Anda di halaman 1dari 60

1

LAPORAN KASUS UJIAN


OBSTETRI

Nama : Giovanni Anggasta Sandy Wijaya


NPM : 111170029

Konsulen:
dr. Nunung Nurbaniwati , Sp. OG

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON
2016

BAB I
STATUS PASIEN
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. W

Umur

: 32 tahun

Alamat

: Pabuaran lor

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Agama

: Islam

Pendidikan terakhir

: SD

Status

: kawin

Tanggal pemeriksaan: 4 Mei 2016

II.

Nama Suami

: Tn. S

Umur

: 34 tahun

Alamat

: Pabuaran lor

Pekerjaan

: buruh pabrik

Agama

: islam

Pendidikan terakhir

: SMP

Status

: kawin

ANAMNESIS
- Keluhan Utama
: Tekanan darah tinggi
- Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD Kebidanan RSUD Waled Kabupaten Cirebon
pada tanggal 4 Mei 2016 pukul 11.00 WIB, G2P1A0 merasa hamil 9 bulan
dan diketahui memiliki tekanan darah tinggi sejak pagi ini saat kontrol di
PKM (TD 180/100). Riwayat tekanan darah tinggi sebelum dan selama
kehamilan disangkal. Keluhan ini tidak disertai dengan nyeri kepala,
pandangan kabur, nyeri ulu hati ataupun mual dan muntah.
Pasien juga mengeluhkan mulas-mulas seperti ingin melahirkan dan
dirasakan semakin sering dan bertambah kuat. Keluhan dirasakan sejak 7 jam

SMRS dan disertai keluar lendir bercampur sedikit darah dari jalan lahir.
Keluar air-air disangkal oleh pasien. Gerak janin masih aktif dirasakan
pasien. BAB (+), BAK (+) seperti biasa. Karena keluhan tersebut, pasien
memeriksakan diri ke PKM Poned Pabuaran lalu dirujuk ke RSUD Waled.
-

Riwayat Penyakit Ibu :


Jantung
Hepar
Ginjal
Paru
DM
Hipertensi

disangkal

Riwayat Operasi
Pasien menyangkal pernah melakukan operasi apapun

Riwayat Menstruasi
Pasien mengaku mendapatkan menstruasi sejak usia 14 tahun dengan
siklus yang teratur selama 7 hari. Dalam sehari pasien mengaku dapat
mengganti pembalutnya 2-3 kali.
HPHT
: 13 Agustus 2015
HPL
: 20 Mei 2016

Riwayat Obstetri
1. P1 : seorang anak laki-laki, hidup, lahir spontan, di bidan desa setempat
dengan BBL 3200 gr, cukup bulan, sekarang berusia 10 tahun.

Riwayat ANC
Setiap bulan ibu selalu kontrol kehamilan di bidan desa setempat.
Riwayat imunisasi TT pada kehamilan ini sudah di dapatkan sebanyak

2x di bidan desa.
Pasien juga mengaku sudah di USG di dr. Haris, Sp.OG pada usia
kehamilan 8 bulan dengan hasil USG letak kepala dibawah, placenta di
fundus, TBJ : 3280 gr, air ketuban (+).

Riwayat KB

Pasien menggunakan KB suntik 3 bulan setelah kelahiran anak ke dua


selama 6 bulan.
-

Riwayat Pernikahan
Pasien sudah menikah 11 tahun lamanya dengan satu kali menikah.
Pertama kali menikah pasien berusia 21 tahun dan suami 23 tahun.

Riwayat Ginekologi
Riwayat kanker, kista ovarium, mioma uteri, perdarahan pervaginam
diluar menstruasi disangkal.

III.

PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan Umum : tampak sakit sedang
- Kesadaran
: composmentis
- Tinggi badan
: 157 cm
- Berat badan
: 78 kg
- Tanda-tanda vital : TD. 180/110 mmHg
P. 92 x/menit

RR. 22x/menit
S. 36,7 C

Status Generalis
-

Kepala leher

: normocephal,chloasma gravidarum (-),

rambut berwarna hitam dan tidak mudah rontok


Mata : simetris, ca -/-, sl -/Hidung : deviasi (-) sekret (-) darah (-)
Telinga : simetris, darah (-) sekret (-)
Mulut : bibir sianosis (-), lidah kotor (-), karies (-) gusi
berdarah (-)
Leher : KGB membesar (-), JVP meningkat (-)
-

Thorak

Abdomen
Ekstremitas

: pulmo : VBS +/+ Rh -/- Wh -/Cor


: BJ I = BJ II reguler, M(-), G(-)
: cembung, BU (+), nyeri tekan (-), striae (+), jejas (-)
: akral hangat (+), edema (-), refleks patela (+/+) CRT < 2detik

Status Obstetrikus
- Pemeriksaan fisik luar :
o TFU
: 30 cm
o DJJ
: 148 x/menit, reguler
o His
: 1 x 10/10
o Palpasi :
Leopold I : persentasi bokong
Leopold II : punggung teraba di kiri, bagian kecil teraba di kanan
Leopold III : presentasi kepala

Pemeriksaan fisik dalam :


o V/V
: tidak ada kelainan
o VT : dinding vagina licin, portio tebal lunak, 1 cm, ketuban
-

IV.

Leopold IV : sudah masuk PAP (divergen)

(+), kepala station -1, sutura sagitalis sulit dinilai


Proteinuria dipstick : +1

RESUME
Perempuan datang ke IGD Kebidanan RSUD Waled Kabupaten Cirebon
pada tanggal 4 Mei 2016 pukul 11.00 WIB, G2P1A0 merasa hamil 9 bulan dan
diketahui memiliki tekanan darah tinggi sejak pagi ini saat kontrol di PKM (TD.
180/100). Riwayat tekanan darah tinggi sebelum dan selama kehamilan disangkal.
Ini tidak disertai dengan nyeri kepala, pandangan kabur, nyeri ulu hati. Keluhan
mules-mules dirasakan 7 jam SMRS dan disertai keluar lendir dan darah. Keluar
air-air disangkal. Gerak janin (+). Os menyangkal memiliki riwayat penyakit
sebelumnya

dan

menjalani

operasi

sebelumnya.

Os

mengaku

bahwa

menstruasinya lancar dan pertama kali mendapatkannya yaitu usia 14 tahun


dengan siklus yg teratur selama 7 hari dan dapat mengganti pembalut 2-3 kali
dalam sehari. Pada riwayat obstetri Os pernah melahirkan satu kali, seorang anak
laki-laki, hidup, lahir spontan, di bidan desa setempat dengan BBL 3200 gr, cukup
bulan, sekarang berusia 10 tahun. Riwayat ANC dilakukannya setiap bulan di
bidan desa setempat, imunisasi TT sudah dilakukannya dua kali pada kehamilan
saat ini dan sudah melakukan USG. Os juga mengaku sudah menikah 11 tahun
dalam usia 21 tahun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit sedang, kesadaran
composmentis, tekanan darah 180/110 mmHg, nadi 92 x/menit, respirasi 22
x/menit, suhu 36,7 C. Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal.
Pada pemeriksaan obstetrik di pemeriksaan luar didapatkan TFU 30 cm, DJJ 148
x/menit reguler, his 1x10/10. Pada pemeriksaan leopold I ditemukan presentasi
bokong, leopold II teraba punggung di sebelah kiri dan kanan berupa benda-benda
kecil, leopold III presentasi kepala, leopold IV divergen. Pada pemeriksaan dalam
ditemukan V/V tidak ada kelainan, VT ditemukan portio tebal lunak, pembukaan

1 cm, ketuban (+) kepaladi station -1, sutura sagitalis sulit dinilai. Pada
pemeriksaan proteinuria dipstick didapatkan hasil +1.
V.

DIAGNOSIS
G2P1A0 parturien aterm kala 1 fase laten dengan PEB.

VI.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium : darah lengkap dan urine lengkap
- USG

VII.

PENATALAKSANAAN
- Pasang DC
- IVFD 2 line (MgSO4 maintenance dan loading dose)
- MgSO4 loading dan maintenance dose
- Metildopa 3 x 500mg
- Rencana partus pervaginam dengan ekstraksi forcep
- Augmentasi drip oxytocin 5 IU + IVFD D5% 500cc 20-60tpm
- Observasi TTV, his, DJJ, jumlah pengeluaran urin

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi Hipertensi dalam Kehamilan


Yang dimaksud dengan preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai
proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera
setelah persalinan.
Sedangkan yang dimaksud dengan eklamsi adalah kelainan akut pada
preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandai dengan
timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem
saraf pusat). Ada pula istilah eclamsia sine eclampsia adalah eklamsi yang
ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa kejang.
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah
ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20
minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi kronis yang
diperberat oleh preeklamsi atau eklamsi adalah preeklamsi atau eklamsi yang
timbul pada hipertensi kronis dan disebut juga Superimposed Preeclampsia.
Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam
kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak
disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu
pascasalin.

2.2

Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan


Istilah hipertensi gestasional digunakan sekarang ini untuk menjelaskan
setiap bentuk hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. Istilah ini telah
dipilih untuk menekankan hubungan sebab dan akibat antara kehamilan dan
hipertensi preeklamsi dan eklamsi.
Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3
kategori yaitu hipertensi kronis, hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal
sebagai

pregnancy-induced hypertension), dan pre-eklamsi. Menurut The

International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP)


klasifikasi hipertensi pada wanita hamil dibagi menjadi :
1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan, atau
pada wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan non-proteinuri.
-

Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)

Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)

Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi)


2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal
kronis (proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu)

Hipertensi kronis (without proteinuria)

Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)

Hipertensi kronis dengn superimposed

Pre-eklamsi (proteinuria)
3.

Unclassified hypertension dan/atau proteinuria

4.

Eklampsia.
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the

NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu :


1. Hipertensi gestasional
2. Preeklamsi
3. Eklamsi
4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis
5. Hipertensi kronis.
2.3

Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan


Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan
mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadinya preeklamsi sukar
dicegah, tetapi berat dan terdinya eklamsi biasanya dapat dihindari dengan
mengenal secara dini penyakit tersebut dan dengan penanganan secara
sempurna.
Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff
setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada

posisi berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran


yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk
tenang 5-10 menit.
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat
140/90 mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk
menentukan tekanan darah diastolik.. Pada masa lalu, telah dianjurkan agar
peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg
digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur
di bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan
karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan
untuk mengalami efek samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan,
tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan
diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik
sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena
hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi. Oedem
dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai.
Sebagai catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun
eklamsi.
2.3.1

Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah
mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama
kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi gestasional disebut juga
transient hypertension jika preeklampsia tidak berkembang dan tekanan darah
telah kembali normal pada 12 minggu postpartum. Apabila tekanan darah naik
cukup tinggi selama setengah kehamilan terakhir, hal ini berbahaya terutama
untuk janin, walaupun proteinuria tidak pernah ditemukan. Seperti yang
ditegaskan oleh Chesley (1985), 10% eklamsi berkembang sebelum proteinuria
yang nyata diidentifikasi. Dengan demikian, jelas bahwa apabila tekanan darah
mulai naik, ibu dan janin menghadapi risiko yang meningkat. Proteinuria adalah

10

suatu tanda dari penyakit hipertensi yang memburuk, terutama preeklampsia.


Proteinuria yang nyata dan terus-menerus meningkatkan risiko ibu dan janin.
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :
-

TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.

Tidak ada proteinuria.

TD kembali normal < 12 minggu postpartum.

Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.

Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri


epigastrium atau trombositopenia.

2.3.2

Preeklamsi
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985)
menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya
proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24
jam, atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick)
secara persisten. Tingkat proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama
setiap periode 24 jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu
sampel acak bisa saja tidak membuktikan adanya proteinuria yang berarti.
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi adalah
hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang
abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan
kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan secara terus-menerus
gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan
kepastian tersebut.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat
nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul
Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik
transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri
kehamilan.
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk,
dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta

11

hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti


adanya

hemolisis

yang

luas

dengan

ditemukannya

hemoglobinemia,

hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang


berat.
Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi
jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang
nyata.
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
-

TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.

Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi :


-

TD 160/110 mmHg.

Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.

Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.

Trombosit <100.000/mm3.

Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).

peningkatan ALT atau AST.

Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.

Nyeri epigastrium persisten.


Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas
yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Semakin banyak ditemukan penyimpangan
tersebut, semakin besar kemungkinan harus dilakukan terminasi kehamilan.
Perbedaan antara preeklamsi ringan dan berat dapat sulit dibedakan karena
preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi berat.
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis

preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat


keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda
mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85
mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120
mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang cepat dan

12

diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau
gangguan visual.
Abnormalitas
Tekanan darah diastolik
Proteinuria
Sakit kepala
Nyeri perut bagian atas
Oliguria
Kejang (eklamsi)
Serum Kreatinin
Trombositopeni
Peningkatan enzim hati
Hambatan pertumbuhan janin
Oedem paru

< 100 mmHg


Trace - 1+
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Tidak ada
Minimal
Tidak ada
Tidak ada

110 mmHg
Persisten 2+
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Meningkat
Ada
Nyata
Nyata
Ada

Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan

2.3.3

Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara
general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada studi
terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, terutama nulipara, serangan tidak muncul
hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik,
banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi
yang lebih baru melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di
luar 48 jam postpartum (Chames dan kawan-kawan, 2002).

2.3.4

Superimposed Preeclampsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
-

Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada
sebelum kehamilan 20 minggu.

13

- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit


<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu.

2.3.5

Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
- Hipertensi ( 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
- Hipertensi ( 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada
penyakit trofoblastik.
- Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil
tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus,
hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada
beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum usia kehamilan
20 minggu mungkin merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan dialami
selama kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial merupakan
penyebab dari penyakit vaskular pada > 90% wanita hamil. Selain itu, obesitas
dan diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada beberapa wanita, hipertensi
berkembang sebagai konsekuensi dari penyakit parenkim ginjal yang mendasari.
Hipertensi esensial
Obesitas
Kelainan arterial :
Hipertensi renovaskular
Koartasi aorta
Gangguan-gangguan endokrin :
Diabetes mellitus
Sindrom cushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
Glomerulonephritis (akut dan kronis)
Hipertensi renoprival :
Glomerulonephritis kronis

14

Ketidakcukupan ginjal kronis


Diabetic nephropathy
Penyakit jaringan konektif :
Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa
Penyakit ginjal polikistik
Gagal ginjal akut
Tabel 2.2 Penyebab yang mendasari hipertensi kronis
Sedangkan klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat
dilihat pada tabel 2.3.
Klasifikasi
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
< 120
< 80
Pre hipertensi
120 139
80 89
Hipertensi stadium I
140 159
90 99
Hipertensi stadium II
160
100
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis
Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat
meningkat sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai
oleh proteinuria, maka preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis.
Preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis ini sering berkembang lebih awal
pada kehamilan daripada preeklamsi murni, dan hal ini cenderung akan menjadi
lebih berat dan sering menyebabkan

hambatan dalam pertumbuhan janin.

Indikator tentang beratnya hipertensi sudah diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan
digunakan juga untuk menggolongkan preeklamsi yang mendasari hipertensi
kronis tersebut.
2.4

Insidensi
Wanita kulit hitam memiliki kecenderungan mengalami preeklamsi
dibandingkan kelompok rasial lainnya, hal ini dikarenakan wanita kulit hitam
memiliki prevalensi yang lebih besar terhadap hipertensi kronis. Diantara wanita
yang berusia 30-39 tahun, hipertensi kronis terdapat pada 22,3% wanita kulit
hitam, 4,6% kulit putih, dan 6,2% pada wanita Amerika Meksiko.

15

Preeklamsi umumnya terjadi pada usia maternal ekstrim (< 18 tahun atau
> 35 tahun). Peningkatan prevalensi hipertensi kronis pada wanita > 35 tahun
dapat menjelaskan mengapa terjadi peningkatan frekuensi preeklamsi diantara
gravida tua.
Selain

itu,

meskipun

merokok

selama

kehamilan

dapat

menyebabkan berbagai hal yang merugikan, ironisnya merokok telah


dihubungkan secara konsisten dengan risiko hipertensi yang menurun
selama kehamilan. Placenta previa juga telah dilaporkan dapat
mengurangi risiko gangguan-gangguan hipertensi pada kehamilan.
Di Amerika Serikat angka terjadinya eklamsi telah menurun karena
sebagian besar wanita sekarang ini menerima perawatan prenatal yang cukup.
Misalnya, pada edisi 13 Williams Obstetrics (1976) selama periode 25 tahun
sebelumnya luas pengaruh dari eklamsi di Parkland Hospital adalah 7 dalam
799 kelahiran. Selama periode 4 tahun dari tahun 1983 sampai 1986, telah
menurun menjadi 1 dalam 1150 kelahiran, dan selama periode 3 tahun yang
berakhir pada tahun 1999, luasnya pengaruh eklamsi menurun kira-kira menjadi
1 dalam 1750 kelahiran (Alexander dan kawan-kawan, 2004). Dalam National
Vital Statistics Report, Ventura dan kawan-kawan (2000) memperkirakan bahwa
terjadinya eklamsi di Amerika Serikat pada tahun 1998 adalah sekitar 1 dalam
3250 kelahiran. Di Inggris pada tahun 1992, Douglas dan Redman (1994)
melaporkan bahwa terjadinya eklamsi adalah 1 dalam 2000 kelahiran.
2.5

Faktor Risiko
Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1.

Faktor risiko maternal :

Kehamilan pertama

Primipaternity

Usia < 18 tahun atau > 35 tahun

Riwayat preeklamsi

Riwayat preeklamsi dalam keluarga

Ras kulit hitam

Obesitas (BMI 30)

16

Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun.

2.

Faktor risiko medikal maternal :


-

Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis seperti


hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis
arteri renalis

Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan


komplikasi mikrovaskular

3.

Penyakit ginjal

Systemic Lupus Erythematosus

Obesitas

Trombofilia

Riwayat migraine

Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor > trimester I.

Faktor risiko plasental atau fetal :

Kehamilan multipel

Hidrops fetalis

Penyakit trofoblastik gestasional

Triploidi.

2.6

Etiologi
Setiap teori yang memuaskan tentang etiologi dan patofisiologi
preeklamsi harus menerangkan pengamatan bahwa hipertensi yang disebabkan
oleh kehamilan jauh lebih memungkinkan terjadi pada wanita yang :
1.

Terpapar vili korialis untuk pertama kalinya.

2.

Terpapar vili korialis yang berlimpah, pada gemeli atau mola hidatidosa.

3.

Memiliki penyakit vaskular yang telah ada sebelumnya.

4.

Secara genetik memiliki predisposisi terhadap hipertensi yang berkembang


selama kehamilan.

17

Tulisan-tulisan yang menjelaskan tentang eklamsia telah dibuat pada


tahun 2200 Sebelum Masehi (Lindheimer dan kawan-kawan, 1999). Dengan
demikian tidaklah heran bahwa sejumlah mekanisme telah dikemukakan untuk
menerangkan penyebabnya. Menurut Sibai (2003), sebab-sebab potensial yang
mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah sebagai berikut :
1.

Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus.

2.

Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin.

3.

Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari


kehamilan normal.

4.

Faktor nutrisi.

5.

Pengaruh genetik.

2.6.1 Invasi Trofoblastik Abnormal


Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling
yang luas ketika diinvasi oleh trofoblas endovaskular (Gambar 2.1). Akan tetapi,
pada preeklamsi terdapat invasi trofoblastik yang tidak lengkap. Pada kasus ini,
pembuluh darah decidua, tetapi bukan pembuluh darah myometrial, menjadi
sejajar dengan trofoblas endovaskular. Meekins dan kawan-kawan (1994)
menjelaskan jumlah arteri spiralis dengan trofoblas endovaskular pada plasenta
wanita normal dan wanita dengan preeklamsi. Madazli dan kawan-kawan (2000)
membuktikan bahwa besarnya defek invasi trofoblastik terhadap arteri spiralis
berhubungan dengan beratnya hipertensi.

18

Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal


Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf dan kawan-kawan
(1980) meneliti pembuluh darah yang diambil dari tempat implantasi plasenta
pada uterus. Mereka memperhatikan bahwa perubahan pada preeklampsia awal
meliputi kerusakan endotelial, perembesan isi plasma pada dinding arteri,
proliferasi sel miointimal, dan nekrosis tunika media. Mereka menemukan
bahwa lipid mengumpul pertama kali pada sel-sel myointimal dan kemudian
pada makrofag akan membentuk atherosis (Gambar 2.2). Obstruksi lumen
arteriol spiral oleh atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta.
Perubahan-perubahan ini dianggap menyebabkan perfusi plasenta menjadi
berkurang secara patologis, yang pada akhirnya menyebabkan sindrom
preeklamsi.

19

Gambar 2.2 Atherosis


2.6.2

Faktor imunologis
Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama,
terdapat spekulasi bahwa terjadi reaksi imun terhadap antigen paternal sehingga
menyebabkan kelainan ini.
Hanya ada sedikit data yang mendukung keberadaan teori bahwa
preeklamsi adalah proses yang dimediasi sistem imun. Perubahan adaptasi pada
sistem imun dalam patofisiologi preeklamsia dimulai pada awal trimester kedua.
Wanita yang cenderung mengalami preeklamsi memiliki jumlah T helper cells
(Th1) yang lebih sedikit.dibandingkan dengan wanita yang normotensif.
Ketidakseimbangan ini terjadi karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh
adenosin. Limfosit T helper ini mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu
implantasi dan kerusakan pada proses ini dapat menyebabkan preeklamsi.

2.6.3

Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi


Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari
plasenta karena terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses
tertentu. Desidua juga memiliki sel-sel yang bila diaktivasi maka akan
mengeluarkan agen noxious. Agen ini dapat menjadi mediator yang
mengakibatkan kerusakan sel endotel. Sitokin tertentu seperti tumor necrosis
factor- (TNF-) dan interleukin memiliki kontribusi terhadap stres oksidatif

20

yang berhubungan dengan preeklamsi. Stres oksidatif ditandai dengan adanya


oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan menyebabkan pembentukan lipid
peroksida. Hal ini akan menghasilkan toksin radikal yang merusak sel-sel
endotel, memodifikasi produksi Nitric Oxide, dan mengganggu keseimbangan
prostaglandin. Fenomena lain yang ditimbulkan oleh stres oksidatif meliputi
pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi koagulasi intravaskular
(trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas (edema dan proteinuria).

Bagan 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan.

21

2.6.4

Faktor nutrisi
Tekanan darah pada individu-individu yang tidak hamil dipengaruhi oleh
sejumlah pengaruh makanan, termasuk mineral dan vitamin. Beberapa studi
telah membuktikan hubungan antara kekurangan makanan dan insidensi
terjadinya preeklamsi.

Hal ini telah didahului oleh studi-studi tentang

suplementasi dengan berbagai unsur seperti zinc, kalsium, dan magnesium yang
dapat mencegah preeklamsi. Studi lainnya, seperti studi oleh John dan kawankawan (2002), membuktikan bahwa dalam populasi umum dengan diet tinggi
buah dan sayuran yang memiliki efek antioxidant berhubungan dengan tekanan
darah yang menurun.
2.6.5

Faktor genetik
Predisposisi

herediter

terhadap

hipertensi

tidak

diragukan

lagi

berhubungan dengan preeklamsi dan tendensi untuk terjadinya preeklamsi juga


diturunkan. Penelitian yang dilakukan oleh Kilpatrick dan kawan-kawan
menunjukkan adanya hubungan antara antigen histokompatibilitas HLA-DR4
dengan hipertensi proteinuria. Menurut Hoff dan kawan-kawan, respon imun
humoral maternal yang melawan antibodi imunoglobulin fetal anti HLA-DR
dapat menimbulkan hipertensi gestasional.
2.7

Patofisiologi
Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti,
preeklamsi merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu vasospasme.
Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya menunjukkan bukti insufisiensi plasenta
akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta difus, inflamasi vaskulopati
desidua plasenta, dan invasi abnormal trofoblastik pada endometrium. Hal-hal
ini menjelaskan bahwa pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan
plasenta akibat mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan
ini.
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme,
dengan konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif
dibandingkan dengan kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita hamil

22

menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida vasoaktif seperti


angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi menunjukkan
hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal ini merupakan gangguan
yang dapat terlihat bahkan sebelum hipertensi tampak jelas. Pemeliharaan
tekanan darah pada level normal dalam kehamilan tergantung pada interaksi
antara curah jantung dan resistensi vaskular perifer, tetapi masing-masing secara
signifikan terganggu dalam kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena
peningkatan nadi dan volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang
bersirkulasi meningkat pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk
menurun, menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi
diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh darah
terhadap angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator.
Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal yang
terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi terhadap
perkembangan

preeklamsi.

Disfungsi

endotel

yang

luas

menimbulkan

manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi susunan saraf pusat,
hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi. Kerusakan endotel menyebabkan
kebocoran kapiler patologis yang dapat bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan
berat badan yang cepat, edema non dependen (muka atau tangan), edema
pulmonal, dan hemokonsentrasi. Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin
dapat terkena dampaknya akibat penurunan aliran darah utero-plasenta.
Penurunan perfusi ini menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung
janin yang non-reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan
pertumbuhan janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.
Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah sedikit,
sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada usia kehamilan
muda (13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke III. Pembentukkan
ruangan intervillair, yang menurunkan resistensi vaskular, lebih lanjut akan
menurunkan tekanan darah.
Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek penelitian dan
spekulasi. Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah dipercaya sebagai

23

etiologi yang paling mungkin, tetapi tidak ada satupun yang dengan jelas
terbukti. Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya sebagai patogenesis dari
konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau vasospame serebral, hipertensi
ensefalopati, infark atau edema serebral, perdarahan serebral, dan ensefalopati
metabolik. Akan tetapi, tidak ada kejelasan apakah penemuan ini merupakan
sebab atau efek akibat konvulsi.
2.8

Pemeriksaan Prediktif Kejadian Preeklamsi


Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Bila kelainan ini dapat dicegah
maka diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penyakit
ini. Pencegahan tidak hanya memerlukan pengetahuan mengenai patofisiologi
tetapi juga cara deteksi dini dan cara intervensi terhadap perubahan yang terjadi
dalam proses penyakit tersebut.
Gejala-gejala preeklampsia baru menjadi nyata pada usia kehamilan yang
lanjut, biasanya pada trimester ketiga, walaupun sebenarnya kelainan sudah
terjadi jauh lebih dini yakni pada usia kehamilan antara 8-18 minggu. Tes yang
ideal untuk prediksi harus sederhana, mudah dikerjakan, tidak memakan waktu
lama, sensitivitasnya tinggi, non invasif dan mempunyai nilai prediksi positif
yang tinggi.

2.8.1 Pemeriksaan Prediktif Preeklamsi yang Telah Ada


Beberapa cara prediksi dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan baku pada perawatan antenatal
2. Pemeriksaan sistem vaskular
3. Pemeriksaan biokimia
4. Pemeriksaan hematologi
5. Ultrasonografi.
2.8.1.1 Pemeriksaan Baku pada Perawatan Antenatal

24

Pemeriksaan baku pada perawatan antenatal ada 2 macam, yaitu


pemeriksaan tekanan darah dan kenaikan berat badan. Seringkali gejala pertama
yang mencurigakan adanya hipertensi dalam kehamilan ialah terjadi kenaikan
berat badan yang melonjak tinggi dan dalam waktu singkat. Kenaikan berat
badan 0,5 kg setiap minggu dianggap masih dalam batas wajar, tetapi bila
kenaikan berat badan mencapai 1 kg perminggu atau 3 kg perbulan maka harus
diwaspadai kemungkinan timbulnya hipertensi.
Ciri khas kenaikan berat badan penderita hipertensi dalam kehamilan
ialah kenaikan yang berlebihan dalam waktu singkat, bukan kenaikan berat
badan yang merata sepanjang kehamilan, karena berat badan yang berlebihan
tersebut merupakan refleksi dari pada edema.
2.8.1.2 Pemeriksaan Sistim Vaskular
1. Tes Tidur Miring (TTM)
Tes ini dikenal dengar nama Roll-over test pertama kali diperkenalkan
oleh Gant dan dilakukan pada usia kehamilan 28-32 minggu. Pasien berbaring
dalam sikap miring ke kiri, kemudian tekanan darah diukur, dicatat dan
diulangi sampai tekanan darah tidak berubah. Kemudian penderita tidur
terlentang, diukur dan dicatat kembali tekanan darahnya. Tes dianggap positif
bila selisih tekanan darah diastolik antara posisi baring ke kiri dan terlentang
menunjukkan 20 mmHg atau lebih. Tes ini mempunyai sensitivitas 88%,
spesifitas 95%, nilai prediksi positif 93% dan nilai prediksi negatif 91%.
2. Infus Angiotensin II
Wanita hamil yang normotensi relatif refrakter terhadap infus
Angiotensin. Tes ini dikerjakan pada kehamilan 28-32 minggu, dengan
memberikan Angiotensin II per infus >8 ng/kgbb/menit menghasilkan respons
tekanan darah 20 mmHg, tetap normotensi selama kehamilan, sedangkan yang
mendapat < 8 ng/kgbb/menit dan terjadi kenaikan tekanan diastolik 20 mmHg,
90% akan terjadi hipertensi dalam kehamilan. Namun tes ini mahal, rumit dan
memakan waktu sehingga tidak praktis dipakai sebagai tes penapisan.

25

3. Tes Latihan Isometrik (Isometric exercise test)


Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas cukup tinggi. Degani dkk
berpendapat bahwa tekanan darah diastol yang berespons terhadap tes hand
grip ini menggambarkan reaktifitas vaskular pada wanita hamil, jadi dapat
digunakan untuk deteksi hiperaktivitas vaskular dan untuk prediksi
preeklampsia.
Tes dilakukan dengan cara penderita baring kesisi lateral kiri, ukur
tekanan darah, kemudian penderita memijit bola karet tensimeter yang
dipasang pada lengan lain, sampai kontraksi maksimal untuk 30 detik dalam
waktu 3 menit. Tes dikatakan positif bila terdapat kenaikan tekanan diastolik
lebih dari 20 mmHg.
2.8.1.3 Pemeriksaan Biokimia
1. Kadar Asam Urat
Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi perubahan sistim hemodinamik
seperti penurunan volume darah, peningkatan hematokrit dan viskositas darah.
Akibat dari perubahan-perubahan tersebut akan terjadi perubahan fungsi
ginjal, aliran darah ginjal menurun, kecepatan filtrasi glomerulus menurun
yang mengakibatkan menurunnya klirens asam urat dan akhirnya terjadi
peningkatan kadar asam urat serum. Rata-rata kadar asam urat mulai
meningkat 6 minggu sebelum preeklampsia menjadi berat.
Konsentrasi asam urat > 350 umol/l merupakan pertanda suatu
preeklampsia berat dan berhubungan dengan angka kematian perinatal yang
tinggi khususnya pada umur kehamilan 28-36 minggu. Pada penderita yang
sudah terbukti preeklampsia maka kadar asam urat serum menggambarkan
beratnya proses penyakit.

2. Kadar Kalsium

26

Beberapa peneliti melaporkan adanya hipokalsiuria dan perubahan fungsi


ginjal pada pasien preeklampsia. Perubahan-perubahan tersebut terjadi
beberapa waktu sebelum munculnya tanda-tanda klinis. Hal ini terlihat dari
perubahan hasil tes fungsi ginjal. Rondriquez mendapatkan bahwa pada umur
kehamilan 24-34 minggu bila didapatkan mikroalbuminuria dan hipokalsiuria
ini dideteksi dengan pemeriksaan tes radioimunologik.
3. Kadar - Human Chorionic Gonadotrophin (-hCG)
Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar hCG meningkat pada
penderita preeklampsia. Sorensen dkk melaporkan bahwa wanita hamil
trimester II dengan kadar -hCG > 2 kali nilai rata-rata mempunyai risiko
relatif 1,7 kali lebih besar untuk mengalami preeklampsia dibandingkan
dengan wanita yang mempunyai kadar -hCG < 2 kali nilai rata-rata. Terakhir
Miller dkk melaporkan bahwa peningkatan kadar -hCG pada kehamilan 1520 minggu memprediksi timbulnya preeklampsia terutama preeklampsia berat.
Namun hingga saat ini pemeriksaan kadar preeklampsia masih terbatas.
2.8.1.4 Pemeriksaan Hematologi
1. Volume plasma
Pada keadaan hipertensi dalm kehamilan terjadinya penurunan volume
plasma sesuai dengan beratnya penyakit. Terjadinya

penurunan volume

plasma sebesar 30%-40% dari nilai normal, bahkan ada beberapa peneliti yang
melaporkan terjadinya penurunan volume plasma jauh sebelum munculnya
manifestasi klinik hipertensi. Volume plasma diukur dengan cara : penderita
tidur posisi miring ke kiri selama 30 menit, diambil 10 cc darah kemudian
tambahkan dengan 3 ml Evans dye blue selanjutnya dicampur dengan 10 ml
NaCL. Setiap 10 menit diambil darah untuk 3 sampel kemudian disentrifus
untuk memisahkan serum. Sampel darah kemudian dibandingkan dengan
serum kontrol yang mempunyai ukuran 620 nm, dengan mempergunakan

27

spektofotometer Beckman Acta C III. Hasil yang didapat dimasukkan ke


dalam rumus:
Dye injected (ug)
Volume Plasma ( ml) = -------------------------------Konsentrasi dye ( ug/ml )
2. Kadar hemoglobin dan hematokrit
Pengurangan volume plasma pada preeklampsia tampak pada kenaikan
kadar hemoglobin dan hematokrit. Murphy dkk menunjukkan bahwa pada
wanita hamil terdapat korelasi yang tinggi antara terjadinya preeklampsia
dan kadar Hb. Mereka mendapatkan pada primigravida frekuensi terjadinya
hipertensi dalam kehamilan 7% bila kadar Hb < 10.5 gr% sampai 42% bila
kadar Hb > 14.5% gr%. Gerstner menyatakan adanya hubungan langsung
antara nilai Ht dengan indeks gestosis. Indeks gestosis > 7 selalu disertai Ht
> 37%, dan dikatakan ada korelasi antara hematokrit dan progesivitas
penyakit.
3. Kadar trombosit dan fibronectin
Redman menyatakan bahwa hipertensi dalam kehamilan didahului oleh
menurunnya

trombosit

sebelum

tekanan

darah

meningkat,

dan

trombositopeni merupakan tanda awal hipertensi dalam kehamilan.


Dikatakan trombositopenia bila kadar trombosit < 150.000/mm 3. Bukti
adanya kelainan proses koagulasi dan aktivasi platelet pertama kali
didapatkan pada tahun 1893 dengan ditemukannya deposit fibrin dan
trombosit pada pembuluh darah berbagai organ tubuh wanita yang
meninggal karena eklampsia.
Kelainan hemostatik yang paling sering ditemukan pada penderita
preeklampsia adalah kenaikan kadar faktor VIII dan penurunan kadar anti
trombin III. Pada penderita hipertensi dalam kehamilan didapatkan
peningkatan kadar fibronectin. Fibronectin merupakan glikoprotein pada
permukaan sel dengan berat molekul 450.000, disintesis oleh endotel dan

28

histiosit. Kadar normalnya dalam darah 250-420 ug/ml, biasanya


berkonsentrasi pada permukaan pembuluh darah. Fibronectin akan
dilepaskan ke dalam sirkulasi bila terjadi kerusakan endotel pembuluh darah.
Keadaan ini memperkuat hipotesis bahwa kerusakan pembuluh darah
merupakan dasar patogenesis terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Bellenger melaporkan peningkatan kadar fibronectin sebagai tanda awal
preeklampsia pada 31 dari 32 wanita dengan usia kehamilan antara 25-36
minggu. Kadar fibronectin meningkat antara 3,6 1,9 minggu lebih awal
dari kenaikan tekanan darah atau proteinuria.
2.8.1.5 Ultrasonografi
Dalam 2 dekade terakhir ultrasonografi semakin banyak dipakai alat
penunjang diagnostik dalam bidang obstetri. Bahkan dengan perkembangan
teknik Doppler dapat dilakukan pengukuran gelombang kecepatan aliran darah
dan volume aliran darah pada pembuluh darah besar seperti arteri uterina dan
arteri umbilikalis. Pada wanita penderita hipertensi dalam kehamilan sering
ditemukan kelainan gelombang arteri umbilikalis, dimana dapat terlihat
gelombang diastolik yang rendah, hilang atau terbalik.
Ducey dkk dalam penelitian terhadap 136 wanita hamil mendapatkan
43% penderita preeklampsia mempunyai gambaran SD ratio yang abnormal, dan
mendapatkan adanya penurunan aliran darah arteri uterina dan arteri umbilikalis
pada mayoritas penderita preeklampsia. Nilai prediktif positif pada penelitian
ini sekitar 75%. Pada penelitian lain, Kofinas dkk memperlihatkan bahwa
insidens preeklampsia pada plasenta letak unilateral 2,8 kali lebih besar dari
pada pasien dengan plasenta letak sentral.
Penentuan letak plasenta ini dilakukan dengan pemeriksaan USG real
time. Dikatakan bahwa bila plasenta terletak unilateral maka arteri uterina yang
terdekat dengan plasenta mempunyai tahanan yang lebih rendah dibandingkan
dengan yang lainnya, sedang pada plasenta letak sentral tahanan kedua arteri
tersebut sama besarnya. Pada tahanan yang lebih besar tersebut dapat
menurunkan aliran darah uteroplasenter yang merupakan salah satu kelainan

29

dasar pada preeklampsia. Terjadinya hipertensi dalam kehamilan merupakan


salah satu mekanisme kompensasi untuk meningkatkan aliran darah uterus yang
disebabkan oleh iskemia.
Ultrasonografi dapat digunakan sebagai alat untuk pemeriksaan wanita
hamil dengan risiko tinggi sebab cara ini aman, mudah dilakukan, tidak invasif
dan dapat dilakukan pada kehamilan muda.
2.9

Pencegahan
Beragam strategi telah digunakan dalam melakukan pencegahan terhadap
terjadinya preeklamsia dan eklamsi. Setelah dilakukan evaluasi terhadap
strategi-strategi ini, tidak ada satupun yang terbukti efektif secara klinis.

2.9.1

Pencegahan preeklamsi

1. Manipulasi diet
Salah satu cara yang paling awal dalam mencegah preeklamsia adalah
pembatasan garam. Setelah beberapa tahun diselidiki, pembatasan garam
tidaklah penting. Pada penelitian yang dilakukan Knuist dan kawan-kawan,
pembatasan garam terbukti tidak efektif dalam mencegah preeklamsia pada
361 wanita.
Sekitar 14 penelitian secara acak dan sebuah meta-analisis menunjukkan
bahwa suplementasi kalsium pada waktu antenatal menghasilkan penurunan
yang signifikan dari tekanan darah dan insidensi preeklamsia.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olsen dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa pemberian kapsul minyak ikan dalam rangka
memperbaiki gangguan keseimbangan prostaglandin pada patofisiologi
eklamsia tidaklah efektif.
Herrera dan kawan-kawan melakukan sebuah penelitian dengan tujuan
untuk menemukan efek suplementasi kalsium plus asam linoleat (CalciumCLA) dalam menurunkan insidensi disfungsi endotel vaskular pada wanita
hamil berisiko tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
suplemen kalsium-CLA menurunkan kejadian hipertensi dalam kehamilan
dan meningkatkan fungsi endotel.

30

2. Aspirin dosis rendah


Dahulu pemberian aspirin 60 mg digunakan untuk menurunkan insidensi
preeklamsi karena bekerja dalam mensupresi tromboksan dengan hasil
dominansi dari prostasiklin endotel. Sekarang ini, pemberian aspirin terbukti
tidak efektif dalam mencegah preeklamsi. Hal ini terbukti pada penelitian
yang dilakukan Caritis dan kawan-kawan terhadap wanita risiko tinggi dan
rendah. Hanya ada satu penelitian yang secara spesifik dilakukan untuk
menguji efek aspirin terhadap wanita hamil dengan hipertensi kronis.
Penelitian double blind placebo controlled trial dilakukan untuk melihat efek
aspirin pada hipertensi kronis yang dilakukan pada 774 wanita. Dosis rendah
aspirin, 60 mg sehari, yang dimulai sejak masa kehamilan 26 minggu tidak
menurunkan preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, perdarahan post
partum, dan perdarahan interventrikuler neonatal.
3. Antioksidan
Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi lipid
yang berperan dalam kerusakan endotel. Penelitian yang dilakukan oleh
Schiff dan kawan-kawan menunjukkan bahwa konsumsi vitamin E tidak
berhubungan dengan preeklamsi. Mereka menemukan bahwa peninggian
plasma vitamin E pada wanita dengan preeklamsi dan menyatakan bahwa hal
ini merupakan respon terhadap stres oksidatif. Namun hal ini masih menjadi
kontroversi karena ada penelitian lain yang menyatakan terapi dengan
vitamin C / E dapat menurunkan aktivasi endotel yang pada akhirnya akan
menurunkan preeklamsi.6. Pada penelitian lain, dengan pemberian vitamin C
sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin E 400 IU/ hari pada usia kehamilan 16
22 minggu berhubungan dengan rendahnya insidensi preeklamsi. Karena itu
masih perlu dilakukan penelitian sebelum menyarankan penggunaan Vitamin
C dan E untuk penggunaan secara klinis.
4. Suplemen kalsium

31

Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan antara


asupan diet rendah kalsium dengan terjadinya preeklamsi. Dengan
pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 2 g/hari telah disarankan untuk
upaya pencegahan preeklamsi. Dari hasil penelitian Cochrane, diketahui
bahwa pemberian suplementasi kalsium tidak dibutuhkan pada nulipara.
Walaupun demikian, mungkin pemberiannya bisa menguntungkan untuk
mereka yang termasuk kelompok dengan asupan kalsium yang memang
kurang atau pada kelompok risiko tinggi, seperti mereka dengan riwayat
preeklamsi berat.
5. N-Acetylcystein
Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti radikal
bebas atau antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan dapat
mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah yang diakibatkan kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Namun pemberian obat ini masih kontroversi.
Meskipun demikian beberapa ahli sudah mencoba menggunakan obat ini.
2.9.2 Pencegahan eklamsi
Karena patogenesis eklamsi tidak diketahui, strategi pencegahan eklamsi
juga terbatas. Keadaan ini membuat pencegahan eklamsi adalah dengan cara
mencegah terjadinya preeklamsi atau secara sekunder dengan penggunaan
pendekatan farmakologis untuk mencegah konvulsi pada wanita preeklamsi.
Pencegahan dapat bersifat tersier dengan mencegah konvulsi berikutnya pada
wanita dengan eklamsi. Sampai sekarang belum ada terapi pencegahan untuk
eklamsi. Selama beberapa dekade belakangan ini, beberapa penelitian acak telah
melaporkan hasil penelitiannya tentang penggunaan restriksi protein atau garam,
magnesium, suplementasi minyak ikan, aspirin dosis rendah, kalsium, dan
vitamin C & E pada wanita dengan variasi faktor risiko untuk menurunkan
angka kejadian atau beratnya preeklamsi. Secara umum, hasil-hasil dari
penelitian ini memiliki keuntungan minimal atau malah tidak ada terhadap
penurunan preeklamsi. Bahkan pada penelitian yang melaporkan penurunan
angka kejadian preeklamsi, tidak memiliki keuntungan dalam outcome perinatal.

32

Penanganan yang sekarang dilakukan untuk mencegah eklamsi adalah


deteksi dini serta terapi preventif hipertensi gestasional atau preeklamsi.
Beberapa rekomendasi terapi pencegahan meliputi observasi ketat, penggunaan
obat anti hipertensi untuk menjaga tekanan darah maternal melebihi nilai
normal, waktu persalinan, dan profilaksis magnesium sulfat selama persalinan
dan segera postpartum pada pasien yang dicurigai mengalami preeklamsi.
Semua wanita dengan hipertensi gestasional ringan dapat ditangani
secara aman dengan rawat jalan. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa tidak
direkomendasikan penggunaan anti hipertensi pada wanita dengan hipertensi
gestasional ringan atau preeklamsi. Profilaksis magnesium sulfat hanya
direkomendasikan pada wanita yang dirawat dengan diagnosis preeklamsi.
Magnesium sulfat diberikan selama persalinan dan 12-24 jam postpartum.
Namun tidak ada data yang mendukung pemberian profilaksis magnesium sulfat
pada wanita dengan hipertensi ringan.
2.10

Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan

2.10.1 Panduan Penatalaksanaan


Laporan

NHBPEP

Working

Group,

menyediakan

panduan

penatalaksanaan :
1.

Persalinan merupakan terapi yang paling tepat untuk ibu, tetapi tidak
demikian untuk janin. Dasar terapi di bidang obstetrik untuk preeklamsi
berdasarkan apakah janin dapat hidup tanpa komplikasi neonatal serius baik
dalam uterus maupun dalam perawatan rumah sakit.

2.

Perubahan patofisiologi pada preeklamsi berat menunjukkan bahwa


perfusi yang buruk merupakan sebab utama perubahan fisiologis maternal dan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Kesempatan untuk
mengatasi preeklamsi dengan diuretik atau dengan menurunkan tekanan
darah dapat menimbulkan perubahan patofisiologis.

3.

Perubahan patogenik pada preeklamsi telah ada jauh sebelum diagnostik


klinis timbul. Penemuan ini menunjukkan bahwa perubahan ireversibel
terhadap kesejahteraan janin dapat terjadi sebelum diagnosis klinis. Jika ada

33

pertimbangan konservatif daripada persalinan, maka ditujukan untuk


memperbaiki kondisi ibu agar janin dapat menjadi matur.
2.10.2 Penanganan pra-kehamilan
Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi
tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab
sekunder yang mungkin, kerusakan target organ, dan rencana strategis
penatalaksanaannya.

Kebanyakan

wanita

penderita

hipertensi

yang

merencanakan kehamilan harus menjalani skrining adanya faeokromositoma


karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini tidak
terdiagnosa pada ante partum.
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir
trimester untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan
darah yang tinggi (140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3
hari untuk menentukan beratnya hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi
yang berat akan dievaluasi secara ketat bahkan dapat dilakukan terminasi
kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang ringan dapat menjalani rawat
jalan.
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting
diketahui mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui
aman digunakan selama kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker.
Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan sebelum terjadinya konsepsi atau
segera setelah kehamilan terjadi.
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi
berat, terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat
atau munculnya proteinuria. Evaluasi secara sistematis meliputi :
1. Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti
sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat
badan secara cepat.
2. Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari setelahnya.
3. Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.

34

4. Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat
pertengahan tengah malam dengan pagi hari.
5. Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati,
frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.
6. Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan
dengan menggunakan ultrasonografi.
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya
yang berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan
pemberian sedatif. Diet harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang
cukup. Pembatasan garam tidak diperlukan asal tidak berlebihan.
2.10.3 Penatalaksanaan hipertensi kronis selama kehamilan
Kebanyakan pasien dengan hipertensi kronis mempunyai hipertensi
esensial. Peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien ini adalah
secara primer berhubungan dengan terjadinya preeklamsi superimposed dan
solusio plasenta. Hipertensi akibat sekunder terhadap penyakit ginjal,
faeokromositoma, penyakit endokrin, dan koarktasio aorta tidak umum dalam
kehamilan. Faktor-faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk
terjadinya preeklamsi superimposed adalah umur ibu lebih dari 40 tahun,
hipertensi lebih dari 15 tahun, tekanan darah > 160/110 mmHg pada awal
kehamilan, diabetes klas B-F, kardiomiopati, dan penyakit ginjal atau autoimun.
Evaluasi yang tepat memerlukan pemeriksaan fisik yang lengkap,
termasuk

funduskopi. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan

meliputi urinalisis dan kultur urin, penampungan urin 24 jam untuk mengetahui
total ekskresi protein dan klirens kreatinin, dan pemeriksaan elektrolit. Beberapa
pasien mungkin memerlukan pemeriksaan EKG, rontgen thorax, tes antibodi
antifosfolipid, antibodi antinuklear, dan katekolamin urine.
Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk
komplikasi kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi
perubahan gaya hidup karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis
meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya

35

menurun pada awal kehamilan, disamping itu hipertensi mudah di kontrol


dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan aerobik ringan harus
dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran darah plasenta yang
inadekuat dapat meningkatkan risiko preeklampsia dan penurunan berat badan
seharusnya tidak dicoba bahkan pada wanita hamil yang obese. Walaupun data
pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli yang merekomendasikan restriksi
intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok harus dihentikan.
Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28
minggu dan kemudian setiap minggu sampai persalinan. Dalam setiap
kunjungan, tekanan darah sitolik dan diastolik harus dicatat dan dilakukan tes
urin untuk mengetahui adanya glukosa atau protein. Evalusai tambahan
dilakukan tergantung dari beratnya penyakit, seperti pengukuran hematokrit,
serum kreatinin, asam urat, klirens kreatinin, dan ekskresi protein 24 jam.
Hospitalisasi diindikasikan apabila hipertensi memburuk, terjadi proteinuria
yang signifikan, dan peningkatan asam urat. Peningkatan asam urat > 6 mg/dL
seringkali merupakan tanda awal preeklamsi superimposed.
Penggunaan obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita hipertensi
kronis bervariasi pada beberapa pusat kesehatan. Beberapa klinisi lebih suka
menghentikan medikasi anti hipertensi ketika menjalankan observasi ketat,
termasuk penggunaan monitor tekanan darah di rumah. Pendekatan ini
menggambarkan perhatian terhadap keamanan terapi obat anti hipertensi dalam
kehamilan. Sebuah meta-analisis terhadap 45 penelitian acak terkontrol tentang
penatalaksanaan beberapa kelas obat anti hipertensi pada hipertensi tingkat 1 dan
2 selama kehamilan menunjukkan hubungan linier langsung antara penurunan
tekanan darah rata-rata karena terapi dengan proporsi bayi KMK (Kecil Untuk
Masa Kehamilan). Hubungan ini tidak tergantung pada tipe hipertensi, tipe obat
anti hipertensi, dan lamanya terapi.
Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan kerusakan target organ
atau yang lebih dulu memerlukan bermacam obat anti hipertensi untuk
mengontrol tekanan darahnya, medikasi anti hipertensi harus dilanjutkan untuk
mengontrol tekanan darahnya. Pada semua kasus, terapi harus dijalankan ketika

36

tekanan darah mencapai 150-160 mmHg sistolik atau 100-110 mmHg diastolik
untuk mencegah peningkatan tekanan darah pada tingkat yang sangat tinggi pada
kehamilan. Akan tetapi ada beberapa pendapat yang merekomendasikan
pemberian obat anti hipertensi saat tekanan darah mencapai 180/110 mmHg.
Penatalaksanaan yang agresif pada hipertensi kronis yang berat pada trimester
pertama sangat penting, mengingat kematian janin mencapai 50% dan angka
kematian maternal yang signifikan telah banyak dilaporkan. Kebanyakan
prognosis paling buruk berhubungan dengan superimposed preeklamsi. Lebih
jauh lagi, wanita dengan hipertensi kronis mempunyai faktor risiko lebih tinggi
dalam memperburuk prognosis neonatal jika proteinuria didapatkan pada awal
kehamilan.
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum
kehamilan sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin
dapat diganti dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil dopa
merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan tetap menjadi obat
pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang baik. Banyak wanita
yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan
selama kehamilan masih menjadi bahan perdebatan. Terapi diuretik berguna
pada wanita dengan hipertensi sensitif garam atau disfungsi diastolik ventrikel.
Akan tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda
pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi
pada hipertensi kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit
kardiovaskular yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini
pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra
indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau
labetalol dapat digunakan.
2.10.4 Penatalaksanaan preeklamsi
Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu persalinan
merupakan persyaratan yang mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi.
Persalinan merupakan pengobatan yang utama. Setelah diagnosis ditegakkan,

37

penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal terhadap


kesejahteraan

ibu dan janin. Berdasarkan

hal

ini, keputusan

dalam

penatalaksanaan dapat ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi, ekspektatif atau


terminasi kehamilan serta harus memperhitungkan beratnya penyakit, keadaan
ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama pengambilan strategi
penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang tidak
memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama.
Penatalaksanaa pada preeklamsi dibagi berdasarkan beratnya preeklamsi,
yaitu :
1.

Preeklamsi ringan
Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk
mengawasi perjalanan penyakit karena penyakit ini dapat memburuk
sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan
penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko terjadinya eklamsi dan
solusio plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini memerlukan
observasi ketat yang dilakukan di rumah sakit. Pasien harus diobservasi
tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens kreatinin dan protein total
seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam urat, elektrolit, dan serum albumin
setiap minggu. Pada pasien preeklamsi berat, pemeriksaan fungsi pembekuan
seperti protrombin time, partial tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung
trombosit. Perkiraan berat badan janin diperoleh melalui USG saat masuk
rumah sakit dan setiap 2 minggu. Perawatan jalan dipertimbangkan bila
ketaatan

pasien baik, hipertensi ringan,

dan keadaan janin baik.

Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat tekanan darah, berat


badan, ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung trombosit begitu pula
keadaan janin (pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu). Sebagai
tambahan, ibu harus diberitahu mengenai gejala pemburukan penyakit, seperti
nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila ada tandatanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan. Pasien yang dirawat di
rumah sakit dibuat senyaman mungkin. Ada persetujuan umum tentang
induksi persalinan pada preeklamsi ringan dan keadaan servik yang matang

38

(skor Bishop >6) untuk menghindari komplikasi maternal dan janin. Akan
tetapi ada pula yang tidak menganjurkan penatalaksanaan preeklamsi ringan
pada kehamilan muda. Saat ini tidak ada ketentuan mengenai tirah baring,
hospitalisasi yang lama, penggunaan obat anti hipertensi dan profilaksis anti
konvulsan. Tirah baring umumnya direkomendasikan terhadap preeklamsi
ringan. Keuntungan dari tirah baring adalah mengurangi edema, peningkatan
pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi berat, dan meningkatkan
outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan kecuali tekanan
darah melonjak dan usia kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian
sedatif dahulu digunakan, tatapi sekarang tidak dipakai lagi karena
mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan karena salah satunya yaitu
fenobarbital mengganggu faktor pembekuan yang tergantung vitamin K
dalam janin. Sebanyak 3 penelitian acak menunjukkan bahwa tidak ada
keuntungan tirah baring baik di rumah maupun di rumah sakit walaupun tirah
baring di rumah menurunkan lamanya waktu di rumah sakit. Sebuah
penelitian menyatakan adanya progresi penyakit ke arah eklamsi dan
persalinan prematur pada pasien yang tirah baring di rumah. Namun, tidak
ada penelitian yang mengevaluasi eklamsi, solusio plasenta, dan kematian
janin. Pada 10 penelitian acak yang mengevaluasi pengobatan pada wanita
dengan preeklamsi ringan menunjukkan bahwa efek pengobatan terhadap
lamanya kehamilan, pertumbuhan janin, dan insidensi persalinan preterm
bervariasi antar penelitian. Oleh karena itu tidak terdapat keuntungan yang
jelas terhadap pengobatan preeklamsi ringan.
Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali dengan
NST dan USG terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non reaktif
memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan profil biofisik dan oksitosin
challenge test. Amniosentesis untuk mengetahui rasio lesitin:sfingomielin
(L:S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan awal akibat indikasi ibu,
tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat kematangan janin. Pemberian
kortikosteroid dilakukan untuk mematangkan paru janin jika persalinan
diperkirakan berlangsung 2-7 hari lagi. Jika terdapat pemburukan penyakit

39

preeklamsi, maka monitor terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan


karena adanya bahaya solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter.
2.

Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah
konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan persalinan.
Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat terjadi di atas 36
minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang atau terjadi bahaya
terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 36 minggu, ibu
dikirim ke rumah sakit besar untuk mendapatkan NICU yang baik.
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan
progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh
karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa memperhatikan usia
kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila terdapat gejala impending
eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau ketika preeklamsi terjadi
sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan muda, bagaimana pun
juga, penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan
untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas
neonatal jangka pendek dan jangka panjang.
Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara konservatif
pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena hanya 116 wanita yang
menjalani terapi konservatif pada penelitian ini dan karena terapi seperti itu
mengundang risiko bagi ibu dan janin, penatalaksanaan konservatif hanya
dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3 dan melaksanakan observasi bagi ibu
dan janin. Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu yang menderita
preeklamsi ringan harus memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu,
wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus
diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan
preeklamsi berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi
kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang

40

menderita preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda dalam usaha untuk


menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan < 23
minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan.
Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat
adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti ensefalopati dan
perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam
setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah dikontrol dengan medikasi dan
pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin. Batasan terapi
biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi.
Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg ,
sedangkan yang lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125
mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah
126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik <
105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan
pada wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah hidralazin
secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi bila perlu setiap 20
menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak
menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek
samping seperti takikardi, sakit kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau
nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres
terhadap terapi dengan hidralazin, beberapa peneliti merekomendasikan
penggunaan obat lain dalam terapi preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak
yang membandingkan hidralazin dengan obat lain, hanya satu penelitian yang
menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih sering didapatkan pada
hidralazin.
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi
berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal
puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan. Setelah pengukuran
tekanan darah mendekati normal, maka pemberian hidralazin dihentikan. Jika
hipertensi kembali muncul pada wanita post partum, labetalol oral atau
diuretik thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan.

41

Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml


perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis,
atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa
terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan pembuluh darah maternal
mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat lebih
banyak. Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional karena pada wanita
eklamsi telah ada cairan ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan
benar antara cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan
yang banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga
meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak.
Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal dihindarkan
pada wanita dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan utama karena
adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat blokade simpatis. Ada juga
pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena blokade simpatis dapat
menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi plasenta. Ketika teknik
analgesi telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi epidural
digunakan untuk memperbaiki vasospasme dan menurunkan tekanan darah
pada wanita penderita preeklamsi berat. Selain itu, klinisi yang lebih
menyenangi anestesi epidural menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat
terjadi penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea
dan dapat menyebabkan edema pulmonal, edema serebral dan perdarahan
intrakranial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wallace dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa penggunaan anestesi baik metode anestesi umum
maupun regional dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio sesarea
pada wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan
pertimbangan yang hati-hati. Walaupun anestesi epidural dapat menurunkan
tekanan darah, telah dibuktikan bahwa tidak ada keuntungan signifikan dalam
mencegah hipertensi setelah persalinan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah
anestesi epidural aman digunakan selama persalinan pada wanita dengan
hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi terhadap
hipertensi.

42

Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu :


a. Indikasi ibu
- Usia kehamilan 38 minggu
- Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3
- Kerusakan progresif fungsi hepar
- Kerusakan progresif fungsi ginjal
- Suspek solusio plasenta
- Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
- Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah
b. Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
- Oligohidramnion.
2.10.5 Penatalaksanaan eklamsi
Penatalaksanaan pada eklamsi dibagi menjadi :
1. Penatalaksanaan prenatal (kontrol konvulsi dan hipertensi)
Kebanyakan rumah sakit merekomendasikan pemberian antikonvulsan
kepada semua pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa proteinuria/edema.
Obat yang digunakan tersebut harus aman bagi ibu dan janin. Pengalaman
selama 50 tahun dengan menggunakan magnesium sulfat membuktikan
bahwa obat ini cukup aman. Obat ini dipergunakan pada preeklamsi berat
dan eklamsi. Penggunaan secara suntikan baik intramuskular intermiten
maupun intra vena. Penggunaan secara intravena merupakan antikonvulsi
tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik pada ibu maupun pada
janin. Obat ini dapat pula diberikan secra intravena dengan infus kontinu.
Mengingat persalinan merupakan waktu yang paling sering untuk terjadinya
konvulsi, maka wanita dengan preeklamsi-eklamsi biasanya diberikan
magnesium sulfat selama persalinan dan 24 jam post partum atau 24 jam
setelah onset konvulsi. Perlu diingat bahwa magnesium sulfat bukan
merupakan agen untuk mengatasi hipertensi.

43

Magnesium sulfat yang diberikan secara parentral hampir seluruhnya


diekskresikan lewat ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat dapat dihindari
dengan memastikan bahwa keluaran urine adekuat, reflek patella positif, dan
tidak adanya depresi pernafasan. Konvulsi eklamsi dan kejadian ulangannya
hampir selalu dapat dicegah dengan mempertahankan kadar magnesium
dalam plasma sebesar 4- 7mEq/L (4.8 8.4 mg/dL atau 2.0 3.5 mmol/L).
Pemberian infus intravena awal sebesar 4-6 gram dipakai untuk membuat
pemeliharaan tingkat pengobatan yang tepat dan dilanjutkan dengan injeksi
intra muskular 10 gram, diikuti 5 gram setiap 4 jam atau infus kontinu 2-3
gram per jam. Jadwal dosis pemberian seperti ini diharapkan dapat
mempertahankan tingkat plasma efektif sebesar 4-7 mEq/L.
Reflek patella akan menghilang bila kadar plasma magnesium mencapai
10 mEq/L (sekitar 12 mg/L), hal ini dikarenakan adanya kerja kurariformis.
Magnesium bebas atau ionized magnesium merupakan bahan yang dapat
menurunkan eksitabilitas neuronal. Tanda ini merupakan peringatan akan
adanya intoksikasi magnesium karena bila pemberian terus dilakukan maka
peningkatan kadar dalam plasma yang lebih lanjut akan menyebabkan
depresi pernafasan. Kadar plasma lebih besar dari 10 mEq/L akan
menyebabkan depresi pernafasan, bila kadar plasma mencapai 12 mEq/L atau
lebih, maka akan menyebabkan paralisis pernafasan dan henti nafas.
Intoksikasi magnesium dapat ditangani dengan pemberian kalsium glukonas
sebanyak 1 gram secara intravena. Namun keefektifan kerja kalsium
glukonas sendiri pendek, maka bila terdapat depresi pernafasan, pemasangan
intubasi trakea dan bantuan ventilasi mekanik merupakan tindakan
penyelamatan hidup. Jika laju filtrasi glomerulus menurun maka akan
mengganggu ekskresi magnesium sulfat. Oleh karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan kadar plasma magnesium secara periodik.
Setelah pemberian 4 gram magnesium secara intravena selama 15 menit,
akan terjadi penurunan sedikit pada MABP dan peningkatan cardiac index
sebesar 13%. Dengan demikian, magnesium menurunkan resistensi vaskular
sistemik dan tekanan darah arteri rata-rata dan pada saat yang bersamaan

44

meningkatkan cardiac output tanpa depresi miokardium. Hal ini tampak pada
pasien berupa mual sementara dan flushing, efek kardiovaskular ini hanya
menetap selama 15 menit.
Penelitian yang dilakukan oleh lipton dan Rosenberg menunjukkan
bahwa efek antikonvulsan adalah memblok influk neuronal kalsium melalui
saluran glutamat. Penelitian lain yang dilakukan oleh cotton dan kawankawan pada tikus menunjukkan bahwa induksi konvulsi terjadi pada area
hipokampus karena merupakan daerah dengan ambang konvulsi yang rendah
dengan densitas reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang tinggi.
Reseptor ini berkaitan dengan beragam bentuk epilepsi. Karena konvulsi dari
hipokampus dapat dihambat oleh magnesium, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa magnesium memiliki efek terhadap susunan saraf pusat
dalam memblok konvulsi.
Ion magnesium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mendepresi
kontraktibilitas miometrium. Namun dengan menjalani regimen yang telah
ditentukan, maka tidak ada bukti penurunan kontraktibilitas miometrium.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak
mengganggu induksi oleh oksitosin. Mekanisme magnesium dalam
menginhibisi

kontraktibilitas

miometrium

tidak

jelas

benar,

tetapi

diasumsikan tergantung dari efek pada kalsium intraselular. Jalur reguler


kontraksi uterus adalah peningkatan kalsium bebas intraselular yang akan
mengaktivasi rantai ringan miosin kinase. Konsentrasi tinggi magnesium
tidak hanya menginhibisi influk kalsium ke sel-sel miometrium, tetapi juga
menyebabkan

kadar

kalsium

intraselular

yang

tinggi.

Mekanisme

penghambatan kontrasi uterus tergantung dari dosis, yaitu berkisar 8-10


mEq/L. Hal ini menjelaskan mangapa tidak pernah terjadi hambatan kontrasi
uterus ketika magnesium diberikan untuk terapi dan profilaksis eklamsi
dengan menggunakan regimen yang telah ditentukan.
Magnesium sulfat tidak menyebabkan depresi pada janin kecuali terjadi
hipermagnesemia berat saat persalinan. Gangguan neonatus setelah terapi
dengan magnesium juga tidak pernah dilaporkan. Penelitian yang dilakukan

45

oleh Nelson dan Grether menunjukkan bahwa ada kemungkinan efek


protektif dari magnesium terhadap serebral palsi terhadap bayi dengan berat
badan lahir yang sangat rendah.
Menurut penelitian Lucas dan kawan-kawan, magnesium sulfat lebih
superior dibandingkan fenitoin dalam mencegah konvulsi eklamsi. Risiko
solusio plasenta juga lebih rendah pada terapi dengan menggunakan
magnesium sulfat. Pada penelitian Belfort dan kawan-kawan, magnesium
juga lebih baik dibandingkan dengan nimodipine dalam mencegah eklamsi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Livingstone dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak tampak menghalangi progresi
preeklamsi ringan menjadi preeklamsi berat. Oleh karena itu, magnesium
sulfat sudah tidak diberikan lagi pada preeklamsi ringan sejak tahun 1999.
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara infus intra vena kontinu
untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1.

Berikan 4-6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan dalam
100 mL cairan infus sekitar 15-20 menit.

2.

Mulai dengan dosis 2 gram/ hari dalam 100 ml cairan infus


pemeliharaan.

3.

Ukur serum magnesium setiap 4-6 jam dan sesuaikan infus untuk
menjaga level plasma 4-7 mEq/L.

4. Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan.


Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara injeksi intra muskular
intermiten untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :
1. Berikan 4 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan
kecepatan tidak lebih dari 1 gram/menit.
2. Dilanjutkan dengan 10 gram magnesium sulfat 50%, 5 gram diinjeksikan
pada

masing-masing

kuadran

atas

bokong

kanan-kiri

dengan

menggunakan jarum 3 inchi (tambahkan 1 ml lidocain 2% untuk


mengurangi nyeri). Jika konvulsi teteap terjadi setelah 15 menit, berikan
tambahan 2 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan
kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit.

46

3. Setiap 4 jam kemudian, beikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang


diinjeksikan pada kuadran kanan atas bokong secara bergantian kanan
dan kiri. Hal yang harus diperhatikan : reflek patella, tidak ada depresi
pernafasan, output urine dalam 4 jam lalu mencapai 100 mL.
4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah persalinan.
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg.
Tujuan utama pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan
diastolik menjadi 90-100 mmHg.
2. Penatalaksanaan Pasca salin
Beberapa bagian terapi tidak perlu dilanjutkan setelah persalinan. Karena
25% konvulsi sering terjadi postpartum, pasien dengan preeklamsi tetap
melanjutkan magnesium sulfat sampai 24 jam setelah persalinan. Fenobarbital
120 mg/hari kadang-kadang digunakan pada pasien dengan hipertensi
persisten dimana diuresis spontan postpartum tidak terjadi atau hiperreflek
menetap 24 jam pemberian magnesium sulfat. Bila tekanan diastol tetap
konstan diatas 100 mmHg selama 24 jam postpartum, beberapa obat anti
hipertensi harus diberikan seperti diuretik, Ca channel blocker, ACE inhibitor,
Central alpha agonist, atau beta bloker. Setelah follow-up 1 minggu,
pemberian terapi anti hipertensi dapat dievaluasi kembali.
Prioritas utama penatalaksanaan eklamsi adalah mencegah kerusakan
maternal dan menjaga fungsi respirasi dan kardiovaskular. Selama atau segera
setalah episode konvulsi akut, terapi suportif harus diberikan untuk mencegah
kerusakan serius maternal dan aspirasi. Penjagaan jalan nafas dilakukan
dengan penyangga lidah yang dimasukkan diantara gigi dan diberikan
oksigenisasi maternal. Untuk meminimalisasikan risiko aspirasi, pasien harus
berbaring dengan posisi dekubitus lateral. Muntah dan sekresi oral harus
dihisap bila diperlukan. Selama terjadi konvulsi, hipoventilasi dan asidosis
respiratoar sering terjadi. Walaupun konvulsi pertama hanya berlangsung
selama beberapa menit, penting untuk menjaga oksigenisasi dengan
pemberian oksigen lewat face mask dengan atau tanpa reservoir sebesar 8-10
L/menit. Setelah konvulsi berhenti, pasien mulai bernafas kembali dan

47

oksigenisasi menjadi masalah lagi. Hipoksemia maternal dan asidosis dapat


terjadi pada pasien yang mengalami konvulsi berulang, pneumonia aspirasi,
edema pulmonal, atau kombinasi faktor-faktor ini. Ada kebijakan untuk
menggunakan transcutaneus pulse oxymetri untuk monitor oksigenasi pada
semua pasien eklamsi. Bila hasil pulse oksimetri abnormal (saturasi oksigen <
92%), maka perlu dilakukan analisis gas darah. Hal yang selanjutnya
diperlukan untuk mencegah terjadinya konvulsi berulang adalah pemberian
magnesium sulfat sesuai regimen yang telah tersedia di masing-masing rumah
sakit. Sekitar 10% wanita eklamsi akan mengalami konvulsi ke dua setelah
menerima magnesium sulfat. Langkah selanjutnya dalam penanganan eklamsi
adalah menurunkan tekanan darah dalam batas aman, tetapi pada saat yang
sama menghindari terjadinya hipotensi. Tujuan objektif dalam terapi
hipertensi berat adalah menghindari kehilangan autoregulasi serebral dan
untuk mencegah gagal jantung kongestif tanpa mengganggu perfusi serebral
atau membahayakan aliran darah uteroplasenter yang sudah tereduksi pada
wanita dengan eklamsi. Ada kebijakan untuk menjaga tekanan sistolik sebesar
140-160 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 90-110 mmHg. Hal ini dapat
dilakukan dengan pemberian hidralazin atau labetalol (2040m g IV) setiap
15 menit. Bila diperlukan, nifedipin 10-20 mg oral setiap 30 menit sampai
dosis maksimal 50 mg dalam satu jam.
Hipoksemia maternal dan hiperkarbia dapat menyebabkan perubahan
denyut jantung janin dan aktivitas rahim selama dan segara setelah konvulsi.
Perubahan denyut jantung janin meliputi bradikardi, deselerasi lambat
transien, penurunan beat-to-beat variabilitas, dan takikardi kompensasi.
Perubahan aktivitas uterus meliputi peningkatan frekuensi dan tonus. Hal ini
biasanya membaik secara spontan dalam 3-10 menit setelah terminasi
konvulsi dan koreksi hipoksemia maternal. Bagaimanapun juga, penting
untuk tidak melakukan persalinan pada keadaan ibu yang tidak stabila,
bahkan bila terjadi fetal distres. Setelah konvulsi dapat diatasi, tekanan darah
sudah dikoreksi, dan hipoksia sudah diatasi, persalinan dapat dimulai. Pasien
ini tidak perlu buru-buru dilakukan seksio, terutama bila kondisi maternal

48

tidak stabil. Lebih baik bagi janin untuk bertahan dalam uterus untuk
perbaikan hipoksia dan hiperkarbia akibat konvulsi maternal. Namun, bila
bradikardi dan/atau deselerasi lambat berulang menetap lebih dari 10-15
menit setelah segala usaha resusitasi, diagnosis solusio plasenta harus
ditegakkan.

Adanya eklamsi bukan indikasi untuk dilakukan seksio.

Keputusan untuk mengadakan seksio harus berdasarkan usia janin, kondisi


janin, dan skor bishop. Direkomendasikan untuk mengadakan seksio pada
wanita yang mengalami eklamsi sebelum usia kehamilan 30 minggu yang
tidak dalam fase pembukaan dan skor bishop kurang dari 5. Pasien yang
mengalami ruptur membran atau pembukaan diperbolehkan untuk menjalani
persalinan per vaginam bila tidak terdapat komplikasi obstetrik. Anestesi rasa
nyeri maternal selama pembukaan dan persalinan dapat dilakukan dengan
anestesi epidural yang direkomendasikan pada wanita dengan preeklamsi
berat. Untuk persalinan dengan seksio, regional anestesi seperti epidural,
spinal, atau teknik kombinasi dapat dipergunakan. Anestesi regional
dikontraindikasikan bila terdapat koagulopati atau trombositopeni berat (<
50.000 mm3). Pada wanita dengan eklamsi, anestesi umum meningkatkan
risiko aspirasi dan gagal intubasi karena edema jalan nafas dan peningkatan
tekanan darah sistemik (transient reflex hypertension) dan serebral selama
intubasi.
Setelah persalinan, pasien eklamsi harus diobservasi ketat terhadap tanda
vital, intake-otput cairan, dan gejala selama 48 jam. Wanita ini biasanya
menerima cairan IV yang banyak selama fase pembukaan, persalinan, dan
post partum. Sebagai tambahan, selama post partum terjadi pergeseran cairan
ekstraselular sehingga terjadi peningkatan volume cairan intravaskular.
Hasilnya, wanita dengan eklamsi, terutama dengan gangguan fungsi ginjal,
solusio plasenta, hipertensi kronis, memiliki risiko terjadinya edema
pulmonal. Magnesium perenteral harus dilanjutkan selama 24 jam setelah
persalinan dan/atau selama 24 jam setelah konvulsi terakhir. Jika pasien
mengalami oliguria (< 100 mL/4 jam), pemberian infus dan dosis magnesium
sulfat harus dikurangi. Setelah persalinan terjadi, agen anti hipertensi oral

49

seperti labetalol atau nifedipine dapat digunakan untuk menjaga tekanan


sistolik di bawah 155 mmHg dan tekanan diastolik di bawah 105 mmHg.
Rekomendasi labetalol oral adalah 200 mg setiap 8 jam (dosis max 2400
mg/hari) dan rekomendasi dosis nifedipine 10 mg oral setiap 6 jam (dosis
max 120 mg/hari).
Penatalaksanaan cairan dilakukan karena salah satu sebab mortalitas
maternal adalah gangguan kardiorespiratori. Wanita eklamsi, walaupun
mungkin hipovolemia, mengalami overload cairan bila dihitung total cairan
dalam tubuhnya. Hal ini terjadi karena edema yang sering terjadi pada pasien
ini. Untuk menghindari komplikasi iatrogenik pada pasien eklamsi, seperti
edema pulmonal, ARDS, dan gagal jantung kiri, keseimbangan input dan
output harus dijaga dengan ketat. Dalam usaha untuk meningkatkan tekanan
osmotik plasma, cairan koloid sering digunakan. Cairan IV diberikan dengan
jumlah 80 ml/jam (1 ml/kgBB/jam) atau output urine jam sebelumnya
ditambah 30 ml. Output urin dimonitor dengan baik bila menggunakan
kateter. Untuk membantu monitor keseimbangan cairan, dapat digunakan
Central Venous Pressure (CVP) kateter, dan dijaga agar tekanan < 5 cmH2O.
2.10.6 Pilihan obat anti hipertensi
Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan
adalah menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih
memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah
metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan
hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan
anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan.
Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi kronis,
dengan insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed preeklamsi
meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi selama 4 tahun atau
lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan pada preeklamsi
meliputi identifikasi wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis dan
laboratorium, pengamatan intensif atau terminasi kehamilan jika ada indikasi.
Penatalaksanaan preeklamsi meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan

50

darah, profilaksis konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada


waktunya. Banyak wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi
sebelumnya sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan pada
tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan simptomatologi yang
signifikan dan memerlukan terapi. Penatalaksanaan tidak mengganggu
patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat progresi penyakit dan
menyediakan waktu bagi fetus untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadangkadang dapat sembuh sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah
memburuk sejalan dengan waktu.
Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi ibu,
haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang

< 32 minggu. Selain

memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat janin intra


uterin, atau IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi berat, hemolisis,
peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah, gangguan fungsi ginjal,
pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan per vaginam lebih disukai
daripada seksio untuk menghindari penambahan stress akibat operasi.
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi
obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu
persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral
lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta
bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah
akan terjadi, pemberian parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi
diberikan sebelum induksi persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110
mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg.
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam
kehamilan :
1. Hidralazine
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung
yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat
hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek

51

meningkatkan cardiac output penting karena dapat meningkatkan aliran


darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol
mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari
160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit
sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun
sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek
puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping
seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti
dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan efektif dalam
menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi.
2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat 1adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan non
selektif , dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada
kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan
hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih
cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan
arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena.
Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg
labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg,
pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg
atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek
puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol
secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter.
Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu
maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220
mg tiap episode pengobatan.
3. Obat anti hipertensi lain

52

NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini


menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma
kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos
dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini
mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30
menit bila perlu. Nifedipin merupakan vasodilator arteriol yang kuat
sehingga memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub
lingual, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan,
menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat
sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak
digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal.
Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg
per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat
lain seperti nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan
terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi
berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan
kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan
hasil yang baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid
tidak direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon
terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid
dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan
saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja terjadi setelah
1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam
mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi
penggunaan obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non
parturien karena efek samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin.
Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli
anestesi dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan
intubasi untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus

53

mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator


vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti hipertensi
potensi sedang.
4. Metil dopa
Merupakan agonis -adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti
hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu.
Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan
pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah
dengan menstimulasi reseptor sentral -2 lewat -metil norefinefrin yang
merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi
sebagai penghambat -2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika
metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti
hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya
dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil.
Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak
plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek
maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi
lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan
hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat
menyebabkan

anemia

hemolitik

dan

merupakan

indikasi

untuk

memberhentikan obat ini.


5. Klonidin
Merupakan agonis -adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan
dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2
mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek
maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun namun tetap
berespon terhadap latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi.
Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat

54

diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada


penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa.
6. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor 1-adrenergik. Obat ini
dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh
darah sehingga menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan
tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah
ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir
seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat melalui kandung empedu ke
dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh
menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai
dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi
mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari
dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak
ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga
sering dikombinasikan dengan beta bloker.
7. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah
jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular
akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi
plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular,
dimana volume tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan
dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk
menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi
darah ibu dan menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian
furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat
edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene dihindari karena
merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin.

55

8. Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang
mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten),
tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga
meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi
bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril,
dam lisinopril.
OBAT
Hydralazin

REKOMENDASI
Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah
tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan
darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam).
Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM
Labetalol
Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal,
beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan
mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada
wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif
Nifedipine
Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu.
Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam
terapi hipertensi
Sodium
Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon
nitroprussi terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25
d
g/kg/menit sampai dosis maksimal 5g/kg/menit. Fetal sianida
terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi
2.10.7 Efek Samping Obat
Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :
1. ACE inhibitor
Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi
ginjal pada fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE
inhibitor telah dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner, pertumbuhan
terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada tulang tengkorak.
2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol
Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan
pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol

56

dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan penelitian, penyebab asal dari
hubungan tersebut tidak jelas karena beberapa obat telah digunakan
bersama-sama atau karena ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini
adalah efek dari patofisiologi ibu atau efek dari obat.
3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti
hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan
penurunan volume plasma sehingga dapat menganggu pertumbuhan janin.
Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit, trombositopeni, dan IUGR.13
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
-

Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi


ASI dan digunakan untuk mensupresi laktasi.

Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat


plasma yang rendah ditemukan pada janin.

- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam
susu ibu daripada plasma ibu.
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat
pada ACE inhibitor.

57

BAB III
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini, Ny. M di diagnosis G3P2A0 37 tahun gravida 37-38
minggu inpartu kala 1 fase laten dengan PEB. Janin intrauterin tunggal hidup letak
kepala hodge I-II UUK kiri depan. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan :
1. ANAMNESIS
Pasien wanita usia 37 tahun dengan G3P2A0 merasa hamil 9 bulan,
mengeluh mules-mules sejak 7 jam SMRS yang dirasa semakin lama semakin
teratur dan kuat. Keluar darah bercampur lendir dari jalan lahir sedikit-sedikit.
Ini menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan inpartu. Berdasarkan HPHT
menunjukkan umur kehamilan 37-38 minggu atau kehamilan cukup bulan
(aterm).
Pasien juga diketahui memiliki tekanan darah tinggi sejak pagi ini
pada usia kehamilan 20 minggu bisa jadi kemungkinan suatu hipertensi
dalam kehamilan sampai dilakukannya pemeriksaan tekanan darah ditambah
dengan pemeriksaan protein urin. Keterangan tentang tidak adanya keluhan
pandangan kabur, nyeri ulu hati dan nyeri kepala berat perlu ditekankan untuk
menyinggirkan suatu impending eklamsi. Kemungkinan adanya keadaan
eklamsi sudah dapat disinggirkan melalui anamnesis tentang ada atau tidaknya
keluhan kejang dan penurunan kesadaran.
2. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah TD. 190/100
mmHg yang baru ditemukan pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Ini
menunjukkan adanya kegagalan otoregulasi pengaturan tekanan darah yang
terkait erat dengan kehamilan. Pasien tidak mempunyai riwayat darah tinggi
sebelumnya dan pasien mengaku rata-rata tekanan darah 110/80 mmHg.
Keadaan ini dapat diklasifikasikan keadalam hipertensi kehamilan yang lain
yaitu pre-eklamsi dan untuk lebih menegakkan diagnosis preeklamsi
dibutuhkan pemeriksaan lanjutan yaitu protein urin. Status generalis ibu semua
dalam batas normal.

58

Pada status obstetrikus, di pemeriksaan luar didapatkan TFU 30cm,


his 1 x 10/10, DJJ 148x/m. Pemeriksaan leopold didapatkan leopold I teraba
bagian lunak, sulit digerakan. Ini menunjukan bahwa presentasi bokong,
leopold II didapatkan bagian memanjang, cembung, kaku dan tidak dapat
digerakkan pada bagian kiri ibu dan pada bagian kanannya teraba benda-benda
kecil yang tidak teratur bentuknya yaitu bagian ekstremitas. Leopold III teraba
bagian keras membulat yaitu kepala. Leopold IV divergen atau sudah masuk
PAP. Pada pemeriksaan dalam vulva vagina tidak ada kelainan, VT : portio
tebal lunak, 1 cm, ketuban (+), kepala hodge I, UUK di kiri depan.
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Usulan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan
protein urin untuk lebih menegakkan diagnosis suatu pre-eklamsi. Jika hasil
pemeriksaan protein urin didapatkan +2 uji dipstik sudah cukup untuk
memastikan suatu preeklampsi berat meski nilai tekanan darah sistole 160
mmHg atau diastole 110 mmHg. Pemeriksaan USG penting dilakukan untuk
menilai taksiran berat badan janin, keadaan janin tunggal atau ganda,
memproyeksikan letak plasenta dan intak atau tidaknya ketuban. Pemantauan
kesejahteraan janin dengan CTG menjadi hal yang penting mengingat adanya
resiko komplikasi dari preeklamsi berat seperti terjadinya IUGR.
Pemeriksaan laboratorium darah seperti hitung

trombosit,

pemeriksaan enzim hati (SGOT/SGPT) untuk membuktikan ada atau tidaknya


sindrom HELLP. Pemeriksaan ureum kreatinin serum selain untuk semakin
menegakkan diagnosis preeklamsi berat, juga penting dilakukan untuk
mengevaluasi fungsi ginjal mengingat rencana pemberian MgSO4 mempunyai
efek toksik terhadap ginjal. Juga bisa untuk mengevaluasi penyebab tekanan
darah tinggi tersebut untuk mencari penyebab mendasar naiknya tekanan
darahnya apakah itu dari kelainan ginjal atau bukan.
4. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien dalam kasus ini meliputi penanganan aktif dengan
pemberian medikamentosa seperti protap preeklamsi berat menggunakan
MgSO4 untuk pencegahan dan terapi utama untuk kemungkinan terjadinya

59

bangkitan. Kemudian ditambahkan juga pemberian preparat metildopa 3 x


500mg sebagai agen hipertensinya. Target perbaikan status tekanan darah
pasien setelah diberikan antihipertensi ad;ah tercapainya penurunan MAP
sebesar 20% dari tensi awal.
Penanganan selanjutnya adalah pengelolaan secara obstetri. Salah satunya
pengelolaan secara obstetri pada pasien preeklampsi berat adalah suia
kehamilan >34 minggu. Perencanaan untuk persalinan pervaginam dipilih
setelah sebelumnya dilakukan penilaian serviks dengan skor bishop yang
didapat 8. Pemasangan IVFD 2 line dimaksudkan 1 line untuk maintenance
pemberian MgSO4 dan line lainnya untuk pemberian oksitosin sebanyak 5IU
sebagai induksi persalinan agar mampu didapatkan HIS yang bagus. Tindakan
amniotomi perlu dilakukan untuk mempercepat pematangan serviks dan
memperpendek perjalanan persalinan.
observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasca persalinan menjadi
penting dikarenakan masih adanya ancaman terjadinya eklamsi. pemberian
preparat antihipertensi masih harus dilakukan dan disesuaikan pengukuran
tekanan darah yang didapatkan. Maintenance MgSO4 baru dihentikan setelah
24 jam pasca persalinan atau jika dalam < 6jam sudah terjadi perbaikan
tekanan darah atau normotensi.

60

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, et all. 2012. Williams Obstetric 23rd edition. EGC : Jakarta
2. Kelompok Kerja Penyusunan Hipertensi dalam Kehamilan-Himpunan Kedokteran
Fetomaternal POGI, Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di
Indonesia, edisi ke-2, Angsar M, penyunting, 2005: 1-27
3. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman
Diagnosis dan terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian pertama,
edisi ke-2, Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan Sadikin, 2005 : 60-70
4. Manuaba,Chandranita,dkk. Gawat Darurat Obstetri-Giekologi dan ObstetriGinekologi Sosial Untuk Profesi Bidan.Jakarta: ECG. 2008.
5. Mose J, Gestosis, dalam Obstetri Patologi : Ilmu Kesehatan Reproduksi, edisi ke-2,
Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah F, penyunting, Jakarta : EGC,
2003 : 68-82
6. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-3,
Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301
7. Scott J, Disaia P, Hammond C, Spellacy W, Gordon J, Danforth Buku Saku
Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Obstetri dan Ginekologi, edisi ke-1,
Koesoema H, penyunting, Jakarta : Widya Medika, 2002: 202-213
8. Seely E, Maxwell C, Chronic Hypertension in Pregnancy. 2007, diakses tanggal 24
Oktober 2009, dari http : //circ.ahajournals.org/cgi/content/full/115

Anda mungkin juga menyukai