Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL


DI PETERNAKAN drh RIBUT HARIANTO
(1 JUNI 2015-26 JUNI 2015)
FASCIOLOSIS

Oleh:
Ricky Kartika Cahya Ningsih Lestari
140130100111029

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

1. Signalement
1

a. Nama hewan

:-

b. Jenis atau ras

: Sapi potong

c. Jenis kelamin

: jantan

d. Umur

: 16 bulan

e. Tanggal pemeriksaan : 18 Juni 2015


2. Anamnesa
a. Sapi kurus
b. Sudah dua hari mengalami penurunan nafsu makan
c. Sapi menjadi pasif
d. Mengalami diare
3. Pemeriksaan Fisik Sapi
a. Selaput lendir pucat
b. Bottle jaw (oedema) dibagian mandibula
c. Bulu kusam dan discharge disekitar mata
d. Dalam diare tidak ditemukan adanya darah
4. Diagnosis
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik sapi tersebut menderita
Fasciolosis.

5. Pembahasan.
2

Anamnesa yang ditunjukkan oleh sapi potong menunjukkan gejala


umum dari sapi yang mengalami suatu penyakit. Penurunan nafsu makan atau
terjadinya anoreksia merupakan proses dari suatu penyakit yang secara
langsung menghambat atau menekan aktivitas pusat lapar. Aktivitas pusat lapar
dikontrol oleh nuklei hipotalamus lateral. Pusat lapar dirangsang oleh mediator
yang dihasilkan oleh rangsangan vagal atau simpatetik pada reseptor perifer
yang memberikan umpan balik pada nuklei hipotalamus lateral. adanya
gangguan pada rongga abdomen seperti radang pada hepatobilier, pankreas,
lambung, usus halus dan ginjal akan menghambat aktivitas pusat makan
dengan cara menghambat pengeluaran neurotransmiter neuropetide Y,
serotonin yang akan mempengaruhi pusat lapar. Anoreksia yang terjadi akan
berpengaruh pada berkurangnya pasokan nutrisi yang dikonsumsi pada sapi
yang apabila terjadi pada waktu yang lama dapat mengakibatkan kekurusan
pada sapi. anamnesa yang didapatkan lainnya ialah terjadinya diare. Diare
merupakan suatu keadaan pengeluaran feces yang tidak normal atau tidak
seperti biasanya ditandai dengan peningkatan volume, keenceran serta
frekuensi lebih dari normal (Aziz, 2006). Diare merupakan salah satu gejala
dari penyakit pada sistem gastrointestinal (Ngastiyah, 2003). Penyebab dari
diare dapat digolongkan menjadi beberapa faktor yakni karena fungsional
seperti pergantian pakan, alergi pakan atau komponen obat. Faktor Kedua yang
menyebabkan terjadinya diare ialah penyakit metabolik seperti liver chirrhosis,
hypoadrenocorticism, dan keracunan logam berat. Faktor ketiga atau yang
terakir yakni adanya penyakit intrinsik pada usus yang disebabkan oleh bakteri,
fungi, protozoa, parasit, virus.
Berdasarkan anamnesa yang didapat kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik yang menunjukkan bahwa selaput lendir dari sapi jantan ini
terlihat pucat. Warna selaput lendir secara umum pada hewan besar berwarna
merah rosa. Warna selaput lendir dipengaruhi oleh status aliran darah, Jumlah
darah yang mengalir dan kandungan eritrosit/hemoglobin. Penurunan warna
dapat disebabkan oleh penurunan aliran darah atau penurunan zat warna darah.
Penurunan aliran darah dapat bersifat lokal seperti iskemia atau umum yang
disebabkan oleh kelemahan sirkulasi perifer dan penurunan zat warna darah
3

berkaitan dengan penurunan eritrosit atau hemoglobin (anemia). Sapi lokal


yang diperiksa perubahan selaput lendir lebih mengarah pada penurunan
jumlah eritrosit atau hemoglobin. Pemeriksaan pada feces yang diare dari sapi
jantan ini tidak ditemukkkan adanya pendarahan, feces yang menunjukkan
adanya darah pada keadaaan diare dapat mengindikasikan bahwa diare tersebut
disebabkan oleh adanya infeksi bakteri dan virus. Dalam kasus ini kausa diare
bukan berasal dari bakteri dan virus. Mekanisme terjadinya diare dapat yakni
diawali dengan perubahan motilitas usus yang terjadi sebagai akibat adanya
peradangan didalam usus sehingga usus (terutama usus besar) tidak mampu
menahan laju dari isi dalam usus sehingga terjadi diare. selain itu dapat
disebabkan oleh Peningkatan osmolalitas dapat disebabkan oleh maldigesti
akibat kekurangan enzim pankreas,

garam empedu . hal ini akan

mengakibatgkan karbohidrat, lemak, protein tidak terabsorbsi dengan baik.


Pakan yang tidak terabsorbsi tersebut akan diubah menjadi asam laktat dan
asam lemak volatil oleh bakteri di kolon. Ini akan menyebabkan penurunan pH
(asam) dan peningkatan osmolalitas, yang akhirnya menimbulkan diare. dari
hasil pemeriksaan fisik ditemukan pula adanya bottle jaw atau eodema pada
bagian submadibula. Adanya bottle jaw merupakan suatu bentukan khas dari
infestasi Fasciola sp.
Berdasarkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik sapi tersebut
didiagnosa mengalami fasciolosis.
1. Etiologi
Fasciolosis merupakan merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
infeksi spesies Fasciola gigantica dan atau Fasciola hepatica. Fasciola sp.
Merupakan cacing yang berasal dari kelas trematoda (cacing pipih) dan
famili Fasciolidea. Secara morfologi Fasciola sp. berbentuk daun, berwarna
cokelat keabu-abuan, berukuran panjang 3,5-7,5 cm dan lebar 0,65-1,2 cm
(ACIAR 2003). Cacing ini memiliki dua batil hisap ventral (acetabulum),
serta batil hisap oral (oral sucker) yang berfungsi sebagai lubang mulut.
Cacing Fasciola sp. menginfeksi ternak ruminansia sebagai definitive host
dan memiliki tempat predileksi pada hati dan kantung empedu. Fasciola sp.
Memiliki intermedier host (inang antara) yakni Siput. Fasciola sp.
4

Menjalani siklus hidup secara tidak langsung sehingga mencapai stadium


infektif (metaserkaria) didalam tubuh siput
2. Patofisiologi
Sapi umunya akan terinfeksi fasciolosis yang didapatkan dari memakan
rumput yang tercemar oleh metaserkaria. Sapi merupakan hospes definitif
dari cacing fasciolo sehingga metaserkaria yang tertelan akan pecah didalam
duodenum. Metasercaria yang pecah akan mengeluarkan fasciola muda dan
akan menembus dinding usus halus 24 jam post infeksi guna menuju
kedalam tempat predileksi cacing Fasciola sp. cacing muda yang berhasil
menembus dinding usus akan masuk ke dalam ruang peritoneum dan
setelah 4-6 hari post infektif cacing muda Fasciola sp. akan melakukan
penetrasi ke dalam kapsul hati yang menimbulkan respons inflamasi kapsul
(peri-hepatitis). Setelah berhasil menembus kapsul hati, cacing muda akan
bermigrasi dalam parenkhim hati. Cacing muda untuk dapat bermigrasi
dalam hati memerlukan waktu 5-6 minggu. cacing muda kemudian
melanjutkan migrasinya ke dalam saluran empedu setelah tujuh minggu.
didalam saluran empedu cacing muda akan tumbuh menjadi cacing dewasa
(Borray, 2007).
Migrasi cacing muda Fasciola sp dalam hati akan mengakibatkan
kerusakan parenkim, perdarahan dan nekrosa. Perjalanan cacing juga
menimbulkan trombus pada vena hepatica dan sinusoid hati. Gangguan
aliran darah oleh trombus tersebut akan menimbulkan nekrosis dan
iskhaemia dalam parenkhima hati. Selama fase perbaikan mengikuti migrasi
cacing, jaringan parenkhim diganti dengan serabut kolagen, maka terjadi
fibrosis. Apabila terjadi banyak lobus hati maka hati menjadi bentuk tidak
teratur dan mengeras (borray, 2007). Selama Fasciola sp. hidup di dalam
saluran empedu akan menyebabkan rusaknya mukosa saluran empedu.
Kerusakan membran mukosa pada saluran empedu akan menyebabkan
peradangan saluran empedu, menyebabkan penyumbatan aliran empedu
sehingga menimbulkan ikterus dan akibat lainnya bisa berupa hepatomegali
(Sutanto et al, 2008). Kehadiran cacing hati pada saluran empedu
menyebabkan kholangitis. Kholangitis merupakan peradangan akut pada
5

dinding saluran empedu yang dapat disebebkan oleh adanya infeksi pada
lumen saluran empedu yang mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
empedu. adanya obstruksi dan Kehadiran cacing dewasa dalam lumen
saluran

empedu

intrahepatik

membuat

iritasi

terus-menerus

dan

menyebabkan proliferasi hiperplastik. cacing fasciola selama perjalanannya


disaluran empedu akan menghisap darah yang akan menyebabkan
timbulnya reaksi radang dan sebagai upaya untuk meregenerasi jaringan
maka tubuh melakukan remodeling jaringan secara terus menerus yang
mengakibatkan akumulasi dari serat kolegen yang berlebihan sehingga akan
mejadi fibrosis atau pengapuran pada saluran empedu (Shaikh, 2004).
Cacing yang berada dalam lumen saluran empedu secara terus menerus
menghisap

darah

untuk

memenuhi

kebutuhan

metabolisme

dan

pertumbuhan cacing, dimana tiap harinya cacing mampu menghisap darah


sebanyak 0,2 ml per hari, per cacing. Keadaan yang berlangsung secara
terus

menerus

akan

menyebabkan

terjadi

hypoalbuminaemia

dan

hypoproteinaemia selama infeksi berlangsung (Talukder, 2010). Keadaan


hypoalbuminaemia dan hypoproteinaemia apabila berlangsung secara terus
menerus dapat menyebabkan keadaan patologis dengan timbulnya edema
dikarenakan protein terutama albumin berperan dalam pengatuan cairan
didalam tubuh. Albumin merupakan komponen dari protein yang berperan
menjaga tekanan osmotic koloid plasma sebesar 75-80 % dan merupakan 50
% dari seluruh protein tubuh. Albumin memiliki peran memberi tekanan
osmotik di dalam kapiler sehingga dapat menjaga keberadaan air dalam
plasma darah dengan demikian volume darah akan tetap stabil. Akibat
adanya penurunan protein terutama albumin maka akan diikuti dengan
penurunan konsentrasi protein dalam plasma yang dapat menyebabkan
penurunan tekanan osmotic plasma. penurunan ini menyebabkan filtrasi
cairan yang keluar dari pembuluh lebih tinggi, sementara jumlah cairan
yang direabsorpsi kurang dari normal ; dengan demikian terdapat cairan
tambahan yang berada dalam ruang interstitial seperti pada submandibula
dan peritoneum. Aktivitas cacing menghisap darah selain menyebabkan
iritasi pada kantung empedu dan penurunan komponen protein dapat pula
6

mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah darah menyebabkan anemia


(Raadsma et al., 2007). Anemia merupakan suatu keadaan berkurangnya
jumlah sel darah merah atau kandungan hemoglobin didalam darah.
Hemoglobin (Hb) adalah suatu senyawa protein pembawa oksigen didalam
sel darah merah. Anemia pada kasus ini dapat disebabkan oleh berkurangna
jumlah sel darah merah dan karena kekurangan zat besi. Kekurangan zat
besi dipicu karena kerusakan pada hepar yang dapat mengakibatkan
penurunan fungsi hati dalam mendestruksi sel darah merah dan menyimpan
zat besi. Seperti diketahui sel darah merah tua dihancurkan didalam hepar
dengan

merombak

hemogloblin.

Globin

yang

merupakan

bagian

hemoglobin akan dipisahkan, dan hemenya diubah menjadi biliverdin. Lalu


sebagian besar biliverdin diubah menjadi bilirubin dan diekskresikan ke
dalam empedu. Sedangkan besi dari heme digunakan kembali untuk sintesis
hemoglobin. Pada langkah terakhir jalur ini, besi (sebagai Fe 2+)
digabungkan ke dalam protoporfirin IX dalam reaksi yang dikatalisis oleh
ferokelatase (dikenal sebagai heme sintase). Kerusakan hepar akan
menyebabkan penurunan jumlah eritosit yang didestruksi sehingga akan
menyebabkan berkurangnya cadangan zat besi yang disimpan didalam
hepar, apabila kekurangan besi berlanjut secara terus menerus akan
mengakibatkan penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga
menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit yang menimbulkan anemia
hipokromik mikrositer. Keadaan terjadinya anemia dapat teramati pada
perubahan warna dari selaput lendir sapi yang diperiksa.
3. Gejala klinis
Gejala klinis yang nampak pada Sapi yang terserang Fasciola sp. akan
terlihat pucat, lesu, mata membengkak, tubuh kurus, dan bulu kasar serta
kusam atau berdiri, dan gangguan pada pertumbuhan apabila berlangsung
lama karena Fasciola sp. muda merusak sel-sel parenkim hati dan cacing
dewasa hidup sebagai parasit dalam pembuluh-pembuluh darah yang ada di
hati sehingga akan mengakibatkan gangguan fungsi hati, peradangan hati
dan empedu yang akan menggangu metabolisme dalam tubuh(Guntoro,
2002). Gejala klinis infeksi Fasciola sp. bergantung pula pada tingkatan
7

infeksi. Gejala klinis pada infeksi akut ialah ternak menjadi lemah, nafas
cepat dan pendek, perut membesar disertai rasa sakit dan kematian akibat
adanya pendarahan. Fasciolosis bentuk subakut kurang atau bahkan sama
sekali tidak memperlihatkan gejala. Fasciolosis bentuk kronis merupakan
infeksi yang berjalan lama dan cacing dalan tubuh hospes telah menjadi
dewasa. Gejala klinis yang nampak pada infeksi yang bersifat kronis ialah
anemia sehingga menyebabkan ternak lesu, lemah, nafsu makan menurun,
cepat mengalami kelelahan, membran mukosa pucat, diare, oedema di
antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus serta kematian dapat terjadi
dalam waktu 1-3 bulan (Subronto, 2007; Ditjennak, 2012).
4. Diagnosis
Diagnosa terhadap kasus fasciolosis didasarkan dari anamnesa dan
gejala klinis yang didapatkan dilapang yang ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium yang meliputi pemeriksaan feses, biopsi hati, uji serologi
untuk deteksi antibodi(Ditjennak, 2012). Pemeriksaan laboratorium yang
sering

digunakan

untuk

mengidentifikasi

fasiolosis

ialah

dengan

menggunakan pemeriksaan feces yang bertujuan untuk menemukan telur


Fasciola sp. dalam feses. Pemeriksaan feces dapat dilakukan dengan
menggunakan metode sedimentasi. Pemeriksaan feces dilakukan apabila
sapi telah menunjukkan infeksi yang telah memunculkan gejala klinis yang
mengarah kepada kronis dikarenakan telur akan dikeluarkan dalam feces
setelah 10-15 minggu setelah hewan terinfeksi yakni telah menjadi bentuk
dewasa dan menghasilkan telur yang berada didalam saluran kantung
empedu. pemeriksaan secara tepat dapat dilakukan apabila dilakukan
nekropsi pada hepar dan kantung empedu yang menunjukkan kerusakan
hepar dan adanya cacing dewasa dalam organ tersebut.
5. Pengobatan
Pengobatan yang digunakan sebagai terapi fasciolosis harus dipilih yang
memiliki sifat toksik minimal dan tidak memperberat kerja hepar
dikarenakan pada infeksi fasciolosis hepar mengalami kerusakan pada
parenkimnya sehingga akan mempengaruhi pada fungsi hepar untuk
mendetoksifikasi senyawa toksik yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu
obat yang dipilih harus dapat membunuh Fasciola sp. dalam beberapa
8

stadium yakni stadium cacing muda yang sedang bermigrasi pada hepar dan
saluran empedu dan bentuk dewasa. Fasciolosis pada sapi jantan diterapi
dengan menggunakan Dovenix ( bahan aktif: Nitroxynil ) dosis: 10 mg/kg
berat badan (1 ml untuk 25 Kg berat badan) diberikan secara Subcutan.
Nitroxynil merupakan obat yang berfungsi untuk mengikat komponen
protein dalam cacing. Pemberian obat cacing secara berkala minimal 2 kali
dalam 1 tahun bertujuan mengeliminasi migrasi cacing dewasa.
6. Pencegahan
Pencegahan yang efektif yang dilakukan pada kasus fasciolosis
Menurut Martindah, dkk. (2005), prinsip pengendalian fasciolosis pada
ternak ruminansia adalah memutus daur hidup cacing. Untuk itu, diperlukan
tindakan-tindakan pencegahan terhadap infeksi antara lain dengan cara:
a. Limbah kandang hanya digunakan sebagai pupuk pada tanaman padi
apabila sudah dikomposkan terlebih dahulu sehingga telur Fasciola sp.
sudah mati.
b. Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan
pemotongan sedikit yakni 1-1.5 jengkal dari tanah.
c. Jerami dijemur selama 2-3 hari berturut-turut dibawah sinar matahari dan
dibolak-balik selama penjernuran sebelum diberikan untuk pakan.
d. Tidak melakukan penggembalaan ternak di daerah berair atau yang
tercemar oleh metaserkaria cacing hati dan

Melakukan rotasi

pengembalaan
e. menggunakan itik sebagai predator alami dari siput atau menggunakan
Mollusida sebagai agen kimia untuk menekan populasi siput terutama
pada musim penghujan.

Daftar Pustaka
[Aciar]. 2003. Technology Implementation Procedure Fasciolosis Of Cattle And
Buffaloes And Its Control Measures. [Terhubung Berkala]
Http://Aciar.Gov.Au/System/Files/Node/9010/Mn133%20part%206.Pf.
Australia: Australian Center For International Agricultural Research.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual
Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan Dan
Kesehatan Hewan. Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan,
Direktorat Kesehatan Hewan.
Baratawidjaya, K.G. 2009. Imunologi Dasar Edisi Ke-8. Jakarta : Ui-Press.
9

Boray Jc, Hutchinson Gw. & Stephen L. 2007. Liver Fluke Disease In Sheep And
Cattle. Primefact 446.
Guntoro S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta: Kanisius
Raadsma, H.W., Kingsford, N.M., Suharyanta, Spithill, T.W., Piedrafita D., 2007.
Host Responses During Experimental Infection With Fasciola
Gigantica Or Fasciola Hepatica In Merino Sheep: I. Comparative
Immunological And Plasma Biochemical Changes During Early
Infection. Vet. Par., 143(3-4): 275-286.
Shaikh, A.A., Bilqees, F. M., Khan, M.M. 2004. Bile Duct Hyperplasia And
Associated Abnormalities In The Buffaloes Infected With Fasciola
Gigantica. Pakistan J. Zool., 36(3): 231-237.
Talukder S, Bhuiyan Mj, Hossain Mm, Uddin Mm, Paul S. & Howlader Mmr.
2010. Patho Logical Investigation Of Liverfluke Infection Of
Slaughtered Black Bengal Goat In A Selected Area Of Bangladesh.
Bangladesh Journal Of Veterinary Medicine, 8( 1) : 35-40.
Tizard, Ian. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press :
Surabaya
Urquhart Et All. 1996. Veterinary Parasitolgy Second Edition. Paris : Blackwell
Science.

10

Mekanisme imunologis
Sebagai contoh adalah mekanisme self cure. Cacing yang terkena dalam selaput
lendir usus dan abomasum mengeluarkan antigen selama ekdises ketiga yang
berlaku sebagai alergens. Akibatnya terbentuknya beban cacing merangsang
reaksi hipersensitifitas tipe I lokal yang akut, dibagian usus yang mengandung
parasit. Kombinasi antara antigen cacing dengan IgE terikat sel mast
menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast dan dilepaskannya amin vasoaktif.
Senyawa ini merangsang kontraksi otot usus dan pertambahan permeabilitas
vaskular yang memungkinkan keluarnya cairan ke dalam lumen usus. Kombinasi
ini menghasilkan pelepasan dan pengeluaran sebagian besar beban cacing dalam
saluran gastrointestinal hewan (Tizard, 1988).

IgE memiliki peranan yang lain dalam mengurangi jumlah cacing pada
hewan. Misalnya, makrofag dapat berikatan pada larva cacing melalui jalur yang
diperantarai IgE untuk menghancurkannya. Demikian juga dengan memperantarai
sel mast, IgE merangsang pelepasan Faktor Anafilaksis Kemotaktik Eosinofil
(FAKE). Bahan ini menyebabkan dilepaskannya eosinofil dalalm jumlah besar ke
dalam sirkulasi. Atas dasar inilah maka eosinofilia menjadi demikian khas pada
infeksi cacing. Eosinofil memegang 2 peranan. Pertama, mengandung enzim yang
mampu menetralkan bahan vasoaktif yang dikeluarkan oleh sel mast. Kedua,
bersama-sama dengan antibodi dan komplemen, eosinofil dapat membunuh
beberapa larva cacing dan karena itu juga membantu fungsi proteksi. Eosinofil
melekat pada cacing melalui IgG. Kemudian mengalami degranulasi, melepaskan
isi granulanya pada kutikel cacing. Protein basa utama granula dapat
menyebabkan kerusakan langsung pada kutikel dan juga membantu perlekatan

11

eosinofil tambahan. Efek sitotoksik dari protein basa diperbesar oleh faktor yang
berasal dari sel mast misalnya histamin ataupun komplemen (Tizard, 1988).
Mekanisme lainnya yang terlibat meliputi netralisasi yang diperantarai antibodi
terhadap enzim proteolitik yang dipakai larva untuk menembus jaringan,
penyumbatan lubang anus dan mulut larva oleh sekresi dari larva dan pencegahan
terhadap ekdisis dan terhadap antigen kelompok luar (Tizard, 1988).
Mekanisme Pertahanan Selular
Sel T limfosit yang telah disensitisasi dapat berhasil menyerang cacing yang
terbenam di dalam mukosa usus atau yang sedang mengalami stadium jaringan.
Limfosit T tersebut menekan aktifitas cacing dengan dua mekanisme. Pertama,
terjadinya tanggap perbarahan dari mononuklear ke tempat invasi larva dan
merubah lingkungan setempat menjadi tidak cocok untuk pertumbuhan dan
migrasi. Kedua, limfosit sitotoksik mungkin mampu menyebabkan kehancuran
larva (Tizard, 1988).
Respon imun pejamu terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh
karena patogen lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap
banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang
subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 dan IL-5 merangsang
perkembangan dan aktifasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan
cacing diikat oleh eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi
granula enzim yang menghancurkan parasit (Baratawidjaya, 2009).
Parasit yang masuk ke dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE
dan juga dibantu oleh ADCC. Sitokin yang dilepas sel T yang dipacu antigen
spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang
menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat
dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator
sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbsi natrium yang
tergantung glukosa oleh histamin dan protaglandin asal sel mast (Baratawidjaya,
2009)
Kejadian sub akut ditandai dengan adanya gejala klinis berupa
ikterus, anemia, penurunan berat badan, edema submandibular ( bottle jaw ) , serta
perdarahan akibat dari cacing yang memakan jaringan hati ( Soulsby, 1986) .
Fasciolasis kronis terjadi akibat dari migrasi dan keberadaan cacing dewasa di
dalam buluh empedu sehingga menyebabkan kerusakan parenkim hati. Kejadian
ini muncul pada musim dingin dan musim semi ( Mitchell, 2007) dengan jumlah
12

cacing yang ditemukan sekitar 250 ekor dan telur cacing di dalam tinja mencapai
100 ( Matthews, 1999) . Fasciolasis kronis ditandai dengan penurunan nafsu
makan, anemia, anoreksia, diare kronis, penurunan berat badan, bottle jaw,
cholangitis, dan fibrosis organ hati akibat dari cacing hati dewasa yang hidup
dalam buluh empedu ( Soulsby, 1986) . Meskipun cacing muda hidup dalam
parenkim hati, parasit tersebut
juga dapat menghisap darah, seperti cacing dewasa dan menyebabkan anemia
pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Diperkirakan 10 ekor
cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2 ml/hari
( Subronto, 2007) .
Fasciolasis kronis berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktivitas cacing
dewasa di dalam saluran empedu, baik di dalam hati maupun di luar hati.
Fasciolasis menyebabkan cholangitis, obstruksi saluran empedu, kerusakan
jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Anemia terjadi karena cacing dewasa
mengisap darah serta kehilangan persediaan zat besi ( Subronto, 2007) .
Lesi yang disebabkan oleh infeksi Fasciola sp. pada semua ternak hampir
sama bergantung pada tingkat infeksinya. Kerusakan hati paling banyak terjadi
antara minggu ke 1215 pasca infeksi. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada
waktu cacing muda mulai menembus dinding usus tetapi kerusakan yang berat
dan peradangan mulai terjadi sewaktu cacing bermigrasi dalam parenkim hati dan
ketika berada dalam saluran empedu dan kantong empedu . Pada pemeriksaan
darah akibat fasciolasis akut ditemukan perubahan berupa anemia normokromik,
eosinophilia, dan hipoalbuminemia ( Ditjennak, 2012) .

13

Anda mungkin juga menyukai