Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang
terlokalisir sehingga membentuk cavitas yang berisi nanah (pus / necrotic debris) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme
patogen.2
2.2. Epidemiologi
Frekuensi abses paru yang terjadi di masyarakat umum selalu berubah-ubah. Abses
paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dan umumnya terjadi pada
umur tua karena terdapat peningkatan insiden penyakit periodontal dan peningkatan
prevalensi disfagi dan aspirasi. Pada daerah urban dengan tingginya prevalensi alkoholisme
dilaporkan abses paru rata-rata terjadi pada pasien berumur sekitar 41 tahun.2,4
Kemajuan terapi dalam kedokteran saat ini menyebabkan angka kejadian abses paru
menurun. Hal ini terjadi karena adanya usaha penurunan resiko terjadinya abses paru dengan
teknik operasi dan anastesi yang lebih baik dan penggunaan antibiotik yang lebih dini,
kecuali pada kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi dan pada populasi
immunocompromised.2,4
2.3. Klasifikasi
Klasifikasi abses paru dibagi atas abses paru primer dan sekunder. Disebut abses paru
primer bila abses paru terjadi akibat aspirasi atau pneumonia, baik pada orang yang
mempunyai kecenderungan untuk terjadi aspirasi ataupun orang dengan kesehatan umum
yang baik. Abses primer ini meliputi 80% dari kasus abses paru dan 50% nya disertai dengan
gejala sputum berbau busuk.1
Abses sekunder terjadi akibat infeksi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai
kondisi seperti obstruksi akibat neoplasma saluran napas, bronkiektasis, komplikasi operasi
intrathorax, penyebaran dari luar paru, septic emboli atau kondisi sistemik maupun
pengobatan yang menyebabkan gangguan imunitas (transplantasi, immunosupresion, atau
AIDS).1

Klasifikasi lain dibagi berdasarkan lamanya jangka waktu abses tersebut terdiagnosis,
akut bila kurang dari 4-6 minggu, kronik bila diatas 6 minggu.2
2.4. Etiologi
Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu:

Kelompok bakteri anaerob merupakan etiologi terbanyak abses paru (bisa mencapai
78 %) terutama pada orang immunocompetent dan biasanya diakibatkan oleh
pneumonia aspirasi. Spesimen bakteri anaerob ini sering didapat melalui aspirasi

transtrakheal. Bakteri anaerob tersebut sbb:


Bacteriodes melaninogenus
Bacteriodes fragilis
Peptostreptococcus sp.
Bacillus intermedius
Prevotella melaninogenica
Fusobacterium nucleatum
Microaerophilic streptococcus
Clostridium perfringens
Clostridium barati
Kelompok bakteri aerob, predominan pada orang dengan immunocompromised. Pada
beberapa pasien, organisme dengan virulensi kuat seperti Fusobacterium, Nucleatum
atau Peptostreptococcus sp bisa ditemukan sebagai satu-satunya patogen.
Gram positif, sekunder oleh sebab lain selain aspirasi:

Staphylococcus aureus
Streptococcus microaerophilic
Streptococcus pyogenes
Streptococcus pneumonia
Streptococcus viridians
Streptococcus milleri

Gram negatif, biasanya merupakan sebab nosokomial :

Klebsiella pneumonia
Pseudomonas aeruginosa
Eschericia coli
Haemophillus influenza
Actinomyces sp.
Nocardia sp.
Bacilli gram negatif
Kelompok non-bakteri dan bakteri atipik, biasanya dijumpai pada orang dengan
kondisi immunocompromised:

Jamur: histoplasma, coccidioides, blastomyces, mucoraceae, aspergillus sp. ,


Cryptococcus neoforman, Zygomycetes, Pneumocystitis carinii.
Parasit: Paragonimus westermani, Entamoeba hystolitica, Echinococcus.
Mycobacterium tuberculosis dan non-tuberculosis.3
2.5. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya abses paru:

Kondisi - kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi:

Gangguan kesadaran : Alkoholisme, epilepsi / kejang sebab lain, gangguan


serebrovaskular,

anastesi

umum,

penyakit

susunan

saraf

pusat,

penyalahgunaan obat intravena, koma, trauma, sepsis.

Gangguan esophagus dan saluran cerna lainnya seperti gangguan motilitas.

Tracheal atau nasogastrik tube yang menghilangkan pertahanan mekanik


saluran napas.

Fistula trakeoesopageal.

Defisiensi atau stasis transport sekresi melalui saluran napas seperti Kartagener
syndrome ataupun disfagi.

Sebab-sebab iatrogenic.

Penyakit-penyakit periodontal.

Kebersihan mulut yang buruk.

Pencabutan gigi.

Pneumonia akut.

Immunosupresi.

Bronkiektasis.

Kanker paru.

Infeksi saluran napas atas dan bawah yang kronis atau tak teratasi akibat adanya status
immunocompromised pada pasien tersebut.3

2.6. Patogenesis
Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru seperti daya
tahan tubuh dan tipe dari mikroorganisme penyebab. Terjadinya abses paru biasanya melalui
dua cara yaitu aspirasi dan penyebaran secara hematogen.2
4

Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru brokogenik yang termasuk
akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor, dan striktur bronchial. Dimulainya
gangguan akibat aspirasi paru (lung insult) bisa disebabkan oleh injury langsung bahan kimia
dari asam lambung yang teraspirasi, atau pada daerah obstruksi yang disebabkan oleh unsur
lain seperti makanan, yang akan disusul oleh infeksi sekunder oleh bakteri dan terbawanya
organisme virulen yang akan menyebabkan terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi
tersebut. Bila bakteri yang masuk banyak dan sangat virulen atau bilamana mekanisme imun
seperti mukosilier dan makrofag alveolar lemah, maka infeksi dapat terjadi tanpa didahului
oleh lung insult.2
Abses akibat aspirasi banyak terjadi pada pasien bronchitis kronis karena banyaknya
mucus pada saluran napas bawahnya yang merupakan media kultur yang sangat baik bagi
organisme yang teraspirasi. Nekrosis jaringan dengan pembentukan abses paru membutuhkan
waktu 1-2 minggu setelah terjadinya aspirasi. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada
segmen posterior lobus atas kanan disusul dengan lobus atas kiri dan segmen apical/superior
lobus bawah kanan atau kiri. Abses paru sering terjadi pada paru kanan, karena bronkus
utama kanan lebih lurus dibandingkan kiri. Posisi tubuh juga saat aspirasi kerap menentukan
letak abses.2
Pada perokok lansia, keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar untuk terjadinya
abses paru. Pada pasien berumur lebih dari 50 tahun, 50% abses paru ada hubungannya
dengan keganasan paru akibat terjadinya obstruksi saluran napas.1,2
Penyebaran secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagai fenomena septic emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain tubuh seperti
tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses
multiple dan biasanya disebabkan oleh kelompok Staphylococcus. Penanganan abses multiple
dan kecil-kecil lebih sulit daripada abses tunggal walaupun ukurannya besar. Secara umum
diameter abses paru bervariasi dari beberapa millimeter sampai dengan 5 sentimeter atau
lebih.2,3
Selain itu abses paru biasanya timbul setelah terjadi peradangan yang mengakibatkan
nekrosis jaringan dan kavitasi, terjadi akibat necrotizing pneumonia dan gangrene paru yang
menyebabkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami konsolidasi,
dengan mikroorganisme virulen penyebab, yang paling sering disebabkan Staphylococcus

aureus, Klebsiella pneumonia, dan grup Pseudomonas. Abses yang terjadi biasanya multiple
dan berukuran kecil-kecil (< 2cm).2,5
Bula atau kista yang sudah terbentuk pada penyakit terdahulu di kemudian hari dapat
berkembang menjadi abses paru. Kista bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi
epitel merupakan media kultur untuk tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut
mengalami infeksi oleh mikroorganisme yang virulen maka dapat menyebabkan abses paru.5
Abses hepar bakteri atau amoebik bisa mengalami rupture dan menembus diafragma
yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan rongga pleura.2
Abses paru biasanya satu atau tunggal, tapi bisa multiple yang biasanya unilateral
pada satu paru yang terjadi pada pasien dengan keadaan umum yang jelek atau pada pasien
yang mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan imunologis yang
menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau penggunaan sitostatika.2
Abses bisa mengalami rupture ke dalam bronkus, dengan isinya diekspektorasikan
keluar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara. Terkadang abses rupture ke
rongga pleura (1/3 kasus) sehingga terjadi empiema yang kemudian diikuti fistula
bronkopleura.2
2.7. Gejala Klinis
Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak / akut. Disebut abses akut bila
terjadinya kurang dari 4-6 minggu. Umumnya pasien mempunyai riwayat perjalanan penyakit
1-3 minggu dengan gejala awal adalah lemas, tidak nafsu makan, penurunan berat badan,
batuk kering yang kemudian berdahak, keringat malam, terkadang demam intermitten dengan
suhu > 39,4 C yang menyebabkan pasien menggigil, berubahnya dahak menjadi purulen dan
bisa mengandung darah dalam beberapa hari.6
Kecurigaan abses paru bahkan muncul setelah abses tersebut menembus bronkus dan
mengeluarkan sputum purulen dalam beberapa hari, yang dalam sputum nya dapat ditemukan
jaringan paru yang terlepas karena gangrene. Sputum sifatnya berbau amis berwarna anchovy
menunjukan penyebabnya bakteri anaerob, dan disebut putrid abscesses. Bila terdapat nyeri
dada menunjukan penyebaran hingga pleura.1,6
Pada beberapa kasus penyakit berjalan sangat akut dengan mengeluarkan sputum
yang berjumlah banyak dengan lokasi abses biasanya di segmen apical lobus atas. Sedangkan
abses paru sekunder seperti yang disebabkan oleh septic emboli paru dengan infark, maka
abses timbul hanya dalam waktu 2-3 hari.6
6

Pasien abses paru akibat komplikasi dari infeksi subdiafragma (abses hati karena
amoeba, pancreatic phlegmon), bisa disertai gejala di abdomen selain di paru. Abses paru
dapat menyebabkan bakteremia yang mencapai otak, yang kemudian menyebabkan abses
otak dan kejang-kejang.6
2.8. Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis pasien abses paru akan kita dapatkan batuk yang mengeluarkan
banyak sputum mengandung jaringan paru yang mengalami gangrene. Sputum biasanya
berbau amis dan berwarna anchovy (putrid abscesses) yang disebabkan bakteri anaerob.
Selain itu bisa didapatkan keluhan nyeri dada dan batuk ringan sampai dengan batuk massif
yang mengandung darah.2,3
Pemeriksaan Fisik
Ditemukan demam sampai 40 C. Pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri tekan
lokal pada dada, pada lesi yang disertai konsolidasi bisa dijumpai penurunan suara napas,
perkusi redup, suara napas bronchial dan ronki. Bila abses luas dan letaknya dekat dengan
dinding dada kadang-kadang terdengar suara amforik. Suara napas bronchial atau amforik
terjadi bila kavitasnya besar dan karena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka disertai
oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik.
Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks (empiema
torakis) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada tertinggal pada
tempat lesi, fremitus vocal menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi napas menghilang dan
terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung ke arah kontra
lateral tempat lesi berada. Pada abses paru dapat juga ditemukan jari tabuh yang prosesnya
akut.2,3
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hitung leukosit tinggi berkisar 10.000 - 30.000 / mm 3 dengan hitung jenis bergeser ke
kiri dan sel Polimorfonuklear yang banyak terutama netrofil yang imatur. Bila abses
berlangsung lama sering ditemukan adanya anemia dan peningkatan LED. Pemeriksaan
dahak dapat membantu dalam menemukan mikroorganisme penyebab abses, namun dahak
tersebut sebaiknya diperoleh dengan aspirasi transtrakeal, transtorakal, torakosintesis atau
bilasan bronkus, hal ini dilakukan agar dahak tidak terkena mikroorganisme pada rongga
7

mulut maupun faring. Prosedur invasive ini dilakukan bila respon antibiotika spectrum luas
tidak adekuat.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dari dahak adalah pewarnaan langsung dengan
teknik Gram, pembiakan mikroorganisme aerob, anaerob, jamur, nokardia, dan BTA.
Pewarnaan Gram penting karena pada pemeriksaan dahak sering tidak ditemukan bakteri
anaerob tersebut.2,3
Radiologi
Foto dada PA dan lateral penting untuk melihat bentuk dan lokasi abses paru. Pada
pemeriksaan awal, foto dada hanya menunjukan gambaran opak dari satu atau lebih segmen
paru, atau hanya gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat. Dapat ditemukan
gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrate yang padat. Selanjutnya bila abses tersebut
mengalami rupture sehingga terjadi drainase abses yang tidak sempurna kedalam bronkus,
maka akan tampak kavitas irregular dengan dinding tebal dikelilingi oleh infiltrate /
konsolidasi dan sering ditemukan gambaran air fluid level didalamnya. Gambaran spesifik ini
tampak dengan mudah bila kita melakukan foto dada PA dengan posisi berdiri.
Lokasi terbanyak terdapat pada segmen superior lobus bawah atau segmen posterior
lobus atas, sedangkan segmen basilar lobus bawah sering dijumpai pada pasien yang
mengalami aspirasi pada posisi berdiri.
Khas pada abses paru anaerobik kavitasnya tunggal (soliter) yang biasanya ditemukan
pada infeksi paru primer, sedangkan abses paru sekunder lesinya bisa multiple.
CT Scan dapat memperlihatkan tempat-tempat lesi yang menyebabkan obstruksi
endobronkial, dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru dengan kavitasi
sentral. CT Scan juga bisa menunjukan lokasi abses berada dalam parenkim paru dan
membedakannya dari infark paru dan empiema.2
2.9. Diagnosis Banding
Dari pemeriksaan, dapat ditemukan diagnosis banding dari kasus abses paru yaitu:

TB Paru
Bula infeksi
Emboli septic
Kavitas karena keganasan
Wageners Granulomatosis
Nodul Reumatoid
Vaskulitis
Sarkoidosis
8

Infark paru.
Bula ataupun kista congenital.2
2.10. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari patogen
penyebab dengan pengobatan yang adekuat, drainase empiema yang adekuat, dan pencegahan
terjadinya komplikasi.
a. Istirahat
Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup. Bila abses paru pada foto dada
menunujukan diameter > 4 cm maka pasien harus dirawat inap. Posisi pasien sebaiknya
berbaring miring dengan paru yang terkena abses berada diatas supaya dengan gravitasi,
drainase dapat dilakukan dengan baik.
Bila segmen superior lobus bawah yang terkena, maka hendaknya bagian atas tubuh
pasien seperti kepala berada di bagian lebih rendah saat berbaring (posisi trendelenberg).
Untuk diet, pasien harus diberikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein untuk
resolusi jaringan paru yang mengalami kavitasi.1,6
b. Antibiotika
Kebanyakan kasus abses paru disebabkan bakteri anaerob, sehingga antibiotika yang
paling baik adalah Klindamisin karena mempunyain spectrum yang lebih baik pada bakteri
anaerob. Respon perbaikan didapatkan dengan klindamisin yang diberikan awalnya 3 x 600
mg IV, setelah ada perbaikan yang jelas dosis menjadi 4 x 300 mg oral / hari atau diberikan
amoksisilin-asam klavulanat 2 x 875 mg. Regimen alternative adalah Penisilin G 2-10 juta
unit/hari. Antibiotika parenteral diganti ke oral bila pasien tidak panas lagi, yaitu dengan
memberikan klindamisin 300 - 600 mg 3 x 1 atau Flagyl 3 x 500 mg / hari.
Dapat juga diberikan kelompok antibiotika lain yang efektif seperti klindamisin,
seperti kombinasi amoksisilin 500 mg 3x1 atau penisilin G 1-2 juta unit 4-6 x per hari dan
metronidazol 2 gr per hari dengan dosis terbagi menjadi 500 mg oral atau IV 2-3 x per hari.
Kombinasi ini diberikan selama 10 hari terutama untuk patogen aerob. Kombinasi ini tidak
efektif pada bakteri anaerob seperti Prevotella, Bacteriodes spp, dan Fusobacterium karena
bakteri ini memproduksi penisilinase dan -laktamase sehingga resisten terhadap penisilin.
Antibiotika diberikan sampai terjadi resolusi dan kavitasnya berkurang, tinggal berupa
lesi sisa yang kecil dan stabil dalam waktu lebih dari 2-3 minggu. Resolusi sempurna
biasanya membutuhkan waktu pengobatan 6-10 minggu dengan pemberian antibiotika oral
9

sebagai pasien rawat jalan. Pemberian antibiotika yang kurang dari waktu ini sering
menyebabkan kekambuhan akibat mikroorganisme yang menjadi resisten dengan antibiotika
yang digunakan sebelumnya.
Respons yang lambat atau tidak ada respons sama sekali juga dijumpai pada beberapa
keadaan seperti kavitas yang besar (> 6 cm), keadaan umum pasien jelek, seleksi anti
mikroba yang salah, dan ada komplikasi pada organ yang jauh seperti abses otak.1,2,6
c. Drainase
Bronkoskopi selain untuk melebarkan striktur maupun mengeluarkan benda asing,
juga dapat dilakukan saat aspirasi dan pengosongan abses jika drainase sebelumnya tidak
adekuat. Dengan bronkoskopi juga dapat diberikan larutan antibiotika melewati bronkus
langsung ke lokasi abses.
Drainase dengan tindakan operasi jarang diperlukan, namun merupakan prosedur
yang aman pada pasien-pasien yang gagal dengan pengobatan antibiotika jangka pendek,
termasuk jika kavitasnya besar, obstruksi saluran nafas yang menghambat drainase karena
adanya tumor ataupun benda asing. Tindakan operatif penting karena pada pasien-pasien
diatas bisa mencegah penurunan faal parenkim paru dan penyebaran infeksi dan abses ke
rongga pleura.1,2
d. Operatif
Indikasi operatif dan juga reseksi lobus adalah sebagai berikut:
Abses paru yang tidak mengalami perbaikan, respon minimal pada antibiotika.
Terjadinya komplikasi empiema, hemoptisis massive, dan fistula bronkopleura.
Pengobatan penyakit yang mendasari : karsinoma obstruksi primer / metastasis,
adanya bronkiektasis, gangguan motilitas gastroesophageal, malformasi atau kelainan
congenital
Infark paru, nekrosis massif (gangrene paru)
Infeksi yang berkembang cepat dan

progresif,

terutama

pada

pasien

immunocompromised.
Kavitas abses paru > 8 cm.
Namun angka mortalitas setelah Pneumoektomi mencapai 5-10%. Pasien dengan
resiko tinggi untuk operasi, maka untuk sementara dapat dilakukan drainase perkutan via
kateter untuk mencegah kebocoran isi abses yang massif ke dalam rongga pleura.1,2
2.11. Komplikasi

10

Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus atau
penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang drainase nya kurang baik
bisa menyebabkan terjadinya rupture ke segmen lain dan terjadinya penyebaran infeksi. Jika
rupture ke rongga pleura akan menjadi piotoraks (empiema) dan fibrosis pleura.
Komplikasi lain berupa abses otak, hemoptisis massif, rupture pleura viseralis dan
kemudian piopneumotoraks, fistula bronkopleura, dan fistula pleurokutaneus.
Abses paru yang resisten dan kronik, yaitu yang resisten dengan pengobatan selama 6
minggu, akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen, dan bisa menyebabkan suatu
bronkiektasis, kor pulmonal, dan amiloidosis.
Perdarahan pada abses paru kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kaheksia,
gangguan cairan dan elektrolit, serta gagal jantung terutama pada lansia.2
2.12. Prognosis
Pada era sebelum perkembangan antibiotika, angka mortalitas pasien abses paru
mencapai 33-40 %, sedangkan yang mampu bertahan hidup mengalami kekambuhan,
perlengketan pleura, dan bronchitis kronik. Namun pada saat ini dimana antibiotika telah
berkembang, angka mortalitas abses paru < 10 %, dan hanya 10-15% yang membutuhkan
operasi. Bila pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka angka
kekambuhannya rendah.7
Faktor-faktor yang membuat prognosis menjadi jelek adalah kavitas yang besar > 5
cm, penyakit penyerta yang berat, status immunocompromised, umur yang sangat tua,
empiema, nekrosis paru yang progresif, lesi obstruksi pada saluran napas karena keganasan,
abses yang disebabkan bakteri aerob seperti Staphylococcus aureus dan basil Gram negatif,
dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Angka
mortalitas pada pasien-pasien dengan kondisi tersebut mencapai 65-75 %, jika ada
penyembuhan dan mampu bertahan hidup, maka angka kekambuhannya tinggi.2,4

11

Anda mungkin juga menyukai