Anda di halaman 1dari 12

RUANG PELANGGARAN ETIK OLEH PENYELENGGARA PEMILU

PADA PEMILUKADA SERENTAK 2015


Didi Rahmadi
Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Andalas
ABSTRAK/ABSTRACK
Studi ini fokus pada pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu pada
pelaksanaan pilkada serentak 2015. Tulisan ini menjelaskan 3 dari 12 asas prinsip dasar etika
yang sering dilanggar oleh penyelenggara pemilu khususnya dalam pelaksanaan pilkada
serentak 2015 gelombang I. Nilai-nilai pelanggaran etik yang dibahas pada studi ini adalah
integritas, indepedensi, serta akuntabilitas penyelenggara pemilu pada saat pengumpulan dan
penghitungan suara. Selain menjelaskan pelanggaran-pelanggaran selama pilkada serentak
2015, tulisan ini juga berusaha memberikan solusi atas persoalan tersebut. Pengumpulan data
menggunakan metode studi pustaka dan penelusuran dokumen. Analisis data dari data yang
terkumpul ditulis dengan metode naratif deskriptif.
This study focuses on ethic violations that have been done by electoral administrator in
concurrently local election 2015. This article has been explaining 3 of 12 the basic code of
conduct which are often violated. These values such as integrity, independently, and
accountability of electoral administrator during voting and counting perriod have been
discussed extensively. Meanwhile, this article also describes the possibility of any solutions to
resolve these issues. The literature study and document tracking were the basis of data analyses.
Lastly, all data collected were analysed to be written in descriptive narrative way.
Kata kunci: penyelenggara pemilu, pelanggaran etik, pilkada
Keywords: electoral administrator, ethic violations, local election

PENDAHULUAN
Praktik pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak 2015 tahap pertama masih diwarnai
dengan pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Padahal, semangat untuk
mewujudkan pilkada yang berintegritas telah menjadi komitmen bersama oleh para

penyelenggara pemilu. Kalau demikian, terjadinya pelanggaran baik berupa etik dan pidana
harus disikapi dengan serius. Kerangka etik yang telah dirumuskan ke dalam 12 asas-asas prinsip
dasar etika penyelenggara pemilu, sebagai panduan untuk mewujudkan pilkada yang bersih dan
mandiri bisa disebut sebagai langkah serius. Kenyataannya memang masih perlu usaha bersama
agar nilai-nilai kebaikan ini dapat tertanam sebagai pedoman dalam melihat, menilai dan
bertindak.1
Sebagai bangsa yang besar wujudnya perangkat pemerintah yang bersih, professional, dan
amanah bukanlah tugas yang mudah. Apalagi di era modernisme, masyarakat berwatak
individualisme yang berorientasi kepentingan pribadi, cenderung sesama terkadang tidak
menghiraukan aspek moral dan berkarakter masyarakat transaksional. Tak ayal lagi, tentunya hal
ini juga berimbas pada perangkat penyelenggara pemerintah khususnya pada aparat
penyelenggara pemilu yang kurang amanah dalam mengemban tugas. Tentu dalam hal ini DKPP
sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam mengawal etika penyelenggara Pemilihan
Umum akan memiliki tugas yang sangat berat.
DKPP mencatat ada 218 pengaduan soal dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu dimana 108 pengaduan berhubungan dengan pemungutan dan
penghitungan suara dan 110 pengaduan soal pengumuman hasil rekapitulasi suara di tingkat
kabupaten2. Banyaknya pengaduan yang diterima pada pilkada serentak gelombang I dikuatirkan
dapat mengurangi kualitas penyelenggaraan pemilu yang akuntabel, professional, dan
berintegritas. Laporan ini terus meningkat terhitung sejak dimulainya pembentukan perangkat
penyelenggara pemilukada pada April 2015
Berdasarkan asumsi di atas, tulisan ini mencoba menggambarkan ruang terbuka pelanggaran
kode etik penyelenggara pemilukada yang masih terjadi pada pemilukada serentak 2015. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan masih ditemukannya ruang pelanggaran para penyelenggara
pemilu dalam setiap pemilihan umum digelar khususnya pada pemilu lokal yang menyebabkan
adanya tindak pidana pemilukada, pelanggaran administrasi, serta kesalahan penghitungan suara.
Dari sekian banyak faktor pelanggaran yang terjadi, penulis hanya menjabarkan tiga faktor
pelanggaran yang berulang dalam pemilukada 2015 kemaren. Pertama, faktor integritas
penyelenggara pemilu. Kedua, independensi penyelenggara pemilu. Ketiga, akuntabilitas pada
1

Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu (Jakarta, Rajawali Press, 2014) hal. 24

Lihat, http://news.detik.com/berita/3132213/kpu-bawaslu-dan-dkpp-laporkan-evaluasi-pilkada-serentak-ke-dpr
diakses 14 Mei 2016.

saat pemungutan dan penghitungan suara. Sebelum lebih jauh membahas persoalan di atas, pada
bagian berikutnya akan dijelaskan terlebih dahulu metode dan pendekatan.
A. METODE
Metode yang digunakan untuk mengetahui sebab masih terjadinya pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilukada serentak 2015 adalah metode kualitatif biasa dengan pendekatan studi
pustaka dan penelusuran dokumen. Tahapan pertama pengumpulan data dilakukan melalui
penelusuran dokumen-dokumen tertulis seperti lewat, buku, jurnal, majalah, koran, dan internet
yang dianggap memiliki signifikansi yang kuat dengan kajian. Tahapan kedua, analisis data dari
studi pustaka tersebut, dan terakhir laporan ini ditulis dengan metode naratif deskriptif.
B. HASIL ANALISIS
Ada anggapan bahwa tahun 2015 sebagai tahun awal pelaksanaan pesta demokrasi.
Anggapan tersebut didasari pada dimulainya pemilukada secara serentak pertama sekali di 269
kab/kota dan 9 provinsi di tahun 2015. Sekaligus penanda bahwa pemilu merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari penerapan demokrasi modern. Perubahan politik terutama dalam tata
kelola pemilu di Indonesia adalah semangat melanjutkan estafet reformasi politik menuju kepada
tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, dan lebih demokratis. Harapannya, pemilihan
umum nantinya tetap menarik partisipasi masyarakat secara luas sekaligus menjaga semangat
kebersamaan sebagai sarana pelembagaan kedaulatan rakyat secara efektif dan berkelanjutan
(Kemitraan, 2014). Pilkada serentak perdana ini tentunya membutuhkan konsentrasi ekstra
mengingat semuanya dilakukan di waktu yang bersamaan. Penyelenggara pemilu, baik KPU
maupun Bawaslu harus benar-benar siap agar proses pilkada berjalan dengan lancar tanpa
menciderai prinsip jujur, adil dan transparan. Kedua lembaga tersebut harus mampu
mengantisipasi kesalahan berulang berdasarkan pengalaman pelaksanaan pemilu sebelumnya,
lalu telah memiliki kesiapan scenario-skenario bila berhadapan dengan situasi yang tidak
diharapkan.
Pelaksanaan pemilukada serentak 2015 adalah amanat pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 1
Tahun 2015 tentang pelaksanaan pemilukada serentak setiap lima tahun sekali di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 Pasal 201 ayat (1-7), pemilukada serentak akan dilakukan dalam beberapa kali
periode sampai nanti setelah tahun 2020, pemilukada akan dilakukan serentak diseluruh daerah

di Indonesia.3 Gagasan tentang pelaksanaan pemilukada serentak tentunya didasari pada


keinginan untuk melaksanakan sistem pemilu yang efisien, menghemat biaya dan tenaga. Alasan
lain, dengan pemilukada serentak diharapkan nanti adanya kesepadanan perencanaan program
pembangunan nasional dengan perencanaan program pembangunan daerah. Dengan cakupan
wilayah yang luas dimana ada 34 provinsi, 399 Kabupaten, dan 98 Kota, jika tidak dilakukan
serentak maka setiap pelaksanaan pemilu lokal akan banyak menguras tenaga dan materi.
Berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada serentak 9 Desember 2015, dalam laporan yang
tertuang dalam outlook 2016, DKPP berpendapat bahwa secara keseluruhan sudah berjalan
dengan baik, walaupun masih menyisakan persoalan di beberapa daerah dimana ada lima daerah
yang pelaksanaannya diundur sampai 2016.4 Meskipun secara keseluruhan pelaksanaan
pemilukada serentak gelombang I berjalan dengan lancar, pelanggaran-pelanggaran selama
pelaksanaan masih dapat dijumpai salah satunya seperti dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Berdasarkan data DKPP tentang penyelenggara pemilu teradu dalam pemilukada serentak tahun
2015, penyelenggara pemilu adalah jumlah teradu terbanyak.
Tabel I
Penyelenggara Pemilu Teradu Dalam Pemilukada Serentak Tahun 2015
N

Lembag

Pusa

Provins Kab/Kot

Kec Kel/Des

KPP

Sekretari Sta

Jumlah

o
1

a
Jajaran

t
2

i
108

.
62

S
0

s
6

892

a
610

a
104

f
0

KPU
2

Jajaran

(82,33%
0

16

176

Bawaslu
Total
2
124
786
68
104
0
Sumber: Outlook 2016 Refleksi dan Proyeksi, DKPP RI 2016

)
199
(17,67%

)
1,091

Meskipun DKPP menjelaskan bahwa pelanggaran tersebut masih bisa ditoleransi mengingat
hanya 1 % (satu persen) masih jauh dari total penyelenggara pemilukada (2.612.869)5, perlu juga
menjadi bahan evaluasi mengapa masih banyak laporan pengaduan yang mengindikasikan
3

Sumber Bahan FGD di Padang Sumatera Barat 17 Mei 2016

DKPP RI, Outlook 2016 Refleksi dan Proyeksi (Jakarta, 2016) hal. 34

Ibid, hal. 34

pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Kalau dikaitkan dengan praktik
penyelenggaraan pemilu, yang tertuang dalam pengaturan pemilu maka masalah ini adalah
masalah hukum pemilu yang dibedakan atas [1] tindak pidana pemilu, [2] pelanggaran
administrasi pemilu, [3] perselisihan administrasi pemilu, [4] perselisihan hasil pemilu, dan [5]
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh
lembaga Kemitraan, bahwa setiap bentuk pelanggaran selama pemilu, apakah bersifat
administrasi maupun bersifat pidana pabila tidak ditanggapi serius sekecil apapun bentuknya
akan berdampak pada hilangnya kepercayaan terhadap sistem demokrasi elektoral. Sebagai
contoh, pelanggaran administratif yang dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara pemilu
dapat menciderai integritas penyelenggara pemilu. Di samping juga akan memberikan peluang
pada pelanggaran-pelanggaran lain yang menjurus pada tindak pidana pemilu seperti transaksi
jual beli suara yang melibatkan penyelenggara pemilu.6
C.1 Integritas Penyelenggara Pemilu
Penyelenggara pemilu merupakan sebuah lembaga yang bertugas menyelenggarakan pemilu
yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum
(Bawaslu), yang memiliki tugas sebagai penyelenggara pemilu untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung oleh rakyat, juga penyelenggara pemilukada untuk memilih Kepala Daerah
tingkat kota dan kabupaten. Untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas dan kompeten tentu
dalam pelaksanaannya dibutuhkan integritas dari penyelenggara pemilu.
Pengertian integritas berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)7 adalah mutu, sifat
atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan
yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Dari sisi filosofis, Bauman (2011) mengatakan
bahwa integritas bisa juga tidak memiliki hubungan dengan aspek moralitas, seperti sikap
konsistensi terhadap memegang janji sebagai sikap yang baik meskipun janji tersebut belum
tentu baik. Bauman8 juga mengklasifikasi dua pengertian integritas [1] integritas substantif, yaitu
integritas yang berhubungan dengan komitmen moral, [2] integritas formal, yaitu integritas tanpa
6 Lihatwww.kemitraan.or.id/sites/default/files/FinalKemitraanPressAdvisoryIntegritasPemilu2014_Pela
nggaranKekerasandanPenyalahgunaanUangPadaPemilu.pdf
7

Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat http://kbbi.web.id/integritas

David Bauman, Integrity, Identity, and Why Moral Exemplars Do What is Right. (2011). Electronic
dissertations P.34 dikutip dari makalah 64 Tahun Dispsiad Prof. Dr. Jamaluddin Ancok.

komitmen moral. Sehingga Bauman mendefenisikan integritas sebagai sebuah kebajikan. Sifat
yang jujur pada diri sendiri dengan cara berpegang teguh pada komitmen moral yang dianutnya.
Bernard dan De Beer9 mencoba memberikan tolok ukur sehingga seseorang dikatakan
memiliki integritas. [1] Motivasi dan dorongan dari dalam diri, yaitu sebuah sikap yang didasari
oleh komitmen diri yang kuat untuk berbuat melebihi standar, [2] Keberanian moral dan
keteguhan hati, yaitu sikap untuk mempertahankan prinsip-prinsip yang diyakini, [3] Kejujuran,
jujur yang berdasarkan niat akan kemampuan diri sendiri, berani mengungkapkan kebenaran dan
berkata secara transparan, [4] Konsistensi, konsisten dalam menerapkan aturan nilai di setiap
sendi kehidupan, [5] Komitmen, memegang teguh janji meskipun menghadapi besarnya
tantangan, [6] Rajin bekerja, memiliki etos kerja yang positif, [7] Disiplin diri, disiplin dalam
menjalani kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai, [8] Tanggung jawab, berani menghadapi
segala konsekuensi dari keputusan yang diambil, [9] Dipercaya, mampu menunjukkan sikap
yang sesuai antara kata dan perbuatan, [10] adil, tidak bersikap pilih kasih.
Oleh karena itu, berkaitan dengan penyelenggara pemilu integritas mutlak harus dimiliki oleh
setiap penyelenggara pemilu. Sebab integritas adalah sebuah landasan bersikap yang dapat
menjadi kendali terhadap tindakan yang hanya berorientasi kepentingan sesaat. Sehingga,
integritas adalah bagian etika penyelenggara pemilu yang telah tercantum dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Undangan-undang
tersebut menyatakan bahwa kualitas penyelenggaraan pemilu ditentukan oleh penyelenggara
pemilu yang professional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan akuntabilitas. Hal ini
sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie (2014) yang menyatakan bahwa
integritas penyelenggara pemilu dapat tegak apabila organisasi penyelenggara professional dan
berpegang teguh pada komitmen peraturan perundang-undangan.
Meskipun integritas akan menentukan kualitas pemilu, kita masih menemukan integritas
penyelenggara pemilu masih menjadi salah satu titik lemah yang menciderai kualitas
penyelenggaraan pemilu. Memang integritas pemilu memiliki banyak aspek, akan tetapi
pengaduan yang masuk ke DKPP adalah ulangan praktik dugaan manipulasi pemilu (electoral

Bernard, W; Schurink, W and De Beer, A Conceptual Framework of Integrity. South Africa Journal
of Industry Psychology, vol.34, no.2. pp. 40-49. dikutip dari makalah 64 Tahun Dispsiad Prof. Dr.
Jamaluddin Ancok.

fraud) yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu terutama pada perangkat penyelenggara yang
berada pada level bawah yang bersifat adhoc seperti KPPS, PPS, PPK, maupun Panwascam.
Manipulasi pemilu tersebut berupa tindakan intervensi yang melibatkan penyelenggara
pemilu terhadap hasil penghitungan suara baik penambahan maupun pengurangan perolehan
suara. Manipulasi yang lain yang masih kerap terjadi yaitu pendaftaran pemilih secara illegal,
mobilisasi pemilih, intimidasi terhadap pemilih yang dilakukan oleh KPPS, dan penghitungan
surat suara yang keliru. Selain itu, perubahan aturan penyelenggaraan pemilu yang selalu
berubah-ubah dalam setiap pelaksanaannya menyebabkan banyaknya kesalahan prosedur
penyelenggaraan pemilukada seperti pemungutan suara yang dilakukan sebelum waktunya, surat
suara yang tidak ditandatangani KPPS sampai kepada KPPS yang melakukan pencoblosan
sendiri surat suara. Karena itu, bila integritas penyelenggara ternoda maka akan mempengaruhi
legitimasi keseluruhan proses pemilu yang memang merupakan salah satu dari enam parameter
proses penyelenggaraan pemilu yang demokratik.10
C. 2 Independensi Penyelenggara Pemilu
Persoalan kredibilitas penyelenggara pemilu telah tertuang dalam dua payung hukum yaitu
UU No. 22/2007 dan UU No. 15/2011 yang berguna untuk menjaga kapabalitas penyelenggara
pemilu.11 Pentingnya persoalan tersebut, dikarenakan penyelenggara pemilu membuat dan

10 Keenam parameter tersebut adalah: [1] pengaturan semua tahapan pemilu mengandung kepastian hukum (tidak
ada kekosongan hukum, tidak ada kontradiksi antarpasal dalam suatu UU atau antar-UU, tidak multitafsir, dan
operasional sehingga dipahami dan dilaksanakan sama oleh seluruh daerah), [2] pengaturan semua tahapan
pemilu dirumuskan berdasarkan asasasas pemilu yang demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil, transparan dan akuntabel, [3] pengaturan dan pelaksanaannya menjamin integritas proses dan hasil
pemilu (electoral integrity), [4] semua sengketa pemilu (pelanggaran peraturan pidana pemilu, peraturan
administrasi pemilu, dan kode etik pemilu) diselesaikan oleh penegak hukum secara adil dan cepat, sedangkan
perselisihan hasil pemilu (electoral contest) diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi secara terbuka, adil,
prosedural, dan akurat, [5] pemilu diselenggarakan tidak hanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
tetapi juga sesuai dengan tahap, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilu dan sesuai dengan perencanaan
operasional yang dipersiapkan oleh KPU, dan [6] penyelenggara pemilu yang tidak hanya memiliki kemampuan
dalam melaksanakan tiga tugas utamanya, tetapi juga melaksanakan tugas secara independen. Kemitraan, Seri
Demokrasi Elektoral: Menjaga Integritas dan Penghitungan Suara (Jakarta, 2011) hal. 5

11 Lihat http://www.rumahpemilu.org/in/read/179/Menjaga-Independensi-Meningkatkan-Kompetensi# diakses


14 Mei 2016.

melaksanakan keputusan yang dapat mempengaruhi hasil pemilu. Pilkada 2015 masih
mewariskan beberapa persoalan dasar yang sama pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Berdasarkan laporan Indeks Kerawanan Pilkada 2015 Bawaslu12 ada tiga variabel yang
menjadi fokus perhatian berkaitan dengan profesionalitas penyelenggara pemilu, [1]. Anggaran
pilkada, perubahan beban anggaran yang semula dibebankan pada APBN kepada APBD telah
membuat sebagian jadwal penyelenggaraan pilkada di beberapa daerah terganggu ditambah
dengan pengaruh incumbent yang menciptakan konflik kepentingan akibat perubahan beban
anggaran tersebut, [2]. Netralitas penyelenggara, proses rekrutmen penyelenggara pemilu juga
tidak lepas dari intervensi dan dukungan politik kelompok tertentu menjadi celah pelanggaran
etik yang mungkin terjadi, ditambah bahwa dalam pelaksanaan pilkada serentak 2015 ada 222
petahana yang kembali mencalonkan diri. Oleh karena itu, netralitas penyelenggara pemilu
menjadi rawan karena incumbent dapat mempengaruhi melalui kuasa anggaran, fasilitas negara,
dan memobilisasi birokrasi untuk meraup suara maksimal dalam pilkada.13 [3]. Kualitas daftar
pemilih tetap (DPT), kualitas dan akurasi Daftar Pemilih Tetap masih menjadi persoalan klasik
yang menyebabkan salah satu ruang untuk memanipulasi suara.
Selanjutnya, kita juga masih banyak menjumpai kasus-kasus dimana indepedensi
penyelenggara pemilu hilang karena tunduk terhadap tekanan-tekanan maupun intimidasi politik
baik yang dilakukan oleh massa pendukung calon tertentu maupun dari elit-elit politik lokal. Di
samping perjalanan tahapan-tahapan pemilu seperti tahapan pendaftaran/pemutakhiran daftar
pemilih, kampanye pemilu, pemungutan dan penghitungan suara, dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara pada tingkat diatas TPS/KPPS juga tidak luput dari tindakan pelanggaran
yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Memang penyelenggaraan pemilu bukanlah perkara mudah. Ia melibatkan banyak element
seperti para pemilih, peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, pemerintah, serta
melibatkan pemantau pemilu baik dari lokal maupun internasional, organisasi masyarakat sipil,
dan penegak hukum. Belum lagi kompetisi terkadang pertaruhan ideologi, harga diri,
kepentingan pendukung yang begitu ketat membuat masing-masing peserta pemilu berjuang
keras memenangkan pemilihan.
Di samping itu, biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit, tentu godaan untuk melakukan
kecurangan (jual-beli suara, intimidasi dan paksaan, serta manipulasi) oleh peserta pemilu juga
12 Bawaslu, Indeks Kerawanan Pilkada 2015 (Jakarta, 2016) hal. 3
13 Ibid, hal. 46

tinggi. Seperti contoh kasus vote buying (jual-beli suara) yang melibatkan penyelenggara pemilu,
dimana keterlibatan KPPS membagikan formulir C6 sebagai undangan pemilih dengan disertai
sejumlah uang, kongkalikong petugas pemilu dengan pasangan calon, dan lain sebagainya. Kalau
penyelenggara pemilu tidak memiliki indepedensi dan kredibilitas yang kuat, maka akan
menyebabkan legitimasi pemilu dipertanyakan dan menciderai asas-asas pemilu.14 Oleh karena
itu, pembenahan dalam proses rekrutmen penyelenggara pemilu dapat menjadi salah satu solusi
dimana proses rekrutmen penyelenggara pemilu harus menjadi satu kesatuan sampai kepada
level bawah.
C. 3 Akuntabilitas Saat Pemungutan dan Penghitungan Suara
Hari pemungutan suara adalah tahapan paling penting dalam penyelenggaraan pemilu. Hal
tersebut menjadi penanda sekaligus ukuran terhadap proses pemilu yang jujur, adil, rahasia, dan
bebas dari manipulasi, sehingga hasil yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu khususnya
KPU sesuai dengan jumlah suara yang diberikan. Ada tujuh indikator dasar pemungutan suara
yang berintegritas yang diterbitkan IDEA, [1]. Ada proses yang transparan dalam menandakan
pemilih yang berhak menggunakan suara serta ada alternatif untuk mencegah pemberian suara
berganda, [2]. Ketentuan pemberian suara khusus hanya dalam situasi yang didefenisikan dengan
jelas, misalnya pemberian suara khusus bagi penyandang disabilitas, [3]. Partisipan pemilu serta
pemantau pemilu harus diperkenankan untuk memantau tempat pemungutan suara khusus, [4].
Jumlah kertas suara dengan nomor seru dan fitur-fitur keamanan lainnya yang digunakan serta
jumlah yang dikembalikan belakangan harus dicatat secara resmi dan terbuka, [5]. Surat suara
yang diterbitkan harus sesuai dengan jumlah yang diminta, ditambah dengan sejumlah surat
suara ekstra untuk antisipasi surat suara yang rusak, [6]. Nama dan jumlah pemilih yang
mengajukan permintaan penggunaan ketentuan khusus itu harus dicatat ditempat pemungutan
suara, [7]. Harus ada aturan-aturan lain untuk menghindari pemberian suara ganda. Serta aturan
bila ditemukan jumlah suara yang tidak sesuai dengan proporsi yang ditetapkan.
Proses pemungutan dan penghitungan suara dibagi dalam dua tahap15 yaitu [1] tahap
pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan [2] tahap rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Pada tahapan pemungutan, surat suara adalah salah satu instrument utama dalam proses
pemungutan suara yang berhubungan kuat dengan integritas pemilu. Karena surat suara
merupakan representasi politik warga negara dari suara berubah menjadi kursi untuk mandat
14 Kemitraan, Seri Demokrasi Elektoral: Menjaga Integritas dan Penghitungan Suara (Jakarta, 2011) hal. 2
15 Ibid, hal. 24

pemerintahan. Berdasarkan studi IDEA yang dikutip dari Catatan Evaluasi Pilkada Serentak
2015 Jurnal Pemilu dan Demokrasi16 ada dua indikator yang harus dipenuhi agar surat suara
menciptakan integritas pemilu, [1]. Jumlah kertas suara yang digunakan harus sesuai dengan
jumlah kertas suara yang dikembalikan yang dicatat secara transparan dan terbuka. [2] Jumlah
kertas suara harus sesuai dengan permintaan, ditambah dengan kerta suara ekstra untuk
mengganti bila ada kertas suara yang rusak.
Meskipun, surat suara telah menjadi instrument penting dalam proses penyelenggaraan
pemilu, catatan evaluasi pilkada serentak 2015 yang disampaikan oleh Perludem masih
ditemukan masalah klasik surat suara seperti distribusi kertas suara yang terlambat, jumlah surat
suara yang kurang maupun berlebih, serta surat suara yang salah cetak. Berdasarkan temuan
mereka, ada 36 kasus yang berkaitan dengan logistik khususnya surat suara.17 Dalam proses ini,
baik KPU maupun Bawaslu serta jajarannya ditingkat bawah harus benar-benar memegang
prinsip transparansi dan akuntabel sehingga tidak terlibat dari perbuatan manipulasi suara (vote
manipulation) maupun penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).18
Selanjutnya tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara adalah ujian penting dalam menjaga
kewibawaan penyelenggara pemilu. Sebab, tidak jarang konflik kerap terjadi ketika
penyelenggara terindikasi terlibat dalam hasil akhir penghitungan suara. Telah begitu banyak
kasus yang berujung pada gugatan hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi hingga kepada
tindak kekerasan dikarenakan partisipan pemilu tidak menerima hasil akhir penghitungan
tersebut. Tercatat konflik karena pilkada pernah terjadi di daerah-daerah seperti Kabupaten
Padang Pariaman (2005), Kabupaten Tuban (2006), Provinsi Maluku Utara (2007), Kabupaten
Gowa (2010), Kabupaten Ilaga (2011), Provinsi Aceh (2012), dan Kota Palopo (2013). Pada
Pilkada serentak 2015 juga tercatat peristiwa terbakarnya beberapa gedung KPU di 9 daerah.19
Meskipun tidak disebabkan oleh ketidakpuasan penghitungan suara, peristiwa tersebut menjadi
sinyalemen ketidakpuasan kinerja penyelenggara.
D. KESIMPULAN

16 Perludem, Catatan Evaluasi Pilkada Serentak 2015 (Jakarta, 2016) hal. 146
17 Ibid, hal 147
18 Firman, Etika Menjaga Netralitas dan Imparsialitas Bagi Birokrasi dan Pimpinan Penyelenggara Pemilu
(Jurnal Etika & Pemilu, 2015), 1:3, 20-30.

19 Op cit, hal. 150

Akhirnya, masih ditemukannya sejumlah pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu bukan
hanya dikarenakan lemahnya integritas, independensi, serta akuntabilitas para penyelenggara
pemilu, tetapi bisa juga disebabkan oleh begitu panjang dan ruwetnya proses penyelenggaraan
Pemilu. Telah banyak inovasi yang ditemukan untuk menutup kelemahan penyelenggaraan
pemilu seperti perluasan wewenang penyelenggara untuk memperteguh integritas, penguatan
kualitas DPT serta modifikasi kertas surat suara, tetapi pelanggaran oleh penyelenggara masih
tetap terjadi. Upaya mencegah pengulangan pelanggaran-pelanggaran yang melibatkan
penyelenggara, inovasi yang dapat meringankan beban kerja dan membantu penyelenggara
pemilu mutlak diperlukan untuk mengantisipasi kelalaian petugas pemilu yang berujung pada
berkurangnya kredibilitas pelaksanaan pemilu baik tingkat nasional maupun lokal akibat proses
yang panjang.
Selain itu, dengan beban kerja yang begitu berat dan tanggung jawab yang besar maka
pemerintah harus membangun sistem reward and punish yang baik agar penyelenggara pemilu
dapat bekerja secara professional. Sehingga cita-cita pelaksanaan pilkada serentak, adanya
efisiensi anggaran, efektifitas penyelenggaran pemilu, penguatan derajat keterwakilan antara
masyarakat dan kepala daerah, dan penciptaan efektifitas pemerintahan daerah dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly (2011). Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu. Rajawali Press
Bawaslu, (2015). Indeks Kerawanan Pilkada 2015. Jakarta
Bernard, W; Schurink, W and De Beer, (2008). A Conceptual Framework of Integrity. South
Africa Journal of Industry Psychology, vol.34, no.2. pp. 40-49.
David Bauman, (2011). Integrity, Identity, and Why Moral Exemplars Do What is Right.
Electronic dissertations P.34
Detik, (2016). KPU, Bawaslu dan DKPP Laporkan Evaluasi Pilkada Serentak ke DPR.
http://news.detik.com/berita/3132213/kpu-bawaslu-dan-dkpp-laporkan-evaluasi-pilkadaserentak-ke-dpr diakses 14 Mei 2016.
DKPP RI, (2016). Outlook 2016 Refleksi dan Proyeksi. Jakarta
Firman, (2015). Etika Menjaga Netralitas dan Imparsialitas Bagi Birokrasi dan Pimpinan
Penyelenggara Pemilu. Jurnal Etika & Pemilu, 1:3, 20-30.

Kemitraan, (2011). Menjaga Integritas Pemungutan dan Penghitungan Suara.


http://www.kemitraan.or.id/sites/default/files/Buku_13_Menjaga%20Integritas
%20Pemungutan%20dan%20Penghitungan%20Suara.pdf diakses 14 Mei 2016.
Kemitraan, (2011). Seri Demokrasi Elektoral: Menjaga Integritas dan Penghitungan Suara.
Jakarta
Perludem, (2016). Catatan Evaluasi Pilkada Serentak 2015. Jakarta
Perludem, (2016). Menjaga Independensi, Meningkatkan Kompetensi.
http://www.rumahpemilu.org/in/read/179/Menjaga-Independensi-MeningkatkanKompetensi# diakses 14 Mei 2016.

Sumber-sumber lain:
Lihat,http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/05/20/164504/menyongsongpemilukada-serentak/
Lihat, http://www.rumahpemilu.org/in/read/18/Hukum-Pemilu
Lihat,
www.kemitraan.or.id/sites/default/files/FinalKemitraanPressAdvisoryIntegritasPemilu2014_Pela
nggaranKekerasandanPenyalahgunaanUangPadaPemilu.pdf
Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat http://kbbi.web.id/integritas

Anda mungkin juga menyukai