Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI


Keperawatan Gawat Darurat & Intensif

A. Definisi
Penyakit jantung koroner (PJK) atau coronary artery disease (CAD) merupakan
spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari
koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran
darah (Kumar, 2007). Penyakit jantung koroner (PJK) adalah tipe gangguan pembuluh
darah

termasuk kedalam kategori umum aterosklerosis (pengerasan arteri).

Aterosklerosis koroner menimbulkan gejala dan komplikasi sebagai akibat dari


penyempitan lumen arteri dan penyumbatan aliran darah ke jantung. Sumbatan aliran
berlangsung progresif dan suplai darah yang tidak adekuat (iskemia) yang dirimbulkan
akan membuat sel-sel otot kekurangan komponen darah yang dibutuhkan (Smeltzer &
Bare, 2002; Lewis et al, 2007).
Lewis et al (2007) membagi PJK menjadi dua yaitu angina pektoris (AP) stabil
kronik dan sindrome koroner akut (acute coronary syndrome/ ACS).
Sindrome koroner akut (SKA) terdiri dari angina pektoris tidak stabil (unstable
angina pectoris/ UAP) dan infark miokard (ST elevasi miocard infarct/ STEMI dan non
ST elevasi miocard infarct/ NSTEMI).
Non ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI) adalah gejala nyeri dada yang terjadi
lebih dari 20 menit, menunjukkan pemeriksaan biokimia kardiak marker yang positif
atau perubahan segmen ST pada pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen ST yang
persisten (Alexander et al, 2007).
.
B. Etiologi
Penyebab dari Sindroma Koroner Akut menurut Ismantri (2009) adalah:
1. Berkurangnya aliran darah menuju arteri koroner
a. Faktor pembuluh darah : aterosklerosis, spasme, arteritis
b. Faktor sirkulasi: Insufisiensi, hipotensi, stenosis aorta
c. Faktor darah: anemia, polisitemia, hipoksemian
d. Pemendekan fase diastolik (takikardi, emosi, aktivitas fisik yang berat)
e. Hipertrofi ventrikel
2. Curah jantung yang meningkat
a. Aktivitas berlebihan
b. Emosi
c. Hypertiroidisme
3. Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
a. Kerusakan miocard
b. Hypertropi miocard
c. Hypertensi diastolic

LAPORAN PENDAHULUAN
PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI
Keperawatan Gawat Darurat & Intensif
C. Faktor Risiko
Faktor risiko SKA secara umum meliputi peningkatan kolesterol, rokok, obesitas,
diabetes melitus, hipertensi sistemik, riwayat keluarga, aktivitas fisik, dan gangguan
pembekuan ( Gray et al, 2003).
Faktor risiko SKA dapat dibedakan menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi
dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara
lain umur, jenis kelamin, etnik, faktor genetik, dan keturunan. Sedangkan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi yaitu peningkatan kolesterol, merokok, obesitas, aktivitas fisik.
Sedangkan yang termasuk faktor kontributif adalah diabetes melitus, hipertensi sistemik,
status psikologis, dan tingkat homosistein (Lewis et al, 2007; Smeltzer & Bare, 2002).

LAPORAN PENDAHULUAN
PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI
Keperawatan Gawat Darurat & Intensif
D. Patofisiologi (pathway)

LAPORAN PENDAHULUAN
PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI
Keperawatan Gawat Darurat & Intensif
E. Tanda dan Gejala
Menurut Hamm et al (2011) manifestasi klinis dari non ST elevasi miokard infark
(STEMI) adalah :
a. Nyeri dada yang terjadi > 20 menit saat istirahat.
b. Gejala khas nyeri dada dengan lokasi substernal dapat menyebar hingga ke lengan
kiri, leher atau rahang kadang di epigastrium dengan ciri seperti di peras, perasaan
seperti di ikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan.
c. Gejala tidak khas seperti dispnea, mual, diaforesis, sinkop.
d. Karakteristik dari hasil elektrokardiogram (EKG) pada NSTEMI adalah depresi ST
segmen atau transien elevasi dan/atau perubahan gelombang T. Selain itu
pemeriksaan Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard,
karena lebih spesifik dan sensitif daripada enzim jantung seperti CK dan CK-MB.
Pada pasien dengan infark miokard akut, terjadi peningkatan awal troponin pada
daerah perifer setelah 3-4 jam saat gejala terjadi dan dapat menetap sampai 2
minggu akibat proteolisis dari aparatus kontraktil.
F. Diagnosa Medis
Diagnosa medis: Non ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI)
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram (EKG)
Karakteristik dari hasil elektrokardiogram pada NSTEMI adalah depresi ST segmen
atau transien elevasi dan/atau perubahan gelombang T. Deviasi segmen ST merupakan
hal penting dalam menentukan resiko pada pasien. Peningkatan resiko yang buruk
meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST (Alwi & Harun,
2006; Hamm et al, 2011).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil laboratorium disamping marker biokimia jantung adalah tes darah rutin, gula
darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
3. Pemeriksaan Biokimia
Troponin jantung dapat membantu cukup besar dalam menentukan diagnosis,
mengukur resiko, dan memisahkan kemungkinan NSTEMI dengan angina pektoris
tak stabil. Troponin lebih spesifik dan sensitif dibandingkan dari pemeriksaan enzim
jantung seperti kreatinin kinase, isoenzim MB (CK-MB) dan myoglobin (Hamm et al,
2011). Pada pasien dengan miokard infark peningkatan awal dari troponin terjadi
dalam kurang lebih 4 jam saat gejala terjadi. Troponin dapat meningkat selama dua
minggu akibat proteolisis dari aparatus kontraktil. Elevasi dari troponin menunjukan

LAPORAN PENDAHULUAN
PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI
Keperawatan Gawat Darurat & Intensif
adanya kerusakan selular, dimana pada NSTEMI dapat terjadi akibat embolisasi distal
dari trombus kaya platelet yang berasal dari ruptur atau erosi plak (Hamm et al, 2011).
4. Tehnik pencitraan non-invasif (MRI, ekokardiografi, foto rontgen thoraks)
Dalam tehnik pencitraan non invasif, ekokardiografi adalah alat yang paling banyak
beredar luas dan tersedia. Fungsi sistolik ventrikel kiri sangat penting untuk prognosis
bagi pasien dengan penyakit jantung koroner dan dapat dengan mudah dan akurat
diperiksa melalui ekokardiografi. Pemeriksaan pencitraan non-invasif lainnya adalah
cardiac magnetic resonance imaging, merupakan teknik pencitraan yang dapat
mengintegrasi fungsi dan perfusi jantung. Selain itu juga dapat mendeteksi jaringan
parut pada sesi pertama. Selanjutnya yaitu foto rontgen thoraks untuk diagnosis
banding, identifikasi adanya komplikasi, dan mengetahuin adanya penyakit penyerta
(Hamm et al, 2011).
5. Tehnik pencitraan invasif (angiografi koroner, arteriografi)
Angiografi koroner merupakan salah satu contoh pemeriksaan dengan teknik
pencitraan secara invasif. Angiografi koroner dapat memberikan informasi terhadap
keberadaan dan keparahan penyakit ini. Angiografi koroner juga menjadi baku emas
pemeriksaan sindroma koroner akut (SKA) (Hamm et al, 2011).
6. Kateterisasi jantung
Umumnya tidak perlu dilakukan kecuali pada kasus tertentu untuk mengetahui
anatomi pembuluh darah koroner atau angioplasti koroner transluminal perkutan.
Selain itu untuk menunjukkan defek mekanik pada septum ventrikelataau regurgitasi
mitral akibat disfungsi atau ruptur otot papilaris.
H. Penatalaksanaan Medis
1. Agen anti iskemia
Obat anti iskemia ini berfungsi untuk menurunkan kebutuhan oksigen di
miokard dengan cara menurunkan denyut jantung, tekanan darah dan preload, serta
mengurangi kontraktilitas otot jantung. Mekanisme kerja obat anti iskemia selain
mengurangi kebutuhan oksigen miokard, agen anti iskemia ini juga dapat bekerja
meningkatkan jumlah oksigen ke miokard dengan vasodilatasi pembuluh darah
koroner (Hamm et al, 2011).
Beberapa contoh anti iskemia adalah beta bloker, nitrat dan bloker kanal
kalsium. Beta bloker bekerja dengan menginhibisi efek sirkulasi katekolamin dan
menurunkan konsumsi oksigen miokard dengan mengurangi denyut jantung, tekanan
darah dan kontraktilitas. Beta bloker banyak digunakan pada pasien rawat inap.
Nitrat memiliki efek sebagai venodilator yang akan mengurangi preload jantung dan

LAPORAN PENDAHULUAN
PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI
Keperawatan Gawat Darurat & Intensif
volume diastolik akhir ventrikel kiri sehingga akan mengurangi konsumsi oksigen.
Pada pasien dengan NSTEMI yang dirawat di rumah sakit, pemberian nitrat dengan
intravena lebih efektif dibandingkan nitrat dengan sublingual. Bloker kanal kalsium
merupakan obat vasodilator yang memiliki efek langsung pada konduksi
atrioventrikular dan denyut jantung. Terdapat tiga sub bagian dari bloker kanal
kalsium yang memilki perbedaan dari struktur kimia dan memiliki efek farmakologi
yang berbeda, seperti dihidropiridin (nifedipine), benzotiapin (diltiazem) dan
feniletilamin (verapamil) (Hamm et al, 2011).
2. Agen anti platelet
Aktivasi dan agregasi platelet memegang peranan penting dalam patogenesis
Sindroma Koroner Akut, sehingga proses ini dijadikan salah satu target dalam
pengobatan Sindroma Koroner Akut. Beberapa contoh agen antiplatelet, yaitu
aspirin, P2Y12 inhibitor reseptor, glikoprotein IIb/IIIa inhibitor reseptor (Hamm et
al, 2011).
3. Antikoagulan
Penggunaan antikoagulan dalam pengobatan NSTEMI ini untuk menginhibisi
generasi dan aktivasi trombin dengan cara mengurangi proses yang berhubungan
dengan

trombus.

Beberapa

contoh

antikoagulan

yang

digunakan

adalah

fondaparinux, low molecular weight heparin, unfractioned heparin, dan bivalirudin.


Penggunaan obat antikoagulan dapat dikombinasikan dengan antiplatelet (Hamm et
al, 2011).
4. Revaskularisasi pembuluh darah koroner
Revaskularisasi ini dapat menggunakan percutaneous coronary intervention,
coronary artery bypass surgery. Tindakan ini dilakukan untuk mengurangi gejala,
lama rawat, serta meningkatkan prognosis (Hamm et al, 2011).
I. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pertahankan tirah baring (bedrest)
2. Pemantauan EKG 12 lead secara kontinu untuk mendeteksi iskemia dan
aritmia.
3. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat dan segera
berikan oksigen sesuai kebutuhan.
4. Pertahankan pemberian cairan intravena ( NaCL 0,9% atau dextrosa 5%).
5. Perlu dilakukan pemasangan oksimetri jari (finger pulse oximetry) atau
evaluasi analisa gas darah secara berkala untuk menetapkan apakah oksigenasi
kurang ( SaO2 <90%).

LAPORAN PENDAHULUAN
PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI
Keperawatan Gawat Darurat & Intensif
6. Posisi kepala dan badan atas semifowler untuk memaksimalkan ventilasi.
7. Monitor ketat tanda-tanda vital.
8. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
9. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, jika diperlukan lakukan kateterisasi.
10. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran
menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT (Trisnohadi,
2006).

A. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada SKA menurut Lilly (2011) adalah:
1. Dapat terjadi tromboembolus akibat kontraktilitas miokard berkurang.
2. Dapat terjadi gagal jantung kongestif apabila jantung tidak dapat memompa
keluar semua darah yang diterimanya.
3. Disritmia adalah komplikasi tersering pada infark. Disritmia adalah syok
kardiogenik apabila curah jantung sangat berkurang dalam waktu lama.
4. Dapat terjadi ruptur miokrdium selama atau segera setelah suatu infark besar.
5. Dapat terjadi perikarditis (peradangan selaput jantung) biasanya beberapa hari
setelah infark.
B. Prognosis
Prognosis pada SKA tergantung dari wilayah yang terkena oklusi, sirkulasi kolateral,
durasi atau waktu oklusi, oklusi total atau parsial, dan kebutuhan oksigen miokard. Total
mortalitas pada penderita SKA sebanyak 15-30%, 25% meninggal sebelum tiba di rumah
sakit, mortalitas pada usia < 50 th 10-20% dan mortalitas pada usia >50 th sekitar 20%.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d hiperventilasi
2. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan b.d kerusakan transport oksigen
4. Nyeri akut b.d penurunan suplai oksigen ke miokard
5. Intoleransi aktifitas b.d kelemahan
6. Ansietas b.d stres

LAPORAN PENDAHULUAN
PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI
Keperawatan Gawat Darurat & Intensif

D. Rencana Asuhan Keperawatan


No
.
1.

Diagnosa
Keperawatan
Ketidakefektifan pola
nafas
b.d
hiperventilasi

2.

Gangguan pertukaran
gas
b.d
ketidakseimbangan
perfusi dan ventilasi

Tujuan
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan
pola
nafas
pasien
efektif, KH :
1. RR
dalam
rentang
normal 16-20
x/ min
2. Suara napas
vesikuler
3. Tidak
ada
disstres
pernafasan
4. TTV
dalam
batas normal

Intervensi

Rasional

1. Monitor TTV secara ketat 1. Mengetahui keadaan


2. Pantau adanya pucat dan
umum pasien.
sianosis
2. Sianosis menunjukkan
kurangnya O2 dalam
3. Pantau
kecepatan,
darah
kedalaman dan upaya 3. Mengetahui kecepatan
pernafasan
irama, kedalaman, dan
upaya pernapasan
4. Perhatikan
pergerakan 4. Retraksi
dada
dada, amati kesimetrisan,
mengidentifikasikan
penggunaan
otot-otot
kelainan pada parubantu
paru lobus tertentu
5. Pantau pernafasan yang 5. Mengetahui
adanya
berbunyi
seperti
hambatan jalan nafas
mendengkur.
6. Atur posisi semi fowler
6. Memaksimalkan
ekspansi paru
7. Mengetahui pola nafas
7. Pantau pola pernafasan
pasien
8. Mengetahui
suara
8. Auskultasi suara nafas
nafas pasien
9. Perubahan pada hasil
9. Kolaborasi Kolaborasi
AGD
menunjukkan
dalam pengambil sampel
gangguan pernafasan
darah arteri cek
laboratorium AGD

Setelah dilakukan 1. Kaji


tindakan
kedalaman,
keperawatan
kemudahan
selama 3x24 jam
bernapas.
diharapkan pasien
tidak
mengalami

frekuaensi, 1. Manifestasi distress


dan
pernapasan tergantung
dalam
pada
derajat
keterlibatan paru dan
status
kesehatan
umum.

LAPORAN PENDAHULUAN
PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI
Keperawatan Gawat Darurat & Intensif

3.

gangguan
pertukaran
gas
dengan KH :
1.TTV dalam rentang
normal
2.Hasil AGD dalam
rentang normal.
Ketidakefektifan
Setelah dilakukan
perfusi jaringan b.d tindakan
kerusakan
transport keperawatan
oksigen
selama 3x24 jam
diharapkan perfusi
jaringan
pasien
efektif,
dengan
KH :
1. TTV
dalam
batas normal
2. Membran
mukosa merah
muda

2. Pantau saturasi O2
3.
4.
1.
2.
3.

4.
5.
6.

4.

Nyeri
akut
b.d
penurunan
suplai
oksigen ke miokard

Setelah dilakukan 1.
tindakan
keperawatan
selama 3x24 jam
diharapkan pasien
mampu mengatasi
nyeri dengan KH :
1. Pasien
2.
melaporkan
nyeri
berkurang atau 3.
hilang
2. Pasien mampu
megendalikan
nyeri
4.

5.

2. Mengetahui saturasi
O2 pasien
Pantau hasil gas darah
3. Mengetahui hasil gas
darah pasien
Observasi
adanya 4. Mengetahui
adanya
sianosis,
terutama
sianosis pada pasien.
membran mukosa mulut
Pantau nyeri dada
1. Mengetahui
adanya
nyeri
dada
pada
pasien
Pantau TTV
2. Mengetahui kondisi
umum pasien
Lakukan
pengkajian
komprehensif
terhadap 3. Mengetahui
adanya
sirkulasi perifer (misalnya
tanda-tanda
nadi, edema, warna kulit
penurunan
perfusi
dan suhu)
jaringan
Anjurkan pasien untuk
menigkatkan istirahat
4. Menurunkan
beban
Memberikan
terapi
kerja organ dalam
oksigen
tubuh
5. Memenuhi kebutuhan
Kolaborasi dengan tim
oksigen dalam tubuh
medis dalam pemberian
terapi sesuai indikasi
6. Meningkatkan
keefektifan
perfusi
jaringan pasien.
Lakukan pengkajian nyeri 1. Mengetahui
lokasi,
secara
komprehensif
karakteristik, durasi,
meliputi
lokasi,
frekuensi,
kualitas,
karakteristik,
durasi,
intensitas dan faktor
frekuensi,
kualitas,
presipitasi dari nyeri
intensitas, dan faktor
pasien.
presipitasi
Observasi isyarat non 2. Mengetahui perasaan
verbal
dari
pasien terhadap nyeri
ketidaknyamanan
Berikan informasi tentang 3. Membantu
pasien
nyeri seperti penyebab
untuk mengendalikan
nyeri,
durasi,
dan
nyeri
antisipasi
terhadap
ketidaknyamanan
Kendalikan
faktor 4. Memberikan
lingkungan yang dapat
kenyamanan kepada
mempengaruhi
respon
pasien
pasien
terhadap
ketidaknyamanan
(misalnya suhu ruangan,
pencahayaan,
dan
kebisingan).
Ajarkan
teknik
non 5. Membantu
pasien
farmakologis (misalnya
untuk mengendalikan

LAPORAN PENDAHULUAN
PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI
Keperawatan Gawat Darurat & Intensif

5.

6.

relaksasi nafas dalam,


nyeri
distraksi dan kompres
hangat.
6. Menurunkan
nyeri
6. Kolaborasi
pemberian
pasien
analgetik
Intoleransi
aktifitas Setelah dilakukan 1. Monitor frekuensi nadi 1. Mengidentifikasi
b.d kelemahan
tindakan
dan nafas sebelum dan
kemajuan
atau
keperawatan
sesudah
melakukan
penyimpangan
dari
selama 3x24 jam
aktifitas
sasaran
yang
diharapkan pasien
diharapkan
mampu beraktifitas 2. Tunda
aktivitas
jika 2. Gejala
tersebut
secara
normal
frekuensi nadi dan nafas
merupakan
tanda
dengan KH :
meningkat secara cepat
intoleransi aktivitas .
1. Pasien
dan pasien mengeluh
konsumsi
aktivitas
mendemonstrasi
sesak nafas dan kelelahan.
meningkat
jika
kan peningkatan
Tingkatkan
aktivitas
aktivitas
meningkat
toleransi
secara bertahap
dan daya tahan tubuh
terhadap
pasien dapat bertahan
aktifitas
lebih lama jika ada
2. Klien
dapat
waktu
istirahat
melakukan
diantara aktivitas
aktifitas, dapat 3. Bantu
pasien 3. Membantu
berjalan lebih
melaksanakan
aktivitas
menurunkan
jauh
tanpa
sesuai
dengan
kebutuhan
oksigen
mengalami
kebutuhannya.
Beri
yang meningkat akibat
nafas tersengalpasien
waktu
tanpa
peningkatan aktivitas
sengal,
sesak
diganggu
berbagai
nafas
dan
aktivitas
4. Aktivitas
fisik
kelelahan
4. Pertahankan
terapi
meningkatkan
oksigen selam aktivitas
kebutuha oksigen dan
dan lakukan tindakan
tubuh akan berusaha
pencegahan
terhadap
untuk
komplikasi
akibat
menyesuaikannya
imobilisasi jika pasien
dianjurkan tirah baring
5. Konsultasikan
dengan 5. Hal tersebut dapat
dokter jika sesak nafas
merupakan tanda awal
tetap atau bertambah berat
dari
komplikasi
saat istirahat
khususnya gagal nafas
Ansietas b.d stres
Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat kecemasan 1. Mengetahui
tingkat
tindakan
pasien
kecemasan pasien
keperawatan
2. Beri dorongan kepada 2. Membantu
pasien
selama 3x24 jam
pasien
untuk
untuk mengungkapkan
diharapkan pasien
meningkatkan
secara
perasaan cemasnya
mampu mengatasi
verbal
pikiran
dan
cemas dengan KH :
perasaan
untuk
1. Pasien mampu
mengendalikan cemas
mengendalikan
3. Bantu
pasien
untuk 3. Mengurangi
cemas
kecemasannya
memfokuskan
pada
pasien
2. Pasien
tidak
situasi saat ini, sebagai
gelisah
cara
untuk
mengidentifikasi
mekanisme koping yang

LAPORAN PENDAHULUAN
PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI
Keperawatan Gawat Darurat & Intensif
dibutuhkan
untuk
mengurangi cemas
4. Anjurkan pasien untuk 4. Membantu
pasien
menggunakan
teknik
mengendalikan cemas
relaksasi
5. Kurangi rangsang yang 5. Meminimalkan faktor
berlebihan
dengan
pencetus cemas
menyediakan lingkungan
yang tenang,
kontak
denga orang lain jika
dibutuhkan,
serta
pembatasan penggunaan
kafein serta stimulasi lain
6. Kolaborasi
pemberian 6. Menurunkan
cemas
obat untuk menurunkan
pasien
ansietas bila perlu

DAFTAR PUSTAKA

Ariandiny, M., Afriwardi., & Syafri, M. (2014). Gambaran Tekanan Darah pada
Pasien Sindroma Koroner Akut di RS Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun
2011-2012. Jurnal Kesehatan Andalas. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Sumatera Barat.
Bakta, I Made. (2005). Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: EGC
Nurarif, A.H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction
Herdman, T.H., Kamitsuru Shigemi., & Keliat, B.A. (2015). NANDA International
Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017, Edisi 10.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, & Suzanne, C. (2002). Keperawatan Medikal Bedah Btunner &
Suddarth: Edisi 8. Alih bahasa Agung Waluyo, Editor edisi Bahasa Indonesia
Monica Ester. Jakarta: EGC
Wantiyah. (2010). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi Efikasi diri pasien
penyakit jantung koroner dalam konteks asuhan kperawatan di RSD dr.
Soebandi Jember.Tesis. fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

LAPORAN PENDAHULUAN
PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI
Keperawatan Gawat Darurat & Intensif

Anda mungkin juga menyukai