Sampah
Sampah
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu permasalahan lingkungan yang dihadapi Indonesia yaitu
permasalahan sampah. Sampah merupakan permasalahan yang kompleks,
sehingga perlu penyelesaian yang terintegrasi serta didukung oleh semua lapisan
masyarakat (Sejati, 2009). Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang
pengelolaan sampah, pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi
masyarakat dapat menyebabkan bertambahnya volume, jenis, dan karateristik
sampah. Berdasarkan penelitian Pramono (2009) timbulan sampah sebesar
80.235,87 ton/hari dari 384 kota di Indonesia hanya 4,2 persen dibuang dan
diangkut ke TPA, selebihnya antara lain 37,6 persen dibakar, 4,9 persen dibuang
ke sungai dan tidak tertangani sebesar 53,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
hanya sebagian kecil sampah saja yang dapat ditangani oleh pemerintah dan
masyarakat.
Permasalahan sampah di Indonesia banyak terjadi di kota-kota besar,
terutama kota yang padat penduduknya seperti Jakarta, Bekasi, Bogor, Medan,
dan Surabaya. Permasalahan sampah kota tidak hanya masalah teknis, tetapi juga
sosial, ekonomi dan budaya. Masalah utama sampah kota umumnya terjadi di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang disebabkan oleh keterbatasan lahan TPA,
produksi sampah yang terus meningkat, terknologi proses yang tidak efesien, dan
belum dapat dipasarkannya produk hasil olahan sampah kota (Sudradjat, 2006).
Sebagian besar TPA di kabupaten atau kota di Indonesia masih menggunakan
sistem open dumping dalam pengelolaan sampah di TPA (LHK, 2015).
Pengelolaan sampah secara open dumping di TPA dapat menimbulkan
pencemaran udara, pencemaran air, dan penuruan kualitas lingkungan (Sudrajat,
2006). Padahal, dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan
sampah menjelaskan bahwa pada tahun 2013 pengelolaan TPA secara open
dumping harus ditingkatkan menjadi controlled landfill dan sanitary landfill yang
dinilai lebih baik daripada sistem open dumping. Selain adanya dampak negatif
yang ditimbulkan oleh keberadaan TPA, masyarakat juga merasakan dampak
positif seperti memanfaatkan sampah di TPA sebagai sumber mata pencaharian
bagi penduduk sekitar.
1,047,922
1,030,720
1,040,000
Jumlah Penduduk
1,013,019
1,020,000 1,004,831
1,000,000
987,315
980,000
960,000
940,000
Tahun
Penduduk Kota Bogor
2,700
2,551
2,484
2,500
2,447
2,402
Timbulan Sampah 2,400
2,600
2,300
2,200
Tahun
Timbulan sampah Kota Bogor
Bogor dalam pengelolaan TPA Galuga telah berakhir pada 31 Desember 2015, dan
pada Januari 2016 perjanjian tersebut kembali diperpanjang hingga tahun 2021
(DKP Kota Bogor, 2016).
Kontroversi keberadaan TPA Galuga selalu menjadi isu yang sering
dibicarakan karena adanya konflik yeng terjadi pada masyarakat seiring dengan
beroperasinya TPA Galuga. Pada maret tahun 2010 terjadi longsoran sampah di
TPA Galuga yang menimbulkan empat korban jiwa. Korban bencana longsor
tersebut merupakan masyarakat yang berprofesi sebagai pemulung yang hampir
setiap hari menngumpulkan sampah dari TPA Galuga untuk memenuhi kebutuhan
mereka sehari-hari. Jumlah pemulung yang ada di Desa Galuga yaitu sebanyak
2358 orang atau 44,34 % dari jumlah total penduduk Desa Galuga (LPPD Desa
Galuga, 2015). Banyak masyarakat sekitar yang beraktivitas langsung di TPA
Galuga, sehingga pengelolaan TPA Galuga perlu ditinjau ulang untuk menghindari
bencana lain yang dapat terjadi. Selain bencana longsor, konflik antar masyarakat
dan pemerintah sering dipicu oleh eksternalitas negatif keberadaan TPA Galuga
seperti adanya air lindi sampah. Menurut warga sekitar, hampir setiap terjadinya
hujan besar air lindi sampah dari TPA Galuga meluap dan masuk rumah warga
dan menyebakan air sumur masyarakat terkontaminasi. Penelitian Kurniawan
(2006) menunjukkan bahwa kualitas air sumur wilayah sekitar TPA Galuga yaitu
pada jarak 50 M, 400 M, 600 M, dan 700 M dari lokasi TPA Galuga sudah
tercemar dan tidak layak dikonsumsi. Hal ini mengakibatkan adanya biaya yang
harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh air bersih. Eksternalitas
negatif lainnya juga dirasakan masyarakat seperti timbulnya bau tidak sedap
akibat adanya sampah, peningkatan jumlah serangga, serta adanya gangguan
kesehatan yang dirasakan masyarakat. Desmawati (2010) meneliti tentang
pengaruh TPA terhadap kualitas air sumur, kesehatan, dan sosial ekonomi
masyarakat di sekitar TPA Galuga. Adanya TPA Galuga menyebabkan masyarakat
mengalami gangguan kesehatan seperti batuk, diare, influenza, penyakit kulit, dan
ISPA.
Saat ini sistem pengelolaan 30% sampah di TPA Galuga sudah
menerapkan sistem controlled landfill yaitu dengan cara memadatkan sampah dan
2.
3.
dapat
membahayakan
kesehatan
karena
kadang-kadang
proses
10
11
c) Benefit Transfer
Dalam melakukan penelitian, peneliti sering menghadapi berbagai kendala
seperti kendala keuangan, waktu, pengumpulan data, atau kendala-kendala
lainnya. Untuk itu dikembangkanlah metode benefit transfer yang juga sering
disebut sebagai metode sekunder dalam melakukan valuasi SDALH. Menurut
Permen Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012,
metode ini digunakan untuk menduga nilai ekonomi SDALH dengan cara
meminjam hasil studi/penelitian di tempat lain yang mempunyai karakteristik dan
tipologinya
sama/hampir
sama.
Penggunaan
benefit
transfer
harus
memperhatikan: 1) Nilai manfaat langsung dan nilai manfaat tidak langsung yang
12
Peneliti
Kurniawan
(2006)
Metode
Metode perhitungan
Indeks Kualitas Air
(IKA)
Rangkuti
(2014)
Analisis Deskriptif
Metode Hayami
Hasil Penelitian
Hasil penelitian memberikan gambaran
bahwa secara umum kualitas air sumur wilayah
sekitar TPA tergolong buruk dan tidak layak
dikonsumsi untuk air minum namun masih bisa
digunakan untuk keperluan perikanan dan
pertanian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden
memiliki persepsi terhadap kondisi Sumber Daya
Alam dan Lingkungan (SDAL) tergolong baik.
Nilai tambah pupuk kompos bernilai sebesar Rp
100,546 yaitu 43,251% per kilogram bahan
baku dan menghasilkan keuntungan sebesar
Rp 15,477 per kilogram bahan baku yang diolah
sebesar 15,369%. Berdasarkan perhitungan,
13
Replacement Cost
No
3.
Peneliti
Ruban
(2014)
Metode
Analisis
berganda
regresi
Analisis willingness
to pay
Hasil Penelitian
total biaya kesehatan sebesar Rp 56 249 600 per
bulan dan biaya konsumsi air bersih sebesar Rp
108 350 792 per bulan, sehingga nilai
eksternalitas negatif sebesar Rp 164 600 392 per
bulan. Faktorfaktor yang mempengaruhi
penurunan kualitas lingkungan yaitu tingkat
pendapatan, pekerjaan, jumlah tanggungan, jarak
tempat tinggal, dan kebersihan lingkungan.
Sebagian besar masyarakat menyatakan
bersedia untuk membayar biaya retribusi yang
lebih tinggi untuk peningkatan sistem pengolahan
sampah di TPA Dusun Toisapu dengan empat
skenario tersebut. Faktor-faktor yang sangat
mempengaruhi kesediaan masyarkat untuk
membayar retribusi yang lebih tinggi adalah
tingkat pendidikan dan jarak rumah dari lokasi
TPA. Rata-Rata WTP tertinggi pada Kecamatan
Baguala yaitu pada skenario biogas sebesar Rp
24.250/KK/bulan dan yang terendah pada
skenario insinerasi sebesar Rp 20.804/KK/bulan.
Pada Kecamatan Nusaniwe diperoleh rata-rata
WTP tertinggi yaitu sebesar Rp 21.228/KK/bulan
pada skenario composting dan terendah sebesar
Rp 18.220/KK/bulan pada skenario sanitary
landfill. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi
nilai WTP tersebut adalah pendapatan dan jarak
rumah dari TPA.
14
Sedangkan penelitian ini fokus kepada alternatif solusi sistem pengelolaan TPA
Galuga yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan meminimalkan
pencemaran lingkungan.
15
16
Penngkatan jumlah
konsumsi
Peningkatan jumlah
produksi
Peningkatan volume
sampah
TPA Galuga
(Open Dumping)
Eksternalitas
Eksternalitas Positif
Eksternalitas Negatif
Identifikasi manfaat
keberadaan TPA Galuga
bagi masyarakat sekitar
= Batasan Penelitian
= Aliran
17
sebanyak 90 rumah tangga (KK) yang berasal dari Kamnnpung Baru Lalamping,
Kampung Sinarjaya dan kampung Moyan, RW 05 Desa Galuga. Jumlah
responden penelitian selanjutnya disampaikan pada Tabel 2
18
Responden
Kampung Baru Lalamping
a) Pemulung
b) Pengepul
c) Masyarakat
2.
Kampung Sinarjaya
d) Pemulung
e) Pengepul
f) Masyarakat
3.
Kampung Moyan
g) Pemulung
h) Pengepul
i) Masyarakat
Jumlah
Sumber : Data primer (2016)
Jumlah (Orang)
Populasi (KK)
14
1
15
70
1
50
12
3
15
90
3
50
10
0
20
90
10
0
282
556
19
Menganalisis alternatif
a.
solusi pengelolaan TPA
b.
Galuga yang dapat
meminimalkan kerugian
dan memberikan manfaat
bagi masyarakat sekitar
Sumber : Data primer (2016)
Sumber
data
Data
primer
Data
primer
a.
b.
Data
primer dan
data
sekunder
Estimasi nilai
manfaat ekonomi
dengan metode
analisis
pendapatan,
Estimasi nilai
kerugian ekonomi
dengan metode
replacement cost,
cost of illness, dan
preventive
expenditure
20
Met ode
Analisis pendapatan
Eksternalitas Negatif :
Pengganti air bersih
Pemulung
Pengepul
Masyarakat
Replacement Cost
Biaya berobat
Pemulung
Pengepul
Masyarakat
Cost of Illness
Biaya Pencegahan
Pemulung
Pengepul
Masyarakat
Preventive Expenditure
21
RBP=
BPi
i=1
............................................................(3)
Keterangan :
RBP
Bpi
= Jumlah responden
22
RBK=
BKi
......................................................(4)
i=1
Keterangan :
RBK
BKi
= Jumlah responden
RBPcg
BPcgi
i=1
Dimana
.....................................(5)
23
4.5.3
= jumlah responden
penelitian ini yaitu sanitary landfill, composting, insinerasi dan biogas. Data yang
dibutuhkan untuk dianalisis berupa bilai investasi dan operasional masing-masing
alternatif sistem pengelolaan TPA. Nilai tersebut diperoleh dari TPA lain yang
telah menrapkan sistem pengelolaan tersebut dengan menggunakan metode
benefit transfer. Menurut Permen Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2012 penggunaan benefit transfer harus memperhatikan: 1) Nilai
manfaat langsung dan nilai manfaat tidak langsung yang kadang kala nilainya di
berbagai hasil studi berbeda. 2) Diperlukan deskripsi kualitatif dalam analisis
yang akan disusun. 3) Proyek besar atau dengan dampak lingkungan besar atau
proyek kecil dengan dampak lingkungan yang serius, memerlukan alat analisis
yang lebih akurat, dan dalam hal ini lebih diperlukan metode primer dari sekedar
benefit transfer. 4) Perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian dikarenakan
kebanyakan kajian dilakukan di negara maju.
Langkah-langkah dalam benefit transfer: 1) Menyeleksi sekaligus
menelaah pustaka yang nilai dan analisisnya akan digunakan dalam kajian yang
sedang dilakukan, jika dimungkinkan dikaji pula lokasi dan penduduk sekitar
studi kasus. Hal ini diperlukan berkaitan dengan nilai ekonomi (langsung dan 14
tidak langsung), yang menggambarkan preferensi yang mungkin akan berbeda
dengan perbedaan sosial ekonomi dan nilai-nilai lain. 2) Menyesuaikan nilai-nilai
misalnya mengubah nilai moneter pada satu nilai jasa ekosistem, melakukan
penyesuaian dengan tingkat sensitivitas, 3) Kalkulasi nilai per unit dari waktu.
24
Kalkulasi total nilai yang didiskonto, selama jangka waktu manfaat proyek
tersebut akan ada.
Setiap nilai investasi dan operasional skenario pengelolaan TPA Galuga
dikonversi kedalam nilai saat ini (Future Value) sesuai dengan tingkat suku bunga
Bank Indonesia per 19 Mei 2016, yaitu 6,75 %. Perhitungan future value dari
biaya investasi dan operasional adalah sebagai berikut (Sinaga, 2009) :
FV = PE (1+r)t..............................................................(6)
dimana:
FV = Nilai saat ini (Rupiah)
PE = Nilai biaya investasi/operasional skenario (Rupiah)
r
(tahun)
Setelah mendapatkan biaya investasi dan operasional masing-masing
skenario, maka langkah selanjutnya yaitu membandingkan total biaya dengan nilai
manfaat atau kerugian yang hilang apabila alternatif sistem pengelolaan tersebut
digunakan.
25
26
Persentase
2125
250
9
1
88
40
22
5
60
7
35
2358
200
5200
40,86%
4,80%
0,17%
0,01%
1,69%
0,76%
0,42 %
0,09%
1,15 %
0,13%
0,67%
45,34%
3,84%
100%
27
116 unit. Menurut pihak DKP Kota Bogor, Kota Bogor menghasilkan 2.600 meter
kubik perhari, sedangkan sampah yang bisa terangkut ke TPA Galuga dalam satu
hari menggunakan 116 truk sampah sebanyak 1900 meter kubik, sisa sampah yang
tidak terangkut dikelola di 25 TPS3R dengan rasio masing TPS3R dapat
mengelola 10 hingga 15 meter kubik per hari.
Sistem pengelolaan TPA Galuga saat ini sebagian besar masih open
dumping, yaitu metode pembuangan sampah pada suatu cekungan tanpa
menggunakan tanah sebagai penutup sampah. Metode ini sangat berpotensi
untuk mencemari lingkungan, seperti pencemaran air tanah, bau tidak sedap,
banyaknya lalat, nyamuk dll. Metode ini sudah tidak direkomendasikan oleh
pemerintah. Penanganan sampah dengan metode open dumping di TPA dilarang
dilakukan sebagaimana tercantum dalam pasal 29 ayat 1f Undang-Undang Nomor
18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang menjelaskan bahwa pengelolaan
TPA secara Open Dumping harus ditingkatkan menjadi Controlled landfill dan
Sanitary Landfill. Saat ini pemerintah Kota Bogor telah berusaha menerapkan
aturan tersebut, ditandai dengan 30% lahan sampah di TPA Galuga telah
menerapkan controlled landfill seperti aturan yang berlaku. Pihak pengelola
menjelaskan pemerintah Kota Bogor akan berupaya menerapkan sistem controlled
landfill secara keseluruhan dan akan membutuhkan waktu yang relatif lama.
Dalam mengatasi pencemaran lingkungan yang terjadi disekitar TPA Galuga,
pemerintah Kota Bogor telah memberikan kompensasi berupa penyediaan saluran
air bersih (PAM), penyemprotan serangga tiga bulan sekali, pengobatan gratis
bagi masyarakat dua kali dalam satu bulan, dan perbaikan jalan.
5.3 Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal
di Kampung Baru Lalamping, Kampung Sinarjaya dan Kampung Moyan, RW 05,
Desa Galuga. Karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 6
28
Persentase (%)
8
33
24
16
9
90
9
36
27
18
10
100
48
42
90
53
47
100
9
54
14
13
90
10
60
16
14
100
11
16
34
18
11
90
12
18
38
20
12
100
55
20
15
90
60
22
18
100
Persentase (%)
36
4
24
6
18
90
40
4
27
7
20
100
1
10
79
90
1
11
88
100
29
anaknya dapat merasakan kehidupan yang lebih baik. Hal ini mengingat
banyaknya responden yang hanya merupakan tamatan SD yaitu sebesar 60% atau
sebanyak 54 orang. Sehingga saat ini mereka sulit untuk mendapat pekerjaan dan
lebih memilih memulung. Selain anak-anak, masyarakat yang sudah lanjut usia
juga rata-rata tidak melakukan aktivitas memulung sampah lagi.
Jenis pekerjaan responden selain pemulung dan pengepul sampah yaitu
berupa pedagang, buruh, petani , IRT dan karyawan pabrik. Mayoritas responden
selain berprofesi sebagai pemulung dan pengepul juga sebagai pedagang.
Sedangkan petani yang ada di Desa Galuga semakin berkurang jumlah seiring
dengan adanya pembebasan lahan yang dilakukan pihak pemerintah Kota Bogor.
30
31
TPA Galuga
dirasakan
masyarakat
dalam
penelitian
ini
diidentifikasi
dengan
Harga (Rp)
2.400,00
1.200,00
1.000,00
500,00
1.000,00
800,00
Satuan
Kg
Kg
Kg
Kg
Kg
Kg
32
33
Eksternalitas negatif
Bau tidak sedap
Penurunan kualitas air
Gangguan terhadap kesehatan
Keberadaan serangga
Jumlah
34
sampah yang bersifat mudah urai (biodegradable) umumnya tidak stabil dan
cepat menjadi busuk karena mengalami proses degradasi yang akan menimbulkan
bau yang menyengat dan mengganggu (Pascucci, 2011). Bau tidak sedap yang
dirasakan responden dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Esternalitas negatif berupa bau tidak sedap
No
1
Responden
Jumlah responden (Orang)
Kampung Baru Lalamping
a) MTPA
b) MBTPA
2
Kampung Sinarjaya
a) MTPA
b) MBTPA
3
Kampung Moyan
a) MTPA
b) MBTPA
Jumlah
Sumber : Data primer (2016)
Keterangan :
MTPA (Masyarakat yang sumber pendapatannya berasal dari TPA)
MBTPA (Masyarakat yang sumber pendapatannya bukan berasal dari TPA)
13
15
14
15
7
16
80
Bau tidak sedap paling banyak dirasakan oleh responden yang tempat
tinggalnya berada di dekat TPA Galuga yaitu responden Kampung Baru
Lalamping dan Kampung Sinarjaya. Terdapat perbedaan persepsi antara
responden yang sumber pendapatannya berasal dari TPA Galuga dengan
responden dengan pendapatan yang bukan berasal dari TPA Galuga terhadap bau
tidak sedap yang ditimbulkan oleh TPA Galuga. Menurut responden pemulung
dan pengepul, mereka sudah terbiasa dengan bau tidak sedap tersebut, sehingga
adanya bau tidak sedap tidak mengganggu aktivitas mereka. Hal ini berbanding
terbalik dengan sebagian responden dengan sumber pendapatan bukan berasal
dari TPA Galuga yang mengatakan adanya bau tidak sedap membuat masyarakat
tidak nyaman. Tetapi mereka harus merasakan bau tidak sedap tersebut.
Pihak pemerintah Kota Bogor memberikan kompensasi berupa uang
kebauan terhadap masyarakat. Masyarakat yang memperoleh uang kebauan
hanya sebagian kecil dari populasi masyarakat di Desa Galuga. Uang kebauan
lebih efektif jika diberikan kepada masyarakat yang jarak rumahnya dekat dengan
TPA Galuga atau masyrakat yang rumahnya dilalui oleh truk pengangkut sampah
karena truk pengangkut sampah yang melewati lingkungan masyarakat
mengeluarkan air sampah sepanjang jalan yang mengakibatkan bau tidak sedap
35
Responden
Kampung Baru Lalamping
c) MTPA
d) MBTPA
2
Kampung Sinarjaya
c) MTPA
d) MBTPA
3
Kampung Moyan
c) MTPA
d) MBTPA
Jumlah
Sumber : Data primer (2016)
36
permukaan/air tanah dipengaruhi oleh kondisi geologi (type tanah dan jenis
batuan) serta kondisi hidrologi (kedalaman dan pergerakan air tanah, jumlah
curah hujan serta pengendalian aliran permukaan) dimana lokasi TPA berada
(Maramis, 2008).
Responden menggunakan air PAM dan air galon sebagai pengganti air
bersih. Air PAM digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mencuci, mandi
dan memasak, sedangkan air galon digunakan untuk dikonsumsi sebagai air
minum oleh masyarakat. Sebagian responden juga memanfaat air PAM sebagai
air minum dengan cara dimasak terlebih dahulu. Masyarakat mengatakan
keberatan jika harus membayar biaya pengganti air bersih tiap bulannya karena
sebelum adanya dampak penurunan kualitas air akibat keberadaan TPA Galuga,
masyarakat dapat memeperoleh air bersih dengan gratis.
6.2.2.3 Gangguan terhadap kesehatan
Eksternalitas negatif lain yaitu berupa adanya gangguan kesehatan
(penyakit) yang dirasakan oleh keluarga responden. Sampah yang ada di TPA
Galuga menjadi sumber penyakit bagi masyarakat sekitar. Identifikasi
eksternalitas negatif berupa gangguan kesehatan yang dirasakan responden dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Eksternalitas negatif berupa gangguan kesehatan
No
1
Keterangan
Kampung Baru Lalamping
e) MTPA
f) MBTPA
2
Kampung Sinarjaya
e) MTPA
f) MBTPA
3
Kampung Moyan
e) MTPA
f) MBTPA
Jumlah
Sumber : Data primer (2016)
37
Keluarga responden
Jenis penyakit
Flek paru
ISPA
Gatal-gatal
3
2
1
6
5
1
2
3
0
1
0
2
3
0
13
1
0
9
4
1
13
38
Upaya
pencegahan
15
15
15
15
7
14
81
yang
dilakukan
masyarakat
hanya
berupa
penyemprotan obat serangga dan obat anti nyamuk. Pihak pemerintah Kota
Bogor melakukan
39
diperoleh pemulung diperoleh dari hasil menjual sampah yang telah dipilahnya ke
ke pengepul. Biaya yang dikeluarkan oleh pemulung berupa biaya pembelian
keranjang, sepatu dan gaco. Harga keranjang tergantung dengan ukuran yang
dibeli oleh pemulung. Gaco merupakan alat yang digukanan pemulung untuk
mengait sampah. Sebagian besar pemulung membuat sendiri gaco yang akan
mereka gunakan. Harga sepatu bervariasi teragntung dengan merk yang dibeli
oleh pemulung. Rata-rata dalam sehari pemulung memperoleh pendapatan sebesar
Rp. 30.000,00- Rp.50.000,00. Jumlah pendapatan yang diterima pemulung
bervariasi. Hal ini tergantung dengan waktu yang digunakan pemulung untuk
mengambil sampah di TPA Galuga. Mayoritas pemulung bekerja setiap harinya.
Walaupun sabagian dari pemulung ada yang libur pada hari minggu atau jumat.
Selain itu ada juga masyarakat yang hanya menjadikan pemulung sebagai profesi
sampingannya. Hal ini juga akan mempengaruhi pendpatan yang diperolehnya.
Pendapatan pengepul diperoleh dari mengurangkan penerimaan yang
diterima oleh pengepul dengan biaya yang dikeluarkan oleh pengepul. Penerimaan
yang diterima pengepul berasal dari penjualan sampah yang dibelinya dari
pemulung ke pengepul yang lebih besar atau pabrik. Biaya yang dikeluarkan
pengepul yaitu berupa biaya pengangkutan (transportasi). Estimasi total nilai
manfaat ekonomi masyarakat akibat keberadaan TPA Galuga dapat dilihat pada
Tabel 15.
Tabel 15
Keterangan
A. Pemulung
Kampung Baru
Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan
Jumlah
B. Pengepul
Kampung Baru
Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan
Rata-rata Nilai
Manfaat
/KK/tahun (Rp)
*(a)
Jumlah
Populasi
(KK)
*(b)
13.172.142,86
70
922.050.000,20
14.643.750
13.128.000
90
10
170
1.317.937.500
131.280.000
2.371.267.500,20
21.120.000,00
21.120.000,00
43.200.000,00
0
3
0
129.600.000,00
0
40
Jumlah
150.720.000,00
2.521.987.500,20
berbeda. Jumlah pemulung dan pengepul untuk tiap kampung berbeda. Pemulung
terbanyak terdapat di Kampung Sinarjaya yaitu sebanyak 90 KK. Sedangkan di
Kampung lainnya yaitu Kampung Baru Lalamping sebanyak 70 KK dan
Kampung Moyan hanya sebanyak 10 KK. Jumlah pengepul di Kampung Baru
Lalamping yaitu 1 KK dan Kampung Sinarjaya 3 KK. Banyaknya pemulung dan
pengepul di Kampung Baru Lalamping dan Kampung Sinarjaya membuat
masyarakat di kampung tersebut merasakan nilai manfaat yang lebih tinggi
dibandingkan Kampung Moyan. Hasil perhitungan keseluruhan dapat dilihat pada
lampiran 1, 2 dan 3.
6.2.2 Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat Keberadaan TPA
Galuga
6.2.2.1 Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat Berupa Biaya Untuk
Berobat
Adanya TPA Galuga menimbulkan berbagai gangguan kesehatan.
Berdasarkan identifikasi eksternalitas negatif yang dirasakan oleh responden
terdapat 3 penyakit yang diderita oleh keluarga responden. Penyakit tersebut yaitu
penyakit gangguan terhadap saluran pernapasan berupa ISPA dan flek paru serta
penyakit infeksi kulit berupa gatal-gatal. Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal
disekitar TPA Galuga harus mengeluarkan biaya untuk berobat. Metode yang
digunakan untuk menghitung biaya berobat yaitu metode cost of illness. Jumlah
populasi yang digunakan dalam perhitungan eksternalitas negatif diperoleh
berdasarkan dengan persentase jumlah responden yang merasakan adanya
eksternalitas negatif akibat keberadaan TPA Galuga.
Biaya untuk berobat yang dihitung yaitu berupa biaya yang harus
ditanggung oleh KK, bukan hanya responden. Biaya diperoleh dari mengalikan
jumlah anggota keluarga yang sakit dengan rincian biaya untuk berobat masingmasing penderita. Rata-rata responden pergi berobat ke dokter dan puskesmas
41
Rata-rata Nilai
Kerugian/KK/tahun
(Rp)*(a)
MTPA
Kampung Baru Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan
Jumlah
MBTPA
Kampung Baru Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan
Jumlah
Estimasi Total Biaya Untuk Berobat
Sumber : Data primer (2016)
Keterangan :
*Perhitungan pada lampiran 1-9
Jumlah
Populasi
(KK)
*(b)
86.428,57
182.958,33
45.000
37
60
2
99
3.197.857,09
10.977.499,80
90000
14.265.356,89
100.000
326.000
72.000
20
27
14
61
2.000.000
8.802.000
1.008.000
11.810.000
26.075.356,89
42
kampung lainnya.
Biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat juga dipengaruhi oleh tujuan
berobat masyarakat. Biaya berobat ke dokter relatif lebih mahal dibandingkan
berobat ke puskesmas. Untuk penyakit flek paru, masyarakat harus melakukan
pengobatan rutin hingga 6 bulan dengan intensitas pengobatan 2 kali dalam
sebulan. Pihak pemerintah Kota Bogor telah mengadakan pengobatan secara
gratis yang bertempat di klinik kesehatan di Desa Galuga. Berdasarkan hasil
survei, terdapat beberapa responden mengatakan tidak mengetahui pasti mengenai
adanya pengobatan gratis tersebut. Hal ini karena jadwal penyediaan pengobatan
gratis yang tidak menentu dan kurangnya sosialisasi ke masyarakat. Untuk itu
perlu adanya evaluasi terhadap penyediaan pengobatan gratis yang dilakukan oleh
pemerintah Kota Bogor sehingga semua masyarakat dapat menerima manfaat.
6.2.2.2 Estimasi Nilai Kerugian Masyarakat Berupa Biaya Pengganti Air
Bersih
Selain biaya untuk berobat, terdapat nilai kerugian ekonomi lain yang
harus ditanggung oleh masyarakat yaitu biaya pengganti air bersih. Biaya
pengganti air bersih yang ditanggung masyarakat berasal dari biaya untuk
membayar air PAM perbulannya dan biaya untuk membeli isi ulang air galon.
Sebagian besar responden menggunakan air galon untuk keperluan konsumsi dan
air PAM untuk keperluan sehari-hari. Hal ini dikarenakan air PAM yang
digunakan responden mengandung bau obat, sehingga perlu waktu tambahan jika
ingin dikonsumsi. Itensitas penggunaan air galon masyarakat bervariasi, yaitu satu
kali seminggu, dua kali seminggu dan tiga kali seminggu. Jumlah tersebut
tergantung kebutuhan masyarakat. Penggunaan air galon karena masyarakat tidak
biasa mengonsumsi air PAM yang kadang masih berbau obat. Masyarakat yang
tidak menggunakan air galon biasa memasak air PAM untuk dikonsumsi. Estimasi
nilai kerugian masyarakat berupa biaya pembelian air PAM dapat dilihat pada
Tabel 17.
43
Tabel 17
Keterangan
MTPA
Kampung Baru
Lalamping
Kampung
Sinarjaya
Kampung Moyan
Rata-rata Nilai
Kerugian/KK/tahun
(Rp)*(a)
Jumlah
Populasi
(KK)*(b)
347.571,43
37
12.860.142,91
1.054.400
78
82.243.200
76.800
384.000
Jumlah
MBTPA
Kampung Baru
95.487.342,91
624.000
20
12.480.000
Lalamping
Kampung
829.800
37
30.702.600
Sinarjaya
Kampung Moyan
76.800
28
Jumlah
Estimasi Nilai Pengganti Air Bersih
Sumber : Data Primer (2016)
Ket :
*Biaya pengganti air bersih diperoleh dengan menjumlahkan biaya
pembelian air PAM dan air galon
* Pehitungan pada lampiran 1-9
2.150.400
45.333.000
140.820.343,91
pengganti
44
Rata-rata Nilai
Kerugian/KK/tahun
(Rp)*(a)
MTPA
Kampung Baru
Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan
Jumlah
MBTPA
Kampung Baru
Lalamping
Kampung Sinarjaya
Kampung Moyan
Jumlah
Estimasi Total Biaya Pencegahan
Sumber : Data primer (2016)
Keterangan :
*Perhitungan pada lampiran 1-9
Jumlah
Populasi
(KK)*(b)
Total Nilai
Kerugian /tahun
(Rp)*(c=a*b)
70
0
0
90
2
0
0
0
64.000,00
50
3.200.000,00
48.000,00
0
50
197
2.400.000,00
0
5.600.000,00
5.600.000,00
45
Nilai kerugian yang paling besar ditanggung masyarakat yaitu berupa nilai
kerugian biaya pengganti air bersih sebesar Rp. 140.820.343,91/tahun. Sedangkan
nilai kerugian paling kecil yang dirasakan oleh masyarakat yaitu berupa biaya
pencegahan sebesar Rp. 5.600.000/tahun. Total nilai kerugian yang dirasakan
masyarakat yaitu sebesar Rp. 172.495.700,80/tahun. Perbandingan antara nilai
manfaat ekonomi dan nilai kerugian ekonomi yang dirasakan masyarakat dapat
dilihat pada Tabel 20
Tabel 20 Perbandingan total nilai manfaat dan nilai kerugian masyarakat
Kerugian Ekonomi
Manfaat Ekonomi
Keterangan
Masyarakat/tahun
Masyarakat/tahun (Rp)
(Rp)
Total Nilai (Rp)
2.521.987.500,20
172.495.700,80
Rasio Perbandingan
14,6 : 1
2.349.491.799,40
Nilai manfaat yang dirasakan masyarakat lebih besar dari nilai kerugian
yang
dirasakan
masyarakat.
Selisih
kedua
nilai
tersebut
yaitu
Rp.
46
controlled
landfill
adalah
sebesar
Rp.
2.521.987,20/tahun
dan
Rp.
47
digunakan teknik compunding, dengan suku bunga Bank Indonesia per mei 2016
yaitu 6,75 %. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 21
Tabel 21 Estimasi biaya investasi dan operasional penerapan metode sanitary landfill di TPA
Galuga
Suku
Periode
Skenario Sanitary
Nilai (Rp)
Bunga
Estimasi Biaya (Rp)
tahun
A
d=a(1+b)^c
Landfill
(n)
(%)
C
b
Biaya Investasi
851.556.891,82/ha
6,75
2
970.396.978,30/ha
(Sugiarto, 2014)
Biaya Operasional
1.547.971,00/ton
6,75
(Ruban, 2014)
Sumber : Data diolah (2016)
*suku bunga bulan mei tahun 2016 (Bank Indonesia, 2016)
1.764.000,03/ton
TPA yaitu 10 tahun, maka biaya operasional yang ditanggung yaitu Rp.
122.430.598.330,00
6.3.1.1 Composting
Composting adalah suatu proses perubahan bahan-bahan organik yang
dapat diurai yang dapat menjadi bahan stabil dan tidak berbau (Soma, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Handono (2009) biaya investasi untuk composting di
TPA Cipayung, Depok yaitu sebesar Rp. 54.450.000,00. Asumsi yang digunakan
dalam perhitungan finansial ini adalah kapasitas produksi setelah tahun ke-2
sebesar 540 ton/tahun (1,5 ton/hari), dan lama kegiatan composting 5 tahun (umur
ekonomis). Total biaya operasional composting sampah organik menurut Ruban
(2014) TPA Dusun Toisapu, Kota Ambon yaitu sebesar Rp. 1.827.971,00/ton atau
48
Rp. 2.741.956,50 /1,5 ton (Ruban, 2014). Estimasi biaya composting di TPA
Galuga dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Estimasi biaya investasi dan operasional penerapan metode composting
di TPA Galuga
Skenario Composting
Biaya
Investasi
(Handono, 2009)
Nilai (Rp)
A
54.450.000,00
Biaya
Operasional
2.741.956,50 /1,5
(Ruban, 2014)
ton/hari
Sumber : Data diolah (2016)
*suku bunga bulan mei tahun 2016
*Suku
Bunga
(%) b
6,75
6,75
Periode tahun
C
7
Estimasi Biaya
(Rp)
d=a(1+b)^c
86.014.777,44
3.124.613,66/1,5
ton/hari
5.702.419.930,00.
6.3.1.2 Insinerasi
Berdasarkan penelitian Widyaputri (2014) biaya investasi yang dibutuhkan
untuk menerapkan metode insinerasi di TPA Bantar Gebang, Bekasi yaitu sebesar
Rp. 39.262.000.000,00 dengan umur ekonomis 15 tahun. Sedangkan, biaya
operasional sistem insinerasi di TPA Dusun Toisapu, Kota Ambon yaitu sebesar
Rp.2.812.059,00/ton (Ruban, 2014). Asumsi sampah yang mampu diolah yaitu sebanyak
195.202,25 ton/tahun. Estimasi biaya investasi dan operasional sistem insinerasi di TPA
Galuga dapat dilihat pada Tabel 23.
39.262.000.000,00
*Suku
Bunga
(%)
B
6,75
2.812.059,00
6,75
Nilai (Rp)
A
Periode tahun
C
Estimasi Biaya
(Rp)
d=a(1+b)^c
44.741.257.487,50
3.204.499,40
49
sistem
insinerasi
di
TPA
Galuga
yaitu
sebesar
Rp.
Nilai (Rp)
Biaya Investasi
(Prasetyo, 2010)
19.261.377.175,00
Suku
Bunga
(%)
6,75
Biaya
Operasional
2.564.893,00/ton
(Ruban, 2014)
Sumber : Data diolah (2016)
*suku bunga bulan mei tahun 2016
Periode
tahun
(n)
6,75
Estimasi Biaya
(Rp)
2
21.949.422.743,38
2.922.839,84
dengan
umur
ekonomi
selama
20
tahun
yaitu
sebesar
Rp.
21.949.422.743,38 dengan asumsi sampah organik yang diolah yaitu sebanyak 28.280,09
ton/tahun. Biaya operasional biogas untuk satu ton sampah organik yaitu Rp.
2.922.839,84 (Ruban,2014). Apabila diasumsikan selama 20 tahun volume sampah
organik yang dapat diolah di TPA Galuga yaitu 565.601,8 (28.280,09 ton x20 tahun)
maka biaya operasional yang dibutuhkan yaitu sebesar Rp. 58.456.796,80. Estimasi
50
Periode
(tahun)
Biaya Investasi
(Rp)*a
Sanitary
Landfill
10
12.809.240.113,61
Composting
Insinerasi
5
15
86.014.777,44
44.741.257.487,50
Biogas
20
21.949.422.743,38
Biaya Operasional
(Rp)*b
122.430.598.330,0
0
5.702.419.930,00
10.147.513.604.76
2,70
58.456.796,80
Total Biaya
(Rp)*c=a+b
135.239.838.443,61
5.788.434.707,44
10.192.254.862.250,2
0
22.007.879.540,18
Periode
(tahun)*a
Sanitary Landfill
Total Biaya
(Rp)*b
Periode
(tahun)
Total Biaya
(Rp)*c=b/a
10
135.239.838.443,61
13.523.983.844,36
5.788.434.707,44
1.157.686.941,49
Insinerasi
15
10.192.254.862.250,
20
679.483.657.483,35
Biogas
20
22.007.879.540,18
1.100.393.977,01
Composting
Berdasarkan Tabel 26, total biaya pertahun yang paling rendah yaitu
apabila sistem pengelolaan yang diterapkan di TPA Galuga adalah biogas. Total
biaya investasi dan operasional skenario biogas dalam satu tahun membutuhkan
dana sebesar Rp. 1.100.393.977,01. Sedangkan biaya skenario yang paling tinggi
yaitu insinerasi dengan nilai Rp. 679.483.657.483,35/tahun.
Setelah diketahui berapa besar biaya investasi dan operasional yang harus
dikeluarkan untuk menerapkan skenario-skenario pengolahan sampah tersebut di
TPA Galuga, kemudian akan dibandingkan dengan besarnya nilai manfaat dan
nilai kerugian ekonomi masyarakat yang hilang apabila skenario-skenario tersebut
51
diterapkan. Hasil perbandingan ini dapat melihat sejauh mana nilai manfaat dan
nilai kerugian yang hilang akibat diterapkan skenario pengelolaan sampah dapat
menutupi biaya masing-masing skenario. Perkiraan covering biaya investasi dan
operasional maasing-masing skenario pengelolaan sampah dihitung berdasarkan
asumsi bahwa (Sudrajat, 2006) :
1. Skenario sanitary landfill dapat menghilangkan bau tak sedap yang
ditimbulkan karena sampah di TPA ditimbun dengan media pasir dan
masyarakat masih bisa tetap memulung sampah karena sampah ditimbun
setelah terlebih dahulu dipilah oleh pemulung.
2. Skenario composting dapat menghilangkan bau tak sedap di TPA karena
sampah organik diolah menjadi kompos, dan pemulung masih bisa tetap
mengumpulkan sampah anorganik untuk dijual.
3. Skenario insinerasi dapat mengurangi pencemaran air lindi sampah karena
sampah yang ada di TPA Galuga dibakar dengan menggunakan
insenerator sehingga nilai kerugian masyarakat berupa pengganti air
bersih diasumsikan hilang.
4. Skenario biogas dapat mengurangi polusi bau karena sampah organik di
TPA diolah menjadi biogas, dan sampah anorganik masih tetap bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Perkiraan covering biaya investasi dan operasional masing-masing
skenario pengelolaan sampah di TPA Galuga dapat dilihat pada tabel 27.
Tabel 27 Perkiraan covering biaya investasi dan operasional
Skenario
Sanitary
Landfill
Compostin
g
Insinerasi
Biogas
Nilai Manfaat
(Rp/tahun)
Total
Biaya (Rp/tahun)
Nilai Kerugian
(Rp/tahun)
(a)
(b)
(c)
13.523.983.844,36
166.895.700,80
Persentrase
Covering
(%)
(d) =
(a/b+c)x100
%
18,42
1.157.686.941,49
166.895.700,80
190,40
679.483.657.483,3
5
1.100.393.977,01
5.600.000,00
0,37
166.895.700,80
199,01
2.521.987.500,0
0
2.521.987.500,0
0
2.521.987.500,0
0
2.521.987.500,0
0
52
53
56