Anda di halaman 1dari 28

ANALISIS UNDANG UNDANG TERKAIT BPJS

A. Jaminan Kesehatan Nasional


Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila
ke-5 juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga
termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU
No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang
Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai
hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut
serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas,
pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan
masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan
perorangan.
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan
menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan,
diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek
(Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima
pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak
mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda).

Namun

demikian,

skema-skema

tersebut

masih

terfragmentasi, terbagi- bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan


menjadi sulit terkendali.
Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang
No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini
mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk
termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan
Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang
implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan
JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden,
antara lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima
Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan
Nasional).
Sesungguhnya keinginan untuk mendirikan BPJS baru telah
dibahas dalam prosespenyusunan UU SJSN. Perdebatannya berlangsung
sangat alot. Berbagai pertimbangan tentangcost-benefit, Nasionalisme,
keadilan antar daerah dan antar golongan pekerjaan, sertapertimbangan
kondisi geografis serta ekonomis yang berbeda-beda telah pula dibahas
mendalam.Apa yang dirumuskan dalam UU SJSN, UU no 40/04,
merupakan kompromi optimal.Konsekuensi logis dari sebuah negara
demokrasi adalah bahwa rumusan suatu UU yang telah diundangkan harus

dilaksanakan, baik yang tadinya pro maupun yang tadinya kontra terhadap
suatu isi atau pengaturan. Setelah disetujui DPR, wakil rakyat, maka
rumusan suatu UU mengikat semua pihak. Sangatlah tidak layak dan tidak
matang, apabila UU tersebut sudah divonis tidak mengakomodir
kepentingan

kita,

sebelum

UU

itu

dilaksanakan.

Kita

harus

belajarkonsekuen dan berani menjalankan sebuah keputusan UU,


meskipun ada aspirasi atau keinginan kita yang berbeda dengan yang
dirumuskan UU SJSN. Boleh saja kita tidak setuju dengan isi suatu UU
dan tidak ada satupun UU yang isinya 100% disetujui dan didukung oleh
seluruh rakyat. Atau, jika seseorang atau sekelompok orang yakin bahwa
UU SJSN itu merugikan kepentingan lebih banyak rakyat, maka ia atau
mereka dapat mengajukan alternatif ke DPR untuk merevisi atau membuat
UU baru. Inilah hakikat negara demokrasi.
B. Badan Penyeleenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS
adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial (UU No 24 Tahun 2011). BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan
dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan
agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan
dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap
orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah

C. Analisis dan Evaluasi Terkait Pasal-Pasal dalam Jaminan Kesehatan


Nasional erkait BPJS
Mengingat telah berlangsungnya jaminan kesehatan nasional berupa Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang telah berlangsung selama 1
tahun, perlu ada evaluasi yang lebih lanjut mengenai jamninan kesehatan ini.
Penyelenggaran BPJS dinilai masih banyak perbenahan. Pasal-pasal
penyelenggaranya juga di nilai juga banyak merugikan masyarat. Untuk itu
perlu ada kritik apa yang harus di benahi dari peraturan-peraturan yang telah
di atur dalam pasal-pasal mengenai Jaminan Kesehatan Nasional Terkait
BPJS guna memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang dapat
terpenuhi dengan baik. Berikut di antaranya hal-hal yang harus di evaluasi
mengenai pasal-pasal dari BPJS berdasarkan pengamatan terhadap BPJS yang
telah diselenggaarakan selama 1 tahun ini :
Berdasarakan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Kepesertaan dan Tata
Cara Pendaftaran. Dalam peraturan tersebut dijelaskan ketentuan
aktivasi kartu BPJS mesti menunggu hingga sepekan atau 7 hari. Sangat
disayang kan. Mengingat banyaknya masyarakat yang belum mengerti
tentang peraturan dan tata cara kepengurusan BPJS kesehatan,tidak
sedikit masyarakat yang mendaftarakan BPJS pada saat mereka masuk
rumah sakit. Sementara penyakit harus segera di tangani untuk menolong
jiwanya. Namun dengan keterbatasan dan peraturan yang di atur dalam
pasal ini, menuai banyak kritik dan telah menelan korban. Peraturan ini
ada baiknya untuk dilakukan evaluasi mengingat Badan ini merupakan
badan untuk jaminan kesehatan nasional yang penting dan yang harus di

dahulukan adalah kesehatan masayarakat yang harus segera di tangani


jika dalam kondisi kedaruratan agar tidak banyak menelan korban, jika
harus menunggu dana selama sepekan untuk baru dilakukan tindakan

medis.
BPJS Kesehatan kemudian mengatur petunjuk teknis mengenai peraturan
tersebut dengan menerbitkan Peraturan Direksi Nomor 211 Tahun 2014
di mana BPJS memberikan kelonggaran masa aktivasi sepekan yang
khusus diwajibkan hanya untuk peserta kelas I dan II. Sementara peserta
BPJS Kesehatan golongan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari kalangan
tidak mampu dan kelas III bisa langsung mendapatkan manfaat begitu

kartu diaktivasi.
Regulasi di revisinya Permenkes69/2013 tentang biaya INA-CBGs/
kapitasi dengan cepat menjadi Permenkes Nomor 59/2014 dimana
terdapat banyak masalah, karena ada beberapa paket biaya yang
dikurangi. Permenkes 59 ini juga berpotensi membuat masalah di
lapangan. Rendahnya biaya paket INA-BCGs dan kapitasi menyebabkan
pelayanan kesehatan RS, klinik dan puskesmas banyak alakadarnya dan
akhirnya menyebabkan rakyat menjadi susah. Banyak pasien yang harus
mengantri untuk dilayani rawat inap, pasien harus bayar obat dan banyak
admin RS yang merupakan dampak dari biaya paket yang rendah. Hal ini

juga dikontribusi oleh lemahnya penegakan hukum di lapangan.


Belum adanya praktek kesiapan BPJS kesehatan dilapangan.banyak
kasus di lapangan lamban dalam pelayanan. Banyak keluhan BPJS
melalui telepon dan SMS tidak di respon, bahkan layanan 500600 tidak
berfungsi.

Pasal 37 R Perpres mengenai urun biaya belum konsisten menjabarkan


ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang SJSN yang menentukan
bahwa untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan
pelayanan, peserta dikenakan urun biaya. Jenis pelayanan dimaksud
adalah pelayanan yang membuka peluang moral hazard (sangat
dipengaruhi oleh selera dan perilaku peserta), misalnya pemakaian
suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan medis. Urun biaya dikenakan kepada setiap peserta
yang meminta jenis pelayanan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 Undang-Undang SJSN. Masih banyaknya fasilitas kesehatan
(Faskes) yang meminta bayaran, baik pendaftaran, obat, dll. Seharusnya
tidak boleh ada se rupiah pun pungutan pembayaran dari masyarakat dan
membuat beban baru. Dengan begitu banyak masyarakat berfikir jika
BPJS bukan sama sekali meringankan beban, namun malah menambah
beban baru jika mereka harus membayar lagi ketika penebusan obat dan
biaya pendaftaran di rumah sakit. Kurang efisien jika ini masih tetap
dilaksanakan karena dapat merugikan banyak kalangan masyarakat
terutama yang menengah ke bawah. Menurut

PP 49/2013, Akibat

Ketiadaan BPRS Maka rumah sakit melakukan moral Hazzard kepada


pasien, ada pasien rawat jalan yang di tagih biaya biaya rawat inap
BPRS harus ada mengingat banyak kerugian yang dirasakan oleh

masyarakat.
Pasal 9 RPerpres mengenai anggota keluarga peserta tidak dibatasi
jumlahnya, bertentangan dengan Penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-

Undang SJSN yang membatasi jumlah anggota keluarga sebanyakbanyaknya 5 (lima orang) terdiri dari istri/suami yang sah, anak kandung,

anak tiri dari perkawinan yang sah dan anak angkat yang sah
Pasal 12 ayat (3) RPerpres yang mewajibkan fasilitas kesehatan
memberi tahu peserta dan atau kantor BPJS terdekat apabila
mendapatkan perubahan status peserta, bertentangan dengan ketentuan
Pasal 23 ayat (1) Undang-undang SJSN yang menentukan bahwa fasilitas
kesehatan yang menjalin kerjasama dengan BPJS bertugas memberikan
manfaat jaminan kesehatan kepada peserta. UU SJSN tidak mengatur
kewajiban fasilitas kesehatan untuk memberitahu perubahan status
peserta, melainkan perubahan status peserta menjadi urusan BPJS

dan/atau pemberi kerja.


Pasal 25 ayat(1) dan ayat (2) RPerpres yang mewajibkan peserta
mengikutsertakan anggota keluarganya yang lain, bertentangan dengan
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang SJSN yang menentukan Pekerja yang
memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima ) orang yang ingin
mengikutsertakan anggota keluarganya wajib membayar tambahan
iuran. Ketentuan Undang-Undang tersebut tidak mewajibkan Pekerja
untuk mengikutsertakan anggota keluarganya yang lain sebagai peserta
jaminan kesehatan. Tetapi jika ia mengikutsertakannya, maka ia wajib
membayar tambahan iuran. Untuk mengikutsertakan orang yang bekerja
membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut,

dapat diatur mutatis mutandis seperti pekerja penerima upah.


Pasal 34 RPerpres yang mengatur mengenai kelas perawatan untuk rawat
inap bagi peserta bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (4)

Undang-Undang

SJSN

yang

menentukan

Dalam

hal

peserta

mebutuhkan rawat inap di rumah sakit maka kelas pelayanan di rumah


sakit diberikan berdasarkan kelas standar. Ketentuan tersebut harus
dihubungkan dengan prinsip ekuitas jaminan kesehatan yang ditentukan
dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang SJSN. RPerPres harus
menetapkan kriteria kelas standar sebagai dasar hukum bagi BPJS
Kesehatan berkontrak dengan fasilitas kesehatan, misalnya luas ruang
rawat perorang dan fasilitas yang tersedia di ruang rawat untuk setiap
pasen. Penetapan kelas dengan menggunakan angka (kelas 2 atau kelas
3) akan menimbulkan ketidakjelasan dalam praktik dan merugikan

pengguna BPJS.
Pasal 26 Undang-Undang SJSN menentukan Jenis-jenis pelayanan yang
tidak dijamin BPJS akan diatur lebih lanjut dalam Perpres. Dalam
RPerpres diatur pelayanan kesehatan yang dijamin, pelayanan kesehatan
dengan urun biaya dan pelayanan kesehatan yang tidak dijamin (Pasal
36,Pasal 37 dan Pasal 39). Ketentuan Pasal-Pasal tersebut belum sesuai
dengan kaidah jaminan kesehatan sehingga perlu dikaji secara seksama,
terutama untuk menentukan kriteria jenis pelayanan yang dijamin, yang
dengan urun biaya dan yang tidak dijamin sesuai dengan prinsip
pelayanan kesehatan dalam SJSN. Hendaknya dalam menentukan jenis
pelayanan kesehatan yang tidak dijamin, PerPres mentapkan daftar
pelayanan berdasarkan kriteria jenis penyakit dan metode terapi, seperti
halnya menetapkan daftar manfaat.

Pasal 57 ayat (3) mengenai penyampaian keluhan kepada DJSN tidak


sesuai dengan fungsi,tugas dan wewenang DJSN sebagaimana diatur

dalam Pasal 7 Undang-Undang SJSN.


Bab X R Perpres tentang Penanganan Keluhan tidak sesuai dengan Pasal
48 Undang-Undang BPJS yang menentukan Ketentuan mengenai unit
pengendali mutu dan penanganan pengaduan peserta diatur dalam
Peraturan BPJS.

Dalam penyelenggaraan BPJS tidak serta merta segalanya berdampak


merugikan masyarakat dan pengguna BPJS kesehatan, dibalik

itu kita

kembali ke tujuan awal yaitu BPJS diadakan guna untuk memberikan jaminan
kesehatan nasional untuk meringankan dan mempermudah akses kesehatan
masyarakat. Adapun kelebihan dari di terbitkannnya BPJS antara lain yaitu :

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ditetapkan pemerintah


memang sedikit berbeda dengan Jaminan Kesehatan komersial atau
asuransi swasta. Meskipun ada beragam manfaat kelas atas yang bisa
dinikmati dalam asuransi komersial, tapi jaminan kesehatan sosial lebih

murah dan mencakup semua masyarakat Indonesia.


BPJS kesehatan yang pembayaran iuran JKN sifatnya gotong royong dan
seumur hidup. Yang mampu membantu yang tidak mampu. Sehingga
pengguna dapat dengan mudah mengangsur tanpa ada desakan seperti

menggunakan asuransi-asuransi lainnya.


"Asuransi ini berlaku seumur hidup dari anak baru lahir hingga lansia.
Coba bayangkan mana ada asuransi komersial yang menjamin kesehatan

seseorang yang usianya lebih dari 55 tahun. Terlalu banyak risikonya


kan. Dalam sistem jaminan sosial ini semua dapat ditanggung dengan

alasan dan ketentuan yang berlaku


Masyarakat pengguna jaminan kesehatan nasional BPJS kesehatan yang
telah mendaftarkan diri di BPJS tidak pusing lagi memikirkan biaya
rumah sakit ketika sewaktu-waktu mereka memerlukan pelayanan
kesehatan yang mendesak. Karena biaya yang dikeluarkan dapat
ditanggung oleh badan penyelenggara jaminan sosial.

D. Kesimpulan

Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan perlu diprioritaskan untuk


mendukung beroperasinya BPJS Kesehatan, mulai 1 Januari 2014.
Menurut Pasal 70 huruf a Undang-Undang BPJS Peraturan Presiden tentang
Jaminan Kesehatan harus ditetapkan paling lama pada tanggal 25 November 2012.
Maksudnya agar Peraturan Presiden tersebut dapat dijadikan pedoman dalam
mempersiapkan beroperasinya BPJS Kesehatan.
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan mengatur secara komprehensif
mengenai besaran Iuran, tambahan Iuran dan tata cara pembayaran Iuran,
penahapan pendaftaran peserta, kepesertaan Jaminan Kesehatan bagi pekerja yang
terkena pemutusan hubungan kerja, manfaat Jaminan Kesehatan, pelayanan
kesehatan dan urun biaya, kewajiban BPJS Kesehatan memeberikan kompensasi,
jenis pelayanan kesehatan yang tidak dijamin, kerjasama dengan fasilitas
kesehatan dan lain-lain.

Sebagai peraturan pelaksanaan, Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan


harus bersifat operasional dan dirumuskan secara jernih (clear) dan efektif, agar
program Jaminan Kesehatan dapat terlaksana sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan harus secara konsisten
menjabarkan ketentuan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS yang
memberi pendelegasian, agar tujuan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan dapat
dicapai yaitu untuk menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan tidak boleh bertentangan dengan
prinsip asuransi social dan prinsip ekuitas sebagaimana diatur dalam UndangUndang SJSN .
Prinsip asuransi sosial meliputi:
a.

Kegotongroyongan;

b.

Kepesertaan bersifat wajib dan tidak selektif;

c.

Iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan;

d.

Bersifat nirlaba.
Prinsip ekuitas, yaitiu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah
dibayarkannya.
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan seharusnya mengatur secara teknis
operasional dan komprehensif ketentuan Pasal-Pasal Undang-Undang SJSN dan

Undang-Undang BPJS yang memberikan delegasi dan secara tata asas


berpedoman pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang SJSN dan
Pasal-Pasal Undang-Undang BPJS

yang erat kaitannya dengan Jaminan

Kesehatan.

SARAT MASALAH
Meskipun Pemerintah telah berupaya menjabarkan ketentuan pokok mengenai
Jaminan Kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang SJSN dan UndangUndang BPJS, namun Rancangan Peraturan Presiden yang kini sedang dibahas
dikalangan Pemerintah masih sarat masalah (versi Juli 2012).
Permasalahan yang menonjol antara lain sebagai berikut.
1. Tujuan yang ingin dicapai tidak Jelas
Penyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan masih
gamang dalam merumuskan tujuan pembentukan Peraturan Presiden tentang
Jaminan Kesehatan. Penyususun terkesan sekedar ingin memenuhi formalitas
membentuk Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan sesuai dengan tenggat
waktu yang ditentukan dalam Undang-Undangn BPJS.
Padahal menurut Veda R Charrow c.s. (Clear and Effective Legal Writing,
1995:86)

One of the first steps in planning any document is to list every purpose
you have for writing that document. Start by thinking abaut your
ultimate purposes for the document.
Tujuan srategis dari pembentukan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan
belum tampak. Akibatnya penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tersebut
meminjam kata-kata Veda R.Charrow like trying to plot a route, on a road map
without knowing your destination.
PerPres Jaminan Kesehatan sesungguhnya merupakan peluang emas untuk
memperbaiki mekanisme penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia
secara menyeluruh dan sistematis.
2. Sistimatika tidak Logis
Sistimatika Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan, belum
tersusun dalam alur yang sistimatis menurut sekuen yang logis. Masih terdapat
lompatan-lompatan dari satu bab ke bab lainnya atau dari satu bagian ke bagian
lainnya, bahkan dari satu ide ke ide yang lain.
Misalnya, mengenai pengaturan peserta bukan Penerima Bantuan Iuran, belum
tuntas diatur sudah dilanjutkan dengan pengaturan kepesertaan bersifat wajib dan
dikembangkan secara bertahap. Kemudian dilanjutkan dengan Bagian yang
mengatur anggota keluarga peserta.
Ikhwal pentahapan peserta kembali diatur dalam Bab lain yang mengatur
mengenai Pendaftaran Peserta.

Contoh lainnya ialah Bab tentang Manfaat Jaminan yang diawali dengan
pengaturan mengenai Manfaat Dasar, tanpa uraian yang jelas mengenai
cakupannya, kemudian dilanjutkan dengan Bagian Penyelenggaraan.
Contoh lainnya lagi, Bab VIII tentang Fasilitas Kesehatan sistimatikanya
melompat-lompat.
Sistimatika

Rancangan

Peraturan

Presiden

tentang

Jaminan

Kesehatan

bertentangan dengan prinsip perancangan peraturan sebagaimana dikemukakan


oleh Dickerson, The Fundamental of Legal Drafting, Second Edition:
The second major formal technique for ridding a legal instrument of
many of its substantive inadequacies is to arrange it rigorously and
sistimaticaly. The reason is simply that good architecture directs attention
to the nature and relative position of each element in the hierarchy of the
clients ideas.
3. Inkonsistensi penggunaan istilah
Masih ditemukan pengunaan istilah secara tidak konsisten dalam Rancangan
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan .
Contoh-contoh istilah yang tidak konsisten:
1.

keluarga Pasal 1 angka 17 atau anggota keluarga Pasal 9 RPerpres


dengan pengertian masing-masing;

2.

anggota TNI Pasal 1 angka 22 dan Pasal lainnya dalam RPerpres,


berbeda dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang
menggunakan istilah Prajurit TNI (Bab VII).

3.

Fasilitas pelayanan kesehatan Pasal 1 angka 18 , istilah provider


dalam Pasal Pasal 36 ayat(2)dan istilah fasilitas kesehatan Bab VIII RPerpres.
Undang-Undang SJSN menggunakan istilah fasilitas kesehatan dalam Pasal 23
ayat (1), ayat(2) Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2).

4.

Kartu Peserta dalam Pasal 13 ayat (6) dan Pasal 21 R Perpres, tidak
diatur dalam Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS. Sebaliknya,
Pasal 15 ayat(1) Undang-Undang BPJS dan Pasal 13 huruf a Undang-Undang
BPJS mewajibkan BPJS memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta.

5.

Penarikan Iuran dalam Pasal 30 RPerpres, tidak dikenal dalam UndangUndang SJSN maupun dalam Undang-Undang BPJS yang menggunakan istilah
memungut, membayar, membayarkan, menyetor, memungut dan mengumpulkan,
menerima bantuan Iuran, dan menagih pembayaran iuran.

6.

Sumber Iuran dalam judul bagian kesatu Bab V tidak konsisten dengan
bunyi Pasal 22 RPerpres. Sebaliknya, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang BPJS
menggunakan istilah ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.

7.

BPJS dalam Pasal 11 ayat(3), Pasal12, Pasal 13 dll, dan BPJS


pelaksana program jaminan kesehatan dalam Pasal 62 R Perpres, seharusnya
secara konsisten ditulis BPJS Kesehatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1
angka 2 RPerpres.

8.

Pengelompokan peserta jaminan kesehatan dalam Pasal 5 RPerpres ke


dalam peserta penerima bantuan iuran dan peserta bukan penerima bantuan
iuran. Peserta bukan penerima bantuan iuran dikelompokkan lagi menjadi
peserta pekerja penerima upah dan keluarganya, peserta pekerja yang tidak
menerima upah yang mampu membayar iuran dan keluarganya dan peserta
bukan pekerja yang mampu membayar iuran dan keluargannya. Hal tersebut
tidak konsisten dengan ketentuan Pasal Pasal 27 Undang-Undang SJSN yang
mengelompokkan peserta menjadi peserta penerima upah, peserta yang tidak
menerima upah dan penerima bantuan iuran. Setiap pemberi kerjadalam
Pasal 13 ayat(1) sedangkan Pasal 13 ayat (3) R Perpres mengunakan istilah
seluruh pemberi kerjadalam Pasal 13 ayat (3) .
4. Materi muatan bertentangan/tidak sesuai dengan UU SJSN/UU BPJS
Masih terdapat materi muatan RPerpres tentang Jaminan Kesehatan yang
bertentangan/tidak sesuai dengan Undang-Undang SJSN atau Undang-Undang
BPJS.
Materi muatan R Perpres tentang Jaminan Kesehatan yang bertentangan/tidak
sesuai dengan Undang-Undang SJSN, atau Undang-Undang BPJS antara lain:
(1) Penerima manfaat
Pasal 9 RPerpres mengenai anggota keluarga peserta tidak dibatasi jumlahnya,
bertentangan dengan Penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang SJSN yang
membatasi jumlah anggota keluarga sebanyak-banyaknya 5 (lima orang) terdiri

dari istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah dan
anak angkat yang sah.
(2) Kewajiban Fasilitas Kesehatan
Pasal 12 ayat (3) RPerpres yang mewajibkan fasilitas kesehatan memberi tahu
peserta dan atau kantor BPJS terdekat apabila mendapatkan perubahan status
peserta, bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang SJSN
yang menentukan bahwa fasilitas kesehatan yang menjalin kerjasama dengan
BPJS bertugas memberikan manfaat jaminan kesehatan kepada peserta. UU SJSN
tidak mengatur kewajiban fasilitas kesehatan untuk memberitahu perubahan status
peserta, melainkan perubahan status peserta menjadi urusan BPJS dan/atau
pemberi kerja.
(3) Iuran Tambahan
Pasal

25

ayat(1)

dan

ayat

(2)

RPerpres

yang

mewajibkan

peserta

mengikutsertakan anggota keluarganya yang lain, bertentangan dengan Pasal 28


ayat (1) Undang-Undang SJSN yang menentukan Pekerja yang memiliki anggota
keluarga lebih dari 5 (lima ) orang yang ingin mengikutsertakan anggota
keluarganya wajib membayar tambahan iuran. Ketentuan Undang-Undang
tersebut tidak mewajibkan Pekerja untuk mengikutsertakan anggota keluarganya
yang lain sebagai peserta jaminan kesehatan. Tetapi jika ia mengikutsertakannya,
maka ia wajib membayar tambahan iuran.

Pasal 25 ayat (3) huruf c dan d memperluas Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undangundang SJSN yang menyatakan Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang
lain dalam ketentuan ini adalah anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu, mertua.
Untuk mengikutsertakan orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut, dapat diatur mutatis mutandis seperti
pekerja penerima upah.
(4) Kelas Perawatan di Rumah Sakit
Pasal 34 RPerpres yang mengatur mengenai kelas perawatan untuk rawat inap
bagi peserta bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang
SJSN yang menentukan Dalam hal peserta mebutuhkan rawat inap di rumah
sakit maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.
Ketentuan tersebut harus dihubungkan dengan prinsip ekuitas jaminan kesehatan
yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang SJSN. RPerPres harus
menetapkan kriteria kelas standar sebagai dasar hukum bagi BPJS Kesehatan
berkontrak dengan fasilitas kesehatan, misalnya luas ruang rawat perorang dan
fasilitas yang tersedia di ruang rawat untuk setiap pasen. Penetapan kelas dengan
menggunakan angka (kelas 2 atau kelas 3) akan menimbulkan ketidakjelasan
dalam praktik.
(5) Urun Biaya
Pasal 37 R Perpres mengenai urun biaya belum konsisten menjabarkan ketentuan
Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang SJSN yang menentukan bahwa untuk jenis
pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta

dikenakan urun biaya.

Jenis pelayanan dimaksud adalah pelayanan yang

membuka peluang moral hazard (sangat dipengaruhi oleh selera dan perilaku
peserta), misalnya pemakaian suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis. Urun biaya dikenakan kepada setiap
peserta yang meminta jenis pelayanan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 Undang-Undang SJSN.
(6) Kontrak BPJS dengan Fasilitas Kesehatan
Pasal 48 ayat (2) RPerpres yang mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah dan pemerintah daerah bekerjasama dengan BPJS bertentangan
dengan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang SJSN yang tidak mewajibkan fasilitas
kesehatan milik pemerintah atau swasta untuk bekerjasama dengan BPJS. Secara
hukum kerjasama dimaksud menghendaki adanya kesepakatan diantara para
pihak.
Selain itu Pasal 48 ayat (2) RPerpres tidak harmonis dengan Pasal 48 ayat (4)
RPerpres yang menentukan kerjasama dikaksanakan dengan membuat perjanjian
tertulis antara BPJS dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 51 ayat (1) RPerpres yang memberi kewenangan kepada DJSN untuk
menetapkan kriteria yang terstandar bagai fasilitas pelayanan kesehatan yang akan
mengikuti seleksi, bertentangan dengan Pasal 7 Undang-Undang SJSN yang
menentukan tugas DJSN adalah melakukan kajian dan penelitian, mengusulkan
kebijakan investasi, mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan

iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada pemerintah, dan kewenangan


melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial.
(7) Penanganan Keluhan
Pasal 57 ayat (3) mengenai penyampaian keluhan kepada DJSN tidak sesuai
dengan fungsi,tugas dan wewenang DJSN sebagaimana diatur dalam Pasal 7
Undang-Undang SJSN.
Bab X R Perpres tentang Penanganan Keluhan tidak sesuai dengan Pasal 48
Undang-Undang BPJS yang menentukan Ketentuan mengenai unit pengendali
mutu dan penanganan pengaduan peserta diatur dalam Peraturan BPJS.
(8) Penanganan Sengketa
Bab XI R Perpres tentang Penyelesaian Sengketa, tidak sesuai dengan Pasal 49
ayat(5) Undang-Undang BPJS yang menentukan Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan disini adalah Undang-Undang tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang BPJS menentukan mekanisme mediasi
dilakukan melalui bantuan mediator yang disepakati oleh kedua belah pihak
secara tertulis. Bukan diselesaikan oleh Dinas Kesehatan setempat melalui proses
mediasi sebagaimana diatur dalam pasal 58 ayat (1) RPerpres. Undang-Undang
BPJS tidak mendelegasikan pengaturan soal tersebut dalam Perpres. Apalagi

materi muatannya tidak sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang BPJS dan


Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan
Penyelesaian Sengketa.
(9) Pengundangan
Pasal 65 RPerpres bertentangan dengan Pasal 82 undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
menentukan antara lain bahwa Perpres diundangkan dalam Lembaran Negara RI.
5. Ketidaksesuaian Materi Muatan Dengan Prinsip SJSN
Salah satu contoh ketidaksesuaian materi muatan dengan prinsip SJSN adalah
ketentuan mengenai iuran dan manfaat jaminan kesehatan.
(1) Iuran
Iuran bersifat regresif. Batas atas upah sebagai dasar perhitungan iuran sangat
rendah, sehingga Pekerja yang berpenghasilan di atas batas tersebut membayar
lebih kecil jika dibandingkan secara proporsional terhadap pendapatannya.
Batas bawah upah untuk perhitungan iuran tidak ditentukan. Selain itu tidak
ditetapkan pula batas penghasilan bagi penduduk yang dibebaskan dari kewajiban
membayar iuran jaminan kesehatan dan berhak atas subsidi iuran dari Pemerintah.
Dasar perhitungan iuran berbeda untuk tiap kelompok pekerja, sehingga terkesan
mengistimewakan kelompok tertentu. Dasar perhitungan iuran jaminan kesehatan
bagi pegawai negeri adalah gaji pokok, sedangkan iuran pekerja dihitung dari
upah yang dalam ketentuan umum termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga.

Besaran iuran bagi pekerja bukan penerima upah ditetapkan dalam satu angka
nominal. Penetapan ini tidak mencermati rentang penghasilan yang lebar dalam
kelompok pekerja ini. Besar iuran yang wajib dibayarkan oleh Pemerintah bagi
Penerima Bantuan Iuran ditetapkan dalam angka nominal tanpa dibatasi dengan
ketentuan sekurang-kurangnya sama dengan besar iuran terendah yang dibayar
oleh pekerja. Kedua ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadilan.
Oleh karena hal tersebut di atas, Besaran iuran dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat
(4) RPerpres perlu dihitung secara cermat dengan memperhatikan prinsip ekuitas
dan prinsip gotong-royong, inflasi pelayanan kesehatan, luas dan dalamnya
manfaat, kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan, serta kelangsungan
penyelenggaraan program jaminan kesehatan.
(2) Manfaat
Manfaat sangat terbuka, tidak ada batasan yang jelas maupun tegas. RPerpres
perlu mengatur pagu manfaat total untuk setahun dengan sub-sub pagunya agar
lebih memberi kepastian kepada setiap peserta dan menjamin kelangsungan
penyelenggaraan program.
PerPres memuat daftar manfaat (positive list) dan daftar pengecualian (negative
list), bagimana dengan pelayanan yang tidak tercantum dalam kedua daftar
tersebut? Ketidaklengkapan daftar akan menyulitkan dalam praktek. Berbeda
halnya jika PerPres menganut teori residu, yaitu PrePres menentukan di luar jenis
pelayanan yang tidak dijamin berarti dijamin.

Pasal 26 Undang-Undang SJSN menentukan Jenis-jenis pelayanan yang tidak


dijamin BPJS akan diatur lebih lanjut dalam Perpres. Dalam RPerpres diatur
pelayanan kesehatan yang dijamin, pelayanan kesehatan dengan urun biaya dan
pelayanan kesehatan yang tidak dijamin (Pasal 36,Pasal 37 dan Pasal 39).
Ketentuan Pasal-Pasal tersebut belum sesuai dengan kaidah jaminan kesehatan
sehingga perlu dikaji secara seksama, terutama untuk menentukan kriteria jenis
pelayanan yang dijamin, yang dengan urun biaya dan yang tidak dijamin sesuai
dengan prinsip pelayanan kesehatan dalam SJSN.
Hendaknya dalam menentukan jenis pelayanan kesehatan yang tidak dijamin,
PerPres mentapkan daftar pelayanan berdasarkan kriteria jenis penyakit dan
metode terapi, seperti halnya menetapkan daftar manfaat.
6. Ketentuan yang ambigu.
Dalam RPerpres masih terdapat ketentuan yang ambigu antara lain:
1.

Bagaimana tata cara pemungutan iuran WNI yang berada di luar negeri?
Apakah pemberi kerja tempat WNI yang bersangkutan bekerja wajib memungut
iuran dari pekerjanya dan membayar iuran yang menjadi kewajiban pemberi kerja
dan menyetorkannya kepada BPJS? Atau iuran dipungut dan disetorkan ke BPJS
oleh perusahaan pengirim tenaga kerja yang bersangkutan? Apakah pemberi kerja
WNI di Negara lain tunduk kepada ketentuan Undang-Undang SJSN dan UndangUndang BPJS?

2.

Tidak jelas siapa yang wajib mendaftar menurut Pasal 8 ayat (3) RPerpres?
Peserta pekerja penerima upah atau pemberi kerjanya?

3.

Pasal 10 ayat (3) RPerpres tidak jelas menetapkan siapa yang dimaksud
dengan pemerintah dalam ayat ini.

4.

Pasal 11 ayat (3) RPerpres tidak jelas menetapkan siapa yang dimaksud
dengan Kementerian/lembaga terkait ?

5.

Tidak jelas siapa atau insstansi mana yang menentukan peserta yang tidak
menerima upah termasuk secara ekonomi mampu sebagai, mana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) RPerpres?

6.

Tidak jelas siapa yang membentuk kelompok sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 14 ayat (2)? Apakah kelompok dimaksud harus berbentuk badan
hukum atau cukup kelompok sukarela yang dibentuk diantara peserta?

7.

Peraturan perundang-undangan mana yang dimaksud dalam pasal 15


RPerpres? Apakan PP tentang PBI?

8.

Pasal 24 RPerpres tidak jelas maksudnya.

9.

Pasal 25 ayat (1) tanpa penempatan tanda baca yang tepat dapat berubah
pengertiannya mejadi Peserta bukan pekerja yang mampu membayar iuran,
sehingga ayat tersebut menjadi tidak logis.

10.

Pasal 26 RPerpres apakah tidak perlu ditetapkan batas atasnya?

11.

Apa yang dimaksud dengan secara berkala dalam pasal 27 ayat (6) R
Perpres?

12.

Apa yang dimaksud dengan sesegera mungkin dalam Pasal 30 ayat (2)?

13.

Mengapa Pasal 30 ayat (3) tidak mencantumkan kewenangan BPJS untuk


menagih pembayaran iuran sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf a UndangUndang BPJS?

14.

Pasal 36 angka 11 RPerpres tidak jelas menentukan diatur lebih lanjut oleh
siapa dengan instrumen hukum apa?

15.

Pasal 39 ayat(1) huruf RPerpres diatur oleh pemerintah, tidak jelas siapa
yang dimaksud dengan pemerintah dan tidak jelas juga dengan instrumen hukum
apa diatur?

16.

Tidak jelas tenaga apa yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) RPerpres?

17.

Pasal 46 RPerpres apakah terkait dengan mutu pelayanan? Sebab Pasal


tersebut berbicara masalah kompensasi jasa medis atau gaji yang sama bagi
pemberi pelayanan tanpa memandang kelas pelayanan.
7. lain-lain

1.

Perlu dikaji secara yuridis apakan Peraturan Presiden ini dapat


memberikan delegasi kewenangan kepada BPJS untuk mengatur atas persetujuan
DJSN (Pasal 22 ayat (5), Pasal 37 ayat (3), Pasal 40 ayat (2), atau tanpa
persetujuan DJSN (Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat (3), Pasal 21 ayat (5), Pasal 35
ayat(3), Pasal 36 ayat (1) huruf c angka 1 dan 3, Pasal 38 ayat (2) R Perpres selain
kewenangan mengatur yang ditentukan dalam Undang-Undanag BPJS?

2.

Apakah dikenal jenis peraturan perundang-undangan dalam bentuk


peraturan bersama BPJS dan DJSN sebagaiman ditentukan dalam Pasal 43 ayat
(3) RPerpres?

3.

Bab XII Pembinaan dan pengawasan RPerpres tidak termasuk materi


muatan yang didelegasikan pengaturannya dalam Perpres.

4.

Pasal 50 ayat (1) RPerpres yang mencantumkan Ikatan Dokter Indonesia


dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia sebagai asosiasi fasilitas kesehatan untuk

dokter praktek pribadi tidak sesuai dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentak Praktik
Kedokteran, yang menentukan organisasi tersebut sebagai organisasi profesi yang
berfungsi melakukan pembinaan terhadap dokter dan dokter gigi yang melakukan
praktik kedokteran.
5.

Pasal 50 ayat (2) RPerpres yang menentukan pengaturan dengan Peraturan


Menteri mengenai asosiasi fasilitas kesehatan untuk rumah sakit dan fasilitas
kesehatan yang lain di luar ketentuan Pasal 50 ayat (1) tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan tentang perhimpunan berbadan hukum.

PERLU DIBEDAH DAN DIRUMUSKAN ULANG


RPerpres yang kini sedang digodog oleh Pemerintah belum layak untuk
diundangkan. Materi muatan RPerpres tentang Jaminan Kesehatan masih sarat
dengan berbagai masalah. Masalah sangat luas dan dalam, baik dilihat dari teknik
penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, maupun dari kesesuaian materi
muatannya dengan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS serta
dengan prinsip penyelenggaraan jaminan kesehatan.
Jika ingin Perpres tersebut operasional, efektif dan memberi manfaat yang lebih
baik bagi peserta, RPerpres tentang Jaminan Kesehatan perlu dibedah secara
cermat dan dirumuskan ulang. Libatkan pemangku kepentingan, para ahli dan
perancang peraturan perundang-undangan yang berpengalaman.
Masyarakat menunggu diundangkannya Perpres tentang Jaminan Kesehatan
dengan harapan yang tinggi, yaitu adanya regulasi yang jelas, operasional dan

efektif, untuk memberikan manfaat pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas


dan komprehensif kepada seluruh penduduk, dan kepastian hukum bagi BPJS
Kesehatan dan fasilitas kesehatan.
Sangat

disayangkan,

jika window

of

opportunity yang

disediakan

oleh

UUSJSNtidak dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk penataan ulang pelayanan


kesehatan perorangan di Indonesia. Melalui program jaminan kesehatan nasional,
diharapkan segera terwujud cakupan semesta (universal coverage) pelayanan
kesehatan untuk peningkatan ketersediaan pelayanan berkualitas yang dapat
berdampak pada peningkatan derajat kesehatan dan produktifitas bangsa
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://arsipkebijakankesehatanindonesia.net/?q=node/196
Diakses pada tanggal 26 Mei 2016.
2. http://fppk08.blogspot.com/2012/04filsafat-pemerintahanmenurut-plato-427.html Diakses pada tanggal 26 Mei 2016.
3. http://www.bpjs-kesehatan.go.id Diakses pada tanggal 26 Mei
2016.

Anda mungkin juga menyukai