LAPORAN KASUS
II.2. ANAMNESA
Pasien kontrol rutin di poli RSPAD Gatot Soebroto. Dilakukan autoanamnesa pada tanggal 2 Oktober 2015.
Keluhan Utama
Pasien mengeluh adanya kelemahan pada kedua tangan yang terasa setelah
melakukan aktifitas sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu. Namun, saat ini
keluhan dirasakan sudah semakin membaik.
Keluhan Tambahan
Pasien juga mengeluh adanya kesulitan membuka kelopak mata dan
mengeluhkan suaranya lama kelamaan melemah bila berbicara terlalu banyak
dan lama.
dapat muncul pada saat sore hari atau menjelang malam. Selain itu, pasien juga
mengeluh adanya kesulitan membuka kelopak mata yang dirasakan sejak
beberapa bulan sebelum adanya kelemahan pada kedua tangan. Kesulitan
membuka mata dirasakan semakin memberat pada sore dan malam hari. Pasien
juga mengeluh suaranya lama kelamaan melemah bila berbicara terlalu banyak
dan lama.
Keluhan- keluhan tersebut diakui sangat mengganggu aktivitas pasien saat
itu. Nyeri kepala, mual, muntah, demam disangkal oleh pasien. BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
Selama 4 tahun terkahir pasien telah berobat di RSPAD Gatot Soebroto.
Setelah mengonsumsi obat-obat yang diberikan di RSPAD Gatot Soebroto
pasien sudah mengalami banyak perbaikan hingga saat ini.
Pasien menyangkal adanya penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit
jantung. Dari riwayat keluarga tidak ditemukan keluhan serupa dengan pasien,
penyakit hipertensi, diabetes melitus, stroke ataupun gangguan jantung.
Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan oleh pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi
Diabetes Mellitus
Sakit jantung
Trauma kepala
Sakit kepala sebelumnya
Kegemukan
:
:
:
:
:
:
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal
GRM
Kaku Kuduk
Lasegue
KANAN
KIRI
(-)
> 70
> 70
7
3
4
5
Kernig
Brudzinsky I
Brudzinsky II
> 135
(-)
(-)
> 135
(-)
(-)
E. NERVI CRANIALES
a. Nervus I (N. Olfactorius)
Daya Penghidu
: Normosmia/Normosmia
b. Nervus II (N. Opticus)
Ketajaman Penglihatan: Baik/ Baik
Pengenalan Warna
: Baik/ Baik
Lapang Pandang
: Baik/ Baik
Funduskopi
: Tidak Dilakukan
c. Nervus III (N. Occulomotorius/ Trochlearis/ Abdusens)
Ptosis
: (- / -)
Strabismus
: (-/-)
Nistagmus
: (-/-)
Eksoftalmus : (-/-)
Enoptalmus : (-/-)
Gerakan Bola Mata:
- Lateral
: (+/+)
- Medial
: (+/+)
- Atas Lateral
: (+/+)
- Atas Medial
: (+/+)
- Bawah Lateral
: (+/+)
- Bawah Medial
: (+/+)
- Atas
: (+/+)
- Bawah
: (+/+)
- Gaze
: (-/-)
Pupil:
- Ukuran Pupil
: 3 Mm/ 3mm
- Bentuk Pupil
: Bulat/ Bulat
- Isokor/ Anisokor
: Isokor
- Posisi
: Di Tengah/ Di Tengah
- Refleks Cahaya Langsung
: (+/+)
- Refleks Cahaya Tidak Langsung : (+/+)
- Refleks Akomodasi/ Konvergensi: (+/+)
d. Nervus V (N. Trigeminus)
- Menggigit
: (+/+)
- Membuka Mulut
: (+/+)
- Sensibilitas Atas
: (+/+)
- Sensibilitas Tengah : (+/+)
- Sensibilitas Bawah : (+/+)
- Refleks Masseter
: (+/+)
- Refleks Zigomatikus : (+/+)
- Refleks Kornea
: Tidak Dilakukan
- Refleks Bersin
: Tidak Dilakukan
8
cukup
cukup
Kekuatan : 5555 5555
5555 5555
Tonus otot : Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus
Trofi
: Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
Reflek Fisiologis
Refleks tendon :
Refleks biseps
: (+/+)
Refleks triseps
: (+/+)
Refleks patella
: (+/+)
Refleks archilles
: (+/+)
Refleks periosteum
: tidak dilakukan
Refleks permukaan:
Dinding perut
: tidak dilakukan
Cremaster
: tidak dilakukan
Spincter ani
: tidak dilakukan
Reflek Patologis
Hoffman trimmer
: (-/-)
Babinski
: (-/-)
Chaddock
: (-/-)
Oppenheim
: (-/-)
Gordon
: (-/-)
Schaefer
: (-/-)
Rosolimo
: (-/-)
Mendel bechterew
: (-/-)
Klonus paha
: (-/-)
Klonus kaki
: (-/-)
G. SENSIBILITAS
Eksteroseptif:
Nyeri
: (+/+)
Suhu
: Tidak Dilakukan
Taktil
: (+/+)
Propioseptif:
Posisi
: (+/+)
Vibrasi
: Tidak Dilakukan
Tekanan Dalam : (+/+)
H. KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN
a. Tes Romberg
: Normal
b. Tes Tandem
: Normal
c. Tes Fukuda
: Normal
d. Disdiadokinesis
: Normal
e. Rebound Phenomen
: Normal
f. Dismetri
: Normal
10
: Normal
: Normal
: Tidak dilakukan
: Tidak Ada
: Tidak Ada
: Tidak Ada
: Tidak Ada
: Tidak Ada
: Baik
: Baik
: Baik
: Baik
: Baik
detik ke 24.
Pemeriksaan pita suara (+): sampai angka ke-86
I.5. RESUME
1. Anamnesa
Pasien laki-laki usia 71 tahun merupakan pasien dari poli yang telah
kontrol rutin terhadap keluhan awal berupa kelemahan pada kedua tangan sejak
11
Status Neurologis
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 21 Maret 2015 menunjukkan
Hb, Ht, eritrosit, leukosit, ureum, kreatinin, kalium, natrium, gula puasa dan
gula 2 jam PP dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal
23 Maret 2015 menunjukkan kadar Hb, Ht, eritrosit leukosit, kimia darah,
dan urin dalam batas normal.
Pemeriksaan khusus:
Pemeriksaan Wartenberg (+)
Pemeriksaan pita suara (+)
I.6. DIAGNOSIS
Diagnosa Klinis
Diagnosa Topis
Dignosa Etiologis
I.7. TERAPI
12
Non Farmakologis
a. Edukasi pasien dan keluarganya dalam kaitannya dengan meminimalisir
faktor risiko
b. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat
kekuatan
Farmakologis
a. Mestinon 3x1 60 mg PO
b. Prednisolon 2x1 5 mg PO
c. Mecobalamin 3x1 500 mg PO
PEMERIKSAAN ANJURAN
a. Pemeriksaan Rontgen Thorax
b. Pemeriksaan EMG
c. Pemeriksaan laboratorium kadar anti-asetilkolin reseptor antibodi
I.8. PROGNOSIS
a.
b.
c.
d.
Ad Vitam
Ad Fungsionam
Ad Sanam
Ad Cosmeticum
: Bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
BAB II
ANALISA KASUS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan umum,
pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan penunjang.
II.1. ANAMNESA
Pada kasus diatas berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan, penderita
mengalami gejala klinis berupa kelemahan pada kedua tangan yang terjadi
sejak 5 tahun yang lalu, yang muncul setelah melakukan aktifitas, kemudian
membaik bila telah beristirahat. Selain itu, pasien juga mengeluh adanya
kesulitan membuka kelopak mata sejak beberapa bulan sebelum munculnya
kelemahan pada kedua tangan dan suaranya dirasakan lama kelamaan melemah
13
II.2. PEMERIKSAAN
Status Internus
Dari keadaan umum pasien didapatkan pasien dalam keadaan
sehat, karena pasien telah menjalani pengobatan hampir 4 tahun di
RSPAD Gatot Soebroto. Pasien masih mampu menjawab pertanyaan yang
diajukan sehingga disimpulkan bahwa kesadaran pasien dalam keadaan
compos mentis GCS E4M6V5.
Dari pemeriksaan tanda vital didapatkan bahwa hasil pemeriksaan
dalam batas normal. Tidak diketemukan adanya hipertensi pada pasien saat
dilakukannya pemeriksaan.
Pada pemeriksaan kedua kelopak mata pasien masih dapat
membuka mata namun tidak maksimal. Pada pemeriksaan motorik
didapatkan kekuatan kedua ekstremitas normal yaitu bernilai 5. Reflek
fisiologis dalam batas normal dan tidak ditemukan adanya reflek patologis
pada pasien. Sensibilitas pada pasien dalam keadaan normal, simetris antara
14
kanan dan kiri. Fungsi luhur tidak ditemukan adanya kelainan. Fungsi
vegetatif
tidak
ditemukan
kelainan.
Pada
pemeriksaan
neurologis
2.
3.
Pemeriksaan EMG
Pemeriksaan kadar anti-asetilkolin reseptor antibodi
Pemeriksaan ini untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,
dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien, 80% dari
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil test anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif.
II.3. TERAPI
Non-Farmakologis:
15
a.
b.
faktor risiko
Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat
kekuatan
Farmakologis
a.
Mestinon
Sediaan: injeksi 5 mg/ml, tablet 60 mg & 180 mg, syrup 60 mg/5ml
Dosis dewasa: dosis awal 30-60 mg (1/2-1 tab) setiap 4-6 jam dan
ditingkatkan sampai 60-180 mg bila diperlukan. Dosis harian 300-12 mg
(5 tab-20 tab)
Indikasi: MG, ileus paralitik, retensi urin pasca operasi
- Absorpsi: bioavailabilitas pada PO sekitar 14%
- Distribusi: onset aksi sekitar 15-20 menit, konsentrasi puncak sekitar
1,5-2 jam setelah pemberian.
- Metabolisme: dimetabolisme menjadi 3-hidroksi-N-metilpiridin dan
metanolit lainnya yang tidak teridentifikasi
- Eliminasi: waktu paruh sekitar 3 jam setelah pemberian oral, 75&-81%
b.
c.
mg/bulan.
Mecobalamin
Sediaan: ampul 500 ug, tablet 500 ug
Dosis: Tablet 500-15 mcg/hari
Indikasi: neuropati perifer
II.4. Prognosis
16
Untuk ad sanam dubia ad bonam karena jika benar pada pasien ini
terdiagnosa sebagai miastenia gravis sekalipun, keluhannya dapat
dikontrol dengan pengobatan yang teratur.
BAB III
LANDASAN TEORI
III.1. PENDAHULUAN
Miastenia Gravis (MG) adalah suatu gangguan neuromuskular yang
ditandai dengan kelemahan dan kelelahan dari otot skelet. Kelainan ini disebabkan
oleh berkurangnya jumlah reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular
akibat adanya antibodi autoimun.1
tahun 2010 sejumlah 226 pasien diseluruh Indonesia.4 Angka mortilitas MG ini
sangat rendah yaitu sekitar 1/1.000.000.2
III.2. KLASIFIKASI
1. MG onset cepat: onset <40 tahun, hiperplasia timus, biasanya wanita.
2. MG onset lambat: onset >40 tahun, atrofi timus, biasanya pria.
3. Thymoma-associated MG (10%15%).
4. MG dengan antibodi terhadap muscle-specific tyrosine kinase (MuSK).
5. MG okular (oMG): gejala hanya mengenai otot ekstraokuler.
6. MG seronegatif (tanpa antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) dan MuSK).
Selain klasifikasi diatas ada pula yang membagi MG berdasarkan MG tipe umum
(seluruh tubuh) dan MG okular.1
Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberpa bentuk varian
miastenia gravis11, ialah:
1. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan,
tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok II A: Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka
dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik.
Angka kematian rendah.
3. Kelompok II B: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin
berat dengan terserangnya seluruh otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan
sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum
ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang
memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat
disertai mulai terserangnya otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun
krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Miastenia berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala
kelompok I atau II. Miastenua gravis berkembang secara perlahan-lahan atau
secara tiba-tiba. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.
III.3. PATOFISIOLOGI
18
Asetilkolin (ACh) disintesis pada ujung saraf motorik dan disimpan di vesikel.
Ketika potensial aksi menyebar hingga mencapai nervus terminal, asetilkolin dari 150200 vesikel dilepaskan dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR). Struktur
asetilkolin terdiri atas 5 subunit (2,1,1, dan 1 /). Ketika asetilkolin berikatan dengan
subunit , maka kanal reseptor akan terbuka dan menyebabkan masuknya kation terutama
Na+, yang menyebabkan depolarisasi pada daerah end-plate serat otot. Jika depolarisasi
yang terjadi cukup kuat, maka akan menginisiasi potensial aksi disepanjang serat otot dan
terjadi kontraksi otot. Proses ini diterminasi dengan cepat melalui hidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase dan melalui difusi asetilkolin menjauhi reseptor.1
(gambar
1).
Perubahan
ini
menyebabkan
menurunnya
transmisi
potensial
aksi
pada
otot.
Gagalnya
transmisi
pada
sambungan
transmisi
meuromuskular
dikombinasi
dengan
presynaptic
rundown
menyebabkan aktivasi serat otot yang terus berkurang akibat impuls yang terus menerus
dan mengakibatkan kelemahan yang bertambah atau myasthenic fatigue. Mekanisme ini
dapat diukur melalui pemeriksaan elektrodignostik yang menunjukkan penurunan respon
pada stimulasi saraf yang berulang.1
19
Gambar 2. Elemen pada sambungan neuromuskular, dan struktur membran yang terkait. 4
a. Antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR-MG)
Abnormalitas neuromuskular pada MG yang terjadi akibat respon autoimun oleh
antibodi yang spesifik terhadap reseptor asetilkolin ditemukan pada 85% pasien. Antibodi
antiAChR mengurangi jumlah reseptor ACh pada sambungan neuromuskular melalui tiga
mekanisme:1
otot seluruh tubuh. Pasien juga biasanya memiliki hyperplasia timus. Presentase
terbanyak untuk MG tipe ini adalah dari jenis kelamin perempuan yang berhubungan
dengan ditemukannya HLA-B8DR3. Pada AChR-MG onset lambat terjadi pada usia
diatas 60 tahun, dan pasien biasanya memiliki kelenjar timus yang normal. Biasanya pada
jenis kelamin laki-laki dan berhubungan dengam HLA DRB1*15:01. Sekitar 10% pasien
MG timoma, dengan onset timbulnya penyakit yang bervariasi namun lebih sering pada
usia lanjut.3
b. Antibodi terhadap muscle-specific kinase (MuSK)
Antibodi terhadap MuSK ditemukan pada tahun 2001 pada 70% serum pasien
yang awalnya dianggap seronegatif MG. Antibodi patogenik tersebut adalah IgG dan
bersifat T cell dependent. Dengan demikian, strategi imunoterapi terhadap sel T akan
efektif pada penyakit yang diperantarai oleh antibodi ini. 1,5
Sekarang diketahui bahwa terdapat perbedaan antara MusK-MG dengan AChRMG pada beberapa aspek penting yaitu:
1. Pada gejala klinisnya, terdapat perbedaan distribusi kelemahan otot yang
dibiasanya dominan pada leher dan otot pernafasan, sering disertai dengan krisis
pernafasan, dan sering ditemukan atrofi lidah. Insiden puncaknya pada usia
dekade keempat, dibandingkan pada AChR-MG didekade ketiga. Selain itu,
MuSK-MG sangat jarang terjadi pada usia diatas 60 tahun. Pasien MuSK-MG
juga lebih jarang mengalami kelemahan okular murni pada saat onset, namun
lebih sering mengenai okulobulbar. 6
2. Penggunaan obat antikolinesterase tidak selalu bermanfaat pada pasien MuSKMG. Hanya 57% pasien yang menunjukkan efek yang diharapkan. Malahan disisi
lain, efek samping antikolinesterase sering dilaporkan, termasuk fasikulasi yang
nyata, kram otot dan perburukan gejala. Mayoritas pasien ini tidak merasakan
manfaat jangka panjang dari obat ini, sebaiknya dihentikan penggunaannya pada
pasien ini. Disamping itu, hal yang menarik terlihat pada pemberian rituximab,
suatu antibodi monoklonal yang mendeplesi sel B, yaitu terjadi perbaikan jangka
panjang dan lebih efektif untuk pasien MuSK-MG daripada pasien AChR-MG. 6,7
c. Antibodi terhadap low-density lipoprotein receptor related protein 4 (Lrp4)
Berbeda dengan antibodi AChR dan MuSK, antibodi terhadap Lrp4 dapat
ditemukan pada lebih dari satu bentuk miastenia, termasuk MuSK-MG, neuromielitis
21
optika dan Lambert Eaton myasthenic syndrome, dan pada seronegatif MG tanpa
antibodi AChR dan MuSK.3
istirahat.
Efek dari pengobatan sebelumnya.
22
Pemeriksaan fisik10
Ptosis, diplopia
Pemeriksaan kekuatan otot
Waktu abduksi lengan (5 menit)
Kapasitas vital pernafasan
Tidak terdapat kelainan neurologi lain.
Pemeriksaan laboratorium 1,9
diagnosis MG.1,5
Pada MG okular atau kranial: singkirkan lesi intrakranial dengan CT scan / MRI.1
III.5. DIAGNOSIS
1.
Pemeriksaan laboratorium
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Osserman Class
R
Mean antibody
Titer
0,79
Percent positive
24
23
I
2,17
55
II A
49,8
80
II B
57,9
100
III
78,5
100
IV
205,3
89
Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, II A = mid generalized, II B =
moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada
penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer
tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit
miastenia gravis.
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu test yang penting pada penderita miastenia gravis.
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma
dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil
positif.
Anti muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti
AchR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif) , menunjukkan hasil yang
2.
3.
SFEMG
mendeteksi
adanya
defek
transmisi
pada
24
normal.
Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan
adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,
maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah
harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon
sangat singkat.
5.
6.
Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan
3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya
disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak
bertambah berat. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah
berat
III.7. KOMPLIKASI
1. Gagal nafas
2. Disfagia
3. Krisis miastenik
4. Krisis cholinergik
5. Komplikasi sekunder dari terapi obat penggunaan steroid yang lama:
osteoporosis, katarak, gastritis, pneumocytis cranii
III.8. PENATALAKSANAAN
1. Non-Farmakologis:
a. Edukasi pasien dan keluarganya dalam kaitannya dengan meminimalisir
faktor risiko
b. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat
kekuatan
2. Farmakologis :
Pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan risiko dan manfaatnya pada
individual pasien dan tujuan pengobatan. Sebaiknya direncanakan
pengobatan berdasarkan tujuan jangka pendek, menengah atau jangka
panjang.1 Prinsip penatalaksanaan MG:5
Pada
pasien
MuSK-MG,
71%
tidak
berespon,
antikolinesterase
dapat
menyebabkan
peningkatan
untuk maintainance.5
Obat imunosupresan nonsteroid.
o
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat menurunkan
sintesis asam nukleat sehingga mengganggu proliferasi sel T
dan sel B. obat ini telah digunakan sejak tahun 1970 dan
28
sekitar
10
menit,
namun
metabolitnys
6-
11 bulan. 5,7, 8
Siklofosfamid diberikan secara intravena atau oral cukup
efektif untuk MG. Lebih dari setengah pasien MG menjadi
asimtomatis dalam 1 tahun terapi. Namun efek samping yang
tidak diinginkan adalah rambut rontok, mual, muntah, dan
perubahan warna kulit, sehingga penggunaan dibatasi pada
pasien yang tidak berespon terhadap imunosupresan lain.5
Metotreksat
Metotreksat
merupakan
inhibitor
selektif
enzim
membandingkan
penggunaan
azatioprin
(AZA)
sparring,
bahkan
pasien
yang
mendapatkan
MTX
Keterangan
D-penisilamin
Toksin botulinum
Magnesium
Aminoglikosida
kanamisin,
neomisin,
streptomisin, tobramisin)
Makrolida
Fluorokuinolon
Mempengaruhi
transmisi
neuromuskular
Amitriptilin,
imipramin, amfetamin
III.9. PROGNOSIS
30
DAFTAR PUSTAKA
32