Anda di halaman 1dari 54

1

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu permasalahan lingkungan yang dihadapi Indonesia yaitu
permasalahan sampah. Sampah merupakan permasalahan yang kompleks,
sehingga perlu penyelesaian yang terintegrasi serta didukung oleh semua lapisan
masyarakat (Sejati, 2009). Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang
pengelolaan sampah, pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi
masyarakat dapat menyebabkan bertambahnya volume, jenis, dan karateristik
sampah. Berdasarkan penelitian Pramono (2009) timbulan sampah sebesar
80.235,87 ton/hari dari 384 kota di Indonesia hanya 4,2 persen dibuang dan
diangkut ke TPA, selebihnya antara lain 37,6 persen dibakar, 4,9 persen dibuang
ke sungai dan tidak tertangani sebesar 53,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
hanya sebagian kecil sampah saja yang dapat ditangani oleh pemerintah dan
masyarakat.
Permasalahan sampah di Indonesia banyak terjadi di kota-kota besar,
terutama kota yang padat penduduknya seperti Jakarta, Bekasi, Bogor, Medan,
dan Surabaya. Permasalahan sampah kota tidak hanya masalah teknis, tetapi juga
sosial, ekonomi dan budaya. Masalah utama sampah kota umumnya terjadi di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang disebabkan oleh keterbatasan lahan TPA,
produksi sampah yang terus meningkat, terknologi proses yang tidak efesien, dan
belum dapat dipasarkannya produk hasil olahan sampah kota (Sudradjat, 2006).
Sebagian besar TPA di kabupaten atau kota di Indonesia masih menggunakan
sistem open dumping dalam pengelolaan sampah di TPA (LHK, 2015).
Pengelolaan sampah secara open dumping di TPA dapat menimbulkan
pencemaran udara, pencemaran air, dan penuruan kualitas lingkungan (Sudrajat,
2006). Padahal, dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan
sampah menjelaskan bahwa pada tahun 2013 pengelolaan TPA secara open
dumping harus ditingkatkan menjadi controlled landfill dan sanitary landfill yang
dinilai lebih baik daripada sistem open dumping. Selain adanya dampak negatif
yang ditimbulkan oleh keberadaan TPA, masyarakat juga merasakan dampak
positif seperti memanfaatkan sampah di TPA sebagai sumber mata pencaharian
bagi penduduk sekitar.

Sistem pengelolaan sampah yang selama ini dijalankan perlu dievaluasi


dan dinilai tingkat keberhasilannya dalam mengatasi masalah sampah. Pihakpihak yang berkepentingan dapat menerapkan sistem pengelolaan sampah baru
yang lebih efektif sehingga dapat mengurangi kerugian yang dialami masyarakat.
Berdasarkan keadaan tersebut peneliti merasa perlu adanya studi yang
mengidentifikasi nilai manfaat dan kerugian TPA Galuga dan siapa stakeholder
terkait, mengestimasi nilai manfaat dan nilai kerugian masyarakat akibat
keberadaan TPA, serta menganalisis alternatif solusi sistem pengelolaan TPA
Galuga.
1.2 Perumusan Masalah
Kota Bogor merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk di Kota Bogor tiap tahun
meningkat. Pertumbuhan penduduk Kota Bogor tahun 2011-2015 dapat dilihat
pada gambar 1
1,060,000

1,047,922
1,030,720

1,040,000

Jumlah Penduduk

1,013,019
1,020,000 1,004,831
1,000,000
987,315
980,000
960,000
940,000

Tahun
Penduduk Kota Bogor

Sumber : DKP Kota Bogor (2016)


Gambar 1 Jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2011 2015

Kenaikan jumlah penduduk Kota Bogor menyebabkan sampah yang


dihasilkan oleh masyarakat Kota Bogor juga meningkat. Hal tersebut didukung
oleh Hadiwiyoto (1983) yang menyatakan bahwa jumlah sampah erat kaitannya

dengan populasi penduduk, semakin banyak penduduk bermukim di kota atau


suatu daerah, maka semakin banyak sampah yang terkumpul. Kenaikan volume
sampah di Kota Bogor dapat dilihat pada gambar 2
2,675

2,700

2,551
2,484
2,500
2,447
2,402
Timbulan Sampah 2,400
2,600

2,300
2,200

Tahun
Timbulan sampah Kota Bogor

Sumber : DKP Kota Bogor tahun 2016


Gambar 2 Volume sampah Kota Bogor tahun 2011 2015

Berdasarkan gambar 2 volume sampah Kota Bogor mengalami kenaikan


tiap tahunnya. Kenaikan jumlah volume sampah tersebut mengakibatkan
peningkatan permintaan lahan TPA supaya dapat menampung pembuangan
sampah. Untuk mengatasi peningkatan volume sampah, pemerintah Kota Bogor
membuang 73 persen sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga yang
terletak di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dan 27 persen sampah
diolah melalui program Tempat Pengelolaan Sampah (TPS) reduce, reuse dan
recyle (3R) atau yang lebih dikenal dengan TPS3R di lingkungan pemukiman
penduduk Kota Bogor.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga menampung sampah dari Kota
Bogor dan Kabupaten Bogor. Hal ini karena keterbatasan lahan yang dimiliki
Kota Bogor. Pemanfaatan lahan TPA Galuga oleh pemerintah Bogor dilakukan
dengan membayar sewa kepada pemerintah Kabupaten Bogor dalam jangka waktu
tertentu. Kerjasama antara Pemerintah Kota Bogor dengan Pemerintah Kabupaten

Bogor dalam pengelolaan TPA Galuga telah berakhir pada 31 Desember 2015, dan
pada Januari 2016 perjanjian tersebut kembali diperpanjang hingga tahun 2021
(DKP Kota Bogor, 2016).
Kontroversi keberadaan TPA Galuga selalu menjadi isu yang sering
dibicarakan karena adanya konflik yeng terjadi pada masyarakat seiring dengan
beroperasinya TPA Galuga. Pada maret tahun 2010 terjadi longsoran sampah di
TPA Galuga yang menimbulkan empat korban jiwa. Korban bencana longsor
tersebut merupakan masyarakat yang berprofesi sebagai pemulung yang hampir
setiap hari menngumpulkan sampah dari TPA Galuga untuk memenuhi kebutuhan
mereka sehari-hari. Jumlah pemulung yang ada di Desa Galuga yaitu sebanyak
2358 orang atau 44,34 % dari jumlah total penduduk Desa Galuga (LPPD Desa
Galuga, 2015). Banyak masyarakat sekitar yang beraktivitas langsung di TPA
Galuga, sehingga pengelolaan TPA Galuga perlu ditinjau ulang untuk menghindari
bencana lain yang dapat terjadi. Selain bencana longsor, konflik antar masyarakat
dan pemerintah sering dipicu oleh eksternalitas negatif keberadaan TPA Galuga
seperti adanya air lindi sampah. Menurut warga sekitar, hampir setiap terjadinya
hujan besar air lindi sampah dari TPA Galuga meluap dan masuk rumah warga
dan menyebakan air sumur masyarakat terkontaminasi. Penelitian Kurniawan
(2006) menunjukkan bahwa kualitas air sumur wilayah sekitar TPA Galuga yaitu
pada jarak 50 M, 400 M, 600 M, dan 700 M dari lokasi TPA Galuga sudah
tercemar dan tidak layak dikonsumsi. Hal ini mengakibatkan adanya biaya yang
harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh air bersih. Eksternalitas
negatif lainnya juga dirasakan masyarakat seperti timbulnya bau tidak sedap
akibat adanya sampah, peningkatan jumlah serangga, serta adanya gangguan
kesehatan yang dirasakan masyarakat. Desmawati (2010) meneliti tentang
pengaruh TPA terhadap kualitas air sumur, kesehatan, dan sosial ekonomi
masyarakat di sekitar TPA Galuga. Adanya TPA Galuga menyebabkan masyarakat
mengalami gangguan kesehatan seperti batuk, diare, influenza, penyakit kulit, dan
ISPA.
Saat ini sistem pengelolaan 30% sampah di TPA Galuga sudah
menerapkan sistem controlled landfill yaitu dengan cara memadatkan sampah dan

meratakannya dengan menggunakan alat berat, kemudian sampah yang sudah


dipadatkan tersebut dilapisi dengan tanah setiap lima atau seminggu sekali (DKP
Kota Bogor, 2016). Hal ini berarti 70 % sampah di TPA Galuga masih ditangani
dengan menggunakan metode open dumping. Metode yang digunakan pemerintah
Kota Bogor saat ini dinilai belum maksimal karena dapat menimbulkan
eksternalitas negatif yang merugikan masyarakat sekitar. Oleh karena itu perlu
adanya alternatif sistem pengelolaan sampah yang lebih baik dan ramah
lingkungan, serta dapat meminimalkan eksternalitas negatif yang terjadi di
wilayah sekitar TPA.
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1.

Apa saja eksternalitas positif dan eksternalitas negatif dari keberadaan


TPA Galuga dan siapa stakeholder terkait?

2.

Berapa besar nilai manfaat dan kerugian ekonomi masyarakat akibat


keberadaan TPA Galuga?

3.

Bagaimana alternatif solusi sistem pengelolaan sampah di TPA Galuga


yang dapat meminimalkan kerugian dan memberikan manfaat bagi masyarakat
sekitar?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka diperoleh tujuan dari
dilaksanakannya penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Mengidentifikasi eksternalitas positif dan eksternalitas negatif yang
dirasakan masyarakat akibat keberadaan TPA Galuga.
2. Mengestimasi nilai manfaat dan nilai kerugian ekonomi masyarakat akibat
keberadaan TPA Galuga.
3. Menganalisis alternatif solusi pengelolaan sampah di TPA Galuga yang
dapat meminimalkan kerugian dan memberikan manfaat bagi masyarakat
sekitar.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
1. Nilai manfaat yang dihitung dalam penelitian ini yaitu pendapatan keberadaan
TPA Galuga sebagai sumber pendapatan penduduk sekitar yang berprofesi

sebagai pemulung dan pengepul.


2. Nilai kerugian yang dihitung dalam penelitian ini yaitu berupa biaya berobat,
biaya pengganti air bersih, dan biaya pencegahan akibat keberadaan TPA
Galuga.
3. Responden dalam penelitian ini merupakan masyarakat Desa Galuga yang
bertempat tinggal di Kampung Baru Lalamping, Kampung Moyan, dan
Kampung Sinarjaya. Responden juga dibagi berdasarkan profesi yang ditekuni
yaitu responden yang pendapatannya berasal dari TPA Galuga (MTPA) dan
yang bukan berasal dari TPA Galuga (MBTPA).

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Sampah dan Pengelolaannya
Undang-Undang Pengelolaan Sampah Nomor 18 tahun 2008 menyatakan
sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam yang
berbentuk padat. Hal ini didukung oleh Azwar (1990) yang menyatakan sampah
adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang
harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan manusia
(termasuk kegiatan industri) tetapi bukan biologis karena kotoran manusia (human
waste) tidak termasuk ke dalamnya.
Menurut Gelbert et al (1996) ada tiga dampak sampah terhadap manusia
dan lingkungan yaitu 1) dampak terhadap kesehatan berupa penyakit diare, kolera,
tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan
pengelolaan tidak tepat, 2) dampak terhadap lingkungan berasal cairan rembesan
sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air, 3)
dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi seperti pengelolaan sampah yang
tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat, sarana
penampungan sampah kurang atau tidak efisien akan menyebabkan orang
cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal ini didukung oleh Hadiwiyoto
(1983), yang menyatakan apabila sampah tidak dikelola dengan baik dapat
menimbulkan berbagai gangguan-gangguan antara lain sebagai berikut: (1)
sampah dapat menimbulkan pencemaran udara karena mengandung gas-gas yang
terjadi dan rombakan sampah bau yang tidak sedap, daerah becek dan kadangkadang berlumpur terutama apabila musim penghujan datang, (2) sampah yang
bertumpuk dapat menimbulkan kondisi dari segi fisik dan kimia yang tidak sesuai
dengan lingkungan normal, yang dapat mengganggu kehidupan di lingkungan
sekitarnya, (3) disekitar daerah pembuangan sampah akan terjadi kekurangan
oksigen. Keadaan ini disebabkan karena selama proses sampah menjadi senyawasenyawa sederhana diperlukan oksigen yang diambil dari udara disekitarnya.
Karena kekurangan oksigen dapat menyebabkan kehidupan flora dan fauna
menjadi terdesak. (4) gas-gas yang dihasilkan selama degradasi (pembusukan)
sampah

dapat

membahayakan

kesehatan

karena

kadang-kadang

proses

pembusukan ada mengeluarkan gas beracun (5) dapat menimbulkan berbagai


penyakit, terutama yang dapat ditularkan oleh lalat atau serangga lainya, binatangbinatang seperti tikus dan anjing, (6) secara estetika sampah tidak dapat
digolongkan sebagai pemandangan yang nyaman untuk dinikmati.
2.2 Pengelolaan Sampah di Indonesia
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
menyatakan bahwa pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan
sampah yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas
lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Hal ini didukung oleh
Alex (2012) yang menyatakan bahwa pengelolaan sampah merupakan kegiatan
yang meliputi pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendauran ulang atau
pembuangan dari material sampah.
Widyatmoko (2002) menyatakan, bahwa ada beberapa cara pemusnahan dan
pemanfaatan sampah, antara lain: (1) Open dumping, yaitu membuang sampah di
atas permukaan tanah; (2) Landfill, membuang sampah dalam lubang tanpa
timbunan tanah (3) Sanitary landfill, membuang sampah dalam lubang lalu
ditimbun dengan tanah secara berlapis-lapis sehingga sampah tidak berada di alam
terbuka; (4) Dumping in water, membuang sampah di perairan seperti laut dan
sungai; (5) Incenerator, yaitu pembakaran sampah secara besar-besaran pada
instalasi tertutup; (6) Pengomposan yaitu pengolahan sampah organik menjadi
pupuk kompos; (7) Daur ulang, yaitu memanfaatkan kembali barang yang masih
dapat terpakai; (8) Reduksi, yaitu menghancurkan sampah menjadi bagian kecil kecil yang hasilnya dapat dimanfaatkan. Model pengelolaan sampah di Indonesia
menggunakan sistem urugan atau tumpukan. Model urugan umumnya diterapkan
di kota-kota yang tidak begitu besar, sedangkan model tumpukan digunakan pada
kota-kota besar di Indonesia (Sudradjat, 2016)

2.3 Tempat Pembuangan Akhir


Tempat pembuangan akhir atau TPA adalah suatu areal yang menampung
sampah dari hasil pengangkutan dari TPS maupun langsung dari sumbernya (bak /
tong sampah) dengan tujuan akan mengurangi permasalah kapasitas / timbunan
sampah yang ada dimasyarakat (Suryono dan Budiman, 2010). Menurut Sudradjat
(2006), prasyarat penetapan suatu lokasi TPA adalah sebagai berikut :
1. Lokasi TPA ditempatkan jauh dari pemukiman penduduk
2. Jalan mencapai lokasi dapat ditempuh tanpa melalalui pemukiman atau
kampung.
3. Diupayakan jalan menuju TPA dibuat jalur sendiri dengan batas aman
yang tidak boleh dibuat pemukiman selebar 100 M kiri-kanan.
4. Mulai jarak 1 km mendekati lokasi TPA dikiri-kanan dijadikan tempat
pemukiman pemulung.
5. TPA tidak boleh dialokasikan di daerah yang dingin karena akan
menghambat proses perombakan bahan organik.
6. TPA bisa ditempatkan ditengah-tengah hutan, perkebunan, atau dihulu
gunung. Tujuannya agar TPA jauh dari pemukiman karena limbah
buangannya akan mencemari sumur penduduk.
Berdasarkan PP 16 tahun 2005 tentang pengembangan sistem penyediaan
air minum yang di dalamnya mengatur masalah persampahan (bagian ketiga pasal
19-22), bahwa penanganan sampah yang memadai perlu dilakukan untuk
perlindungan air baku air minum dan secara tegas dinyatakan bahwa TPA sampah
wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metode pembuangan akhirnya
dilakukan secara sanitary landfill untuk kota besar dan metropolitan dan
controlled landfill untuk kota kecil dan sedang. Berdasarkan UU No 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah pada 7 Mei 2008 paling lambat pada 2013,
tidak diperbolehkan lagi mengelola sampah dengan penumpukan sampah secara
open dumping, minimal harus secara sanitary landfill atau controlled landfill.
2.4 Konsep Valuasi Ekonomi
Menurut Permen Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan, nilai

10

ekonomi kerusakan lingkungan digunakan pendekatan harga pasar dan


pendekatan non pasar. Pendekatan harga pasar dapat dilakukan melalui
pendekatan produktivitas, pendekatan modal manusia (human capital) atau
pendekatan nilai yang hilang (foregone earning), dan pendekatan biaya
kesempatan (opportunity cost). Sedangkan pendekatan harga non pasar dapat
digunakan melalui pendekatan preferensi masyarakat (non-market method).
Beberapa pendekatan non pasar yang dapat digunakan antara lain adalah metode
nilai hedonis (hedonic pricing), metode biaya perjalanan (travel cost), metode
kesediaan membayar atau kesediaan menerima ganti rugi (contingent valuation),
dan metode benefit transfer.
a) Averting Behavioural Method
Averting Behavioural Method (ABM) digunakan untuk menilai kualitas
lingkungan berdasarkan pada pengeluaran untuk mengurangi atau mengatasi
efek negatif dari polusi (Yakin, 1997). Menurut Fauzi (2006), metode tersebut
merupakan salah satu teknik valuasi ekonomi non-pasar berbasiskan biaya
(cost-based approach) yang mengandalkan harga implisit dimana keinginan
membayar seseorang terungkap melalui model yang dikembangkan (revealed
willingness to pay).
Replacement cost merupakan salah satu pendekatan AMB yang digunakan
untuk menhitung nilai kerugian akibat pencemaran air. Kasus pencemaran air
yang sering terjadi di TPA yaitu penecemaran air tanah. Menurut National
Research Council (1997) dalam Niella (2012), sedikitnya terdapat tiga respon
yang terkait dengan upaya yang dilakukan oleh rumah tangga dalam
mengurangi dampak akibat pencemaran air tanah yakni: (1) membeli durable
goods, misalnya alat-alat penyaring (filter) untuk memberikan perlakuan
semacam water treatment terhadap air tanah sebelum dikonsumsi; (2) membeli
nondurable goods, misalnya air galon; dan (3) merubah kebiasaan sehari-hari
untuk menghindari dampak kerusakan akibat pencemaran.
Selain pencemaran air tanah, adanya bau tidak sedap dan keberadaan
serangga yang ditimbulkan oleh keberadaan TPA juga membuat adanya
tindakan pencegahan yang dilakukan masyarakat untuk mengurangi dampah
dari perubahan kualitas lingkungan tersebut. Metode yang digunakan untuk

11

menilai kerugian masyarakat akibat pencegahan terhadap eksternalitas negatif


yang ditimbulkan oleh TPA yaitu metode biaya pencegahan (Preventive
expenditure).
b) Cost of illness
Selain biaya pencegahan, penduduk juga mengalami kerugian berupa
biaya yang harus dikeluarkan atas upayanya untuk mengobati penyakitpenyakit yang timbul akibat eksternaitas negatif keberadaan TPA. Metode yang
digunakan untuk menghitung biaya tersebut adalah metode biaya kesehatan
(cost of illness). Cost of illness merupakan salah satu pendekatan yang
bertujuan memberikan nilai pada perubahan kesehatan manusia atau
kesejahteraan yang mencul dari perubahan kualitas lingkungan. Menurut dixon
et al. (1996) pendekatan cost of illness dapat digunakan untuk mengukur nilai
dari keugian kesehatan karena pencemaran. Biaya kesehatan (cost of illness) yang
juga merupakan salah satu teknik valuasi ekonomi yang berbasiskan biaya (cost-based
approach). Menurut Yakin (1997), pendekatan ini terdiri dari faktor-faktor berikut:
1) Biaya kesehatan langsung seperti biaya medis, biaya-biaya asuransi medis,
dimana biaya pengeluaran medis terdiri dari biaya medis, biaya rumah sakit,
biaya obat, biaya rehabilitasi, dan nilai hilangnya waktu yang sama dengan
hilangnya upah atau pendapatan.
2) Nilai hilangnya waktu orang yang sakit (pendapatan yang hilang dan
kesenangan yang hilang).

c) Benefit Transfer
Dalam melakukan penelitian, peneliti sering menghadapi berbagai kendala
seperti kendala keuangan, waktu, pengumpulan data, atau kendala-kendala
lainnya. Untuk itu dikembangkanlah metode benefit transfer yang juga sering
disebut sebagai metode sekunder dalam melakukan valuasi SDALH. Menurut
Permen Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012,
metode ini digunakan untuk menduga nilai ekonomi SDALH dengan cara
meminjam hasil studi/penelitian di tempat lain yang mempunyai karakteristik dan
tipologinya

sama/hampir

sama.

Penggunaan

benefit

transfer

harus

memperhatikan: 1) Nilai manfaat langsung dan nilai manfaat tidak langsung yang

12

kadang kala nilainya di berbagai hasil studi berbeda. 2) Diperlukan deskripsi


kualitatif dalam analisis yang akan disusun. 3) Proyek besar atau dengan dampak
lingkungan besar atau proyek kecil dengan dampak lingkungan yang serius,
memerlukan alat analisis yang lebih akurat, dan dalam hal ini lebih diperlukan
metode primer dari sekedar benefit transfer. 4) Perlu dilakukan penyesuaianpenyesuaian dikarenakan kebanyakan kajian dilakukan di negara maju. Langkahlangkah dalam benefit transfer: 1) Menyeleksi sekaligus menelaah pustaka yang
nilai dan analisisnya akan digunakan dalam kajian yang sedang dilakukan, jika
dimungkinkan dikaji pula lokasi dan penduduk sekitar studi kasus. Hal ini
diperlukan berkaitan dengan nilai ekonomi (langsung dan 14 tidak langsung),
yang menggambarkan preferensi yang mungkin akan berbeda dengan perbedaan
sosial ekonomi dan nilai-nilai lain. 2) Menyesuaikan nilai-nilai misalnya
mengubah nilai moneter pada satu nilai jasa ekosistem, melakukan penyesuaian
dengan tingkat sensitivitas, 3) Kalkulasi nilai per unit dari waktu. Kalkulasi total
nilai yang didiskonto, selama jangka waktu manfaat proyek tersebut akan ada.
2.6 Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan
beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis
baca diantaranya penelitian oleh Kurniawan (2006), Rangkuti (2014), Ruban
(2014). Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Penelitian terdahulu
No
1

Peneliti
Kurniawan
(2006)

Metode
Metode perhitungan
Indeks Kualitas Air
(IKA)

Rangkuti
(2014)

Analisis Deskriptif

Metode Hayami

Cost of Illness dan

Hasil Penelitian
Hasil penelitian memberikan gambaran
bahwa secara umum kualitas air sumur wilayah
sekitar TPA tergolong buruk dan tidak layak
dikonsumsi untuk air minum namun masih bisa
digunakan untuk keperluan perikanan dan
pertanian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden
memiliki persepsi terhadap kondisi Sumber Daya
Alam dan Lingkungan (SDAL) tergolong baik.
Nilai tambah pupuk kompos bernilai sebesar Rp
100,546 yaitu 43,251% per kilogram bahan
baku dan menghasilkan keuntungan sebesar
Rp 15,477 per kilogram bahan baku yang diolah
sebesar 15,369%. Berdasarkan perhitungan,

13

Replacement Cost
No

3.

Peneliti

Ruban
(2014)

Metode

Analisis
berganda

regresi

Analisis willingness
to pay

Hasil Penelitian
total biaya kesehatan sebesar Rp 56 249 600 per
bulan dan biaya konsumsi air bersih sebesar Rp
108 350 792 per bulan, sehingga nilai
eksternalitas negatif sebesar Rp 164 600 392 per
bulan. Faktorfaktor yang mempengaruhi
penurunan kualitas lingkungan yaitu tingkat
pendapatan, pekerjaan, jumlah tanggungan, jarak
tempat tinggal, dan kebersihan lingkungan.
Sebagian besar masyarakat menyatakan
bersedia untuk membayar biaya retribusi yang
lebih tinggi untuk peningkatan sistem pengolahan
sampah di TPA Dusun Toisapu dengan empat
skenario tersebut. Faktor-faktor yang sangat
mempengaruhi kesediaan masyarkat untuk
membayar retribusi yang lebih tinggi adalah
tingkat pendidikan dan jarak rumah dari lokasi
TPA. Rata-Rata WTP tertinggi pada Kecamatan
Baguala yaitu pada skenario biogas sebesar Rp
24.250/KK/bulan dan yang terendah pada
skenario insinerasi sebesar Rp 20.804/KK/bulan.
Pada Kecamatan Nusaniwe diperoleh rata-rata
WTP tertinggi yaitu sebesar Rp 21.228/KK/bulan
pada skenario composting dan terendah sebesar
Rp 18.220/KK/bulan pada skenario sanitary
landfill. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi
nilai WTP tersebut adalah pendapatan dan jarak
rumah dari TPA.

Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini. Pertama,


penelitian yang dilakukan Kurniawan (2006) terkait dengan pencemaran air
berupa identifikasi lokasi sumur di sekitar TPA Galuga yang tercemar oleh adanya
eksternalitas negatif akibat keberadaan TPA Galuga. Sedangkan penelitian ini
merupakan penilaian kerugian ekonomi masyarakat akibat adanya sumur yang
tercemar. Kedua, Rangkuti (2014) melakukan penelitian terhadap manfaat
keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan menggunakan metode
hayami yaitu untuk menghitung pemanfaatan sampah organik menjadi kompos,
sedangkan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis pendapatan yaitu
untuk menghitung pendapatan pemulung dan pengepul. Ketiga, penelitian yang
dilakukan oleh Ruban (2014) terkait dengan sumber pendanaan empat alternatif
pengelolaan TPA yaitu sanitary landfill, composting, Insinerasi, dan Biogas.

14

Sedangkan penelitian ini fokus kepada alternatif solusi sistem pengelolaan TPA
Galuga yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan meminimalkan
pencemaran lingkungan.

15

III. KERANGKA PEMIKIRAN


Peningkatan jumlah penduduk di Kota Bogor mempengaruhi jumlah
produksi dan konsumsi masyarakat. Hal ini menyebabkan peningkatan volume
sampah yang dihasilkan di Kota Bogor. Sampah dari Kota Bogor diangkut dan
dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga. TPA ini terletak di
Kabupaten Bogor, tepatnya di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang. Faktor
keterbatasan lahan menjadi alasan pemerintah Kota Bogor membuang sampahnya
di TPA Galuga.
Keberadaan TPA Galuga yang tepat berada di sebelah pemukiman
masyarakat sekitar memberikan dampak, yaitu berupa eksternalitas positif dan
negatif. Eksternalitas positif akibat keberadaan TPA Galuga yaitu banyaknya
masyarakat sekitar berprofesi sebagai pemulung dan pengepul yang bersumber
pendapatan dari sampah yang dibuang di TPA Galuga. Eksternalitas negatif yang
dirasakan oleh masyarakat sekitar seperti pencemaran air tanah yang
menyebabkan tercemarnya sumur masyarakat sekitar dan pencemaran udara
yang menyebabkan bau busuk dan menyengat, dan gangguan kesehatan yang
dirasakan masyarakat sekitar. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi
eksternalitas positif dan eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat akibat
keberadaan TPA Galuga dan mengidentifikasi siapa saja stakeholder terkait
berdasarkan penilaian dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif,
mengestimasi besarnya nilai manfaat akibat keberadaan TPA Galuga dengan
menggunakan metode perhitungan pendapatan dan mengestimasi nilai kerugian
ekonomi dengan menggunakan metode cost of illness untuk biaya kesehatan,
replacement cost untuk biaya pengganti air bersih, dan preventive expenditure
untuk biaya pencegahan bau dan serangga. Setelah mengestimasi besarnya nilai
manfaat dan nilai kerugian, selanjutnya menganalisis alternatif solusi sistem
pengelolaan sampah di TPA Galuga yang dapat meminimalkan kerugian dan
memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
Berdasarkan uraian pemikiran di atas, maka dapat digambarkan alur
kerangka berpikir yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan penelitian yang
ditampilkan pada Gambar 3.

16

Peningkatan jumlah penduduk


Kota Bogor

Penngkatan jumlah
konsumsi

Peningkatan jumlah
produksi
Peningkatan volume
sampah

TPA Galuga
(Open Dumping)
Eksternalitas
Eksternalitas Positif

Eksternalitas Negatif

Identifikasi manfaat
keberadaan TPA Galuga
bagi masyarakat sekitar

Identifikasi kerugian dari


adanya TPA Galuga bagi
masyarakat sekitar

Estimasi nilai manfaat


ekonomi dengan metode
perhitungan pendapatan

Estimasi nilai kerugian


ekonomi dengan
pendekatan valuasi
ekonomi

Persepsi multipihak terhadap


alternatif pengelolaan sampah di
TPA Galuga

Alternatif pengelolaan sampah


yang dapat meminimalkan
kerugian dan memberikan
manfaat bagi masyarakat sekitar

Gambar 3 Kerangka Alur


Pemikiran
Keterangan :

= Batasan Penelitian
= Aliran

17

IV. METODE PENELITIAN


4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor, tepatnya di Kampung Baru Lalamping, Kampung Sinarjaya
dan Kampung Moyan. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja
(purposive) dengan pertimbangan bahwa ketiga kampung tersebut merupakan
wilayah yang paling dekat dan berbatasan langsung dengan TPA Galuga.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2016.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer didapatkan dengan cara melakukan wawancara secara
langsung menggunakan kuesioner kepada masyarakat dan stakeholder terkait.
Penelitian ini juga dilakukan dengan observasi lapang. Data sekunder didapatkan
dari studi literatur dari buku referensi, jurnal, key person seperti kantor pemerintah
setempat, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor serta instansi lainnya.
4.3 Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel diambil dengan menggunakan metode non probabilty
sampling. Artinya pengambilan sampel didasarkan kriteria tertentu seperti
judgment, status, kuantitas, kesukarelaan dan sebagainya. Teknik pengambilan
contoh yang digunakan yaitu purposive sampling dengan memilih responden
berdasarkan sumber pendapatannya. Responden dibagi berdasarkan dengan
sumber pendapatannya yaitu berupa masyarakat yang sumber pendapatannya
berasal dari TPA Galuga (MTPA) dan masyarakat yang sumber pendapatannya
bukan berasal dari TPA Galuga (MBTPA). Menurut Walpole (1998) ukuran
minimum contoh yaitu sebanyak 30 responden.

Penelitian ini melibatkan

sebanyak 90 rumah tangga (KK) yang berasal dari Kamnnpung Baru Lalamping,
Kampung Sinarjaya dan kampung Moyan, RW 05 Desa Galuga. Jumlah
responden penelitian selanjutnya disampaikan pada Tabel 2

18

Tabel 2 Jumlah responden penelitian


No
1.

Responden
Kampung Baru Lalamping
a) Pemulung
b) Pengepul
c) Masyarakat
2.
Kampung Sinarjaya
d) Pemulung
e) Pengepul
f) Masyarakat
3.
Kampung Moyan
g) Pemulung
h) Pengepul
i) Masyarakat
Jumlah
Sumber : Data primer (2016)

Jumlah (Orang)

Populasi (KK)
14
1
15

70
1
50

12
3
15

90
3
50

10
0
20
90

10
0
282
556

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data


Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara kualitatif
dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi eksternalitas
positif dan eksternalitas negatif keberadaan TPA Galuga sedangkan analisis
kuantitatif digunakan untuk mengestimasi besarnya nilai manfaat ekonomi dan
nilai kerugian ekonomi masyarakat dan biaya masing-masing skenario sistem
pengelolaan sampah di TPA Galuga. Matriks metode analisis data dapat dilihat
pada Tabel 3

19

Tabel 3 Matriks metode analisis data


Jenis data yang
diperlukan
Mengidentifikasi
Persepsi masyarakat
eksternalitas positif dan
terhadap eksternalitas
eksternalitas negatif akibat positif dan eksternalitas
keberadaan TPA Galuga
negatif yang dirasakan
akibat keberadaan TPA
Galuga
Mengesitimasi nilai
a. Penerimanaan
pemulung dan pengepul
manfaat dan kerugian
serta biaya yang
masyarakat akibat
dikeluarkan
keberadaan TPA Galuga
b. Biaya berobat
c. Biaya pembelian air
bersih
d. Itensitas penyakit dan
biaya yang dikeluarkan
e. Biaya pencegahan
Tujuan penelitian

Menganalisis alternatif
a.
solusi pengelolaan TPA
b.
Galuga yang dapat
meminimalkan kerugian
dan memberikan manfaat
bagi masyarakat sekitar
Sumber : Data primer (2016)

Data nilai kerugian


ekonomi masyarakat
Biaya empat skenario
pengolahan sampah
yang ditawarkan

Sumber
data
Data
primer

Data
primer

Metode analisis data


Analisis deskriptif
kualitatif

a.

b.

Data
primer dan
data
sekunder

Estimasi nilai
manfaat ekonomi
dengan metode
analisis
pendapatan,
Estimasi nilai
kerugian ekonomi
dengan metode
replacement cost,
cost of illness, dan
preventive
expenditure

Benefit transfer dan


analisis deskriptif
kuantitatif

4.5 Identifikasi Eksternalitas Positif dan Eksternalitas Negatif


Eksternalitas positif dan eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat
dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan cara
memberikan pertanyaan yang ada dalam kuesioner terkait dengan keberadaan TPA
Galuga. Nazir (2011) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode
dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu
sistem pemikiran pada masa sekarang. Tujuan analisis deskriptif untuk membuat
deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Eksternalitas negatif
yang dirasakan masyarakat berdasarkan stakeholder terkait dapat dilihat pada
Tabel 4

20

Tabel 4 Eksternalitas yang dirasakan masyarakat dan stakeholder terkait


Jenis Eksternalitas
Eksternalitas Positif :
Sumber pendapatan
masyarakat

Yang terkena dampak


Pemulung
Pengepul

Met ode
Analisis pendapatan

Eksternalitas Negatif :
Pengganti air bersih

Pemulung
Pengepul
Masyarakat

Replacement Cost

Biaya berobat

Pemulung
Pengepul
Masyarakat

Cost of Illness

Biaya Pencegahan

Pemulung
Pengepul
Masyarakat

Preventive Expenditure

Sumber : Data primer (2016)

5.6 Estimasi Nilai Manfaat dan Kerugian Ekonomi Masyarakat


5.6.1 Estimasi Nilai Manfaat Ekonomi Masyarakat
Manfaat akibat keberadaan TPA Galuga dirasakan oleh masyarakat yang
berprofesi sebagai pemulung dan pengepul. Pemulung memperoleh manfaat dari
hasil sampah yang dijualnya ke para pengepul sampah di TPA Galuga.
Sedangkan, pengepul memperoleh manfaat dari hasil menjual sampahnya ke
pabrik-pabrik atau pengepul yang lebih besar. Berdasarkan konsep penerimaan
(total revinue) dan biaya (total cost) maka pendapatan pemulung dan pengepul
diperoleh berdasarkan persamaan berikut (Hall and Lieberman,2007) :
(Profit) = TR (Total Revinue) TC (Total Cost)..................(1)
Keterangan :
TR = Penerimaan yang diperoleh oleh pemulung dan pengepul
TC = Seluruh biaya yang ditanggung oleh pemulung atau pengepul
Nilai TR (Total Revinue) diperoleh dari persamaan berikut :
TR (Total reveniue) = P (Price) x Q (Quantities).....................(2)
Keterangan :
P

= Harga sampah yang dijual

21

= Kuantitas sampah yang dijual oleh pemulung dan pengepul

4.6.2 Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat


Estimasi nilai kerugian ekonomi masyarakat yang diakibatkan pencemaran
lingkungan akibat keberadaan TPA Galuga diestimasi dengan metode replacement
cost, cost of illness, dan preventive expenditure. Metode replacement cost untuk
menghitung estimasi kerugian ekonomi yang didasarkan pada kasus penggunaan
sumber lain akibat tercemarnya air sumur masyarakat yang diidentifikasi dengan
penyebaran kuesioner. Informasi yang akan dicari terkait penggunaan metode
replacement cost antara lain: 1) sumber air pengganti, yaitu dari mana sumber air
pengganti yang digunakan responden untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
seperti MCK (mandi, cuci, kakus) dan minum; 2) biaya, yaitu besarnya biaya
yang dikeluarkan responden untuk membeli sumber air pengganti. Rata-rata dari
masing masing biaya pengganti dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
(1) sebagai berikut :
n

RBP=

BPi
i=1

............................................................(3)

Keterangan :
RBP

= Rata-rata biaya pengganti untuk air bersih (Rp)

Bpi

= Biaya pengganti untuk air minum oleh responden i (Rp)

= Jumlah responden

= Responden ke-i (1,2,3,.....,n)


Estimasi kerugian ekonomi untuk biaya berobat menggunakan metode

cost of illness yaitu dengan menggunakan biaya kesehatan yang dikeluarkan


akibat pencemaran lingkungan TPA Galuga. Menurut Suparmoko (2006), dampak
dari suatu kegiatan terhadap lingkungan yang memberikan dampak terhadap
kesehatan manusia maka dapat diukur dengan menggunakan metode Cost of
Illness (COI) atau biaya kehidupan. Pendekatan ini menghitung kerugian
berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit akibat penurunan

22

kualitas lingkungan. Pada metode ini informasi yang diperlukan diantaranya: 1)


jenis penyakit, penyakit apa yang diderita oleh responden akibat pencemaran TPA
Galuga; 2) tingkat mengalami penyakit, seberapa sering responden mengalami
penyakit tersebut dalam satu tahun; 3) biaya, besar biaya yang dikeluarkan
responden untuk mengobati penyakit yang diderita; 4) kemana pergi berobat,
apakah ke rumah sakit, ke puskesmas atau klinik kesehatan. Besarnya biaya
kesehatan didapat dari menghitung jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh
responden untuk mengobati penyakitnya. Persamaan (2) merupakan persamaan
yang digunakan untuk menghitung rata-rata biaya kesehatan yang dikeluarkan
oleh rumah tangga responden.
n

RBK=

BKi

......................................................(4)

i=1

Keterangan :
RBK

= Rata-rata biaya untuk berobat (Rp)

BKi

= Biaya untuk berobat oleh responden ke- i (Rp)

= Jumlah responden

= Responden ke-i (1,2,3,.....,n)


Kerugian ekonomi dari pencemaran sampah juga dapat diestimasi dengan

menggunakan metode biaya pencegahan untuk mengurangi dampak negatif yang


dirasakan. Biaya pencegahan yang ditanggung oleh responden dihitung dari
jumlah uang yang dikeluarkan untuk melakukan upaya pengurangan eksternalitas
negatif dari pencemaran sampah. Untuk memperoleh biaya rata-ratanya, maka
jumlah uang yang dikeluarkan untuk melakukan pencegahan dibagi dengan
jumlah responden yang mengeluarkan biaya pencegahan.
n

RBPcg

BPcgi

i=1

Dimana

.....................................(5)

: RBPcg = rata-rata biaya pencegahan bau dan serangga (Rp)

23

BPcgi = biaya pencegahan bau dan serangga responden i (Rp)

4.5.3

= jumlah responden

= responden ke-i (1,2,3,....,n)

Alternatif Solusi Pengelolaan TPA Galuga Berdasarkan Persepsi


Stakeholder Terkait
Alternatif sistem pengelolaan yang digunakan untuk dianalisis dalam

penelitian ini yaitu sanitary landfill, composting, insinerasi dan biogas. Data yang
dibutuhkan untuk dianalisis berupa bilai investasi dan operasional masing-masing
alternatif sistem pengelolaan TPA. Nilai tersebut diperoleh dari TPA lain yang
telah menrapkan sistem pengelolaan tersebut dengan menggunakan metode
benefit transfer. Menurut Permen Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2012 penggunaan benefit transfer harus memperhatikan: 1) Nilai
manfaat langsung dan nilai manfaat tidak langsung yang kadang kala nilainya di
berbagai hasil studi berbeda. 2) Diperlukan deskripsi kualitatif dalam analisis
yang akan disusun. 3) Proyek besar atau dengan dampak lingkungan besar atau
proyek kecil dengan dampak lingkungan yang serius, memerlukan alat analisis
yang lebih akurat, dan dalam hal ini lebih diperlukan metode primer dari sekedar
benefit transfer. 4) Perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian dikarenakan
kebanyakan kajian dilakukan di negara maju.
Langkah-langkah dalam benefit transfer: 1) Menyeleksi sekaligus
menelaah pustaka yang nilai dan analisisnya akan digunakan dalam kajian yang
sedang dilakukan, jika dimungkinkan dikaji pula lokasi dan penduduk sekitar
studi kasus. Hal ini diperlukan berkaitan dengan nilai ekonomi (langsung dan 14
tidak langsung), yang menggambarkan preferensi yang mungkin akan berbeda
dengan perbedaan sosial ekonomi dan nilai-nilai lain. 2) Menyesuaikan nilai-nilai
misalnya mengubah nilai moneter pada satu nilai jasa ekosistem, melakukan
penyesuaian dengan tingkat sensitivitas, 3) Kalkulasi nilai per unit dari waktu.

24

Kalkulasi total nilai yang didiskonto, selama jangka waktu manfaat proyek
tersebut akan ada.
Setiap nilai investasi dan operasional skenario pengelolaan TPA Galuga
dikonversi kedalam nilai saat ini (Future Value) sesuai dengan tingkat suku bunga
Bank Indonesia per 19 Mei 2016, yaitu 6,75 %. Perhitungan future value dari
biaya investasi dan operasional adalah sebagai berikut (Sinaga, 2009) :
FV = PE (1+r)t..............................................................(6)
dimana:
FV = Nilai saat ini (Rupiah)
PE = Nilai biaya investasi/operasional skenario (Rupiah)
r

= Suku bunga Bank Indonesia (6,75%)

= Selisih waktu saat ini dengan waktu biaya investasi/operasional dikeluarkan

(tahun)
Setelah mendapatkan biaya investasi dan operasional masing-masing
skenario, maka langkah selanjutnya yaitu membandingkan total biaya dengan nilai
manfaat atau kerugian yang hilang apabila alternatif sistem pengelolaan tersebut
digunakan.

25

V. GAMBARAN UMUM DAN WILAYAH PENELITIAN


5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Desa Galuga merupakan salah satu desa di Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 170,5 Ha. Desa Galuga terbagi dalam 5
dusun, 6 Rukun Warga (RW), 13 Rukun Tetangga (RT). Jarak tempuh Desa
Galuga ke Kecamatan Cibungbulang yaitu 3 KM, Kabupaten Bogor 50 KM,
Provinsi Jawa Barat 140 Km, dan Jakarta 80 KM.
Desa Galuga berbatasan dengan Desa Cijunjung di sebelah utara, Desa
Dukuh di sebelah timur, Desa Cemplang disebelah selatan dan Desa Leuwiliang
disebelah barat. Kampung Baru Lalamping (RT 08), Kampung Sinarjaya (RT 09),
dan Kampung Moyan (RT 10 dan RT 11) merupakan pemukiman masyarakat
yang jaraknya paling dekat dan berbatasan langsung dengan TPA Galuga. Sarana
dan prasarana umum yang dimiliki oleh Desa Galuga yaitu tiga Taman KanakKanak (TK), satu Taman Kanak-kanak (TK) islam, satu Sekolah dasar (SD), satu
Madrasah Ibtidaiyah (MI), satu Madrasah Tsanawiyah (MTS), sembilan pondok
pesantren, delapan mesjid, tiga belas musholla, satu poliklinik, satu poskesdes,
dan tujuh unit Posyandu.
Jumlah penduduk Desa Galuga yaitu 5200 jiwa dengan komposisi 2850
jiwa laki-laki dan 2620 jiwa perempuan dan memiliki 1700 Kepala Keluarga
(KK). Sebagian besar agama yang dianut warga Desa Galuga yaitu agama islam
sebanyak 5195 orang dan agama kristen sebanyak 5 orang. Jumlah penduduk
berdasarkan tingkat pendidikannya yaitu belum sekolah sebanyak 750, SD
sebanyak 1720 orang, SMP sebanyak 360 orang, SMA sebanyak 275 orang,
Akademi sebanyak 21 orang, S1 sebanyak 18 orang, dan S2 sebanyak 2 orang.
Persentase mata pencaharian penduduk Desa Galuga dapat dilihat pada Tabel 5.

26

Tabel 5 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Galuga


Mata Pencaharian
Jumlah (orang)
Petani
Pedagang
Pegawai Negeri Sipil
TNI
Buruh Pabrik
Pengrajin
Tukang Bangunan
Penjahit
Tukang Ojek
Bengkel
Sopir
Pemulung
Lain-lain
Total
Sumber : Laporan akhir tahun Desa Galuga, 2015

Persentase
2125
250
9
1
88
40
22
5
60
7
35
2358
200
5200

40,86%
4,80%
0,17%
0,01%
1,69%
0,76%
0,42 %
0,09%
1,15 %
0,13%
0,67%
45,34%
3,84%
100%

Mayoritas penduduk di Desa Galuga berprofesi sebagai petani dan


pemulung. Sebelum adanya perluasan TPA Galuga, sebagian besar penduduk
berprofesi sebagai petani. Akan tetapi, adanya pembebasan lahan yang dilakukan
oleh pemerintah Kota Bogor untuk memperluas lahan TPA Galuga, banyak petani
yang berubah profesi menjadi pemulung. Hal ini karena mereka sudah tidak bisa
memanfaatkan lahan pertaniannya lagi.
5.2 TPA Galuga
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga merupakan tempat pembuangan
akhir yang terletak di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Sampah yang dibuang ke TPA Galuga berasal dari Kota Bogor dan Kabupaten
Bogor. Hal ini dikarenakan keterbatasan lahan yang dimiliki oleh Kota Bogor,
sehingga harus menyewa lahan Kabupaten Bogor dengan batas waktu tertentu.
Luas lahan pemerintah Kota Bogor yang ada di Desa Galuga yaitu sebesar 31,2
Ha, sedangkan luas lahan pemerintah Kabupaten Bogor hanya sebesar 4 Ha.
Pengelolaan TPA Galuga dilakukan oleh pihak pemerintah Kota Bogor dan
Kabupaten Bogor.
Sampah yang masuk ke TPA Galuga berasal dari berbagai sumber yaitu
sampah dari pemukiman masyarakat, sampah dari pasar, sampah dari pertokoan,
sampah dari jalan raya dan sampah dari kawasan industri. Sampah tersebut
kemudian diangkut ke TPA sampah Galuga dengan armada truk yang berjumlah

27

116 unit. Menurut pihak DKP Kota Bogor, Kota Bogor menghasilkan 2.600 meter
kubik perhari, sedangkan sampah yang bisa terangkut ke TPA Galuga dalam satu
hari menggunakan 116 truk sampah sebanyak 1900 meter kubik, sisa sampah yang
tidak terangkut dikelola di 25 TPS3R dengan rasio masing TPS3R dapat
mengelola 10 hingga 15 meter kubik per hari.
Sistem pengelolaan TPA Galuga saat ini sebagian besar masih open
dumping, yaitu metode pembuangan sampah pada suatu cekungan tanpa
menggunakan tanah sebagai penutup sampah. Metode ini sangat berpotensi
untuk mencemari lingkungan, seperti pencemaran air tanah, bau tidak sedap,
banyaknya lalat, nyamuk dll. Metode ini sudah tidak direkomendasikan oleh
pemerintah. Penanganan sampah dengan metode open dumping di TPA dilarang
dilakukan sebagaimana tercantum dalam pasal 29 ayat 1f Undang-Undang Nomor
18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang menjelaskan bahwa pengelolaan
TPA secara Open Dumping harus ditingkatkan menjadi Controlled landfill dan
Sanitary Landfill. Saat ini pemerintah Kota Bogor telah berusaha menerapkan
aturan tersebut, ditandai dengan 30% lahan sampah di TPA Galuga telah
menerapkan controlled landfill seperti aturan yang berlaku. Pihak pengelola
menjelaskan pemerintah Kota Bogor akan berupaya menerapkan sistem controlled
landfill secara keseluruhan dan akan membutuhkan waktu yang relatif lama.
Dalam mengatasi pencemaran lingkungan yang terjadi disekitar TPA Galuga,
pemerintah Kota Bogor telah memberikan kompensasi berupa penyediaan saluran
air bersih (PAM), penyemprotan serangga tiga bulan sekali, pengobatan gratis
bagi masyarakat dua kali dalam satu bulan, dan perbaikan jalan.
5.3 Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal
di Kampung Baru Lalamping, Kampung Sinarjaya dan Kampung Moyan, RW 05,
Desa Galuga. Karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 6

28

Tabel 6 Karakteristik Responden


Karakteristik
Jumlah responden (orang)
A.Usia (tahun)
15-24
25-34
35-44
45-54
>54
Jumlah
B.Jenis Kelamin
Laki - laki
Perempuan
Jumlah
C.Tingkat Pendidikan
Tidak tamat SD
SD
SMP
SLTA
Jumlah
D.Jumlah Tanggungan Keluaga (orang)
0
1
2
3
4-5
Jumlah
E.Jarak tempat tinggal
(meter)
300 500
501 1000
1001 1500
Jumlah
Karakteristik
Jumlah Responden
F.Jenis Pekerjaan
Pemulung
Pengepul
Pedagang
Buruh
Lain lain
Jumlah
G.Lama Tinggal (tahun)
<10
10-20
>20
Jumlah
Sumber : Data Primer (2016)

Persentase (%)
8
33
24
16
9
90

9
36
27
18
10
100

48
42
90

53
47
100

9
54
14
13
90

10
60
16
14
100

11
16
34
18
11
90

12
18
38
20
12
100

55
20
15
90

60
22
18
100
Persentase (%)

36
4
24
6
18
90

40
4
27
7
20
100

1
10
79
90

1
11
88
100

Mayoritas responden berusia antara 25-44 tahun. Hal ini dikarenakan


didalam suatu rumah tangga (KK) yang bekerja adalah suami dan istri yang
mayoritas berumur 25-44 tahun, sedangkan anak mereka bersekolah. Responden
memilih untuk menyekolahkan anaknya dengan harapan dimasa yang akan datang

29

anaknya dapat merasakan kehidupan yang lebih baik. Hal ini mengingat
banyaknya responden yang hanya merupakan tamatan SD yaitu sebesar 60% atau
sebanyak 54 orang. Sehingga saat ini mereka sulit untuk mendapat pekerjaan dan
lebih memilih memulung. Selain anak-anak, masyarakat yang sudah lanjut usia
juga rata-rata tidak melakukan aktivitas memulung sampah lagi.
Jenis pekerjaan responden selain pemulung dan pengepul sampah yaitu
berupa pedagang, buruh, petani , IRT dan karyawan pabrik. Mayoritas responden
selain berprofesi sebagai pemulung dan pengepul juga sebagai pedagang.
Sedangkan petani yang ada di Desa Galuga semakin berkurang jumlah seiring
dengan adanya pembebasan lahan yang dilakukan pihak pemerintah Kota Bogor.

30

31

VI. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN


6.1 Identifikasi Eksternalitas Positif dan Negatif Akibat
Keberadaan TPA Galuga
Keberadaan

TPA Galuga

mengakibatkan adanya eksternalitas yang

dirasakan masyarakat sekitar. Menurut Fauzi (2006), eksternalitas didefinisikan


sebagai dampak (positif atau negatif) dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain.
Eksternalitas yang dirasakan oleh masyarakat yang bertempat tinggal disekitar
TPA Galuga berupa eksternalitas positif dan eksternalitas negatif. Eksternalitas
yang

dirasakan

masyarakat

dalam

penelitian

ini

diidentifikasi

dengan

menggunakan analisis deskriptif kuantitatif.


6.1.2 Eksternalitas Positif Keberadaan TPA Galuga Bagi Masyarakat
Eksternalitas positif

yang dirasakan masyarakat dari keberadaan TPA

Galuga yaitu sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat. Masyarakat yang


merasakan manfaat dari adanya TPA Galuga merupakan masyarakat yang
berprofesi sebagai pemulung dan pengepul. Pemulung dan pengepul yang
beraktivitas di sekitar TPA Galuga tidak hanya berasal dari Desa Galuga, tapi juga
berasal dari daerah lain seperti dari masyarakat dari Desa Cijunjung, Desa Dukuh
yang berada di wilayah Kecamatan Cibungbulang dan masyarakat dari Kecamatan
Lewiliang. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan TPA Galuga tidak hanya
memberikan manfaat masyarakat Desa Galuga, tetapi juga daerah lain yang
terletak disekitar TPA Galuga.
Sebelum menjual sampah ke pengepul, pemulung terlebih dahulu
memisahkan sampah berdasarkan jenisnya. Pemilahan sampah dilakukan karena
harga sampah yang dijual pemulung ke pengepul berbeda tiap jenisnya. Perbedaan
harga tiap jenis sampah dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Jenis sampah dan harganya yang dijual pemulung ke pengepul
No
Jenis sampah
1
Sampah plastik tipe polietilena (PE)
2
Sampah plastik tipe polipropilenia (PP)
3
Kresek
4
Botol kaca
5
Alumunium
6
Kaleng
Sumber : Data primer (2016)

Harga (Rp)
2.400,00
1.200,00
1.000,00
500,00
1.000,00
800,00

Satuan
Kg
Kg
Kg
Kg
Kg
Kg

32

Sampah plastik tipe polietiline (PE) berupa kantong plastik, plastik


pembungkus makanan, bahan pembuat botol susu, botol atau kemasan deterjen,
kemasan margarin, pipa air, dan tempat sampah.pembungkus kabel, mainan, tutup
kemasan, ember, container, pipa. Sampah tipa polipropilena (PP) berupa
komponen mesin cuci, komponen mobil, pembungkus tekstil, botol, permadani,
tali plastik, serta bahan pembuat karung. Harga sampah yang berlaku berdasarkan
Tabel 5 dapat mengalami perubahan tiap waktunya. Menurut keterangan
responden pengepul di TPA Galuga harga sampah yang dijual ke pabrik-pabrik
besar atau pengepul besar awal tahun 2016 mengalami penurunan. Hal ini di
akibatkan adanya penurunan jumlah permintaan sampah di pasaran.
Manfaat keberadaan TPA Galuga juga dirasakan oleh pemerintah Kota
Bogor yaitu berupa pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos. Selain
mengurangi jumlah timbulan sampah yang ada di TPA Galuga, pengolahan
sampah oraganik juga dapat memberi pemasukan bagi pemerintah Kota Bogor.
Kompos yang dihasilkan oleh pemerintah Kota Bogor digunakan untuk
kepentingan penghijauan Kota Bogor yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Bogor atau dijual kepada para petani dan pengusaha ikan
bandeng di Kota Bogor (DKP Kota Bogor, 2016). Manfaat pengolahan sampah
organik di TPA Galuga tidak dimasukkan ke nilai manfaat yang dirasakan
masyarakat karena pengolahan kompos dilakukan langsung oleh pihak pemerintah
Kota Bogor.
6.2.2 Eksternlitas Negatif
Selain eksternalitas positif, keberadaan TPA Galuga juga memberikan
eksternalitas negatif atau kerugian terhadap masyarakat. Eksternalitas negatif
yang dirasakan responden yaitu

bau tidak sedap, penurunan kualitas air,

gangguan terhadap kesehatan, dan banyak serangga. Eksternalitas negatif yang


dirasakan responden dapat dilihat pada Tabel 9.

33

Tabel 9 Eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat


No
1
2
3
4

Eksternalitas negatif
Bau tidak sedap
Penurunan kualitas air
Gangguan terhadap kesehatan
Keberadaan serangga
Jumlah

Jumlah responden (orang)


80
45
35
81
241

Sumber : Data primer (2016)

Berdasarkan Tabel 9, eksternalitas negatif yang banyak dirasakan


masyarakat yaitu berupa keberadaan serangga dan bau tidak sedap. Sebagian
besar responden pemulung dan pengepul mengaku bahwa mereka sudah terbiasa
dengan adanya bau tidak sedap dan keberadaan serangga, sehingga hal tersebut
tidak mengganggu aktivitas sehari-hari mereka. Eksternalitas negatif lain berupa
penurunan kualitas air dan gangguan kesehatan juga dirasakan oleh responden.
Kualitas air yang mengalami perubahan yaitu berupa air tanah (sumur) yang
dimiliki responden dan kobak (kolam air bersih).
Adanya eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat menimbulkan
konflik antara masyarakat dan pihak pengelola TPA Galuga. Menurut UU No 18
Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, sengketa persampahan merupakan
perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga
adanya gangguan dan kerugian terhadap kesehatan masyarakat atau lingkungan
akibat pengelolaan sampah. Pada bulan januari 2016 warga Desa Galuga dan
Desa Cijujung Kecamatan Cibungbulang melakukan demo di Kantor Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor. Hal ini terkait dengan tuntunan warga
untuk diberikan kompensasi akibat pencemaran yang diakibatkan oleh
keberadaan TPA Galuga. Menurut keterangan warga, apabila terjadi hujan deras
maka saluran pembuangan air lindi sampah dari TPA Galuga akan melimpah dan
air limbahnya akan mengenagi beberapa rumah warga sekitar. Selain itu, aksi
pemblokiran jalan juga dilakukan warga setempat dengan bantuan LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) pada bulan Maret 2016, sehingga menyebabkan
TPA Galuga tidak beroperasi selama beberapa hari.
6.2.2.1 Bau tidak sedap
Salah satu eksternalitas negatif yang dirasakan oleh responden yaitu
polusi udara berupa bau tidak sedap. Beberapa bahan organik yang ada di TPA

34

sampah yang bersifat mudah urai (biodegradable) umumnya tidak stabil dan
cepat menjadi busuk karena mengalami proses degradasi yang akan menimbulkan
bau yang menyengat dan mengganggu (Pascucci, 2011). Bau tidak sedap yang
dirasakan responden dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Esternalitas negatif berupa bau tidak sedap
No
1

Responden
Jumlah responden (Orang)
Kampung Baru Lalamping
a) MTPA
b) MBTPA
2
Kampung Sinarjaya
a) MTPA
b) MBTPA
3
Kampung Moyan
a) MTPA
b) MBTPA
Jumlah
Sumber : Data primer (2016)
Keterangan :
MTPA (Masyarakat yang sumber pendapatannya berasal dari TPA)
MBTPA (Masyarakat yang sumber pendapatannya bukan berasal dari TPA)

13
15
14
15
7
16
80

Bau tidak sedap paling banyak dirasakan oleh responden yang tempat
tinggalnya berada di dekat TPA Galuga yaitu responden Kampung Baru
Lalamping dan Kampung Sinarjaya. Terdapat perbedaan persepsi antara
responden yang sumber pendapatannya berasal dari TPA Galuga dengan
responden dengan pendapatan yang bukan berasal dari TPA Galuga terhadap bau
tidak sedap yang ditimbulkan oleh TPA Galuga. Menurut responden pemulung
dan pengepul, mereka sudah terbiasa dengan bau tidak sedap tersebut, sehingga
adanya bau tidak sedap tidak mengganggu aktivitas mereka. Hal ini berbanding
terbalik dengan sebagian responden dengan sumber pendapatan bukan berasal
dari TPA Galuga yang mengatakan adanya bau tidak sedap membuat masyarakat
tidak nyaman. Tetapi mereka harus merasakan bau tidak sedap tersebut.
Pihak pemerintah Kota Bogor memberikan kompensasi berupa uang
kebauan terhadap masyarakat. Masyarakat yang memperoleh uang kebauan
hanya sebagian kecil dari populasi masyarakat di Desa Galuga. Uang kebauan
lebih efektif jika diberikan kepada masyarakat yang jarak rumahnya dekat dengan
TPA Galuga atau masyrakat yang rumahnya dilalui oleh truk pengangkut sampah
karena truk pengangkut sampah yang melewati lingkungan masyarakat
mengeluarkan air sampah sepanjang jalan yang mengakibatkan bau tidak sedap

35

terasa lebih menyengat (DKP Kota Bogor, 2016).


6.2.2.2 Penurunan Kualitas Air
Perubahan kualitas air dirasakan oleh responden yang menggunakan air
sumur dan kobak (kolam air bersih). Perubahan yang terjadi berupa perubahan
pada warna, rasa dan bau air sumur yang digunakan oleh responden. Warna air
sumur menjadi kekuningan dan mengeluarkan bau tidak sedap serta rasa yang
sedikit pahit jika dikonsumsi. Hal tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Desmawati (2010) yang menyatakan bahwa kualitas air
sumur di sekitar TPA Galuga pada beberapa parameter tidak memenuhi standar
baku mutu air dari sisi bau dan rasa.
Air sumur dan kobak tercemar akibat terkontaminasi oleh air lindi yang
berasal dari TPA Galuga. Penguaraian sampah organik akan menghasilkan cairan
yang disebut leachter (lindi) yang menyerap zat-zat pencemar disekitarnya
sehingga dapat menembus lapisan tanah dan mengakibatkan kontaminasi pada air
tanah (Mulia, 2005). Berdasarkan hasil penelitian Priambodho (2005) tentang
kualitas air lindi di TPA Galuga, Kabupaten Bogor, secara umum, kualitas
perairan saluran buangan lindi dan perairan umum sekitarnya termasuk kriteria
sedang sampai buruk. Perubahan kualitas air yag dirasakan oleh responden dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Eksternalitas negatif berupa penurunan kualitas air
No
1

Responden
Kampung Baru Lalamping
c) MTPA
d) MBTPA
2
Kampung Sinarjaya
c) MTPA
d) MBTPA
3
Kampung Moyan
c) MTPA
d) MBTPA
Jumlah
Sumber : Data primer (2016)

Jumlah responden (orang)


8
6
13
11
5
2
45

Berdasarkan tabel 8 responden yang paling banyak marasakan adanya


penurunan kualitas air yaitu responden yang berasal dari Kampung Sinarjaya. Hal
tersebut dikarenakan Kampung Sinarjaya merupakan wilayah yang dilalui saluran
pembuangan air lindi sampah dari TPA Galuga. Kemampuan air mencemari air

36

permukaan/air tanah dipengaruhi oleh kondisi geologi (type tanah dan jenis
batuan) serta kondisi hidrologi (kedalaman dan pergerakan air tanah, jumlah
curah hujan serta pengendalian aliran permukaan) dimana lokasi TPA berada
(Maramis, 2008).
Responden menggunakan air PAM dan air galon sebagai pengganti air
bersih. Air PAM digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mencuci, mandi
dan memasak, sedangkan air galon digunakan untuk dikonsumsi sebagai air
minum oleh masyarakat. Sebagian responden juga memanfaat air PAM sebagai
air minum dengan cara dimasak terlebih dahulu. Masyarakat mengatakan
keberatan jika harus membayar biaya pengganti air bersih tiap bulannya karena
sebelum adanya dampak penurunan kualitas air akibat keberadaan TPA Galuga,
masyarakat dapat memeperoleh air bersih dengan gratis.
6.2.2.3 Gangguan terhadap kesehatan
Eksternalitas negatif lain yaitu berupa adanya gangguan kesehatan
(penyakit) yang dirasakan oleh keluarga responden. Sampah yang ada di TPA
Galuga menjadi sumber penyakit bagi masyarakat sekitar. Identifikasi
eksternalitas negatif berupa gangguan kesehatan yang dirasakan responden dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Eksternalitas negatif berupa gangguan kesehatan
No
1

Keterangan
Kampung Baru Lalamping
e) MTPA
f) MBTPA
2
Kampung Sinarjaya
e) MTPA
f) MBTPA
3
Kampung Moyan
e) MTPA
f) MBTPA
Jumlah
Sumber : Data primer (2016)

Jumlah responden (Orang)


8
6
10
8
2
1
35

Penyakit yang diderita oleh keluarga responden yaitu penyakit yang


menyerang saluran pernapasan yaitu ISPA dan flek paru dan penyakit kulit berupa
gatal-gatal. Tabel 13 menunjukkan penyakit yang diderita oleh keluarga
responden.

37

Tabel 13 Penyakit yang diderita keluarga responden


No

Keluarga responden

Kampung Baru Lalamping


a) MTPA
b) MBTPA
2
Kampung Sinarjaya
a) MTPA
b) MBTPA
3
Kampung Moyan
a) MTPA
b) MBTPA
Jumlah
Sumber : Data primer (2016)

Jenis penyakit
Flek paru

ISPA

Gatal-gatal

3
2

1
6

5
1

2
3

0
1

0
2

3
0
13

1
0
9

4
1
13

Jumlah penderita ISPA yaitu 13 responden, flek paru 9 responden, dan


gatal-gatal 13 responden. Penyakit ISPA lebih banyak dirasakan oleh pemulung
dan pengepul dibandingkan dengan masyarakat. Hal ini dikarenakan responden
pemulung dan pengepul lebih sering melakukan kontak langsung dengan sampah.
Saat melakukan aktivitas pemilahan sampah di TPA Galuga sebagian besar
pemulung tidak menggunakan masker. Sehingga udara yang dihirup merupakan
udara yang telah bercampur dengan gas metan yang dihasilkan oleh sampah di
TPA Galuga. Jumlah penderita flek paru lebih banyak dirasakan oleh keluarga
responden di Kampung Sinarjaya yaitu sebanyak 7 orang atau 78 % dari jumlah
responden yang menderita flek paru. Flek paru banyak diderita oleh keluarga
responden yang masih balita. Hal ini karena balita sangat rentan dengan kualitas
udara yang buruk. Pengobatan penyakit flek paru rata-rata membutuhkan waktu 6
bulan berobat ke dokter rutin sekali dalam 2 minggu. Selain penyakit yang
mengganggu saluran pernapasan terdapat juga penyakit infeksi kulit berupa gatalgatal yang dirasakan oleh responden.
6.2.2.4 Peningkatan jumlah serangga
Eksternalitas negatif yang paling banyak dirasakan oleh masyarakat
adalah keberadaan serangga yaitu lalat dan nyamuk yang dinilai sangat
mengganggu aktivitas masyarakat seperti lalat yang hinggap di sekitar rumah
masyarakat dengan jumlah yang sangat banyak dan nyamuk yang semakin

38

banyak karena lingkungan masyarakat yang dekat dengan sampah. Tabel 11


menunjukkan eksternalitas negatif berupa peningkatan jumlah serangga yang
dirasakan responden. Eksternalitas negatif berupa peningkatan jumlah serangga
dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Eksternalitas negatif berupa peningkatan jumlah serangga
No
1

Jumlah responden (Orang)

Kampung Baru Lalamping


a) MTPA
b) MBTPA
2
Kampung Sinarjaya
a) MTPA
b) MBTPA
3
Kampung Moyan
a) MTPA
b) MBTPA
Jumlah
Sumber : Data primer (2016)

Upaya

pencegahan

15
15
15
15
7
14
81

yang

dilakukan

masyarakat

hanya

berupa

penyemprotan obat serangga dan obat anti nyamuk. Pihak pemerintah Kota
Bogor melakukan

penyemprotan obat anti serangga di setiap wilayah yang

berada di sekitar TPA Galuga. Penyemprotan diharapkan dapat mencegah


timbulnya penyakit akibat keberadaan serangga di pemukiman masyarakat. Akan
tetapi penyemprotan yang dilakukan hanya apabila ada laporan permintaan dari
masyarakat.
6.2 Estimasi Nilai Manfaat dan Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat
Keberadaan TPA Galuga
6.2.1 Estimasi Nilai Manfaat Ekonomi Masyarakat Akibat Keberadaan TPA
Galuga
Nilai manfaat yang dirasakan masyarakat Kampung Baru Lalamping,
Kampung Sinarjaya dan Kampung Moyan akibat keberadaan TPA Galuga adalah
berupa sumber pendapatan bagi pemulung dan pengepul. Nilai manfaat diperoleh
mengurangkan nilai penerimaan yang diperoleh responden dengan biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan aktivitas responden.
Nilai manfaat yang diperoleh pemulung diperoleh dengan cara
mengurangkan penerimaan yang diperoleh pemulung dengan biaya yang
digukanan pemulung dalam beraktivitas di TPA Galuga. Penerimaan yang

39

diperoleh pemulung diperoleh dari hasil menjual sampah yang telah dipilahnya ke
ke pengepul. Biaya yang dikeluarkan oleh pemulung berupa biaya pembelian
keranjang, sepatu dan gaco. Harga keranjang tergantung dengan ukuran yang
dibeli oleh pemulung. Gaco merupakan alat yang digukanan pemulung untuk
mengait sampah. Sebagian besar pemulung membuat sendiri gaco yang akan
mereka gunakan. Harga sepatu bervariasi teragntung dengan merk yang dibeli
oleh pemulung. Rata-rata dalam sehari pemulung memperoleh pendapatan sebesar
Rp. 30.000,00- Rp.50.000,00. Jumlah pendapatan yang diterima pemulung
bervariasi. Hal ini tergantung dengan waktu yang digunakan pemulung untuk
mengambil sampah di TPA Galuga. Mayoritas pemulung bekerja setiap harinya.
Walaupun sabagian dari pemulung ada yang libur pada hari minggu atau jumat.
Selain itu ada juga masyarakat yang hanya menjadikan pemulung sebagai profesi
sampingannya. Hal ini juga akan mempengaruhi pendpatan yang diperolehnya.
Pendapatan pengepul diperoleh dari mengurangkan penerimaan yang
diterima oleh pengepul dengan biaya yang dikeluarkan oleh pengepul. Penerimaan
yang diterima pengepul berasal dari penjualan sampah yang dibelinya dari
pemulung ke pengepul yang lebih besar atau pabrik. Biaya yang dikeluarkan
pengepul yaitu berupa biaya pengangkutan (transportasi). Estimasi total nilai
manfaat ekonomi masyarakat akibat keberadaan TPA Galuga dapat dilihat pada
Tabel 15.
Tabel 15

Estimasi total nilai manfaat ekonomi masyarakat akibat keberadaan


TPA Galuga

Keterangan
A. Pemulung
Kampung Baru
Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan
Jumlah
B. Pengepul
Kampung Baru
Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan

Rata-rata Nilai
Manfaat
/KK/tahun (Rp)
*(a)

Jumlah
Populasi
(KK)
*(b)

Total Nilai Manfaat/tahun


(Rp)*(c=a*b)

13.172.142,86

70

922.050.000,20

14.643.750
13.128.000

90
10
170

1.317.937.500
131.280.000
2.371.267.500,20

21.120.000,00

21.120.000,00

43.200.000,00
0

3
0

129.600.000,00
0

40

Jumlah

Estimasi Total Nilai Manfaat Masyarakat


Sumber : Data primer (2016)
*Perhitungan pada lampiran 1,2 dan 3

Nilai manfaat yang dirasakan oleh keluarga

150.720.000,00
2.521.987.500,20

responden tiap kampung

berbeda. Jumlah pemulung dan pengepul untuk tiap kampung berbeda. Pemulung
terbanyak terdapat di Kampung Sinarjaya yaitu sebanyak 90 KK. Sedangkan di
Kampung lainnya yaitu Kampung Baru Lalamping sebanyak 70 KK dan
Kampung Moyan hanya sebanyak 10 KK. Jumlah pengepul di Kampung Baru
Lalamping yaitu 1 KK dan Kampung Sinarjaya 3 KK. Banyaknya pemulung dan
pengepul di Kampung Baru Lalamping dan Kampung Sinarjaya membuat
masyarakat di kampung tersebut merasakan nilai manfaat yang lebih tinggi
dibandingkan Kampung Moyan. Hasil perhitungan keseluruhan dapat dilihat pada
lampiran 1, 2 dan 3.
6.2.2 Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat Keberadaan TPA
Galuga
6.2.2.1 Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat Berupa Biaya Untuk
Berobat
Adanya TPA Galuga menimbulkan berbagai gangguan kesehatan.
Berdasarkan identifikasi eksternalitas negatif yang dirasakan oleh responden
terdapat 3 penyakit yang diderita oleh keluarga responden. Penyakit tersebut yaitu
penyakit gangguan terhadap saluran pernapasan berupa ISPA dan flek paru serta
penyakit infeksi kulit berupa gatal-gatal. Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal
disekitar TPA Galuga harus mengeluarkan biaya untuk berobat. Metode yang
digunakan untuk menghitung biaya berobat yaitu metode cost of illness. Jumlah
populasi yang digunakan dalam perhitungan eksternalitas negatif diperoleh
berdasarkan dengan persentase jumlah responden yang merasakan adanya
eksternalitas negatif akibat keberadaan TPA Galuga.
Biaya untuk berobat yang dihitung yaitu berupa biaya yang harus
ditanggung oleh KK, bukan hanya responden. Biaya diperoleh dari mengalikan
jumlah anggota keluarga yang sakit dengan rincian biaya untuk berobat masingmasing penderita. Rata-rata responden pergi berobat ke dokter dan puskesmas

41

cijunjung. Hal ini dikarenakan Desa Galuga tidak memiliki puskesmas.


Pemerintah Kota Bogor telah memberikan layanan kesehatan gratis kepada
masyarakat sekitar TPA Galuga akan tetapi, responden mengaku masih sering
berobat ke dokter atau puskesmas. Tabel 16 menunjukkan estimasi nilai kerugian
masyarakat pemulung dan pengepul berupa biaya untuk berobat.
Tabel 16 Estimasi nilai kerugian masyarakat pemulung dan pengepul berupa
biaya untuk berobat
Keterangan

Rata-rata Nilai
Kerugian/KK/tahun
(Rp)*(a)

MTPA
Kampung Baru Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan
Jumlah
MBTPA
Kampung Baru Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan
Jumlah
Estimasi Total Biaya Untuk Berobat
Sumber : Data primer (2016)
Keterangan :
*Perhitungan pada lampiran 1-9

Jumlah
Populasi
(KK)
*(b)

Total Nilai Kerugian


/tahun (Rp)
*(c=a*b)

86.428,57
182.958,33
45.000

37
60
2
99

3.197.857,09
10.977.499,80
90000
14.265.356,89

100.000
326.000
72.000

20
27
14
61

2.000.000
8.802.000
1.008.000
11.810.000
26.075.356,89

Biaya berobat paling banyak ditanggung masyarakat Kampung Sinarjaya


yaitu sebesar Rp. 10.977.499,80/tahun bagi masyarakat dengan sumber
pendapatan berasal dari TPA Galuga (MTPA) dan Rp. 8.802.000,00/tahun bagi
masyarakat dengan sumber pendapatan bukan berasal dari TPA Galuga (MBTPA).
Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil identifikasi eksternalitas negatif berupa
gangguan terhadap kesehatan, Kampung Sinarjaya merupakan kampung yang
respondennya paling banyak merasakan gangguan kesehatan. Sedangkan biaya
berobat yang paling sedikit ditanggung oleh keluarga responden Kampung Moyan
yaitu Rp. 90.000,00/tahun bagi masyarakat dengan sumber pendapatan berasal
dari TPA Galuga (MTPA) dan Rp. 1.075.200,00/tahun bagi masyarakat dengan
sumber pendapatan bukan berasal dari TPA Galuga. Kecilnya biaya yang
dikeluarkan oleh masyarakat Kampung Moyan karena sebagian besar masyarakat
tidak mengalami gangguan kesehatan akibat sampah di TPA Galuga, karena jarak
Kampung Moyan dari TPA Galuga merupakan yang paling jauh dibandingkan

42

kampung lainnya.
Biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat juga dipengaruhi oleh tujuan
berobat masyarakat. Biaya berobat ke dokter relatif lebih mahal dibandingkan
berobat ke puskesmas. Untuk penyakit flek paru, masyarakat harus melakukan
pengobatan rutin hingga 6 bulan dengan intensitas pengobatan 2 kali dalam
sebulan. Pihak pemerintah Kota Bogor telah mengadakan pengobatan secara
gratis yang bertempat di klinik kesehatan di Desa Galuga. Berdasarkan hasil
survei, terdapat beberapa responden mengatakan tidak mengetahui pasti mengenai
adanya pengobatan gratis tersebut. Hal ini karena jadwal penyediaan pengobatan
gratis yang tidak menentu dan kurangnya sosialisasi ke masyarakat. Untuk itu
perlu adanya evaluasi terhadap penyediaan pengobatan gratis yang dilakukan oleh
pemerintah Kota Bogor sehingga semua masyarakat dapat menerima manfaat.
6.2.2.2 Estimasi Nilai Kerugian Masyarakat Berupa Biaya Pengganti Air
Bersih
Selain biaya untuk berobat, terdapat nilai kerugian ekonomi lain yang
harus ditanggung oleh masyarakat yaitu biaya pengganti air bersih. Biaya
pengganti air bersih yang ditanggung masyarakat berasal dari biaya untuk
membayar air PAM perbulannya dan biaya untuk membeli isi ulang air galon.
Sebagian besar responden menggunakan air galon untuk keperluan konsumsi dan
air PAM untuk keperluan sehari-hari. Hal ini dikarenakan air PAM yang
digunakan responden mengandung bau obat, sehingga perlu waktu tambahan jika
ingin dikonsumsi. Itensitas penggunaan air galon masyarakat bervariasi, yaitu satu
kali seminggu, dua kali seminggu dan tiga kali seminggu. Jumlah tersebut
tergantung kebutuhan masyarakat. Penggunaan air galon karena masyarakat tidak
biasa mengonsumsi air PAM yang kadang masih berbau obat. Masyarakat yang
tidak menggunakan air galon biasa memasak air PAM untuk dikonsumsi. Estimasi
nilai kerugian masyarakat berupa biaya pembelian air PAM dapat dilihat pada
Tabel 17.

43

Tabel 17

Estimasi nilai kerugian masyarakat berupa biaya pembelian air PAM


dan Air Galon

Keterangan
MTPA
Kampung Baru
Lalamping
Kampung
Sinarjaya
Kampung Moyan

Rata-rata Nilai
Kerugian/KK/tahun
(Rp)*(a)

Jumlah
Populasi
(KK)*(b)

Total Nilai Kerugian


/tahun (Rp)*(c=a*b)

347.571,43

37

12.860.142,91

1.054.400

78

82.243.200

76.800

384.000

Jumlah
MBTPA
Kampung Baru

95.487.342,91
624.000

20

12.480.000

Lalamping
Kampung

829.800

37

30.702.600

Sinarjaya
Kampung Moyan
76.800
28
Jumlah
Estimasi Nilai Pengganti Air Bersih
Sumber : Data Primer (2016)
Ket :
*Biaya pengganti air bersih diperoleh dengan menjumlahkan biaya
pembelian air PAM dan air galon
* Pehitungan pada lampiran 1-9

2.150.400
45.333.000
140.820.343,91
pengganti

Biaya pengganti air bersih banyak dirasakan oleh masyarakat Kampung


Sinarjaya yaitu sebesar Rp. 82.243.200/tahun bagi masyarakat dengan sumber
pendapatan berasal dari TPA (MTPA) dan Rp. 30.702.600/tahun bagi masyarakat
dengan sumber pendapatan bukan dari TPA (MBTPA). Sebagian besar responden
yang berasal dari Kampung Sinarjaya mengaku bahwa sumur mereka telah
tercemar oleh keberadaan sampah di TPA Gauga. Oleh karena itu mereka harus
mengeluarkan biaya untuk memperoleh air bersih. Masyarakat mengatakan
keberatan jika harus membayar uang pembelian air bersih tiap bulannya. Karena
sebelum adanya penurunan kualitas air yang diakibatkan oleh keberadaan TPA
Galuga masyarakat dapat memperoleh air bersih dengan gratis.

6.2.2.3 Estimasi Nilai Kerugian Masyarakat Berupa Biaya Pencegahan


Kerugian ekonomi selanjutnya yaitu biaya pencegahan berupa biaya
pembelian pengharum ruangan, obat serangga, dan masker. Berdasarkan hasil

44

penelitian, masyarakat hanya sedikit masyarakat yang perlu menanggung biaya


pencegahan. Estimasi nilai kerugian ekonomi masyarakat berupa biaya
pencegahan dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Estimasi nilai kerugian ekonomi masyarakat berupa biaya pencegahan
Keterangan

Rata-rata Nilai
Kerugian/KK/tahun
(Rp)*(a)

MTPA
Kampung Baru
Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan
Jumlah
MBTPA
Kampung Baru
Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan
Jumlah
Estimasi Total Biaya Pencegahan
Sumber : Data primer (2016)
Keterangan :
*Perhitungan pada lampiran 1-9

Jumlah
Populasi
(KK)*(b)

Total Nilai
Kerugian /tahun
(Rp)*(c=a*b)

70

0
0

90
2

0
0
0

64.000,00

50

3.200.000,00

48.000,00
0

50
197

2.400.000,00
0
5.600.000,00
5.600.000,00

Biaya pencegahan berupa pembelian masker dan pengharum untuk


mengurangi bau dan penyemprotan serangga untuk mengurangi serangga. Hal ini
berbanding terbalik dengan hasil identifikasi eksternalitas negatif yang dirasakan
masyarakat. Berdasarkan hasil identifikasi eksternalitas negatif yang dirasakan
masyarakat, adanya bau tidak sedap dan banyaknya serangga merupakan
eksternalitas negatif yang paling banyak dirasakan masyarakat. Masyarakat
mengatakan jika mereka harus mengeluarkan biaya untuk mengurangi bau dan
mengurangi serangga, maka biaya yang mereka butuhkan akan lebih besar.
Karena bau tidak sedap dan banyak serangga yang dirasakan masyarakat dialami
oleh masyarakat setiap hari dan masyarakat sudah terbiasa dengan hal tersebut.
Berdasarkan hasil perhitungan total nilai kerugian masyarakat untuk
masing-masing bentuk kerugian yang dialami masyarakat, maka diperoleh jumlah
total kerugian ekonomi masyarakat akibat keberadaan TPA Galuga. Total nilai
kerugian yang ditanggung masyarakat dapat dilihat pada Tabel 19

45

Tabel 19 Total Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat


N
Bentuk Masyarakat
Nilai Kerugian Masyarakat/tahun (Rp)
O
1
Biaya Untuk Berobat
26.075.356,89
2
Biaya Pengganti Air Bersih
140.820.343,91
3
Biaya Pencegahan
5.600.000,00
Jumlah
172.495.700,80
Sumber : Data primer (2016)

Nilai kerugian yang paling besar ditanggung masyarakat yaitu berupa nilai
kerugian biaya pengganti air bersih sebesar Rp. 140.820.343,91/tahun. Sedangkan
nilai kerugian paling kecil yang dirasakan oleh masyarakat yaitu berupa biaya
pencegahan sebesar Rp. 5.600.000/tahun. Total nilai kerugian yang dirasakan
masyarakat yaitu sebesar Rp. 172.495.700,80/tahun. Perbandingan antara nilai
manfaat ekonomi dan nilai kerugian ekonomi yang dirasakan masyarakat dapat
dilihat pada Tabel 20
Tabel 20 Perbandingan total nilai manfaat dan nilai kerugian masyarakat
Kerugian Ekonomi
Manfaat Ekonomi
Keterangan
Masyarakat/tahun
Masyarakat/tahun (Rp)
(Rp)
Total Nilai (Rp)
2.521.987.500,20
172.495.700,80
Rasio Perbandingan

14,6 : 1

Nilai Eksternalitas = Nilai Manfaat Nilai Kerugian


Sumber : Data primer (2016)

2.349.491.799,40

Nilai manfaat yang dirasakan masyarakat lebih besar dari nilai kerugian
yang

dirasakan

masyarakat.

Selisih

kedua

nilai

tersebut

yaitu

Rp.

2.349.491.799,40/tahun. Rasio nilai tersebut yaitu 14,6 : 1, artinya nilai manfaat


yang diperoleh masyarakat 14,6 kali lebih besar dibandingkan dengan nilai
kerugian yang ditanggung masyarakat. Jumlah tersebut terbilang besar karena
banyak masyarakat sekitar yang menjadikan TPA Galuga sebagai sumber
pendaptannya.

6.3 Alternatif Solusi Sistem Pengelolaan Sampah di TPA Galuga


Penanganan sampah dengan metode open dumping di TPA dilarang
dilakukan sebagaimana tercantum dalam pasal 29 ayat 1f Undang-Undang nomor
18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang menjelaskan bahwa

46

pengelolaan TPA secara open dumping harus ditingkatkan menjadi controlled


landfill dan sanitary landfill. Saat ini sistem pengelolaan 30% sampah di TPA
Galuga sudah menerapkan sistem controlled landfill yaitu dengan cara
memadatkan sampah dan meratakannya dengan menggunakan alat berat,
kemudian sampah yang sudah dipadatkan tersebut dilapisi dengan tanah setiap
lima atau seminggu sekali (DKP Kota Bogor, 2016). Hal ini dilakukan untuk
mengurangi bau, mengurangi perkembangbiakan lalat, dan mengurangi keluarnya
gas metan. Selain itu, dibuat juga saluran drainase untuk mengendalikan aliran air
hujan, saluran pengumpul air lindi dan instalasi pengolahannya, pos pengendalian
operasional, dan fasilitas pengendalian gas metan.
Nilai manfaat ekonomi dan kerugian ekonomi yang dirasakan masyarakat
dengan

sistem pengolahan sampah menggunakan sistem open dumping dan

controlled

landfill

adalah

sebesar

Rp.

2.521.987,20/tahun

dan

Rp.

172.495.700,80/tahun. Sistem pengelolaan TPA Galuga yang saat ini diterapkan


oleh Pemerintah Kota Bogor masih belum maksimal. Perlu adanya alternatif
sistem lain yang dapat meningkatkan nilai manfaat yang diperoleh oleh
masyarakat dan mengurangi nilai kerugian yang ditanggung masyarakat. Sistem
pengelolaan sampah di TPA yang dapat menjadi alternatif solusi sistem
pengelolaan TPA Galuga yaitu sanitary landfill, composting, Insinerasi, dan
Biogas. Biaya sistem alternatif sistem pengelolaan sampah terdiri dari biaya
investasi dan biaya operasional yang diperoleh berdasarkan metode benefit tranfer
yang nilainya disesuaikan dengan kondisi saat ini.
6.3.1 Sanitary Landfill
Berdasarkan penelitian Sugiarto (2014) di TPA Muara Fajar, Rumbai,
Pekanbaru, biaya investasi yang diperlukan untuk menerapkan metode sanitary
landfill dengan umur ekonomis selama 10 tahun dan luas lahan penampungan 6,6
Ha adalah Rp. 5.620.275.486,00. Artinya, untuk 1 Ha luas lahan penampungan
memerlukan biaya investasi sebesar Rp. 851.556.891,82. Sedangkan, biaya
operasional untuk satu ton sampah dengan metode sanitary landfill di TPA Dusun
Toisapu, Kota Ambon yaitu sebesar Rp. 1.547.971,00 (Ruban, 2014). Untuk
menghitung estimasi biaya jika metode sanitary landfill diterapkan di TPA Galuga

47

digunakan teknik compunding, dengan suku bunga Bank Indonesia per mei 2016
yaitu 6,75 %. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 21
Tabel 21 Estimasi biaya investasi dan operasional penerapan metode sanitary landfill di TPA
Galuga
Suku
Periode
Skenario Sanitary
Nilai (Rp)
Bunga
Estimasi Biaya (Rp)
tahun
A
d=a(1+b)^c
Landfill
(n)
(%)
C
b
Biaya Investasi
851.556.891,82/ha
6,75
2
970.396.978,30/ha
(Sugiarto, 2014)
Biaya Operasional
1.547.971,00/ton
6,75
(Ruban, 2014)
Sumber : Data diolah (2016)
*suku bunga bulan mei tahun 2016 (Bank Indonesia, 2016)

1.764.000,03/ton

Luas lahan penampungan sampah di TPA Galuga yaitu 13,2 Ha (DKP,


2016), maka total biaya investasi yang harus ditanggung pemerintah untuk
menerapkan metode sanitary landfill yaitu sebesar Rp. 12.809.240.113,61 (Rp.
970.396.978,30/ha x 13,2 Ha). Biaya operasional TPA Galuga dihitung berdasarkan
asumsi bahwa setiap volume sampah Kota Bogor yang terangkut ke TPA Galuga diolah
dengan sistem sanitary landfill. Volume sampah terangkut Kota Bogor ke TPA Galuga
pada tahun 2015 yaitu sebesar 6.940,51 ton/tahun. Oleh karena itu didapatkan biaya
operasional metode sanitary landfill di TPA Galuga sebesar Rp. 12.243.059.833,00/tahun
(Rp. 1.764.000,03/ton x 6.940,51 ton/tahun). Jika disesuaikan dengan umur ekonomis

TPA yaitu 10 tahun, maka biaya operasional yang ditanggung yaitu Rp.
122.430.598.330,00

6.3.1.1 Composting
Composting adalah suatu proses perubahan bahan-bahan organik yang
dapat diurai yang dapat menjadi bahan stabil dan tidak berbau (Soma, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Handono (2009) biaya investasi untuk composting di
TPA Cipayung, Depok yaitu sebesar Rp. 54.450.000,00. Asumsi yang digunakan
dalam perhitungan finansial ini adalah kapasitas produksi setelah tahun ke-2
sebesar 540 ton/tahun (1,5 ton/hari), dan lama kegiatan composting 5 tahun (umur
ekonomis). Total biaya operasional composting sampah organik menurut Ruban
(2014) TPA Dusun Toisapu, Kota Ambon yaitu sebesar Rp. 1.827.971,00/ton atau

48

Rp. 2.741.956,50 /1,5 ton (Ruban, 2014). Estimasi biaya composting di TPA
Galuga dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Estimasi biaya investasi dan operasional penerapan metode composting
di TPA Galuga
Skenario Composting
Biaya
Investasi
(Handono, 2009)

Nilai (Rp)
A
54.450.000,00

Biaya
Operasional
2.741.956,50 /1,5
(Ruban, 2014)
ton/hari
Sumber : Data diolah (2016)
*suku bunga bulan mei tahun 2016

*Suku
Bunga
(%) b
6,75

6,75

Periode tahun
C
7

Estimasi Biaya
(Rp)
d=a(1+b)^c
86.014.777,44

3.124.613,66/1,5
ton/hari

Berdasarkan hasil perhitungan, biaya yang dibutuhkan untuk investasi


metode composting di TPA Galuga yaitu sebesar Rp. 86.014.777,44 dengan umur
ekonomis mencapai 5 tahun. Apabila sampah organik yang mampu diolah hanya sebesar
1,5 ton sehari sesuai dengan kapasitas pengolahan mesin investasi kompos, maka dalam
jangka waktu

5 tahun, biaya operasional yang diperlukan yaitu sebesar Rp.

5.702.419.930,00.

6.3.1.2 Insinerasi
Berdasarkan penelitian Widyaputri (2014) biaya investasi yang dibutuhkan
untuk menerapkan metode insinerasi di TPA Bantar Gebang, Bekasi yaitu sebesar
Rp. 39.262.000.000,00 dengan umur ekonomis 15 tahun. Sedangkan, biaya
operasional sistem insinerasi di TPA Dusun Toisapu, Kota Ambon yaitu sebesar
Rp.2.812.059,00/ton (Ruban, 2014). Asumsi sampah yang mampu diolah yaitu sebanyak

195.202,25 ton/tahun. Estimasi biaya investasi dan operasional sistem insinerasi di TPA
Galuga dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Estimasi biaya investasi dan operasional penerapan metode insinerasi di


TPA Galuga
Skenario Insinerasi
Biaya Investasi
(Widyaputri, 2014)
Biaya
Operasional
(Ruban, 2014)

39.262.000.000,00

*Suku
Bunga
(%)
B
6,75

2.812.059,00

6,75

Nilai (Rp)
A

Periode tahun
C

Estimasi Biaya
(Rp)
d=a(1+b)^c

44.741.257.487,50

3.204.499,40

49

Sumber : Data diolah (2016)


*suku bunga bulan mei tahun 2016

Berdasarkan hasil perhitungan biaya investasi yang dibutuhkan untuk


merealisasikan

sistem

insinerasi

di

TPA

Galuga

yaitu

sebesar

Rp.

44.741.257.487,50 dengan umur ekonomis 15 tahun, sedangkan biaya operasional

insinerasi di TPA galuga yaitu sebesar Rp. 3.204.499,40/ton. Jika disesuaikan


dengan jumlah volume sampah di TPA Galuga di tahun 2015, yaitu sebanyak
211.109,70 ton/tahun dan umur ekonomis sistem insinerasi yaitu selama 15 tahun,
maka biaya operasional selama 15 tahun menjadi Rp. Rp. 10.147.513.604.762,70.
6.3.1.3 Biogas
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Prasetyo (2010) biaya investasi
biogas untuk kapasitas pengolahan sampah organik sebanyak 28.280,09 ton/tahun
yaitu sebesar Rp. 19.261.377.175,00 dengan umur ekonomis 20 tahun. Biaya
operasional metode biogas untuk setiap ton sampah organik TPA Dusun Toisapu,
Kota Ambon adalah sebesar Rp. 2.564.893,00 (Ruban , 2014). Estimasi biaya investasi
dan operasional sistem biogas dapat dilihat pada Tabel 24

Tabel 24 Estimasi biaya investasi dan operasional penerapan metode biogas di


TPA Galuga
Skenario Biogas

Nilai (Rp)

Biaya Investasi
(Prasetyo, 2010)

19.261.377.175,00

Suku
Bunga
(%)
6,75

Biaya
Operasional
2.564.893,00/ton
(Ruban, 2014)
Sumber : Data diolah (2016)
*suku bunga bulan mei tahun 2016

Periode
tahun
(n)

6,75

Estimasi Biaya
(Rp)
2

21.949.422.743,38

2.922.839,84

Berdasarkan hasil perhitungan, maka jumlah biaya investasi biogas di TPA


Galuga

dengan

umur

ekonomi

selama

20

tahun

yaitu

sebesar

Rp.

21.949.422.743,38 dengan asumsi sampah organik yang diolah yaitu sebanyak 28.280,09
ton/tahun. Biaya operasional biogas untuk satu ton sampah organik yaitu Rp.
2.922.839,84 (Ruban,2014). Apabila diasumsikan selama 20 tahun volume sampah
organik yang dapat diolah di TPA Galuga yaitu 565.601,8 (28.280,09 ton x20 tahun)
maka biaya operasional yang dibutuhkan yaitu sebesar Rp. 58.456.796,80. Estimasi

50

perhitungan biaya investasi dan biaya operasional masing-masing skenario


alternatfi solusi berdasarkan periode waktu tertentu dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25 Estimasi biaya investasi dan operasional skenario pengelolaan sampah di
TPA Galuga berdasarkan umur ekonomis skenario.
Skenario

Periode
(tahun)

Biaya Investasi
(Rp)*a

Sanitary
Landfill

10

12.809.240.113,61

Composting
Insinerasi

5
15

86.014.777,44
44.741.257.487,50

Biogas

20

21.949.422.743,38

Biaya Operasional
(Rp)*b
122.430.598.330,0
0
5.702.419.930,00
10.147.513.604.76
2,70
58.456.796,80

Total Biaya
(Rp)*c=a+b
135.239.838.443,61

5.788.434.707,44
10.192.254.862.250,2
0
22.007.879.540,18

Sumber : Data diolah (2016)

Tabel 25 menunjukkan total biaya yang harus dikeluarkan pemerintah Kota


Bogor untuk menerapkan skenario pengelolaan TPA Galuga. Besaran biaya tersebut
berdasarkan umur ekonomis masing-masing skenarion. Nilai ini berguna untuk
menghitung total biaya per tahun yang harus dikeluarkan oleh pemerintah Kota Bogor.

Tabel 26 Estimasi biaya investasi dan operasional skenario pengelolaan sampah di


TPA Galuga dalam satu tahun
Skenario

Periode
(tahun)*a

Sanitary Landfill

Total Biaya
(Rp)*b

Periode
(tahun)

Total Biaya
(Rp)*c=b/a

10

135.239.838.443,61

13.523.983.844,36

5.788.434.707,44

1.157.686.941,49

Insinerasi

15

10.192.254.862.250,
20

679.483.657.483,35

Biogas

20

22.007.879.540,18

1.100.393.977,01

Composting

Sumber : Data diolah (2016)

Berdasarkan Tabel 26, total biaya pertahun yang paling rendah yaitu
apabila sistem pengelolaan yang diterapkan di TPA Galuga adalah biogas. Total
biaya investasi dan operasional skenario biogas dalam satu tahun membutuhkan
dana sebesar Rp. 1.100.393.977,01. Sedangkan biaya skenario yang paling tinggi
yaitu insinerasi dengan nilai Rp. 679.483.657.483,35/tahun.
Setelah diketahui berapa besar biaya investasi dan operasional yang harus
dikeluarkan untuk menerapkan skenario-skenario pengolahan sampah tersebut di
TPA Galuga, kemudian akan dibandingkan dengan besarnya nilai manfaat dan
nilai kerugian ekonomi masyarakat yang hilang apabila skenario-skenario tersebut

51

diterapkan. Hasil perbandingan ini dapat melihat sejauh mana nilai manfaat dan
nilai kerugian yang hilang akibat diterapkan skenario pengelolaan sampah dapat
menutupi biaya masing-masing skenario. Perkiraan covering biaya investasi dan
operasional maasing-masing skenario pengelolaan sampah dihitung berdasarkan
asumsi bahwa (Sudrajat, 2006) :
1. Skenario sanitary landfill dapat menghilangkan bau tak sedap yang
ditimbulkan karena sampah di TPA ditimbun dengan media pasir dan
masyarakat masih bisa tetap memulung sampah karena sampah ditimbun
setelah terlebih dahulu dipilah oleh pemulung.
2. Skenario composting dapat menghilangkan bau tak sedap di TPA karena
sampah organik diolah menjadi kompos, dan pemulung masih bisa tetap
mengumpulkan sampah anorganik untuk dijual.
3. Skenario insinerasi dapat mengurangi pencemaran air lindi sampah karena
sampah yang ada di TPA Galuga dibakar dengan menggunakan
insenerator sehingga nilai kerugian masyarakat berupa pengganti air
bersih diasumsikan hilang.
4. Skenario biogas dapat mengurangi polusi bau karena sampah organik di
TPA diolah menjadi biogas, dan sampah anorganik masih tetap bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Perkiraan covering biaya investasi dan operasional masing-masing
skenario pengelolaan sampah di TPA Galuga dapat dilihat pada tabel 27.
Tabel 27 Perkiraan covering biaya investasi dan operasional
Skenario

Sanitary
Landfill
Compostin
g
Insinerasi
Biogas

Nilai Manfaat
(Rp/tahun)

Total
Biaya (Rp/tahun)

Nilai Kerugian
(Rp/tahun)

(a)

(b)

(c)

13.523.983.844,36

166.895.700,80

Persentrase
Covering
(%)
(d) =
(a/b+c)x100
%
18,42

1.157.686.941,49

166.895.700,80

190,40

679.483.657.483,3
5
1.100.393.977,01

5.600.000,00

0,37

166.895.700,80

199,01

2.521.987.500,0
0
2.521.987.500,0
0
2.521.987.500,0
0
2.521.987.500,0
0

52

Sumber : Data diolah (2016)


Keterangan :
*Sanitary landfill, nilai kerugianya dikurangi dengan total biaya pencegahan
*Composting , nilai kerugianya dikurangi dengan total biaya pencegahan
*Insinerasi, nilai kerugiannya dikurangi dengan total biaya pengganti air bersih
*Biogas, nilai kerugiannya dikurangi dengan nilai total biaya pencegahan

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 27 tentang covering biaya


investasi dan operasional setiap tahunnya berdasarkan potensi dampak positif dan
negatif yang hilang akibat penerapan masing-masing skenario, maka alternatif
terbaik yang dapat mengcover biaya investasi dan operasional skenario adalah
metode biogas dengan nilai covering sebesar 199,01 %. Artinya skenarion biogas
dapat ditutupi oleh nilai manfaat yang dirasakan masyarakat akibat keberadaan
TPA Galuga.

53

VII. SIMPULAN DAN SARAN


7.1 Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat akibat pencemaran limbah
tekstil di Desa Linggar antara lain berupa perubahan kualitas air, penyakit
dermatitis, bau tak sedap, lahan pertanian yang tercemar, dan penurunan
kualitas lingkungan.
2. Total kerugian yang ditanggung oleh masyarakat akibat pencemaran limbah
tekstil yang dihitung dari biaya pengganti air bersih, biaya berobat dan
kerugian pertanian adalah Rp 621.129.000 per tahun.
3. Besar nilai willingness to accept (WTA) masyarakat sebesar Rp
519.480.000 per tahun. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya
WTA tersebut yaitu jenis kelamin, pendidikan, jarak tempat tinggal, lama
tinggal dan tingkat kerugian.
4. Adanya dana kompensasi yang diberikan kepada masyarakat tidak dapat
menyelesaikan eksternalitas negatif akibat pencemaran limbah tekstil
sehingga muncul beberapa alternatif solusi yang ditawarkan yaitu perbaikan
tanggul jebol, pembangunan instalansi air bersih dan penambahan instalansi
pengelolaan air limbah (IPAL). Namun, dari sisi kelebihan dan kekurangan
masing-masing alternatif ini ternyata adanya penambahan IPAL yang bisa
menyelesaikan permasalahan pencemaran. Hal ini dikarenakan biaya yang
dibutuhkan paling kecil dari alternatif yang ada, pihak pabrik yang tidak lagi
membuang limbah ke sungai sebab kapasitas IPAL telah mencukupi
kapasitas limbah yang dihasilkan dan permasalahan pencemaran air sungai
dapat terselesaikan.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disarankan:
1. Pemerintah sebaiknya bertindak tegas terhadap pihak- pihak pabrik yang
telah melanggar peraturan standar baku mutu lingkungan agar pihak pabrik
bertanggung jawab terhadap limbah yang dihasilkan.
64
2. Rekomendasi bentuk alternatif berupa penambahan IPAL memiliki sisi
kekurangannya, sehingga perlu ditindaklanjuti dalam aspek implementasi
dan aspek kebijakan.
3. Penelitian selanjutnya bisa melakukan analisis Willingness to Pay dari pihak
pabrik sebagai infomasi bagi pihak pemerintah setempat untuk mengambil
kebijakan dalam membantu menyelesaikan permasalahan ini yaitu
menyelaraskan antara besarnya kerugian dan WTA masyarakat dengan
keinginan pabrik untuk membayar atau memberikan kompensasi.

56

Anda mungkin juga menyukai