Anda di halaman 1dari 5

PENGERTIAN KERUGIAN NEGARA

Pengertian kerugian negara menurut UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara,
menyatakan bahwa pengertian kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga,
dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai.
UNSUR-UNSUR DARI KERUGIAN NEGARA
1. Kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang berharga,
barang milik negara dari jumlahnya dan atau nilai yang seharusnya.
2. Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya atau
dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah terjadi dengan jumlah kerugian
yang secara pasti dapat ditentukan besarnya, dengan demikian kerugian negara tersebut
hanya merupakan indikasi atau berupa potensi terjadinya kerugian.
3. Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, unsur
melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan tepat.
TUJUAN
Dengan dipastikannya bahwa kerugian keuangan negara telah terjadi, makasalah satu unsur/delik
korupsi dan atau perdata telah terpenuhi, sedangkan tujuan dilakukannya penghitungan jumlah
kerugian keuangan negara antara lain adalah:

Untuk menentukan jumlah uang pengganti/tuntutan ganti rugi yang harus diselesaikan
oleh pihak yang terbukti bersalah bila kepada terpidana dikenakan pidana tambahan

sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999;


Sebagai salah satu patokan/acuan bagi Jaksa untuk melakukan penuntutan mengenai
berat/ringannya hukuman yang perlu dijatuhkan berdasarkan ketentuan perundangundangan yang berlaku dan bagi Hakim sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan

keputusannya;
Dalam hal kasus yang terjadi ternyata merupakan kasus perdata atau lainnya (kekurangan
perbendaharaan atau kelalaian PNS), maka perhitungan kerugian keuangan negara
digunakan

sebagai

bahan

gugatan/penuntutan

sesuai

ketentuan

yang

berlaku

(Perdata/TP/TGR).
Menurut Theodorus M. Tuanakota Standardisasi metode penghitungan kerugian
keuangan negara bergantung pada:

Apakah bentuk kerugian keuangan negara yang beraneka ragam itu memiliki kesamaan,
sehingga pola-pola penghitungan dapat ditemukan? Atau justru sebaliknya,pola
perhitungannya tidak bisa dibakukan karena bentuk kerugian keuangan negara terlalu
bervariasi?
Apakah ada tingkat kerumitan yang berbeda dalam merumuskan tindak pidana korupsi
yang secara interaktif dan reiterative mempengaruhi penghitungan kerugian keuangan
negara.
Theodorus M. Tuanakota merumuskan setidaknya ada 5 metode penghitungan kerugian negara,
antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.

Kerugian Keseluruhan (total loss) dengan beberapa penyesuaian;


Selisih antara harga kontrak dengan harga pokok pembelian atau harga pokok produksi;
Selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertentu;
Penerimaan yang menjadi hak negara tapi tidak disetorkan ke kas negara;
Pengeluaran yang tidak sesuai dengan anggaran, digunakan untuk kepentingan pribadi
atau pihak-pihak tertentu.

Pada saat melakukan audit investigasi/ PKKN atas kasus TPK, auditor memerlukan metode
penghitungan yang tepat untuk dapat menghitung jumlah kerugian keuangan negara yang
terjadi.

Penggunaan metode untuk menghitung kerugian keuangan negara ditentukan

berdasarkan bukti-bukti audit yang mendukung pengungkapan kronologi fakta dan terjadinya
pengeluaran negara. Metode penghitungan kerugian keuangan tidak dapat disamaratakan antara
kasus satu dengan kasus lain. Dalam artian metode penghitungan kerugian keuangan sangat
tergantung dengan sifat kasus, judgement auditor itu sendiri dan kriteria yang digunakan. Maka
tidak heran jika kita pernah mendengar suatu kasus tindak pidana korupsi yang sama, beberapa
pemeriksa memiliki hasil penghitungan kerugian Keuangan Negara yang berbeda-beda.
Pada dasarnya terdapat beberapa metode yang biasa dipergunakan dalam menghitung
besarnya jumlah kerugian Keuangan Negara antara lain metode total loss, metode net loss,
metode harga wajar dan metode harga pokok.
1. Metode net loss (kerugian bersih)
Jumlah total loss (kerugian total) dihitung dari seluruh jumlah uang yang dibayarkan/
dikeluarkan oleh negara karena negara tidak mendapatkan imbalan/prestasi senilai jumlah
pengeluaran tersebut. Metode total loss (kerugian total) dipergunakan untuk menghitung

kerugian keuangan negara pada kasus kegiatan fiktif dan barang/jasa yang sama sekali
tidak dapat digunakan. Beberapa kondisi ketika metode total loss dapat diterapkan:
o Pengadaan barang/jasa fiktif
o Kegiatan fiktif
o Honor fiktif/tidak dibayarkan
o Barang/jasa yang diterima tidak sesuai spesifikasi kontrak sehingga tidak dapat
digunakan atau dimanfaatkan
Bagaimana jika dalam kegiatan atau pengadaan tersebut terdapat pajak seperti PPN atau
PPh yang telah dipotong dan disetor ke kas negara? Apakah pajak tersebut menjadi
pengurang kerugian keuangan negara? pajak-pajak tersebut tidak mengurangi kerugian
Keuangan Negara namun oleh auditor dianggap sebagai tindak lanjut. Misal SKPD X
membuat suatu kegiatan fiktif sebesar Rp100.000.000 dan atas kegiatan tersebut
bendahara SKPD X telah memotong PPN dan PPh sebesar Rp15.000.000,00. Kerugian
keuangan negara atas kegiatan fiktif tersebut tetap Rp100.000.000,00 bukan
Rp85.000.000,00. Setoran pajak Rp15.000.000,00 tidak dapat dijadikan pengurang
kerugian Keuangan Negara walaupun terdapat pemasukan ke kas negara.

Pajak

diinformasikan sebagai tindak lanjut. Sedangkan untuk pengadaan barang/jasa yang hasil
pekerjaannya tidak dapat digunakan/dimanfaatkan, pajak harus dikurangkan terlebih
dahulu.
2. Metode net loss (kerugian bersih)
Metode net loss (kerugian bersih) dipergunakan apabila dalam kasus pengadaan
barang/jasa terjadi kekurangan volume pekerjaan.

Dalam kasus ini rekanan hanya

berhak menerima pembayaran sebesar prestasi yang dia berikan kepada negara. Hal
tersebut sesuai dengan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
pasal 89 ayat 4 yang berbunyi "Pembayaran bulanan/termin untuk Pekerjaan Konstruksi,
dilakukan senilai pekerjaan yang telah terpasang, termasuk peralatan dan/atau bahan
yang menjadi bagian dari hasil pekerjaan yang akan diserahterimakan, sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam Kontrak."
Pajak-pajak yang telah disetorkan ke kas negara harus dikurangkan terlebih dahulu. Baru
kemudian pembayaran netto yang diterima rekanan (setelah dikurangi pajak)
disandingkan dengan nilai realisasi terpasang yang dihitung berdasarkan penghitungan

volume pekerjaan terpasang oleh ahli teknis bangunan. Auditor tidak dapat menghitung
sendiri volume pekerjaan terpasang karena auditor tidak mempunyai kompetensi di
bidang teknik bangunan/konstruksi. Sebagai solusinya, auditor bisa meminta bantuan
ahli teknik misalnya dari Dinas Pekerjaan Umum atau Universitas yang independen.
Kalau kita melihat skema penghitungan kerugian keuangan negara tadi seolah-olah
auditor tidak mempertimbangkan besaran keuntungan yang berhak diterima oleh
rekanan? Jawabannya adalah jika dalam proses pengadaan sudah terdapat penyimpangan
maka judgement auditor menyatakan bahwa rekanan tersebut tidak berhak atas
keuntungan.
3. Metode harga wajar
Metode harga wajar dipergunakan apabila dalam kasus pengadaan barang/ jasa terjadi
mark-up (kemahalan harga) harga atau terdapat kemahalan harga barang/jasa. Kasus
mark-up sangat umum terjadi dalam proses pengadaan barang/jasa.

Mark-up

dimaksudkan agar rekanan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Indikasi adanya
mark-up biasanya sudah terlihat sejak proses perencanaan pengadaan yaitu dalam
pembuatan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Agar nilai kontraknya tinggi biasanya HPS
sudah disetting sedemikian rupa agar diperoleh harga kontrak yang telah direncanakan.
Biasanya mark-up akan diikuti penyimpangan dalam proses pelelangan yaitu terdapat
pengaturan siapa yang akan menjadi pemenang lelang. Pengaturan pemenang lelang
dimaksudkan agar rekanan yang telah disetting dari awal dapat keluar sebagai pemenang
dan pemenang tersebut memperoleh keuntungan yang lebih tinggi karena harga-harga
telah dinaikkan. Perpres Pengadaan Barang/Jasa Nomor 70 Tahun 2014 Pasal 66 ayat (8)
menyatakan bahwa HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya
overhead yang dianggap wajar. Dalam Penjelasannya disebutkan Contoh keuntungan
dan biaya Overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi maksimal 15% (lima belas
perseratus). Memang gampang-gampang susah untuk menentukan adanya mark-up
karena dapat menimbulkan perdebatan. Misalnya jika harga dalam kontrak ternyata
diketahui lebih tinggi 40% dari harga pasar wajar, belum serta merta dapat dikatakan
mark-up karena mark-up itu sangat debatable. Untuk menentukan mark-up harus
didapatkan bukti-bukti yang cukup. Perlu diingat adalah HPS bukan sebagai dasar untuk
menentukan besaran kerugian negara.

Bagaimana menghitung kerugian Keuangan Negara dari kasus mark-up. Caranya adalah
dengan membandingkan harga dalam kontrak dengan harga pasar yang wajar. Harga
pasar yang wajar dapat diperoleh dengan harga barang sejenis pada tahun yang sama dan
dalam kondisi-kondisi yang sama. Ketika sulit untuk mencari harga barang tersebut di
pasaran, maka bisa digunakan harga yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah seperti
Badan Pusat Statistik, Dinas Pekerjaan Umum dan sumber lain yang kompeten.
Kriteria yang umum digunakan dalam kasus mark-up adalah Pasal 66 ayat (8) Perpres
Pengadaan Barang/Jasa Nomor 70 Tahun 2012.
4. Metode harga pokok
Metode harga pokok dipergunakan untuk menghitung kerugian pokok atau nilai pokok
pada kasus penyimpangan prosedur dalam penyaluran kredit perbankan pemerintah.
Harga pokok pada kredit perbankan artinya adalah pokok uang ketika uang tersebut cair
dari Keuangan Negara. Biasanya penyimpangannya berupa kredit yang tidak layak cair
atau digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Bunga yang sudah disetor atau
bahkan dibayarkan tidak mengurangi kerugian keuangan negara. Namun jika bunga
sebenarnya sudah dibayarkan tetapi tidak dimasukkan ke dalam kas negara, maka bunga
tersebut menambah kerugian Keuangan Negara.

Anda mungkin juga menyukai