sel T yang dipacu antigen
spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang
menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat
dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator
sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbsi natrium yang
tergantung glukosa oleh histamin dan protaglandin asal sel mast (Baratawidjaya,
2009)
Kejadian sub akut ditandai dengan adanya gejala klinis berupa
ikterus, anemia, penurunan berat badan, edema submandibular ( bottle jaw ) , serta
perdarahan akibat dari cacing yang memakan jaringan hati ( Soulsby, 1986) .
Fasciolasis kronis terjadi akibat dari migrasi dan keberadaan cacing dewasa di
dalam buluh empedu sehingga menyebabkan kerusakan parenkim hati. Kejadian
ini muncul pada musim dingin dan musim semi ( Mitchell, 2007) dengan jumlah
12
cacing yang ditemukan sekitar 250 ekor dan telur cacing di dalam tinja mencapai
100 ( Matthews, 1999) . Fasciolasis kronis ditandai dengan penurunan nafsu
makan, anemia, anoreksia, diare kronis, penurunan berat badan, bottle jaw,
cholangitis, dan fibrosis organ hati akibat dari cacing hati dewasa yang hidup
dalam buluh empedu ( Soulsby, 1986) . Meskipun cacing muda hidup dalam
parenkim hati, parasit tersebut
juga dapat menghisap darah, seperti cacing dewasa dan menyebabkan anemia
pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Diperkirakan 10 ekor
cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2 ml/hari
( Subronto, 2007) .
Fasciolasis kronis berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktivitas cacing
dewasa di dalam saluran empedu, baik di dalam hati maupun di luar hati.
Fasciolasis menyebabkan cholangitis, obstruksi saluran empedu, kerusakan
jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Anemia terjadi karena cacing dewasa
mengisap darah serta kehilangan persediaan zat besi ( Subronto, 2007) .
Lesi yang disebabkan oleh infeksi Fasciola sp. pada semua ternak hampir
sama bergantung pada tingkat infeksinya. Kerusakan hati paling banyak terjadi
antara minggu ke 1215 pasca infeksi. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada
waktu cacing muda mulai menembus dinding usus tetapi kerusakan yang berat
dan peradangan mulai terjadi sewaktu cacing bermigrasi dalam parenkim hati dan
ketika berada dalam saluran empedu dan kantong empedu . Pada pemeriksaan
darah akibat fasciolasis akut ditemukan perubahan berupa anemia normokromik,
eosinophilia, dan hipoalbuminemia ( Ditjennak, 2012) .
13