Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Demam berdarah dengue/ dengue hemorrhagic fever merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas di Asia tropik termasuk Indonesia.1 Beberapa dekade
terakhir ini, insiden demam dengue menunjukkan peningkatan yang sangat pesat
diseluruh penjuru dunia. Sebanyak dua setengah milyar atau dua perlima penduduk
dunia beresiko terserang demam dengue dan sebanyak 1,6 milyar (52%) dari
penduduk yang beresiko tersebut hidup di wilayah Asia Tenggara. WHO
memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap tahunnya.1
Di Indonesia penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan karena
masih banyak daerah endemic. Daerah endemic pada umumnya merupakan sumber
penyebaran penyakit ke wilayah lain. Setiap kejasian luar biasa (KLB) DBD
umumnya dimulai dengan peningkatan jumlah kasus diwilayah tersebut. Untuk
membatasi penyebaran penyakit DBD dibutuhkan gerakan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) yang terus-menerus, pengasapan (fogging), dan larvasidasi.2
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DBD tahun 2010 di
Asean, dengan jumlah kasus 156.086 dan kematian 1.358 orang. Di Rektorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL kemkes RI),
melaporkan kasus DBD tahun 2011 di Indonesia menurun dengan jumlah kasus
49.486 dan jumlah kematian 403 orang. Di idonesia kasus DBD pertama kali terjadi
di Surabaya pada tahun 1968. Penyakit DBD ditemukan di 200 kota di 27 provinsi
dan telah terjadi KLB akibat DBD.1,2
Demam Berdarah Dengue terutama menyerang kelompok umur balita sampai
dengan umur 15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Kejadian Luar Biasa(KLB)
biasanya terjadi di daerah endemis ( kawasan berkembangnya penyakit tertentu) dan
berkaitan dengan datangnya musim penghujan. Di Indonesia penyakit ini mulai
1

menyerang beberapa minggu setelah datangnya musim penghujan. Endemi mencapai


angka tertinggi pada sebulan setelah curah hujan mencapai puncak tertinggi untuk
kemudian menurun sejalan dengan menurunnya curah hujan. KLB di Indonesia
umumnya terjadi mulai Oktober-April. Ketika DBD mulai mewabah di suatu
wilayah, kerapkali menimbulkan kepanikan dalam masyarakat. Instansi kesehatan
seperti Rumah Sakit, puskesmas dan klinik kewalahan menangani pasien.3,4
Jumlah Kabupaten/Kota yang terjangkit Demam Berdarah Dengue Provinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 2008-2011 ada 24 kab/kota. Pada tahun 2008 yang
terjangkit DBD 21 kab/kota dengan persentase 87,50%, pada tahun 2009 meningkat
menjadi 22 kab/kota dengan persentase menjadi 91,67%, pada tahun 2010 yang
terjangkit DBD ada 21 kab/kota dengan persentase 87,50%, dan pada tahun 2011
yang terjangkit DBD 20 kab/kota dengan persentase 83,33%.5
Pada tahun 2014, jumlah penderita DBD di seluruh wilayah di Kota Makassar
ada 273 kasus dengan angka kesakitan/IR= 19,6 per 100.000 penduduk di antaraya
terdapat 11 kasus kematian karena DBD, jumlah tersebut meningkat dibandung tahun
2013 dan 2014 sebanyak 75 dan 86 kasus dengan angka kesakitan 6,3 per 100.000
penduduk dan terdapat 4 kematian. Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah
yang terjadi di Makassar tahun 2014 berlokasi di Puskesmas Kecamatan Antang
Kecamatan Manggala dengan 39 korban.5
Di Puskesmas Cendrawasih Kecamatan Mamajang sendiri saat ini sudah
dilaporkan 15 kasus anak yang telah menderita DBD dan sebagian besar
mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.
Penyakit DBD mempunyai perjalanan yang sangat cepat dan sering terjadi
fatal karena banyak pasien yang meninggal akibata penanganannya yang terlambat.
Demam berdarah dengue (DBD) disebut juga dengan dengue hemoragic fever (DHF),
dengue fever (DF), demam dengue (DD) dan dengue shock syndrome (DSS).2
Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasien dan semakin luas

penyebarannya. Hal ini karena masih tersebarnya nyamuk Aedes aegypthi di seluruh
pelosok tanah air.1,4
1.2 Tujuan Dan Manfaat Studi Kasus
Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana masalah
kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh terdiri dari unsur
biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih berkualitas bila
didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence based medicine).
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat menerapkan
pelayanan dokter keluarga secara paripurna dan holistik pada pasien DBD dengan
mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis serta prinsip penatalaksanaan pasien
DBD berdasarkan kerangka penyelesaian masalah pasien.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui cara penegakan diagnosis klinis DBD di fasilitasi pelayanan
primer.
b. Mengidentifikasi diagnose psikososial pada pasien DBD.
c. Mengidentifikasi faktor resiko yang berhubungan dengan DBD.
d. Mengetahu terapi DBD dengan pendekatan holistic pada fasilitas pelayanan
dokter primer.
e. Mengetahui dan melakukan pengendalian DBD dalam hal ini pengobatan
maupun pencegahan DBD.
1.2.3. Manfaat Studi Kasus
1. Bagi Institusi pendidikan.
Dapat dijadikan acuan (referensi) bagi studi kasus lebih lanjut sekaligus
sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan.
2. Bagi Penderita (Pasien).

Menambah wawasan akan DBD yang meliputi proses penyakit dan


penanganan menyeluruh DBD sehingga dapat memberikan keyakinan untuk
tetap berobat secara teratur.
3. Bagi tenaga kesehatan.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah
daerah dan instansi kesehatan beserta paramedis yang terlibat di dalamnya
mengenai pendekatan diagnosis holistik penderita DBD.
4. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)
Sebagai pengalaman berharga bagi penulis sendiri dalam rangka memperluas
wawasan dan pengetahuan mengenai evidenve based dan pendekatan
diagnosis holistik DBD serta dalam hal penulisan studi kasus.
1.3 Indikator Keberhasilan Tindakan
Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan pasien
dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis
evidence based medicine adalah:
1. Kepatuhan penderita datang berobat di layanan primer (Puskesmas) sudah
teratur.
2. Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai dengan
didapatkan.
3. Meningkatnya trombosit dalam darah dan menurunnya demam pasien secara
signifikan.
4. Gejala lain seperti lemas, muntah, perdarahan, sakit sendi sudah tidak lagi
dirasakan oleh pasien.
5. Pemeriksaan fisik tidak didapatkan rumpee leede test yang positif.
6. Keluarga memahami denagn baik akan penyakit penderita dalam hal ini
mengenai penyebab, faktor yang menjadi penyebabnya, pengobatannya dan
bersedia melakukan upaya penanggulangan dan pemberantasan vektor
nyamuk Aedes aegypti.
7. Keterlibatan petugas Puskesmas yang intensif dalam penanggulangan DBD.

Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan


tindakan pengobatan didasarkan pada penderita yaitu hasil pemeriksaan darah rutin,
fisik, dan klinis, keluarga yaitu memahami dan melakukan penanggualangan dan
pemberantasan vektor nyamuk.Kesembuhan DBD yang baik akan memperlihatkan
meningkatnya jumlah trombosit , adanya perbaikan klinis, dan menghilangnya gejala,
serta tidak terjadinya penyakit yang sama didalam keluarganya lagi.

BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
2.1.

Kerangka Teoritis
Gambaran Penyebab DBD
5

Faktor pengetahuan
Gigitan nyamuk Aedes aegypti
Betina yang terinfeksi Kompleks Antigen Antibodi
Gizi
PEJAMU
PEKA

Kepadatan hunian

INFEKSI

Faktor sosial ekonomi

Faktor resiko Demam Berdarah Dengue


2.2.

DEMAM
BERDARAH
DENGUE

Mekanisme DBD

Demam Berdarah Dengue

2.2.1 Definisi
Demam berdarah dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue. Virus ini dibawa oleh vektor penyakit (nyamuk Aedes
aegypti) dengan masaa tunas (inkubasi) 1-7 hari. Penyakit ini seringkali berakibat
fatal dan berat, dimana kematian terjadi 40%-50% penderita dengan syok.3,4
2.2.2 Epidemiologi
a. Epidemiologi berdasarkan distribusi orang
1) Umur
Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi pada kelompok
umur >15 tahun (95%), sekarang mengalami pergeseran dengan adanya
peningkatan proporsi penderita DBD pada kelompok umur 15-44 tahun,
sedangkan proporsi penderita kelompok umur >45 tahun sangat rendah. 6
2) Jenis Kelamin
Bila dilihat distribusi kasus berdasarkan kelamin, pada tahun 2008,
persentase laki-laki dan perempuan hamper sama. Hal ini menggambarkan
bahwa resiko terjadinya DBD tidak tergantung jenis kelamin.7
3) Status Gizi
6

Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia


karena zat gizi mempengaruhi kinerja berbagai system dalam tubuh.
Status gizi yang rendah lebih sering terkena penyakit DBD.6
b. Epidemiologi berdasarkan distribusi tempat
Dalam 50 tahun terakhir, kasus meningkat 30 kali lipat dengan
peningkatan ekspansi geografis ke Negara-negara baru dan dalam decade ini,
dari kota ke lokasi pedesaan. Peneritanya banyak ditemukan di sebagian besar
wilayah tropis dan subtropics, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah,
Amerika, dan Karibia.7
Kepadatan penghuni adalah perbandingan jumlah penghuni dengan
luas rumah dimana berdasarkan standar kesehatan adalam 10 m2 per penghuni,
semakin luas lantai rumah maka semakin tinggi pula keklayakan hunian
sebuah rumah. Dari hasil beberapa penelitian penelitian, hunian rumah yang
padat merupakan resiko terjadinya penyakit DBD yang tinggi disbandingkan
dengan hunian rumah yang tidak padat.8
c. Epidemiologi berdasarkan distribusi waktu
Berdasarkan pengamatan terhadap Indeks Curah Hujan (ICH) yang
dihubungkan dengan kenaikan jumlah kasus DBD, maka daerah yang ICH
yang tinggi perlu waspada sepanjang tahun, sedangkan daerah yang terdapat
musim kemarau maka kewaspadaannya terhadap DBD dimulai saat masuk
musim hujan , namun ini bila faktor-faktor resiko lain telah dihilangkan/tidak
ada.7
2.2.3 Etiologi
Demam berdarah ( DHF ) disebabkan oleh virus dengue. Virus Dengue
termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus (arbovirus) dan sekarang
dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae.Di Indonesia sekarang telah
dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun memiliki hubungan genetik satu
dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.Ternyata DEN-2 dan

DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai penyebab. (2) Keempat
serotype ini ditemukan di Indonesia, namun DEN-3 merupakan serotype terbanyak.9
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe
yang lain. Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan suatu faktor risiko karena
lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1 yang disusul DEN-2 mengakibatkan
renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk urutan virus DEN-3 yang
diikuti oleh DEN-2 adalah 2%.10
Di dalam tubuh manusia,

virus

bekembangbiak

dalam

sistem

retikuloendothelial dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting Cells)


dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupfer di
sinusoid hepar.10

Virus
Dengue

Gambar 2.1. Virus Dengue dengan TEM Micrograph

Virion virus dengue mempunyai diameter kira-kira 50 nm. Genom flavivirus


mempunyai panjang kira-kira II kb ( kilo basses ), dan urutan genom lengkap dikenal
untuk mengisolasi ke4 serotip, megkode untuk nukleokapsid atau protein ini ( c ),
protein yang berkaitan dengan membran ( m ), dan protein pembungkus ( e ), dan
tujuh gen protein non struktural ( ns ). Domain-domain bertanggung jawab untuk

netralisasi, fusi dan interaksi dengan reseptor virus berhubungan dengan protein
pembungkus.11
Vektor Virus Demam Berdarah
Virus-virus Dengue ditularkan oleh nyamuk-nyamuk dari famili Stegomya,
yaitu Aedes aegypti, Aedes albopticus, Aedes scuttelaris, Aedes polynesiensis dan
Aedes niveus. Di Indonesia Aedes aegypti dan Aedes albopticus merupakan vektor
utama.Keempat virus telah ditemukan dari Aedes aegypti yang terinfeksi. Spesies ini
dapat berperan sebagai tempat penyimpanan dan replikasi virus.10
Kedua spesies nyamuk tersebut termasukke dalam Genus Aedes dari Famili
Culicidae.Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari
strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya.Skutum Ae. aegypti berwarna hitam
dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis
lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Ae. albopictus yang juga berwarna
hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.6

Gambar 2.2. Nyamuk Aedes aegypti.

Nyamuk Aedes aegypti merupakan anggota dari phylum arthropoda , kelas


insecta atau hexapoda (mempunyai enam kaki) , subklas pterygota (mempunyai
sayap), divisi endopterygota atau holometabola (mempunyai sayap di bagian dalam
denganmetamorfosanya lengkap) , ordo diptera (hanya mempunyai sepasang sayap
9

depan sedangkan sepasang sayap bagianbelakang rudimenter dan berubah


fungsisebagai alat keseimbangan atau halter),subordo nematocera, family culicidae,
subfamily culicinae dan genus Aedes.12
Nyamuk ini dikenal juga sebagai Tiger mosquito atau Black White Mosquito
karena tubuhnya mempunyai ciri khas berupa adanya garisgaris dan bercak bercak
putih keperakan di atas dasar warna hitam. Dua garis melengkung berwarna putih
keperakan di kedua sisi lateral serta dua buah garis putih sejajar di garis median dari
punggungnya yang berwarna dasar hitam.Mulut nyamuk termasuk tipe menusuk dan
mengisap ( rasping sucking) , mempunyai enam stilet yaitu gabungan antara
mandibula, maxilla yang bergeraknaik turun menusuk jaringan sampai menemukan
pembuluh darah kapiler dan mengeluarkan ludah yang berfungsi sebagai cairan racun
dan antikoagulan.12
Infeksi dari salah satu serotif virus dengue ini akan menghasilkan imunitas
sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi
perlindungan sementara dan partial terhadap serotipe-serotiipe yang lain. Virus
dengue menunjukan banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus lain,
mempunyai genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukleokapsid
ikosahedral dan terbungkus oleh selaput lipid.6
Penyebaran penyakit Aedes Aegypti ini dibatasi oleh ketinggian. Nyamuk
Aedes Aegypti merupakan vektor yang paling efisien bagi virus-virus dengue yang
merupakan kelompok aerbovirus. Sebab nyamuk ini sangat antropofilik dan hidupnya
dekat dengan manusia.13
Nyamuk Aedes Aegypti ini hidup berkembang biak pada tempat-tempat
penampungan air bersih yang tidak langsung berhubungan dengan tanah, seperti : 13
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Bak Mandi / WC
Tempat Minuman Burung dalam sangkar
Air tandon
Air dalam Tempayan / gentong yang tidak ditutup rapat.
Kaleng-kaleng bekas yang dapat menampung air
Ban-bban bekas yang dapat menampung air

10

Di indonesia nyamuk Aedes Aegypti tersebarluas diseluruh pelosok tanah


air baik dikota-kota maupun didesa-desa, kecuali diwilayah yang ketinggiannya >
1000 m diatas permukaan air.13
Perkembangan nyamuk Aedes Aegypti dari telur hingga dewasa
memerlukan waktu sekitar 10-12 hari. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan
menghisap darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya.
Sedangkan nyamuk jantan tidak bbisa menggigit atau menghisap darah, melainkan
hidup dari sari bunga tumbuh-tumbuhan. Umur nyamuk Aedes Aegypti betina
berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan rata-rata 0,5 bulan, tergantung dari suhu
kelembapan udara disekelilingnya.11
Kemampuan terbang nyamuk ini berkisar antara 40-100 m dari tempat
berkembang biaknya. Tempat istirahat yang disukainya adalah benda-benda yang
tergantung yang ada dirumah. Seperti gorden, kelambu, dan baju atau pakaian
dikamar yang gelap dan lembab.11
Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada musim hujan, dimana terdapat
banyak genangan air bersih yang dapt menjadi tempat berkembangnya nyamuk Aedes
Aegypti. Selain nyamuk aedes Aegypti,penyakit demam berdarah dapat ditularkan
oleh nyamuk Ae Albopictus, yang kurang berperan dalam menyebarkan penyakit
demam berdarah, jika dibandingkan dengan nyamuk Aedes Aegypti. Hai ini dikarena
nyamuk Ae Albopictus hidup dan berkembangbiak dikebun atau semak-semak,
sehingga lebih jarang kontak denagn manusia dibandingkan dengan nyamuk Aedes
Aegypti yang berada di dalam rumah manusia dan sekitar rumah.11
2.2.4. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan
sindrom renjatan dengue.14
Respon imun yang berperan dalam patogenesis DBD adalah:14

11

a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses


netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus
dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau
makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enchancement (ADE);
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL4, IL5, IL6 dan IL10; c. Monosit dan makrofag berperan
dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis
ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag; d. Selain itu, aktivasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.

Gambar 2.3. Patofisiologi perdarahan pada DBD

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous


infection yang menyetakan bahwa DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus
12

dengue dengan tipe yang berbeda. Infeksi yang pertama kali dapat memberikan gejala
sebagai DD. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnesik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.1,2,14
Virus akan bereplikasi di nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan
lain, terutama sistem retikuloendoteal dan kulit secara bronkogen maupun
hematogen.2 Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Hanstead dan
peneliti lain: menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang memfagositosis kompleks virus antibodi non netralisasi sehingga
sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadi infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksisk sehingga diproduksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi
berbagai mediator inflamasi seperti TNF, IL1, PAF (platelet activating factor), Il6
dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma.1 Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks
virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.14
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1. Supresi
susmsum tulang dan 2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler
dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoesis termasuk megakariopoesis. Kadar trombopoetin dalam darah
pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan
terjadinya stimulasi trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan
fragmen C3g, terdapat antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati
dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan pertanda degranulasi trombosit.14
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada DBD stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada DBD
13

terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi
faktor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak.14
2.2.5 Faktor Resiko
Secara garis besar kejadian DBD dipengaruhi oleh faktor individu (host),
virus (agent) yang dibawa oleh nyamuk dan epidemiologi. Faktor individu meliputi
umur, jenis kelamin, ras, status gizi, adanya infeksi lain dan respon penderita terhadap
virus. Dari aspek epidemiologi DBD dipengaruhi oleh banyaknya orang yang rentan
terhadap DBD, kepadatan vektor, sirkulasi virus dan endemisitas wilayah. Sedang
faktor agent meliput keganasan (virulence) dan jenis virus (serotype).11,13
Beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi
perkembangbiakan virus dengue yaitu : 1). Vektor : perkembangbiakan vektor,
kebiasaan mengigit, kepadatan vektor dilingkungan, transportasi vektor dari satu
tempat ke tempat lain; 2). Penjamu : terdapatnya penderita dilingkungan/keluarga,
mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3). Lingkungan :
curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.14
Berkaitan dengan pengendalian nyamuk sebagai vektor pembawa virus
dengue, terdapat empat komponen yang mempengaruhi keberadaan nyamuk yaitu:
jenis nyamuk (Aedes aegypti, Aedes albopictus), perilaku manusia/host (kebiasaan
menguras tempat penampungan air, kebiaan menggantung pakaian), lingkungan fisik
(tempat penampunhan air, ketinggian tempat, iklim dan tata guna tanah), lingkungan
biologis (tanaman sekitar rumah, tanaman hias, pemeliharaan ikan) dan lingkungan
kimiawi (penggunaan pestisida dan abatisasi).11
2.2.6 Gambaran Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau
sindrom syok dengue (SSD).14

14

Pada umumnya pasien mengalami fase demam yang selama 2-7 hari, yang
diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak
demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan tidak adekuat.14

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT PCR, namun karena
teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendekati adanya antibodi
spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG.14
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit
dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru.14
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:14
1. Leukositosis: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma
biru (LPB) >15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
2. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari 3-8
3. Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke 3
demam.
4. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP pada keadaan dicurigai terjadi pendarahan atau kelainana pembekuan
5.
6.
7.
8.

darah.
Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
SGOT/SGPT: dapat meningkat
Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
15

9. Golongan darah dan cross match: bila akan diberikan transfusi darah atau
komponen darah
10. Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan Ig G terhadap dengue.
IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke3 menghilang
setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, igG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke 2.
Uji HI: dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta aat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
NS 1 : antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama samapi
hari kedelapan. Sensitivitas antigen NS 1 sampai 63%-93,4% dengan
spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur
virus. Hasil negatif dari NS 1 tidak menutupo kemungkinan menyingkirkan
adanya infeksi virus dengue.
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi permbesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus
kanan. Asites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan USG.14
2.2.8 Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala prodromal yang tidak khas seprti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang
dan perasaan lelah.14
Demam Dengue (DD)
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut:14

Nyeri kepala
Nyeri retroorbital
Mialgia/atralgia

16

Ruam kulit
Manifestasi perdarahan (peteki atau uji bendung positif)
Leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien
DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

Demam Berdarah Dengue (DBD)


Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah
ini dipenuhi:14

Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya bifasik
Terdapat minimal satu dari manifestasi pendarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Peteki, ekimosis atau purpura
o Pendarahan mukosa (tersering epiktaksis atau pendarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda plasma leakage (kebocoran plasma). Sebagai
berikut:
o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura,

asites

atau

hipoproteinemia
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah
pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.14

DERAJAT PENYAKIT14
Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
DD/DBD Deraja Gejala

Laboratorium

t
17

DD

DBD

DBD

II

Demam disertai 2 atau lebih


tanda: sakit kepala, nyeri

retroorbital, mialgia, atralgia

Leukopenia
Trombositopenia (-)
Serologi dengue Positif

Gejala di atas ditambah uji

bendung positif

Trobositopenia
Adanya
kebocoran

ditambah

plasma
Trobositopenia
Adanya
kebocoran

Gejala

di

atas

pendarahan spontan
DBD

DBD

III

Gejala

atas

ditambah
kegagalan sirkulasi (kulit dingin

plasma
Trobositopenia
Adanya
kebocoran

IV

dan lemah serta gelisah)


Syok berat disertai dengan
tekanan darah dan nadi tidak

plasma
Trobositopenia
Adanya
kebocoran

terukur

plasma

di

Tabel.2.1. Klasifikasi Derajat Penyakit DBD

2.2.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaiaan
klinis dengen demam tifoid, campak, influenza, chikunguya dan leptospirosis.14
2.2.10 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD
dirawat diruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi
diperlukan perawatan intensif. 15
2.2.11 Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya,
yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :15

18

1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah. Yaitu dengan gerakan 3M Plus :
Menguras bak mandi/penampungan air, sekurang-kurangnya sekali

seminggu.
Menutup dengan rapat tempat penampungan air.
Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar

rumah dan lain sebagainya.


Plus : Memangkas pohon-pohon yang daun lebar.

2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan
jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).
3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:
Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion),
berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu

tertentu.
Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan
air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan

mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup,


menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara
ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur,
memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang
obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat.14
2.2.12 Peranan Keluarga Dalam Penanggulangan DBD
Duvall ( 1985) menyatakan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang
dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan
dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional
19

dan sosial dari tiap anggota. Undang-Undang No.10 tahun 1992 menyatakan bahwa
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak
atau ayah, ibu dan anak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1998)
menyebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang tediri
dari kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat
di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Tugas kesehatan keluarga dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
DBD :
1. Harus mampu mengenal masalah yang berkaitan dengan penyakit DBD,
keluarga dapat mengenal masalah DBD dengan beberapa cara seperti
penyuluhan dari petugas kesehatan, informasi dari majalah ataupun
peran aktif keluarga untuk mencari tahu informasi mengenai DBD.
2. Harus mampu memutuskan tindakan yang tepat jika salah satu anggota
keluarga yang terkena penyakit DBD, keluarga harus dengan cepat
memutuskan tindakan yang tepat pada anggot keluarganya yang terkena
DBD dengan membawanya ke Rumah Sakit. Keputusan harus diambil
keluarga karena keluarga yang dapat memantau anggota keluarganya
yang terkena DBD.
3. Harus dapat menciptakan lingkungan yang sehat. Kemampuan keluarga
ini sangat erat kaitannya dengan pencegahan penyakit DBD karena
nyamuk penyebab DBD dapat berkembang biak di lingkungan rumah
yang tidak diperhatikan oleh keluarga. Keluarga dapat melakukan
tindakan 3 M pada lingkungan rumahnya untuk mencegah terjadinya
DBD.
Perilaku keluarga yang dimaksud dalam pencegahan DBD adalah
keterlibatan semua anggota keluarga baik tanggung jawab secara mental dan
emosional. Pengelolaan sarana yang diadakan agar tetap terjamin dan terpelihara
sehingga tidak menjadi tempat perkembangbiakan vektor penyakit DBD. Maironah

20

(2005) dan Yatim (2001) mengatakan bahwadalam melakukan pencegahan DBD


keluarga perlu memerlukan beberapa metode yang tepat diantaranya:
1. Lingkungan, metode ini digunakan untuk mengendalikan perkembangbiakan
nyamuk tersebut antara lain dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN),
melaksanakan gerakan 3 M Plus, menutup ventilasi dengan kasa.
2. Biologi, pencegahan DBD dengan metode biologi antara lain keluarga dapat
memelihara ikan pemakan jentik jika di rumah mereka terdapat kolam
3. Kimiawi, cara pencegahan DBD dengan menggunakan metode kimiawi antara
lain

keluarga

dapat

memberikan

bubuk

abate

pada

tempat-tempat

penampungan air dengan dosis takaran 1 gram bubuk abate untuk 10 liter air.
4. Perilaku, memakai pakaian dengan lengan panjang untuk menghindari gigitan
nyamuk penyebab DBD, menghindari tidur siang, menggunakan kelambu saat
tidur, merapikan pakaian kotor yang bergantungan di balik pintu, memakai
lotion atau obat nyamuk lain pada saat tidur.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa cara yang paling efektif dalam
pencegahan dan penanggulangan DBD adalah dengan kegiatan pemberantasan sarang
nyamuk yaitu menguras, menutup dan mengubur serta tindakan lainnya seperti
memberikan bubuk abate, memasang obat nyamuk, dan melakukan pemeriksaan
jentik berkala.15

21

BAB III
METODOLOGI STUDI KASUS
3.1 Jenis Studi Kasus
Studi kasus ini menggunakan desain studi Kohort untuk mempelajari hubungan
antara faktor risiko dan efek (penyakit atau masalah kesehatan), dengan memilih
kelompok studi berdasarkan perbedaan faktor risiko. Kemudian mengikuti sepanjang
periode waktu tertentu untuk melihat berapa banyak subjek dalam masing-masing
kelompok yang mengalami efek penyakit atau masalah kesehatan.untuk melakukan
penerapan pelayanan dokter layanan primer secara paripurna dan holistik terutama
tentang pendekatan diagnosis holistik penderita DBD di Puskesma Pertiwi pada tahun
2015.
3.2 Lokasi dan Waktu melakukan Studi Kasus.

22

Studi kasus dilakukan pertama kali saat penderita datang berobat di puskesmas
Pertiwi pada tanggal 28 Mei 2015. Selanjutnya dilakukan home visit untuk
mengetahui secara holistik keadaan dari penderita, home visit dilakukan 2 kali :
1. Tanggal 28 Mei 2015
2. Tanggal 31 Mei 2015
3.3 Pengumpulan data /informasi
Semua yang berkaitan dengan penyakit atau permasalahan kesehatan penderita
informasinya dikumpulkan dengan melakukan komunikasi personal dengan pasien
dan atau keluarganya dan analisis data.
3.4 Cara Pengumpulan data/informasi
Dilakukan dengan komunikasi personal dengan pasien/keluarganya secara
langsung dengan menggunakan pertanyaan what, why, who, where, when dan how.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL STUDI KASUS
A. PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama

: An.MJ

Umur

: 9 tahun

Suku Bangsa

: Makassar

Agama

: Islam

Status Marital

: Belum Kawin

Alamat

: Jln. Rajawali 1 Lr.10

ANAMNESIS
Pasien anak laki-laki berumur 9 tahun datang ke puskesmas dengan
keluhan demam yang dialami sejak 3 hari yang lalu, demam dirasakan terus-

23

menerus, menggigil tidak ada, keringat tidak ada,. Nyeri kepala ada sejak 3
hari yang lalu, nyeri belakang mata ada. Batuk tidak ada, sesak tidak ada.
Mual ada, muntah ada sejak 2 hari yang lalu, nyeri perut tidak ada.
Buang air kecil : lancar kesan cukup
Buang air besar : biasa kuning
Riwayat perdarahan hidung, gusi tidak ada
Riwayat buang air besar hitam tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu :
-

Pasien mengaku belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya

- Riwayat menderita demam tifoid tidak ada


Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat di keluarga menderita penyakit yang sama tidak ada
Riwayat Penyakit dilingkungan sekitar
- Riwayat di lingkungan sekitar ada yang menderita DBD
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien berada di tingkatan sosial ekonomi bawah. Pasien masih
bersekolah di sekolah dasar. Pasien tinggal bersama ibu dan 2 saudara
kandung.
PEMERIKSAAN FISIS
1
2

Keadaan Umum
Vital sign
Kesadaran
GCS
Tek. Darah
Frek. Nadi
Frek Pernapasan
Suhu
BB
Tinggi Badan
Status Generalis :
- Kepala

THT
Leher
Paru-paru

: sakit sedang
: Compos Mentis
: 15
: 90/60 mmHg
: 88 x/menit
: 20 x/menit
: 38,5 C
: 20 kg
: 130 cm
: Normocephal
- Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera
Ikterik (-/-), Pupil bulat, isokor
: Dalam Batas Normal
: Pembesaran KGB dan tiroid (-)

24

Inspeksi

: pergerakan dinding dada simetris kanan dan

Palpasi

kiri
: fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan

Perkusi
Auskultasi

kiri
: sonor seluruh lapang paru
: vesikuler kanan dan kiri, rhonki (-/-),
wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: iktus kordis tidak terlihat


: iktus kordis teraba di

ICS

linea

midklavikula sinistra
: batas jantung kanan ICS IV linea sternalis
dextra batas jantung kiri ICS V linea

Auskultasi
Abdomen
Inspeksi

midklavikula sinistra
: bunyi jantung I dan II normal, murmur(-)
: simetris, datar, kelainan kulit (-), pelebaran

Auskultasi
Palpasi

vena (-)
: bising usus normal
: nyeri lepas (-), nyeri ketuk (-), hepatomegali

Perkusi

(-), spleenomegali (-)


: timpani di semua lapang abdomen, nyeri
ketuk (-)

Ekstremitas

: akral hangat, edema

Petekie dan purpura (-)


Uji Rumpe Leede (+)

Status Lokalis : -

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pasien, dokter
menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan NS1, dan hasil yang diperoleh adalah
NS1 (+).
PENATALAKSAAN

25

Paracetamol 500 mg 3x1


Vitamin C 2x1
Domperidon Syrup 3 x cth
ANJURAN
Istirahat cukup
Banyak minum air
Biasakan tidur menggunakan lotion anti nyamuk
Makan makanan bergizi untuk meningkatkan imunitas
PENCEGAHAN
1.
2.
3.
4.

Menutup rapat wadah penampungan air


Mengubur kaleng-kaleng bekas
Menutup ventilasi dengan kasa
Hindari menggantung pakaian yang menjadi tempat persembunyian
nyamuk

B. KELUARGA

Profil Keluarga
1 Karakteristik Keluarga

Tabel 1. Anggota keluarga yang tinggal serumah

No

Nama

1.

Ny. S

2.

Nn.M

3.

An. MJ

4.

An.M.S

Kedudukan
dalam keluarga
Ibu kandung
Saudara
Kandung
Pasien
Saudara
Kandung

Gender

Umur

Pendidikan

35 thn

SD

14 thn

9 thn

2 thn

Tidak
sekolah
Belum tamat
SD
Belum
sekolah

Pekerjaan
Buruh harian
lepas
-

Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup


a Lingkungan tempat tinggal

Tabel 2 Lingkungan tempat tinggal

26

Status kepemilikan rumah : milik sendiri


Daerah perumahan : padat penduduk
Karakteristik Rumah dan Lingkungan

Kesimpulan
Keluarga An. MJ tinggal di

Luas rumah : 8 x 6 m2

rumah dengan kepemilikian

Jumlah penghuni dalam satu rumah : 4 orang

milik sendiri. An. MJ tinggal

Luas halaman rumah : -

dalam rumah yang tidak sehat


dengan

Rumah panggung

lingkungan

rumah

yang padat dan ventilasi yang

Lantai rumah dari : kayu

tidak memadai yang dihuni

Dinding rumah dari : kayu

oleh

anggota

keluarga.

Dengan penerangan listrik 450

Jamban keluarga : tidak ada

watt. Air PAM umum sebagai


sarana air bersih keluarga.

Tempat bermain : tidak ada


Penerangan listrik : 450 watt
Ketersediaan air bersih : ada
Tempat pembuangan sampah : tidak ada

Hal lain yang berkenaan juga dapat dilihat dari:

Tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat perindukan nyamuk


Bak Air

: Jentik Nyamuk Aedes aegypti (-)

Kaleng-kaleng bekas : Jentik Nyamuk Aedes aegypti (-)


Penampung Air lain

: Jentik Nyamuk Aedes aegypti (-)

Tempat peristirahatan nyamuk : Masih terdapat pakaian yang digantung


sehingga memungkinkan nyamuk beristirahat

Kepemilikan barang barang berharga

27

An. MJ memiliki beberapa barang elektronik di rumahnya antara lain


yaitu, satu buah televisi berwarna yang terletak di ruang keluarga,satu kipas
angin yang terletak di ruang keluarga.
Perilaku terhadap Nyamuk

Dalam kesehariannya, dari wawancara yang kami lakukan diketahui bahwa pola
prilaku keluarga dan pasien sendiri terhadap nyamuk kurang baik, hal ini dapat
dinilai dengan :
a. Saat tidur tidak memakai kelambu
b. Saat tidur tidak menyalakan obat nyamuk/ elektrik pembunuh nyamuk
c. Mengenakan lengan panjang untuk menghindari gigitan
d. Menutup ventilasi dengan kasa
4

Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga


a Tempat berobat
Apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit, mereka selalu
berobat ke puskesmas untuk mendapatkan terapi yang lebih baik untuk
b

kesembuhan penyakit mereka.


Balita : KMS
Anggota keluarga An.MJ ada yang berusia balita sehingga memiliki

KMS.
Asuransi / Jaminan Kesehatan
Keluarga An.MJ tergolong keluarga dengan status ekonomi rendah,
namun keluarga ini sudah memiliki asuransi jaminan kesehatan yaitu

Jaminan Kesehatan Masyarakat ( JAMKESMAS )


Sarana Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)

Tabel 3 Pelayanan Kesehatan


Faktor
Cara

Keterangan
mencapai

pelayanan kesehatan

pusat Kendaraan umum

Kesimpulan
An.MJ
berobat
Puskesmas
mengendarai

ke
dengan

kendaraan

28

umum.
Tarif pelayanan kesehatan Murah

Menurutnya

kualitas

pelayanannya

dinilai

memuaskan

sehingga
Kualitas

pelayanan

kesehatan
6

datang

Memuaskan

pasien
kembali

mau
untuk

berobat.

Pola Konsumsi Makanan Keluarga


a Kebiasaan makan :
Keluarga An.MJ makan sebanyak dua bahkan sekali sehari. Menu
makanan yang diterapkan dalam waktu makan mereka tidak pernah
menentu. Menu makanan mereka paling sering hanya makan nasi dengan
lauk tahu atau tempe, ikan (biasanya ikan bandeng) beserta sayuran.
Untuk makan ayam dan daging sangat jarang. Adapun makanan yang
dimakan oleh keluarga An.MJ dimasak sendiri. Keluarga An.MJ jarang
mengkonsumsi

buah-buahan

dan

susu.

Keluarga

An.MJ

selalu

membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah makan serta
merapikan dan membersihkan peralatan makan mereka setelah selesai
makan.
b Menerapkan pola gizi seimbang :
Keluarga An.MJ masih belum menerapkan pola gizi seimbang kepada
seluruh anggota keluarga karena keterbatasan ekonomi. Sehingga keluarga
ini jarang mengkonsumsi buah-buahan dan susu untuk asupan gizi yang
seimbang.
7

Pola Dukungan Keluarga


1 Faktor pendukung terselesaikannya masalah dalam keluarga
Mayoritas anggota keluarga An.MJ peduli terhadap kesehatan. Untuk
An.MJ sendiri yang telah didiagnosis terjangkit penyakit DBD, Seluruh
anggota keluarga senantiasa memberikan dukungan kepada An.MJ agar
dapat sembuh dari penyakitnya dengan cara, ibunya selalu mengingatkan

29

pasien untuk minum obat secara rutin, minum air putih yang banyak,
2

makan teratur.
Faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga
Adapun faktor-faktor yang menghambat dalam kesembuhan An.MJ
antara lain jumlah ventilasi dan jumlah jendela yang tidak sesuai dengan
ketentuan rumah sehat sehingga siklus udara di dalam rumah yang sangat
minim, jarangnya membuka jendela rumah sehingga terasa lembab, rumah
tidak mendapat pencahayaan sinar matahari yang cukup, sehingga
membuat rumah menjadi gelap, terdapatnya banyak kaleng-kaleng yang
dapat menampung air sehingga dapat dijadikan tempat untuk berkembang
biaknya jentik-jentik penyebab demam berdarah, kebiasaan anggota
keluarga yang menggantung pakaiannya dan menumpuk pakaian yang
bersih sehingga dapat dijadikan tempat persembunyian nyamuk penyebab
demam berdarah, kondisi lingkungan sekitar rumah yang berada dalam
pemukiman padat penduduk, dan tingkat ekonomi keluarga yang cukup
rendah sehingga menyebabkan daya beli keluarga terhadap bahan-bahan
pokok makanan rendah, sehingga kualitas makanan yang dikonsumsi juga
rendah.

4.2 PEMBAHASAN
4.2.1

TANGGAL

INTERVENSI,

DIAGNOSTIK

HOLISTIK,

DAN

RENCANA SELANJUTNYA
Pertemuan ke 1 : 28 Mei 2015
Saat kedatangan yang pertama dilakukan beberapa hal yaitu :
1. Memperkenalkan diri dengan pasien.
2. Menjalin hubungan yang baik dengan pasien.
3. Menjelaskan maksud kedatangan dan meminta persetujuan pasien
4. Menganamnesa pasien, mulai dari identitas sampai riwayat psiko-sosioekonomi dan melakukan pemeriksaan fisik.

30

5. Menjelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan dan mempersiapkan


alat yang akan dipergunakan.
6. Memastikan pasien telah mengerti tujuan prosedur pemeriksaan.
7. Meminta persetujuan pemeriksaan kepada pihak pasien.
8. Membuat diagnostik holistik pada pasien.
9. Mengevaluasi pemberian penatalaksanaan farmakologis. .
4.2.2 Anamnesa
Identifikasi permasalahan yang didapat dalam keluarga
1 Masalah dalam fungsi ekonomi dan pemenuhan kebetuhan
An.MJ merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang masih duduk di
sekolah dasar, dan ibunya Ny.S bekerja sebagai buruh harian lepas dengan
penghasilan yang kurang dan bahakan tidak menentu. Dengan penghasilan
ibunya yang tidak tetap menyebabkan sulit untuk terpenuhinya kebutuhan
rumah tangga. Hal ini juga menyebabkan keluarga sulit untuk memenuhi
makanan yang bergizi.
2

Masalah lingkungan
Lingkungan tempat tinggal An.MJ merupakan lingkungan yang padat
penduduk dan letak rumah yang satu dengan rumah yang lainnya saling
menempel. An.MJ jarang membuka jendela rumahnya sehingga terasa
lembab. Dan juga rumah An.MJ dibagian bawah terdapat kaleng-kaleng
bekas yang tidak terpakai, banyaknya pakaian yang digantung serta di
tumpuk yang dapat digunakan oleh nyamuk untuk berkembang biak
maupun untuk bersembunyi, sanitasi di lingkungan rumah An. MJ sangat
buruk tidak masuk dalam lingkunagan yang sehat.

Diagnosis Holistik
Untuk melakukan diagnostik holistik yang komprehensif maka diperlukan
tinjauan dari beberapa aspek antara lain :
1 Aspek personal
Pasien datang berobat bersama ibunya di Puskesmas Pertiwi dengan
keluhan demam. Hal ini dilakukan karena pasien terlihat sangat lemas dan

31

demamnya meninggi terus-menerus. Sehingga ibu pasien khawatir bahwa


demam yang dialami oleh pasien adalah bukan demam yang biasa
melainkan merupakan penyakit DBD. Dengan berobat ke puskesmas
2

pasien berharap penyakitnya dapat cepat sembuh.


Aspek klinik
Berdasarkan hasil anamnesa yang didapatkan pasien datang dengan
demam yang dialami sejak 3 hari yang lalu, demam terus-menerus, sakit
kepala ada, nyeri belakang orbita ada, mual ada, muntah ada, dan dari
pemeriksaan fisis didapatkan uji rumpe leede (+). Maka dari itu, dokter
menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan NS1 yang ada di puskesmas
dan diperoleh hasil NS1(+). Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis dengan DBD grade I.

Aspek risiko internal


Penyakit DBD dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor internal antara
lain kebiasaan pasien, dan tingkat pendidikan, dan keadaan sosial
ekonomi.
Dilihat dari tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan
terhadap seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat
kesehatan. Untuk rumah An.MJ disini termasuk rumah yang kurang sehat
dimana jumlah ventilasi dan jumlah jendela yang tidak sesuai dengan
ketentuan rumah sehat sehingga siklus udara di dalam rumah yang sangat
minim dan rumah tidak mendapat pencahayaan sinar matahari yang
cukup, banyaknya kaleng-kaleng dan gelas-gelas yang terdapat dibawah
rumah yang dapat menampung air hujan, banyaknya pakaian yang
dibiarkan tergantung dan tergeletak dilantai di dalam rumah. Dan juga
kurangnya

pengetahuan

tentang

pentingnya

menjaga

kebersihan

lingkungan terutama mengenai pentingnya menguras bak mandi minimal


seminggu sekali, mengubur kaleng-kaleng bekas yang mungkin bisa

32

menjadi wadah perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, menutup rapat


wadah penampungan air dan hindari mengaggantung pakian yang akan
menjadi tempat persembunyian nyamuk penyebab DBD.
Kemudian melihat kondisi ekonomi yang berkaitan erat dengan
pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, dan gizi. Kurangnya pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi
konsumsi makanan sehingga akan mempengaruhi status gizi pasien. Pada
keluarga An.WJ karena penghasilan yang kurang dan tidak menentu,
4

sehingga mereka kurang mendapatkan asupan gizi yang baik.


Aspek Resiko Faktor Eksternal
Terdapatnya orang yang menderita DBD yang tinggal disekitar rumah
pasien.

Aspek psikososial keluarga


Di dalam keluarga terdapat faktor-faktor yang dapat menghambat dan
mendukung kesembuhan pasien. Di antara faktor-faktor yang dapat
menghambat kesembuhan pasien yaitu, kurangnya pengetahuan keluarga
tentang penyakit yang diderita pasien, serta kurangnya kesadaran keluarga
untuk hidup sehat, dan keadaan sosial ekonomi yang kurang. Sedangkan
faktor yang dapat mendukung kesembuhan pasien yaitu, adanya dukungan
dan motivasi dari anggota keluarga baik secara moral dan materi untuk

An.MJ.
Aspek fungsional
Secara aspek fungsional, sekarang pasien sedikit mendapatkan
kesulitan dan merasa kurang mampu dalam hal fisik dan mental untuk
melakukan aktifitas di dalam maupun di luar rumah, dikarenakan kondisi
tubuh pasien yang lemah.

33

BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus DBD yang dilakukan di layanan primer
(PUSKESMAS) mengenai penatalaksanaan penderita DBD dengan pendekatan
diagnose holistik, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


pasien didiagnosa menderita DBD.

Permasalahan yang didapat ditinjau dari beberapa fungsi diantaranya :


An.MJ merupakan anak laki-laki yang berumur 9 tahun,

dan masih

duduk di sekolah dasar, hidup bersama kedua saudara dan ibunya,


sedangkan ibu An.MJ sebagai kepala keluarga hanya bekerja sebagai
buruh harian lepas dengan penghasilan yang tidak tetap. Dengan
penghasilan ibu An.MJ yang tidak tetap menyebabkan sulit untuk
terpenuhinya kebutuhan rumah tangga. Hal ini juga menyebabkan
keluarga sulit untuk memenuhi makanan yang bergizi.

34

Lingkungan tempat tinggal An.MJ merupakan lingkungan yang padat


penduduk dan letak rumah yang satu dengan rumah yang lainnya saling
menempel. An.MJ jarang membuka jendela rumahnya sehingga terasa
lembab, dan juga pekerjaan ibu An.MJ yang mengharuskan di bawah
rumah An.MJ terdapat kaleng-kaleng bekas yang tidak terpai dan dapat
menampung air, serta kebiasaan dari anggota keluarganya sehingga
3

terdapat banyak baju yang digantung.


Diagnosis Holistik (multiaksial) :
-

Aspek personal

: Pasien berharap dengan datang berobat

ke PUSKESMAS maka keluhan yang dideritanya akan sembuh.


-

Aspek klinik

: DBD

Aspek resiko internal

Aspek risiko internal yang didapatkan pada pasien yaitu kebiasaan,


keadaan sosial ekonomi, dan lingkungan. Kurangnya pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam
memenuhi konsumsi makanan sehingga akan mempengaruhi status
gizi pasien. Dan jumlah ventilasi dan jumlah jendela yang tidak
sesuai dengan ketentuan rumah sehat sehingga siklus udara di
dalam rumah yang sangat minim dan rumah tidak mendapat
pencahayaan sinar matahari yang cukup, banyaknya kaleng-kaleng
bekas yang berada dibawah rumah yang dikumpulkan, banyaknya
-

baju yang digantung serta ditumpuk.


Aspek resiko eksternal
Di lingkungan tempat tinggalnya terdapat orang yang menderita

penyakiit yang sama yaitu DBD


Aspek psikososial keluarga :
Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit yang diderita
pasien, serta kurangnya kesadaran keluarga untuk hidup sehat, dan
keadaan sosial ekonomi yang kurang.

Aspek Fungsional

35

Pasien sedikit mendapatkan kesulitan dan merasa kurang mampu


dalam hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam
maupun di luar rumah, dikarenakan kondisi tubuh pasien yang
lemah.
5.2.

Saran
1. Kepada anak yang menderita DBD agar selalu menjaga kesehatan,
kebersihan lingkungannya dan mengatur pola makan yang baik untuk
meningkatkan imunitas pasien.
2. Sebaiknya peranan keluarga dalam memelihara kesehatan dan lingkungan
sehat lebih ditingkatkan lagi dalam upaya pencegahan DBD terutama pada
keluarga dengan anak yang menderita DBD.
3. Sebaiknya dilakukan pencegahan penyakit DBD disekitar wilayah kerja
puskesmas dengan lebih intensif, terutama saat musim hujan.
4. Promosi kesehatan kepada masyarakat di wilayah kerja puskesmas
berkaitan dengan gaya hidup, sanitasi dan lingkungan sekitar akan sangat
membantu dalam penanggulangan penyakit DBD.
5. Pemerintah setempat sebaiknya memberikan perhatian lebih terhadap
masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang rentan terhadap
serangan penyakit DBD.

36

DAFTAR PUSTAKA
1.

Hairani LK, Gambaran Epidemiologi Demam Berdarah di Indonesia. FKM


UI. 2009

2.

Widoyono, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya


Penyakit Tropis. EMS. Edisi kedua. 2011

3.

Wahono TD, Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan:2004

4.

Anggia SD. Gambaran Klinis Penderita Demam Berdarah Dengue yang


dirawat di Bagian Ilmu penyakit dalam periode 1 Januari-31 Desember 2005.
Pekanbaru,2006: 27-37

5.

Sari S, Akmal, Haskas Y. Gambaran Keberdayaan Masyarakat Berdasarkan


Pengetahuan Sikap, Tindakan, Lingkunagn. ISSN Volume 4 Nomor 3 :2014

6.

Candra A. Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor


Risiko Penularan. Aspirator. 2010;2:110-9.

7.

Fahmi UA. Dema Berdarah Dengue di Indonesia. Buletin Jendela


Epidemiologi Volume 2 Tahun 2010.

8.

Maria I, Ishal A, Selomon M. Faktor Resiko Demam Berdarah Dengue di


Kota Makassar Tahun 2013. Hal 1-11.

9.

Suhendro LN, Khie Chen, Herdiman T.Pohan. Demam Beerdarah Dengue. In:
Aru W.Sudoyo Bs, Idrus Alwi, Marcellus Simadribata K, Siti Setiati, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Anak. V ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p.
2773-9.

37

10. Frans EH. Patogenesis Infeksi Virus Dengue. FK Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya. 2010.
11.

Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.


Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW
dkk. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta :
2007.

12.

Bagus Uda Palgunadi AR. Aedes Aegypti Sebagai Vektor Penyakit Demam
Berdarah Dengue. FK Universitas Wijaya Kusuma.

13.

Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah Dengue di


Indonesia. Farmaka. 2007 ; 5:12-29.

14.

Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.


Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi VI. Editor : Sudoyo AW
dkk. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta :
2014.

15.

Sanford JP. Infeksi Arbovirus dalam Harrison prinsip-prinsip Ilmu Penyakit


Dalam. Edisi 13. Volume 2. Jakarta : EGC, 1999 : 955-6.

38

Anda mungkin juga menyukai