Namun
demikian,
skema-skema
tersebut
masih
dilaksanakan, baik yang tadinya pro maupun yang tadinya kontra terhadap
suatu isi atau pengaturan. Setelah disetujui DPR, wakil rakyat, maka
rumusan suatu UU mengikat semua pihak. Sangatlah tidak layak dan tidak
matang, apabila UU tersebut sudah divonis tidak mengakomodir
kepentingan
kita,
sebelum
UU
itu
dilaksanakan.
Kita
harus
medis.
BPJS Kesehatan kemudian mengatur petunjuk teknis mengenai peraturan
tersebut dengan menerbitkan Peraturan Direksi Nomor 211 Tahun 2014
di mana BPJS memberikan kelonggaran masa aktivasi sepekan yang
khusus diwajibkan hanya untuk peserta kelas I dan II. Sementara peserta
BPJS Kesehatan golongan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari kalangan
tidak mampu dan kelas III bisa langsung mendapatkan manfaat begitu
kartu diaktivasi.
Regulasi di revisinya Permenkes69/2013 tentang biaya INA-CBGs/
kapitasi dengan cepat menjadi Permenkes Nomor 59/2014 dimana
terdapat banyak masalah, karena ada beberapa paket biaya yang
dikurangi. Permenkes 59 ini juga berpotensi membuat masalah di
lapangan. Rendahnya biaya paket INA-BCGs dan kapitasi menyebabkan
pelayanan kesehatan RS, klinik dan puskesmas banyak alakadarnya dan
akhirnya menyebabkan rakyat menjadi susah. Banyak pasien yang harus
mengantri untuk dilayani rawat inap, pasien harus bayar obat dan banyak
admin RS yang merupakan dampak dari biaya paket yang rendah. Hal ini
PP 49/2013, Akibat
masyarakat.
Pasal 9 RPerpres mengenai anggota keluarga peserta tidak dibatasi
jumlahnya, bertentangan dengan Penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-
Undang SJSN yang membatasi jumlah anggota keluarga sebanyakbanyaknya 5 (lima orang) terdiri dari istri/suami yang sah, anak kandung,
anak tiri dari perkawinan yang sah dan anak angkat yang sah
Pasal 12 ayat (3) RPerpres yang mewajibkan fasilitas kesehatan
memberi tahu peserta dan atau kantor BPJS terdekat apabila
mendapatkan perubahan status peserta, bertentangan dengan ketentuan
Pasal 23 ayat (1) Undang-undang SJSN yang menentukan bahwa fasilitas
kesehatan yang menjalin kerjasama dengan BPJS bertugas memberikan
manfaat jaminan kesehatan kepada peserta. UU SJSN tidak mengatur
kewajiban fasilitas kesehatan untuk memberitahu perubahan status
peserta, melainkan perubahan status peserta menjadi urusan BPJS
Undang-Undang
SJSN
yang
menentukan
Dalam
hal
peserta
pengguna BPJS.
Pasal 26 Undang-Undang SJSN menentukan Jenis-jenis pelayanan yang
tidak dijamin BPJS akan diatur lebih lanjut dalam Perpres. Dalam
RPerpres diatur pelayanan kesehatan yang dijamin, pelayanan kesehatan
dengan urun biaya dan pelayanan kesehatan yang tidak dijamin (Pasal
36,Pasal 37 dan Pasal 39). Ketentuan Pasal-Pasal tersebut belum sesuai
dengan kaidah jaminan kesehatan sehingga perlu dikaji secara seksama,
terutama untuk menentukan kriteria jenis pelayanan yang dijamin, yang
dengan urun biaya dan yang tidak dijamin sesuai dengan prinsip
pelayanan kesehatan dalam SJSN. Hendaknya dalam menentukan jenis
pelayanan kesehatan yang tidak dijamin, PerPres mentapkan daftar
pelayanan berdasarkan kriteria jenis penyakit dan metode terapi, seperti
halnya menetapkan daftar manfaat.
itu kita
kembali ke tujuan awal yaitu BPJS diadakan guna untuk memberikan jaminan
kesehatan nasional untuk meringankan dan mempermudah akses kesehatan
masyarakat. Adapun kelebihan dari di terbitkannnya BPJS antara lain yaitu :
D. Kesimpulan
Kegotongroyongan;
b.
c.
d.
Bersifat nirlaba.
Prinsip ekuitas, yaitiu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah
dibayarkannya.
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan seharusnya mengatur secara teknis
operasional dan komprehensif ketentuan Pasal-Pasal Undang-Undang SJSN dan
Kesehatan.
SARAT MASALAH
Meskipun Pemerintah telah berupaya menjabarkan ketentuan pokok mengenai
Jaminan Kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang SJSN dan UndangUndang BPJS, namun Rancangan Peraturan Presiden yang kini sedang dibahas
dikalangan Pemerintah masih sarat masalah (versi Juli 2012).
Permasalahan yang menonjol antara lain sebagai berikut.
1. Tujuan yang ingin dicapai tidak Jelas
Penyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan masih
gamang dalam merumuskan tujuan pembentukan Peraturan Presiden tentang
Jaminan Kesehatan. Penyususun terkesan sekedar ingin memenuhi formalitas
membentuk Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan sesuai dengan tenggat
waktu yang ditentukan dalam Undang-Undangn BPJS.
Padahal menurut Veda R Charrow c.s. (Clear and Effective Legal Writing,
1995:86)
One of the first steps in planning any document is to list every purpose
you have for writing that document. Start by thinking abaut your
ultimate purposes for the document.
Tujuan srategis dari pembentukan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan
belum tampak. Akibatnya penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tersebut
meminjam kata-kata Veda R.Charrow like trying to plot a route, on a road map
without knowing your destination.
PerPres Jaminan Kesehatan sesungguhnya merupakan peluang emas untuk
memperbaiki mekanisme penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia
secara menyeluruh dan sistematis.
2. Sistimatika tidak Logis
Sistimatika Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan, belum
tersusun dalam alur yang sistimatis menurut sekuen yang logis. Masih terdapat
lompatan-lompatan dari satu bab ke bab lainnya atau dari satu bagian ke bagian
lainnya, bahkan dari satu ide ke ide yang lain.
Misalnya, mengenai pengaturan peserta bukan Penerima Bantuan Iuran, belum
tuntas diatur sudah dilanjutkan dengan pengaturan kepesertaan bersifat wajib dan
dikembangkan secara bertahap. Kemudian dilanjutkan dengan Bagian yang
mengatur anggota keluarga peserta.
Ikhwal pentahapan peserta kembali diatur dalam Bab lain yang mengatur
mengenai Pendaftaran Peserta.
Contoh lainnya ialah Bab tentang Manfaat Jaminan yang diawali dengan
pengaturan mengenai Manfaat Dasar, tanpa uraian yang jelas mengenai
cakupannya, kemudian dilanjutkan dengan Bagian Penyelenggaraan.
Contoh lainnya lagi, Bab VIII tentang Fasilitas Kesehatan sistimatikanya
melompat-lompat.
Sistimatika
Rancangan
Peraturan
Presiden
tentang
Jaminan
Kesehatan
2.
3.
4.
Kartu Peserta dalam Pasal 13 ayat (6) dan Pasal 21 R Perpres, tidak
diatur dalam Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS. Sebaliknya,
Pasal 15 ayat(1) Undang-Undang BPJS dan Pasal 13 huruf a Undang-Undang
BPJS mewajibkan BPJS memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta.
5.
Penarikan Iuran dalam Pasal 30 RPerpres, tidak dikenal dalam UndangUndang SJSN maupun dalam Undang-Undang BPJS yang menggunakan istilah
memungut, membayar, membayarkan, menyetor, memungut dan mengumpulkan,
menerima bantuan Iuran, dan menagih pembayaran iuran.
6.
Sumber Iuran dalam judul bagian kesatu Bab V tidak konsisten dengan
bunyi Pasal 22 RPerpres. Sebaliknya, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang BPJS
menggunakan istilah ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
7.
8.
dari istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah dan
anak angkat yang sah.
(2) Kewajiban Fasilitas Kesehatan
Pasal 12 ayat (3) RPerpres yang mewajibkan fasilitas kesehatan memberi tahu
peserta dan atau kantor BPJS terdekat apabila mendapatkan perubahan status
peserta, bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang SJSN
yang menentukan bahwa fasilitas kesehatan yang menjalin kerjasama dengan
BPJS bertugas memberikan manfaat jaminan kesehatan kepada peserta. UU SJSN
tidak mengatur kewajiban fasilitas kesehatan untuk memberitahu perubahan status
peserta, melainkan perubahan status peserta menjadi urusan BPJS dan/atau
pemberi kerja.
(3) Iuran Tambahan
Pasal
25
ayat(1)
dan
ayat
(2)
RPerpres
yang
mewajibkan
peserta
Pasal 25 ayat (3) huruf c dan d memperluas Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undangundang SJSN yang menyatakan Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang
lain dalam ketentuan ini adalah anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu, mertua.
Untuk mengikutsertakan orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut, dapat diatur mutatis mutandis seperti
pekerja penerima upah.
(4) Kelas Perawatan di Rumah Sakit
Pasal 34 RPerpres yang mengatur mengenai kelas perawatan untuk rawat inap
bagi peserta bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang
SJSN yang menentukan Dalam hal peserta mebutuhkan rawat inap di rumah
sakit maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.
Ketentuan tersebut harus dihubungkan dengan prinsip ekuitas jaminan kesehatan
yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang SJSN. RPerPres harus
menetapkan kriteria kelas standar sebagai dasar hukum bagi BPJS Kesehatan
berkontrak dengan fasilitas kesehatan, misalnya luas ruang rawat perorang dan
fasilitas yang tersedia di ruang rawat untuk setiap pasen. Penetapan kelas dengan
menggunakan angka (kelas 2 atau kelas 3) akan menimbulkan ketidakjelasan
dalam praktik.
(5) Urun Biaya
Pasal 37 R Perpres mengenai urun biaya belum konsisten menjabarkan ketentuan
Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang SJSN yang menentukan bahwa untuk jenis
pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta
membuka peluang moral hazard (sangat dipengaruhi oleh selera dan perilaku
peserta), misalnya pemakaian suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis. Urun biaya dikenakan kepada setiap
peserta yang meminta jenis pelayanan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 Undang-Undang SJSN.
(6) Kontrak BPJS dengan Fasilitas Kesehatan
Pasal 48 ayat (2) RPerpres yang mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah dan pemerintah daerah bekerjasama dengan BPJS bertentangan
dengan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang SJSN yang tidak mewajibkan fasilitas
kesehatan milik pemerintah atau swasta untuk bekerjasama dengan BPJS. Secara
hukum kerjasama dimaksud menghendaki adanya kesepakatan diantara para
pihak.
Selain itu Pasal 48 ayat (2) RPerpres tidak harmonis dengan Pasal 48 ayat (4)
RPerpres yang menentukan kerjasama dikaksanakan dengan membuat perjanjian
tertulis antara BPJS dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 51 ayat (1) RPerpres yang memberi kewenangan kepada DJSN untuk
menetapkan kriteria yang terstandar bagai fasilitas pelayanan kesehatan yang akan
mengikuti seleksi, bertentangan dengan Pasal 7 Undang-Undang SJSN yang
menentukan tugas DJSN adalah melakukan kajian dan penelitian, mengusulkan
kebijakan investasi, mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan
Besaran iuran bagi pekerja bukan penerima upah ditetapkan dalam satu angka
nominal. Penetapan ini tidak mencermati rentang penghasilan yang lebar dalam
kelompok pekerja ini. Besar iuran yang wajib dibayarkan oleh Pemerintah bagi
Penerima Bantuan Iuran ditetapkan dalam angka nominal tanpa dibatasi dengan
ketentuan sekurang-kurangnya sama dengan besar iuran terendah yang dibayar
oleh pekerja. Kedua ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadilan.
Oleh karena hal tersebut di atas, Besaran iuran dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat
(4) RPerpres perlu dihitung secara cermat dengan memperhatikan prinsip ekuitas
dan prinsip gotong-royong, inflasi pelayanan kesehatan, luas dan dalamnya
manfaat, kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan, serta kelangsungan
penyelenggaraan program jaminan kesehatan.
(2) Manfaat
Manfaat sangat terbuka, tidak ada batasan yang jelas maupun tegas. RPerpres
perlu mengatur pagu manfaat total untuk setahun dengan sub-sub pagunya agar
lebih memberi kepastian kepada setiap peserta dan menjamin kelangsungan
penyelenggaraan program.
PerPres memuat daftar manfaat (positive list) dan daftar pengecualian (negative
list), bagimana dengan pelayanan yang tidak tercantum dalam kedua daftar
tersebut? Ketidaklengkapan daftar akan menyulitkan dalam praktek. Berbeda
halnya jika PerPres menganut teori residu, yaitu PrePres menentukan di luar jenis
pelayanan yang tidak dijamin berarti dijamin.
Bagaimana tata cara pemungutan iuran WNI yang berada di luar negeri?
Apakah pemberi kerja tempat WNI yang bersangkutan bekerja wajib memungut
iuran dari pekerjanya dan membayar iuran yang menjadi kewajiban pemberi kerja
dan menyetorkannya kepada BPJS? Atau iuran dipungut dan disetorkan ke BPJS
oleh perusahaan pengirim tenaga kerja yang bersangkutan? Apakah pemberi kerja
WNI di Negara lain tunduk kepada ketentuan Undang-Undang SJSN dan UndangUndang BPJS?
2.
Tidak jelas siapa yang wajib mendaftar menurut Pasal 8 ayat (3) RPerpres?
Peserta pekerja penerima upah atau pemberi kerjanya?
3.
Pasal 10 ayat (3) RPerpres tidak jelas menetapkan siapa yang dimaksud
dengan pemerintah dalam ayat ini.
4.
Pasal 11 ayat (3) RPerpres tidak jelas menetapkan siapa yang dimaksud
dengan Kementerian/lembaga terkait ?
5.
Tidak jelas siapa atau insstansi mana yang menentukan peserta yang tidak
menerima upah termasuk secara ekonomi mampu sebagai, mana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) RPerpres?
6.
7.
8.
9.
Pasal 25 ayat (1) tanpa penempatan tanda baca yang tepat dapat berubah
pengertiannya mejadi Peserta bukan pekerja yang mampu membayar iuran,
sehingga ayat tersebut menjadi tidak logis.
10.
11.
Apa yang dimaksud dengan secara berkala dalam pasal 27 ayat (6) R
Perpres?
12.
Apa yang dimaksud dengan sesegera mungkin dalam Pasal 30 ayat (2)?
13.
14.
Pasal 36 angka 11 RPerpres tidak jelas menentukan diatur lebih lanjut oleh
siapa dengan instrumen hukum apa?
15.
Pasal 39 ayat(1) huruf RPerpres diatur oleh pemerintah, tidak jelas siapa
yang dimaksud dengan pemerintah dan tidak jelas juga dengan instrumen hukum
apa diatur?
16.
Tidak jelas tenaga apa yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) RPerpres?
17.
1.
2.
3.
4.
dokter praktek pribadi tidak sesuai dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentak Praktik
Kedokteran, yang menentukan organisasi tersebut sebagai organisasi profesi yang
berfungsi melakukan pembinaan terhadap dokter dan dokter gigi yang melakukan
praktik kedokteran.
5.
disayangkan,
jika window
of
opportunity yang
disediakan
oleh
DAFTAR PUSTAKA
1. http://arsipkebijakankesehatanindonesia.net/?q=node/196
Diakses pada tanggal 26 Mei 2016.
2. http://fppk08.blogspot.com/2012/04filsafat-pemerintahanmenurut-plato-427.html Diakses pada tanggal 26 Mei 2016.
3. http://www.bpjs-kesehatan.go.id Diakses pada tanggal 26 Mei
2016.