Anda di halaman 1dari 3

Syarat Pencalonan; Persoalan Pokok Dalam Pelaksanaan PILKADA

Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, Pilkada langsung menjadi pilar
yang memperkokoh bangunan demokrasi secara nasional. Terlaksananya langsung
menunjukkan adanya peningkatan demikrasi kerana rakyat secara individu dan kelompok
terlibat dalam proses melahirkan pemimpin pemerintah atau pejabat negara. Pilkada secara
slangsung merupakan desain kelembagaan untuk mempercepat proses pematangan demokrasi
di daerah. Kehidupan demokrasi ditingkat lokal menjadi lahan praktek bagi mewujudkan
semangat multikulturalisme yang sangat dibutuhkan bagi terwujudnya harmonisasi dalam
etnis pemerintahan demokratis. Pilkada merupakan salah satu media pembelajaran demokrasi
bagi masyarakat daerah dan sekaligus terwujudnya hak-hak esensial individu seperti
kesamaan hak politik dan kesempatan untuk menempatkan individu dalam pemerintah daerah.
Ada beberapa keunggulan pilkada secara langsung. Pertama,melibatkan partisipasi
masyarakat konstituen secara luas, sehingga akses dan kontrol masyarakat dapat lebih kuat
terhadap arena dan aktor yang terlibat dalam proses pilkada. Kedua, terjadinya kontrak sosial
antara kandidat, partai politik dan konsituen untuk ewujudkan akuntabilitas pemerinta lokas.
Ketiga, memberi runag dan pilihan terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon
pemimpin yang hebat (memiliki kapasitas, integritas dan komitmen yang kuat) dan
legitimaate di mata masyarakat.
Faktanya, pilkada langsung telah berjalan sejak 2005 hingga tahun 2015 (pilkada
serantak) yang lallu, tidak serta merta manuai hasil sesuai dengan harapan banyak pihak.
Salah satunya adalah syarat pencalonan bagi calon kepala daerah yang ingin mengikuti
pilkada langsung. Keunggulan pilkada langsung diharapkan mampu memberi ruang dan
pilihan terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang hebat memiliki
kapasitas, integritas dan komitmen yang kuat) dibatasi oleh syarat bagi calon dalam UU
Pilkada yang terlampau sulit bagi sebagian pihak.
Dalam UU Pilkada, disebutkan bahwa syarat untuk pasangan calon yang ingin maju
dalam kontestaasi pilkada dapat melalui dua cara, yaitu dengan jalur partai politik atau
gabungan partai politik dan jalur perseorangan. Dalam pasal 40 UU Pilkada no 8 tahun 2015
disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan
calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPRD atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah
dalam pemilihan umum anggta DPRD di daerah yang bersangkutan. Aturan ini berlakuu
HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

untuk kontesttasi pilkada calon bupati/walikota dan calon gubernur. Sedangkan calon melalui
syarat jalur perseorangan diatur dalam UU Pilkada no 8 tahun 2015 pasal 41 ayat 1 untuk
calon Gubernur dan ayat 2 untuk calon Bupati/Walikota, untuk ayat 2 menyebutkan bahwa
calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai calon Bupati dan alon Wakil Bupati serta
calon Walikota dan calon Wakil Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu)
jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen). Kabupaten/kota dengan jumlah
penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus
ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen). Kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu
juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen). Kabupaten/kota dengan
jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5%
(enam setengah persen).
Syarat pencalonan yang terlampau berat tersebut, menyebabkan banyak persoalan
dalam pelaksanaan pilkada langsung selama ini. Misalkan saja kasus pilkada di Kota
Surabaya 2015 yang lalu. Banyak perubahan dalam tahapan pemilihan kepala daerah
(pilkada) Surabaya 2015. Itu terjadi lantaran beberapa persoalan muncul dalam tahap awal
Pilkada Surabaya. Satu diantaranya hhanya ada satu pasangan calon yang mendaftar sehingga
KPU memutuskan membuka kembali pendaftaran hingga tiga kali. Meskipun pada akhirnya
terdapat dua pasangan yang lolos dalam kontestasi tersebut, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa
terjadi kisruh yang luar biasa pada tahapan awal pemilihan yang disebabkan oleh aturan
dalam syarat pencalonan.
Aturan tentang syarat pencalonan, selama ini cenderung hanya menguntungkan partai
politik besar yang menang dalam pemilu anggota DPRD di wilayah masing-masing. Dengan
modal kursi yang tekah dimiliki, partai besar bebas menentukan untuk memilih siapa calon
yang akan diusung, bisa kadernya sendiri, kader partai lain, atau orang lain yang sama sekali
tidak pernah ada hubungan dengan partai politik. Sedangkan untuk partai kecil, mau tidak
mau harus bergabung (koalisi) untuk bisa menusung pasangan calon yang akan ikut dalam
proses kontestasi, dan selanjutnya bisa ditebak, calon yang diusung kemungkinan besar bukan
dari salah satu partai politik yang bergabung tersebut, hal ini kemudian memunculkan
paradigma pragmatisme politik yang ujung-ujungnya kursi partai politik hanya sebagai barang
dagangan menjelang kentestasi pilkada berlangsung.

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK


UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

Dari fakta tersebut, setidaknya kami bisa menyimpulkan bahwa dampak yang muncul
akibat syarat pencalonan yang terlampau berat adalah, pertama, rendahnya partisipasi aktor
politik (baca; elit) untuk mengikuti proses kontestasi dalam pilkada. Kedua, minimnya
antusias masyarakat terhadap calon yang ada. Ketiga, munculnya budaya pragmatisme politik
di tubuh paartai politik. Keempat, proses kaderisasi partai politik tidak berjalan.
Dengan demikian, tentulah gagasan radikal dan fundamental diperlukan guna
menyingkirkan hambatan-hambatan terhadap proses demokrasi yang substansial di negara ini.
Salah satunya dengan mengubah/merevisi UU Pilkada yang berkenaan dengan syarat
pencalonan, baik melalui jalur partai politik atau jalur perseorangan. Dengan tidak adanya
ambang batas, seluruh partai politik yang mempunyai kursi di DPRD masing-masing dapat
mengajukan pasangan calon. Peluang adanya pasangan calon tunggal akan semakin kecil
apabila ambang batas pencalonan dihapus. Gagasan demikian sebagai upaya optimalisasi dan
efetifitas mencapai tujuan memilih pemimpin yang baik dan mempunyai dedikasi tinggi
terhadap kesejahteraan masyarakat. Potensi pemimpin yang demikian tidak lagi dipersulit
oleh aturan dan tidak lagi didiskriditkan atas finanisal dalam mahar politik, cukup berjuang
menjadi kader yang baik dan bagus dalam partai politik untuk meningkatkan kualitas
demokrasi. Dalam hal ini adalah demokrasi substansial sebagai cita-cita masyarakat
berbangsa dan bernegara.

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK


UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

Anda mungkin juga menyukai